buddhisme dari kacamata kr****n dan propogandanya

Started by yanfei, 10 September 2010, 09:58:56 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

yanfei

Budhisme seperti halnya dengan Jainisme, berawal sebagai sebuah gerakan reformasi di dalam Hinduisme. Pendirinya adalah Sidharta (Siddhartha) Gautama, yang lahir kira-kira tahun 560 BC. di dalam kasta Ksatria (penguasa, pejuang) Hinduisme. Ayahnya, Suddhodana, adalah seorang  penguasa feudal, dan nama ibunya adalah Maya. Ketika Gautama berusia 16 atau 19, ia menikah dengan putri Yasodharma dan kemudian memperoleh seorang putra bernama Rahula. Kehidupan Gautama sangat mewah, namun ia menjadi tidak puas ketika berusia 20-an.

Legenda tentang 'Empat Pemandangan yang Lewat' menceritakan bagaimana ia menjadi sadar atas penderitaan dunia, meskipun orang tuanya berusaha menjauhi dia dari pergaulan dunia. Ia melihat seorang tua, seorang yang menderita penyakit, seorang yang mati, dan seorang rahib botak. Untuk pertama kalinya ia melihat penderitaan hebat itu ada, dan memilih jalan renunsiasi (melepaskan atau meninggalkan keduniawian).

Ketika Gautama berusia 29, ia meninggalkan keluarganya dan memulai 'langkah besar ke depan' untuk mencari pencerahan. Pertama-tama ia menyerahkan diri kepada guru-guru Hindu dan kemudian memutuskan untuk menjadi asketik (pertapa) sepenuhnya. Selama kira-kira enam tahun ia menjalankan penyangkalan-diri dan akhirnya hampir mati.

Ketika Gautama menyadari kesia-siaan asketikisme, ia mengembangkan prinsip (pengajaran) Jalan Tengah. Ia menjauhi dua hal ekstrim asketikisme dan turutannya dan melakukan meditasi yang khusuk. Dalam salah satu dari masa meditasi tersebut, ketika ia dudukdi bawah pohon ara, ia mencapai pencerahan. Ia mencapai nirwana pada saat masih hidup. Pada saat itu (525 BC.) ia menjadi Budha, Yang Diterangi, dan pohon dimana ia duduk dikenal dengan sebutan Pohon Bo atau Bodhi (Pohon Hikmat).

Dalam 45 tahun kemudian, Gautama membentuk kelompok pemuridan inti yang besar jumlahnya dan menyebarkan pengajarannya di India Utara. Murid-muridnya bukan saja mengenal dia sebagai Budha, tetapi juga Sakyamuni (orang bijak dari Sakya), Tathagata (orang yang mempersembahkan dupa), Pemenang Kebenaran, dan Bhagara (Tuhan). Ia meninggal karena keracunan makanan ketika berusia kira-kira 80 tahun (sekitar tahun 480 BC.)

Pendekatan agama Gautama sangat berbeda dengan Hinduisme dimana ia berasal. Hinduisme di satu sisi telah melahirkan spekulasi filosofis kosong dan perselisihan, di sisi yang lain menciptakan polytheisme, ritual, magis dan tahyul yang kasar. Otoritas untuk kebenaran merupakan hak khusus kasta yang tertinggi. Gautama menyerang sistem kasta dan menolak segala bentuk spekulasi, ritual dan okultisme.

Budhisme dibangun di atas Empat Kebenaran Agung: (1) Hidup penuh dengan kesakitan dan penderitaan (dukkha). Hal ini dapat dilihat di dalam kelahiran, penyakit, kerapuhan, kematian, adanya hal-hal yang dibenci, dan perpisahan dengan hal-hal yang dikasihi. Bahkan kekuatan-kekuatan yang menyatukan kehidupan (skanda) juga penuh dengan penderitaan. Yang termasuk dalam hal ini adalah tubuh, kepekaan, pikiran, perasaan dan kesadaran. (2) Penderitaan disebabkan oleh tanha, napsu atau haus akan kesenangan, pengakuan, dan kekayaan. (3) Penderitaan dapat diatasi dengan menghapuskan keinginan-keinginan tersebut. (4) Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti Delapan Jalan.

Delapan Jalan merupakan sebuah sistem therapi yang dirancang untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang akan melepaskan manusia dari keterbatasan yang disebabkan oleh kebodohan dan keinginan. Setiap pengikut harus bergabung ke dalam sebuah kelompok (Sangha) dan bersekutu dengan murid-murid Budha yang lain. Delapan Jalan terdiri dari: (1) pengetahuan yang benar/baik (Empat Kebenaran Agung); (2) aspirasi (maksud/tujuan) yang benar/baik; (3) bicara yang benar/baik (mengatasi kebohongan dan menyebarkan kebenaran); (4) perilaku yang benar/baik ; (5) hidup yang benar/baik (pekerjaan-pekerjaan tertentu harus dihindari, misalnya menjual budak, pemungut pajak, atau tukang jagal); (6) berusaha yang benar/baik; (7) pikiran yang benar/baik (mawas diri); dan (8) meditasi yang benar/baik (teknik Raja Yoga).

Perilaku yang baik (No. 4) mencakup lima ajaran yang melarang membunuh, mencuri, membohong, berzinah, dan minum minuman keras. Ada lima lagi ajaran tambahan yang mengikuti selama musim perayaan suci dan oleh beberapa biara: tidak boleh makan pada waktu-waktu yang dilarang; tidak boleh menari, mendengar musik, atau menghadiri pertunjukan teater; jangan menuruti keinginan akan dandanan pribadi (menggunakan kosmetik dan perhiasan); jangan menggunakan tempat tidur yang lebar atau tinggi; jangan menerima emas atau perak.

Setiap anggota Sangha juga harus menggunduli kepalanya, memakai jubah kuning, melakukan meditasi, dan mengikrarkan Tiga Naungan (Perlindungan): (1) Aku bernaung di dalam Budha, (2) Dharma (doktrin), dan (3) Sangha (kelompok).

Tujuan setiap orang Budha adalah pencapaian nirwana. Walaupun kata ini berarti 'memadamkan' atau 'mematikan', namun kata itu tidak berimplikasi penghapusan, tetapi bermakna pelepasan dari penderitaan, napsu, dan membatasi diri. Pengajaran asli Gautama adalah tentang nirwana, bukan Allah atau surga, karena sistemnya yang tidak memberi tempat bagi Allah. Yang Absolut sepenuhnya impersonal (tak berpribadi), dan keselamatan dicapai hanya melalui usaha sendiri.

