Jadi panjang ya?
Memang yang terbaik adalah mengikis tanha sampai habis
Saya gak pernah beranggapan Samanera mengatur. Cuma saya takut ada pihak lain yang salah paham.
mohon baca pelan-pelan, walaupun rada panjang, karena kalau bacanya super cepat.....yg ada hanyalah kebinggunggan dan salah paham, gunakan kesabaran okeh
Kalau ada anak kecil yg membaca tulisan ini dan telan mentah-mentah, saya bertanggung jawab atas tulisan saya, dan tidak ada pilihan saya akan membenahinya, kalau orangnya bertanya langsung kepada saya, kalau mereka tidak konfirmasi ke saya, saya jg tidak bisa berbuat apapaun, namun mereka yg merujuk ke Sutra dan kitab komentar yg sama, sy yakin sekali dengan intisari pembiraanya, yaitu sesuai dgn yg saya pahami. Semoga ini kekuatiran yang eksesif.
*******
Mengapa saya bertahan sekali waktu Samanera mengatakan bahwa di Theravada tidak boleh? Karena tidak pernah saya temukan ada Sutta Theravada.
Tidak menemukan tidak berarti tidak ada, sebaiknya anda coba tanyakan kepada ahli yg bisa akses langsung ke bahasa Pali, atau ahli dalam Sila dan Vinaya, kita tidak bisa mengarang dan menulis sesuka hati dan sesuai dengan informasi yg ada, namun kita berusha merujuk pada tulisan yg ada, kita pelajari dan renungkan, kemudian baru tahu apakah tindakan oral seks itu termasuk tindakan seksual abnormal, termasuk pelanggaran, atau tidak.
sy sgt yakin, sutta theravada sgt byk dan luas, kalau memang mau memberi manfaat, temukanlah sesuatu yg bisa memberi manfaat, seperti dlm pembahasan seksual dan oral seks ini. Saya bukan braggging tentang pengetahuan saya, saya tetap merasa tidak punya informasi yang memadai, oleh karena itu sy belajar bhs tibet dan agar bisa masuk ke dalam kitab Sutra dan Kitab komentar Tripitaka yg ada hingga saat ini, tidak ada cara lain....dan tidak ada tempat untuk berspekulasi, ini yg aku rasakan, karena aku blom sempurna, cuman tampak luar saja yg memakai jubah, namun isi kepala, tindakan, dan ucapan belum tentu benar, ini perlu di catat baik2 oleh semua org yg membaca tulisan di forum, byk org terjebak dgn "otoritas" tulisan, contoh seorang monastik...maka semua umat langsung percaya, dan meganggap itu benar dan tidak mungkin salah, ini yang perlu kita sampaikan kepada khalayak ramai, kadang umat yg rajin belajar dan praktik...kualitas mereka jauh di atas para monastik yang bermalas-malasan.
Bukan karena alasan fanatik atau kolot. Bagi Theravada yang kebijaksanaannya sempurna adalah Sammasambuddha. Kebijaksanaan Arahat tidak sempurna seperti Sammasambuddha, tetapi masih memiliki otoritas lebih tinggi daripada putujhana, sehingga yang kedua menjadi patokan adalah kebijaksanaan Arahat yang berusaha mengawetkan Dhamma yang dibabarkan Sammasambuddha dalam konsili-konsili. Dhamma semakin lama semakin terdegradasi.
Anda pernah membaca tulisan Eks Bhikkhu Mettanando tentang konsili? banyak hal yg kita telan mentah-mentah, dan byk informasi baru yg beliau temukan dalam kitab Tipitaka Theravada, lumayan buat informasi berimbang, sekedar informasi saja, berhubungan saya sendiri jg blum sanggup masuk ke dalam Tipitaka theravada, karena alasan bahasa.
Sang Buddha mengatakan ada 2 kesalahan dalam penanganan Sutta, yaitu dalam tulisan (harafiah) dan dalam makna. 2 kesalahan ini akan berakibat mengurangi umur Dhamma. Karena itu Theravada klasik berusaha tidak mengubah isi Sutta, dan tidak menerima pandangan kebijaksanaan lain bisa memutuskan sesuatu. Otoritas tertinggi berada di Sutta, dan kemudian kitab komentar karena dianggap disusun oleh para Arahat. Ada Bhikkhu yang mati-matian menjalankan Vinaya sampai titik darah penghabisan, bukan karena kolot atau terikat tradisi, tetapi berusaha sebaik mungkin mengawetkan Dhamma. Di Theravada klasik hak untuk menghapus peraturan kecil dalam Vinaya dianggap telah ditolak di konsili, demi keberlangsungan Dhamma. Bhante Bodhi, yang karyanya sangat terkenal, baik terjemahan Sutta, Vinaya, Abhidhamma, maupun tulisan beliau sendiri tetap membedakan mana pandangan beliau sendiri, mana yang pandangan Theravada klasik dalam tulisannya.
