Kesabaran selalu mungkin ketika Anda tidak mengharapkan.

Started by johan3000, 20 June 2011, 11:58:14 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

johan3000

QuoteKesabaran selalu mungkin ketika Anda tidak mengharapkan.

Sebutkan bahwa ada 6 tindakan yang Anda dan saya dapat mengambil yang akan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih damai dan baik hati.

Yang pertama disebut "kemurahan hati", yang berarti kesediaan untuk menurunkan penjaga Anda. Daripada menahan diri kembali dari dunia Anda sampai memenuhi beberapa jenis kebutuhan, Anda terbuka untuk itu persis seperti itu. Ini sangat murah hati.

Yang paramita kedua disebut "disiplin" dan, di sini, daripada mengacu pada beberapa jenis kepatuhan kaku, yah, apa saja: kode etik, jadwal, agenda pribadi, sebagai cara untuk menciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri, kita meninggalkan setiap melihat intelek seperti mendukung menempatkan perhatian pada saat sekarang dan membiarkan diri dibimbing olehnya. Di sini, disiplin berarti kembali. Mulai lagi dari awal. Mengambil pandangan yang segar, lagi dan lagi.

Yang ketiga disebut paramita kesabaran dan, di sini, kesabaran tidak begitu banyak tentang kesabaran atau menoleransi orang dan hal-hal yang Anda tidak suka dengan bagian atas bibir kaku-sini, kesabaran adalah lebih lanjut tentang menyerah harapan, rolling dengan hal-hal persis seperti mereka. Bila keadaan membuat Anda bahagia, Anda melihat bahwa, mengambil di, bersandar ke dalamnya, jangan mencoba untuk bertahan. Ketika mereka membuat Anda bahagia, Anda melakukan hal yang sama. Ulangi, ulangi, ulangi. Sebagai Choygam Trungpa mengatakan dalam Pemotongan Melalui Materialisme Spiritual, "Tidak mengharapkan apa-apa, kita akan menjadi tidak." Yang terdengar hebat, tapi bagaimana sih sebenarnya yang Anda lakukan itu?

Susan Piver

bagaimana menurut anda ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

bawel


M14ka


andry

Samma Vayama

johan3000

semoga ada yg lebih mengerti utk menjelaskan semuanya ya... BIK....

bik itu artinya apa ya ?

iya bro.... GoogleTrans
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

dhammadinna

^ ^ ^ diposting yang bahasa inggrisnya saja, biar lebih jelas...

johan3000

Patience is always possible when you have no expectations.
June 7, 2011 

As you may recall from our past two sessions, I mentioned that there are 6 actions that you and I can take that will transform the world into a more peaceful and kindhearted place.

The first was called "generosity," which simply means the willingness to let down your guard. Rather than holding yourself back from your world until it meets some kind of requirements, you open to it exactly as it is. This is pretty generous.

The second paramita was called "discipline" and, here, rather than referring to some kind of rigid adherence to, well, anything: a code of ethics, a schedule, a personal agenda, as a way of creating happiness for yourself, we abandon any such intellectualized view in favor of placing attention on the present moment and allowing ourselves to be guided by it. Here, discipline simply means coming back. Starting over. Taking a fresh view, again and again.

The third paramita is called patience and, here, patience isn't so much about forbearance or tolerating people and things you don't like with a stiff upper lip—here, patience is more about giving up expectations, of rolling with things exactly as they are. When circumstances make you happy, you notice that, take it in, lean into it, don't try to hold on. When they make you unhappy, you do the same. Repeat, repeat, repeat. As Choygam Trungpa says in Cutting Through Spiritual Materialism, "Not expecting anything, we do not get impatient." Which sounds great, but how the hell do you actually do that?


susan piver
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

dhammadinna

Harapan adalah "gambaran tentang masa depan" yang kita inginkan. Jika setiap hari kita terus memikirkannya dan mendukungnya, harapan ini semakin besar. Kita menjadi semakin yakin, bahwa kita hanya akan berbahagia bila harapan itu terwujud. Karena keyakinan itu, keinginan pun semakin besar bahwa harapan itu harus terwujud.

Setiap hari kita berusaha mengumpulkan kondisi-kondisi untuk mewujudkan harapan itu. Harapan itu bisa saja hancur, karena kondisi lain (misalnya karena orang lain atau mungkin diri sendiri). Kita marah pada orang itu atau diri sendiri, karena dia menyebabkan kita gagal untuk berbahagia (can't rolling with things exactly as they are).

Sekarang pertanyaannya, siapa yang menciptakan konsep tentang kebahagiaan? siapa yang menanamkan pemikiran bahwa sesuatu adalah begitu penting untuk menentukan kebahagiaan kita? Jawabannya adalah kita sendiri.