Gautama mengambil-alih pengajaran kembar Hindu mengenai transmigrasi (samsara) dan karma ke dalam doktrinnya. Namun, ia memodifikasikan makna transmigrasi dengan menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai jiwa (anatta). Tidak ada pengajaran tentang ketekunan diri atau substansi melalui reinkarnasi, tetapi hanya serangkaian perasaan, kesan, dan kekinian. Tujuan orang suci (arhat) Budha adalah menjadi independen (terlepas) dari sebab-akibat alam, memiliki kesadaran penuh dan makhluk total. Inilah yang disebut pencerahan.

Gautama menyebut lima resiko mental dan 10 belenggu yang harus diatasi sebelum si orang suci dapat mencapai tujuannya. Beberapa di antara belenggu tersebut adalah: percaya diri, percaya keberhasilan perbuatan baik, menginginkan suatu kehidupan masa depan di surga, kesombongan dan kebodohan. Ketika sesorang pada akhirnya mencapai nirwana, ia terbebas dari reinkarnasi selanjutnya dan terlepas dari hukum karma.

Setelah kematian Gautama, Budhisme berkembang lambat di barat-laut India sampai tahun 265 BC., ketika diterima oleh Asoka, kaisar India. Asoka bertanggungjawab atas awal pertumbuhan Budhisme yang dramatis di India dan menyebarkannya ke negeri-negeri lain. Budhisme menjadi sebuah agama misi dan dengan sangat cepat berkembang di seluruh Asia.

Namun sebelum Budhisme menyebar ke negeri-negeri lain, ia telah terbagi menjadi kelompok konservatif dan dan liberal. Kelompok Budhisme konservatif dikenal dengan nama Theravada (Jalan Para Sepuh), atau Budhisme Hinayana (Wahana Rendah/Hina). Kelompok ini dikenal dengan Budhisme Selatan, karena sangat kuat di Srilangka, Myanmar, Thailand, dan Kamboja. Budhisme Theravada mengikuti kanon kitab suci orisinil yang ditulis dalam Bahasa Pali dan dinamakan Tripitaka, atau Tiga Keranjang. Kanon itu terdiri atas Vinaya (hukum dan ketentuan kebiaraan Budhisme), Sutra (khotbah dan pengajaran Budha), dan Adhidharma (penafsiran filosofis atas pengajaran Budha). Pertama kali diteruskan secara lisan, Tripitaka belum diturunkan ke dalam bentuk tertulis sampai sekitar empat abad setelah kematian Gautama.

Kelompok Budhisme liberal disebut Budhisme Mahayana (Wahana yang  Lebih Tinggi), atau Budhisme Utara. Kelompok ini sangat kuat di Nepal, China, Korea, Jepang, Tibet dan Indonesia. Terdapat banyak perbedaan yang menyolok antara Budhisme Theravada (Hinayana) dan Mahayana, sehingga boleh dikatakan lebih seperti dua agama yang terpisah daripada dua cabang agama yang sama. Berikut adalah beberapa perbedaan tersebut:

Theravada secara konservatif mempertahankan kanon Bahasa Pali dan catatan pengajaran Budha yang mula-mula; Mahayana lebih liberal dan benar-benar menekankan kehidupan Budha.

Theravada memperhatikan pengertian dan hikmat (bodhi); Mahayana memperhatikan perasaan dan belas-kasihan (karuna).

Theravada mengajarkan bahwa setiap orang bertanggungjawab atas diri sendiri dan keselamatan harus dicapai dengan usaha sendiri; Mahayana mengajarkan bahwa keselamatan seseorang tergantung kepada belas-kasih yang lain.

Theravada merupakan jalan segelintir orang, karena  ia berpusat pada renunsiasi (penyangkalan diri) dan sistem kebiaraan. Itulah sebabnya ia dinamakan Wahana Hina; hanya sedikit orang yang mempunyai harapan untuk mencapai nirwana. Mahayana merupakan jalan banyak orang (Wahana Yang Lebih Tinggi), karena dapat diikuti oleh orang-orang biasa.

Yang ideal bagi Theravada adalah orang suci (arhat), dan Budha dipandang sebagai arhat. Yang ideal bagi Mahayana adalah Kebudhaan (Budha dipandang sebagai seorang juruselamat, bukan sekedar orang suci) atau sang Bodhisattva. Bodhisattva adalah orang yang sudah berada di batas nirwana, namun menolaknya agar bisa menolong atau menjadi juruselamat manusia.

Di dalam Mahayana, keselamatan dicapai dengan menyandarkan iman kepada Gautama (yang telah terangkat menjadi dewata) dan berbagai Bodhisattva. Ini sebagian bisa diperoleh dengan mengulang dan menyebut nama mereka. (Kebetulan Mahayana telah mengembangkan sebuah jalur Budha yang utuh, yang semuanya dapat ditelusuri sampai kepada Dharmakaya, Budha yang kekal. Budha yang akan dating adalah Maitreya.)

Theravada berusaha menghindari spekulasi kosmologis; Mahayana telah memperkenalkan gambar surga dan neraka yang sebenarnya.

Theravada secara esensial adalah atheistik; Mahayana politheistik dan penyembah berhala.

Theravada hanya menggunakan Tripitaka (kitab suci orisinil Budha); Budhisme Mahayana telah menambahkan banyak kitab ke dalam kanon tersebut.

Sayangnya, kebanyakan gambaran Mahayana yang terdahulu itu hanya secara umum, karena Mahayanisme mempunyai banyak bentuk, sekte dan sub-sekte. Perbedaan antara beberapa sekte tersebut kadang-kadang sama besarnya dengan perbedaan antara Budhisme Theravada dan Mahayana. Kita hanya bisa menjangkau sedikit dari sekte-sekte yang paling penting dari Budhisme Mahayana.

(1)     Pure Land Buddhism (Budhisme Negeri Murni). Budhisme menyebar di China tidak lama setelah masa Kristus, namun ia tidak banyak berkembang sampai abad keempat, ketika Budhisme menyebar ke Korea. Korea memperkenalkannya ke Jepang pada abad keenam. Menariknya, sementara Budhisme menyebar ke negeri lain, ia mulai merosot di daerah asalnya India. Pada abad ke-13 praktis Budhisme menghilang disana. Kebanyakan karena terserap ke dalam Hinduisme, karena Mahayanisme kehilangan banyak keistimewaannya ketika bergeser dari pengajaran asli Gautama.

Budhisme Negeri Murni, yang menjadi popular di China dan Jepang, berfokus kepada Budha yang disebut Amitabha di India, Omito Fu di China, dan Amida di Jepang. Keselamatan adalah dengan menyandarkan iman di dalam Budha Amida dan melantunkan namanya, dimana seseorang dapat mencapai Negeri Murni, sebuah firdaus yang diciptakan oleh Amida di Barat. Bentuk Mahayanisme ini menarik banyak orang karena pendekatan keselamatannya dan gambarannya yang gamblang mengenai surga dan neraka.

