Membuktikan kebenaran Hukum Karma?

Started by inJulia, 16 October 2009, 07:48:06 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: g.citra on 17 October 2009, 04:53:24 PM
Lalu yang di bold itu anda pandang sebagai apa ? bukan bukti kamma ? lalu apa ?


Quote from: ryu on 17 October 2009, 02:45:51 PM
Kalo buah yang langsung anda mendapat ucapan terima kasih, anda mempunyai perasaan senang karena telah membantu orang itu.

kalo anda merasa tidak senang itu beda lagi ;D

Quote from: Kainyn_Kutho on 17 October 2009, 04:21:27 PM
Membuktikan hukum biologi, maksudnya? Ya, sudah cukup membuktikan.

Tulisan bro Ryu yang saya bold itu apakah berbau tentang hukum biologi ?  :-?


Saya pandang sebagai interaksi sosial biasa saja. Suatu common sense di mana semua orang tanpa belajar hukum kamma pun tahu. Mungkin nanti 1+1 = 2 mau diklaim sebagai bukti hukum kamma?

Saking tidak percayanya bahwa itu dikatakan pembuktian hukum kamma, barusan saya langsung tes.
Saya tanya ke seseorang (Kr1sten), "kalau kita memberi orang dana, kira-kira apa yang terjadi selanjutnya?"
Dia jawab, "yah, ga ada apa-apa, paling dia say thanks aja."
Luar biasa. :)



Quote
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 October 2009, 04:21:27 PM
Bukan kepercayaannya yang sama, tetapi jenis orangnya yang sama, yaitu berdasarkan 1 bukti yang tidak valid, ditarik suatu kesimpulan yang mutlak.

Tuhan yang anda katakan tidak valid itu saya anggap hanya bentuk penyederhanaan kata dari keterbatasan manusia dalam memikirkan akibat (atau sesuatu) yang dialami dalam kehidupannya

Sudahkah anda berpikir untuk 'mendefinisikan Tuhan' seperti ini ?
Semoga setelah berpikir, kata itu tidak lagi menjadi 'racun' dalam menghambat keyakinan dan pemahaman anda yang memang sudah baik ... :)
Sekali lagi jangan salah tangkap. Saya tidak bahas "isi"-nya, tetapi "cara penyajiannya".
Pemaksaan pembuktian "Tuhan" dan "Hukum Kamma" adalah berbeda isi, namun cara menyajikannya adalah sama.



QuoteSaya menyadari pemikiran dan tingkat pemahaman tiap orang tidak sama ... dan saya tidak dapat, memaksakan sesuatu yang telah kita peroleh untuk diberikan karena adanya perbedaan tingkat pemikiran dan pemahaman ini ...

Karena itu, saya juga tidak ingin memaksa agar anda mencoba memikirkannya karena sesungguhnya pembuktian dari manfaat tulisan saya itu tidak akan memberikan saya keuntungan dan kerugian apa-apa ... semuanya anda (dan yang membaca tulisan ini) yang akan merasakan (sebagai 'vipaka' karena berdiskusi dengan saya) ... :)

Saya ambil contoh misalnya hukum metafisika. Seseorang memiliki kekuatan supranormal dan membuktikannya pada orang lain yang tidak percaya. Katakanlah terbang, misalnya. Mungkin dia akan terbang atau bahkan mengajak orang yang tidak percaya tersebut. Di sini, orang yang tidak tahu, tidak percaya metafisika, tetap melihat kenyataan bahwa itu ada. Ia mangalami sesuatu yang di luar pengetahuannya.

Sekarang anda di sini seperti orang yang tidak punya kemampuan supranormal, yakin dengan adanya kekuatan supranormal, berusaha membuktikan ke orang lain yang juga tidak memiliki kekuatan supranormal. Namun anda bersikeras bahwa itu bisa dibuktikan, bahkan menyinggung "perbedaan level" yang menyebabkan saya tidak melihatnya.

Dalam ilustrasi ini, sebenarnya saya juga tidak punya kemampuan tersebut (bukan Samma Sambuddha), saya pernah menyaksikan sendiri pertunjukan kemampuan supranormal tersebut (melihat hukum kamma bekerja dalam diri sendiri) sehingga saya yakin itu ada. Namun saya mengakui bahwa saya tidak bisa membuktikannya pada orang lain. Itulah perbedaan kita. Saya tidak membebankan inkompetensi saya dalam membuktikan ke orang lain dengan alasan, "kamu masih dangkal ilmunya".


