makan secukupnya

Started by Satria, 04 December 2010, 10:11:17 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Satria

dulu, saya pernah berkata kepada sahabatku, "Sobat, sesungguhnya kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan dan juga oleh orang yang kekurangan makan. Tidak pula bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak tidur maupun oleh orang yang kurang tidur. Sebagaimana yang saya fahami dari ajaran sang Buddha."

sahabatku berkata, "Ah masa sih? Ada referensinya? Jika belum jelas referensinya, aku belum percaya bahwa sang Buddha mengatakan hal seperti itu."

dalam hati saya bertanya, "mengapa orang tidak berusaha melihat substansi, tetapi justru lebih mengurusi bentuk? Mengapa referensi itu yang harus dia selidiki dan pertanyakan, mengapa tidak ia berusaha untuk melihat dan membuktikan sendiri, apakah benar kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan. Seakan-akan kebenaran hanyalah suatu referensi. Apakah segala pernyataan tidak akan dipercayai sebagai suatu bentuk kebenaran hanya karena tidak dikemukakan referensinya? Apakah orang tidak dapat membedakan mana ajaran sang Guru dan mana yang bukan tanpa melalui referensi? Apakah kita harus menjadi orang yang sibuk menghapalkan referensi-referensi agar apa yang kita sampaikan bisa diterima sebagai kebenaran?"

apakah sahabat tidak pernah membaca bait ini di dalam sutta :

Quote
Dengan cara bagaimana, O para bhikkhu, Nanda menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna jika tidak dengan menjaga pintu-pintu indera, dengan makan secukupnya saja, dengan mengembangkan kesadaran penuh dan dengan membangun kewaspadaan dan pemahamannya yang jernih?

El Sol

Gk jelas banget neh thread..=_="

Satria

Quote from: Sol Capoeira on 04 December 2010, 10:31:10 PM
Gk jelas banget neh thread..=_="

perlu diterjemahkan ya?

perhatikan teks ini :

Quote
Dengan cara bagaimana, O para bhikkhu, Nanda menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna jika tidak dengan menjaga pintu-pintu indera, dengan makan secukupnya saja, dengan mengembangkan kesadaran penuh dan dengan membangun kewaspadaan dan pemahamannya yang jernih?

saya tanya kepada siapa saja yang baca thread ini: "Apakah anda pernah membaca biat / kalimat tersebut di dalam sutta?"

El Sol


Satria


K.K.

(Samyutta Nikaya, Kosala Samyutta, Dutiya vagga) Donapaka Sutta (Seporsi Makanan)


Di Sàvatthi. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah memakan seporsi nasi dan kari. Kemudian, selagi masih kenyang, terengah-engah, Raja menghadap Sang Bhagavà, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavà, memahami bahwa Raja Pasenadi kenyang dan terengah-engah, pada kesempatan itu mengucapkan syair berikut:

"Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian,
Mengetahui kecukupan makanan yang ia makan,
Penyakitnya berkurang: Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya."


Pada saat itu, brahmana muda Sudassana sedang berdiri di belakang Raja Pasenadi dari Kosala. Raja kemudian berkata kepadanya: "Marilah, Sudassana, pelajarilah syair dari Sang Bhagavà ini dan ucapkan kepadaku ketika aku makan. Aku akan menganugerahkan seratus kahàpaõa kepadamu setiap hari secara terus-menerus."
"Baiklah, Baginda," Brahmana muda Sudassana menjawab.

Setelah mempelajari syair ini dari Sang Bhagavà, kapan saja Raja Pasenadi sedang makan, brahmana muda Sudassana melantunkan:. "Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian ...
Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya."

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala setahap demi setahap mengurangi konsumsi makanan hingga semangkuk kecil nasi. Pada kesempatan lain, ketika tubuhnya telah menjadi cukup langsing, Raja Pasenadi dari Kosala menepuk badannya dengan tangannya dan pada kesempatan itu, ia mengucapkan ungkapan inspiratif ini: "Sang Bhagavà menunjukan kasih sayang kepadaku sehubungan dengan kedua jenis kebaikan—kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan berikut."


Satria

ada enggak sutta yang membabarkan tentang "tidak boleh kurang tidur dan tidak boleh terlalu banyak tidur" ?

