comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

#645
QuoteDemikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.

Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.

Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
bukankah di sini pentingnya pandangan benar, seperti Buddha menerangkan pandangan benar di CULASIHANADA SUTTA & KOSAMBIYA SUTTA
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

 [at] kainyn, mau tanya kalau perbuatan baik dan buruk itu katanya tidak relevan dalam vipasana, nah apakah berarti perbuatan baik dan buruk itu tidak berguna? sedangkan Buddha saja jelas2 mengatakan perbuatan baik itu berguna.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoPandangan saya begini:
- Relevansi moralitas dengan Vipassana hanyalah pada sila mendukung kondisi (seperti sedikit gangguan dan terlahir di alam yang baik). Keberhasilan seseorang dalam Vipassana adalah ditentukan oleh latihannya (baik di hidup ini atau masa lampau), BUKAN sila-nya. Jadi moralitas seseorang, seberapapun tingginya, tidak mempengaruhi keberhasilan Vipassana seseorang. Namun seseorang yang berkembang Vipassananya, pasti memiliki moralitas tinggi.
Kalau saya umpamakan, sila itu adalah harta, vipassana adalah belajar. Harta mendukung seseorang belajar dengan baik (bisa belajar di sekolah yang baik, beli peralatan belajar), namun banyaknya harta seseorang tidak membuat seseorang menjadi lebih pandai.

- Dalam Vipassana, segala pandangan tentang sila, doktrin, ajaran, dan lain sebagainya, adalah tidak relevan, karena seseorang bervipassana mengamati bathin dan jasmani. Seseorang bisa berlatih vipassana dengan atau tanpa pengetahuan sila, doktrin, atau ajaran tersebut.

Mungkin kita punya pandangan berbeda, biarlah demikian, saya tidak akan bahas lebih jauh.

Saya memang selama ini menyatakan bahwa moralitas dan vipassana itu saling mendukung. Sila-samadhi-panna itu berkesinambungan, ketiganya merupakan satu paket. Ketika bervipassana, tentu saja sila dan panna tidak relevan di dalamnya. Yang relevan dalam bervipassana adalah perhatian dan konsentrasi. Tapi samadhi bukanlah satu aspek yang dapat berdiri sendiri. Ia harus didukung pula oleh aspek sila dan panna.

Persoalannya... Pak Hudoyo menyatakan bahwa tidak ada jalan untuk mengakhiri dukkha; lebih lanjut kemudian ia memodifikasinya dengan menyatakan "dalam vipassana, JMB8 adalah tidak relevan". Sekilas nampaknya logis. Namun jika kita mengikuti perjalanan diskusi, yang dibicarakan adalah konteks "JMB8 adalah metode untuk mengakhiri dukkha". Dan justru hal itu ditentang oleh Pak Hudoyo. Jadi bukannya masalah pengetahuan akan JMB8 itu yang tidak relevan.

Saya melihat bahwa vipassana itu merupakan salah satu ruas dari JMB8. Entah apakah Anda setuju atau tidak. Orang yang menjalankan sila, akan memperoleh kenyamanan dalam menjalani hidup. Nampaknya Anda selalu mendeskripsikan sila sebagai harta yang akan memberi kenyamanan di kehidupan berikutnya. Kalau saya justru melihat sila itu penting dikembangkan untuk menunjang vipassana, karena manfaatnya tumbuh di saat ini.

Orang yang mengembangkan sila, akan bertindak-tanduk secara terhormat dan bermoral. Ia akan mendapatkan kenyamanan di hidup ini juga. Orang yang mengembangkan sila akan hidup bahagia dan tenang. Selanjutnya ketika ia melakukan samadhi, ia akan menyelami bentukan-bentukan batin; ia akan melihat realita. Setelah bangkit dari samadhi, ia memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk mengembangkan aspek panna. Aspek panna ini akan mendorongnya untuk bertindak penuh moralitas, sehingga sila terus dikembangkan. Begitulah kesinambungan dari JMB8. Oleh karena itu ada orang yang mencapai Pembebasan karena keyakinan, perenungan maupun kebijaksanaan. Semua itu turut dipengaruhi oleh sejauh mana titik kulminasi dari aspek sila-samadhi-panna yang dikembangkan orang itu.


Quote from: Kainyn_KuthoSaya sampaikan yang saya ingat. Pak Hudoyo mengatakan bahwa perbedaan ajaran Buddha dengan Nihilisme adalah Buddha mengajarkan bahwa fenomena kehidupan adalah gerak pikiran (yang adalah dukkha) dan nibbana adalah terhentinya dukkha tersebut, tidak ada sangkut paut dengan "atta"; sedangkan nihilisme melihat dari sudut pandang kehidupan merupakan diri/atta, yang kemudian hancur.

Mungkin lebih tepatnya, paham nihilisme menjelaskan akan adanya suatu "diri" yang akan meraih Pembebasan dengan cara melenyapkan "diri" itu sendiri.

Ya, kita sama-sama berspekulasi tentang pandangan dari seorang Pak Hudoyo...


Quote from: Kainyn_KuthoBerarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.

Bagi si pengucap (Thera Pilinda Vaccha), ucapan benar itu tidak relatif. Tapi bagi si pendengar, semua jenis ucapan bisa jadi relatif.


Quote from: Kainyn_KuthoDemikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.

Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.

Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.

Anda menilai JMB8 secara outside-in, Bro. Harus dicermati, bahwa Ajaran Sang Buddha itu menekankan kita untuk melihat dari dalam sendiri terlebih dahulu sebelum menuangkannya ke luar. Menurut pemahaman saya, JMB8 memang tidak lagi sebagai jalan yang universal. Itu karena orang-orang pada umumnya melihat secara subjektif.

JMB8 yang diajarkan Sang Buddha itu dalam metode yang menuntun dari dan ke dalam batin. Bukannya jalan yang membuat orang supaya terlihat sempurna di luar, tapi bobrok di dalam.

Mungkin ada orang yang bersikukuh menganggap kisah Thera Pilinda Vaccha, kisah Cakkuphala Thera, maupun berdagang arsenik dan selai kacang; menunjukkan irelevansi dari JMB8. Tapi yang perlu dipahami adalah: "JMB8 berbicara mengenai Jalan Tengah untuk memoles batin diri sendiri*". Karena itu, pikiran dan kehendaklah yang paling vital dalam setiap aspeknya. Dari sinilah kita menilai apakah kisah-kasus tersebut memang menunjukkan irelevansinya atau tidak.

*Karena itulah banyak yang memandang Buddhisme (terutama Aliran Theravada) adalah ajaran yang egosentris.


Quote from: Kainyn_KuthoBagi saya, semua juga butuh penjelasan. Itulah sebabnya seseorang perlu bertanya, berdiskusi, bahkan berguru, bukan baca, tebak-tebakan dan tafsir seenaknya.

Apakah point dalam Sankhitta Sutta tidak jelas? YA, bagi orang awam yang tidak pernah baca sutta dan sama sekali asing dengan Bahasa Pali. Tidak demikian bagi yang menyelidiki. Misalnya "viraga/saraga" dalam Bahasa Pali, selalu berkenaan dengan bathin (citta), yaitu yang berhubungan dengan hawa nafsu; "acaya/apacaya" adalah pengumpulan benda/objek yang sifatnya memberi kesenangan duniawi (indrawi). Juga kata-kata seperti Samyoga dan Viriya sangat banyak pembahasan detailnya dalam Sutta lain.

Istilah Pali lebih kaya dan penggunaannya jauh lebih spesifik dan detail, berbeda dengan Bahasa Indonesia. Jika seseorang mau sedikit belajar dan mencari tahu lebih banyak, mengerti Sankhitta Sutta dengan benar tanpa bias tidaklah sesulit itu.

Di sini pun kita berbeda opini dan saya rasa tidak ada gunanya diteruskan mengenai JMB 8 & Sankhitta Sutta.

Terima kasih atas diskusinya, bro upasaka.
  _/\_

Itu rumitnya Bro kalau tidak ada metode yang jelas untuk meresapi makna dari Sankhitta Sutta. Bertanya, berdiskusi dan berguru pun tidak bisa dijadikan patokan utama. Karena sifatnya hanya mencari informasi dari luar dan kita menyimpulkan sendiri semua informasi yang kita tangkap.