(2)     Budhisme Zen. Kelompok ini sangat bertentangan dengan dengan Budhisme Negeri Murni, dan sebenarnya lebih dekat dengan Budhisme Theravada. Dalam Zen, keselamatan hanya dapat dicapai melalui diri sendiri. Para pemeluknya berusaha keluar dari keterbatasan bahasa dan pikiran, dan mencari suatu pengalaman supranatural atau cahaya intuisi yang dikenal dengan satori.

Kata Zen adalah bahasa Jepang yang sama dengan kata Bahasa China ch'an, yang merupakan terjemahan dari Kata Sansekerta dhyana. Dhyana mengacu kepada meditasi yang menuntun kepada pengertian/pengetahuan/wawasan. Penganut Budhisme Zen mempraktekkan meditasi duduk (zazen) dengan menggunakan posisi teratai. Mereka juga menggunakan sejumlah permasalahan yang tidak masuk akal (koan) untuk mencengangkan pikiran orang yang bermeditasi. Hal tersebut akhirnya melemahkan pikiran dan membuka jalan bagi cahaya intuitif (satori). Walaupun Zen sangat individualistis, murid yang serius harus mengikuti seorang guru Zen, yang menjadi penasehat bagi meditasinya (ini disebut sanzen).

Zen mempunyai pengaruh yang mendalam pada kebudayaan Jepang, termasuk lukisan pemandangan dan taman, penataan bunga, dan upacara minum teh. Hal ini juga menjadi populer di Amerika dalam beberapa terakhir.

(3)     Budhisme Nichiren. Nichiren (1222-1282) mendasarkan bentuk Budhisme ini pada Sutra Teratai Kebenaran. Ia menyerang setiap bentuk Budhisme di Jepang, dengan menyatakan bahwa Keselamatan hanya dapat ditemukan di dalam Sutra Teratai. Kelompok ini kemudian menjadi sekte Budhisme yang nasionalistis, militan, dan emosional.

(4)     Budhisme Tibet (Lamaisme). Budhisme menyebar ke Tibet sekitar abad ke-7. Disana agama tersebut bercampur dengan okul dan agama Tibet yang magis, sehingga membentuk sebuah sekte Budhisme khusus yang dikenal dengan Lamaisme – pendeta agama ini dinamakan Lama. Pucuk pimpinan sistem hierarkhis ini adalah Dalai Lama, seorang yang disembah sebagai inkarnasi dari seorang Bodhisattva. Lamaisme juga meliputi penyembahan berbagai Budha, Bodhisattva dan roh-roh. Para pemeluknya menggunakan roda doa, kincir, ritual dan mantera-mantera rahasia.

Kebangkitan Komunisme sangat mempengaruhi Budhisme di kebanyakan negeri di Asia. Misalnya di China, pengaruh Budhisme terhadap kebudayaan sangat merosot karena Komunisme. Namun Budhisme Dunia tetap berkembang.

Evaluasi Alkitabiah

Seperti yang sudah kita catat, saat ini di dunia terdapat banyak bentuk Budhisme yang berbeda. Di Jepang sendiri terdapat kira-kira 200 sekte dan sub-sekte. Oleh karena itu, apapun yang dikatakan tentang Budhisme sebagai keseluruhan adalah pandangan yang sangat umum atas semua aliran pemikiran dan praktek yang saling bertentangan.
Di dalam Budhisme tidak ada tempat bagi doktrin tentang Allah, manusia, dosa, keselamatan, atau kebangkitan yang alkitabiah. Kebanyakan sekte Budhisme adalah politheistik, pantheistik, atau atheistik.
Beberapa sekte telah mengabaikan rasionalitas (Budhisme Zen), sementara lainnya mengembangkan kemiripan yang dangkal (superfisial) dengan agama kr****n, misalnya Budhisme Amida, yang berbicara tentang keselamatan oleh iman, bukan perbuatan. Ia menggunakan istilah-istilah seperti lahir-baru dan perubahan hidup. Setan telah mengembangkan banyak kekr****nan palsu/tiruan, tetapi tak satupun yang benar-benar dapat menghadapi dan mengatasi masalah dosa.
Hal-hal Yang perlu Diingat

Orang kr****n harus mengatasi banyak kendala pada saat berusaha menginjil orang Budha, apapun latar-belakang sekte Budhisme dari orang yang ditemui itu. Oleh karena itu, orang percaya harus bersandar pada tuntunan dan kuasa Roh Kudus. Karena masalah tentang dosa telah luntur di dalam Budhisme. Orang kr****n yang bersaksi kepada orang Budha perlu berdoa untuk pelayanan yang berbuah di dalam Roh Kudus dalam meyakinkan orang yang tidak percaya adanya dosa, kebenaran dan penghakiman.
Jika seorang kr****n mempunyai peluang untuk melayani secara reguler dengan orang Budha dimanapun dia berada, secara bersamaan ia mempunyai tanggungjawab untuk belajar dan memahami bentuk-bentuk Budhisme yang dihadapinya. Ia harus bertanya dengan tulus, dengan pertanyaan yang bersahabat untuk mendapat informasi dan klarifikasi. Dengan cara ini seorang kr****n dapat menentukan keyakinan orang lain dengan tepat sekaligus menunjukkan ketertarikannya yang sungguh-sungguh kepada orang itu. Ia dapat menentukan pandangan tentang Allah dan keselamatan dari orang Budha itu (yakni, apakah melalui perbuatan sendiri atau pertolongan dari yang lain).
Orang percaya perlu mencari pandangan yang sama dan sedapat mungkin membangunnya. Presentasi yang positif dan jelas tentang pernyataan Kristus dan kemenangannya atas dosa dan maut jauh lebih efektif daripada mengkritik kelemahan Budhisme. Ini bukan berarti bahwa orang percaya tidak perlu waspada terhadap kelemahan-kelemahan tersebut, karena ada saatnya hal-hal tersebut harus diangkat. Disini ada tiga hal:
(a)     Kitab Suci dan perkataan Budha yang berhubungan dengan Gautama ditulis kira-kira 4 abad setelah kematian Budha. Tidak ada cara lain untuk percaya bahwa hal itu benar-benar perkataan Gautama. Pada saat Kitab Suci itu ditulis, Budhisme terpecah dalam banyak sekte yang bertentangan.

(b)     Bentuk Budhisme apa yang diikuti oleh seseorang? Perbedaan antara sekte-sekte Budha lebih besar dibandingkan dengan banyak agama lainnya. Pertanyaan tentang otoritas sangat penting disini.

