comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

hatRed

Quote
1. Penolakan terhadap Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Ariya Beruas Delapan

menolak ini maksudnya menolak gmana?

Quote
2. Pelarangan bagi ummat Buddha untuk melakukan berbagai bentuk Puja ( Namaskara, pembacaan Paritta, dll. ) saat sedang mengikuti retret "MMD".

setau i puja itu optional, jadi kalo dilarang juga gak kenapa kan....

Quote
3. Tujuan "MMD" adalah  "berhentinya-pikiran" ( bukan Nibbana sebagaimana Sang Buddha menunjukkannya sebagai tujuan-sejati bagi ummat Buddha )
kemaren sempet diskusi sama si yaHud di eFBe... keknya dia salah kata deh..
kalo i nangkepnya maksud pikiran dia yg berhenti tuh adalah konseptualisasi/penafsiran.. dalam bahasa inggrisnya adalah Thought.
sedangkan Mind itu tidak berhenti....

Quote
4. Penegasan bahwa "MMD" adalah meditasi vipassana "Ala Krishnamurti" ; bukan vipassana ala Buddhisme umumnya.

apa standar vipassana ala Buddhisme dan apa standar vipassana ala Krishnamurti?

Quote
5. Penggunaan Bahiya-Sutta, Malunkyaputta-Sutta, dan Angulimala-Sutta sebagai sekedar "jembatan" untuk menghubungkan "MMD" ( yang berbasis ajaran J.Krishnamurti ) dengan ummat Buddha.

lalu ada apa dengan hal itu?

Quote
6. Pandangan Romo Hudoyo akan adanya Buddha yang telah muncul di abad ke-20 ; yaitu J.Krishnamurti.
apa arti Buddha bagi Romo Hudoyo?
apa ada alasan yg jelas kenapa Krishnamurti layak disebut sebagai seorang Buddha menurut romo Hudoyo?
   
Quote
7. Penolakan [ dengan halus ] Ajaran "Anatta"

alasan ditolaknya Anatta?
   
Quote
8. Penolakan terhadap Kebenaran isi Ti-Pitaka

tipitaka sangat luas, kebenaran yg mana yg ditolak?
alasan ditolaknya kebenaran isi Ti Pitaka?
i'm just a mammal with troubled soul



Anatta

#511
 =))
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 August 2009, 09:41:14 AM
Quote from: Anatta on 18 August 2009, 03:11:48 PM
[at]  Ratnakumara: Kalau dia benar2 mengikuti petunjuk di POTALIYA-SUTTA, kenapa dia gak mengecam dirinya sendiri dan memuji kita ya??!... =)) =)) =))

Wah.. anda merasa pantas dipuji yah? Luar biasa. :)

[at]  Kainyn: Wah... anda tidak melihat ini ya: ... =)) =)) =))
Relax man!...Relax!!

markosprawira

Quote from: hatRed on 19 August 2009, 10:39:43 AM
Quote
1. Penolakan terhadap Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Ariya Beruas Delapan

menolak ini maksudnya menolak gmana?

dear hat,

krn tanyanya kepanjangan, berikut saya jawab satu persatu aja yah:

Mengenai JMB-8, berikut tulisan terbaru PH :

QuoteHUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."

sedangkan tulisan2 sebelumnya :

Quote1.

QuoteQuote from: Sumedho on 29 July 2008, 01:29:14 PM
jadi kesimpulannya Pak Hud, apakah jalan mulia beruas 8 bisa membawa kebebasan tidak? kalau sudah disimpulkan, nanti buka thread lain aja supaya lebih rapih


QuoteKalau Anda membaca dengan teliti thread ini, Anda akan melihat beberapa kali saya katakan:

Segala JALAN spiritual, termasuk JMB-8, tidak bisa membebaskan orang; untuk bebas batin harus berhenti, bukan berjalan.
Silakan kalau ada orang mau berpendapat lain.

Salam,

hudoyo


2.
QuoteQuote from: ryu on 28 July 2008, 01:38:32 PM

14. "Bhagava, adakah jalan, adakah metode untuk mencapai hal-hal ini?" "Ada jalan, Mahali, ada metode." [157] "Dan Bhagava, apakah jalan itu, apakah metode itu?"

"Yaitu, Jalan Mulia Berfaktor Delapan, yaitu, Pandangan Benar, Pikiran Benar; Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar; Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk mencapai hal-hal ini."

http://dhammacitta.org/tipitaka/dn/dn.06.0.wlsh.html


Quotehehe ... ini kan cuma mengulang-ulang argumentasi lama: ada JALAN ajaran Sang Buddha, yakni JMB-8.

Itulah yang diajarkan dalam AGAMA Buddha, dalam Tipitaka Pali yang ditulis berabad-abad setelah Sang Buddha wafat. Saya tidak percaya itu datang dari mulut Sang Buddha.


