News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Mbah Maridjan Meninggal

Started by kullatiro, 27 October 2010, 08:26:19 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

pannadevi

Quote from: johan3000 on 28 October 2010, 11:29:06 AM
Quote from: bond on 28 October 2010, 10:59:41 AM

Quote
memang tidak ada manfaatnya bagi siapapun, orang udah jelas2 disuruh ngungsi... namun tidak sama dikala ketemu falsafah jawa "sedoyo gesang kawulo ngabdi ngerso dalem"..... ;D

[at]  samaneri

Bisa diterjemahkan ke bahasa indonya  , yang saya bold biru sam?. Bahasanya kromo inggil  ora ngerti. ;D

Metta.

tebakan gw sih...
kalau udah ngabdi di kerajaan sultan (dalem), mati pun rela menjalankan tugas tsb.

apakah begitu ?

hehe... ;D

bro Saceng pinter deh...tapi sory baru kebaca setelah sy jawab pertanyaannya mr.Bond diatas...

pannadevi

Quote from: adi lim on 28 October 2010, 08:15:57 PM
Quote from: pannadevi on 27 October 2010, 10:29:28 PM
Quote from: daimond on 27 October 2010, 10:09:01 PM
oh abdi keraton toh? baru tahu. makanya aneh tah kok dah suruh mengungsi masih bandel tinggal di sana.

hehe... ;D

memang kita kadang sulit mengerti kok ada orang yg aneh2, tapi kalo kita mempelajari budaya mereka maka kita akan paham, misalnya dg cara mati mbah Maridjan ini, maka ketika kita membaca berita tsb seketika itu juga akan terlintas dibenak kita bhw ini orang mati konyol ato B**o, tp ketika kita mengetahui budayanya maka kita akan memahaminya, demikian pula dg budaya di Srilanka, ketika kita melihat video anggota monastik demonstrasi, maka kita pasti MENGHUJAT dan MENGUTUK perbuatan mereka, namun perlu dipelajari juga budaya latar belakangnya krn budaya ini telah berjalan sejak abad 3SM hingga saat ini berarti telah berlangsung selama lebih dari 2300 thn bhw Sangha memiliki power dlm masyarakat dan pemerintahan.

mettacittena,

saya tidak setuju 'budaya' para Bhikkhu unjuk rasa/demo dipertahankan walaupun sudah dua ribuan tahun.
bukankah tujuan jadi Bhikkhu adalah melatih diri ?


_/\_

bro Adi Lim yg baik,
memang tujuan menjadi bhikkhu adalah melatih diri, bukan untuk demonstrasi, sedangkan budaya negara lain BUKAN HAK kita untuk ikut campur, termasuk budaya di Tibet yg Kepala Negaranya adalah Dalai Lama yang juga notabene seorang bhikkhu, lantas kita tidak setuju khan seorang bhikkhu tidak boleh jadi Kepala Negara....saya mohon agar anda dpt memilah belajar dhamma dan kehidupan bernegara suatu bangsa. mereka menjalankan negara dan bangsa mereka itu adalah HAK mereka, saya masih jauh dari sempurna, saya membutuhkan belajar yg masih panjang sekali....

mettacittena,

pannadevi

Quote from: wiithink on 28 October 2010, 10:48:44 PM
salut ntuk kesetiaan mbah..

udah bisa di itung pake jari orang begini di dunia..

katanya, arah sujudnya mbah ke arah kraton yah..
membelakangi merapi. mungkin, wujud hormat terakhir kalinya ke kraton..

kain kafannya penuh darah, mungkin ditarik paksa kali yah, kaki dan tangan mbah marijan ntuk lurus dan bisa di kafanin.. kesian  :'(

waduhhh...harusnya manggil bro hatred dulu...klo di jampi2 ama orang Toraja (negaranya bro Hatred) malah bisa jalan sendiri lo... jadi ga perlu ditarik dg paksa...sebenarnya I***m pun ada doanya utk melenturkan jenasah, maka tubuh menjadi lentur mudah diposisikan apapun, kasihan juga ya...semoga beliau terlahir dialam bahagia...

mettacittena,

Adhitthana

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

johan3000

Detik-detik Mbah Maridjan Selamat dari Semburan Wedus Gembel
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Setya Krisna Sumargo/Bramasto Adhy/Mussafiq