(c)     Kristus dengan jelas menawarkan keselamatan kepada para pengikutnya. Budhisme tidak. Dikatakan bahwa perkataan terakhir dari Gautama sebelum kematiannya adalah: "Budha hanya menunjukkan jalan – usahakanlah keselamatanmu dengan tekun."

Salah satu kesulitan yang harus siap dihadapi orang kr****n adalah masalah keeksklusifan pernyataan Kristus.
Kesulitan lainnya yang harus dihadapi, misalnya di negara seperti Jepang, adalah jalan Budhisme telah demikian melekat dalam kebudayaannya. Ia lebih merupakan sebuah pedoman hidup daripada sebuah agama.


sumber : http://www.semarang-ministry.org/budhisme/#more-65

little tigers


ryu

(1)     Pure Land Buddhism (Budhisme Negeri Murni). Budhisme menyebar di China tidak lama setelah masa Kristus, namun ia tidak banyak berkembang sampai abad keempat, ketika Budhisme menyebar ke Korea. Korea memperkenalkannya ke Jepang pada abad keenam. Menariknya, sementara Budhisme menyebar ke negeri lain, ia mulai merosot di daerah asalnya India. Pada abad ke-13 praktis Budhisme menghilang disana. Kebanyakan karena terserap ke dalam Hinduisme, karena Mahayanisme kehilangan banyak keistimewaannya ketika bergeser dari pengajaran asli Gautama.

Budhisme Negeri Murni, yang menjadi popular di China dan Jepang, berfokus kepada Budha yang disebut Amitabha di India, Omito Fu di China, dan Amida di Jepang. Keselamatan adalah dengan menyandarkan iman di dalam Budha Amida dan melantunkan namanya, dimana seseorang dapat mencapai Negeri Murni, sebuah firdaus yang diciptakan oleh Amida di Barat. Bentuk Mahayanisme ini menarik banyak orang karena pendekatan keselamatannya dan gambarannya yang gamblang mengenai surga dan neraka.

jangan2 amitabha itu yesus =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

yanfei

propaganda ini sepertinya telah dipraktekan oleh salah satu member dc ini, dengan mengaku pernah belajar buddhisme, berusaha memperkenalkan kr****n diforum ini

Xcript

#4
Huahahaha.....
tulisan yang bikin gua ngakak lebar gan.... huahahaha....
Sama sekali ga ada pemahaman sedikitpun tentang Buddhisme.
Semua yang dijabarkan hanya teori2 & cerita sejarah tentang
Buddhisme belaka, hanya omongan kosong dan tidak berfaedah.

Apa yang si penginjil itu pahami tentang Buddhisme amat amat
sekali lagi amat sangat dangkal. Tidak ada sesuatu yang khusus
yang ia pahami dari Buddhisme. Bahkan di setiap tulisannya, ia
"SALAH" menjabarkan / menjelaskan tentang Buddhisme.....
ckckck....

Sepertinya si penginjil harus lebih banyak belajar lagi kalau mau :D
Tapi.... takutnya setelah ia belajar lebih dalam lagi tentang Buddhis,
dia yang awalnya dari "domba" malah jadi "babi"... :D
Kesembuhan itu datang dari obat yang sangat pahit

Kelana

Quote from: yanfei on 10 September 2010, 09:58:56 AM
Budhisme seperti halnya dengan Jainisme, berawal sebagai sebuah gerakan reformasi di dalam Hinduisme. Pendirinya adalah Sidharta (Siddhartha) Gautama, yang lahir kira-kira tahun 560 BC. di dalam kasta Ksatria (penguasa, pejuang) Hinduisme. .........

Tulisan yang kontradiksi. Ini sebuah bukti kegagalan penulis untuk memahami Buddhisme. Yang dibahas Buddhisme atau Budhisme, Budha atau Buddha? Kegagalan lainnya adalah mengenai hal berikut:

QuoteBudhisme Theravada mengikuti kanon kitab suci orisinil yang ditulis dalam Bahasa Pali dan dinamakan Tripitaka, atau Tiga Keranjang. Kanon itu terdiri atas Vinaya (hukum dan ketentuan kebiaraan Budhisme), Sutra (khotbah dan pengajaran Budha), dan Adhidharma (penafsiran filosofis atas pengajaran Budha). Pertama kali diteruskan secara lisan, Tripitaka belum diturunkan ke dalam bentuk tertulis sampai sekitar empat abad setelah kematian Gautama.

Jika yang dimaksud adalah Buddhisme, ini adalah bentuk kegagalan pertama dalam memahami Buddhisme. Theravada menggunakan kitab bahasa Pali yang seluruhnya disebut dengan Tipitaka bukan Tripitaka. Ini bukti bahwa penulis tidak bisa membedakan mana yang bahasa Pali mana yang bahasa Sanskerta. Kemudian kumpulan ketiga adalah Abhidhamma bukan Adhidharma. Berbeda arti antara Adhi dengan Abhi. Ini bukti penulis tidak berdasarkan fakta yang akurat. Penulis juga tidak menyebutkan kitab yang digunakan oleh Mahayana, ini membuktikan dangkalnya pengetahuan penulis akan Buddhisme.

QuoteTheravada merupakan jalan segelintir orang, karena  ia berpusat pada renunsiasi (penyangkalan diri) dan sistem kebiaraan. Itulah sebabnya ia dinamakan Wahana Hina; hanya sedikit orang yang mempunyai harapan untuk mencapai nirwana. Mahayana merupakan jalan banyak orang (Wahana Yang Lebih Tinggi), karena dapat diikuti oleh orang-orang biasa.

Ini adalah bentuk kegagalan kedua dalam memahami Buddhisme. Apakah Mahayana tidak ada penyangkalan diri? apakah Christianity tidak ada penyangkalan diri? Tidak ada kebiaraan?  Dalam Theravada ada istilah berpusat kepada sistem kebiaraan semata, dalam Theravada ada jalan Ke-Arahat-an dimana semua dapat menempuhnya dan meraih Nibbana dan juga ada jalan Sammasambuddha yang sama seperti Mahayana.

QuoteBudhisme Tibet (Lamaisme). Budhisme menyebar ke Tibet sekitar abad ke-7. Disana agama tersebut bercampur dengan okul dan agama Tibet yang magis, sehingga membentuk sebuah sekte Budhisme khusus yang dikenal dengan Lamaisme – pendeta agama ini dinamakan Lama. Pucuk pimpinan sistem hierarkhis ini adalah Dalai Lama, seorang yang disembah sebagai inkarnasi dari seorang Bodhisattva. Lamaisme juga meliputi penyembahan berbagai Budha, Bodhisattva dan roh-roh. Para pemeluknya menggunakan roda doa, kincir, ritual dan mantera-mantera rahasia.

