Authenticity of the Suttas of the Pali Canon

Started by sobat-dharma, 13 May 2011, 03:50:45 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

pannadevi


M14ka

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 May 2011, 02:03:45 PM
Bapak Pergi Pagi Pulang Petang Pantat Pegel Pinggang Patah Perut Perih 'Pala Pusing Pacar Putus Penghasilan Pas-pasan Potong Pajak Plus Premi Pula

"Pas-pasan" seharusnya dihitung 1 kata, jadi totalnya BP21.
Bapak Pontang Panting Pergi Pagi Pulang Petang Pantat Pegel Pinggang Patah Perut Perih 'Pala Pusing Pacar Putus Penghasilan Pas-pasan Potong Pajak Plus Premi Pula
Jadi BP23  :)

Indra

Quote from: M14ka on 25 May 2011, 11:06:51 AM
Bapak Pontang Panting Pergi Pagi Pulang Petang Pantat Pegel Pinggang Patah Perut Perih 'Pala Pusing Pacar Putus Penghasilan Pas-pasan Potong Pajak Plus Premi Pula
Jadi BP23  :)

i deserve credit

K.K.

Quote from: M14ka on 25 May 2011, 11:06:51 AM
Bapak Pontang Panting Pergi Pagi Pulang Petang Pantat Pegel Pinggang Patah Perut Perih 'Pala Pusing Pacar Putus Penghasilan Pas-pasan Potong Pajak Plus Premi Pula
Jadi BP23  :)
Sis t3rw3lu ini rajin yah, masih dipikirin aja. ;D
---

BTW, BTT, saya ingat beberapa hari lalu kebetulan mampir di forum agama. Di situ ada 'perang' kitab oleh 2 pihak berbeda agama, masing-masing dengan pengakuan kitabnya tidak mungkin salah, isinya paling sah, lalu terjadilah penafsiran yang sifatnya pembenaran. Saya pikir justru waktu dulu baru belajar dhamma, saya ketahui Tipitaka BUKAN sabda Buddha, namun sabda Buddha yang didengar oleh Ananda/murid lain, diceritakan turun-temurun secara lisan, baru akhirnya dicatat dan juga ada penambahan/revisi. Pengertian akan hal ini, ditambah semangat 'Kalama Sutta' sebetulnya adalah modal dan keunggulan untuk Umat Buddha.


Indra

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 May 2011, 11:42:55 AM
Sis t3rw3lu ini rajin yah, masih dipikirin aja. ;D

sebenarnya bukan rajin, tapi memang agak kurang kerjaan, terlalu banyak waktu luang untuk melakukan hal2 yg tidak terduga

K.K.

Quote from: Indra on 25 May 2011, 11:49:07 AM
sebenarnya bukan rajin, tapi memang agak kurang kerjaan, terlalu banyak waktu luang untuk melakukan hal2 yg tidak terduga
Boleh juga nih diberdayakan untuk proyek2 DC. ;D

Indra

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 May 2011, 12:07:57 PM
Boleh juga nih diberdayakan untuk proyek2 DC. ;D

keknya sih memang udah di-pdkt-in sama bos

M14ka


pannadevi


M14ka

Quote from: pannadevi on 25 May 2011, 03:54:36 PM
ampunnn...konyol bangetttt.....mules dah perut sy.....
hihihi....cuma canda cc samaneri....muup..... ^:)^

pannadevi

#295
Quote from: M14ka on 25 May 2011, 03:55:54 PM
Quote from: pannadevi on 25 May 2011, 03:54:36 PM
Quote from: M14ka on 25 May 2011, 03:48:18 PM


ampunnn...konyol bangetttt.....mules dah perut sy.....

hihihi....cuma canda cc samaneri....muup..... ^:)^

hehehe...iya...sy juga tahu kok klo canda....ga perlu minta maaf....gpp kok....perut sy mules krn nahan ketawa.... ;D

bawel

Quote from: hendrako on 25 May 2011, 09:18:15 AM
Sebenarnya alam itu gak pernah seimbang, yang ada hanyalah perubahan terus menerus yang saling berhubungan satu sama lain. Apabila emang ada kondisi yang memenuhi syarat untuk dikatakan seimbang, tepat setelah kondisi itu tercapai, kondisi sudah berubah lagi dari yang disebut seimbang. Yang disebut dengan perusakan hutan oleh manusia sebenarnya juga termasuk hal yang alami, karena manusia adalah bagian dari alam itu sendiri.