BANGKA POS.COM, YOGYAKARTA – Kesepuhan Mbah Maridjan nyata adanya. Menghadapi kondisi luar biasa bahaya yang mengancam nyawa, ia masih tampak tenang bahkan mengeluarkan guyonan yang mampu mengalihkan sedikit kekhawatiran dari ancaman wedhus gembel yang mengintip.
Dengar saja jawabannya saat diwawancarai Kru Tribunnews.com yang berhasil menemuinya sesaat sebelum semburan awan panas menyergap ke kawasan Desa Kinahardjo, tempat Mbah Maridjan bermukim, Selasa (26/10/2010) sekitar 17.58 WIB atau beberapa menit sebelum awan panas mencapai kawasan desa itu.
Seolah ia mengalihkan pembicaraan soal seputar Merapi. Mbah Marijan pun mulai ndagel (berguyon) dan sama sekali tidak menyinggung soal letusan merapi.
Guyunan pun mengalir dari soal perempuan sampai soal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya saja, bagaimana dia mengaku merasa tidak kenal saat bertemu SBY entah dimana.
"Lha aku ketemu SBY yo ra srawung (Saya ketemu SBY juga tidak akrab, red)," katanya tanpa menceritakan dimana dan kapan dia bertemu presiden.
Pun begitu, sedikit banyak soal Merapi pun tersebut dalam wawancara tersebut. Menurutnya, banyak wartawan salah memilih sumber berita soal letusan merapi. Sebagai orang biasa, sama seperti warga lainnya di Kinarejo, Mbah Marijan tidak bisa memprediksi soal letusan Merapi. "Kalau mau tau kapan meletus, yo tanya BPPTK atau Vulkanologi," kata Mbah Marijan,
Meski begitu, menurut Itong, Anggota Pecinta Alam di Yogjakarta yang kemarin kebetulan ikut menemani Tribun ngobrol dengan Mbah Maridjan, beberapa kali dia selalu bilang, apapun yang terjadi dengan Merapi, kali ini bukanlah letusan yang sebenarnya.
"Harnya batuk saja, seperti tahun 2006 itu," kata Itong menirukan Mbah Marijan, kemarin, yang ditanggapi dengan diam oleh Marijan.
Tidak hanya itu, menurut Itong, letusan yang terjadi pada 2006 dan kali ini, hanyalah untuk mbangun. "Pastinya, saya tidak tahu apa maksudnya mbangun. Sebagai pendaki, memang setelah letusan 2006 dan guguran kali ini, bentuk merapi jadi berubah," tambahnya, tanpa mau menjelaskan makna supranaturalnya.
Selain guyonan soal SBY, Marijan juga banyak bercerita soal perempuan. Menurutnya, banyak orang yang datang padanya untuk minta pengasihan agar dapat dicintai perempuan.
"Kalau ingin punya istri atau suami, ya harus PCRN (pacaran, red), bukan minta apa-apa ke saya. Wong-wong ki do aneh (orang-orang ini memang aneh, red)," katanya.
Ia pun kemudan bercerita sedikit soal merapi dengan menggunakan pertanda hubungan laki-laki perempuan. Menurutnya, kalau suami istri sedang berhubungan seks, pasti ditutupi. Demikian juga dengan Merapi, saat bergejolak dia akan tertutup kabut.
"Yo Ngono kui (ya begitu itu)," jawab Marijan saat Tribun menanyakan jam berapa kira-kira Merapi bisa dipotret.
Sambil terus terkekeh-kekeh, beberapa cerita pun terus meluncur dari mulut Mbah Marijan, hingga akhirnya terdengar gemuruh cukup panjang sebagai tanda terjadi letusan. Saat itu, Mbah Marijan masih sempat melempar guyonan.
"Itu, batuk lagi," katanya sambil mohon pamit mau masuk ke dalam rumah untuk melihat televisi.
Belum lama dia menikmati televisi di dalam rumah, sejumlah orang dari tim SAR berdatangan, termasuk Tutus Priyono yang belakangan ditemukan tewas. Mereka meminta agar Mbah Marijan bersedia turun.
"Informasinya, mbah Maridjan mau turun," kata Adam, seorang anggota Tim SAR itu.
Namun sayang, saat persiapan sedang dilakukan, rombongan dari PT PLN datang dan bermaksud bertemu untuk minta nasihat. Karena rombongan itu membawa kamera, Mbah Maridjan pun enggan menemui, termasuk menolak untuk dievakuasi.
Dia memilih pergi ke Masjid yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya untuk melakukan Salat Maghrib. Keputusan yang akhirnya menyelamatkan nyawanya. Saat evakuasi, ia ditemukan selamat meski dalam keadaan lemas dan sesak napas di dalam masjid.
Beberapa menit setelah itu, saat Maridjan baru masuk ke dalam masjid, sirene tanda letusan berbunyi. Rombongan Tim SAR pun semburat, termasuk di antaranya beberapa orang dari PLN tersebut. (tribunnews)
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

johan3000

JAKARTA, KOMPAS.com Rabu, 27 Oktober 2010 | 08:24 WIB — Mbah Maridjan lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia mempunyai seorang istri bernama Ponirah (73), 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu, dan 6 orang cicit.
Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Mereka ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta.
Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Pada saat menjadi wakil juru kunci, Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi.
Sikapnya yang terkesan mbalelo itu semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan oleh Ngarsa Dalem.
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Elin