Di kalimat terakhir postingan TS, ada kalimat: " Which sounds great, but how the hell do you actually do that?". Saya belum PD untuk menjelaskan karena masih merasa sangat dungu  :'( Jadi, saya copas saja khotbah guru kita (Sakkapañha Sutta (Pertanyaan Sakka), DN 21. Intinya, yang di warna ungu.

[spoiler]
Quote
Tanda * berarti ada catatan kakinya. Silakan lihat di bagian akhir.

[...]
1.13. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: 'Sakka telah menjalani kehidupan murni sejak waktu yang lama. Pertanyaan apa pun yang ia tanyakan pasti langsung pada intinya dan bukan basa-basi, dan ia akan cepat memahami jawaban-Ku.' Maka Sang Bhagavā menjawab Sakka dalam syair ini:

'Tanyakanlah, Sakka, semua yang engkau inginkan! Dan pada setiap pertanyaanmu, Aku akan menenangkan pikiranmu.'

[Akhir dari bagian pembacaan pertama] [276]
2.1. Setelah diundang demikian, Sakka, raja para dewa, mengajukan pertanyaan pertama kepada Sang Bhagavā: 'Dengan belenggu apakah, Yang Mulia,(*23) makhluk-makhluk terikat – dewa, manusia, asura, nāga, gandhabba, dan jenis apa pun yang ada – yang mana, walaupun mereka ingin hidup tanpa kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan memfitnah, dan dalam kedamaian, tetapi mereka masih tetap hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan dan memfitnah?' Ini adalah pertanyaan pertama Sakka kepada Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā menjawab: 'Raja para Dewa, adalah belenggu kecemburuan dan ketamakan(*24) yang membelenggu makhluk-makhluk sehingga, walaupun mereka ingin hidup tanpa kebencian ... tetapi mereka masih tetap hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan dan memfitnah.' Ini adalah jawaban Sang Bhagavā, dan Sakka gembira, berseru: 'Jadi, demikian, Bhagavā. Jadi, demikian, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan! Melalui jawaban Bhagavā, aku telah mengatasi keraguanku dan melenyapkan keraguanku!'

2.2. Kemudian Sakka, setelah [277] mengungkapkan penghargaannya, menanyakan pertanyaan selanjutnya: 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang memunculkan kecemburuan dan ketamakan, apakah asal-mulanya, bagaimanakah hal itu muncul? Karena adanya apakah, hal-hal tersebut muncul, karena tidak adanya apakah, hal-hal tersebut tidak muncul?' 'Kecemburuan dan ketamakan, Raja para Dewa, muncul dari rasa suka dan tidak suka,(*25) ini adalah asal-mula, inilah bagaimana hal-hal tersebut muncul, ketika suka dan tidak suka ini muncul, maka muncullah kecemburuan dan ketamakan, ketika suka dan tidak suka tidak ada, maka kecemburuan dan ketamakan tidak muncul.' 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menimbulkan suka dan tidak suka? ... karena adanya apakah, hal-hal tersebut muncul, karena tidak adanya apakah, hal-hal tersebut tidak muncul?' 'Hal-hal tersebut muncul, Raja para Dewa, dari keinginan(*26) ... karena ada keinginan, maka hal-hal tersebut muncul, karena tidak adanya keinginan, maka hal-hal tersebut tidak muncul.' 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menimbulkan keinginan? ....' 'Keinginan, Raja para Dewa, muncul dari pemikiran(*27) ... ketika pikiran memikirkan sesuatu, maka keinginan muncul; ketika pikiran tidak memikirkan apa-apa, maka keinginan tidak muncul.' 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menimbulkan pemikiran? ....' 'Pemikiran, Raja para Dewa, muncul dari kecenderungan untuk mendapatkan lebih banyak(*28) ... ketika kecenderungan ini ada, maka pemikiran muncul, ketika kecenderungan ini tidak ada, maka pemikiran tidak muncul.'

2.3. 'Jadi, Yang Mulia, praktik apakah yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu,(*29) yang telah mencapai jalan benar yang diperlukan yang menuju kepada lenyapnya kecenderungan untuk mendapatkan lebih banyak?' [278]

