News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

[ASK] Adakah Resep dokter yg Flexible (custom made)

Started by johan3000, 09 September 2009, 08:18:18 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

johan3000

Setau saya di Indonesia dokter yg menganalisa pasien dan menentukan jenis penyakit apa yg diderita. Kadang kala juga dibantu oleh test laboratorium (apakah tifus, demam berdarah, malaria, dst).

Setelah penyakit ditentukan, maka dokterlah yg menulis resep obat tsb. Obat yg ditulis ya itu yg harus dibeli.

Dimana saya melihat hal tsb tidak begitu Flexible.............

1. Dokter bisa saja menulis obat merek tertentu, pada pilihan merek lain dgn komposisi obat yg sama juga banyak. Bahkan harganyapun bisa lebih murah.

2. Sepengetahuan saya Apoteker adalah orang yg sangat mengetahui (mempelajarin farmasi obat), Kenapa dalam penentuan resep obat, Apoteker tidak ikut mengambil keputusan ? (second opinion)

3. Kenapa pasien tidak mendpt kesempatan utk memilih Jenis2 obat tsb ? (dari yg GENERIC serta merek2 lainnya)

4. Bagaimana pasien bisa belajar bahwa merek A memang lebih baik dari merek B ?


Jadi resep dokter yg gw bayangin adalah memberikan beberapa pilih atas obat2 yg bisa dipakai dan yg direkomendasikan oleh dokter diberi tanda * (bintang), tetapi pasien tetap bisa memilih obat mana yg dia mau. Atau bahkan Apoteker bisa membantu utk menentukan pilihan tsb.

Bila member lain memiliki pandangan, keinginan bagaimana resep tsb ditulis, mohon sharingnya.

Mohon bimbingan atas pemikiran gw atas info farmasi yg minim!.

_/\_ :x

Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

HokBen

bukannya katanya dokter dapat sekian persen dari penjualan obat?
kalo bener, tentu dia milih yg mahalan biar persenannya gedean...

Sumedho

belon liat yg mulai topic ini dah bisa tebak pasti bro saceng hehehe
There is no place like 127.0.0.1

FZ

Inilah polemik yang masih dialami di Indonesia khususnya dunia kesehatan.
Apoteker biasanya cenderung takut dan berdiri di belakang layar karena memiliki pengetahuan yang minim akan obat. Makanya idealnya seorang apoteker dituntut terus belajar. Signature yang saya buat di DC pun bukan semata untuk menyombongkan saya seorang apoteker. Namun saya menyadari ilmu yang saya punya saat ini masih jauh, dan untuk menjadi seorang Good Pharmacist itu masih cukup jauh.. Makanya saya tulis untuk setiap saya mengakses DC dan melihat signature tersebut dapat memacu saya terus belajar.. walau saya sekarang berada di jalur IT

Di lain pihak dari sisi kekurangan pengetahuan dari apoteker, sehingga menjadikan apoteker sebagai orang ke-2 yang harusnya sederajat, ada juga permasalahan dalam distribusi obat.
Distribusi obat idealnya harus melalui apotek, dan boleh ke dokter kalau sedang praktek dalam tempat terpencil. Namun pada prakteknya banyak dokter yang menjual obat langsung. Di samping itu juga ada praktek bisnis dari penyalur obat, di mana adanya bonus2 yang diperoleh oleh dokter jika membukakan resep tertentu.. Ironisnya ini masih sangat banyak terjadi di Indonesia. Seperti yang dipost dulu mengenai seorang dokter dermawan yang tidak mau berdagang tapi lebih ke sisi sosial.. itu sudah sangat susah ditemui.. Idealnya memang seorang tenaga medis lebih condong ke sisi sosial karena telah mendapat mandat "sumpah" ketika menerima title tenaga medis tersebut.

Mengenai penggantian resep, sebenarnya kalau saya pribadi, saya akan mengg antinya ke generik kalau memang ada generiknya, dan kalau bisa pun JANGAN PAKAI OBAT. Mungkin yang sering konsultasi dengan saya, sering saya ceramahi kalau menggunakan obat tapi sebenarnya tidak perlu.
Di samping itu, perbedaan obat generik dengan obat paten sebenarnya pada bahan pembantu yang digunakan sehingga berpengaruh pada omzet obat. Misal makan paracetamol bekerja setelah 30 menit, tapi makan panadol bekerja langsung 15 menit dengan jumlah zat aktifnya sama.

Mengapa obat paten mahal
- Bahan Pembantu nya lebih "mewah" dan biasanya sudah melalui riset tertentu
- Ada biaya iklan yang terkandung di dalamnya seperti iklan TV, dll
- Kemasan lebih menarik
- Tidak ada subsidi dari pemerintah

johan3000

Quote from: Sumedho on 09 September 2009, 09:46:54 AM
belon liat yg mulai topic ini dah bisa tebak pasti bro saceng hehehe

Penciuman Suhu Medho memang tajam banget.

semoga Topik berjalan dgn baik.


