News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Moralitas

Started by Pitu Kecil, 04 March 2008, 11:23:58 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Pitu Kecil

Kata Pengantar

Moralitas

Namo Buddhaya,

Pembaca yang Mulia, kehidupan menunjukkan sebagian manusia terlena dengan kekuasaan / kekuatan yang sedang di milikinya, sehingga sifat ke TUHAN an dalam bathin praktis terkikis tanpa disadarinya.

Nilai MORAL, BUDI & nilai KEBAJIKAN, Serta nilai KEPANTASAN telah disingkirkan demi meraih sebuah kesenangan yang sangat singkat. Bahkan meragukan keberadaan TUHAN, BUDDHA, BODHISATTVA & MAHASATVA. Mengakibatkan seseorang cenderung menggoreskan Dukkha ke dalam kehidupan orang lain, dan dalam kehidupan orang tuanya sendiri ( Durhaka ). Tetapi... Ketika ia menunai karma perbuatannya, ia menyalahkan LANGIT & BUMI tanpa berinstropeksi diri atas kwalitas perbuatan yang telah ditaburi sepanjang jalan yang telah dilaluinya.

Dari tragedi kehidupan inilah yang memotivasi penulis untuk menulis kisah-kisah yang sarat dengan pesan Moral, agar kita dapat lebih memahami, mengamalkan dan mempraktekkan BUDDHA DHAMMA. Serta menyadari kekeliruan kita selama ini dan berubah menjadi lebih baik. Sehingga kita dapat bertindak bijaksana disaat yang tepat dengan mendengarkan Suara Hati yang Luhur & Mulia.

Pada Mulanya buku Moralitas ini ditulis berdasarkan panggilan Suara Hati seseorang untuk berbagi sedikit pengalaman dengan mengungkapkan berbagai liku-liku kehidupan serta terjangan badai yang pernah dilalulinya, dengan harapan para Pembaca bijkasana dapat mengambil hikmah bermanfaat darinya.

Seiring perjalanan sang waktu, berkat keagungan cinta kasih TUHAN, BUDDHA, BODHISATVA & MAHASATTVA yang telah mengetuk pintu Hati keluruhan para Muliawan, Penggalang Dhamma dana / Donatur yang budiman, sehingga pencetakan dan penyebaran buku Moralitas dapat terlealisasi serta berkesinambungan. Sehingga berbagai misi kebajikan dapat dilakukan dari sebagian Dhamma dana yang terhimpun.

Ketika Pembaca yang luhur ber Dhammadana untuk pencetakan buku Moralitas pada saat itu Anda telah turut berperan dalam misi kebajikan yang kami lakukan. Tanpa dukungan dari Para Muliawan, Penggalang Dhamma dana / Donatur yang mulia, Moralitas tidak lebih dari butiran debu di udara.

Kisah-kisah di dalam buku ini merupakan apa yang ditunjukkan kehidupan kepada kita. Mengenai kegelapan bathin, pilar-pilar keluhuran dan kemuliaan yang telah runtuh diantara generasi sekarang. Dimana setiap perhubungan disamakan seperti rumah tangga untuk menapakkan kaki dan naik ke atas. Namun... ketika tangga itu tidak digunakan lagi, ia akan segera dibuang ke dalam gudang dan berbaur dengan berbagai barang rongsokan tua.

Karena penulis bukanlah novelis, sehingga tulisan dibuku ini sangatlah sederhana dan masih jauh dari sempurna.

Alangkah berbahagia apabila seluruh umat manusia :
Tidak melakukan segala perbuatan yang tidak bersedia dialaminya.

Semoga kita dapat berinstropeksi diri dan meneladani sifat ke TUHAN an serta membangkitkan BUDDHA sejati didalam bathin kita, agar dapat direalisasikan dengan perbuatan, dimanapun kita berada. Semoga Sang Tri Ratna Senantiasa memberikan cahaya penerangan kepada kita, dalam menelusuri perjalanan yang penuh dengan liku-liku kehidupan ini.

Akhir kata, Semoga semua makhluk hidup terbebas dari penderitaan dan mendapatkan berkah kebahagiaan tak terbatas serta bersama lahir di alam bahagia.

Medan, 15 Oktober 2007.

Drs. Margun Tanjung, S.E
Smile Forever :)

Pitu Kecil

#1
Karma suka Berbohong

Di Negara China terdapat suatu daerah hamparan pegunungan hijau bernama Kui Lim. Di antara kaki pegunungan hijau yang membentang, mengalirlah sungai Lie Ciang yang airnya jernih sehingga dasar sungai berbatuan jelas terlihat.
Sunga Lie Ciang merupakan sumber kehidupan bagi para penduduk untuk mengaliri sawah atau ladang mereka dan sebagai jalur transportasi.

Pada suatu pagi hari yang cerah, langit biru bersih disertai angina semilir bertiup perlahan membawa aroma rerumputan hijau. Di atas pegunungan yang berselimut rumput hijau, sayup-sayup terdengar alunan suara seruling yang merdu, bersumber dari seruling yang dimainkan seorang anak gembala domba bernama Cong Hui. Seperti biasanya, setiap pagi hari Cong Hui selalu membantu kedua orang tuanya menggembalakan domba-dombanya di atas gunung. Sedangkan kedua orang tuanya mengurusi ladang mereka. Saat domba-dombanya memakan rumput, Cong Hui pun mengeluarkan seruling bambu pemberian kakeknya. Ia meniupkan lagu-lagu kenangan yang menghanyutkan pikirannya di saat kakek tercinta masih bersama mereka. Semua itu telah berlalu bersama mimpi terdahulu. Cong Hui yang masih kekanak-kanakan sering juga merasa jenuh menunggui domba-dombanya.

