News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha!

Started by Peacemind, 20 February 2011, 03:23:34 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 09 March 2011, 08:56:05 AM
Tidak diperbolehkan oleh siapa?
banyaklah, oleh norma agama, norma sosial, hati nurani ;D
QuoteYa, betul. Tidak bisa dipukul rata, maka tidak bisa dikatakan 'tidak bisa tanpa sila'.
ya :)
Quote"Sila" atau "bukan sila" juga hanyalah kita yang mengkonsepkan. Kalau membahas lingkup tertentu, sila juga sebetulnya antara 'ada' dan 'tidak ada'. Katakanlah seorang sekuler murni+atheis/agnostik yang sama sekali tidak bersentuhan dengan agama, tidak mengembangkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin; dan karenanya, tidak pernah mencuri, membunuh, dll. Kalau ditanyakan ke orang itu apakah ia menjalankan 'sila', mungkin dia bingung luar biasa makhluk apakah "sila" itu. Di sini bisa dilihat bahwa sesuatu perbuatan dinilai 'sila' atau 'bukan sila' tergantung orang yang menilainya. "Keberadaannya" masih sangat kasar.
Jika vipassananya memang benar, saya rasa pasti hasilnya baik. Kalau bertambah buruk, tentu meragukan. Tetapi apakah pasti silanya benar? Kembali lagi seorang Mahasavaka yang terkemuka karena dikasihi para deva, masih 'berkata kasar' dengan memanggil orang "vasala" (=kasta paria, terbuang). Jika tetap berkutat pada 'ini sila, ini bukan', maka akan kesulitan untuk ke jenjang berikutnya.
itulah diperlukan panna, dimana kalau hanya "membeo" maka guru nya suruh terjun ke jurang diikuti juga lah =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Indra

Quote from: morpheus on 09 March 2011, 09:53:31 AM
saya yakin pembaca dan bang indra cukup cerdas dan mengerti maksudnya.
kalo gak, yah saya rasa penjelasan apapun gak bisa membuat mereka mengerti...
oh, ternyata buat acek ryu, merenungkan kasih tuhan itu vipassana...
dan setahu saya konteks dan topiknya adalah "belajar agama buddha tanpa harus menjadi umat buddha".

jujur saya mungkin telah salah memahami ketika pertama kali membaca, saya menangkap bahwa seorang mantan pencandu lebih baik daripada umat buddhis kebanyakan. benarkah pemahaman saya?

morpheus

Quote from: fabian c on 09 March 2011, 09:47:02 AM
Kalau saya pribadi beranggapan walau hanya berlindung pada Tiratana sudah dianggap umat Buddha, walaupun ia tak pernah belajar Dhamma.
klop. kalo secara formal mulai dari upasaka-upasika sampai pada bhikkhu-bhikkhuni.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 09 March 2011, 09:34:30 AM
Ada sebuah perbedaan mendasar dalam 'vipassana'-nya. ;D Ini adalah perbedaan yang paling utama:
- Dalam 'vipassana' yang satu, harus mengenal satu sosok dari satu kitab, agar bisa berhasil.
- Dalam 'vipassana' yang satu lagi, tidak perlu mengenal sosok tertentu, kitab tertentu, aturan tertentu. Hanya perlu merefleksikan apa yang memang dialaminya dalam hidup.


sama seperti meditasi perenungan, memusatkan pada satu konsentrasi, yang ini pada tuhan, dlam budis khan ada yang pada nafas, pada budo dll, dia juga merefleksikan apa yang di alaminya khan ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Quote from: Indra on 09 March 2011, 09:56:54 AM
jujur saya mungkin telah salah memahami ketika pertama kali membaca, saya menangkap bahwa seorang mantan pencandu lebih baik daripada umat buddhis kebanyakan. benarkah pemahaman saya?
sebenernya bisa saja, umat lain yang kelakuannya lebih baik, dia aladam di banding umat budis yang ngedrug, maka umat lain itu lebih budis daripada umat budis itu sendiri =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Quote from: morpheus on 09 March 2011, 09:53:31 AM
saya yakin pembaca dan bang indra cukup cerdas dan mengerti maksudnya.
kalo gak, yah saya rasa penjelasan apapun gak bisa membuat mereka mengerti...
oh, ternyata buat acek ryu, merenungkan kasih tuhan itu vipassana...
dan setahu saya konteks dan topiknya adalah "belajar agama buddha tanpa harus menjadi umat buddha".
kalau dalam postingan om kutu, biasanya dia bilang ada orang pedalaman yang tidak mengenal ajaran apapun tapi tindakannya aladam, maka dia lebih budis daripada umat budis kebanyakan ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Kelana

Quote from: Peacemind on 20 February 2011, 03:23:34 PM
Barusan saya lihat status di FB yang menghimbau agar seseorang belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha. Dalam himbauan tersebut, ada semacam kesan seakan-akan seseorang akan memperoleh manfaat yang diharapkan dengan mempelajari ajaran Buddha meskipun ia sendiri berasal dari agama lain. Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?