alam itu selalu menyeimbangkan diri sih kalo menurut saya, sehingga evolusi dapat terjadi ;D.
dan apa yang dilakukan manusia itu tidak bisa disebut alami, tapi karena melekat pada ketamakan ;D.
karena sifat alami manusia adalah batin yang seimbang, tidak terikat pada lobha, dosa dan moha ;D.

oleh karena itulah, di postingan sebelumnya saya mengajak untuk meninggalkan ketamakan dengan mencoba untuk meninggalkan pembunuhan yang berulang-ulang ;D.
dan hal itu menurut saya sangat mungkin dengan pengetahuan dan kesadaran manusia saat ini ;D.

hendrako

Quote from: comel on 26 May 2011, 11:19:14 AM
alam itu selalu menyeimbangkan diri sih kalo menurut saya, sehingga evolusi dapat terjadi ;D.

Sebenarnya bukan menyeimbangkan diri, hanya sebab akibat saja, manusialah yang memberikan label "seimbang", yang sebenarnya terjadi adalah seperti adanya, alaminya.


dan apa yang dilakukan manusia itu tidak bisa disebut alami, tapi karena melekat pada ketamakan ;D.

karena sifat alami manusia adalah batin yang seimbang, tidak terikat pada lobha, dosa dan moha ;D.

Justru karena masih ada lobha, dosa, dan moha, maka ada mahluk yang disebut manusia.
Kalo suatu mahluk alaminya udah alobha adosa dan amoha...... udah gak terlahir lagi dong sis.


oleh karena itulah, di postingan sebelumnya saya mengajak untuk meninggalkan ketamakan dengan mencoba untuk meninggalkan pembunuhan yang berulang-ulang ;D.

Saya setuju sekali.

dan hal itu menurut saya sangat mungkin dengan pengetahuan dan kesadaran manusia saat ini ;D.

Tidak hanya masa ini, sesungguhnya udah dari dulu2, suku2 dipedalaman memiliki kearifan di dalam menjaga kelestarian alam, yang merusak malah orang2 yg disebut dengan pemikiran modern yang mengacu pada progresifitas beserta teknologi modern.

Apapun yg terjadi di alam, bagaimanapun kondisinya dan apa atau siapapun yang mempengaruhinya, semuanya itu adalah ke-alami-an, tidak ada yang tidak.
;D
yaa... gitu deh

bawel

Quote from: hendrako on 26 May 2011, 08:23:04 PM
Sebenarnya bukan menyeimbangkan diri, hanya sebab akibat saja, manusialah yang memberikan label "seimbang", yang sebenarnya terjadi adalah seperti adanya, alaminya.

Justru karena masih ada lobha, dosa, dan moha, maka ada mahluk yang disebut manusia.
Kalo suatu mahluk alaminya udah alobha adosa dan amoha...... udah gak terlahir lagi dong sis.

Tidak hanya masa ini, sesungguhnya udah dari dulu2, suku2 dipedalaman memiliki kearifan di dalam menjaga kelestarian alam, yang merusak malah orang2 yg disebut dengan pemikiran modern yang mengacu pada progresifitas beserta teknologi modern.

Apapun yg terjadi di alam, bagaimanapun kondisinya dan apa atau siapapun yang mempengaruhinya, semuanya itu adalah ke-alami-an, tidak ada yang tidak. ;D

yah sama aja dengan sempurna lah om hendra ;D.
tanpa embel-embel dari manusia, alam itu kan digerakkan oleh 5 hukum alam ;D.
jadi alam itu.... yah sempurna ;D.

yang saya tulis kan sifat alami manusia om ;D.
bahkan bukan hanya manusia saja, tapi mahkluk lainnya juga ;D.
semua mahkluk kan berusaha untuk terbebas dari dukkha, nah itulah sifat alami semua mahkluk ;D.