Jerry

Hukum Kamma jangan dipandang sbg hukum tunggal yg terpisah dr hukum2 lainnya baik hukum yg dikenal dlm Buddhisme atau hukum konvensional yg ada di dlm masyarakat. Kalau dipandang demikian, apalagi dr kacamata 'luar' ya ngga akan ketemu bukti Hukum Kamma yg eksis berdiri sendiri. Yg saya liat banyak kecenderungan org2 yg menanggapi Kalama Sutta dg semangat skeptisme dan penyelidikan yg 'agak' keliru (saya sendiri jg :P) dan mencoba mencocokkan doktrin2 dlm Buddhisme dg menggunakan hukum konvensional sbg parameternya. Pdhl jelas dr segi historis kita dpt melihat bahwa hukum konvensional itu sendiri senantiasa berubah, berkembang dan mengalami perbaikan tesis, setiap kali ditemukan kesalahan dlm hukum tsb. Ambil pemisalan: Perbudakan. Dlm masa2 ketika ekspansi dunia baru sedang gencar2nya dan agama tetangga merajalela, sistem etika belum berkembang spt sekarang ini dan perbudakan dipandang sbg hal yg benar. Andai kita terlahir pd masa tsb. Sbg seorang buddhis yg hidup pd masa demikian, apakah kita harus mengompromikan nilai kebenaran yg diajarkan dlm Buddhisme - ttg mata pencaharian yg salah - dg sistem etika luaran? Karena Hukum Kamma tidak kelihatan akibatnya, dan menggunakan parameter etika konvensional, maka perbudakan adalah sah-sah saja?

Pandangan saya, permasalahan ttg Hukum Kamma, punabbhava demikian bukannya tdk bisa dibuktikan. Tp apakah org tsb mau menerima atau tidak???? Jika memang yg dicari2 adlh celah utk membantah, bukti ketiadaannya, ya pasti akan selalu ada celah dan perbedaan persepsi ttg itu. Sedang pandangan buddhist yg meyakini bahwa 1 hukum haruslah mutlak benar, sempurna tanpa celah cacat 1 pun, juga berpotensi menjadi ekstrem lain. Seperti seorang member di thread ini sebelumnya memberitahu bahwa Sang Buddha meski pun bisa mengerti sempurna kamma-vipaka, toh beliau tetap tdk bisa menunjukkan kebenaran pd orang yg tdk mempercayai. Dlm hal ini, kebenaran hakiki pun hanya menjadi 1 dr sekian banyak kebenaran relatif lainnya. Krn kebenaran hakiki dipandang dr sudut relatif. Seperti pandangan bumi bulat dan bumi datar. Meski kebenaran hakikinya bumi bulat, toh dari sudut pandang relativitas, bumi dapat pula dipandang berbentuk mendatar. Dan dlm sudut pandang ini, kita harus pula menghargai pemikiran mereka yg demikian. Karena pemikirannya benar, meski hanya dalam cara pandangnya.

Yg jelas sih saya setuju, memang tidak perlu menyerang pondasi keyakinan org lain dg cara yg sama. Apa bedanya yg 1 dg yg lain jika demikian? Sang Buddha tidak pernah mengajarkan kita utk itu. Jika mereka meyakini yg ada adlh Kehendak Ilahi, Kehidupan stlh kematian yg cuma 1x dg pilihan antara Surga abadi atau Neraka abadi. Ya silakan saja.. Sama2 tdk bisa membuktikan, ya jalani saja sesuai keyakinan masing2. Dalam posisi sama2 tdk mampu membuktikan, baiklah jika kita pun beriman saja pada kebenaran adanya Hukum Kamma dan punabbhava. Dg catatan, sambil terus berusaha memperdalam praktek dan pengetahuan kita dg memakai kacamata 'buddhisme' tentunya, bukan kacamata luaran.