_/\_
Saya berpendapat, tergantung harapan orang tersebut mengenai apa. Jika harapannya agar uang turun dari langit, maka baik menjadi umat buddha sepenuhnya ataupun belajar agama Buddha tapi masih mengakui agama lain, tetap saja ia tidak akan memperoleh manfaatnya, uang tidak akan turun dari langit.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

fabian c

Bodhisatta ketika hidup di Jaman Sang Buddha Kassapa terlahir di keluarga Brahmana. Ketika itu ia jelas-jelas bukan pengikut Sang Buddha, bahkan beliau melecehkan Sang Buddha Kassapa (walaupun beliau belakangan menjadi Bhikkhu) Padahal pada waktu itu beliau sudah sangat matang dan sangat dekat pada Pencerahan Sempurna.

Tapi di masa-masa lampau di jaman Buddha-Buddha terdahulu sebelum Sang Buddha Kassapa, Beliau seringkali berlindung pada Tiratana bila bertemu SammasamBuddha.

Jadi apa kesimpulannya...? Setiap orang masih dalam proses bertahap yang mengarah pada perkembangan pengertian yang menuju pada pendewasaan/kematangan batin untuk dapat melihat segala sesuatu apa adanya. Ada yang perjalanannya masih jauh, ada yang sudah dekat.

Kadang kita melihat seseorang mungkin beragama lain dalam kehidupan ini, tapi kehidupan sebelumnya mungkin saja mereka adalah umat Buddha.

Yang penting dalam kehidupan ini adalah berusaha mengembangkan batin yang menuju pada lenyapnya dukkha.

Mettacittena,
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Quote from: Kelana on 09 March 2011, 10:09:50 AM
_/\_
Saya berpendapat, tergantung harapan orang tersebut mengenai apa. Jika harapannya agar uang turun dari langit, maka baik menjadi umat buddha sepenuhnya ataupun belajar agama Buddha tapi masih mengakui agama lain, tetap saja ia tidak akan memperoleh manfaatnya, uang tidak akan turun dari langit.

Menurut saya bila seseorang tidak mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha, maka tentu saja perjalanannya tidak akan secepat dibandingkan bila ia mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha.

Mettacittena,
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

K.K.

#114
Quote from: ryu on 09 March 2011, 10:04:56 AM
sama seperti meditasi perenungan, memusatkan pada satu konsentrasi, yang ini pada tuhan, dlam budis khan ada yang pada nafas, pada budo dll, dia juga merefleksikan apa yang di alaminya khan ;D
Kalau meditasi perenungan, belum tentu selalu objeknya adalah apa yang dialami. Misalnya perenungan terhadap deva, itu hanya dari 'denger-denger' dan 'baca-baca' saja. Begitu juga perenungan kematian juga bukan kita yang mengalami. Lagipula perenungan yang seperti itu termasuk dalam Samatha, bukan Satipatthana.

Dalam satipatthana, yang dijadikan objek itu tubuh, perasaan, pikiran, dan bentuk pikiran. Semua orang pasti tahu. Beda dengan kalau perenungan pada 'Tuhan', lagi-lagi orang sekuler tidak tahu apa itu "Tuhan".


Quote from: ryu on 09 March 2011, 10:08:26 AM
kalau dalam postingan om kutu, biasanya dia bilang ada orang pedalaman yang tidak mengenal ajaran apapun tapi tindakannya aladam, maka dia lebih budis daripada umat budis kebanyakan ;D
Betul. "Buddha" sendiri artinya 'tercerahkan', maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.


K.K.

Quote from: fabian c on 09 March 2011, 10:33:56 AM
Menurut saya bila seseorang tidak mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha, maka tentu saja perjalanannya tidak akan secepat dibandingkan bila ia mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha.