iya bener ;D, paling jengkel sama orang yang melecehkan kebijaksanaan lokal ;D.
mereka malah disebut sebagai suku primitif, padahal orang yang katanya modernlah yang pikirannya semakin primitif, karena terlalu banyak diliputi sama keserahakan, kebencian, dan ketidaktahuan, karena kebanyakan memuaskan nafsu indera nya :)).

sobat-dharma

Bro Indra, Sis Sriyeklina, Sis Pannadevi dan teman-teman lainnya,

saya sangat menghargai tekad kalian dalam menjalankan sila dengan murni dan konsekuen. Hal demikian memang akan membantu kita dalam praktik Buddhadharma, halmana sebenarnya dalam Mahayana hal yang demikian juga dianjurkan. Menjalanan sila dengan ketat dan murni adalah hal yang positif, baik dalam Theravada maupun Mahayana.

Perbedaan pendapat yang pertama di antara kita adalah seputar apakah seseorang diijinkan atau tidak diijinkan untuk melanggar aturan moralitas sila-sila pada saat-saat tertentu yang bersifat mendesak dan situasional. Jika menyimak isi komentar teman-teman sekalian, saya menangkap kesan bahwa teman-teman berpandangan tidak ada toleransi untuk bertindak di luar aturan sila-sila dalam kondisi apapun.  Dalam hal ini sila seperti "harga mati", atau bahkan seperti jerat yang tidak mungkin dilepaskan lagi, yang tidak mungkin dilepaskan sementara bahkan jika hal tersebut bisa menyelamatkan umat manusia sedunia sekalipun. Dalam kacamata ini, tidak ada yang namanya kondisi "terpaksa" kalian kondisi di luar. Setiap gagasan yang memungkinkan hal demikian, kemudian dipandang bagai hanya "mencari-cari pembenaran" dll.

Saya melihat cara kalian memandang pelaksanaan praktik sila seperti usaha keras yang melihat kondisi-kondisi di luar hanyalah gangguan yang meski ditaklukkan. Setiap kondisi yang dapat menyebabkan seseorang "terpaksa" bertindak di luar aturan sila dianggap sebagai "gangguan". Dunia luar pun akhirnya dikelompok-kelompokkan menjadi yang membantu menjalankan sila dan yang mengganggu kita menjalankan sila.  Lantas kalian memikirkan dengan segala upaya bagaimana cara untuk menolak, mengubah atau bahkan berusaha untuk menghilangkan semua kondisi-kondisi yang mengganggu tersebut. Dalam pandangan ini, tersirat bahwa semua kondisi eksternal pasti dapat diubah, tidak peduli apapun alasannya (Misalnya: Bahkan pada saat berbohong bisa menyelamatkan nyawa manusia, seseorang tetap tidak boleh berbohong atau ketika membunuh hama dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia yang lain, seorang petani tetap tidak boleh membunuh hama).

Idealisme demikian, menurut saya, baik tapi kurang realistis. Untuk menjawab hal ini, saya akan memulainya dengan mengutip kata-kata Luang Pu Dun (Ajahn Dune Atulo), salah seorang murid Ajahn Mun, Master Theravadin yang terkemuka:

"Begitu juga bagi mereka yang telah mempraktikkan enam Pāramitā (tambahan dari saya: termasuk di dalamnya adalah praktik sila), dan bagi mereka yang menjalankan kewajiban lain yang serupa, atau yang telah mengumpulkan banyak pahala yang jumlahnya sebanyak pasir di Sungai Gangga, sadarilah bahwa kita adalah, pada segala aspeknya, sempurna sebagaimana yang disingkap oleh kebenaran mendasar ini, yaitu bahwa kita adalah Citta tunggal, atau kita bersatu padu dengan Para Buddha, karenanya kita tidak perlu menambahkan apapun lagi pada hal yang telah sempurna itu dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tidak berarti itu, bukankah demikian? Tatkala kita berkesempatan untuk melaksanakan kewajiban tersebut, laksanakanlah; dan tatkala kesempatan telah berlalu, tetaplah tenang.