Quote from: pannadevi on 28 October 2010, 10:46:42 PM
iya sis Elin, memang semua Abdi Dalem spt itu, tidak hanya beliau aja, juru kunci makam raja2 itupun juga demikian, sayang tidak meletus, jadi tidak ada beritanya...hehe...

mettacittena,

waduh.. kalo makam tsb meletus mah bisa lari ampe pipis dicelana :))

Kelana

Quote from: wiithink on 28 October 2010, 10:48:44 PM
salut ntuk kesetiaan mbah..

udah bisa di itung pake jari orang begini di dunia..

katanya, arah sujudnya mbah ke arah kraton yah..
membelakangi merapi. mungkin, wujud hormat terakhir kalinya ke kraton..

kain kafannya penuh darah, mungkin ditarik paksa kali yah, kaki dan tangan mbah marijan ntuk lurus dan bisa di kafanin.. kesian  :'(

O Ic, pantas waktu pemakamannya saya lihat di tv kok ada bantal dan kain bercorak merah, sepertinya tidak lazim untuk orang mati, ternyata darah toh.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

bond

Kalau diperhatikan dengan seksama muka Mbah Maridjan mirip dengan tokoh pewayangan Semar apalagi kalau dia memakai belangkon  :)
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

HokBen

Quote from: pannadevi on 28 October 2010, 10:46:42 PM
Quote from: Elin on 28 October 2010, 11:06:04 AM
Salut thd kesetiaan nya sbg abdi dalem keraton..
Hebat banget..

Semoga ia bisa terlahir dialama yang lbh baik lagi.. _/\_

iya sis Elin, memang semua Abdi Dalem spt itu, tidak hanya beliau aja, juru kunci makam raja2 itupun juga demikian, sayang tidak meletus, jadi tidak ada beritanya...hehe...

mettacittena,

Dapet dari milis, yg salah satu topiknya juga lagi bahas seputar Alm. Mabh Maridjan. Memang pengabdian Abdi Dalem pada Keraton itu sungguh "dalem". :) dan sepertinya mereka (para abdi dalem) sangat memahami arti bersyukur...

Posted by: "siswantini_ss"
Thu Oct 28, 2010 6:50 pm (PDT)


Saya urun rembug dan setuju dengan pernyataan sdr Item. Saya sudah tahu dan kenal dg Mbah Maridjan sejak kuliah. Setiap teman2 mau ke Merapi, pasti mampir ke Kinahrejo. Dan sosok Mbah Maridjan tidak seperti yang digambarkan media massa selama ini. Dia sangat santun, ramah, dan senang bertanam. Malah kami sering mendapat jamuan sederhana. Tidak pernah berpikir neko-neko. Saat dia menjadi bintang iklan, tidak ada perubahan dalam sikap. Dia sosok sederhana dan bertanggungjawab terhadap tugas yang diembannya. Tapi kenapa justru skrg banyak org membenturkan dg kepentingan2 sesaat. Seorang abdi dalem, akan setia kepada raja yang mengangkatnya. Saya masih ingat saat Sri Sultan HB IX mangkat, seorang sais kuda yang mengiringi kepergian sang Raja mengungkapkan, hidup mati saya ikut dan patuh kepada Sinuwun (HB IX). Itulah kesetiaan dan tanggungjawab para abdi dalem yang gajinya tidak sampai Rp500 ribu, tapi kesetiaannya luar biasa. Mereka bahagia karena telah menjalankan tugas. Sebagaimana Mbah Maridjan contohkan. Dan hampir semua abdi dalem demikian sikapnya. Setia pd raja dan bertanggungjawab atas kewajiban yang dititahkan sang Raja.

Kebetulan saya punya dua paman yang sudah alm. Keduanya abdi dalem di Kraton Yogyakarta. Gaji yang diterima Rp100 ribu. Tapi setiap upacara sekaten, mendapat uang transport yang kalau dihitung dari ukuran orang Jakarta tidak cukup. Setiap upacara gunungan, ada uang transport Rp5000. Tapi apa kata paman-paman saya. Ini pemberian dari Ngarso Dalem, kami senang. Hidup adalah pilihan. Jangan kemudian dibenturkan dengan banyak opini masyarakat kosmopolitan. Dan sifat sederhana ini menjadi panutan masyarakat. Masyarakat tidak mengkultuskan, tapi menghormati karena keteladanan. Hidup sederhana, bertanggungjawab dan tidak korupsi.