Mettacittena,
Menurut saya bisa jadi justru sebaliknya. Yang namanya kebenaran itu adalah netral. Apakah orang percaya atau tidak percaya, selama dia menyelidiki, tetap ia akan melihat kebenarannya. Sama seperti orang mengulurkan tangan untuk merasakan api, apakah dia percaya atau tidak percaya, pasti akan merasakan panas. Begitu juga orang percaya atau tidak omongan Buddha, selama dia benar menyelidiki dan mengikis keserakahan, kebencian & kebodohan bathin, dia pasti lebih bahagia.


fabian c

Quote from: Kainyn_Kutho on 09 March 2011, 10:40:20 AM
Kalau meditasi perenungan belum tentu apa yang dialami. Misalnya perenungan terhadap deva, itu hanya dari 'denger-denger' dan 'baca-baca' saja. Begitu juga perenungan kematian juga bukan kita yang mengalami. Lagipula perenungan itu termasuk dalam Samatha, bukan Satipatthana.

Dalam satipatthana, yang dijadikan objek itu tubuh, perasaan, pikiran, dan bentuk pikiran. Semua orang pasti tahu. Beda dengan kalau perenungan pada 'Tuhan', lagi-lagi orang sekuler tidak tahu apa itu Tuhan.

Betul. "Buddha" sendiri artinya 'tercerahkan', maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.


Maaf bro, bisakah diperjelas maksudnya yang warna biru...?

Mettacittena,
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

dilbert

Quote from: fabian c on 09 March 2011, 10:33:56 AM
Menurut saya bila seseorang tidak mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha, maka tentu saja perjalanannya tidak akan secepat dibandingkan bila ia mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha.
Mettacittena,

Setuju dan mau nambah...
Dan karena faktor-faktor pencerahan itu akan tetap sama apabila "pencerahan" itu di-capai walaupun dengan "embel-embel" mengikuti ajaran ataupun tidak mengikuti ajaran sama sekali, tetapi ketika di-runut ke belakang, ke historis, dan bahkan kalau bisa ke kehidupan2 lampau (jika si praktisi bisa mengingat kehidupan lampau dirinya sendiri maupun makhluk lain), maka akan di-dapatkan bahwa apa yang diajarkan oleh PARA BUDDHA sejak jaman dahulu, jaman sekarang maupun jaman yang akan datang adalah KESUNYATAAN TENTANG DUKKHA dan JALAN MENUJU LENYAPNYA DUKKHA.

Suka tak suka, mau gak mau, PENCERAHAN beserta faktor-faktor pencerahannya, kondisi-kondisi pencerahan itu menjadi TRADEMARK (REGISTER) dari Ajaran BUDDHA.
Bagi saya, WHAT THE HELL, ada yang tidak mau ngaku umat BUDDHA tetapi mengikuti ajaran BUDDHA. Not my business gitu. Mau ngaku terserah, gak mau ngaku yah juga terserah.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

fabian c

#118
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 March 2011, 10:47:05 AM
Menurut saya bisa jadi justru sebaliknya. Yang namanya kebenaran itu adalah netral. Apakah orang percaya atau tidak percaya, selama dia menyelidiki, tetap ia akan melihat kebenarannya. Sama seperti orang mengulurkan tangan untuk merasakan api, apakah dia percaya atau tidak percaya, pasti akan merasakan panas. Begitu juga orang percaya atau tidak omongan Buddha, selama dia benar menyelidiki dan mengikis keserakahan, kebencian & kebodohan bathin, dia pasti lebih bahagia.


Bro Kainyn yang baik, coba perhatikan apakah saya mengatakan percaya atau tak percaya...? Rasanya saya mengatakan belajar Ajaran Sang Buddha dan mempraktikkannya, bukan percaya atau tak percaya.
Apakah yang dimaksud dengan menyelidiki...? Bagaimana caranya menyelidiki...?

Apakah menyelidiki dan mengikis keserakahan, kebencian serta kebodohan batin bukan praktik...?

Mettacittena,
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

K.K.

Quote from: fabian c on 09 March 2011, 10:48:41 AM
Maaf bro, bisakah diperjelas maksudnya yang warna biru...?

Mettacittena,

Quote... maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.
Saya beri contoh yang simple saja yah.

Pada akhir masa dhamma Buddha Kassapa di mana 'Buddhisme' sudah mulai terlupakan, 7 orang memisahkan diri dari sangha, memanjat tebing dan bertekad tidak pergi kecuali telah mencapai pembebasan. Yang tertua menjadi Arahat, yang ke dua 'hanya' menjadi Anagami, dan bersama 5 orang lainnya mati kelaparan. Ketujuh orang ini jelas tidak ber-'tisarana' karena meninggalkan sangha resmi (yang notabene adalah sesuai tradisi). Tapi saya melihat ketujuh orang tersebut adalah Umat Buddha, ketimbang sangha resmi pada saat itu.