[at] InJulia
Btw, utk Bro InJulia, kemampuan menembusi kamma-vipaka ngga hak eksklusif seorang Samma Sambuddha saja koq. Yg saya tau misalnya Y.M.Anuruddha yg memiliki kemampuan utk melihat timbul tenggelamnya makhluk berdasarkan kammanya, juga kemampuan utk mengetahui jenis kamma tertentu yg membawa pd kelahiran kembali dlm bentuk keberadaan yg baru (kammupaga-nana). Selengkapnya dapat dibaca di perpustakaan DC *promosi mode on* ^-^

mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: upasaka on 17 October 2009, 05:05:41 PM
Baiklah. Saya akan memberi penjelasan dan saya juga meminta jawaban dari Anda.


Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya. Setelah itu, apakah ibu itu akan berpikiran, "Hai, sobat, lain kali aku tidak ingin menerima pemberianmu."?

Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun senang dan menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya, dan ibu itu memberitahukan hal ini kepada orang-orang terdekatnya. Apakah orang-orang dan ibu itu akan berkata kepada Anda, "Hai, sobat, Anda telah berbuat jahat sekali. Pergilah kami tidak ingin kau berbuat baik."?

Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun senang dan menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya. Dan ternyata hal ini dilihat dan diketahui oleh orang lain ataupun teman Anda. Apakah mereka akan berucap, "Hai, sobat, perbuatanmu sungguh memalukan. Aku kecewa menjadi temanmu."?

Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun senang dan menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya. Anda menanam pemikiran yang penuh cinta-kasih ketika hendak memberi uang itu, Anda memberikan uang itu dengan pikiran yang penuh cinta-kasih, dan Anda mengembangkan pemikiran cinta-kasih setelah memberikan uang itu. Apakah Anda akan berkata, "Hai, ibu, aku sangat menderita dengan pemberianku ini."?

Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun senang dan menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya. Anda menanam pemikiran yang penuh cinta-kasih ketika hendak memberi uang itu, Anda memberikan uang itu dengan pikiran yang penuh cinta-kasih, dan Anda mengembangkan pemikiran cinta-kasih setelah memberikan uang itu. Anda merenungkan kebaikan ini sehingga kebahagiaan menyertai hari Anda. Pembawaan Anda sangat menyenangkan. Apakah teman-teman yang berinteraksi dengan Anda saat itu akan berkata, "Hai, sobat, sikapmu menakutkan sekali. Kami pikir sebaiknya kami membawa senjata untuk melindungi diri dari sikapmu."?

Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun senang dan menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya. Anda menanam pemikiran yang penuh cinta-kasih ketika hendak memberi uang itu, Anda memberikan uang itu dengan pikiran yang penuh cinta-kasih, dan Anda mengembangkan pemikiran cinta-kasih setelah memberikan uang itu. Anda merenungkan kebaikan ini sehingga kebahagiaan menyertai hari Anda. Pembawaan Anda sangat menyenangkan. Anda terus berusaha mempertahankan kebahagian mental ini. Menurut penelitian kedokteran, kebahagian dari rasa puas (syukur) membuat kesehatan seseorang lebih baik. Apakah setelah Anda mampu menjaga pikiran baik seperti ini, maka tubuh Anda akan letih-lesu?

Ada seorang ibu Non-Buddhis yang baru saja melahirkan anaknya, dan ia hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ia terus berdoa kepada Tuhannya agar diberi kemudahan. Suatu saat, Anda mengetahui kondisinya dan Anda memberi uang Rp 50.000,- guna membeli susu untuk anaknya. Ia pun senang dan menerima pemberian dari Anda. Ia pun memberi susu untuk diminum anaknya. Anda menanam pemikiran yang penuh cinta-kasih ketika hendak memberi uang itu, Anda memberikan uang itu dengan pikiran yang penuh cinta-kasih, dan Anda mengembangkan pemikiran cinta-kasih setelah memberikan uang itu. Anda merenungkan kebaikan ini sehingga kebahagiaan menyertai hari Anda. Pembawaan Anda sangat menyenangkan. Anda terus berusaha mempertahankan kebahagian mental ini. Anda terus terdorong untuk berbuat baik karena Anda puas dengan berbuat kebaikan. Setiap harinya Anda melakukan perbuatan baik. Banyak orang yang mengenal Anda sebagai orang baik. Anda disukai oleh banyak orang... Hingga pada suatu saat Anda meninggal, banyak orang yang datang dan memberi penghormatan untuk Anda. Nama Anda dikenal sebagai orang bajik dan harumnya tercium sampai ke Alam Deva. Anda beroleh kehidupan baru sebagai makhluk deva karena moralitas Anda. Apakah Anda akan berpikir bahwa, "Pemberianku yang sebesar Rp 50.000,- disertai pemikiran cinta kasih telah membuatku terperosok dalam kesalahan dan hinaan banyak orang."?