'Raja para Dewa, Aku menyatakan ada dua jenis kebahagiaan:(*30) jenis yang harus dikejar, dan jenis yang harus dihindari. Hal yang sama berlaku bagi ketidakbahagiaan(*31) dan keseimbangan.(*32) Mengapakah Aku menyatakan hal ini sehubungan dengan kebahagiaan? Beginilah Aku memahami kebahagiaan: Ketika Aku mengamati bahwa dalam mengejar kebahagiaan demikian, faktor-faktor tidak baik meningkat dan faktor-faktor yang baik berkurang, maka kebahagiaan demikian harus dihindari. Dan ketika Aku mengamati bahwa dalam mengejar kebahagiaan demikian, faktor-faktor tidak baik berkurang dan faktor-faktor yang baik meningkat, maka kebahagiaan demikian harus dikejar. Sekarang, kebahagiaan demikian yang disertai awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,(*33) dan yang tidak disertai awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang ke dua adalah lebih luhur. Hal yang sama berlaku bagi ketidakbahagiaan dan [279] keseimbangan. Dan ini, Raja para Dewa, adalah praktik yang dijalankan oleh bhikkhu itu yang telah mencapai jalan benar ... menuju kepada lenyapnya kecenderungan untuk mendapatkan lebih banyak.' Dan Sakka mengungkapkan kegembiraannya atas jawaban Sang Bhagavā.

2.4. Kemudian Sakka, setelah mengungkapkan penghargaannya, menanyakan pertanyaan selanjutnya: 'Yang Mulia, praktik apakah yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu, yang telah mencapai pengendalian yang diharuskan oleh peraturan?'(*34)

'Raja para Dewa, Aku menyatakan ada dua jenis perbuatan jasmani: jenis yang harus dikejar, dan jenis yang harus dihindari. Hal yang sama berlaku bagi ucapan dan dalam mengejar tujuan. [280] Mengapakah Aku menyatakan hal ini sehubungan dengan perbuatan jasmani? Beginilah Aku memahami perbuatan jasmani: Ketika Aku mengamati bahwa dengan melakukan suatu perbuatan tertentu, faktor-faktor tidak baik meningkat dan faktor-faktor yang baik berkurang, maka perbuatan jasmani demikian harus dihindari. Dan ketika Aku mengamati bahwa dengan melakukan suatu perbuatan tertentu, faktor-faktor tidak baik berkurang dan faktor-faktor yang baik meningkat, maka perbuatan jasmani demikian harus diikuti. Itulah sebabnya, Aku membuat perbedaan ini. Hal yang sama berlaku untuk ucapan dan dalam mengejar tujuan. [281] Dan ini, Raja para Dewa, adalah praktik yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu, yang telah mencapai pengendalian yang diharuskan oleh peraturan.' Dan Sakka mengungkapkan kegembiraannya atas jawaban Sang Bhagavā.

2.5. Kemudian Sakka mengajukan pertanyaan selanjutnya: 'Yang Mulia, praktik apakah yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu, yang telah mencapai pengendalian atas indria-indrianya?'

'Raja para Dewa, Aku menyatakan hal-hal yang terlihat oleh mata ada dua jenis: jenis yang harus dikejar, dan jenis yang harus dihindari. Hal yang sama berlaku untuk hal-hal yang dikenali oleh telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran.' Sampai di sini, Sakka berkata: 'Bhagavā, aku mengerti makna selengkapnya dari apa yang Bhagavā sampaikan secara singkat. Bhagavā, objek apa pun yang dilihat oleh mata, jika pengejaran ini mengarah pada meningkatnya faktor-faktor tidak baik dan berkurangnya faktor-faktor baik, maka ini sebaiknya tidak dikejar; jika pengejaran ini mengarah pada berkurangnya faktor-faktor tidak baik dan meningkatnya faktor-faktor baik, maka objek ini [282] sebaiknya dikejar. Hal yang sama berlaku untuk hal-hal yang dikenali oleh telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran. Demikianlah aku mengerti makna selengkapnya dari apa yang Bhagavā sampaikan secara singkat, dan dengan demikian melalui jawaban Bhagavā, aku telah mengatasi keragu-raguanku dan menyingkirkan keraguanku.'
[...]


CATATAN KAKI
23. Mārisa: 'Tuan', bukan 'Bhagavā'. Sakka juga belakangan menggunakan sebutan yang lebih terhormat.
24. Issa-macchariya: ini lebih baik daripada versi RD 'keirihatian dan keegoisan'.
25. Piya-appiya: 'suka dan tidak suka'.
26. Chanda: disamakan oleh RD dengan taṇhā 'keinginan'.
27. Vitakka: RD mengatakan: 'Kata ini digunakan, tidak dengan makna psikologis, tetapi dalam makna populernya ... "memikirkan" ... "telah dipenuhi dengan pikiran tentang"'.
28. Papañca: kata yang sulit. Makna 'berbagai macam' dikemukakan oleh YM. Bhikkhu Ñāṇananda, Concept and Reality in Early Buddhist Thought (Kandy, BPS, 1971).
29. 'Bagaimanakah bhikkhu itu melakukannya ...?' (RD)
30. Somanassa.
31. Domanassa. Somanassa-domanassa kadang-kadang diterjemahkan sebagai 'kegembiraan dan kesedihan'. 32. Upek(k)h.a
33. Vitakka-vicāra.
34. Pātimokkha.
[/spoiler]