Jika yang dimaksud adalah Buddhisme, ini adalah bentuk kegagalan ketiga dalam memahami Buddhisme. Pertama, tidak ada sekte Lamaisme. Kata "lama" merupakan istilah untuk mereka yang mahir dalam agama/spiritual (guru agama). Jadi apapun agamanya, mereka yang mengajar agama di Tibet akan di panggil dengan sebutan Lama. Kerancuan istilah "Lama" ini berawal dari kedatangan bangsa asing ke Tibet yang tidak bisa membedakan mana yang Buddhisme dan mana yang Bon. Menggunakan kerancuan yang sudah berlangsung lama ini merupakan suatu kebodohan si penulis. Mengapa gegabah? karena di era informasi dimana internet sebagai gudang informasi mudah untuk diakses tetapi si penulis masih menggunakan kerancuan seperti ini. Apalagi yang bisa dicantumkan kepada sikap seperti ini selain menyebutnya sebagai sikap gegabah, mungkin secara halusnya : gaptek.

Dan masih banyak lagi kegagalan lainnya dalam memahami Buddhisme.

QuoteOrang kr****n harus mengatasi banyak kendala pada saat berusaha menginjil orang Budha, apapun latar-belakang sekte Budhisme dari orang yang ditemui itu. Oleh karena itu, orang percaya harus bersandar pada tuntunan dan kuasa Roh Kudus. Karena masalah tentang dosa telah luntur di dalam Budhisme. Orang kr****n yang bersaksi kepada orang Budha perlu berdoa untuk pelayanan yang berbuah di dalam Roh Kudus dalam meyakinkan orang yang tidak percaya adanya dosa, kebenaran dan penghakiman.

Ini adalah bukti bahwa penulis merupakan salah satu Christiani yang beriman lemah, mungkin juga tidak beriman. Mengapa tidak beriman? Karena telah tertulis dalam Efe 2: 8-10 yaitu keberadaan iman seseorang itu adalah pemberian tuhan bukan hasil usaha orang. Jadi tidak perlu repot-repot dengan untuk merubah iman seseorang. Jika yang bersangkutan berusaha merubah iman seseorang maka ia sudah berusaha menandingi kuasa tuhannya sendiri.

Demikian
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Nevada

Tidak perlu lagi menunjukkan kesalah-tahuan dari penulis mengenai Buddhisme di atas... Sepertinya memang penulis hendak membenturkan antra sekte yang diakui sebagai Buddhisme di dunia ini, sekaligus menunjukkan "denah" Buddhisme kepada teman-teman Kristiani lainnya.

Bagi teman-teman Kr1sten yang membaca tulisan ini, jika berkenan menginjili kami di sini; silakan lakukan. Saya berjanji Anda akan tahu seperti apa Buddhisme sesungguhnya itu.

seniya

Quote from: upasaka on 14 September 2010, 06:49:58 PM
Tidak perlu lagi menunjukkan kesalah-tahuan dari penulis mengenai Buddhisme di atas... Sepertinya memang penulis hendak membenturkan antra sekte yang diakui sebagai Buddhisme di dunia ini, sekaligus menunjukkan "denah" Buddhisme kepada teman-teman Kristiani lainnya.

Bagi teman-teman Kr1sten yang membaca tulisan ini, jika berkenan menginjili kami di sini; silakan lakukan. Saya berjanji Anda akan tahu seperti apa Buddhisme sesungguhnya itu.

dihubungkan dengan kutipan dari artikel di atas:

QuoteBentuk Budhisme apa yang diikuti oleh seseorang? Perbedaan antara sekte-sekte Budha lebih besar dibandingkan dengan banyak agama lainnya. Pertanyaan tentang otoritas sangat penting disini.

Menurut saya juga menjadi "problem" dalam Buddhisme saat ini sehingga banyak umat Buddhis kebingungan mana aliran yang mengandung ajaran Buddha yang benar. Terlepas dari bahwa dalam agama tetangga sendiri juga terdapat banyak perpecahan aliran, bagaimana kita sebagai umat Buddhis membentengi diri dari pernyataan penginjil di atas?
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Nevada

Quote from: seniya on 14 September 2010, 07:36:36 PM
Quote from: upasaka on 14 September 2010, 06:49:58 PM
Tidak perlu lagi menunjukkan kesalah-tahuan dari penulis mengenai Buddhisme di atas... Sepertinya memang penulis hendak membenturkan antra sekte yang diakui sebagai Buddhisme di dunia ini, sekaligus menunjukkan "denah" Buddhisme kepada teman-teman Kristiani lainnya.

Bagi teman-teman Kr1sten yang membaca tulisan ini, jika berkenan menginjili kami di sini; silakan lakukan. Saya berjanji Anda akan tahu seperti apa Buddhisme sesungguhnya itu.

dihubungkan dengan kutipan dari artikel di atas:

QuoteBentuk Budhisme apa yang diikuti oleh seseorang? Perbedaan antara sekte-sekte Budha lebih besar dibandingkan dengan banyak agama lainnya. Pertanyaan tentang otoritas sangat penting disini.

Menurut saya juga menjadi "problem" dalam Buddhisme saat ini sehingga banyak umat Buddhis kebingungan mana aliran yang mengandung ajaran Buddha yang benar. Terlepas dari bahwa dalam agama tetangga sendiri juga terdapat banyak perpecahan aliran, bagaimana kita sebagai umat Buddhis membentengi diri dari pernyataan penginjil di atas?

Perbedaan ajaran yang ada di antara sekte-sekte Buddhisme memang sewajarnya membuat kebingungan bagi banyak umat Buddha. Salah satu sumber kebingungan ini adalah kurangnya pengetahuan akan ajaran yang ada di tiap sekte Buddhisme. Sebagai umat Buddha, sebaiknya kita mencari tahu dan memelajari ajaran dari tiap sekte Buddhisme. Dengan berbekal pengetahuan ini, kita bisa menimbang untuk menilai yang mana yang merupakan "ajaran Buddha yang benar".

Biarlah para umat Buddha memilih sendiri sekte mana yang ia yakini. Namun ketika berhadapan dengan penginjil, semua umat Buddha sebaiknya bereaksi sebagai satu kesatuan dari penganut Buddhisme. 

yanfei

Kenapa Umat Buddha Masih Banyak Yang Pindah Agama?
Oleh Pandita Aryananda. S.
Mempelajari Ajaran (Dhamma) Sang Buddha jangan hanya kulitnya saja; kupaslah intisarinya; disana kita akan menemukan Kebenaran dan Kebahagiaan tertinggi.