Hingga pada suatu hari pikiran jenuhnya berhasil dipengaruhi oleh mara untuk mempermainkan para petani yang sedang bekerja di sawah di bawah kaki pegunungan Kui Lim. Cong Hui melangkah menuju ke bibir tebing dan berteriak minta tolong kepada para petani. "Tolonoong, tolooong, ada segerombolan serigala hendak memakan dombaku, tolooong," teriak Cong Hui ke bawah kaki pegunungan secara berulang-ulang.

Mendengar teriakan minta tolong Cong Hui, para petani yang sedang bekerja di sawah dan ladang segera menyingsingkan lengan baju mereka untuk menolong Cong Hui. Dengan membawa cangkul, bajak, parang dan tombak, para petani bergegas berlari menuju ke atas gunung. Sesampainya di atas gunung, para petani mendapati Cong Hui sedang duduk di bawah pohon sambil tertawa terbahak-bahak. "Ha – ha – haaa... Betapa bodohnya kalian semua, dapat ditipu oleh seorang anak kecil. Ha – ha – haaa..." kata Cong Hui di sela ketawanya.

Dengan nafas yang masih memburu akibat letih berlari, salah seorang petani dengan marah berkata, "Kurang ajar kau, kalau tidak mengingat kebaikan orang tua u, kami sudah menghajarmu." Dengan hati yang masih marah bercampur kecewa, para petani pun turun gunung. Sesampainya para petani di kaki pegunungan, sebagian meneruskan pekerjaanya kembali. Dan ada juga yang melaporkan kenakalan Cong Hui pada orang tuanya.

Matahari kian condong ke barat, hingga akhirnya mulai tenggelam di ufuk barat. Malampun segera datang menjelang. Cong Hui yang sudah berada di rumah mendapat teguran keras dari kedua orang Tanya. Ayah Cong Hui adalah seorang kepala desa yang bijaksana dan terkenal akan budi luhurnya. Mendapatkan teguran keras dari sang Ayah, Cong Hui akhirnya berjanji tak akan mengulangi perbuatannya lagi. Memang dasar anak bandel, beberapa minggu kemudian Cong Hui mengulangi perbuatannya kembali. Kembali para petani dibohonginya lagi. Karena para petani mengira tidak mungkin Cong Hui berbohong lagi untuk kedua kalinya. "Ha-ha-haa... Kalian ini memang benar-benar dungu, dapat dibohongi anak kecil sekali lagi," kata Cong Hui kepada para petani yang hendak menolongnya dengan bangga.

Bukan main marahnya para petani desa itu. Merekapun segera melaporkan kelakuan Cong Hui kepada ayahnya. Betapa malunya dan bercampur marah sang ayah. Ia pun meminta maaf kepada para petani dan menghukum Cong Hui dengan mengurungnya di lumbung padi yang berada di belakang rumah mereka selama tiga hari. Kemudian Cong Hui disuruh membantu petani yang sedang memanen padi di sawah. Mendapat hukuman yang demikian berat dan setelah dinasehati orang tuanya, Cong Hui benar-benar sadar atas kesalahan yang dilakukanya. Yaitu Berbohong.

Seperti yang pernah dikatakan Sang Buddha, "Si penanam benih kejahatan akan menunai buah penderitaan." Pada suatu pagi hari ( setelah beberapa minggu kemudian ), Cong Hui pun menuai karma akibat berbohong. Ketika itu seperti biasanya Cong Hui tengah berada di atas gunung bersama domba-dombanya. Di kejauhan sana, ia melihat segerombolan serigala sedang berlari menuju ke arahnya. Cong Hui segera berteriak ke bawah kaki pegunungan meminta pertolongan. "Tolong, tolong... Ada kawanan serigala yang hendak menyerang domba-dombaku," teriak Cong Hui. Namun para petani yang sedang bekerja di sawah dan lading tak ada lagi yang menghiraukan teriakan Cong Hui. Mereka beranggapan Cong Hui pasti sedang berbohong seperti biasanya.

"Dengar! Cong Hui masih saja belum berubah. Ia masih mencoba membohongi kita," ujar seorang petani kepada temannya yang sedang mencangkul. "Biarkan saja, nanti kalau sudah lelah berteriak, ia akan berhenti sendiri. Lebih baik kita meneruskan pekerjaan kita," balas sang teman petani. Kemudian mereka pun melanjutkan mencangkul sawah. Tidak lama kemudia dari atas pegunungan terdengar lolongan serigala. Mendengar lolongan serigala, para petani menghentikan pekerjaan mereka dan saling bertatapan. Sejenak kemudian tanpa dikomando serentak mereka semua berlari menuju ke atas gunung dengan cangkul, bajak dan parang di tangan. Namun semuanya sudah terlambat. Semua domba-domba telah mati diterkam dan digigit serigala. Beberapa ekor serigala berhasil dibunuh oleh para petani. Cong Hui sendiri sedang menangis di atas cabang pohon. Tangan dan kakinya penuh dengan cakar dan gigitan serigala. Para petani segera menurunkan dan membawanya pulang untuk berobat.

Pepatah mengatakan :
Sekali kita berbohong, Selamanya tidak dipercayai lagi.
Jadi... Hindarilah berbohong, Dalam menjalani hidup ini
Smile Forever :)

morpheus

kata2 yg dipakai baunya seperti tidak asing lagi hehehe...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Pitu Kecil

Smile Forever :)

Pitu Kecil

Mengapa doaku selama 5 tahun tak dikabulkan

Pada pagi hari yang cerah, sinar matahari terasa hangat menyentuh kulit. Burung-burung berkicau merdu di atas genteng sebuah vihara, seakan bergembira menyambut pagi yang cerah itu.