Kata-kata  "Tatkala kita berkesempatan untuk melaksanakan kewajiban tersebut, laksanakanlah; dan tatkala kesempatan telah berlalu, tetaplah tenang" inilah yang menurut saya sangat sejalan dengan cara saya memandang cara menjalankan sila: ketika kita dapat menjalankan sila dengan murni dan konsekuen laksanakanlah, tapi jika kondisinya tidak memungkinkan, tidak perlu khawatir.

Pandangan demikian sama sekali bukanlah "pembenaran" atau " mencari-cari alasan" seperti yang teman-teman sangkakan, melainkan suatu sikap yang realistis dalam menilai kondisi. Sikap demikian lahir dari pengakuan bahwa ada kondisi-kondisi yang memang di luar kekuasaan kita untuk mengubahnya, tanpa melupakan bahwa ada kondisi yang memang masih bisa diubah. Kebutuhan untuk petani untuk segera memusnahkan hama untuk menyelamatkan sawah yang menjadi tempat bergantung hidup banyak manusia yang lain adalah kondisi yang mendesak pada saat itu yang perlu diambil secepatnya saat itu juga. Tentu saja ada cara lain, misalnya merubah sistem pertanian menjadi lebih ramah lingkungan dan lain-lainnya seperti yang dikemukan sebagian teman. Cara demikian memang baik, apalagi dilakukan dengan tekad untuk melindungi semua makhluk hidup tanpa pandang bulu. Sayangnya semua itu hanya mungkin dilakukan dalam jangka panjang dan melibatkan kepentingan dan kebijakan dari banyak pihak. Bahkan di satu sisi untuk mengubah sistem yang berlaku sekarang, kita harus melalui perjuangan panjang yang akan mengorbankan banyak hal lainnya (yang mungkin saja menyebabkan kondisi mendesak lainnya yang menyebabkan kita melanggar sila). Apa yang hendak saya sampaikan adalah suatu kondisi mendesak yang harus diatasi tanpa kita bisa mengubah kondisi eksternal yang ada, apakah itu karena desakan waktu ataupun persoalan-persoalan krusial lainnya. Hal demikianlah yang saya sebut sebagai "kondisi situasional" yang memungkinkan seseorang melanggar sila.

Dibandingkan dengan pandangan sebagian teman mengenai cara praktik sila yang mementingkan konsistensi dan kepatuhan absolut, cara praktik sila demikian adalah cara yang bersifat luwes dan mengutamakan keharmonisan dengan lingkungan sekitarnya.  Cara yang terakhir ini laksana bambu yang bergerak luwes mengikuti arah angin, namun tidak pernah beranjak dari titik tempat berdirinya semula. Sedangkan cara pertama ibarat pohon besar kokoh dan keras yang  menentang terpaan angin. Teman-teman sekalian boleh memilih, ingin menjadi bambu yang luwes atau menjadi pohon yang keras menentang angin?

Dalam hal ini saya memandang sila sebagai alat bantu yang mendukung kita dalam menjalani praktik. Bila kita konsisten dalam menjalankan sila dalam kehidupan sehari-hari tak ayal lagi hal tersebut akan memberikan kemajuan bagi batin kita. Sebagai alat Bantu sudah pasti ia sebaiknya tetap digunakan. Namun, sebagai alat bantu, sila bukanlah harga mati yang tidak mungkin dilepaskan sementara jika diperlukan dalam "kondisi situasional".

Dalam Buddhisme, kesadaran akan situasi kondisi di dunia luas yang dapat memaksa seseorang melanggar sila diwujudkan dengan pendirian komunitas monastik yang berfungsi untuk mengeliminir hingga sekecil mungkin faktor situasional yang dapat mengganggu seseorang dalam menjalankan praktik sila secara murni dan konsekuen. Sedangkan umat awam yang hidup di luar komunitas monastik diberikan keringanan dalam menjalankan kewajiban sila dalam jumlah yang lebih terbatas ketimbang jumlah sila anggota monastik. Hal ini memperlihatkan bahwa Buddhisme sudah mempertimbangkan soal perbedaan lingkungan eksternal secara general antara dua tipe praktisi Buddhadharma yang hidup dalam dua lingkungan yang kondisinya berbeda. Hal ini memperlihatkan bagaimana lingkungan, secara general, diakui berperan dalam kemurnian praktik sila. Modifikasi terhadap lingkungan dan diversifikasi aturan sila yang demikian memberikan kesempatan kepada umat awam yang tidak tergabung dalam komunitas monastik untuk tetap menjalankan praktik Buddhadharma. 

