News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

4 Sarana Efektif Penyebaran Dhamma

Started by Deva19, 08 July 2010, 06:56:11 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Peacemind

Quote from: Deva19 on 09 July 2010, 05:00:24 PM
Quote from: dhammasiri on 09 July 2010, 09:35:49 AM
OK, kalau begitu, sebelum diskusi dimulai, kita harus membuat peraturan. Peraturan itu harus ditaati sepanjang diskusi agar diskusi lebih terarah, lebih bermanfaat bagi kita berdua dan juga bagi pembaca.

baiklah, kita sendirilah yang menentukan aturannya, dan kita yang akan memufakatinya.

aturan pertama yang saya ajukan...

harus fokus pada "uji kebenaran" satu pernyataan saja. dan tidka boleh membahas persolan lain, sebelum satu pernyataan itu terbukti benar salah nya. bagimana anda mufakat?

Mana nih thread barunya? Kami sudah menunggu lho?

inJulia

Baru baca trit ke dua dr bro Deva19 (buka ngga sengaja), isinya buat saya pribadi cukup l*g*s [  :)  ] dan bagus.

thanks

K.K.

#32
Quote from: inJulia on 23 November 2010, 09:24:50 PM
Baru baca trit ke dua dr bro Deva19 (buka ngga sengaja), isinya buat saya pribadi cukup l*g*s [  :)  ] dan bagus.

thanks

Kalau begitu, saya berkaruna-citta terhadap anda.

[spoiler]
Quote from: Deva19 on 08 July 2010, 06:56:11 PM
4 sarana efektif penyebaran dhamma sebagaimana yang saya fahami adalah sebagai berikut :

1. penguasaan Tipitaka

tanpa mengutip kalimat-kalimat dari Tipitaka sekalipun, kebenaran dapat diungkapkan dan difahami. Tetapi, kebenaran yang dianggap tidak berlandaskan sutta bisa dianggap bukan ajaran dari Sang Budha. Karena itu, keyakinan dan semangat penerima ajaran jadi menurun. Sebaliknya, bila dikatakan ini tertulis di dalam sutta, dan benar-benar merupakan sabda sang Budha, maka keyakinan dan semangat penerima ajaran jadi meningkat.

Tetapi, penguasaan Tipitaka saja tidaklah mencukupi. Karena orang yang tertarik dengan Tipitaka, mulai berlomba-lomba untuk menguasainya. Dan mereka sengaja atau tidak sengaja, dengan mudah membuat tafsiran yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan sarana lain untuk menghindari kesalahan fahaman dan perbedaan tafsir. Sarana lain itu adalah Logika.
Walaupun penguasaan Tipitaka sendiri sama sekali bukanlah hal yang buruk, namun yang dibutuhkan dalam penyebaran dhamma adalah pemahaman yang benar akan dhamma dan orang yang diajarkan. Jika seseorang masih berpikir adanya pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha, maka 1000 sutta tentang moralitas yang dihafalkan, ditafsirkan, dan disebarkan, hanya akan jadi kata-kata kosong.

"Lebih baik daripada seribu bait kosong dan tidak berkenaan dengan realisasi Nibbana, adalah satu bait yang mendamaikan orang yang mendengarnya."
Dhammapada 101.


Quote2. Penguasaan Logika

Logika adalah suatu sarana yang dapat menghentikan perbedaan tafsir, serta kesalah fahaman yang terjadi terhadap apa-apa yang tertulis di dalam sutta. Logika adalah jaminan 100 % dari kesesatan berpikir.

Tetapi, logika ini merupakan pengetahuan yang langka, jarang orang menguasainya. Orang merasa sulit mempelajarinya, apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan sarana lain untuk menstranformasikan kebenaran ke masyarakat yang lebih mudah difahami dari pada bahasa Logika. Sarana lain tersebut adalah Retorika.
Logika adalah suatu ilmu yang memiliki batasan. Sebuah logika bisa jadi benar dalam satu konteks dan batasan, namun bisa salah dalam konteks dan batasan berbeda. Menyadari hal ini, seorang bijaksana ketika mengajar, berusaha memahami apa yang logis bagi orang lain. Seperti Buddha mengajar dengan berbagai cara, berbagai logika untuk menyesuaikan keadaan bathin orang lain, bukan picik dalam satu model logikanya sendiri saja.
Sebaliknya, orang dungu memaksakan logika sendiri sebagai kebenaran tunggal, terus "mendorong" dengan logika yang sama walaupun tidak cocok dengan orang lain.


Quote3. Penguasaan Retorika

Retorika adalah seni berbicara dan berperilaku yang bisa menimbulkan rasa simpati dan kepercayaan orang lain, sehingga orang lain tersebut dapat menerima pemikiran yang disampaikan. Akan tetapi, walaupun suatu kebenaran telah tertulis di dalam sutta, sesuai dengan logika, dan disampaikan dengan bahasa yang menggugah perasaan, hal itu tetap diingkari oleh sebagian orang. Karena mereka tidak dapat mengerti logika serta tidak tergugah oleh hal-hal yang sebenarnya menggugah. Mereka adalah orang yang memiliki hati yang keras seperti batu. Oleh karena itu, diperlukan sarana lain yang bisa menghancurkan hati yang keras itu, yakni kesaktian.
Rhetorika juga bagian penting dalam komunikasi. Jika tidak tahu kata-kata yang tepat, bisa jadi komunikasi "salah sambung" atau bahkan sama sekali tidak sampai.
Hanya saja, menggugah perasaan itu bukan cara menyampaikan dhamma dengan benar. Penderitaan bersumber dari kemelekatan, dan kemelekatan bersumber dari perasaan. Seseorang menggunakan dhamma untuk memahami perasaan, bukan memanipulasi perasaan untuk indoktrinasi dhamma.


Quote4. Kesaktian

Kesaktian yang dimaksud di sini adalah kemampuan mistis yang bisa membuat orang lain tunduk patuh, secara terpaksa ataupun sukarela, mereka merima dan mempraktikan ajaran yang kita sampaikan. Sang Budha pun menjadikan sarana keempat itu sebagai sarana penyebaran Dhamma.

Diceritakan bahwa ada seorang bikhu yang menghasut dan memfitnah kawannya di depan sang Budha, dengar serta merta tumbuh bisul-bisul di sekujur tubuh bikhu tersebut. Bisul-bisul tersebut membesar, matang dan pecah. Hingga akhirnya bikhu tersebut tewas. (benar enggak ya cerita ini, saya lupa membaca kisah itu di dalam sutta yang mana).

Dapat kita temukan berbagai kisah bagaimana kesaktian sang Budha berperan dalam penyebaran dhamma.