Quote3. Kenapa pasien tidak mendpt kesempatan utk memilih Jenis2 obat tsb ? (dari yg GENERIC serta merek2 lainnya)
Saya lagi membayangin genteng/atap rumah kita bocor, trus mampirlah kita ke toko bangunan yg serba mewah. Disana pramujualnya memberitahukan...

Utk masalah genteng/atap bocor inilah bahan2/cat2/kasa2 utk mengatasin masalah tsb.
SILAHKAN PILIH SENDIRI dan membaca informasinya.

mungkin itu maksudnya   :x
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

William_phang

kalo kita menderita suatu penyakit tertentu dalam wkt yang lama dan banyakan obat kita sudah tau jd mgkn bisa kita tukar dengan obat yang lebih murah....hehehe... dokter suka kasih obat yang mahal-mahal seperti eprex ato recormon.... obat gini bisa kita ganti dengan produk dari kalbe yang harganya bs 1/3 saja dari harga yang product luar....

FZ

^
^

saya mengerti.. inti dari bro Johan, pasien kesulitan memilih karena tidak memiliki pengetahuan mengenai obat yang akan dibeli.

Mr.Jhonz

Quote from: johan3000 on 09 September 2009, 08:18:18 AM
Setau saya di Indonesia dokter yg menganalisa pasien dan menentukan jenis penyakit apa yg diderita. Kadang kala juga dibantu oleh test laboratorium (apakah tifus, demam berdarah, malaria, dst).

Setelah penyakit ditentukan, maka dokterlah yg menulis resep obat tsb. Obat yg ditulis ya itu yg harus dibeli.

Dimana saya melihat hal tsb tidak begitu Flexible.............

1. Dokter bisa saja menulis obat merek tertentu, pada pilihan merek lain dgn komposisi obat yg sama juga banyak. Bahkan harganyapun bisa lebih murah.

2. Sepengetahuan saya Apoteker adalah orang yg sangat mengetahui (mempelajarin farmasi obat), Kenapa dalam penentuan resep obat, Apoteker tidak ikut mengambil keputusan ? (second opinion)

3. Kenapa pasien tidak mendpt kesempatan utk memilih Jenis2 obat tsb ? (dari yg GENERIC serta merek2 lainnya)

4. Bagaimana pasien bisa belajar bahwa merek A memang lebih baik dari merek B ?


Jadi resep dokter yg gw bayangin adalah memberikan beberapa pilih atas obat2 yg bisa dipakai dan yg direkomendasikan oleh dokter diberi tanda * (bintang), tetapi pasien tetap bisa memilih obat mana yg dia mau. Atau bahkan Apoteker bisa membantu utk menentukan pilihan tsb.

Bila member lain memiliki pandangan, keinginan bagaimana resep tsb ditulis, mohon sharingnya.

Mohon bimbingan atas pemikiran gw atas info farmasi yg minim!.

_/\_ :x


kebayang kalo dokter flexible..
Pasti kayak sales dhe,ato macam pramuniaga otomotif...

Yg gw tahu,semboyan dokter itu kan 'banyak bekerja,sedikit bicara'
kebayang kalo dokter macam sales..pasti rame dhe :))

buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

johan3000

QuoteFarmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur, meracik, memformulasi, mengidentifikasi, mengobinasi, menganalisis serta menstandarkan obat dan pengobatan juga sifat-sifat obat beserta pendistribusian dan penggunaannya secara aman.

Farmasis (apoteker) merupakan gelar profesional dengan keahlian di bidang farmasi. Farmasis biasa bertugas di institusi-institusi baik pemerintahan maupun swasta seperti badan pengawas obat/makanan, rumah sakit, industri farmasi, industri obat tradisional, apotek, dan di berbagai sarana kesehatan.

Bro Johnz,

maksudnya sih dokter bisa memberikan hasil diagnosa, (plus info tambahan temp, berat badan, elergic, dst) yg jelas. Dan utk pemilihan obat, FLEXIBLE boleh ditentukan oleh pasien beserta bantuan dari Apoteker. Dan apoteker memberitahukan utk penyakit tsb pilihan obatnya apa saja. Ya sepert orang ke restoran begitu deh, ... perutnya lapar, lihat2 menu rasanya mau makan apa ya? Kalau bebek goreng, yg biasa atau di PENYET.

semboyan dokter,... time is money, so pasien jangan banyak bertanya deh.. :'( :'( :'(


_/\_

Quote from: Mr.Jhonz on 09 September 2009, 10:20:06 AM
Quote from: johan3000 on 09 September 2009, 08:18:18 AM
Setau saya di Indonesia dokter yg menganalisa pasien dan menentukan jenis penyakit apa yg diderita. Kadang kala juga dibantu oleh test laboratorium (apakah tifus, demam berdarah, malaria, dst).

