News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Tak ingin kalah dalam debat kusir? Pakailah ilmu tafsir.

Started by fabian c, 18 September 2009, 02:19:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

fabian c

Tak percaya? Percayalah! Cara ini terbukti manjur digunakan untuk mencari pembenaran terhadap ayat-ayat kitab suci yang tidak baik sehingga semua kitab suci menjadi baik dengan tafsir yang bertujuan mencari pembenaran ini. Kata kuncinya: jangan mengartikan secara harfiah...
Dengan penafsiran kata-kata yang buruk atau tak masuk akal akan bisa dicari PEMBENARANnya, dan sebaliknya.
Misalnya: bila ada kata-kata,

"membunuh pencuri adalah baik". Tafsirnya: bukankah bila dibunuh maka pencuri itu akan berhenti mencuri dan tak akan menambah karma buruk? kita membantu dia sehingga tak lagi berbuat karma buruk.
"mencuri adalah baik" Tafsirnya: Bukankah kalau sesuatu harus hilang maka ia akan tetap hilang? kita hanya merupakan jalan sehingga hal itu terwujud, jadi yang salah adalah karmanya sendiri.
"Meminum minuman keras adalah baik" Tafsirnya: bukankah minum minuman keras baik bila hal itu dilakukan untuk kesehatan? Sebagai obat?
"Berbohong terhadap orang tertentu dibenarkan" Tafsirnya: bukankah ada orang-orang tertentu yang tak siap menerima kebenaran? bagaimana bila diberitahukan yang benar ia marah-marah? Bukankah dengan berbohong maka kita mencegah ia marah-marah (karma buruk)? Oleh karena itu maka kita berbuat baik karena berhasil mencegah ia berbuat karma buruk kan?

Dan berjuta tafsir yang bisa kita ciptakan sendiri untuk berbagai pembenaran.
Selamat bertafsir-ria bagi yang menyukai.
Bagaimana dengan kita sebagai pengikut Sang Buddha Gotama? Sebagai pengikut Sang Buddha sebaiknya kita tidak menafsirkan, tapi menggunakan apa yang tertulis di Tipitaka sebagai "bare truth" (kebenaran apa adanya) tanpa ditafsir atau dicari pembenarannya.
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

ryu

di dalam buddhist tidak ada ya badan tertnggi yang bisa jadi acuan tafsir PALING BOLEH DIPAKAI ? ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Sumedho

There is no place like 127.0.0.1

dilbert

VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

johan3000

"membunuh pencuri adalah baik". Tafsirnya: bukankah bila dibunuh maka pencuri itu akan berhenti mencuri dan tak akan menambah karma buruk? kita membantu dia sehingga tak lagi berbuat karma buruk.

begitu juga dgn kesempatan berbuat karma baik dikemudian hari.

bila semua berkecukupan, kenapa ada yg ingin mencuri ?

contoh : merampas handphone di lampu merah menjadi tidak populer, karna harga HP yg baru cuma 275ribu.

apakah begitu ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

johan3000

Terlalu banyak tafsiran,

berarti yg menulis manual book

kurang TO THE POINT... =))


mas : gw kedinginan lho..........
(nah tafsirannya apa tuhhh ?)

ohhh, jangan kwatir kebetulan abang bawa OBOR!
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

waliagung

dalam buddhis bukan tafsir tapi kebenaran mutlak yg walaupun tidak semua mengrti.,.,.,
ilmunya kaga salah(tafsir) sebab dalam dhamma yg sesungguhnya seperti itu secara garis besarnya,BAIK BELUM TENTU BAIK demikian juga SALAH BELUM TENTU SALAH,sebab yg saya tau DHAMMA BUDDHA melebihi dari kata /arti BAIK dan BURUK,SALAH dan BENAR,..........,SEMOGA ANDA MENGERTI.,,,,,,,,

sobat-dharma

Adakah yang membaca sebuah teks tanpa menafsir sama sekali??? Bahkan membaca makna secara harafiah pun juga mengandalkan tafsiran. Dalam hal ini, penafsiran tidak mesti tidak diharamkan, selama ketika persoalan membaca teks. Hanya kaum fundamentalis yang mengaku ketika membaca sebuah teks keagamaan tidak perlu mengandalkan penafsiran, sebab mereka mengklaim dapat memahami makna 'sebenarnya' sebuah teks secara terawang. Justru ketika sesorang merasa dirinya 'tidak menafsir' ia mengabaikan fakta paling krusial: bahwa pemahaman yang didapatkan justru hanya dapat diperoleh dari penafsiran, bahkan padangan  bahwa 'aku tidak sedang menafsir' adalah tafsiran belaka.