Di negara kita dewasa ini terdapat lima agama besar yang mengalami perkembangan pesat. Dan kita tidak asing lagi mendengar masing-masing umat dari agama tersebut "menyeberang" ke agama lain atau kita kenal dengan pindah agama. Salah satu diantaranya adalah agama Buddha. Meskipun banyak kemajuan dan perkembangan, masih tetap ada kendala-kendala yang harus dihadapi umat Buddha sendiri, seperti adanya sebagian orang yang mengaku dirinya beragama Buddha tetapi sama sekali tidak mengenal Ajaran Sang Buddha. Dari sini dapat dimaklumi bila mereka masih belum yakin sepenuhnya pada Ajaran Sang Buddha, sehingga mudah tergoda untuk "menyeberang" dan memeluk agama lain.

Ada lagi yang mengatakan bahwa agama Buddha mengajarkan hal-hal yang suram, dan tidak mengenal kebahagiaan duniawi. Mereka menganggap umat Buddha memandang hidup ini secara pesimis; mereka sungguh memerlukan penjelasan yang tepat dan benar.

Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha juga menguraikan tentang kebahagiaan hidup berumah tangga, disamping kebahagiaan orang yang meninggalkan kehidupan duniawi; baik kebahagiaan dalam keterikatan maupun kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan; kebahagiaan jasmaniah dan kebahagiaan bathin.

Seorang umat Buddha akan menemukan kenyataan bahwa segala kebahagiaan (duniawi) diatas bersifat sementara (Anicca). Jadi jelaslah bahwa agama Buddha tidaklah pesimis seperti anggapan orang, melainkan bersifat realitis, aktual dan memandang hidup ini secara wajar atau apa adanya.

Di kalangan generasi muda juga sering ditemukan kendala-kendala, yang menghambat karma baik mereka untuk mengenal Buddha Dharma. Mereka sering terikat pada kesenangan semata, tanpa memperdulikan Kebahagiaan sejati. Apabila harapan mereka tidak tercapai mereka akan kecewa, frustasi dan tenggelam lebih jauh di dalam jurang kebodohan.

Salah satu kendala yang sering terlihat adalah bila seorang umat Buddha kebetulan memadu kasih dengan seorang penganut agama yang berbeda. Sering umat Buddha itu dengan mudahnya pindah agama, agar tetap bisa melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.

Agama Buddha tidak pernah menarik umat dengan janji-janji muluk, pun tidak melarang umatnya untuk pindah agama. Seseorang bebas, dan berhak memilih agama yang dianggapnya paling benar dan sesuai dengan kepribadiannya. Tetapi apakah dengan pindah agama, urusan akan selesai?

Kita sering mendengar ajaran Sang Buddha yang membahas tentang Anicca, yang menyatakan segala sesuatu yang terdiri dari perpaduan unsur-unsur bersifat tidak kekal, selalu berubah. Kehidupan manusia juga begitu, suatu saat kita pasti akan berpisah dengan apa yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, selalu berubah-ubah, menuju kehancuran.

Sang Buddha mengajarkan kita "Ehipassiko", yaitu undangan untuk dating dan melihat. Bila seseorang datang dan melihat (membuktikan) kebenaran Dharma dengan cara mempraktekkannya, ia akan menerapkan dan menjadikan ajaran Sang Buddha sebagai pedoman hidupnya. Dalam ajaran Sang Buddha tidak pernah dikatakan kepada kita datang hanya untuk percaya, tetapi datang untuk menyelidiki dan membuktikan kebenarannya. Menyelidiki dan membuktikan ajaran Sang Buddha tidak merupakan karma buruk atau berdosa seperti dalam ajaran agama lain, malahan hal itu dianjurkan oleh Sang Buddha sendiri, seperti yang Beliau katakan dalam Kalama Sutta:

"Jangan menerima sesuatu hanya karena wahyu,
Jangan menerima sesuatu hanya karena tradisi yang turun temurun,
Jangan menerima sesuatu atas dasar khabar angin,
Jangan menerima sesuatu hanya karena kitab suci,
Jangan menerima sesuatu hanya berdasarkan logika,
Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar,
Jangan menerima sesuatu hanya karena sesuai dengan gagasan,
Jangan menerima sesuatu hanya karena sipembicara orang baik,
Jangan menerima sesuatu hanya karena hal itu disampaikan oleh seorang guru,
Tetapi setelah diamati dan di periksa dengan teliti, kemudian engkau temukan hal itu sebagai sesuatu yang beralasan, berguna dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain maka terimalah dan jadikanlah hal tersebut sebagai pedoman hidup".

Jika ada orang yang menghina agama Buddha janganlah kita marah atau membencinya, sebab dari zaman Sang Buddha sampai saat ini dalam perkembangannya agama Buddha tidak pernah menggunakan kekerasan yang menimbulkan penderitaan bagi umat manusia dan mahkluk-makhluk lainnya. Jangan kita samakan agama Buddha dengan agama lain yang mendapat hinaan dari orang lain, lantas marah, benci, emosi bahkan dapat terjadi pertumpahan darah. Dalam agama Buddha tidak ada istilah "perang suci", karena bagaimanapun perang akan membawa penderitaan seperti korban pembunuhan dan penganiayaan.

Sang Buddha dengan sifat welas asih-Nya mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa apabila ada yang merendahkan diri-Nya (Buddha), Dhamma dan Sangha maka janganlah marah, emosi, tersinggung atau benci, sebaliknya jika ada yang memuji diri-Nya janganlah bahagia, bersukacita. Jika kedua hal itu dilakukan maka akan merugikan diri kita sendiri dan akan menghambat diri kita untuk mencapai tingkat kesucian. Marilah kita lihat khotbah Sang Buddha dalam Brahmajala Sutta ;

"Para bhikkhu, bilamana orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha; janganlah karena hal itu kamu membenci, dendam, atau memusuhinya. Bilamana karena hal itu kalian marah atau tersinggung, maka akan menghalangi jalan pembebasan diri kalian. Apakah kalian dapat merenungkan ucapan mereka itu baik atau buruk?"

"Tidak demikian, Sang Bhagava"

"Tetapi, bila mana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami dan bukan kami."

"Tetapi, para bhikkhu, bilamana ada orang yang memuji Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal tersebut kamu merasa bangga, gembira, dan bersuka cita. Bila kalian bersikap demikian, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri kalian. Bilamana orang lain memuji Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha maka kalian harus menyatakan apa yang benar dan menunjukkan faktanya dengan mengatakan, berdasarkan hal ini atau itu, ini benar, itu memang benar, hal itu ada pada kalian dan benar pada kalian."