Coba berikan jawabannya. Buah nyata apa yang akan terjadi pada hidup Anda setelah melakukan pemberian yang disertai empati itu?

Dalam hal ini, Bro Upasaka, saya adalah pihak yang meminta jawaban akan pembuktian hukum kamma. Bukan saya yang berspekulasi tentang buah kamma yang katanya bisa dijelaskan. Juga tidak perlu berspekulasi terlalu jauh. Saya tidak memberi disertai pikiran yang diisi teori cinta kasih, hukum kamma, alam deva dan lain sebagainya. Saya memberi hanya karena saya pikir dia barangkali memerlukannya. Saya juga memberikannya lewat orang lain, jadi orang itu juga tidak tahu tentang saya, tidak ada interaksi (yang dengan demikian contoh "berdana = ucapan terima kasih kepada saya" sudah terbukti keliru).

Jadi silahkan anda yang jelaskan buah kamma apa yang akan terjadi, jika memang bisa dibuktikan. 


g.citra

#213
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 October 2009, 05:50:57 PM

Saya pandang sebagai interaksi sosial biasa saja. Suatu common sense di mana semua orang tanpa belajar hukum kamma pun tahu. Mungkin nanti 1+1 = 2 mau diklaim sebagai bukti hukum kamma?

Saking tidak percayanya bahwa itu dikatakan pembuktian hukum kamma, barusan saya langsung tes.
Saya tanya ke seseorang (Kr1sten), "kalau kita memberi orang dana, kira-kira apa yang terjadi selanjutnya?"
Dia jawab, "yah, ga ada apa-apa, paling dia say thanks aja."
Luar biasa. :)


Dear bro Kai ...
Kalau hukum kamma dipikirkan, ia memang jadi terbukti ... sebabnya anda berpikir, asumsi itu hasilnya ...
Pikiran itu bisa lembut, sedang dan keras ... Demikian pula hukum kamma ... hukum universal yang berlaku bagi semua mahkluk karena eksistensinya di roda kehidupan ...

Kalau saya lihat sudut pandang anda dalam meng-interpretasi hukum kamma, demikian sulit, rumit, ngejelimet ... itu wajar ... tingkat pemahaman intelektual anda sudah demikian dalamnya mengenai seluk-beluk tulisan-tulisan dari konsep-konsep Buddhis ...

Lain halnya dengan orang yang anda tanyakan, lain pula dengan apa yang saya pikirkan ...

Tapi saya tangkap dari kalimat "say thanks aja" itu merupakan bukti bahwa dari cetana yang kita perbuat, kita dapat langsung menerima vipaka (mendengar ucapan thanks itu) ...

Hanya karena gaya penulisan saya (maklum pendidikan rendah) saja yang tidak dapat anda pahami (saya pikir karena kita berbeda latar belakang pendidikan, pemahaman atau juga lainnya) ...

Kalau anda mempertanyakan suatu saat ada yang mengklaim bukti kamma itu 1+1=2, itu kemungkinan yang bisa dijawab dengan jawaban apapun (lihat kasusnya) ... toh anda tentunya juga mengerti, cetana kita gak hanya bisa menghasilkan vipaka bagi 1 makhluk lain saja bukan ? (contoh: anda berdana buat panti asuhan)



Quote from: Kainyn_Kutho on 17 October 2009, 05:50:57 PM
Sekali lagi jangan salah tangkap. Saya tidak bahas "isi"-nya, tetapi "cara penyajiannya".
Pemaksaan pembuktian "Tuhan" dan "Hukum Kamma" adalah berbeda isi, namun cara menyajikannya adalah sama.

sekali lagi saya tuliskan, bagi yang belum tau sama sekali mengenai hukum kamma, Tuhan yang mereka samakan sebagai "SEBAB YANG MENGATUR HUKUM KAMMA" itu saya anggap hanya bentuk penyederhanaan kata dari keterbatasan manusia dalam memikirkan akibat (atau sesuatu) yang dialami dalam kehidupannya


Saya tekankan sekali lagi ... Ini buat mereka yang tidak tau hukum kamma (punya keyakinan lain) ...
Tapi seberapa tidak megertinya mereka, tentunya anda juga sepakat, kalau mereka juga punya pendapat tertentu tentang perbuatan baik akan menghasilkan sesuatu yang baik ...