Setelah penyakit ditentukan, maka dokterlah yg menulis resep obat tsb. Obat yg ditulis ya itu yg harus dibeli.

Dimana saya melihat hal tsb tidak begitu Flexible.............

1. Dokter bisa saja menulis obat merek tertentu, pada pilihan merek lain dgn komposisi obat yg sama juga banyak. Bahkan harganyapun bisa lebih murah.

2. Sepengetahuan saya Apoteker adalah orang yg sangat mengetahui (mempelajarin farmasi obat), Kenapa dalam penentuan resep obat, Apoteker tidak ikut mengambil keputusan ? (second opinion)

3. Kenapa pasien tidak mendpt kesempatan utk memilih Jenis2 obat tsb ? (dari yg GENERIC serta merek2 lainnya)

4. Bagaimana pasien bisa belajar bahwa merek A memang lebih baik dari merek B ?


Jadi resep dokter yg gw bayangin adalah memberikan beberapa pilih atas obat2 yg bisa dipakai dan yg direkomendasikan oleh dokter diberi tanda * (bintang), tetapi pasien tetap bisa memilih obat mana yg dia mau. Atau bahkan Apoteker bisa membantu utk menentukan pilihan tsb.

Bila member lain memiliki pandangan, keinginan bagaimana resep tsb ditulis, mohon sharingnya.

Mohon bimbingan atas pemikiran gw atas info farmasi yg minim!.

_/\_ :x


kebayang kalo dokter flexible..
Pasti kayak sales dhe,ato macam pramuniaga otomotif...

Yg gw tahu,semboyan dokter itu kan 'banyak bekerja,sedikit bicara'
kebayang kalo dokter macam sales..pasti rame dhe :))


Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

johan3000

Quote from: Forte on 09 September 2009, 10:12:16 AM
^
^
saya mengerti.. inti dari bro Johan, pasien kesulitan memilih karena tidak memiliki pengetahuan mengenai obat yang akan dibeli.


Bener sekali, masih UNTUNG di DC ada bro FORTE dehhh
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

hatRed

dan bisa juga, dari apotek nya gak jual obat yg dimaksud (yg diresep) tapi dia menjual obat merek lain tapi kandungan sama...
i'm just a mammal with troubled soul



johan3000

Quote from: hatRed on 09 September 2009, 06:28:07 PM
dan bisa juga, dari apotek nya gak jual obat yg dimaksud (yg diresep) tapi dia menjual obat merek lain tapi kandungan sama...

makdusnya apa uh bro ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

FZ

maksudnya gini seh..
misal di dalam resep ditulis ponstan, di apotek tsb kebetulan habis, bisa saja seh diganti dengan mefinal atau diganti dengan generik yaitu asam mefenamat.

cuma ada beberapa oknum yang keterlaluan, dalam menulis resep supaya pasien beli di apotek tertentu bukan menulis ponstan, tapi menulis "bahasa arab" seperti natsnop

johan3000

Quote from: Forte on 20 September 2009, 11:31:30 AM
maksudnya gini seh..
misal di dalam resep ditulis ponstan, di apotek tsb kebetulan habis, bisa saja seh diganti dengan mefinal atau diganti dengan generik yaitu asam mefenamat.

cuma ada beberapa oknum yang keterlaluan, dalam menulis resep supaya pasien beli di apotek tertentu bukan menulis ponstan, tapi menulis "bahasa arab" seperti natsnop


Thanks bro Forte atas penjelasannya.

Kalau obat berMerek (karna tambahan aditive) kerjanya lebih cepat.
sedangkan generik kerjanya lebih pelan.

Apakah dapat diasumsikan bahwa pasien bisa konsumsi
obat pertama dgn berMerek, dan obat berikutnya dgn Generik.

Karena komsumsi obat berikutnya biasanya juga tidak tepat interval 8 jam
(bagi obat makan 3X/hari).

Apakah bener pemikiran spt diatas ? mohon masukannya!
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

FZ

#14
sebenarnya tidak harus tepat interval 8 jam, karena walau kita mengkonsumsi tepat 8 jam, penyerapan tubuh belum tentu sama setiap waktu. banyak faktor yang diperhitungkan. dan untuk obat2 yang window terapetiknya lebar ini tidak menjadi masalah. yang menjadi masalah kalau indeks terapetiknya sempit.

apa itu window terapetik, yaitu jarak antara kadar terapetik dengan kadar toksik


pengobatan dilakukan di atas garis pertama dari bawah, dan di bawah garis kedua dari bawah
contoh pada gambar di atas, pasien diabetes yang diberi insulin :
1. kadar terlalu kecil : tidak berefek (tetap hiperglikemi)
2. kadar terlalu tinggi : terlalu berefek, jadinya hipoglikemi