Umat sering memandang, bahwa agama Buddha sangat terikat pada karma; dan didorong oleh ketakutannya akan Hukum Karma, ketakutan dalam menghadapi kenyataan dan tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga ia pindah ke agama lain. Apakah masalahnya akan selesai begitu saja? Apakah setelah pindah agama lantas ia tidak menderita lagi?

Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa suatu perbuatan akan menghasilkan karma apabila adanya cetana atau kehendak untuk melakukannya. Sabda Sang Buddha ini terdapat dalam Anguttara Nikaya III : 415 :

"O bhikkhu, kehendak berbuat (cetana) itulah yang Kunamakan karma." Ada agama lain yang tidak percaya pada Hukum Karma tetapi mereka percaya pada balasan dari Tuhan. Sebenarnya balasan dari Tuhan itulah sebenarnya Hukum Karma (Hukum perbuatan). Dari sinilah penulis berpendapat, bahwa secara tidak langsung agama lain pun meyakini Hukum Karma, disamping masih percaya dan berpegang teguh pada takdir, sehingga meskipun pindah agama, Hukum Karma masih tetap berlaku pada kita.

Jika seorang umat Buddha mengatakan bahwa ia tidak pernah bahagia dalam agama Buddha kemudian pindah ke agama lain, maka hal ini adalah wajar-wajar saja. Jika umat tersebut mengatakan demikian apakah ia mengenal ajaran Sang Buddha atau sekedar agama Buddha KTP atau Tradisi? Penulis yakin jika umat yang belajar Dharma dengan tekun dan rajin serta sering mengikuti kebhaktian maka dia tidak akan pernah dapat dipengaruhi untuk pindah agama. Hanya umat Buddha KTP dan tradisilah yang paling sering pindah ke agama lain karena janji yang muluk-muluk dari agama tersebut.

Ada agama yang menyebarkan ajarannya dengan bujuk rayu dengan janji-janji muluk. Bahkan penyebarannya dari rumah-kerumah, demikianlah mereka mencari umat dengan cara mengobral ke sana-sini tanpa mengenal lelah. Jika ada umat Buddha yang tidak berpengetahuan tentang agama Buddha, akan mengikuti agama mereka.

Agama Buddha tidak pernah mengobral ajaran Sang Buddha ke sana-sini dengan tujuan mencari umat, karena agama Buddha meyakini Hukum Karma, jika orang tersebut mempunyai kaitan karma dengan agama Buddha maka ia akan datang dan tidak akan beralih lagi.

Penulis berpendapat bahwa umat Buddha yang mudah pindah agama disebabkan oleh :
Kurangnya pengetahuan tentang agama Buddha. (Umat Buddha KTP & Tradisi).
Tidak menggunakan logikanya atau akal sehat terhadap janji-janji muluk.
Terpaksa (misalnya umat Buddha sakit dan ingin berobat atau pinjam uang ke orang beda agama, orang tersebut akan meminjamkan uang bahkan akan membantunya jika si sakit pindah ke agamanya).
Seorang umat Buddha yang baik harus mempunyai prinsip dan tidak mudah tergoyahkan oleh isu-isu yang merusak. Jika ada informasi-informasi yang mencemarkan agama Buddha, buktikan dan selidikilah sesuai yang tercantum didalam Kalama Sutta. Sang Buddha juga menyatakan dalam Dhammapada tentang prinsip sesorang bijaksana; Dhammapada ; Bab VI : 81, Orang Bijaksana, "Laksana sebuah batu karang yang tak tergoyahkan angin, maka demikian pula para bijaksana tak tergoyahkan oleh celaan dan pujian".

Saya harapkan kepada seluruh umat Buddha , pada zaman sekarang ini banyak sekali cara-cara yang digunakan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mempromosikan ajarannya dengan janji yang muluk-muluk dan mencaci maki ajaran yang lain. Semua ajaran itu tidak akan mempengaruhi kita jika kita menerimanya dengan analisa yang lebih mendalam. Yakinlah saudara-saudari se-Dharma bahwa tidak ada ajaran yang dapat membuat kita suci tanpa usaha dari kita sendiri. Walaupun ajarannya bagus tetapi kita malas mempraktekkannya juga sia-sia. Suci atau tidaknya adalah tergantung pada diri kita sendiri. Seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam Dhammapada Bab XII : 165 tentang Diri Sendiri ;

"Oleh diri sendiri Kejahatan dilakukan,
Oleh diri sendiri pula seseorang ternoda,
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci,
Suci atau tidak suci itu tergantung pada diri sendiri,
Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain."

Jika ada ajaran yang mengatakan dengan ditisarana atau dibaptis bisa langsung suci, kaya dan sebagainya tanpa melalui usaha, ini adalah omong kosong.

Demikianlah naskah ini saya buat. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Semoga semua makhluk hidup dalam keadaan tenang, tentram, sejahtera dan berbahagia.

Sabbe satta averahontu, Sabbe satta bhavantu sukkhitatha...

Sadhu...Sadhu,....Sadhu,.....

[ Dikutip dari Majalah Manggala edisi 40 tahun 1993 ]

morpheus

wajar sajalah kalo kristian gak bisa memahami buddhisme.
wong buddhis sendiri aja banyak yang berpikiran sama kayak tulisan di atas...

Quote from: upasaka on 14 September 2010, 08:43:23 PM
Perbedaan ajaran yang ada di antara sekte-sekte Buddhisme memang sewajarnya membuat kebingungan bagi banyak umat Buddha. Salah satu sumber kebingungan ini adalah kurangnya pengetahuan akan ajaran yang ada di tiap sekte Buddhisme. Sebagai umat Buddha, sebaiknya kita mencari tahu dan memelajari ajaran dari tiap sekte Buddhisme. Dengan berbekal pengetahuan ini, kita bisa menimbang untuk menilai yang mana yang merupakan "ajaran Buddha yang benar".