Dalam hal ini, seseorang perlu mengingat bahwa penafsiran adalah proses kerja mental yang wajar ketika indera kita menerima informasi dari luar. Misalnya, ketika seseorang membaca sebuah teks, otomatis ia pasti menafsirkan tentang makna di dalam teks tersebut menurut suatu kerangka berpikir tertentu. Penafsiran adalah mutlak diperlukan untuk memahami teks, oleh karena itu tanpa penafsiran tidak ada yang namanya pemahaman. Dengan demikian, p*n*sbian akan penafsiran sama dengan menafikan bahwa untuk memahami sebuah teks manusia menggunakan persepsi inderawinya dan akal pikirannya untuk memahaminya.

Terlebih lagi sebuah teks yang ditulis di masa lampau, yang kadangkala disalin dan diterjemahkan berkali-kali,  serta memiliki latar belakang budaya dan pola pemikiran yang sangat senjang dibandingkan budaya dan pola pemikiran di mana pembacanya hidup, mutlak sekali dibutuhkan penafsiran. Penafsiran yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek historis dan kultural di mana teks ditulis dapat membantu seseorang memahami sebuah teks dengan sesuai seperti yang dimaksud oleh penulisnya. Jika seseorang memaksakan diri untuk membaca suatu teks tanpa penafsiran yang memperhatikan aspek kultural dan historis ia akan terjebak dalam anakronisme, yaitu kecenderungan memaksakan perspektif yang dimiliki pembaca (yang memiliki latar belakang budaya dan jamannya sendiri) tanpa memperhatikan latar belakang historis dan budaya di mana teks tersebut ditulis. Akibatnya adalah kesalahpahaman akan isi teks yang bisa-bisa dianggap sebagai "bare truth".

Selain itu, penerima akan adanya penafsiran yang berbeda-beda berarti pengakuan adanya keragaman dan pluralisme, sehingga menyebabkan seseorang terbiasa dengan perbedaan pendapat dan pandangan. Para teroris berlatar-belakang agama, misalnya, dikenal sebagai fundamentalis yang otoriter karena memaksakan tafsir kitab suci agar seragam sesuai dengan yang disebutnya sebagai "bare truth" yang tunggal dan absolut. Mereka menolak adanya yang disebut penafsiran pada diri mereka sendiri dan menyindir pihak yang berpandangan berbeda dengan mereka sebagai "tafsiran belaka." Karena itu, menjadi sah membungkam tafsiran-tafsiran lain dengan menggunakan dalih sebagai pembawa kebenaran absolut.

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

waliagung


johan3000

Seorang yg baru belajar bahasa English,

di minta bantu menjaga pengawasan pantai
karna operator tsb lagi sakit perut mendadak
mau kebelakang.


tiba2 radio berbunyai.............

T : help, help, help,...... we are singggggggggginnnnnnng

P : Oh What song do you like to SING ?

T : no our bot is SINKING

Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Kelana

Menafsirkan adalah mengartikan, menangkap maksud atas sebuah kata (kalimat , dsb) tidak menurut apa adanya, melainkan diterangkan juga apa yang tersirat (dengan mengutarakan pendapat sendiri). - KBBI

Ketika seseorang membaca teks ia tidak langsung menafsirkan teks itu, tetapi ia memahami teks tersebut berdasarkan makna kata sesuai dengan kesepakatan umum sesuai dengan kaidah bahasa. Ketika dalam memahami makna kata sesuai dengan kesepakatan umum ini terjadi kontradiksi, ketidakjelasan, maka muncullah penafsiran.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

fabian c

#11
Quote from: sobat-dharma on 18 September 2009, 07:49:49 PM
Adakah yang membaca sebuah teks tanpa menafsir sama sekali??? Bahkan membaca makna secara harafiah pun juga mengandalkan tafsiran. Dalam hal ini, penafsiran tidak mesti tidak diharamkan, selama ketika persoalan membaca teks. Hanya kaum fundamentalis yang mengaku ketika membaca sebuah teks keagamaan tidak perlu mengandalkan penafsiran, sebab mereka mengklaim dapat memahami makna 'sebenarnya' sebuah teks secara terawang. Justru ketika sesorang merasa dirinya 'tidak menafsir' ia mengabaikan fakta paling krusial: bahwa pemahaman yang didapatkan justru hanya dapat diperoleh dari penafsiran, bahkan padangan  bahwa 'aku tidak sedang menafsir' adalah tafsiran belaka.