Alasan yang sama sebenarnya juga yang menjadi landasan bagi pendapat bahwa pada saat-saat tertentu dan mendesak (kondisi situasional), seseorang diijinkan untuk melanggarkan sila secara sesaat itu saja. Dalam hal ini, ketentuannya adalah adanya suatu kondisi situasional yang mendesak dan diperlukan. Jadi jika situasi yang menuntut adanya perilaku itu hilang, maka orang tersebut harus kembali menjalankan sila sebagaimana semula, bukan berarti kemudian yang bersangkutan boleh terus menerus melanggar sila saat situasi yang mendesak itu tidak ada. Hal ini juga adalah bentuk diversifikasi aturan sila, meski bukan dari segi pembagian lingkungan komunitas monastik dan bukan, melainkan menurut pembagian mendesak situasional atau tidak mendesak. Tatkala modifikasi lingkungan belum bisa terlaksana (tidak sempat memperbaiki sistem, misalnya sistem bercocok tanam, pemerintahan, ekonomi dan lain2), namun terjadi keadaan di mana kita harus mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang banyak (karena realitas tidak pernah bisa ditebak), maka kita perlu melakukan diversifikasi pelaksanaan praktik sila dalam bentuk memberikan perkecualian berdasarkan situasi.

Hal ini sangat dibutuhkan oleh Buddhisme untuk terus bertahan dalam masyarakat dan lingkungan yang terus berubah-ubah. Selama ribuan tahun sejarah Buddhisme telah terjadi begitu banyak perkembangan di dunia luar, dan Buddhisme harus menyesuaikan diri dengan realitas. Mahayana, dalam hal ini, adalah salah satu bentuk penyesuaian Buddhisme pada era dan wilayah tertentu. Dalam hal ini, mungkin saja terjadi seolah-olah Mahayana tampak berbeda dengan aliran Buddhisme lainnya yang berkembang di tempat yang berbeda dan era yang lain pula, namun secara intisari tidak ada yang berubah. (Ini sekalian menjawab pertanyaan Samaneri Pannadevi  )


Perbedaan pendapat yang kedua di antara kita adalah persoalan mungkin atau tidaknya seseorang tetap mempertahankan niat yang baik tatkala ia terpaksa melanggar sila karena "kondisi situasional." Persoalan ini sebenarnya telah diulas panjang oleh saya dalam jawaban sebelumnya. Namun untuk keperluan agar teman-teman lebih jelas lagi, saya akan mencoba membahasnya dari sisi lain. Untuk itu saya akan menggunakan metafora bambu diterpa angin.

Tatkala bambu sedang diterpa angin, ujung atasnya bergerak sesuai arah angin namun bagian pangkalnya tidak pernah beralih dari tempat semula. Dalam hal ini kita dapat melihat perilaku yang tampak secara eksternal sebagai ujung bambu, sedangkan niat di dalam adalah pangkal bambunya. Perilaku yang tampak bisa terlihat berubah-ubah, tidak konsisten, namun yang penting adalah apakah niatnya konsisten atau tudak.

Oleh karena itu, dalam kondisi situasi yang "memaksa" seseorang bertindak di luar aturan sila, maka saat orang itu bertindak di luar aturan sila, maka ia tetap harus berpijak di tempat yang semula layaknya bambu tersebut. Ujung bambu boleh tampak bergeser, namun pangkal bambu tetap pada tempatnya.

Untuk sementara, ini dulu sumbang pendapat dari saya. Lain kali saya akan menyambungnya dengan kaitan pembahasan ini dengan persoalan utamdalam thread ini: bagaimana bersikap dalam menanggapi kemungkinan ada sutta/sutra yang tidak otentik?

Trimakasih. Mohon maaf jika ada kesalahan ketik atau kata-kata yang tidak menyenangkan.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek