News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

DHAMMADHIPATEYYA

Started by Lily W, 27 December 2007, 02:25:51 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Lily W

DHAMMADHIPATEYYA
Sumbangsih Buddha Dhamma Bagi 'Trend' Demokratisasi
Pada Akhir Milenium Kedua
[/b]

Pendahuluan

Di Indonesia, saat ini sedang dijangkiti oleh 'trend' (kecenderungan) demokratisasi. Semua pihak, baik
pemerintah, maupun rakyat; baik orang partai politik maupun orang yang 'independent' cenderung
mengharapkan tercapainya demokratisasi yang optimum di Indonesia. Mereka saling menganggap dirinya
bertindak mengarah ke demokratisasi. Bahkan dua kelompok yang berseteru / berlawanan sekalipun saling
menganggap tindakannya mengarah atau sesuai dengan tujuan demokratisasi. Klaim anggapan tersebut makin
membingungkan masyarakat. Apa sesungguhnya ciri / sifat manusia yang cocok dengan prinsip demokrasi.
Apa landasan moral demokratisasi itu sendiri.

Tulisan ini ditujukan bukan untuk memberikan definisi demokrasi yang harus diterima secara umum, namun
lebih bersifat memberikan informasi prinsip-prinsip landasan moral bagi pemimpin dan rakyat yang
mendambakan demokratisasi.

Supremasi Dhamma (Dhammadhipateyya) di atas supremasi pribadi (attadhipateyya) dan kelompok
sosial duniawi (lokadhipateyya)


Di dalam berkiprah mengarungi hidupnya, manusia selalu memiliki ambisi dan hasrat besar ataupun kecil.
Untuk memenuhi ambisinya, manusia berpegang atau berpijak pada prinsip-prinsip tertentu, yang di dalam
Buddha Dhamma dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Attadhipateyya, di mana manusia berkiprah memenuhi tujuannya dengan menjunjung tinggi kepentingan
pribadi (atta).
2. Lokadhipateyya, di mana manusia berkiprah memenuhi tujuannya dengan menjunjung tinggi kepentingan
duniawi kelompok atau daerahnya.
3. Dhammadhipateyya, di mana manusia berkiprah memenuhi tujuannya dengan menjunjung tinggi Dhamma
yang mulia, sehingga meningkatkan kualitas kehidupannya.

Ambisi pribadi merupakan sebuah kondisi alami, dan kebanyakan orang mencari kekuasaan, posisi dan
kesuksesan di atas yang lainnya dan takut kehilangan keuntungan. Dorongan ini merupakan kekotoran yang di
dalam Buddha Dhamma kita sebut kekotoran batin. Sepanjang masyarakat masih belum terdidik, masih
belum berkembang, sepanjang itu mereka belum dapat hidup dengan bijaksana. Perbuatan mereka akan
didorong oleh hasrat-hasrat tersebut.

Namun demikian, di dalam komunitas, dorongan demikian, apabila tidak diketahui atau tidak terkontrol
dengan baik, sangat mudah menjadi penyebab konflik dan perpecahan. Mereka merupakan rintangan penting
untuk perkembangan sosial dan kedamaian.

Di dalam sistem otokrasi, setiap orang bersandar pada kekuatan otokrat. Mereka harus mendengarkan dan
mempercayai yang dikatakan otokrat itu. Mereka hidup dan bekerja bersama secara harmonis dan dinaungi
oleh hukum-hukum menakutkan dan merupakan sasaran bagi kekuatan yang dimiliki oleh otokrat. Namun
demikian, kita telah melihat bahwa ketergantungan kepada figur kekuasaan atas dasar ketakutan bukanlah
merupakan sebuah kebiasaan yang diharapkan.

Apabila rakyat tidak tunduk kepada kekuatan figur orang tertentu, rakyat sering kali menyerahkannya
kepada sebuah kekuatan 'super adikodrati'. Dengan kekuatan super adikodrati sebagai otoritas absolut,
terdapat sebuah dasar umum bagi semua anggota masyarakat itu untuk dapat bersandar. Namun demikian,
ini juga masih bukan sebuah metode baku yang memuaskan bagi masyarakat yang mengharapkan demokrasi,
karena hal ini sesungguhnya merupakan sebuah otokrasi dalam bentuk lain. – Hal ini diselimuti ketakutan, dan
dengan demikian tidak memungkinkan bagi perkembangan potensi personal secara penuh. Ini juga belum
terbebas dari kemungkinan perpecahan – banyak kepercayaan atas kekuatan super adikodrati membawa ke
banyak perpecahan.

Masyarakat di negara yang memiliki rasa nasionalisme kuat dibakar oleh sebuah dorongan kuat untuk
membuat negara mereka menjadi sebuah kekuatan yang besar, dan setiap orang menyerahkan diri untuk
kepentingan kebaikan negara. Walaupun mungkin terdapat konflik dan tekanan pada tingkatan pribadi,
kapanpun sebuah masalah nasional muncul, semuanya melupakan hasrat pribadi dan konflik kepentingan dan
secara harmonis memberikan diri mereka kepada negara. Namun demikian, metode ini tidak berada dalam
jalur yang sesuai dengan makna sesungguhnya dari demokrasi dan metode ini memiliki kelemahannya sendiri.
Metode ini mengarah ke fanatisme dan tidak toleran. Rasa tertarik akan keberuntungan hanya bagi ras atau
kebangsaan seseorang dan seseorang dapat dengan mudah dibujuk untuk mengeksploitasi yang lainnya.

Dasar umum perhatian lainnya adalah berpijak kepada suatu idealisme, yang mungkin adil sekuat
nasionalisme. Masyarakat dapat dengan mudah bersandar pada idealisme atau pandangan-pandangan politik
yang kuat, dan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ideologi politik yang mirip dengan mudah dapat
dimobilisasi untuk merealisasi niatnya. Ini bukan hanya sebuah harmoni yang in-tolerant, namun juga
mengarah ke semacam kekuatan yang sangat ekstrim. Masyarakat dengan idealisme politik yang kuat (mirip
fanatisme keagamaan) sangatlah puas di dalam tingkah lakunya, namun hanya untuk kepuasan kemelekatannya
dan idealismenya. Sepanjang idealisme mereka dipandang valid mereka mendapat kepuasan yang ekstrim,
menyapu bersih segala sesuatu atau setiap orang agar berdiri di jalan mereka, namun sepanjang
kecenderungan orang-orang itu melemah, mereka akan kembali ke aslinya, tidak mendapatkan hasil apapun di
dalam perkembangan pribadinya. Kepuasan politik tidak membawa ke perkembangan pribadi karena
kecemburuan itu tidak muncul dari kebijaksanaan; kepuasannya tidak muncul dari pengertian batiniah murni
dari dalam dirinya, namun merupakan idealisme eksternal. Oleh karena itu hal ini bukanlah cara berpikir
bijaksana.

Bila mereka tidak dimotivasi oleh pandangan di atas dicap sebagai individualis. Walaupun, satu saat bahkan
mereka diinspirasikan untuk memperoleh keuntungan pribadi bagi kebaikan komunitas, seperti ketika
peperangan. Ketika negara mereka diagresi pihak lain, masyarakat dapat dengan mudah dimobilisasi bersama.
Namun 'pengorbanannya' hanya untuk interest pribadi/golongan, dan segera setelah agresi selesai, mereka
akan menjadi individualis
.

Menghadapi ini semua, apakah posisi sebuah masyarakat yang demokrasi itu? Telah dikatakan bahwa
masyarakat yang bekerja bersama untuk membentuk sebuah demokrasi seyogyanya dimotivasi oleh
kebijaksanaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah masyarakat yang memiliki manfaat optimum bagi
keduanya, bagi individu di dalamnya maupun secara bersama, dan tujuan ini direalisasi dengan cermat di
dalam memandang dan mencerap sesuatu yang didasarkan pada kebenaran, manfaat dan kebajikan.

Masyarakat yang dimotivasi oleh hasrat bagi kebenaran, kebajikan dan manfaat akan mencoba untuk mencari
faktor-faktor yang paling efektif digunakan untuk memecahkan permasalahan kehidupan. Mereka akan
berkorban waktu dan tenaga dan akan terbuka bagi informasi dari semua sisi, sepanjang itu mengarah ke
sebuah pengertian kebenaran. Mereka akan mengabaikan emosi pribadinya. Hasrat untuk kebenaran inilah
yang memotivasi tindakan mereka, dan terhadap kebenaran inilah mereka ingin menyandarkan diri mereka.

Oleh karena itu, di dalam sebuah masyarakat demokrasi, masyarakat akan mendapat keuntungan bersama
bagi kebenaran, kebajikan, alasan dan manfaat, karena kondisi ini yang nyata mendukung pemecahan masalah.
Kebenaran, kebajikan, alasan, manfaat dan pemecahan masalah, semuanya dapat dideskripsikan di dalam satu
istilah Buddhist, yaitu "Dhamma." Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa di dalam sebuah masyarakat
demokrasi, masyarakat akan memperoleh keuntungan satu sama lain berdasarkan penghormatan terhadap
Dhamma, dan Dhamma dipegang di atas setiap individu atau kepentingan pribadi dan golongan.

Masyarakat yang memegang, menghormati dan bersandar pada Dhamma di dalam Buddha Dhamma disebut
"Dhammadhipateyya." Mereka "dikendalikan oleh atau berpedoman kepada Dhamma." Di dalam sebuah
demokrasi yang sukses, semua orang seyogyanya adalah Dhammadhipateyya, semua seyogyanya
memegang supremasi Dhamma.

Dengan menjunjung tinggi Dhamma, dengan cara mengatasi kesombongan (mana), kemelekatan (tanha) dan
pandangan keliru (ditthi), orang-orang akan dapat memerintah dirinya sendiri dengan benar. Apabila mereka
memiliki kemampuan ini, demokrasi menjadi kenyataan yang dapat dilihat untuk dipraktikkan. Orang-orang
yang dapat memerintah dirinya sendiri adalah mereka yang menjunjung tinggi Dhamma
. Oleh karena itu
demokrasi adalah pemerintahan oleh orang-orang yang (sebagian besar) Dhammadhipateyya, yang tidak
membiarkan kemelekatan, kesombongan dan pandangan keliru mengatasi Dhamma dan beroperasi.

Abraham Lincoln menyatakan ungkapan "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat." Gagasan ini
secara luas dipegang sebagai sebuah definisi baku kata demokrasi. Namun demikian, nampaknya Lincoln tidak
bermaksud bahwa demokrasi semata pemerintahan oleh rakyat. Hal penting dari pernyataannya adalah
hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Apabila kita terlibat dengan demokrasi, maka kita seyogyanya
juga memandang rakyat. Apabila demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, maka kualitas demokrasi
ditentukan oleh kualitas rakyatnya
. Apakah monarki itu baik atau buruk tergantung dari kualitas kepala
monarki itu. Demikian pula, kualitas sebuah pemerintahan demokratis, di mana rakyat merupakan
administratornya, maka tergantung dari kualitas rakyatnya.

Jenis monarki terbesar adalah monarki universal. Di dalam ajaran Buddha disebutkan bahwa kepala monarki
universal harus memiliki kualitas menjadi Dhammadhipateyya, ia menjunjung tinggi Dhamma. Seorang
kepala monarki yang tidak menjunjung tinggi Dhamma hanya akan tertarik pada kesenangan dan
kegembiraannya sendiri. Ia akan mengikuti 'mood'nya dan memerintah sesuai dengan nafsunya,
memperlakukan kekuasaannya untuk menekan rakyat. Seorang kepala monarki yang berpegang teguh kepada
Dhamma (Dhammadhipateyya) akan menggunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk menciptakan manfaat
bagi rakyat di monarkinya dan rakyatnya akan hidup bahagia.

Di dalam sebuah monarki, kekuasaan tertinggi berada di tangan kepala monarki. Inilah mengapa
pemerintahan yang baik tergantung sangat banyak kepada pribadi kepala monarki yang menjunjung tinggi
Dhamma (Dhammadhipateyya). Di dalam pemerintahan demokrasi, kekuasaan terletak di tangan rakyat, dan
juga tanggung jawab bagi kualitas pemerintahan menjadi tanggung jawab rakyatnya. Dengan kata lain, di
mana pun kekuasaan itu berada, di situlah seyogyanya ada Dhammadhipateyya
.

Apabila rakyat tidak menjunjung tinggi Dhamma, apabila mereka tidak menggunakan kebijaksanaan tetapi
hanya mengikuti nafsu dan pilihannya, mereka tidak akan dapat memerintah dirinya sendiri dan demokrasi
tidak akan bekerja. Rakyat itu sendirilah yang akan menderita eksploitasi dan tekanan. Akhirnya mereka
akan mengundang seorang diktator untuk mengambil alih pemerintahan itu dan mengontrolnya.

Agar demokrasi bekerja, rakyat seyogyanya terdidik, dan terlatih untuk menjadi Dhammadhipateyya,
menjunjung tinggi Dhamma. Apabila mereka memiliki kualitas ini, dapat diekspresikan melalui kendaraan
sistem demokrasi.

Karena sistem demokrasi rakyat yang sesungguhnya seyogianya diperintah oleh Dhamma, maka wakil
terpilihnya juga seyogianya menjunjung tinggi Dhamma. Mereka harus mengerti bahwa demokrasi tidak
hanya berarti mengikuti keinginan massa atau membodohi mereka dengan mengambil suaranya. Rakyat adalah
pemegang kekuasaan di dalam demokrasi, walaupun mereka semua harus tunduk pada hukum di tanah airnya.
Sebagai pemegang kekuasaan (melalui suaranya) kita seyogyanya hati-hati agar tidak terjatuh ke dalam
perangkap para politisi yang menginginkan suara kita. Kita seyogyanya menjunjung tinggi Dhamma, dan
menghormati para politisi yang mendekati menjunjung tinggi Dhamma, walaupun mereka mungkin sewaktuwaktu
mencegah kita dari pemuasan nafsu kita.

Menciptakan demokrasi merupakan sebuah tugas berat yang memerlukan daya upaya kuat, yang berhubungan
dengan penggunaan kebijaksanaan. Daya upaya kuat tidak berarti menjadi ekstrim atau fanatik. Di dalam
menghadapi masalah, kita harus dapat memandang masalah dengan bijaksana dan terkoordinasi untuk
mengatasi penyebabnya dan dengan demikian dapat memperoleh pemecahan yang realistis.

Kemampuan menyelidiki dengan cara ini bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan semalam; dibutuhkan waktu
lama dan pendidikan yang persisten. Perencanaan jangka panjang membutuhkan konsistensi dan intelegensia
tinggi. Demokrasi bukanlah komoditi instan yang bisa langsung dipasang (plug and play). Tanpa pengertian
yang cukup atas cara untuk mengembangkan sebuah demokrasi, kita mungkin akhirnya memboroskan semua
tenaga mencari awal jalan dan tidak pernah mendapatkannya. Permintaan untuk demokrasi seyogyanya
didasarkan atas kesadaran akan bentuk dan inti sarinya. Kebanyakan, permintaan untuk reformasi
demokrasi yang kita dengar akhir-akhir ini adalah untuk bentuk demokrasi bukan inti sarinya. Permintaan
akan demokrasi merupakan efek permintaan bagi pengembangan, dan hal itu harus dimulai dari diri kita
sendiri. Kita harus dapat memandang diri kita dan melihat apakah ada demokrasi di dalam batin kita,
apakah kita termasuk Dhammadhipateyya. Setiap orang yang akan memerintah negaranya pertama-tama
seyogyanya mengetahui bagaimana memerintah dirinya. Apabila tiap anggota individu masyarakat tidak dapat
memerintah dirinya sendiri dengan menjunjung tinggi Dhamma, mereka tidak akan mampu memerintah yang
lain atau memerintah negaranya.

Dikirim oleh: Selamat Rodjali


_/\_  :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

bond

Memerintah suatu negara memang pelik, harus dimulai memerintah diri sendiri.

Dalam konteks kenegaraan, org banyak menafsirkan demokrasi liberal ala Amerika Serikat, Sebenarnya demokrasi hanya bisa berjalan jika dipadukan oleh kultur suatu negara dan penegakan hukum yg kuat. Jadi IMO saya tidak percaya demokrasi yg didengung2kan oleh banyak orang dan secara umum, yg ada selama ini adalah DEMOCRAZY termasuk yg di gembar-gemborkan negara adidaya.Kalau konteks bernegara saya lebih senang dengan sebutan demokrasi Pancasila (konteks Indonesia). Dalam konteks global , saya lebih senang menyebut demokrasi relatif.

Contohnya demokrasi relatif: kalau suatu negara seperti irak, maka demokrasi harus sedikit diperketat, lebih mengedepankan hukum yg kuat.
Tapi negara yg warganya sudah sadar perlunya ketaatan hukum, perlahan keran demokrasi yg lebih bebas dan bisa dipertanggung jawabkan , bisa dilaksanakan.

Sulit sekali mendefinisikan demokrasi yg ideal. Yg ideal adalah supermasi hukum dulu ditegakan baru berbicara demokrasi.Ini yg terjadi di negara Indonesia saat ini.

_/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

jamescoa

_/\_

James

Pitu Kecil

Yup Setuju, kapan ya indonesia supermasi hukumnya bisa mantap ???

kepikirin nih dulu liat di televisi Pencuri ayam dihukum 10 tahun penjara, jual ganja dihukum 5 tahun penjara, Korupsi 50 Milyar dihukum 2 tahun penjara  :D

Ayoooo Semuanya mau pilih yang mana ?
1. Pencuri Ayam
2. Penjual Ganja
3. Koruptor

:whistle:
Smile Forever :)

Kelana

Quote from: LotharGuard on 01 January 2008, 09:32:29 PM
Yup Setuju, kapan ya indonesia supermasi hukumnya bisa mantap ???

kepikirin nih dulu liat di televisi Pencuri ayam dihukum 10 tahun penjara, jual ganja dihukum 5 tahun penjara, Korupsi 50 Milyar dihukum 2 tahun penjara  :D

Ayoooo Semuanya mau pilih yang mana ?
1. Pencuri Ayam
2. Penjual Ganja
3. Koruptor

:whistle:

Sorry OOT
Kalau jadi pencuri "hati" gimana ya  :P

GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Sumedho

There is no place like 127.0.0.1

FZ

Quote from: LotharGuard on 01 January 2008, 09:32:29 PM
Yup Setuju, kapan ya indonesia supermasi hukumnya bisa mantap ???

kepikirin nih dulu liat di televisi Pencuri ayam dihukum 10 tahun penjara, jual ganja dihukum 5 tahun penjara, Korupsi 50 Milyar dihukum 2 tahun penjara  :D

Ayoooo Semuanya mau pilih yang mana ?
1. Pencuri Ayam
2. Penjual Ganja
3. Koruptor

:whistle:
Itulah tanda bukti pedulinya pemerintah terhadap rakyat kecil..
Baguskan pencuri ayam bisa makan gratis selama 10 tahun.. :whistle:

Pitu Kecil

Quote from: Kelana on 09 January 2008, 10:13:30 AM
Quote from: LotharGuard on 01 January 2008, 09:32:29 PM
Yup Setuju, kapan ya indonesia supermasi hukumnya bisa mantap ???

kepikirin nih dulu liat di televisi Pencuri ayam dihukum 10 tahun penjara, jual ganja dihukum 5 tahun penjara, Korupsi 50 Milyar dihukum 2 tahun penjara  :D

Ayoooo Semuanya mau pilih yang mana ?
1. Pencuri Ayam
2. Penjual Ganja
3. Koruptor

:whistle:

Sorry OOT
Kalau jadi pencuri "hati" gimana ya  :P



cemana curi hati ya, saya mau belajar nih *krn ampe skrg gk pande curi hati orang*  :'(
Smile Forever :)

Pitu Kecil

Quote from: FoxRockman on 09 January 2008, 03:00:58 PM
Quote from: LotharGuard on 01 January 2008, 09:32:29 PM
Yup Setuju, kapan ya indonesia supermasi hukumnya bisa mantap ???

kepikirin nih dulu liat di televisi Pencuri ayam dihukum 10 tahun penjara, jual ganja dihukum 5 tahun penjara, Korupsi 50 Milyar dihukum 2 tahun penjara  :D

Ayoooo Semuanya mau pilih yang mana ?
1. Pencuri Ayam
2. Penjual Ganja
3. Koruptor

:whistle:
Itulah tanda bukti pedulinya pemerintah terhadap rakyat kecil..
Baguskan pencuri ayam bisa makan gratis selama 10 tahun.. :whistle:


betul2 memang pemerintah kita sangat2 peduli ma rakyat kecil.

kalau saya pilih jadi No. 4 Pencuri hati =))
Smile Forever :)