Di dalam ruang kebaktian vihara yang luas, asap dupa mengepul menyebarkan harumnya wewangian ke segala penjuru ruangan. Para umat ada yang sedang memasang dupa, berdoa dan bersujud. Di teras depan vihara beberapa orang ibu sedang berbincang-bincang. Di depan altar Buddha Amitabha, seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun sedang bersujud. Namun dengan tiba-tiba perempuan itu berdiri dan dengan murka menudingkan jari telunjuk ke arah patung Buddha Amitabha sambil berterik, "Percuma selama ini aku menyembahmu dengan tulus. Mengapa doaku selama 5 tahun tidak dikabulkan, haa? Kau tak pernah memberkahi aku seorang suami yang baik." Dan ia masih mengeluarkan kata-kata sumpah serapah yang tidak patut ditulis. Segera perempuan yang berparas cantik dan berbaju seronok itu diamankan penjaga vihara.

Nah, Pembaca yang bijaksana, orang-orang yang tidak tahu-menahu yang menyaksikan kejadian ini akan berpendapat bahwa Buddha Amitabha tidak mendengarkan doanya atau lebih fatal mereka akan bertanya adakah Buddha Amitabha?

Namun sebelum kita berkomentar lebih jauh, marilah secara singkat kita ikuti kisah perjalanan hidup perempuan itu yang ternyata bernama Alui seperti yang dituturkan kakak kandungnya ketika menjemputnya pulang. Alui merupakan seorang perempuan gadis cantik jelita. Namun kecantikan yang dimiliki disalah pergunakan untuk mendapatkan suami yang kaya. Kepribadian sang suami, nomor dua baginya. Yang penting dapat hidup senang dan mewah, tidak mengurus rumah tangga serta setiap saat dapat kemana saja ia suka. Alui yang sejak dulu berwatak malas melakukan pekerjaan rumah tangga membantu ibunya. Seperti mencuci piring, bangun tidur merapikan tempat tidur dan sebagainya. Waktunya lebih banyak ia habiskan dengan merias diri, mengikuti mode, jalan-jalan, dan yang lebih fatal lagi yakni berjudi.

Ketika berumah tangga ia jarang mengurusi rumah tangga. Anaknya diserah terimakan pada pembantu di rumah. Bila ada waktu senggang, ia mencari masalah dengan suaminya ( bertengkar ). Terakhir ia pun dibuang suaminya karena dianggap pintar dalam menghamburkan uang dan tidak memperhatikan rumah tangga. Usaha suaminya hampir bangkrut dibuatnya, karena modal untuk usaha selanjutnya ludes ia gunakan. Dan setelah perekonomian rumah tangga telah sekarat, ada saja yang diributkan si Alui pada sang suami. Ia suka membandingkan sang suami yang telah miskin dibuatnya dengan lelaki kaya yang lain.

Dalam waktu lebih kurang 5 tahun ia telah berganti suami sebanyak 3 kali. Rupanya kebiasaan buruk yang telah berakar dalam jiwanya tidak dapat diubahnya. Bersama kawan se-hobby mereka sering mengunjungi berbagai tempat tidak benar. Di tempat demikian tentulah sangat sulit menemukan seorang suami yang baik bukan?

Sosok seperti Alui termasuk ke dalam golongan manusia berdoa dengan hati tidak benar ( egosi / tidak memiliki tekad untuk mencapai doanya ). Bila ia bertekad untuk mencapai doanya, tentunya disertai dengan pola hidup yang benar.

Pembaca yang budiman, Bersediakah anda memiliki istri demiakian, bila Anda seorang lelaki? Bersediakah Anda mengabulkan permohonannya? Langit jugalah yang Maha Adil dan Bijaksana.

Dhammapada I:7

Seseorang yang hidupnya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya tidak terkendali, makannya tidak mengenal batas, malas serta tidak bersemangat;
Maka mara akan menguasai dirinya,
Bagaikan angin menumbangkan pohon yang lapuk.
Smile Forever :)

andry

Masukne kok ke dhammacitta peduli
Samma Vayama

Pitu Kecil

DhammaCitta Peduli pentingkan akan Moralitas dan Kejujuran, makanya saya Post disini.
Jika tidak boleh, saya akan pindahkan  _/\_
Smile Forever :)

Pitu Kecil

#7
Dapatkah Karma Baik Diperoleh Hanya Dengan Berdoa ?


Teringat kenangan sebelas tahun yang lalu, ketika itu penulis bersama seorang Bhikkhu dan beberapa teman melakukan kunjungan ke suatu desa terpencil untuk suatu misi kemanusiaan. Setelah selesai kami pun kembali ke kota Medan. Belum jauh mobil kami tumpangi melaju, mobil kamipun berhenti karena kehabisan bensin. Ternyata pak Supir kurang memperhatikan keadaan tangki minyak. Kami kebingungan sekali hendak kemana mencari bensin ( minyak ), karena kami tengah berada di perkebunan sawit.

Namun rupanya karma baik masih beserta kami, karena berselang beberapa menit kemudian, muncul sebuah mobil melintasi di tempat kami berada, dan keluarlah dari dalam mobil seorang pengusaha, sesudah memberi salam lalu menawarkan kami untuk beristirahat di rumahnya. Sesampai kami di rumahnya, kami dipersilahkan masuk lalu ia menyuruh supirnya membeli bensin dan sekaligus mengantarkannya kepada supir kami yang masih menunggu di tempat mobil kami mogok. Melihat kedatangan seorang Bhikkhu, para tetangga pun datang berkunjung memberi hormat dan mengambil tempat duduk.

Diantara yang hadir, bertanyalah seorang nenek ( Acim ) kepada suhu dengan hormat "Suhu, bolehkah saya bertanya tentang karma kepada Suhu?" "Silahkan," jawab Suhu dengan ramah.

"Telah hampir lima tahun saya sungguh-sungguh bersujud pada Buddha dan Bodhisatva. Setiap hari saya memasang dupa dan bervegatarian serta membaca Kheng ( Paritta ) pada setiap penanggalan 1 dan 15 ( Che It dan Cap Go )."