Biarlah para umat Buddha memilih sendiri sekte mana yang ia yakini. Namun ketika berhadapan dengan penginjil, semua umat Buddha sebaiknya bereaksi sebagai satu kesatuan dari penganut Buddhisme. 
selama ada penyakit "eksklusifitas" sekte masing2, kebingungan akan terus berlanjut.

yg theravada bilang ajaranku yang murni, mahayana penuh tahyul dan karangan belakangan.
yg mahayana bilang ajaranku lebih kaya dan luas, theravada itu egois dan sempit.
kurang rumit, malah nambah satu lagi, buddhayana itu paling toleran, thera dan maha itu picik.

pemuka agama juga bukannya membantu, malah mempengaruhi secara negatif, menambah semangat eksklusifitas tadi, tanpa ada pemahaman yang benar mengenai sekte ataupun pemahaman lain... bagi mereka, cara pandangku paling bener, pemahamanku paling yahud...

ps: cult buddhisme tidak termasuk di sini.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Nevada

Quote from: morpheus on 15 September 2010, 10:36:59 AM
wajar sajalah kalo kristian gak bisa memahami buddhisme.
wong buddhis sendiri aja banyak yang berpikiran sama kayak tulisan di atas...

selama ada penyakit "eksklusifitas" sekte masing2, kebingungan akan terus berlanjut.

yg theravada bilang ajaranku yang murni, mahayana penuh tahyul dan karangan belakangan.
yg mahayana bilang ajaranku lebih kaya dan luas, theravada itu egois dan sempit.
kurang rumit, malah nambah satu lagi, buddhayana itu paling toleran, thera dan maha itu picik.

pemuka agama juga bukannya membantu, malah mempengaruhi secara negatif, menambah semangat eksklusifitas tadi, tanpa ada pemahaman yang benar mengenai sekte ataupun pemahaman lain... bagi mereka, cara pandangku paling bener, pemahamanku paling yahud...

ps: cult buddhisme tidak termasuk di sini.

Kebingungan seperti itu justru menurut saya perlu. Sebab pada case tertentu, "ragu pangkal cerah!". Dengan adanya keraguan dan kebingungan umat Buddha terhadap antar sekte Buddhisme, di sanalah akan tumbuh subur suatu sikap berpikir kritis. Pemikiran kritis tiap orang tentulah berbeda. Namun paling tidak, dengan adanya pemikiran kritis ini, umat Buddha bisa menimbang sekte mana yang lebih cocok dengan dirinya.

Sebenarnya "persaingan" antar sekte tidak hanya terjadi di Buddhisme, namun di semua agama. Bedanya, "persaingan" antar sekte di Buddhisme tidak pernah melahirkan kekerasan ataupun pertumpahan darah. Seumpanya ada, itu pun hanya segelintir oknum yang populasinya sangat kecil. Ini suatu hal yang bisa dibanggakan. 

Persaingan antar sekte adalah urusan internal Buddhisme. Mari kita selesaikan urusan dapur ini bersama. Namun jika kita berhadapan dengan tetangga, kita sebaiknya bersikap sebagai satu kesatuan. Jika pihak tetangga "hendak" mengadu-domba antar sekte di Buddhisme seperti ini, kita tidak perlu membalas dengan cara mengadu-domba antar aliran mereka. Inilah sikap-sikap yang perlu kita terapkan sebagai fondasi awal umat Buddha.

morpheus

ngerti maksud anda dan saya setuju...
setiap orang memang harus mengkritisi dan pada akhirnya memilih ajaran mana yang lebih cocok buat dirinya...

yang saya maksudkan itu bukan kita harus menganut ajaran dan semua sekte dan menganggapnya benar, tapi minimal ada pengertian mengenai latar belakang ajaran sekte2 lain... yang saya lihat, persaingan sekte2 itu sudah tidak sehat tanpa ada usaha untuk mencoba mengerti sekte lain. jangankan antar sekte, antar vihara saja saya melihat sendiri persaingan yg ada. dan semua ini hanya saya lihat sangat menyolok di indonesia...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

ryu

Quote from: morpheus on 15 September 2010, 10:36:59 AM
wajar sajalah kalo kristian gak bisa memahami buddhisme.
wong buddhis sendiri aja banyak yang berpikiran sama kayak tulisan di atas...

Quote from: upasaka on 14 September 2010, 08:43:23 PM
Perbedaan ajaran yang ada di antara sekte-sekte Buddhisme memang sewajarnya membuat kebingungan bagi banyak umat Buddha. Salah satu sumber kebingungan ini adalah kurangnya pengetahuan akan ajaran yang ada di tiap sekte Buddhisme. Sebagai umat Buddha, sebaiknya kita mencari tahu dan memelajari ajaran dari tiap sekte Buddhisme. Dengan berbekal pengetahuan ini, kita bisa menimbang untuk menilai yang mana yang merupakan "ajaran Buddha yang benar".

Biarlah para umat Buddha memilih sendiri sekte mana yang ia yakini. Namun ketika berhadapan dengan penginjil, semua umat Buddha sebaiknya bereaksi sebagai satu kesatuan dari penganut Buddhisme. 
selama ada penyakit "eksklusifitas" sekte masing2, kebingungan akan terus berlanjut.

yg theravada bilang ajaranku yang murni, mahayana penuh tahyul dan karangan belakangan.
yg mahayana bilang ajaranku lebih kaya dan luas, theravada itu egois dan sempit.
kurang rumit, malah nambah satu lagi, buddhayana itu paling toleran, thera dan maha itu picik.

pemuka agama juga bukannya membantu, malah mempengaruhi secara negatif, menambah semangat eksklusifitas tadi, tanpa ada pemahaman yang benar mengenai sekte ataupun pemahaman lain... bagi mereka, cara pandangku paling bener, pemahamanku paling yahud...

ps: cult buddhisme tidak termasuk di sini.

ps juga, justru cult memanfaatkan kelemahan itu ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Nevada

Quote from: morpheus on 15 September 2010, 12:34:48 PM
ngerti maksud anda dan saya setuju...
setiap orang memang harus mengkritisi dan pada akhirnya memilih ajaran mana yang lebih cocok buat dirinya...

yang saya maksudkan itu bukan kita harus menganut ajaran dan semua sekte dan menganggapnya benar, tapi minimal ada pengertian mengenai latar belakang ajaran sekte2 lain... yang saya lihat, persaingan sekte2 itu sudah tidak sehat tanpa ada usaha untuk mencoba mengerti sekte lain. jangankan antar sekte, antar vihara saja saya melihat sendiri persaingan yg ada. dan semua ini hanya saya lihat sangat menyolok di indonesia...

Menurut saya juga demikian, Kita perlu mencari tahu latar belakang suatu sekte, memelajari ajarannya, dan pada akhirnya menimbang dan memutuskan sesuai dengan kecocokan diri masing-masing. Namun tidak bisa dipungkiri, ada juga teman-teman yang menilai bahwa semua sekte Buddhisme itu cocok dengan dirinya. Jadi... memilih satu, dua, tiga atau semua sekte; lagi-lagi adalah kebebasan tiap pribadi semua orang.

Saya sendiri jarang mengikuti perkembangan vihara-vihara, jadi saya kurang tahu sudah setajam apa persaingannya. Saya pikir hal yang seperti ini juga terjadi di agama lain. Namun, meminjam istilah dari "tetangga": setiap musibah / hal buruk pasti bisa diambil hikmahnya. :)