Quote from: Kainyn_Kutho on 17 October 2009, 05:50:57 PM
Saya ambil contoh misalnya hukum metafisika. Seseorang memiliki kekuatan supranormal dan membuktikannya pada orang lain yang tidak percaya. Katakanlah terbang, misalnya. Mungkin dia akan terbang atau bahkan mengajak orang yang tidak percaya tersebut. Di sini, orang yang tidak tahu, tidak percaya metafisika, tetap melihat kenyataan bahwa itu ada. Ia mangalami sesuatu yang di luar pengetahuannya.

Sekarang anda di sini seperti orang yang tidak punya kemampuan supranormal, yakin dengan adanya kekuatan supranormal, berusaha membuktikan ke orang lain yang juga tidak memiliki kekuatan supranormal. Namun anda bersikeras bahwa itu bisa dibuktikan, bahkan menyinggung "perbedaan level" yang menyebabkan saya tidak melihatnya.

Dalam ilustrasi ini, sebenarnya saya juga tidak punya kemampuan tersebut (bukan Samma Sambuddha), saya pernah menyaksikan sendiri pertunjukan kemampuan supranormal tersebut (melihat hukum kamma bekerja dalam diri sendiri) sehingga saya yakin itu ada. Namun saya mengakui bahwa saya tidak bisa membuktikannya pada orang lain. Itulah perbedaan kita. Saya tidak membebankan inkompetensi saya dalam membuktikan ke orang lain dengan alasan, "kamu masih dangkal ilmunya".

Sudah membuktikannya dalam diri sendiri bro ? :))

Jadi kalau ada orang yang menyatakan, selain sang Buddha, "tidak ada yang bisa membuktikan hukum kamma"
anda akan setuju atau bahkan membenarkan (padahal anda pernah melihat hukum kamma bekerja dalam diri sendiri) ?

Kalau tadi diatas saya tulis sebuah contoh sederhana tentang 'pikiran yang bercetana dan bervipaka setelah bercetana' itu masih belum menunjukkan buktinya yah bro ?

Kalau begitu, jadi kepengen tau, hal apa yang sudah bisa anda buktikan mengenai kerja hukum kamma pada diri anda (sampai anda menjadi yakin/saddha kalau hukum kamma itu ada) ?

K.K.

Quote from: xuvie on 17 October 2009, 06:07:24 PM
[...]

Pandangan saya, permasalahan ttg Hukum Kamma, punabbhava demikian bukannya tdk bisa dibuktikan. Tp apakah org tsb mau menerima atau tidak???? Jika memang yg dicari2 adlh celah utk membantah, bukti ketiadaannya, ya pasti akan selalu ada celah dan perbedaan persepsi ttg itu. Sedang pandangan buddhist yg meyakini bahwa 1 hukum haruslah mutlak benar, sempurna tanpa celah cacat 1 pun, juga berpotensi menjadi ekstrem lain. Seperti seorang member di thread ini sebelumnya memberitahu bahwa Sang Buddha meski pun bisa mengerti sempurna kamma-vipaka, toh beliau tetap tdk bisa menunjukkan kebenaran pd orang yg tdk mempercayai. Dlm hal ini, kebenaran hakiki pun hanya menjadi 1 dr sekian banyak kebenaran relatif lainnya. Krn kebenaran hakiki dipandang dr sudut relatif. Seperti pandangan bumi bulat dan bumi datar. Meski kebenaran hakikinya bumi bulat, toh dari sudut pandang relativitas, bumi dapat pula dipandang berbentuk mendatar. Dan dlm sudut pandang ini, kita harus pula menghargai pemikiran mereka yg demikian. Karena pemikirannya benar, meski hanya dalam cara pandangnya.

[...]