"Saat bervegatarian, piring dan sendok saya pergunakan, tetap dibedakan dan saya simpan supaya terhindar dari makanan non vegetarian atau minyak daging. Di saat saya membaca Kheng ( Paritta ), cucuku pernah memanggil-manggil diriku, langsung saja dia kumarahi lalu saya lanjut membaca Kheng ( Paritta ) dengan konsentrasi. Mengapa hingga sekarang saya belum merasakan karma baik? Malahan hubungan di rumah kami terasa semakin tidak harmonis dan perekonomian kami makin surut," tutur sang Nenek "Bagaimana bila sendok dan piring yang anda gunakan terkena minyak daging?" Tanya Suhu kepadanya. "Langsung kubuang dan kuganti yang baru," jawab sang Nenek. "Pernahkah Anda beramal, berbuat kebajikan?" kembali Suhu bertanya kepadanya. "Hidup kami saja susah, bagaimana saya bisa beramal? Pernah sekali saya melepaskan dua ekor burung gereja." Kata sang Nenek.

Dengan tersenyum Suhu pun menjelaskan, "Karma terbentuk akibat dari perbuatan kita. Tergantung kapan waktunya karma tersebut masak. Tak ada satupun perbuatan jahat atau baik yang dapat luput dari karma. Untuk mendapatkan karma baik, tidaklah cukup dengan berdoa atau membaca Paritta saja. Melainkan harus disertai amal kebajikan yang kita lakukan. Untuk mendapatkan apel yang bermutu baik dan manis, cukupkah dengan menanam bibitnya saja? Tentunya tidak demikian. Setelah bibit ditanam haruslah dipupuk dan disirami, dan setelah itu pohon apel yang tumbuh harus tetap dirawat dengan baik. Barulah menghasilkan buah yang bagus."

"Misalnya ada seorang kepala perampok yang dengan bersujud memohon perlindungan pada Buddha dan Bodhisatva, serta memohon agar usaha yang dijalankan sukses. Mungkinkah Buddha dan Bodhisatva mengabulkan permohonannya?" "Tentu saja tidak, Suhu!" jawab hadirin yang lain.

"Dan perlu saudaraku sekalian ketahui. Para Buddha dan Bodhisatva bukan hanya mengharapkan kita membacakan Kheng ( Paritta ) untuknya ataupun menyembahinya dengan berbagai makanan dan buah-buahan yang lezat. Tapi yang mereka inginkan adalah seluruh umat manusia dapat meneladani sifat-sifat Ketuhanan dan menerapkan Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam pikiran, ucapan dan perbuatan."

"Nah, nenek yang baik, sudah berapa banyaklah piring dan sendok yang Anda buang? Sudah berapa banyakkah amal kebajikan yang Anda lakukan? Dan seberapa dalamkah Anda menerapkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari? Dan jangan lupa, lain kali ada sendok dan piring yang mau dibuang, tolong disimpan dulu. Nanti saya datang ambil," kata Suhu sambil bergurau. Para hadirin pun ikut tertawa dan wajah nenek tersebut merah karena malu. Kemadian sang Nenek pun berkata, "Terima kasih atas petunjuk Suhu yang telah mebuka mata saya. Kini saya telah mengerti, selama ini saya hanya rajin membaca Kheng ( Paritta ) saja, kadang bila ada orang yang meminta bantuan tidak saya hiraukan. Semoga Tuhan memaafkan kebodohan saya selama ini."

"Anda benar-benar bijaksana, nenek yang baik. Hanya orang bijaksanalah yang dapat mengakui kesalahan sendiri," puji Sang Bhikkhu. Para hadirin pun berteuk tangan.

Syair Moralitas

Bila Buddha Sejati telah berada dalam bathin kita.
Nyatakanlah dalam perbuatan.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

Bersediakah Anda Menjual Ayah ?


Demikianlah yang diceritakan pelaku peristiwa kepada penulis.

Di sebuah dusun yang jauh dari keramaian kota ( di dekat perbatan Riau & Jambi ), hiduplah seorang kakek tua & buta ( Pak Imam ) bersama anak laki-lakinya ( Sapri ) serta menantunya ( Siti ). Sapri yang menjadi tumpuan keluarga merupakan anak yang berbakti. Berbeda jauh dengan sifatnya istrinya ( Siti ). Telah lama Siti ingin membuang Ayah Sepri karena dianggap sebagai beban keluarga.

Pada suatu saat, ketika pendapatan Sapri tidak cukup lagi untuk menghidupi keluarga, akhirnya bujukan Siti kepada Sapri untuk membuang ayahnya berhasil. Dengan alasan melihat hasil kebun mereka, akhirnya Sapri berhasil membawa Sang Ayah ke dalam hutan dan meninggalkannya. Sang Ayah yang tidak curiga sedikitpun menunggu kedatangan anaknya hingga malam hari. Pada saat itulah seseorang berkata kepada Sang Ayah, "Bapak yang baik, ketahuilah kini kau telah dibuang anak dan menantumu di dalam hutan."

Sang Ayah yang sedang melamun, terkejut mendengar suara itu. Bahkan ia menjadi marah mendengar seseorang menjelekkan anak dan menantunya. "Siapa kau? Aku tidak percaya. Kau tak bercaya karena menganggap anakmu tidak mungkin berbuat begitu. Mereka membuangmu karena menganggapmu tiada berguna lagi. Saya tau kau seorang Ayah yang baik terhadap anak dan menantumu. Berikanlah emas ini pada anak dan menantumu, lalu suruhlah mereka mencari orang yang mau menjual ayahnya dan suruhlah mereka membeli istri orang. Dengan demikian mereka akan sadar. Peganglah tongkatku, saya akan membawamu pulang." Betapa berterimakasihnya Sang Ayah kepada Dermawan itu.

Sapri dan Siti bergembira, karena tak perlu mengurus Sang Ayah lagi. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Sang Ayah telah berada di dalam rumah. Sang Ayah pun menceritakan segala kejadian yang dialaminya yadi. Dengan berbekal beberapa potong emas, Sapri dan istrinya berangkat sesuai permintaan Sang Ayah, yang menyuruh mereka pergi mencari orang yang mau menjual Ayahnya dan membeli istri orang.

Dari semua orang yang mereka jumpai, tidak ada yang bersedia menjual Ayahnya. Malah mereka sering dimaki dan bahkan dipukuli karena dianggap sebagai penghinaan. Namun. Orang yang mau menjual istrinya banyak sekali. Apalagi kalau istri mereka jahat dan cerewet seperti Siti. Karena Siti tidak setuju kalau Sapri membeli istri orang, mereka pun pulang tanpa membawa apa-apa.

Dalam perjalanan pulang itulah mereka sadar atas kesalahan mereka. Siti amat menyesal telah membujuk Sapri membuang ayahnya. Masing-masing pun diam dalam seribu bahasa. Sesampainya di rumah, keduanya langsung bersujud di kaki Sang Aya dan penuh penyesalan. Ayah yang bijaksana itupun memaafkan anak dan menantunya. "Nah, anak-anakku, kalian telah lihat sendiri. Di dunia ini tidak ada orang yang mau menjual ayah / ibunya, bukan? Dalam suatu keluarga kita semua harus saling menyayangi."

Siapakah Sang Dermawan itu? Malaikat, Jin, Dewa Gunung atau hanya manusia biasa? Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu. Manusia boleh merencanakan, namun Tuhanlah juga yang menentukan.

Semoga Pak Iman dan keluarga berbahagia selalu, dan SEMOGA BERMANFAAT UNTUK PEMBACA YANG BUDIMAN.

Dhammapada V:8

Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu tidak baik.
Orang itu akan menerima akibat perbuatannya dengan ratap tangis dan wajah yang berlinang air mata.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

#9
Bhikkhu Yang Bijaksana


Pada zaman dahulu sekitar 1.500 tahun yang silam, pada masa dinasti Thang. Pada zaman itu hiduplah seorang Raja yang bernama Thang Sie Hong yang berbudi luhur serta bijaksana dalam memimpin rakyatnya. Rakyat hidup dalam kemakmuran dan bahagia. Raja Thang Sie Hong terkenal sebagai raja yang menjunjung tinggi langit dan bumi (menghormati langit dan menyayangi makhluk hidup). Ia memiliki banyak pembantu di istananya. Namun pembantu di dapur saat mencuci beras di alur (sungai kecil yang airnya jernih), sering menumpahkan beras.

Beras yang tertumpah mengalir mengikuti arus air ke bawah kaki gunung, di mana alur tersebut melewati sebuah Vihara yang dihuni oleh seorang Bhikkhu tua. Sang Bhikkhu setiap hari mengumpul beras yang terbuang, mengeringkan dengan dijemur kembali kemudian menyimpan beras tersebut di lumbung padi di belakang Vihara.

Hari beranjak ke bulan, musim pun silih berganti. Lumbung padi Sang Bhikkhu telah penuh dengan beras. Pada suatu ketika tibalah musim kemarau panjang, yang menyebabkan sawah dan ladang serta sungai mengalami kekeringan. Daerah pegunungan Hainan yang hijau telah menjadi kuning kecoklatan karena kekeringan. Panen sawah dan ladang gagal, sehingga penderitaan dan kelaparan pun datang menerjang.

Tidak luput juga keadaan di istana Raja Thang Sie Hong menjadi suram. Karena tak dapat mengatasi kesedihannya atas penderitaan rakyat, Raja Thang Sie Hong pun jatuh sakit. Namun... dalam keadaan tersebut, mereka tak pernah merupakan Thian (langit). Semua penduduk berdoa memohon kemurahan Thian (Para Buddha, Phu Sat dan Dewa). Hingga pada suatu hari dari kejauhan rumput ilalang yang kering, tampaklah seorang Bhikkhu tua berjalan menuju daerah tempat tinggal pejabat Thang Sie Hong.

"Anda dari mana Suhu? Keperluan apakah yang membawa Suhu berkunjung ke tempat kami? Tanya Sie Hong penuh hormat. Setelah Sang Bhikkhu menceritakan maksud kedatangannya yang ingin meringankan penderitaan rakyat Hainan, serta asal dari beras yang akan disumbangkan kepada rakyat, pejabat Thang Sie Hong beserta seluruh pembantunya segera bersujud di kaki Bhikkhu tua tersebut dan mohon petunjuk. Keesokan harinya, dengan bantuan para pembantunya Thang Sie Hong dan Bhikkhu tersebut membagikan beras yang disambut oleh rakyat dengan suka cita. Beras yang dibagikan oleh Bhikkhu memenuhi kebutuhan hidup penduduk Hainan hingga musim hujan datang menjelang.

Tanah, sawah dan ladang yang kering telah menghijau kembali. Kepada penduduk Hainan Sang Bhikkhu memberikan pesan agar selalu ingat kepada musim paceklik dengan cara hidup hemat dan memiliki cadangan beras di lumbung padi saat panen berhasil.


Berkah sebutir beras jangan dilupakan....

Semoga pembaca yang bijaksana dapat memetik hikmah cerita ini dan mendapat anugerah yang tiada tara, sungguh suatu kebahagiaan.

Dhammapada IV:15
Seperti tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan
Tumbuh bunga teratai yang berbau harum & menyenangkan hati


Dhammapada IV:16
Begitu juga diantara orang duniawi
Siswa Sang Buddhay Yang Maha Sempurna
Bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

14 PEDOMAN HIDUP MANUSIA


1.   Musuh terutama manusia adalah DIRI SENDIRI..
2.   Kegagalan terutama manusia adalah KESOMBONGAN.
3.   Kebodohan teruma manusia adalah SIFAT MENIPU.
4.   Kesedihan teruma manusia adalah RASA IRI HATI.
5.   Kesalahan teruma manusia adalah MENCAMPAKKAN DIRINYA.
6.   Dosa teruma manusia adalah MENIPU dirinya dan orang lain.
7.   Sifat Manusia yang terkasihan adalah RASA RENDAH DIRI.
8.   Sifat manusia yang paling dapat dipuji adalah SEMANGAT KEULETANNYA.
9.   Kehancuran terbesar manusia adalah BERPUTUS ASA.
10.   Harta teruma manusia adalah KESEHATAN.
11.   Hutang terbesar manusia adalah HUTANG BUDI.
12.   Hadiah terutama manusia adalah LAPANG DADA dan mau MEMAAFKAN.
13.   Kekurangan terbesar manusia adalah SIFAT BERKELUH KESAH & TIDAK MEMILIKI KEBIJAKSANAAN.
14.   Ketentraman dan kedamaian terutama manusia adalah SUKA BERDANA & BERAMAL.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

Buah Kejujuran


Alkisah ada seorang raja di timur jauh yang sudah tua, ia berniat mencari penerus tahtanya. Suatu hari ia mengumpulkan semua pemuda di kerajaannya dan mengemukakan niatnya untuk memilih raja yang baru.

"Saya akan memberi kalian masing-masing 1 biji tanaman yang sangat spesial, saya ingin kalian menanam, merawat dan membawa hasilnya kepadaku 1 tahun kemudian. Barang siapa yang tanamannya terpilih akan menjadi raja," kata Sang Raja.

Salah seorang pemuda yang bernama Yang, juga mendapat biji itu dari raja. Dengan gembira ia menceritakan hal itu kepada ibunya. Sang ibupun segera menolongnya mencari pot dan tanah untuk bibit tersebut. Sejak saat itu Yang rajin merawat dan mengamatinya setiap hari.

Tiga Minggu kemudian, beberapa teman Yang yang mendapat biji-biji tanaman itu mulai tumbuh. Yang terus menerus memeriksa tanaman yang ditanamnya, tetapi tidak ada pertumbuhan sama seklai. Waktu pun terus berlalu dan tak terasa sudah 6 bulan, Yang merasa telah mematikan tanaman itu tanpa sengaja, kendati merasa gagal, ia tetap menjaga bibit tanaman itu.

Setahun akhirnya tiba, dan ini adalah saatnya memilih raja baru. Para pemuda-pemuda di kerajaan itu berbondong-bondong ke istana membawa tanamannya. Yang sebenarnya enggan untuk pergi, tetapi ibunya terus menyemangatinya dan menyuruhnya jujur saja kepada raja.

Setiba di istana, Yang terkesima melihat begitu banyaknya tanaman beragam jenis yang di bawa pemuda-pemuda dari kerajaan itu. Yang meletakkan pot tanamannya di atas lantai. Para pemuda-pemuda lain mulai mengejeknya. Ketika raja tiba, para pemuda-pemuda itupun menyambut raja dengan hormat. Yang berusaha bersembunyi di belakang kerumunan pemuda-pemuda itu. Tiba-tiba Sang Raja melihat pot tanaman milik Yang, dan iapun segera memanggil pemiliknya.

Setelah raja menanyakan namanya lalu beliau bersabda,"Sambutlah raja baru kalian, namanya Yang!!" Ia pun terkejut dan begitu juga pemuda yang lain. Sang Raja kemudian menjelaskan bahwa setahun yang lalu ia telah merebus biji-biji itu, sehingga tidak mungkin akan tumbuh lagi dan hanya Yang yang berani dan jujur membawakan pot kosong itu kepadaku dengan bibi yang saya berikan kepadanya."


Demikianlah jika kita ingin dihagai, lakukan hal yang terkecil sekalipun dengan jujur, karena nilainya TIDAK TERKIRA.
Maka jujurlah dalam kehidupan
Akan mendatangkan kebaikan kepada kita nantinya.


Dhammapada XIV:15
Sukar untuk berjumpa dengan manusia yang mempunyai kebijaksanaan
Agung
Ia tidak akan dilahirkan di sembarangan tempat.
Tetapi di mana pun ia dilahirkan, maka keluarganya akan hidup bahagia.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

Pembuktian Tentang Keberadaan Tuhan


Pada Zaman dinasti Ching, di kabupaten Wei propinsi San Tung, terdapat suatu daerah pedesaan yang bernama Hu Nan. Telah lama para penduduk Hu Nan melupakan ajaran Buddha (Dhamma), sehingga mereka menyembah berhala, Pohon besar, hutan dan gunung dianggap memilki kekuatan yang dapat mengabulkan permohonan mereka. Maka nilai moralitas dan nyawa makhluk hidup tidak dihargai lagi sehingga pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan terjadi dimana-mana tanpa dapat dicegah.

Pada suatu hari, daerah Hu Nan mendapat kunjungan seorang pertapa tua dengan tubuh kurus kering ber-Pindapatta makanan. Melihat keadaan sang pertapa itu, manusia yang masih berbudi melihat keadaan tersebut tentu mengasihaninya. Namun... tak seorang pun yang menghiraukannya, walaupun hanya memberikan semangkuk air putih untuk pelepas dahaga. Ketika pertapa tua itu ber-Pindapatta makanan ke rumah seorang pejabat daerah, ia diusir sang pengawal dan tak luput dari gebukan tongkat besi sang pengawal. "Dasar pertapa busuk, kau akan membawa sial jika lebih lama disini," bentak sang pengawal seraya mengayunkan tongkat besinya ke tubuh sang pertapa. Namun tangan sang pengawal terasa sakit dan kesemutan. Sepertinya ia memukul sebongkah besi yang kokoh. Pertapa tua tersebut sama sekali tidak merasa kesakitan. Sambil tersenyum kemudian ia berkata, "Semoga Thien ( Langit / Tuhan ) memberkatimu," Sang pertapa beranjak pergi dan dalam sekejap ia telah menghilang dari pandangan sang pengawal yang masih terpaku berdiri.