Asia

Quote from: Satria on 04 December 2010, 10:11:17 PM
dulu, saya pernah berkata kepada sahabatku, "Sobat, sesungguhnya kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan dan juga oleh orang yang kekurangan makan. Tidak pula bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak tidur maupun oleh orang yang kurang tidur. Sebagaimana yang saya fahami dari ajaran sang Buddha."

sahabatku berkata, "Ah masa sih? Ada referensinya? Jika belum jelas referensinya, aku belum percaya bahwa sang Buddha mengatakan hal seperti itu."

dalam hati saya bertanya, "mengapa orang tidak berusaha melihat substansi, tetapi justru lebih mengurusi bentuk? Mengapa referensi itu yang harus dia selidiki dan pertanyakan, mengapa tidak ia berusaha untuk melihat dan membuktikan sendiri, apakah benar kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan. Seakan-akan kebenaran hanyalah suatu referensi. Apakah segala pernyataan tidak akan dipercayai sebagai suatu bentuk kebenaran hanya karena tidak dikemukakan referensinya? Apakah orang tidak dapat membedakan mana ajaran sang Guru dan mana yang bukan tanpa melalui referensi? Apakah kita harus menjadi orang yang sibuk menghapalkan referensi-referensi agar apa yang kita sampaikan bisa diterima sebagai kebenaran?"

apakah sahabat tidak pernah membaca bait ini di dalam sutta :

Memang idealnya, sesuatu itu harus dibuktikan sendiri. Tapi terkadang, kebijaksanaan kita belum cukup untuk membuktikannya sehingga kita perlu tahu referensi-nya.

Misalnya ketika seorang bhante mengatakan, "ayo lanjutkan terus meditasimu, ini rintangannya, begini solusinya". Bukankah untuk mendedikasikan waktu dan tenaga dalam mengikuti petunjuk (yang tidak mudah) itu, kita perlu tahu bahwa bhante tersebut cukup capable ?

Jadi menurut saya, referensi kadang diperlukan, kadang tidak.

Peacemind

Dalam Ovadapatimokkha, mengetahui ukuran makan (mataññuta bhattasmiṃ) merupakan salah satu praktik penting dlm ajaran Buddha. Selain sutta di atas, manfaat mengetahui ukuran makan bisa dibaca di Bhaddali Sutta dan Laṭukikopama Sutta. Keduanya ada di dalam Majjhimanikāya.

Satria

saya heran. di sini tampaknya umat budhis menerima dan setuju, kalau kesucian tidak dapat dicapai oleh orang yang berlebihan dalam makan. mengapakah waktu itu, semua kawan budhisku menyangkal habis-habisan dan menyakitiku dengan kata-katanya, hanya karena kunyatakan "kesucian tak bisa diperole oleh orang yang kelebihan makan".

Indra

kesucian memang tidak diperoleh dengan makan berlebihan juga tidak dengan mengurangi makan. makan sedikit (secukupnya) hanya faktor pendukung, tapi yg menjadi penentu adalah latihan.

Satria

Quote from: Indra on 09 December 2010, 09:56:33 PM
kesucian memang tidak diperoleh dengan makan berlebihan juga tidak dengan mengurangi makan. makan sedikit (secukupnya) hanya faktor pendukung, tapi yg menjadi penentu adalah latihan.

pertanyaan saya begini : "orang yang tekun berlatih, mungkinkan ia tetap sebagai orang yang berlebihan dalam makan?"

Indra

porsi "secukupnya" berbeda untuk tiap-tiap orang, seorang yg tekun berlatih mungkin saja makan dalam jumlah yg menurut kita berlebihan tetapi itu adalah porsi g dibutuhkan oleh tubuhnya.

contoh: asterix cukup memakan sepotong paha babi, dan sudah merasa cukup, tetapi obelix harus menghabiskan 3 ekor babi baru cukup

Satria

 [at] Indra

terima kasih atas penjelasannya.

tapi hal yang ingin saya tanyakan adalah tentang "efek makan berlebihan" yang ada hubungannya dengan "pengertian porsi secukupnya" tersebut. bukan pula tentang arti "makan berlebihan".

ada perbedaan antara :

makan berlebihan dengan efek makan berlebihan
makan berlebihan dengan porsi makan secukupnya

apakah anda bisa melihat perbedaan itu?

Indra

#14
 [at] Satria,
ya sekarang saya melihat perbedaan itu, tapi bukan itu yg anda tanyakan pada postingan2 anda sebelumnya, bahkan kata "efek" baru muncul pada postingan terakhir anda. Maaf kalau saya terlalu lancang nimbrung tanpa memahami apa yg anda maksudkan, sampai sekarang pun saya masih tidak paham. silahkan lanjut, saya minggir dulu