Pada kenyataannya, kita cenderung menganalisa dan menyimpulkan suatu informasi berdasarkan pemahaman intelektual, pengalaman, daya imajinasi, kecerdasan emosi, dsb. yang bersifat subjektif. Di sinilah kita baru menyadari betapa pentingnya metode yang jelas. Dan dalam JMB8, metode itu dijabarkan dengan jelas. JMB8 itu pun sebenarnya hanya sebuah informasi. Namun metode itu menunjukkan dengan jelas semua informasi (Samutti Sacca) yang dapat menunjang kita untuk menyelami sendiri Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca).


Semoga kita bisa mendiskusikan banyak hal kelak. Tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.
Terima kasih.
_/\_

ryu

 [at] upasaka : AKANKHEYYA SUTTA ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Nevada


morpheus

Quote from: ryu on 26 August 2009, 04:16:26 PM
Quote from: morpheus on 26 August 2009, 02:39:24 PM
Quote from: ryu on 26 August 2009, 02:32:00 PM
Berarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?
anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
pengamatan kita emang berbeda om...
Kalau Menurut om Morph Orang baik itu seperti JK dan Pak Hudoyo saya juga no comment deh ;D
kalo menurut anda dua orang ini nyeleneh, abaikan saja... bukan dijadikan alasan tidak bermeditasi. apapun tekniknya.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

ryu

Quote from: morpheus on 27 August 2009, 10:31:24 AM
Quote from: ryu on 26 August 2009, 04:16:26 PM
Quote from: morpheus on 26 August 2009, 02:39:24 PM
Quote from: ryu on 26 August 2009, 02:32:00 PM
Berarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?
anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
pengamatan kita emang berbeda om...
Kalau Menurut om Morph Orang baik itu seperti JK dan Pak Hudoyo saya juga no comment deh ;D
kalo menurut anda dua orang ini nyeleneh, abaikan saja... bukan dijadikan alasan tidak bermeditasi. apapun tekniknya.

Sudah saya abaikan koq, saya sedang belajar zen ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: upasaka on 26 August 2009, 10:40:17 PM
Persoalannya... Pak Hudoyo menyatakan bahwa tidak ada jalan untuk mengakhiri dukkha; lebih lanjut kemudian ia memodifikasinya dengan menyatakan "dalam vipassana, JMB8 adalah tidak relevan". Sekilas nampaknya logis. Namun jika kita mengikuti perjalanan diskusi, yang dibicarakan adalah konteks "JMB8 adalah metode untuk mengakhiri dukkha". Dan justru hal itu ditentang oleh Pak Hudoyo. Jadi bukannya masalah pengetahuan akan JMB8 itu yang tidak relevan.
Mengenai ini sudah pernah saya bahas. Bagi Pak Hudoyo JMB 8 "tidak bisa", bagi kontra-MMD "bisa", bagi saya "subjektif, tergantung orang".


QuoteSaya melihat bahwa vipassana itu merupakan salah satu ruas dari JMB8. Entah apakah Anda setuju atau tidak. Orang yang menjalankan sila, akan memperoleh kenyamanan dalam menjalani hidup. Nampaknya Anda selalu mendeskripsikan sila sebagai harta yang akan memberi kenyamanan di kehidupan berikutnya. Kalau saya justru melihat sila itu penting dikembangkan untuk menunjang vipassana, karena manfaatnya tumbuh di saat ini.
Sepertinya ini juga masalah komunikasi. Pastinya saya dan Pak Hudoyo juga tahu Vipassana adalah bagian dari JMB 8. Menurut saya yang Pak Hudoyo coba katakan adalah jika ketika bervipassana kita bersandar pada satu doktrin, apakah JMB 8, atau bahkan doktrin Vipassana itu sendiri, maka ia tidak akan terbebas.


QuoteOrang yang mengembangkan sila, akan bertindak-tanduk secara terhormat dan bermoral. Ia akan mendapatkan kenyamanan di hidup ini juga. Orang yang mengembangkan sila akan hidup bahagia dan tenang. Selanjutnya ketika ia melakukan samadhi, ia akan menyelami bentukan-bentukan batin; ia akan melihat realita. Setelah bangkit dari samadhi, ia memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk mengembangkan aspek panna. Aspek panna ini akan mendorongnya untuk bertindak penuh moralitas, sehingga sila terus dikembangkan. Begitulah kesinambungan dari JMB8. Oleh karena itu ada orang yang mencapai Pembebasan karena keyakinan, perenungan maupun kebijaksanaan. Semua itu turut dipengaruhi oleh sejauh mana titik kulminasi dari aspek sila-samadhi-panna yang dikembangkan orang itu.
Sekali lagi, jika dikatakan umumnya demikian, saya setuju. Begitulah yang terlihat dalam sudut pandang duniawi (lokiya) bahwa Arahat seolah-olah memiliki sila. Namun dari sutta, kita tahu bahwa tidaklah demikian dari sudut pandang melampaui-duniawi (lokuttara). Thera Pilinda Vaccha tidaklah mengikuti atau menentang sila. Ia tidak berpikir baik atau jahat (maka tidak ada kamma yang ditanam), tetapi melakukan suatu perbuatan demi perbuatan itu sendiri.


QuoteMungkin lebih tepatnya, paham nihilisme menjelaskan akan adanya suatu "diri" yang akan meraih Pembebasan dengan cara melenyapkan "diri" itu sendiri.

Ya, kita sama-sama berspekulasi tentang pandangan dari seorang Pak Hudoyo...
Bukan pembebasan, namun memang menganggap "diri" itu akan binasa.
Ya, memang kita tidak akan mengetahui bathin orang lain secara pasti tanpa kemampuan tertentu.


Quote
Quote from: Kainyn_KuthoBerarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.

Bagi si pengucap (Thera Pilinda Vaccha), ucapan benar itu tidak relatif. Tapi bagi si pendengar, semua jenis ucapan bisa jadi relatif.
Dalam hal Thera Pilinda Vaccha, ya. Dalam hal lain, juga bisa relatif bagi si pengucap. Misalnya kata-kata manis dan baik yang ditujukan untuk menyindir. Kata-katanya baik, namun pikirannya tidak baik. Atau misalnya kata-kata munafik yang isinya bagus-bagus, namun pikiran itu sebenarnya tidak mengerti, hanya membeo dan ingin dipuji. Sangat sangat relatif.


QuoteAnda menilai JMB8 secara outside-in, Bro. Harus dicermati, bahwa Ajaran Sang Buddha itu menekankan kita untuk melihat dari dalam sendiri terlebih dahulu sebelum menuangkannya ke luar. Menurut pemahaman saya, JMB8 memang tidak lagi sebagai jalan yang universal. Itu karena orang-orang pada umumnya melihat secara subjektif.

JMB8 yang diajarkan Sang Buddha itu dalam metode yang menuntun dari dan ke dalam batin. Bukannya jalan yang membuat orang supaya terlihat sempurna di luar, tapi bobrok di dalam.

Mungkin ada orang yang bersikukuh menganggap kisah Thera Pilinda Vaccha, kisah Cakkuphala Thera, maupun berdagang arsenik dan selai kacang; menunjukkan irelevansi dari JMB8. Tapi yang perlu dipahami adalah: "JMB8 berbicara mengenai Jalan Tengah untuk memoles batin diri sendiri*". Karena itu, pikiran dan kehendaklah yang paling vital dalam setiap aspeknya. Dari sinilah kita menilai apakah kisah-kasus tersebut memang menunjukkan irelevansinya atau tidak.
Kembali lagi, saya tidak menolak JMB 8, namun saya katakan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk hal-hal yang sifatnya spesifik. Dan biasanya, saya diskusi dhamma bukan dengan orang yang membahas hal-hal general. Sudah sering kali di topik yang saya bahas, JMB 8 sudah tidak bisa lagi memberikan solusi.


Quote*Karena itulah banyak yang memandang Buddhisme (terutama Aliran Theravada) adalah ajaran yang egosentris.
Saya akan senang sekali kalau orang mengerti bahwa ajaran Buddhisme memang egosentris, karena ajaran Buddha memang tidak menyuruh kita mengurusi, menilai dan menghakimi orang lain. Semua kembali ke pikiran dan pikiran adalah sifatnya pribadi.
Namun saya rasa kalau orang mengatakan ajaran Buddha adalah egoisme, ia sama sekali keliru. Ajaran Buddha adalah Altruisme Total.