Ketika seseorang diberitahu oleh Buddha tentang kamma lampau yang menyebabkan seseorang mengalami sesuatu, orang tersebut mungkin akan percaya. Pertanyaan saya, apakah otomatis menjadi mengerti akan prosesnya? Apakah dengan dikatakan masa lampaunya demikian, dia otomatis punya kesaktian mengingat masa lampau dan membuktikan bahwa dirinya memang melakukan perbuatan tersebut di masa lampau?


Jaman dahulu, orang membuktikan bumi bulat ke orang lain dengan mengukur pergeseran bayangan dan sudut cahaya. Tanpa peralatan canggih, namun dengan keterampilan dan keahlian, mereka tetap kompeten dalam pembuktian. Bersembunyi di balik "bisa dibuktikan kalau ada Samma-Sambuddha" adalah sama dengan menyuruh orang pergi ke luar angkasa untuk melihat bulatnya bumi. Tidak bisa dibuktikan sekarang.


bond

#215
 [at] xuvie

Grp send dah..

Saya setuju bahwa arahat pun ada yg bisa tau kamma vipaka dari seseorang dari suatu perbuatan lampaunya sama seperti Samasambuddha. Yang membedakan jangkauan/penelusuran kelahiran SB lebih jauh lagi, kedetilan dan tingkat ke vasi-an. Misal YM . Anurudha bisa melihat 1000 kelahiran tentu SB lebih. Nah tidak perlu seribu , satu saja bisa tertangkap dengan abinna kenapa saya ada disini beserta perbuatan yg mendukung, itu sudah cukup membuktikan..inilah yg dimaksud essensi dari hukum kamma

Jika dari 10 hanya SATU bisa membuktikan 100 % dan 3 hanya 90 % dan sisanya tidak dapat membuktikan, maka bukan berarti sesuatu itu tidak terbukti.

Memang pemahaman terhadap hukum kamma ini bisa dibilang kalau pas vipakanya bisa muncul suatu pengertian sekalipun dari hal yg sederhana dari kehidupan sehari-hari. Kalau memang tidak berjodoh...maka demikianlah adanya, suatu fenomena yg wajar , paling tidak apa yg harus dikatakan telah dikatakan, apa yg harus dijelaskan telah dijelaskan, dan apa yg harus dibuktikan telah dibuktikan.

Siapa tau dari sebuah cubitan  tangan   langsung mengalami pencerahan tentang hukum kamma. Tidak perlu melihat sampai kelahiran yg terlalu jauh. Seperti   Bahiya-arahat tercepat atau seperti YM. Culapantaka dengan hanya mengusap-ngusap kain putih..akhirnya mengerti semua hukum semesta yg berlaku dengan terealisasinya nibanna dengan cara yg sederhana.

Mettacitena
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

 [at]  g.citra

Sepertinya anda dan rekan-rekan di sini tidak mengerti apa yang ingin saya sampaikan dan melihat saya sebagai "penoda dhamma". Ya sudah, saya hentikan saja sampai di sini. Terima kasih semua atas diskusinya. :)

_/\_

g.citra

#217
 [at]  bro Kainyn ...

Mulailah menyampaikan ... toh saya akan mendengar ... mgkn di thread berbeda ... gak ada yang salah koq ... semua cuma proses dari bentuk pikiran kita yang terhubung dengan obyek ... berlalu dengan sendirinya ... :)

Kalau ada yang menganggap anda sebagai "penoda dhamma" (hanya karena thread ini), maka yang pertama kali merespon hal itu adalah saya (kalau saya pas lagi OL...  ;D) , mengapa ?

Alasan saya, TAK ADA SATU ORANG PUN (BAHKAN SAMMA SAM BUDDHA SEKALIPUN) YANG DAPAT MENGUTAK-ATIK DHAMMA ... Semua itulah Dhamma ... :)

Semoga tidak menjadi salah mengerti yah ... :)

_/\_

Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoDalam hal ini, Bro Upasaka, saya adalah pihak yang meminta jawaban akan pembuktian hukum kamma. Bukan saya yang berspekulasi tentang buah kamma yang katanya bisa dijelaskan. Juga tidak perlu berspekulasi terlalu jauh. Saya tidak memberi disertai pikiran yang diisi teori cinta kasih, hukum kamma, alam deva dan lain sebagainya. Saya memberi hanya karena saya pikir dia barangkali memerlukannya. Saya juga memberikannya lewat orang lain, jadi orang itu juga tidak tahu tentang saya, tidak ada interaksi (yang dengan demikian contoh "berdana = ucapan terima kasih kepada saya" sudah terbukti keliru).