Pandangan klasik bukan kolot dan mengikuti tradisi tidak mau berubah, tetapi dengan cinta kasih berusaha agar Dhamma tetap ada di dunia, dengan mengawetkan baik dalam penulisan, penerjemahan dan maknanya. Kalau memang tidak ada di Sutta, Vinaya, Abhidhamma, dan kitab-kitab komentar, saya gak berani mengada-adakan.
Kita kagyur yg merupakan terjemahan2 dari zaman dulu, merupakan sutra otentik, dan ini yg setara dengan Tipitaka pali, kemudian kitab tagyur yang isinya komentar atas Kagyur oleh guru2 pada zaman itu.
utk melestarikan dharma yg kami anggap sumber ajaran, tidak ada cara lain yaitu dgn belajar, mengerti, memahami, merenungkan, memeditasikan, kemudian menerapkannya, sesuai dengan berbagai nasihat Buddha maupun ehipasiko.
*****
Tetapi cara memandangnya berbeda, hal-hal yang tidak ada di Sutta, Vinaya, Abhidhamma, dan kitab-kitab komentar, tidak bersifat benar atau salah, tetapi tidak otoritatif, bukan untuk mengambil keputusan. Mengenai pihak lain berpandangan lain, silahkan, saya tidak ada masalah, karena itu saya sudah sebutkan dari awal. Bukan saya yang mengatakan di semua aliran oral sex melanggar sila.
Saya berbicara sesuai jalur yg sy tempuh, yaitu dari turun temurun aliran Mulasarvastivada, yang merupakan kelanjutan dari Tradisi Universitas Monastik Nalanda di zaman India kuno, karena secara personal sy yakin atas jalur ini, sy memaparkan apa yg saya tahu, tidak menjadikan itu suatu tulisan otoritatif maupun mengambil keputusan utk aliran lain. sy jg sangat menghargai hal2 yg kurang selaras, bahkan yg bertolak belakang, tampaknya karena kita yg kurang mengerti sehingga menganggap sesuatu itu boleh dilakukan, menganggap sesuatu itu bertolak belakang, dll......semoga kita menemukan harmonis dlm semua aliran, yg sesungguhnya adalah kendaraan Buddha.
Secara makna saya setuju dengan Samanera bahwa yang terbaik adalah sesuai dengan Dhamma, mengurangi tanha sampai habis.
Tetapi secara tulisan saya tidak bisa menerima kalau Samanera mengatakan di Theravada oral sex melanggar sila dalam konteks pancasila dan perumah tangga.
Oleh karena itu, sy mengdukung teman2 yg bisa eksplorasi ke Tipitaka Theravada, tentu saja sgt baik, karena sekali lagi, tidak ada tempat utk berspekulasi, sy yakin Pali Pitaka sudah di lestarikan sejak ribuan tahun kebelakang, dan jumlahnya begitu byk, memang ada baiknya kita mengacu pada tulisan otentik, daripada sekedar memberi kesimpulan berlandaskan informasi yg serba kekurangan ini.
Dan di Mahayana, saya pernah membaca suatu artikel, tetapi sepertinya artikel tersebut mengambil penjelasan dari kitab komentar Theravada (tetapi ada huruf mandarinnya juga). Masalahnya Mahayana itu luas sekali.
So, dari sisi Mahayana, anda juga tidak memiliki kepastian. satu hal yg berani saya katakan kepada anda, ambil contoh Dhammapada, aliran Mulasarvastivada tidak ada kitab yg namanya Dhammapada, namun karena sangat terkesan dgn naskah ini, maka zaman dulu naskah yang dikompilasi oleh Dharmatrata, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet sejak ribuan tahun yg lalu juga, jadi Tibetan jg punya versi Dhammapada yg mirip dng Theravada, namun dalam urutan yg berbeda. Bagiku, semua ajaran di setiap aliran merupakan satu kesatuan, dan tidak ada pertentangan, pertentangan muncul dari batin kita karena kita yang belum sanggup mencerna dengan baik, atau kesalahan kita dalam mencerna, setidaknya itu yg aku rasakan hingga saat ini.
bahkan perbedaan dalam hal oral seks dlm diskusi ini, aku tidak merasa berbeda, namun saya lebih melihat, tidak sama persis, dan tidak bertolak belakang.
bagi sy yg mengikuti jalur mulasarvastivada, sy ikuti definisi yg ada, dan bagi yg Theravada, silakan ikuti definis sementara yg ada (Karena asumsi saya, di forum ini belum ada yg bisa masuk ke dlm Sutta atau Vinaya Pali Pitaka untuk mengakurkan pendapat yg beredar secara umum dan catatan warisan yg ada di Pali Pitaka).
Terima kasih, dan semoga menjadi lebih terang dan jelas, tetap semangat berlatih, dan kita sambung lagi di topik yg lain, kalau sy ada waktu utk membalas.
as usual, bow and respect,