Salam
SS
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

johan3000

ada yg bilang Marijan menukarkan nyawanya supaya gunung Merapi cuma batuk2, dan mucrat dikit aja...
(sekitar 15 org yg menunggu Marijan sholat dan mau turun kebawah akhirnya.... meninggal)

jangan dikira....ehhhh gunung mau meletus koq "bodoh" banget diatas, gak mau turun...


Nah gimana menurut member2 adakah info tambahan ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

pannadevi

Quote from: Elin on 29 October 2010, 10:40:18 AM
waduh.. kalo makam tsb meletus mah bisa lari ampe pipis dicelana :))

hehe...sis Elin lucuuu....

pannadevi

Quote from: bond on 29 October 2010, 01:11:34 PM
Kalau diperhatikan dengan seksama muka Mbah Maridjan mirip dengan tokoh pewayangan Semar apalagi kalau dia memakai belangkon  :)

soalnya mau mirip mr.bond takut diajak main pilem....ga mirip aja udah beberapa kali di shooting, klo mirip ama mr.bond bisa dikontrak ntar....hehe...

pannadevi

Quote from: HokBen on 29 October 2010, 03:34:00 PM
iya sis Elin, memang semua Abdi Dalem spt itu, tidak hanya beliau aja, juru kunci makam raja2 itupun juga demikian, sayang tidak meletus, jadi tidak ada beritanya...hehe...

mettacittena,


Dapet dari milis, yg salah satu topiknya juga lagi bahas seputar Alm. Mabh Maridjan. Memang pengabdian Abdi Dalem pada Keraton itu sungguh "dalem". :) dan sepertinya mereka (para abdi dalem) sangat memahami arti bersyukur...

Posted by: "siswantini_ss"
Thu Oct 28, 2010 6:50 pm (PDT)


Saya urun rembug dan setuju dengan pernyataan sdr Item. Saya sudah tahu dan kenal dg Mbah Maridjan sejak kuliah. Setiap teman2 mau ke Merapi, pasti mampir ke Kinahrejo. Dan sosok Mbah Maridjan tidak seperti yang digambarkan media massa selama ini. Dia sangat santun, ramah, dan senang bertanam. Malah kami sering mendapat jamuan sederhana. Tidak pernah berpikir neko-neko. Saat dia menjadi bintang iklan, tidak ada perubahan dalam sikap. Dia sosok sederhana dan bertanggungjawab terhadap tugas yang diembannya. Tapi kenapa justru skrg banyak org membenturkan dg kepentingan2 sesaat. Seorang abdi dalem, akan setia kepada raja yang mengangkatnya. Saya masih ingat saat Sri Sultan HB IX mangkat, seorang sais kuda yang mengiringi kepergian sang Raja mengungkapkan, hidup mati saya ikut dan patuh kepada Sinuwun (HB IX). Itulah kesetiaan dan tanggungjawab para abdi dalem yang gajinya tidak sampai Rp500 ribu, tapi kesetiaannya luar biasa. Mereka bahagia karena telah menjalankan tugas. Sebagaimana Mbah Maridjan contohkan. Dan hampir semua abdi dalem demikian sikapnya. Setia pd raja dan bertanggungjawab atas kewajiban yang dititahkan sang Raja.

Kebetulan saya punya dua paman yang sudah alm. Keduanya abdi dalem di Kraton Yogyakarta. Gaji yang diterima Rp100 ribu. Tapi setiap upacara sekaten, mendapat uang transport yang kalau dihitung dari ukuran orang Jakarta tidak cukup. Setiap upacara gunungan, ada uang transport Rp5000. Tapi apa kata paman-paman saya. Ini pemberian dari Ngarso Dalem, kami senang. Hidup adalah pilihan. Jangan kemudian dibenturkan dengan banyak opini masyarakat kosmopolitan. Dan sifat sederhana ini menjadi panutan masyarakat. Masyarakat tidak mengkultuskan, tapi menghormati karena keteladanan. Hidup sederhana, bertanggungjawab dan tidak korupsi.

Salam
SS
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

nah klo gini malah enak, diceritakan oleh yg ngalami sendiri langsung wlu melalui paman nya, lebih bisa detil...

nice post bro...sayang ga bisa kirim GRP...blm punya cukup amunisi...hehe...

mettacittena,