Jadi silahkan anda yang jelaskan buah kamma apa yang akan terjadi, jika memang bisa dibuktikan. 

;D

Bro, kita semua di sini sudah tahu kalau Hukum Kamma berjalan dengan saling mengondisikan hukum-hukum lainnya. Jadi bila Anda berdana Rp 50.000,- dan Sammasambuddha berkata kelak di kehidupan yang mendatang Anda akan memperoleh anak yang sangat berbakti, itu hanya uraian garis besarnya. Tentu ada sistematis yang berkesinambungan dari satu akibat merembet ke akibat lain; hingga akibat yang disimpulkan.

Bro, kita semua di sini juga sudah tahu bahwa yang bisa melihat jauh akibat ke masa depan dan melihat jauh sebab di masa lalu adalah Sammasambuddha. Maka semua penjelasan teman-teman di sini hanya berkutat di sebab-akibat yang terbatas; pada kehidupan saat ini dan dalam jangka waktu yang pendek.

Bro, berangkat dari pemahaman ini, artinya kita semua di sini belum bisa melihat mekanisme Hukum Kamma sejelas-jelasnya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa membuktikan Hukum Kamma itu ada. Di sinilah maksud yang saya sampaikan pada Anda, karena Anda terus mempertahankan bahwa Hukum Kamma tidak bisa dibuktikan sama sekali oleh orang lain; kecuali Sammasambuddha.

Bagaimana, apa maksud saya ini bisa Anda pahami?


Quote from: pannadevi on 17 October 2009, 05:37:14 PM
sorry Bro Upasaka...anda mengetik sutta ya Bro...kok mirip amat dg gaya Sang Buddha "selalu kalimat pengulangan"... ;D ;D

salut deh buat anda...

saya pikir tadi saya membaca sutta...two thumbs buat anda Bro... :jempol:
uraian anda mengena, saya setuju...

Samaneri, saya hanya mencoba menguraikan cerita dengan skenario yang berbeda di setiap paragrafnya. Supaya pembaca bisa melihat perbandingannya, maka saya cenderung mengulangi sebagian kalimatnya. ;D

Jerry

Sebelumnya, jelas saya tidak termasuk 'rekan2' yg Anda maksudkan dlm reply Anda utk Bro g.citra. Saya pribadi melihat Bro Kain sbg org yg kritis dan mencoba menawarkan keterbukaan thdp pihak2 yg sering disalah mengerti. Dlm hal ini saya angkat topi utk Anda. ;)
( [at] glomod: psstt.. mana emoticon angkat topi? :P)

Quote from: Kainyn_Kutho on 17 October 2009, 06:37:41 PM
Ketika seseorang diberitahu oleh Buddha tentang kamma lampau yang menyebabkan seseorang mengalami sesuatu, orang tersebut mungkin akan percaya. Pertanyaan saya, apakah otomatis menjadi mengerti akan prosesnya? Apakah dengan dikatakan masa lampaunya demikian, dia otomatis punya kesaktian mengingat masa lampau dan membuktikan bahwa dirinya memang melakukan perbuatan tersebut di masa lampau?


Jaman dahulu, orang membuktikan bumi bulat ke orang lain dengan mengukur pergeseran bayangan dan sudut cahaya. Tanpa peralatan canggih, namun dengan keterampilan dan keahlian, mereka tetap kompeten dalam pembuktian. Bersembunyi di balik "bisa dibuktikan kalau ada Samma-Sambuddha" adalah sama dengan menyuruh orang pergi ke luar angkasa untuk melihat bulatnya bumi. Tidak bisa dibuktikan sekarang.



