News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha!

Started by Peacemind, 20 February 2011, 03:23:34 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

siswahardy

Quote from: dtgvajra on 25 August 2012, 08:52:31 PM
Karena itu, kita perlu mengusulkan sebaiknya kolom Agama di KTP dihilangkan saja.
Pembedaan berdasarkan bangsa, suku, ras, adat budaya tidak memberikan kontribusi positif dalam hidup sebagai bangsa.
itu gagasan saya sedari awal (lihat di postingan saya terdahulu)

tapi selama itu belum terwujud, dan mewujudkannya pastilah juga bukah hal yg mudah
mau tidak mau kita pikirkan saja dulu apa yg sudah ada di depan mata kita sekarang ini

K.K.

Quote from: dilbert on 25 August 2012, 02:08:54 PM
Inti-nya... bahwa dalam hal yang sebenar-benar-nya... yang belajar ajaran buddha (benar-benar belajar ajaran buddha), apakah di-sebut umat Buddha (siswa buddha) ?
IMO, yang benar belajar dan menjalankan Ajaran Buddha, sudah tentu namanya siswa Buddha, dan dia sendiripun PASTI mengakui bahwa ia adalah siswa Buddha. Namun kalau soal pengakuan keluar, itu adalah kondisional dan sifatnya relatif. Juga pengakuan itu tidak pasti berhubungan dengan kemajuan bathin.

K.K.

Quote from: Kelana on 25 August 2012, 04:19:57 PM
Kalau berhubungan dengan sensus penduduk, bagaimana Sdr. Kainyn? Perlulah kita mengatakan sebenarnya atau terserah??
Kalau untuk hal pendataan begitu, maka tidak ada efeknya (dalam konteks 'persepsi' si penanya), jadi jawab apapun tidak berpengaruh apa-apa. Namun mempertimbangkan efek sisi lain seperti hal2 yang berkenaan dengan birokrasi, sebaiknya menjawab yang sebenarnya (Buddhis).

khiong

mengakui ajaran Buddha itu baik,menerima ajaran buddha itu baik dan menjalankan ajaran Buddha dengan baik juga dalam hidupnya,apa susahnya mengakui/mengisi agama BUDDHA di KTP nya..? saya pernah dengar 1 kasus(tidak menyaksikan sendiri),jenasah sudah rapi di peti mati,akhir di keluarkan dan dikafan kan untuk dimakamkan oleh warga sesuai ktp nya.

klesotan


ryu

Quote from: khiong on 27 August 2012, 11:12:29 AM
mengakui ajaran Buddha itu baik,menerima ajaran buddha itu baik dan menjalankan ajaran Buddha dengan baik juga dalam hidupnya,apa susahnya mengakui/mengisi agama BUDDHA di KTP nya..? saya pernah dengar 1 kasus(tidak menyaksikan sendiri),jenasah sudah rapi di peti mati,akhir di keluarkan dan dikafan kan untuk dimakamkan oleh warga sesuai ktp nya.
kalau orang dah mati trus di upacarakan sesuai dengan ktp apa yang terjadi?
contoh :
diupacarakan kr1sten masuk mana?
diupacarakan budha masuk mana?
diupacarakan islam masuk mana?
diupacarakan hindu masuk mana?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 August 2012, 09:03:58 AM
IMO, yang benar belajar dan menjalankan Ajaran Buddha, sudah tentu namanya siswa Buddha, dan dia sendiripun PASTI mengakui bahwa ia adalah siswa Buddha. Namun kalau soal pengakuan keluar, itu adalah kondisional dan sifatnya relatif. Juga pengakuan itu tidak pasti berhubungan dengan kemajuan bathin.

yang benar belajar dan menjalankan ajaran Buddha = siswa Buddha = pasti mengakui...

yang mengaku umat buddha / siswa buddha = belum pasti adalah BENAR-BENAR siswa BUDDHA...

TAPI yang pasti, yang tidak mengaku-i belajar dan menjalankan ajaran BUDDHA = sudah pasti bukan siswa Buddha...

---

Jadi kalau ada yang di-tanya...

A : Kamu belajar / menjalankan ajaran mana ?

B : Saya tidak mementingkan nama ? Buat apa nama ? Buat apa identitas ? Kenapa saya harus merubah status dan identitas "spiritualitas" saya ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

K.K.

#322
Quote from: dilbert on 27 August 2012, 12:29:47 PM
yang benar belajar dan menjalankan ajaran Buddha = siswa Buddha = pasti mengakui...

yang mengaku umat buddha / siswa buddha = belum pasti adalah BENAR-BENAR siswa BUDDHA...

TAPI yang pasti, yang tidak mengaku-i belajar dan menjalankan ajaran BUDDHA = sudah pasti bukan siswa Buddha...

---

Jadi kalau ada yang di-tanya...

A : Kamu belajar / menjalankan ajaran mana ?