Dalam hal ini, seseorang perlu mengingat bahwa penafsiran adalah proses kerja mental yang wajar ketika indera kita menerima informasi dari luar. Misalnya, ketika seseorang membaca sebuah teks, otomatis ia pasti menafsirkan tentang makna di dalam teks tersebut menurut suatu kerangka berpikir tertentu. Penafsiran adalah mutlak diperlukan untuk memahami teks, oleh karena itu tanpa penafsiran tidak ada yang namanya pemahaman. Dengan demikian, p*n*sbian akan penafsiran sama dengan menafikan bahwa untuk memahami sebuah teks manusia menggunakan persepsi inderawinya dan akal pikirannya untuk memahaminya.

Terlebih lagi sebuah teks yang ditulis di masa lampau, yang kadangkala disalin dan diterjemahkan berkali-kali,  serta memiliki latar belakang budaya dan pola pemikiran yang sangat senjang dibandingkan budaya dan pola pemikiran di mana pembacanya hidup, mutlak sekali dibutuhkan penafsiran. Penafsiran yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek historis dan kultural di mana teks ditulis dapat membantu seseorang memahami sebuah teks dengan sesuai seperti yang dimaksud oleh penulisnya. Jika seseorang memaksakan diri untuk membaca suatu teks tanpa penafsiran yang memperhatikan aspek kultural dan historis ia akan terjebak dalam anakronisme, yaitu kecenderungan memaksakan perspektif yang dimiliki pembaca (yang memiliki latar belakang budaya dan jamannya sendiri) tanpa memperhatikan latar belakang historis dan budaya di mana teks tersebut ditulis. Akibatnya adalah kesalahpahaman akan isi teks yang bisa-bisa dianggap sebagai "bare truth".

Selain itu, penerima akan adanya penafsiran yang berbeda-beda berarti pengakuan adanya keragaman dan pluralisme, sehingga menyebabkan seseorang terbiasa dengan perbedaan pendapat dan pandangan. Para teroris berlatar-belakang agama, misalnya, dikenal sebagai fundamentalis yang otoriter karena memaksakan tafsir kitab suci agar seragam sesuai dengan yang disebutnya sebagai "bare truth" yang tunggal dan absolut. Mereka menolak adanya yang disebut penafsiran pada diri mereka sendiri dan menyindir pihak yang berpandangan berbeda dengan mereka sebagai "tafsiran belaka." Karena itu, menjadi sah membungkam tafsiran-tafsiran lain dengan menggunakan dalih sebagai pembawa kebenaran absolut.



Saudara Sobat Dharma yang baik,
Inilah seninya belajar spiritual, ajaran spiritual yang baik memberikan petunjuk yang jelas, lugas dan mudah dimengerti, tidak mengambang atau menggunakan kata-kata bersayap yang menyebabkan setiap pembacanya mengartikan secara berbeda.
Bila yang tertulis buruk memang demikianlah ajaran tersebut, bila yang tertulis baik memang demikianlah ajaran tersebut, bila ditafsirkan maka ajaran yang buruk bisa menjadi baik atau sebaliknya.
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

marcedes

QuoteBila yang tertulis buruk memang demikianlah ajaran tersebut, bila yang tertulis baik memang demikianlah ajaran tersebut, bila ditafsirkan maka ajaran yang buruk bisa menjadi baik atau sebaliknya.
_/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_  _/\_
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

wen78

Quote from: fabian c on 18 September 2009, 02:19:47 AM
Bagaimana dengan kita sebagai pengikut Sang Buddha Gotama? Sebagai pengikut Sang Buddha sebaiknya kita tidak menafsirkan, tapi menggunakan apa yang tertulis di Tipitaka sebagai "bare truth" (kebenaran apa adanya) tanpa ditafsir atau dicari pembenarannya.

apakah ini sebuah penafsiran atau bukan sebuah penafsiran?   ;D


segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Sumedho

Quote from: Kelana on 18 September 2009, 09:20:17 PM
Menafsirkan adalah mengartikan, menangkap maksud atas sebuah kata (kalimat , dsb) tidak menurut apa adanya, melainkan diterangkan juga apa yang tersirat (dengan mengutarakan pendapat sendiri). - KBBI

Ketika seseorang membaca teks ia tidak langsung menafsirkan teks itu, tetapi ia memahami teks tersebut berdasarkan makna kata sesuai dengan kesepakatan umum sesuai dengan kaidah bahasa. Ketika dalam memahami makna kata sesuai dengan kesepakatan umum ini terjadi kontradiksi, ketidakjelasan, maka muncullah penafsiran.
kalau pake contoh lain, ada mimpi lalu tafsir mimpi. mimpi satu hal, tafsir mimpi hal yang lainnya. demikian pula sebuah kalimat, bisa kita pahami kalimat itu dan bisa juga kita buat tafsirannya untuk mengisi gap yg ada
There is no place like 127.0.0.1