Sebagian orang berpandangan seolah-olah mengembangkan kesaktian adalah sesuatu yang salah, atau merupakan suatu tujuan yang salah dari praktik meditasi. Tentu saja salah, bila praktik meditasi nya adalah vipassana, tapi tujuannya untuk mengembangkan kesaktian. Karena vipassana bukan untuk mengembangkan kesaktian. Tetapi, mengembangkan kesaktian dengan jenis meditasi yang sesuai tidaklah salah. Walaupun untuk menyampaikan kebenaran tidak harus berbekal kesaktian, tapi itu sama halnya dengan menyampaikan kebenaran tanpa berbekal penguasaan sutta, logika dan retorika. Jika mengembangkan penguasaan sutta, logika dan retorika sebagai sarana komunikasi bukanlah sebagai sesuatu yang salah atau tercela, maka demikian pula dengan pengembangan kesaktian.
Ini jelas perkataan orang yang tidak menguasai Tipitaka, tidak paham logika, serta tumpul dalam rhetorika.

Tidak menguasai Tipitaka adalah karena Kevaddha Sutta (Digha Nikaya 11), Buddha jelas-jelas menghindari pertunjukkan kesaktian karena justru orang bisa salah paham akan dhamma itu sendiri.

Tidak paham logika karena mengatakan kesaktian (yang dilakukan Buddha/murid-murid) adalah untuk membuat orang tunduk dengan paksa/sukarela, seolah-olah melakukan penyebaran dhamma dengan tangan besi. Jauh dari sosok seorang Buddha, malah jadi seorang Tiran. Jika memang demikian halnya, mengapa Buddha yang mahasakti tidak dengan kesaktian "meng-upasakha-kan" seluruh Jambudvipa saja agar lebih banyak orang menjalankan dhamma?

Melakukan pemaksaan juga jelas adalah ciri dari orang yang tumpul rhetorika. Apa bedanya dengan penguasa lalim menggunakan kekuasaannya untuk mengubah agama seseorang, atau seorang yang kuat menggunakan ototnya untuk memaksakan argumen dalam diskusi?
Apakah itu rhetorika?
[/spoiler]

inJulia

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 November 2010, 09:40:48 AM
Kalau begitu, saya berkaruna-citta terhadap anda.
Thanks bro Kainyn,
Sepertinya respon Teman2 di trit ini dipengaruhi post bro Deva di trit lain.
Utk menghindari mispersepsi,
Kemarin sy baru nemu 2 trit bro Deva, trus buka2 topik sebelumnya, ga nemu lg trit lainnya. Jd saya masih buta soal pemahaman, pemikiran bro Deva yg ada di post yg lain. Koment saya melulu berdasar 2 trit tsb.

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 November 2010, 09:40:48 AM
Walaupun penguasaan Tipitaka sendiri sama sekali bukanlah hal yang buruk, namun yang dibutuhkan dalam penyebaran dhamma adalah pemahaman yang benar akan dhamma dan orang yang diajarkan. Jika seseorang masih berpikir adanya pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha, maka 1000 sutta tentang moralitas yang dihafalkan, ditafsirkan, dan disebarkan, hanya akan jadi kata-kata kosong.

"Lebih baik daripada seribu bait kosong dan tidak berkenaan dengan realisasi Nibbana, adalah satu bait yang mendamaikan orang yang mendengarnya."
Dhammapada 101.
"MENGUASAI Tipitaka", persepsi saya maknanya: memahami secara benar isi Tipitaka. Jadi bukan dalam makna: HAFAL SAJA, yg cuma bisa meng-ulang2 ayat2.

MENGUASAI rumus2 matematika berbeda dg HAFAL rumus2 Matematika.

Sepertinya bro Deva pernah posting bahwa Buddha bisa membenarkan pembunuhan. Maaf kalo saya keliru. Nah, di trit ini itu adalah pendapat pribadi bro Deva, yg tidak bisa dipakai utk mematahkan point no.1. Walaupun menurut kita itu pemahaman yg keliru.


Quote from: Kainyn_Kutho on 24 November 2010, 09:40:48 AM
Logika adalah suatu ilmu yang memiliki batasan. Sebuah logika bisa jadi benar dalam satu konteks dan batasan, namun bisa salah dalam konteks dan batasan berbeda. Menyadari hal ini, seorang bijaksana ketika mengajar, berusaha memahami apa yang logis bagi orang lain. Seperti Buddha mengajar dengan berbagai cara, berbagai logika untuk menyesuaikan keadaan bathin orang lain, bukan picik dalam satu model logikanya sendiri saja.
Sebaliknya, orang dungu memaksakan logika sendiri sebagai kebenaran tunggal, terus "mendorong" dengan logika yang sama walaupun tidak cocok dengan orang lain.
Buddha punya kemampuan demikian, kita tidak punya, trit ini berbicara buat level kita-kita manusia pada umumnya.

Kalo si A logikanya picik, berarti logikanya amburadul, alias tidak logis.

Soal logika, jangan dikaitkan dg pemaksaan kehendak, bro. Sepertinya, maaf kalo keliru, Bro Deva pernah mempost dan memaksakan logikanya. Tp kita mesti fair, pemaksaan logikanya itu tidak bisa dipakai untuk mematahkan point no. 2 nya ini. Lain konteksnya.

Saya menerima point no.2 ini dalam makna, kita menerima satu ajaran tentu bukan ASAL TERIMA. Kalo punya wisdom, panna, yah tentu kita gunakan tool itu. Tapi kebanyakan manusia awalnya baru punya akal sehat. Yah akal sehat, inilah yg dipakai buat memilih-milih ajaran mana yg dianggap cocok, benar, patut dicoba, diamalkan.


Quote from: Kainyn_Kutho on 24 November 2010, 09:40:48 AM
Rhetorika juga bagian penting dalam komunikasi. Jika tidak tahu kata-kata yang tepat, bisa jadi komunikasi "salah sambung" atau bahkan sama sekali tidak sampai.

Hanya saja, menggugah perasaan itu bukan cara menyampaikan dhamma dengan benar. Penderitaan bersumber dari kemelekatan, dan kemelekatan bersumber dari perasaan. Seseorang menggunakan dhamma untuk memahami perasaan, bukan memanipulasi perasaan untuk indoktrinasi dhamma.
Saya memahami point no 3 ini dalam makna yg saya bold di atas. :)
Bahwa mengutarakan satu pemahaman TIDAK GAMPANG atau sepele. Tapi butuh KEMAMPUAN.

Soal manipulasi, itu di luar konteks.


Quote from: Kainyn_Kutho on 24 November 2010, 09:40:48 AM
Ini jelas perkataan orang yang tidak menguasai Tipitaka, tidak paham logika, serta tumpul dalam rhetorika.

Tidak menguasai Tipitaka adalah karena Kevaddha Sutta (Digha Nikaya 11), Buddha jelas-jelas menghindari pertunjukkan kesaktian karena justru orang bisa salah paham akan dhamma itu sendiri.

Tidak paham logika karena mengatakan kesaktian (yang dilakukan Buddha/murid-murid) adalah untuk membuat orang tunduk dengan paksa/sukarela, seolah-olah melakukan penyebaran dhamma dengan tangan besi. Jauh dari sosok seorang Buddha, malah jadi seorang Tiran. Jika memang demikian halnya, mengapa Buddha yang mahasakti tidak dengan kesaktian "meng-upasakha-kan" seluruh Jambudvipa saja agar lebih banyak orang menjalankan dhamma?

Melakukan pemaksaan juga jelas adalah ciri dari orang yang tumpul rhetorika. Apa bedanya dengan penguasa lalim menggunakan kekuasaannya untuk mengubah agama seseorang, atau seorang yang kuat menggunakan ototnya untuk memaksakan argumen dalam diskusi?
Apakah itu rhetorika?
Deva:
Sebagian orang berpandangan seolah-olah mengembangkan kesaktian
adalah sesuatu yang salah, atau merupakan suatu tujuan yang salah dari praktik meditasi.

Injulia:
Konon universitas Nalanda dibakar butuh 7 hari 7 malam untuk menuntaskannya. KEBIADABAN Ini bisa terjadi Karena Sangha dan umat LEMAH.

Entah ini Semboyan Kempo atau Einstein (mohon koreksi):
"Kekuatan tanpa kebajikan adalah BUTA.
Kebajikan tanpa kekuatan adalah LUMPUH."
Motto yg tepat. Ketika lemah, kita tak bisa menjalankan kebajikan kita: NIAT MELINDUNGI diri sendiri dan mereka yg lemah TAK BISA KITA LAKUKAN. MACET!

Persepsi saya di point no.4 ini, KESAKTIAN seperti PISAU, ia ALAT YG NETRAL. Kesaktian menjadi positif atau negatif tergantung NIAT/CETANA penggunanya. Jangan ALAT (baca: pisau, kesaktian) itu yg disalahkan bila keliru penggunaannya.

***
Soal pemaksaan.
Pemaksaan itu sendiri (menurut saya pribadi): NETRAL. Itu menjadi positif atau negatif tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si pemaksa.
#NIAT:Bila pemaksaan itu demi kebaikan, kebahagiaan yg dipaksa, tentu pemaksaan itu menjadi baik.
Contoh: Mau jd biku, HARUS taati Vinaya. Anak DIPAKSA utk belajar.
[Bedanya dg penguasa lalim: yah pada NIAT egois si penguasa. :) ]


#KEBIJAKSANAAN.
Kalo kita TAHU PASTI benar pemaksaan itu bermanfaat buat yg dipaksa, Pemaksaan itu menjadi positif. Tapi susahnya, kita2 kebanyakan CUMA MERASA BENAR, MERASA BIJAK. Nah, disinilah kita harus RENDAH HATI, SADARI kebijaksanaan kita di level mana. Jangan sampai NIAT BAIK justru mencelakakan yg mau kita tolong, lindungi, didik, bimbing. Dengan jalan: MENGHINDARI PEMAKSAAN. Cukup dg HIMBAUAN. Kalo kita belum suci, belum bijak, tapi berani memaksakan kehendak pada orang lain, WALAUPUN NIAT/CETANA kita (menurut kita) BAIK, ini adalah sangat RISKAN! BERBAHAYA! Krn BELUM TENTU hasilnya baik.

Dari pemahaman di atas, semoga jelas, bukan PEMAKSAAN itu yg buruk.

Demikian pemahaman saya pribadi. Bukan membela bro Deva, atau siapapun, tapi mendukung yang saya ANGGAP benar.

Kalo ada yg keliru, please bantu luruskan, bro Kaynin.
_/\_

inJulia

Sepertinya ada yg perlu saya ralat:
Entah ini Semboyan Kempo atau Einstein (mohon koreksi):
"Kekuatan tanpa kasih sayang adalah BUTA.
Kasih sayang tanpa kekuatan adalah LUMPUH."

Setuju ngga dg motto di atas? :)
Kalo bisa disetujui, maka KESAKTIAN, KUNGFU akan bisa kita nilai segi positifnya, shg bagus kalo kita bisa miliki.

Saya kuatir sikap meremehkan dan merendahkan kesaktian (baca: abhinna) datang dari mereka yg tidak mempunyai kemampuan itu, sbg pembelaan ego sendiri. Ini sangat tidak fair krn menyesatkan umat.

Memang kesaktian, kekuatan, power bisa berdampak positif, juga bisa negatif. Tapi adanya dampak negatif, jangan tergelincir menyalahkan power, tool tersebut.

Ntar saya ingin membahas Bhiksu TNH.
_/\_

kullatiro

#35
kata logika ini bisa berarti persepsi seseorang karena dasar logika sesorang atau waktu ini mungkin berbeda dengan pencapain masing masing orang. logika yang di pakai buddha atau yang Buddha lihat tidak sama dengan diriku dll, meskipun kita mencoba untuk mencapai persepsi yang dilihat sang Buddha dan berusaha memahaminya.

logika dalam masa ini juga selalu berubah, misalnya jaman dahulu mana ada logikanya orang menolak di tawarkan rokok karena menolak rokok sama saja dengan menolak perdamaian.

di atas kata logika ada kata kebijaksanaan, bijaksana mengetahui siapa saja yang mampu menerima dan tidak menerima pengetahuan dan persepsi tertentu. jadi kadang kita harus menyesuaikan pengetahuan yang kita ajarkan/logika kita dengan logika penerima nya baru kedua bilah pihak bisa saling mengerti dengan jelas pengetahuan atau logika nya.

menurut ku lebih baik dengan penguasaan kebijaksanan dengan mengetahui persepsi audience yang kita tuju siapa dan bagaimana cara mereka berpikir nya hingga kita mengetahui dengan jelas apakah maksud (pengetahuan) yang akan kita sampaikan dapat di terima dan di mengerti dengan baik oleh mereka. 

K.K.

Quote from: inJulia on 24 November 2010, 07:48:19 PM
Thanks bro Kainyn,
Sepertinya respon Teman2 di trit ini dipengaruhi post bro Deva di trit lain.
Utk menghindari mispersepsi,
Kemarin sy baru nemu 2 trit bro Deva, trus buka2 topik sebelumnya, ga nemu lg trit lainnya. Jd saya masih buta soal pemahaman, pemikiran bro Deva yg ada di post yg lain. Koment saya melulu berdasar 2 trit tsb.
"MENGUASAI Tipitaka", persepsi saya maknanya: memahami secara benar isi Tipitaka. Jadi bukan dalam makna: HAFAL SAJA, yg cuma bisa meng-ulang2 ayat2.

MENGUASAI rumus2 matematika berbeda dg HAFAL rumus2 Matematika.

Sepertinya bro Deva pernah posting bahwa Buddha bisa membenarkan pembunuhan. Maaf kalo saya keliru. Nah, di trit ini itu adalah pendapat pribadi bro Deva, yg tidak bisa dipakai utk mematahkan point no.1. Walaupun menurut kita itu pemahaman yg keliru.
Saya kurang mengerti. Tulisan biru mengatakan harus pahami makna secara benar, tapi di tulisan merah, seseorang bebas mengeluarkan pendapat. Jadi dalam mengajar, perlu pemahaman benar atau hanya sekadar pendapat pribadi?


QuoteBuddha punya kemampuan demikian, kita tidak punya, trit ini berbicara buat level kita-kita manusia pada umumnya.

Kalo si A logikanya picik, berarti logikanya amburadul, alias tidak logis.

Soal logika, jangan dikaitkan dg pemaksaan kehendak, bro. Sepertinya, maaf kalo keliru, Bro Deva pernah mempost dan memaksakan logikanya. Tp kita mesti fair, pemaksaan logikanya itu tidak bisa dipakai untuk mematahkan point no. 2 nya ini. Lain konteksnya.

Saya menerima point no.2 ini dalam makna, kita menerima satu ajaran tentu bukan ASAL TERIMA. Kalo punya wisdom, panna, yah tentu kita gunakan tool itu. Tapi kebanyakan manusia awalnya baru punya akal sehat. Yah akal sehat, inilah yg dipakai buat memilih-milih ajaran mana yg dianggap cocok, benar, patut dicoba, diamalkan.
Apakah bro punya pengetahuan dasar mengenai logic & fallacy? Kalau ada, saya akan coba bahas lebih lanjut.


QuoteSaya memahami point no 3 ini dalam makna yg saya bold di atas. :)
Bahwa mengutarakan satu pemahaman TIDAK GAMPANG atau sepele. Tapi butuh KEMAMPUAN.

Soal manipulasi, itu di luar konteks.

Deva:
Sebagian orang berpandangan seolah-olah mengembangkan kesaktian
adalah sesuatu yang salah, atau merupakan suatu tujuan yang salah dari praktik meditasi.

Injulia:
Konon universitas Nalanda dibakar butuh 7 hari 7 malam untuk menuntaskannya. KEBIADABAN Ini bisa terjadi Karena Sangha dan umat LEMAH.
Maksudnya, bro berpikir bahwa saya 'mengharamkan' kesaktian? :D


QuoteEntah ini Semboyan Kempo atau Einstein (mohon koreksi):
"Kekuatan tanpa kebajikan adalah BUTA.
Kebajikan tanpa kekuatan adalah LUMPUH."
Motto yg tepat. Ketika lemah, kita tak bisa menjalankan kebajikan kita: NIAT MELINDUNGI diri sendiri dan mereka yg lemah TAK BISA KITA LAKUKAN. MACET!
Bro, saran saya, kalau mau belajar melindungi dari bahaya luar, belajarlah bela diri, jangan belajar dhamma. Dhamma mengajarkan kita untuk berlindung dari bahaya yang menyebabkan kelahiran kembali, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin.


QuotePersepsi saya di point no.4 ini, KESAKTIAN seperti PISAU, ia ALAT YG NETRAL. Kesaktian menjadi positif atau negatif tergantung NIAT/CETANA penggunanya. Jangan ALAT (baca: pisau, kesaktian) itu yg disalahkan bila keliru penggunaannya.
Kalau persepsi Buddha tentang kesaktian, bisa dibaca di Kevaddha Sutta, Digha Nikaya 11.


Quote***
Soal pemaksaan.
Pemaksaan itu sendiri (menurut saya pribadi): NETRAL. Itu menjadi positif atau negatif tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si pemaksa.
#NIAT:Bila pemaksaan itu demi kebaikan, kebahagiaan yg dipaksa, tentu pemaksaan itu menjadi baik.
Contoh: Mau jd biku, HARUS taati Vinaya. Anak DIPAKSA utk belajar.
[Bedanya dg penguasa lalim: yah pada NIAT egois si penguasa. :) ]
Di awal anda bilang: Yah akal sehat, inilah yg dipakai buat memilih-milih ajaran mana yg dianggap cocok, benar, patut dicoba, diamalkan. Lalu sekarang setuju dengan pemaksaan. Sebetulnya pengajaran dhamma ini mengandalkan pemahaman pelajar atau pemaksaan pengajar?



Quote#KEBIJAKSANAAN.
Kalo kita TAHU PASTI benar pemaksaan itu bermanfaat buat yg dipaksa, Pemaksaan itu menjadi positif. Tapi susahnya, kita2 kebanyakan CUMA MERASA BENAR, MERASA BIJAK. Nah, disinilah kita harus RENDAH HATI, SADARI kebijaksanaan kita di level mana. Jangan sampai NIAT BAIK justru mencelakakan yg mau kita tolong, lindungi, didik, bimbing. Dengan jalan: MENGHINDARI PEMAKSAAN. Cukup dg HIMBAUAN. Kalo kita belum suci, belum bijak, tapi berani memaksakan kehendak pada orang lain, WALAUPUN NIAT/CETANA kita (menurut kita) BAIK, ini adalah sangat RISKAN! BERBAHAYA! Krn BELUM TENTU hasilnya baik.
Bukannya bro sebelumnya setuju dengan pemaksaan logika bro deva? Saya jadi tambah tidak mengerti. Sebetulnya logika itu boleh dipaksakan atau tidak?


QuoteDari pemahaman di atas, semoga jelas, bukan PEMAKSAAN itu yg buruk.
OK, saya minta anda jawab pertanyaan saya:
Menurut anda, pemaksaan itu baik atau buruk, siapa yang tentukan?


QuoteDemikian pemahaman saya pribadi. Bukan membela bro Deva, atau siapapun, tapi mendukung yang saya ANGGAP benar.

Kalo ada yg keliru, please bantu luruskan, bro Kaynin.
_/\_
Tidak masalah. Saya juga bukan ada dendam dengan bro Deva, hanya mengungkapkan yang saya anggap benar. Keliru atau tidak, saya tidak tahu karena saya bukan Buddha. Saya hanya memberikan penjelasan dari sudut pandang saya saja.


inJulia

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Saya kurang mengerti. Tulisan biru mengatakan harus pahami makna secara benar, tapi di tulisan merah, seseorang bebas mengeluarkan pendapat. Jadi dalam mengajar, perlu pemahaman benar atau hanya sekadar pendapat pribadi?
Jelas butuh pemahaman benar.

2 Pendapat seseorang mestinya, harusnya sinkron, selaras. Kalo pendapat yg kedua bertentangan, itu tandanya ia belum menguasai. Baru taraf hafal.

Tapi ketidakmampuan seseorang menjalankan pendapat I, tidak boleh dipakai argumentasi utk menyalahkan semua pendapatnya.

Maksud saya begini, bro Kai:
Yang kita bahas di trit ini adalah Pendapat TS. Bukan membahas kepribadian, sikap atau tindakan TS. :)

Misalnya si X sudah sering berbohong di banyak trit. Tp lalu buka trit tentang dg topic ABC. Maka yg patut dibahas, diserang, didukung adalah isi pendapat ABC tersebut. Jangan krn sdh terkenal tukang bohong, lalu kita menyalahkan pendapat ABC nya sebagai kebohongan juga.

Pointnya, pisahkan antara membahas topic dg membahas pribadi DCers.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Apakah bro punya pengetahuan dasar mengenai logic

inJulia

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Saya kurang mengerti. Tulisan biru mengatakan harus pahami makna secara benar, tapi di tulisan merah, seseorang bebas mengeluarkan pendapat. Jadi dalam mengajar, perlu pemahaman benar atau hanya sekadar pendapat pribadi?
Jelas butuh pemahaman benar.

2 Pendapat seseorang mestinya, harusnya sinkron, selaras. Kalo pendapat yg kedua bertentangan, itu tandanya ia belum menguasai. Baru taraf hafal.

Tapi ketidakmampuan seseorang menjalankan pendapat I, tidak boleh dipakai argumentasi utk menyalahkan semua pendapatnya.

Maksud saya begini, bro Kai:
Yang kita bahas di trit ini adalah Pendapat TS. Bukan membahas kepribadian, sikap atau tindakan TS. :)

Misalnya si X sudah sering berbohong di banyak trit. Tp lalu buka trit tentang dg topic ABC. Maka yg patut dibahas, diserang, didukung adalah isi pendapat ABC tersebut. Jangan krn sdh terkenal tukang bohong, lalu kita menyalahkan pendapat ABC nya sebagai kebohongan juga.

Pointnya, pisahkan antara membahas topic dg membahas pribadi DCers.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Apakah bro punya pengetahuan dasar mengenai logic 8 fallacy? Kalau ada, saya akan coba bahas lebih lanjut.
Tidak punya dasar logic. Saya ngga pernah pelajari, dalami ilmu itu. Saya Cuma pendebat jalanan.  :)
Tapi kalo bro Kai berkenan, tolong copas di sini.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Maksudnya, bro berpikir bahwa saya 'mengharamkan' kesaktian? :D
Bukan mengharamkan, tapi meremehkan, memandang rendah pd kesaktian yg dimiliki oleh bukan Sang Buddha. Kalo Buddha menunjukkan kesaktian, dipandang bagus. Tapi kalo bhikkhu, umat Buddha awam nunjukin kesaktian, dinilai negative.

Buat saya kesaktian itu NETRAL. :)


Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Bro, saran saya, kalau mau belajar melindungi dari bahaya luar, belajarlah bela diri, jangan belajar dhamma. Dhamma mengajarkan kita untuk berlindung dari bahaya yang menyebabkan kelahiran kembali, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin.

Kalau persepsi Buddha tentang kesaktian, bisa dibaca di Kevaddha Sutta, Digha Nikaya 11.
Paragraf atas menunjukkan tidak dibutuhkannya (meremehkan) kesaktian selain oleh Buddha. :)

Sedang pemahaman saya, tidak punya abhinna bagus, kalo punya lebih bagus.

Bisa tolong copas di sini ayat tsb, bro?


Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM

Di awal anda bilang: Yah akal sehat, inilah yg dipakai buat memilih-milih ajaran mana yg dianggap cocok, benar, patut dicoba, diamalkan. Lalu sekarang setuju dengan pemaksaan. Sebetulnya pengajaran dhamma ini mengandalkan pemahaman pelajar atau pemaksaan pengajar?
Motongnya kurang pas, bro. Coba baca lg, akal dipakai krn belum punya panna. :)
Tidak ada rotan akarpun jadi. He he he Kalo alat yg kita punya baru akal sehat, yah gunakan apa yg ada.

Soal Pemaksaan, jangan dipotong, itu satu kesatuan. Coba tolong baca lagi sebagai satu kesatuan. Tegasnya: Seorang Arahat pantas dan boleh memaksakan pd pihak lain. Tp buat level kita2 JANGAN MEMAKSAKAN PENDAPAT, KEHENDAK.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Bukannya bro sebelumnya setuju dengan pemaksaan logika bro deva? Saya jadi tambah tidak mengerti. Sebetulnya logika itu boleh dipaksakan atau tidak?

OK, saya minta anda jawab pertanyaan saya:
Menurut anda, pemaksaan itu baik atau buruk, siapa yang tentukan?
Setelah saya teliti lg post 1 bro Deva,
Ada yg kurang tepat menurut saya.
Kebenaran mutlak melampaui logika. Jd logika tak bisa dipakai alat uji menentukan tafsir yg benar, atau kebenaran.

Logika hanya alat bantu awal mengenalkan satu ajaran pd pemula. Shg seseorang bisa tertarik mendalami lebih jauh. Kalo sejak awal sudah dianggap tidak masuk akal, org sdh menjauh duluan.


Tentu dan pasti saya menentang seseorang yg bukan arahat memaksakan pendapat, atau apapun.

Logika satu hal, pemaksaan hal lain, dan sikap pribadi bro Deva, atau siapapun juga hal lain. Ada 3 hal yg harus kita pisah-pisah, bro. Jangan dicampur dan dikait-kaitkan.

Penjelasan satu ajaran secara logis, SAMA SEKALI tak bisa dikaitkan dg PEMAKSAAN atau tidak. Identik dg pengajaran satu ajaran yg tahayul dan menggelikan, ini juga tak bisa dikaitkan sebagai sesuatu tanpa pemaksaan atau sebaliknya.

Pertanyaan terakhir bro di quote ini,
Sudah saya jawab di respon yg lalu. PEMAKSAAN itu NETRAL. Tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si Pemaksa.

Buat level kita2 (baca: bukan Buddha, Arahat), sikap Saya sangat anti dg pemaksaan kehendak. Itu arogansi, tercela, merasa pasti benar, kesombongan, bibit konflik. :)
Ini point utama saya.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 09:05:19 AM
Tidak masalah. Saya juga bukan ada dendam dengan bro Deva, hanya mengungkapkan yang saya anggap benar. Keliru atau tidak, saya tidak tahu karena saya bukan Buddha. Saya hanya memberikan penjelasan dari sudut pandang saya saja.
Setuju dan sepakat, demikian jg sikap saya, bro. Dg sikap demikian, mustahil kita menyetujui pemaksaan kehendak, logika, atau apapun. Hanya yg merasa PASTI BENAR, PASTI BAIK yg berani memaksakan sesuatu pd org lain. Bisa itu Arahat, bisa juga orang Arogan.


Perbedaan kita,
saya CUMA melihat isi posting bro Deva yg ada di sini, sedang DCers sepertinya (CMIIW) sudah membawa serta prasangka dari postingan bro Deva di trit lain.


Thanks
_/\_

OOT:
kerjaan jd terbengkalai, nich..... :)



K.K.

Quote from: inJulia on 25 November 2010, 03:54:09 PM
Jelas butuh pemahaman benar.

2 Pendapat seseorang mestinya, harusnya sinkron, selaras. Kalo pendapat yg kedua bertentangan, itu tandanya ia belum menguasai. Baru taraf hafal.

Tapi ketidakmampuan seseorang menjalankan pendapat I, tidak boleh dipakai argumentasi utk menyalahkan semua pendapatnya.
Ini saya setuju.

QuoteMaksud saya begini, bro Kai:
Yang kita bahas di trit ini adalah Pendapat TS. Bukan membahas kepribadian, sikap atau tindakan TS. :)

Misalnya si X sudah sering berbohong di banyak trit. Tp lalu buka trit tentang dg topic ABC. Maka yg patut dibahas, diserang, didukung adalah isi pendapat ABC tersebut. Jangan krn sdh terkenal tukang bohong, lalu kita menyalahkan pendapat ABC nya sebagai kebohongan juga.

Pointnya, pisahkan antara membahas topic dg membahas pribadi DCers.
Ya, saya juga berpendapat begitu. Apa menurut pendapat bro, saya bawa-bawa pribadi di sini?
Bukankah semua yang saya bahas adalah berasal dari thread ini? Soal "pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha", itu adalah contoh saja. Kalau bro merasa keberatan, bolehlah saya ganti jadi "pemerkosaan yang dibenarkan oleh Buddha."

Juga mengenai logika, saya tidak menyeret thread bro deva19 yang lain ke sini, tapi membahas bahwa logika itu bisa benar bagi seseorang, tapi salah bagi orang lain. Juga benar bagi kedua pihak dalam batasan tertentu, namun salah bagi kedua pihak dalam batasan lain. Ini berlaku untuk semua orang, bukan hanya untuk bro deva19 atau saya. Itulah sebabnya logika tidak dapat dijadikan tolok ukur pasti, apalagi logika dari sudut pandang sepihak.


QuoteTidak punya dasar logic. Saya ngga pernah pelajari, dalami ilmu itu. Saya Cuma pendebat jalanan.  :)
Tapi kalo bro Kai berkenan, tolong copas di sini.
Tidak mungkin di-co-pas, Bro. Ilmu ini cukup luas. Saya beri contoh sederhana saja. Sekarang andaikan saya dan anda diskusi tentang orang terlahir dengan berbeda. Kita bahas dari logika sebab-akibat bahwa itu adalah akibat dari suatu sebab di kehidupan lampau, maka kita bisa nyambung. Logika itu valid karena kita bicara dalam batasan yang sama-sama mengakui kehidupan lampau dan akibat dari perbuatan (kamma). Sekarang jika saya adalah seorang penganut paham takdir, maka anda berargumen berdasarkan sebab-akibat dengan cara apapun juga, tidaklah logis bagi saya. Sebab saya memiliki pemahaman lain. Apa yang tadinya logis, bisa menjadi tidak logis.


QuoteBukan mengharamkan, tapi meremehkan, memandang rendah pd kesaktian yg dimiliki oleh bukan Sang Buddha. Kalo Buddha menunjukkan kesaktian, dipandang bagus. Tapi kalo bhikkhu, umat Buddha awam nunjukin kesaktian, dinilai negative.

Buat saya kesaktian itu NETRAL. :)
Sama, buat saya kesaktian itu netral. Saya tidak mencela kesaktian, tapi pribadi yang menyalahgunakan.


QuoteParagraf atas menunjukkan tidak dibutuhkannya (meremehkan) kesaktian selain oleh Buddha. :)

Sedang pemahaman saya, tidak punya abhinna bagus, kalo punya lebih bagus.

Bisa tolong copas di sini ayat tsb, bro?
Itu pemahaman anda, silahkan anda pegang teguh. Kalau saya pribadi, lebih memegang pemahaman Buddha.
silahkan baca di sini.



QuoteMotongnya kurang pas, bro. Coba baca lg, akal dipakai krn belum punya panna. :)
Tidak ada rotan akarpun jadi. He he he Kalo alat yg kita punya baru akal sehat, yah gunakan apa yg ada.

Soal Pemaksaan, jangan dipotong, itu satu kesatuan. Coba tolong baca lagi sebagai satu kesatuan. Tegasnya: Seorang Arahat pantas dan boleh memaksakan pd pihak lain. Tp buat level kita2 JANGAN MEMAKSAKAN PENDAPAT, KEHENDAK.
OK, jadi maksudnya pemaksaan itu boleh dilakukan oleh Arahat. Saya baru dengar pendapat seperti ini.

Saya bertanya-tanya, jika bro deva19 sedang memaksakan logikanya dalam satu diskusi, akankah bro inJulia mengatakan hal yang sama, atau akan mendukung pemaksaan logika tersebut.
:D

QuoteSetelah saya teliti lg post 1 bro Deva,
Ada yg kurang tepat menurut saya.
Kebenaran mutlak melampaui logika. Jd logika tak bisa dipakai alat uji menentukan tafsir yg benar, atau kebenaran.

Logika hanya alat bantu awal mengenalkan satu ajaran pd pemula. Shg seseorang bisa tertarik mendalami lebih jauh. Kalo sejak awal sudah dianggap tidak masuk akal, org sdh menjauh duluan.
Betul, logika hanyalah salah satu sarana menyampaikan kebenaran, dan sifatnya masih sangat relatif.


QuoteTentu dan pasti saya menentang seseorang yg bukan arahat memaksakan pendapat, atau apapun.

Logika satu hal, pemaksaan hal lain, dan sikap pribadi bro Deva, atau siapapun juga hal lain. Ada 3 hal yg harus kita pisah-pisah, bro. Jangan dicampur dan dikait-kaitkan.
Karena anda menganjurkan untuk tidak bawa thread lain ke sini, jadi saya no comment mengenai hal ini.
BTW, boleh ditunjukkan di mana spesifiknya saya ada menyerang pribadi bro deva?


QuotePenjelasan satu ajaran secara logis, SAMA SEKALI tak bisa dikaitkan dg PEMAKSAAN atau tidak. Identik dg pengajaran satu ajaran yg tahayul dan menggelikan, ini juga tak bisa dikaitkan sebagai sesuatu tanpa pemaksaan atau sebaliknya.
:D Coba dibaca thread ini, dan berikan pendapat. Saya mau lihat apa itu 'netral' dari sudut pandang seorang inJulia.


QuotePertanyaan terakhir bro di quote ini,
Sudah saya jawab di respon yg lalu. PEMAKSAAN itu NETRAL. Tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si Pemaksa.
OK, no comment.

QuoteBuat level kita2 (baca: bukan Buddha, Arahat), sikap Saya sangat anti dg pemaksaan kehendak. Itu arogansi, tercela, merasa pasti benar, kesombongan, bibit konflik. :)
Lagi-lagi disinggung pemaksaan kehendak. Kalau boleh, bro tunjukkan lagi secara spesifik di mana saya memaksakan kehendak saya.


QuoteIni point utama saya.
Setuju dan sepakat, demikian jg sikap saya, bro. Dg sikap demikian, mustahil kita menyetujui pemaksaan kehendak, logika, atau apapun. Hanya yg merasa PASTI BENAR, PASTI BAIK yg berani memaksakan sesuatu pd org lain. Bisa itu Arahat, bisa juga orang Arogan.


Perbedaan kita,
saya CUMA melihat isi posting bro Deva yg ada di sini, sedang DCers sepertinya (CMIIW) sudah membawa serta prasangka dari postingan bro Deva di trit lain.
Untuk yang ke tiga kalinya, saya minta tolong tunjukkan posting saya yang membawa-bawa pribadi deva19. Silahkan anda berikan opini bahwa deva19 sudah arahat sedangkan rekan DC semua arogan, itu sah saja. Tapi kalau memang ada postingan yang penuh prasangka, tunjukkan saja faktanya.


Kelana

Quote from: inJulia on 24 November 2010, 07:48:19 PM
Injulia:
Konon universitas Nalanda dibakar butuh 7 hari 7 malam untuk menuntaskannya. KEBIADABAN Ini bisa terjadi Karena Sangha dan umat LEMAH.

Kalimat yang dibold agak sedikit aneh menurut saya.
Yang saya pahami, kejahatan seseorang dikarenakan oleh pikirannya sendiri, bukan karena pihak luar. :)
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

inJulia

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
Ini saya setuju.
Ya, saya juga berpendapat begitu. Apa menurut pendapat bro, saya bawa-bawa pribadi di sini?
Bukankah semua yang saya bahas adalah berasal dari thread ini? Soal "pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha", itu adalah contoh saja. Kalau bro merasa keberatan, bolehlah saya ganti jadi "pemerkosaan yang dibenarkan oleh Buddha."
Sepertinya ada "miss" persepsi dalam diskusi ini. :)

Saya awalnya menduga contoh pertama yg saya bold adalah posting bro Deva di trit lain yg bro Kai bawa ke trit ini. Sebab di trit ini, bro Deva tidak ada menulis pemahaman tsb. Kedua contoh itu jelas tidak selaras dalam konsep Buddhis. :) tp kalau yg keliru itu bukan ditulis bro Deva, kan mubasir kita hakimi?

Masalahnya bukan saya keberatan atau tidak, tp apakah 2 contoh yg Anda tulis itu tulisan (pendapat) bro Deva  atau bukan? Kalo bukan, kita tak bisa menilainya.



Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
Juga mengenai logika, saya tidak menyeret thread bro deva19 yang lain ke sini, tapi membahas bahwa logika itu bisa benar bagi seseorang, tapi salah bagi orang lain. Juga benar bagi kedua pihak dalam batasan tertentu, namun salah bagi kedua pihak dalam batasan lain. Ini berlaku untuk semua orang, bukan hanya untuk bro deva19 atau saya. Itulah sebabnya logika tidak dapat dijadikan tolok ukur pasti, apalagi logika dari sudut pandang sepihak.
Soal tulisan ttg logika di atas saya sependapat. Itu jg pemahaman saya. :)


Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
Tidak mungkin di-co-pas, Bro. Ilmu ini cukup luas. Saya beri contoh sederhana saja. Sekarang andaikan saya dan anda diskusi tentang orang terlahir dengan berbeda. Kita bahas dari logika sebab-akibat bahwa itu adalah akibat dari suatu sebab di kehidupan lampau, maka kita bisa nyambung. Logika itu valid karena kita bicara dalam batasan yang sama-sama mengakui kehidupan lampau dan akibat dari perbuatan (kamma). Sekarang jika saya adalah seorang penganut paham takdir, maka anda berargumen berdasarkan sebab-akibat dengan cara apapun juga, tidaklah logis bagi saya. Sebab saya memiliki pemahaman lain. Apa yang tadinya logis, bisa menjadi tidak logis.
Yup, setuju.
Theisme punya logikanya sendiri. Buddhisme, Non Theis juga punya logikanya sendiri. Padahal keduanya berbeda. :) ini saya mengerti.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
Sama, buat saya kesaktian itu netral. Saya tidak mencela kesaktian, tapi pribadi yang menyalahgunakan.

Itu pemahaman anda, silahkan anda pegang teguh. Kalau saya pribadi, lebih memegang pemahaman Buddha.
silahkan baca di sini.
Buddha melarang penggunaan kesaktian. Apa yg dilarang bermakna negatif. Bukan netral.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
OK, jadi maksudnya pemaksaan itu boleh dilakukan oleh Arahat. Saya baru dengar pendapat seperti ini.

Saya bertanya-tanya, jika bro deva19 sedang memaksakan logikanya dalam satu diskusi, akankah bro inJulia mengatakan hal yang sama, atau akan mendukung pemaksaan logika tersebut.
:D
Nah, sejak awal bro Kai menulis yg saya bold, tp saya kok ngga menemukan hal ini di trit ini? :)

Apa reaksi saya pd PEMAKSAAN SIAPAPUN (kecuali Buddha, Arahat), saya sudah tulis di respon sebelumnya.

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
Betul, logika hanyalah salah satu sarana menyampaikan kebenaran, dan sifatnya masih sangat relatif.

Karena anda menganjurkan untuk tidak bawa thread lain ke sini, jadi saya no comment mengenai hal ini.
BTW, boleh ditunjukkan di mana spesifiknya saya ada menyerang pribadi bro deva?
Menyerang ini maksud saya:
A. pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha.
B. Pemaksaan Logika


2 hal itu setahu saya tak ada ditulis bro Deva di trit ini. Makanya awalnya saya duga, itu ditulis oleh bro Deva di trit lain, yg bro geret ke sini. Tp di atas  bro bilang hanya contoh buatan bro sendiri. :)

Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
:D Coba dibaca thread ini, dan berikan pendapat. Saya mau lihat apa itu 'netral' dari sudut pandang seorang inJulia.
Seorang ayah MEMAKSA anaknya agar belajar dulu, demi kepentingan si anak sendiri. Apa PEMAKSAAN itu buruk?

Itu rasanya cukup membuktikan, PEMAKSAAN itu sendiri NETRAL. Itu menjadi buruk atau baik, tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si Pemaksa. :)

Link.
Seorang Nabi MEMAKSA agar pengikutnya begini begitu, masih NETRAL. Tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si yg NGAKU NABI itu. Dan saya ngga kompeten menilai niat seorang Nabi. :)


Quote from: Kainyn_Kutho on 25 November 2010, 05:02:25 PM
OK, no comment.
Lagi-lagi disinggung pemaksaan kehendak. Kalau boleh, bro tunjukkan lagi secara spesifik di mana saya memaksakan kehendak saya.

Untuk yang ke tiga kalinya, saya minta tolong tunjukkan posting saya yang membawa-bawa pribadi deva19. Silahkan anda berikan opini bahwa deva19 sudah arahat sedangkan rekan DC semua arogan, itu sah saja. Tapi kalau memang ada postingan yang penuh prasangka, tunjukkan saja faktanya.
Saya tidak membahas pribadi bro Kai, bro Deva, DCers. Jadi jangan merasa saya menuduh bro atau siapapun pemaksa, arahat, arogan. Itu pemahaman saya pribadi  tentang pemaksaan, secara umum.

Buat bro Kai:
A. pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha.
B. Pemaksaan Logika


2 hal itu setahu saya tak ada ditulis bro Deva di trit ini. Makanya awalnya saya duga, itu ditulis oleh bro Deva di trit lain, yg bro geret ke sini. Tp di atas  bro bilang hanya contoh buatan bro sendiri. :)

Soal DCers,
Di trit ini beberapa teman saya lihat membahas point yg TIDAK DITULIS oleh bro Deva di trit ini. :) Nampaknya, postingan di trit lain yg diseret ke sini. Ini yg saya maksud.

***
Ok, saya bukan pembela bro Deva. Sekedar itu koment. Krn sudah banyak "miss" understanding, kita akhiri sementara. Sambil saling meresapi. :)

Thanks bro Kai
_/\_

inJulia

Quote from: Kelana on 25 November 2010, 05:54:54 PM
Kalimat yang dibold agak sedikit aneh menurut saya.
Yang saya pahami, kejahatan seseorang dikarenakan oleh pikirannya sendiri, bukan karena pihak luar. :)
Hai bro Mita, :D

Sebagai umat binaan STI, tentu saya paham karma sendirilah penentu nasib, takdir manusia. Tapi ingat juga bhw, bukan melulu karma lampau penentunya, tapi juga karma saai ini.
Point ini berkaitan dg kesaktian, kekuatan. jadi bila dihidup ini bhikkhu, umat di Nalanda saat itu juga melatih kekuatan, apakah kejahatan itu akan tetap terjadi? :)

***
Kalo kita berpikir seseorang dibunuh krn sdh karmanya, ini benar sesuai konsep Buddhis, tapi konsep ini tentu TIDAK bermakna:
~ kita diamkan saja, nonton saja apa buah karma kita dan orang lain.
~Tidak ada sesuatu yg bisa dilakukan untuk mengurangi, bahkan mencegah buah karma kita.


Indra

Quote from: inJulia on 25 November 2010, 10:16:53 PM
~Tidak ada sesuatu yg bisa dilakukan untuk mengurangi, bahkan mencegah buah karma kita.

apakah buah karma bisa dikurangi atau dicegah?

K.K.

#44
Quote from: inJulia on 25 November 2010, 09:47:16 PM
Sepertinya ada "miss" persepsi dalam diskusi ini. :)

Saya awalnya menduga contoh pertama yg saya bold adalah posting bro Deva di trit lain yg bro Kai bawa ke trit ini. Sebab di trit ini, bro Deva tidak ada menulis pemahaman tsb. Kedua contoh itu jelas tidak selaras dalam konsep Buddhis. :) tp kalau yg keliru itu bukan ditulis bro Deva, kan mubasir kita hakimi?

Masalahnya bukan saya keberatan atau tidak, tp apakah 2 contoh yg Anda tulis itu tulisan (pendapat) bro Deva  atau bukan? Kalo bukan, kita tak bisa menilainya.
Seperti saya bilang, kalau anda keberatan, bisa diganti menjadi "pemerkosaan yang dibenarkan Buddha". Itu bukan untuk menyeret tulisan bro deva di thread lain, tapi sekadar contoh bahwa menguasai Tipitaka tanpa memahami maknanya, tidaklah berarti. Sebaliknya menguasai hanya satu sutta, namun benar-benar memahaminya, itulah yang bermanfaat.


QuoteBuddha melarang penggunaan kesaktian. Apa yg dilarang bermakna negatif. Bukan netral.
Itu yang anda belajar setelah baca Kevaddha Sutta? OK, no commet.


QuoteNah, sejak awal bro Kai menulis yg saya bold, tp saya kok ngga menemukan hal ini di trit ini? :)
Misalnya anda bilang "menyebarkan dhamma harus dilakukan orang ganteng" lalu saya membantah dengan mengatakan "ganteng sama sekali bukan jaminan kalau orang itu tidak paham dhamma", apakah berarti saya sedang mengatakan anda jelek?


QuoteApa reaksi saya pd PEMAKSAAN SIAPAPUN (kecuali Buddha, Arahat), saya sudah tulis di respon sebelumnya.
Menyerang ini maksud saya:
A. pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha.
B. Pemaksaan Logika

Saya menyerang argumen, bukan menyerang pribadi. Saya katakan pemaksaan logika tidak berguna, tapi tidak mengatakan bro deva memaksakan logika. Mungkin anda yang terlalu terbawa emosi saja sehingga terbayang-bayang saya sedang memvonis bro deva secara pribadi.


Quote2 hal itu setahu saya tak ada ditulis bro Deva di trit ini. Makanya awalnya saya duga, itu ditulis oleh bro Deva di trit lain, yg bro geret ke sini. Tp di atas  bro bilang hanya contoh buatan bro sendiri. :) 

Seorang ayah MEMAKSA anaknya agar belajar dulu, demi kepentingan si anak sendiri. Apa PEMAKSAAN itu buruk?

Itu rasanya cukup membuktikan, PEMAKSAAN itu sendiri NETRAL. Itu menjadi buruk atau baik, tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si Pemaksa. :)

Link.
Seorang Nabi MEMAKSA agar pengikutnya begini begitu, masih NETRAL. Tergantung NIAT dan KEBIJAKSANAAN si yg NGAKU NABI itu. Dan saya ngga kompeten menilai niat seorang Nabi. :)
Berarti kalau ada seorang nabi muncul di sini, lalu memaksa anda dengan pedang/kesaktian untuk bunuh ayah-ibu anda sendiri, adalah netral. Sama sekali bukan tidak bermanfaat. Tentu saja harus anda ikuti karena anda seperti "anak" dan si nabi seperti "ayah". Si "ayah" memaksakan yang terbaik walaupun anda, si "anak" belum mengerti.

Sekali lagi, bro inJulia, silahkan anda berpikiran begitu. Saya bukan nabi, jadi tidak akan memaksa anda. Kalau deva19, entahlah.


QuoteSaya tidak membahas pribadi bro Kai, bro Deva, DCers. Jadi jangan merasa saya menuduh bro atau siapapun pemaksa, arahat, arogan. Itu pemahaman saya pribadi  tentang pemaksaan, secara umum.
Karena saya membahas argumen, anda yang mulai bawa-bawa pribadi. Saya jadi bingung. Kalau anda berminat, silahkan bahas argumen saya dan argumen bro deva.


QuoteBuat bro Kai:
A. pembunuhan yang dibenarkan oleh Buddha.
B. Pemaksaan Logika


2 hal itu setahu saya tak ada ditulis bro Deva di trit ini. Makanya awalnya saya duga, itu ditulis oleh bro Deva di trit lain, yg bro geret ke sini. Tp di atas  bro bilang hanya contoh buatan bro sendiri. :)

Soal DCers,
Di trit ini beberapa teman saya lihat membahas point yg TIDAK DITULIS oleh bro Deva di trit ini. :) Nampaknya, postingan di trit lain yg diseret ke sini. Ini yg saya maksud.

A: Siang dan malam dalam sehari itu selalu seimbang lamanya.

B: Siang dan malam tidak selalu seimbang, contohnya di kutub utara/selatan, pada musim panas/dingin, matahari bersinar sepanjang musim.

C: Saya tidak melihat A menulis tentang kutub utara/selatan di thread ini. Sepertinya B sedang menggeret pembahasan beruang kutub yang ditulis A di thread lain.

:D


Quote
***
Ok, saya bukan pembela bro Deva. Sekedar itu koment. Krn sudah banyak "miss" understanding, kita akhiri sementara. Sambil saling meresapi. :)
Betul, sebelum "mister" understanding juga datang, lebih baik diakhiri. Kalau anda mau membahas argumen saya, silahkan, tapi kalau masalah "pribadi-pribadian", mohon maaf, saya tidak tanggapi lagi.