B : Saya tidak mementingkan nama ? Buat apa nama ? Buat apa identitas ? Kenapa saya harus merubah status dan identitas "spiritualitas" saya ?
Kembali lagi saya mengemukakan 2 konteks:
1. Tentang pengakuan tidak berhubungan dengan kemajuan bathin (konteks dhamma).
2. Tentang pengakuan yang dilakukan atau tidak dilakukan dengan alasan tertentu (konteks sosial-budaya).

Dua konteks ini adalah berbeda, bagi saya tidak bisa dicampur. Jadi kita mau bicara yang mana? Untuk yang pertama, mungkin kisah Santati bisa memperjelas apa yang saya maksud.

[spoiler]Santati seorang menteri yang ketika mendengarkan khotbah Buddha, menjadi Arahant dan parinibbana dengan kasina api sesaat setelahnya, masih dalam baju dinas kementeriannya. Para bhikkhu yang masih dibingungkan oleh tampilan luar sebagai tolok ukur, bertanya pada Buddha apakah Santati ini seorang petapa atau perumah-tangga. Buddha mengatakan:
"Walaupun seseorang terbungkus pakaian indah, jika ia tenang, bebas dari kekotoran, dan inderanya terkendali, jika ia kokoh dalam pandangan jalan, jika ia murni, dan telah menyingkirkan senjata terhadap semua makhluk, ia adalah seorang Brahmana, seorang Samana, dan seorang bhikkhu."

Walaupun seseorang masih berjubah perumah-tangga, belum ditahbiskan, belum bercukur ataupun mengenakan jubah kuning, belum ambil perlindungan apapun, jika pikirannya telah bebas dari noda bathin, ia bisa disebut sebagai bhikkhu. Jadi yang saya simpulkan dari sini, "Siswa Buddha" atau bukan adalah dilihat dari bathin, bukan hal eksternal.[/spoiler]


Jika yang dibicarakan konteks ke dua, maka ini kondisional tergantung kebijaksanaan masing-masing, juga tidak terlepas dari kemudahan dan kesulitan kondisi masing-masing. Seseorang bisa saja mengaku-ngaku Buddhis padahal bukan, untuk alasan tertentu. Sebaliknya seseorang juga bisa tidak mengaku-ngaku Buddhis padahal keyakinannya tak tergoyahkan, untuk alasan tertentu lainnya. Alih-alih 'menghakimi' berdasarkan hal mengaku/tidak, saya lebih cenderung melihat alasan di balik sikap tersebut.


siswahardy

saya pernah dengar salah satu syarat mendirikan vihara adalah adanya persetujuan umat Buddhis dan fotokopy ktpnya yg terdapat di wilayah bersangkutan sejumlah quota tertentu
selain itu masih ada persyaratan lain2nya yg pastinya lebih panjang dan memakan biaya yg tidak sedikit

nah, kalau banyak umat Buddhis tapi tidak ber-ktp Buddhis apakah di sini saja sudah tersandung?
terlebih lagi alasan individualistik orang tsb tidak beralasan, apakah anggapan orang bahwa Buddhism mengajarkan individualistik benar adanya?

khiong

Quote from: ryu on 27 August 2012, 12:09:23 PM
kalau orang dah mati trus di upacarakan sesuai dengan ktp apa yang terjadi?
contoh :
diupacarakan kr1sten masuk mana?
diupacarakan budha masuk mana?
diupacarakan islam masuk mana?
diupacarakan hindu masuk mana?
jenasah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,apa lagi berteriak..setahu saya jenasah juga tidak bawa KTP. hanya bagi orang yang hidup saja untuk berbuat sesuatu yang layak sesuai dengan keyakinannya yang tercantum di KTP. ini menurut saya secara pribadi. _/\_

ryu

Quote from: siswahardy on 28 August 2012, 12:41:51 AM
saya pernah dengar salah satu syarat mendirikan vihara adalah adanya persetujuan umat Buddhis dan fotokopy ktpnya yg terdapat di wilayah bersangkutan sejumlah quota tertentu
selain itu masih ada persyaratan lain2nya yg pastinya lebih panjang dan memakan biaya yg tidak sedikit

nah, kalau banyak umat Buddhis tapi tidak ber-ktp Buddhis apakah di sini saja sudah tersandung?
terlebih lagi alasan individualistik orang tsb tidak beralasan, apakah anggapan orang bahwa Buddhism mengajarkan individualistik benar adanya?
di daerah saya vihara keknya banyak, mungkin ada 10 lebih dikit.
tapi umatnya keknya itu2 saja, di vihara ini ketemu, di vihara sana ketemu keknya jadi mubajir banyak vihara tapi umatnya itu2 saja dan malah jadinya menarik2 umat dengan cara promo2 tertentu :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: siswahardy on 28 August 2012, 12:41:51 AM
saya pernah dengar salah satu syarat mendirikan vihara adalah adanya persetujuan umat Buddhis dan fotokopy ktpnya yg terdapat di wilayah bersangkutan sejumlah quota tertentu
selain itu masih ada persyaratan lain2nya yg pastinya lebih panjang dan memakan biaya yg tidak sedikit
Seperti saya katakan, itu masuk dalam bahasan konteks sosial-budaya, dan setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Misalnya mau didirikan vihara yang 'buddha-nya masih tinggal seatap sama istri' di lingkungan saya dan disurvey quota, mungkin dari 'Budha' pun saya akan buru2 ke RT untuk ganti agama.