Belum tentu, ada juga orang2 yg tidak percaya meski telah dijelaskan Sang Buddha dan Sang Buddha tidak pernah memaksakan kebenaran tsb. Karena kebenaran, diterima atau tidak, tetaplah tidak mengurangi nilai kebenaran tsb. Dlm beberapa kesempatan Sang Buddha menekankan pentingnya utk melihat dg kacamata yg sama utk mengerti Dhamma yg beliau ajarkan (bukan hanya soal proses hukum kamma dlm thread ini). Bukan mencoba mengerti melalui kacamata yg berbeda, melalui ajaran yg berbeda, melalui guru yg berbeda.
Jika pun mereka menerima dan percaya setelah diberitahu Sang Buddha, belum tentu mereka otomatis dpt mengingat perbuatan2 terdahulu mereka dlm kehidupan sebelumnya. Tapi ada bbrp kasus, yg setelah diberitahu, mereka dpt mengingat kelahiran terdahulu dan perbuatan yg mereka lakukan tsb.

Utk paragraf ke-2,
Soal pembuktian, seberapapun kompetennya mereka dpt membuktikan, selama masih sebuah teori, maka tidak pernah dpt diterima oleh pihak berseberangan. Penerimaan bumi berbentuk bulat scr penuh hanya stlh pendaratan manusia di bulan. Itu pun hingga hari ini masih ada saja yg tetap kekeuh berpandangan bumi datar. So, what to do? Korelasinya dg Hukum Kamma adalah, hukum kamma merupakan proses yg terjadi yg tak-kasat-mata. Berbeda dg pembuktian soal bentuk bumi yg konkret. Bagaimana kita dpt membuktikan scr konkret sesuatu yg abstrak spt Hukum Kamma? Tesis apapun akan menghasilkan anti-tesis lagi yg terus terjadi scr sinambung menuju penyempurnaan tesis. Tapi bagaimanapun sempurnanya, tetap saja hanya tesis. Bukan sebuah realisasi pengalaman pribadi. Utk itu, saya lebih memilih berusaha mengalami saja. Sedangkan soal tesis, lebih baik jadi penonton saja yg menyaksikan Anda-Anda sekalian menyempurnakan tesis ini. ;)
Dan YA. Memang tidak cukup hanya beralasan, "bisa dibuktikan kalau ada Samma-Sambuddha". Saya pribadi setuju dg pendapat Bro InJulia dan Bro Kain ttg tidak perlu mencoba membuktikan dgn memaksa yg mengakibatkan diri sendiri terperosok. Krn itu saya tulis bahwa jika demikian, saya memilih utk menganggap ini iman. Dan wilayah iman selalu personal dan privat. Jika tidak ingin disentuh, maka tidak perlu menyentuh pula wilayah iman orang lain. Pendapat Bro InJulia dan Bro Kain seharusnya sedikit banyak cukup membuat bbrp teman2 utk mendefinisikan ulang arti Saddha yg selama ini dikenal. :)

Oya, harap ingat bahwa pembuktian tsb bukan sekali saja, melainkan melewati proses waktu yg demikian lama dan begitu byk peristiwa yg menghasilkan bukti yg sekarang kita terima scr penuh. Demikian jg ttg Hukum Karma, mari sempurnakan meskipun hanya secara hipotesis belaka.

mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

Jerry

 [at] Papa Bond
Thanks.. Send back! _/\_

Yup, meski kita belum mampu membuktikan ttg Pengembangan-Penyusutan alam semesta, membuktikan permukaan matahari bersuhu 6000 derajat Celcius. Bukan berarti tdk dpt dibuktikan. Permasalahannya, pihak yg berseberangan akan terus memaksa utk membuktikan secara konkret hal2 demikian. Dr contoh di atas saja, bagaiman bisa membuktikan bahwa memang permukaan matahari bersuhu demikian scr real? Apalagi membuktikan adanya pengembangan-penyusutan alam semesta. :o Akhirnya hal2 demikian, tak lepas dr keyakinan kita thdp teori tsb.

Mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

Tekkss Katsuo

 _/\_

No comment,,, Om Xuvie memang pateng +1 buat anda.  :))
_/\_

Jerry

Thanks for the point.. clicked back! _/\_
appamadena sampadetha

Tekkss Katsuo

 _/\_

;D lupa kalo saya uidh pernah kasih point. wkwkwkw...

Mengenaik hukum Kamma dr awal ada yg pro dan kontra, saya liat mungkin disebabkan perbedaan persepsi mengenai pengertian hukum Kamma..

_/\_

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))