Dalam hitungan hari gemparlah daerah Hu Nan. Bertebarlah kabar bahwa di daerah Hu Nan kedatangan seorang pertapa sakti yang mengacau di Hu Nan. Pejabat setempat mengumumkan akan memberikan 50 Ribu tael emas bagi yang berhasil menangkap sang pertapa. Beberapa hari kemudian, ketika sang pertapa sedang bermeditasi di sebuah, ia berhasil ditemukan puluhan pengawal pejabat setempat.

"Hai pertapa tua. Menyerahlah dan terimalah hukumanmu! Kau akan dihukum penggal karena mengacau di daerah kami," bentak sang pengawal. "Bersalahkah saya meminta sedekah makanan? Saya merasa tak melakukan tindakan yang merugikan penduduk Hu Nan. Lagipula, tujuan saya ke Hu Nan untuk mengingatkan tentang keberadaan Thien ( Langit / Thuan ) dan ajarannya," tutur sang pertapa dengan senyum penuh cinta kasih. "Dasar penipu tua. Bila Tuhan itu ada, ia tidak akan membiarkan penduduk Hu Nan banyak yang menderita akibat wabah penyakit aneh. Kamu masih berani mengatakan Tuhan itu ada?" hardik sang pejabat yang baru tiba bersamaan dengan kepala suku yang diagungkan. "Untuk mengatasi wabah penyakit ini, yang kalian butuhkan seorang tabib. Bukannya dengan menyembah hutan dan gunung serta mengorbankan nyawa makhluk hidup. Sebaiknya kita semua memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih," kata sang pertapa. Suasana di sekitar menjadi hening sejenak. Terdengar suara para hadirin kasak kusuk berdiskusi sesuatu. Beberapa saat kemudian, kepala daerah Hu Nan berkata,"Baiklah, bila anda dapat mengobati penyakit diderita rakyat serta dapat membuktikan keberadaan Tuhan, kami akan mempelajari dan mengamalkan Dhamma" "Setuju," kata sang pertapa.

Dalam hitungan hari para penduduk yang terserang penyakit ternyata dapat disembuhkan. Rupanya di samping ilmu kebathinan yang tinggi, pertapa tua juga mahir ilmu pengobatan. Pada hari yang telah ditentukan untuk membuktikan keberadaan Tuhan, para penduduk Hu Nan berkumpul di tempat sang pertapa. "Saudaraku sekalian, bila Tuhan itu ada dan Maha Kuasa, ia akan membantu saya menyeberangi sungai yang luas dan dalam ini tanpa membasahkan pakaian yang saya kenakan," kata sang pertapa. Lalu bersikap Anjali ia memohon agar Thien sudi kiranya memberkahi dia kekuatan. Dengan langkah kaki yang pesat sang pertapa berjalan di atas air menyeberangi sungai tersebut, disusul dengan hujan yang lebat.

Di langit kemudian perlahan muncul bayangan Buddha Amitabha dan dalam hitungan detik raib kembali. Meyaksikan beberapa peristiwa itu serentak para hadirin segera bersimpuh dan memohon pengampunan Thien atas kebodohan mereka selama ini. Semenjak itu, Hu Nan telah berubah menjadi suatu daerah yang taat beribadah dan menerapkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari sehingga rakyatpun hidup dalam kedamaian.

Demikian pembaca yang budiman. Bila Thien menghendaki, segalanya dapat terjadi. Walau kadang sering di luar nalar manusia.


Syair Moralitas
Segala yang baik, senantiasa mendapat restu Langit dan bumi
Smile Forever :)

Pitu Kecil

#13
Durhaka Tidak Membawa Berkah


Pepatah kuno dari para leluhur mengatakan "Ketika Anda meneguk segelas air, ingatlah kepada sumber air yang Anda minum tersebut." Pepatah ini mengandung makna tentang moral kita dalam membalas "BUDI", yang berlaku hingga jaman sekarang.

Berikut ini merupakan sebuah kisah nyata yang disaksikan penulis lebih kurang 5 tahun silam, dimana nama perlaku peristiwa dan tempat telah disamarkan.

Waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB, hujan turun dengan lebatnya. Seberkas cahaya kilat menari di langit hitam kelam disusul suara guntur menggelegar. Udara terasa dingin menusuk kulit. Semua orang enggang keluar rumah pada keadaan cuaca yang tak menguntungkan itu. Namun seorang ibu tua berjalan kaki dibawa lebatnya curah hujan tanpa memakai mantel hujan atau payung. Sekujur tubuhnya basah kuyub dan ia berjalan tanpa menghiraukan lebatnya hujan dan dinginnya udara pada malam itu. Ibu tua sedang sedih mengingat semua perlakukan anak kandungnya yang tidak berbakti terhadap orang tuanya.

Penulis yang kebetulan melintas di jalan tersebut mengenali ibu itu adalah orang tua dari teman penulis yang bernama Sonto. "Ibu hendak kemana hujan begini?" Tanya penulis seraya menghentikan sepeda motor bersebelahan tempat ibu Sonto berdiri. "Ibu tidak tahu harus kemana lagi, nak. Tadi Sonto mengusirku dari rumah, lalu...," tutur Ibunya Sonto sambil menangis tersedu. Melihat keadaan Ibu malang itu segera penulis membawanya pulang ke rumahnya. Namun ibu malang itu tak bersedia kembali ke rumahnya. Ia meminta agar diantarkan ke rumah anak angkatnya yang tinggal di jalan Cemara. Dengan berlindung dibalik mantel hujan, penulis mengantarkannya ke rumah anak angkatnya yang bernama Santi.