QuoteItu rumitnya Bro kalau tidak ada metode yang jelas untuk meresapi makna dari Sankhitta Sutta. Bertanya, berdiskusi dan berguru pun tidak bisa dijadikan patokan utama. Karena sifatnya hanya mencari informasi dari luar dan kita menyimpulkan sendiri semua informasi yang kita tangkap.

Pada kenyataannya, kita cenderung menganalisa dan menyimpulkan suatu informasi berdasarkan pemahaman intelektual, pengalaman, daya imajinasi, kecerdasan emosi, dsb. yang bersifat subjektif. Di sinilah kita baru menyadari betapa pentingnya metode yang jelas. Dan dalam JMB8, metode itu dijabarkan dengan jelas. JMB8 itu pun sebenarnya hanya sebuah informasi. Namun metode itu menunjukkan dengan jelas semua informasi (Samutti Sacca) yang dapat menunjang kita untuk menyelami sendiri Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca).
Semua juga subjektif, maka saya selalu mengatakan kecocokan. Tidak ada satu metode yang cocok buat semua orang. Itulah kenapa metode mengajar Buddha begitu variatif.
Sankhitta Sutta bagi saya metodenya jelas, namun memang perlu pembelajaran yang berbeda saja.


QuoteSemoga kita bisa mendiskusikan banyak hal kelak. Tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.
Dengan senang hati, jika ada kesempatan. :)

K.K.

Quote from: ryu on 26 August 2009, 05:16:45 PM
QuoteDemikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.

Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.

Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
bukankah di sini pentingnya pandangan benar, seperti Buddha menerangkan pandangan benar di CULASIHANADA SUTTA & KOSAMBIYA SUTTA

Ya, kalau mau fair, ketika kita membahas secara spesifik, sebenarnya intinya adalah pandangan dan pikiran benar. Ucapan dan perbuatan benar (juga penghidupan benar dan mungkin juga lainnya) menjadi relatif, dan akhirnya kita hanya membahas JMB <8.
Kalau secara umum, saya rasa tidak masalah. Ketika mengenalkan Buddhisme pada orang yang asing pun, saya juga menggunakan JMB 8. Namun ketika orang mulai berbicara kasus yang tidak biasa, saya sudah tidak berpegang lagi pada JMB 8.


Quote from: ryu on 26 August 2009, 05:22:30 PM
[at] kainyn, mau tanya kalau perbuatan baik dan buruk itu katanya tidak relevan dalam vipasana, nah apakah berarti perbuatan baik dan buruk itu tidak berguna? sedangkan Buddha saja jelas2 mengatakan perbuatan baik itu berguna.
Seperti saya tulis sebelumnya, perbuatan baik itu seperti uang, vipassana seperti belajar. Kalau tidak ada uang, susah sekali mendapatkan fasilitas, tidak bisa sekolah, dan kesempatan belajar sedikit. Punya uang banyak bisa sekolah bagus, bisa beli fasilitas (seperti internet, buku2) yang baik, punya kesempatan belajar yang banyak. Namun, apakah uang banyak dikatakan relevan dengan kepandaian?


ryu

Perbuatan baik relevan dengan hasil yang baik :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

markosprawira

Quote from: upasaka on 26 August 2009, 10:40:17 PM
Quote from: Kainyn_KuthoBerarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.

Bagi si pengucap (Thera Pilinda Vaccha), ucapan benar itu tidak relatif. Tapi bagi si pendengar, semua jenis ucapan bisa jadi relatif.

Bagi si pendengar, itu tetap merupakan akusala vipaka..... tapi kamma-phala selanjutnya, relatif tergantung dari si pendengar itu sendiri


markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 August 2009, 11:05:03 AM
Quote from: ryu on 26 August 2009, 05:16:45 PM
QuoteDemikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.

Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.

Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
bukankah di sini pentingnya pandangan benar, seperti Buddha menerangkan pandangan benar di CULASIHANADA SUTTA & KOSAMBIYA SUTTA

Ya, kalau mau fair, ketika kita membahas secara spesifik, sebenarnya intinya adalah pandangan dan pikiran benar. Ucapan dan perbuatan benar (juga penghidupan benar dan mungkin juga lainnya) menjadi relatif, dan akhirnya kita hanya membahas JMB <8.
Kalau secara umum, saya rasa tidak masalah. Ketika mengenalkan Buddhisme pada orang yang asing pun, saya juga menggunakan JMB 8. Namun ketika orang mulai berbicara kasus yang tidak biasa, saya sudah tidak berpegang lagi pada JMB 8.

Secara konsep, memang tidak berpegang..... namun secara hakekat dari yg dijelaskan, seyogyanya kita bisa tetap berpegang karena JMB-8 adalah penerapan dalam hidup keseharian

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 August 2009, 11:05:03 AM
Quote from: ryu on 26 August 2009, 05:22:30 PM
[at] kainyn, mau tanya kalau perbuatan baik dan buruk itu katanya tidak relevan dalam vipasana, nah apakah berarti perbuatan baik dan buruk itu tidak berguna? sedangkan Buddha saja jelas2 mengatakan perbuatan baik itu berguna.
Seperti saya tulis sebelumnya, perbuatan baik itu seperti uang, vipassana seperti belajar. Kalau tidak ada uang, susah sekali mendapatkan fasilitas, tidak bisa sekolah, dan kesempatan belajar sedikit. Punya uang banyak bisa sekolah bagus, bisa beli fasilitas (seperti internet, buku2) yang baik, punya kesempatan belajar yang banyak. Namun, apakah uang banyak dikatakan relevan dengan kepandaian?

Relevan itu khan berhubungan....

dari analogi anda aja, udah jelas ada relevansinya, ada hubungannya walaupun bukan menjadi kepastian

Analogi itu jadi agak sedikit berbeda jika dikembalikan ke perbuatan baik dan vipassana
punya uang banyak, bisa membuat belajar yg lebih baik, lebih pandai
tapi kepandaian, belum tentu membuat punya uang banyak


Sedangkan :
Perbuatan baik mendukung vipassana -> ok
Tapi vipassana (yg benar tentunya) PASTI mendukung perbuatan yg baik


diskusi seru mode : ON

K.K.

Quote from: markosprawira on 27 August 2009, 01:47:38 PM
Relevan itu khan berhubungan....

dari analogi anda aja, udah jelas ada relevansinya, ada hubungannya walaupun bukan menjadi kepastian

Analogi itu jadi agak sedikit berbeda jika dikembalikan ke perbuatan baik dan vipassana
punya uang banyak, bisa membuat belajar yg lebih baik, lebih pandai
tapi kepandaian, belum tentu membuat punya uang banyak


Sedangkan :
Perbuatan baik mendukung vipassana -> ok
Tapi vipassana (yg benar tentunya) PASTI mendukung perbuatan yg baik


diskusi seru mode : ON

Saya pernah mengenal seseorang (almarhum) yang lahir di keluarga lumayan miskin. Tidak punya fasilitas belajar, sekolahnya bisa sampai kelas 6 SD karena waktu kelas 5 SD, ia memalsukan rapor. Karena tidak ada uang beli barang-barang yang ia suka, maka ia sering pergi ke pasar loak cari rongsokan. Di kemudian hari, suatu kali saya menanyakan kabar tentangnya, saya dapat jawaban yang mencengangkan: Ia sedang memberi bimbingan belajar pada beberapa mahasiswa teknik.

Memang betul kalau tidak ada uang, ia tidak bisa beli makan, tidak bisa hidup. Kalau mati, sakit atau kelaparan berarti tidak bisa belajar dengan baik. Tapi kalau dibilang uang itu relevan dengan kepandaian, menurut saya tidak.

williamhalim

perbuatan baik dan vipassana, dua2nya adalah belajar.

keduanya saling mendukung.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Jerry

misiii.. ;D

drop opini dikit aja.. kalo dibilang relevansi uang dng kepandaian, bukan ga ada tapi mungkin udah jauh ya.. uang relevan dng kesempatan belajar. dan kesempatan belajar relevan dg kepandaian. tp kalo antara uang sendiri dg kepandaian.. bukan ga ada tp dah jauh.. dan ga bisa jump to conclusion begitu menurut saya. :)
appamadena sampadetha