Quotenah, kalau banyak umat Buddhis tapi tidak ber-ktp Buddhis apakah di sini saja sudah tersandung?
terlebih lagi alasan individualistik orang tsb tidak beralasan, apakah anggapan orang bahwa Buddhism mengajarkan individualistik benar adanya?
Tidak beralasan itu 'kan menurut anda, menurut orang lain. Menurut dia yang menjalani sendiri, mungkin beda. Bukankah justru orang yang memaksakan kehendak orang lain untuk ubah KTP adalah yang egois dan individualistik?

Saya selalu memegang bahwa Buddhisme adalah ajaran 'ke dalam'. Jadi ketika kita menghindari 'individualisme', nomor satu adalah melihat ke diri sendiri dulu apakah kita melakukan sesuatu demi kepentingan, keinginan individu kita atau tidak; bukan menilai orang lain individualistik karena tidak mau ikut keinginan kita. 

siswahardy

Quote from: ryu on 28 August 2012, 08:00:55 AM
di daerah saya vihara keknya banyak, mungkin ada 10 lebih dikit.
ini bener nih, satu kelurahan/kecamatan/kabupaten/provinsi?

Quote from: ryu on 28 August 2012, 08:00:55 AM
tapi umatnya keknya itu2 saja, di vihara ini ketemu, di vihara sana ketemu keknya jadi mubajir banyak vihara tapi umatnya itu2 saja dan malah jadinya menarik2 umat dengan cara promo2 tertentu :))
bener juga sih, saya pernah ketemu yg spt ini
tapi lain halnya dgn yg memang sama sekali ngak ada vihara kan?

Kelana

Pengakuan identitas Buddhis (melalui KTP atau survey atau sejenisnya) dapat digunakan sebagai data, dan data tersebut dapat digunakan oleh otoritas untuk mengetahui, menentukan berbagai hal seperti jumlah dana, bantuan berkaitan dengan umat Buddha, yang tidak mampu, yang terkena musibah. Penentuan pembangunan infrastruktur, sekolah, perpustakaan, dll.

Dengan adanya prasarana yang cukup baik, memadai, maka dapat memberikan, membentuk kondisi-kondisi yang baik untuk menunjang seseorang mengembangkan spiritualnya. Apakah menjamin spiritual seseorang berkembang? Bisa ya, bisa tidak, tergantung bagaimana seseorang memanfaatkan kondisi-kondisi baik tersebut. Hal ini sama dengan penjelasan Sang Buddha mengenai kekayaan yang dapat digunakan untuk membantu mengembangkan kebaikan untuk sesama dan makhluk lain. (Ä€diya Sutta, Anguttara Nikaya 5.41).

Jadi apakah pengakuan identitas diperlukan? Tergantung bagaimana dan sejauh mana seseorang dapat melihat kemanfaatannya untuk kebaikan di balik pengakuan identitasnya, bukan untuk dirinya semata tetapi untuk manfaat dan kebaikan pihak lain.

Demikian pendapat saya.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

siswahardy

Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2012, 08:37:36 AM
Seperti saya katakan, itu masuk dalam bahasan konteks sosial-budaya, dan setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Misalnya mau didirikan vihara yang 'buddha-nya masih tinggal seatap sama istri' di lingkungan saya dan disurvey quota, mungkin dari 'Budha' pun saya akan buru2 ke RT untuk ganti agama.
ngak perlu lah, kan tidak usah ikut tanda-tangan saja sudah cukup

Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2012, 08:37:36 AM
Tidak beralasan itu 'kan menurut anda, menurut orang lain. Menurut dia yang menjalani sendiri, mungkin beda. Bukankah justru orang yang memaksakan kehendak orang lain untuk ubah KTP adalah yang egois dan individualistik?

Saya selalu memegang bahwa Buddhisme adalah ajaran 'ke dalam'. Jadi ketika kita menghindari 'individualisme', nomor satu adalah melihat ke diri sendiri dulu apakah kita melakukan sesuatu demi kepentingan, keinginan individu kita atau tidak; bukan menilai orang lain individualistik karena tidak mau ikut keinginan kita.
ngak lah saya sih ngak ingin apa2 dlm hal ini, cuma mengemukakan suatu pemikiran
jgn2 orang tsb dipengaruhi sifat individualistik, makanya ngak bingung kalau dia bersikeras ngak perlu rubah ktp
satu lagi yg lebih parah nih, kalau orang tsb gembar-gembor pemikiran individualistik-nya ke sana-sini, bisa bahaya kan anggapan orang tentang Buddhism?

no offense