Di rumah Santi, ibu Sonto menceritakan duduk persoalannya. Ternyata Sonto kini telah berubah. Dulu sebelum berumah tangga dan terutama sebelum mendapat warisan rumah dari ibunya, Sonto masih menyayangi ibunya. Sedangkan ayahnya telah tiada sejak Sonto masih berusia 5 tahun. Untuk menghidupi kedua anaknya, Ibu Sonto menjual kue di pasar. Rumah peninggalan Ayah Sonto, ditempati mereka sampai sekarang. Sebulan yang lalu rumah itu di atas namakan Sonto oleh ibunya. Sedangkan abang Sonto yang bernama Yadi telah pindah ke Jakarta dan sukses dalam menjalankan usahannya disana.

Sejak kecil Sonto dan abangnya (Yadi) sangat disayangi ibunya. Segala kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh ibunya, hingga mereka menyelesaikan kuliahnya. Walau hanya sebagai penjual kue di pasar, Ibu tersebut tidak pernah berputus asa. Ibunya bekerja tanpa mengenal lelah untuk mencari biaya hidup mereka bertiga.

Dan kini setelah kedua anaknya telah berkeluarga, ibunya pensiun atas permintaan anak sulungnya, Yadi, yang mengajurkan agar ibunya tidak usah menjual kue lagi. Tiap bulan Yadi mengirimkan uang kepada binya yang telah tua. Sedangkan Sonto yang bekerja di suatu perusahaan bertolak belakang dengan sifat abangnya yang sangat berbakti kepada orang tua mereka.

Oleh Sonto, ibunya dianggap sebagai beban keluarga, hingga sering terlontar kata dari mulut Sonto yang mengatakan ibunya cyma bisa menghabiskan beras di rumah saja. Dan yang lebih menyedihkan dan menyakitkan dalam keadaan hujan lebat di tengah malam, ibunya diusir dari rumah oleh si anak durhaka tersebut, Sonto, dengan alas an ibunya membuat keributan karena membaca Kheng ( Paritta ) yang menyebabkan ia dan istrinya merasa terganggu.

Ketika mengusir ibunya, Sonto dan istrinya sempat juga memukuli ibunya. Sebenarnya Sonto memiliki niat untuk mengusir ibunya, agar tinggal bersama abangnya, Yadi, di Jakarta. Tetapa ibunya lebih terbiasa dengan kehidupan di kota Medan.

Penulis yang berusaha sebagai penengah, malah mendapat ancaman dari Sonto agar tidak mencampuri urusan keluarga mereka jika mau selamat. Dalam hitungan hari karena diliputi kesedihan yang mendalam, Ibu Sonto jatuh sakit dan terpaksa harus diopname di rumah sakit. Disebabkan tekanan darah tinggi akibatnya ibu malang itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Sonto yang dikabari Santi tentang ibunya, tidak begitu menanggapi hal tersebut karena takut akan mengeluarkan segala biaya perawatan rumah sakit ibunya. Yadi yang mendapat kabar duka dari Santi segera pulang dan mengurus segala biaya perawatan rumah sakit ibunya. Kemudian oleh Yadi, ibunya di semayamkan di sebuah rumah sosial, menunggu hari baik untuk dikebumikan.

Saat di rumah social, Sonto berteriak histeris memanggil-manggil ibunya yang telah terbujur kaku."Ibuuu... Ibuuu..., kenapa secepat ini kau meninggalkan kami,"teriak si Sonto. Menyaksikan sandiwara Sonto, para tamu yang hadir menggeleng kepala dan ada yang tersenyum sinis. Salah seorang pengurus rumah social itu berbisik kepada penulis, bahwa biasanya anak yang tak berbakti terhadap orang tuanyalah yang menangus histeris di tempat itu.

Dan telah sering ia saksikan hal demikian. Yadi yang terhanyut dalam duka atas kepergian ibu tercinta duduk termenung dengan air mata yang tak dapat dibendung. Setelah upacara pengebumian ibunya, Sonto berusaha menguasai isi kotak dana dari para tamu. Namun Yadi tidak memiliki niat untuk berebutan isi kotak dana dengan Sonto. Diberikannya semua uang yang terkumpul dari kotak dana itu kepada Sonto.

Beberapa hari kemudian setelah berparmitan kepada penulis dan Santi, Yadi berangkat kembali ke Jakarta. Masih teringat pesan Yadi kepada penulis ketika di bandara. "Sayangilah kedua orang tuamu selagi masih ada kesempatan," lirih suara Yadi dengan pelupuk mata tergenang air mata. "Pesanmu akan kuingat selalu, Di," jawab penulis.

Terakhir terdengar kabar Sonto ditipu istrinya. Setelah mengusai semua harta kekayaannya, ia diusir istrinya yang berselingkuh. Kini Sonto yang durhaka terhadap Orang Tua, hidup dalam penderitaan.

Nah, pembaca yang bijaksana. Semoga pesan Pak Yadi dapat terukir di hati sanubari kita dimanapun kita berada.

"Hubungan Anak dan Orang Tua diibaratkan seperti Air. Biarpun dibelah atau di irispun tidak akan terputus. Di dalam darah kita mengalir darah orang tua kita," Demikian pesan para leluhur.

Dhammapada Atthakatha IX:12

Tidak di langit, di tengah hutan, di celah-celah gunung atau dimanapun
Dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang
Untuk dapat menyembunyikan diri dari
Akibat PERBUATAN JAHATNYA.
Smile Forever :)

morpheus

tuhan yg mana yg dimaksudkan tulisan2 di atas?
tuhan yg maha2 kah?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path