3. 
QuoteQuote from: nyanadhana on 25 July 2008, 04:11:41 PM

Ketika Sang Buddha memutar Dhammacakkapavattana....Beliau menjelaskan 2 Ekstrim yang dihancurkan melalui Jalan Tengah apakah Jalan Tengah itu ya 8 Jalan Ariya sehingga membawa orang menuju Nibbana. Yang dimaksud mungkin ketika kamu sedang berjuang mencapai Nibbana. gunakan 8 Jalan itu dan ketika sudah sampai maka ibarat rakit dilepas,lagian orang yang telah mencapai Nibbana atau kepadaman, ia tidak lagi memerlukan kemelekatan akan 8 Jalan itu sendiri melainkan telah terintegrasi dalam setiap ucapan,perbuatan dan pikiran.

Ini saja yang saya tangkap ketika membaca Visuddhi Magga


QuoteQuote from: hudoyo on 26 July 2008, 06:36:26 AM

Bagus-bagus saja umat Buddha berpendapat seperti Anda.

Yang saya katakan adalah umat non-Buddhis pun bisa saja mencapai pembebasan (nibbana) tanpa melalui JMB-8, tanpa melalui konsep "pantai seberang", tanpa melalui konsep "rakit".

Itulah yang saya pahami dari pengalaman sadar sampai sejauh ini.

4.
QuoteTanya = Menurut Pak Hud jalan mulia beruas 8 itu bisa membawa kebebasan tidak? (cuma nanya, jadi mau tahu gimana pandangan Pak Hud mengenai jalan beruas 8 )

QuoteJawab = Menurut hemat saya, kalau orang melekat pada Jalan Mulia Berunsur Delapan ia akan tetap terbelenggu.
Karena sesungguhnya tidak ada jalan ... tidak ada tujuan ... tidak ada pantai seberang.
Nibbana itu sendiri berarti padam.


Salam,
Hudoyo
[ Sumber = http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3718.0 ]

silahkan dilihat sendiri inkonsistensi mengenai JMB-8  :D

Bagi yang ingin membaca lebih jelas, silahkan membuka link :
http://ratnakumara.wordpress.com/2009/07/26/apakah-romo-hudoyo-berpandangan-salahmenyimpang/


Semoga bs memperjelas apa yg dimaksud dengan "kesalahpahaman" yg disebutkan dibawah

markosprawira

Quote from: hatRed on 19 August 2009, 10:39:43 AM
Quote
2. Pelarangan bagi ummat Buddha untuk melakukan berbagai bentuk Puja ( Namaskara, pembacaan Paritta, dll. ) saat sedang mengikuti retret "MMD".

setau i puja itu optional, jadi kalo dilarang juga gak kenapa kan....


Berikut salah satu email dari rekan di milis sebelah :

QuoteOn 8/18/09, Charles Ben <charles.ben75 [at] yahoo.com> wrote:

(4) Ritualisme

Oleh karena kebanyakan teknik vipassana "tradisional" diajarkan dalam konteks agama Buddha dan diselenggarakan
di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme.

Suatu kekecualian dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di lokasinya tidak terdapat simbol-simbol keagamaan sedikit pun, sehingga pemeditasi tidak terdorong melakukan ritual apa pun dalam praktik retretnya. Kelekatan pada ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan.


Di dalam MMD, sekalipun retret dilakukan di dalam Dharmasala (Ruang Kebaktian) sebuah vihara, selama retret berlangsung peserta sangat dianjurkan untuk tidak melakukan ritual agama Buddha apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam) yang ada di sana, membaca paritta, dan sebagainya.

Sedangkan bagi peserta retret MMD yang beragama Islam, mereka tetap dibenarkan melakukan ibadah sholat yang wajib menurut ajaran agamanya.

Pertanyaan :
1. Kenapa umat Buddha tidak diperbolehkan bernamaskara kepada Buddharupam dan membaca paritta di ruang dharmasala padahal itu di Wihara ?
2. Kenapa umat Islam diperbolehkan sholat 5 waktu ?

Pak Hud ternyata milih-milih....apakah pak Hud takut menyuruh umat Islam tidak melakukan  sholat 5 waktu atau takut umat islam tidak tertarik MMD ( tidak ada pengikut ) atau hanya untuk memperkuat posisi pak Hud di MMD....ini buktinya ada umat yang lain ikut MMD......????

Harus pak Hud juga mengatakan ke umat beragama lain bahwa :
Kelekatan pada ritualisme ( sholat 5 waktu ) itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan. ( ini baru kejujuran...pak Hud ).

No. 1 : pernyataan pak Hud sudah membuat umat Buddhis tidak tertarik MMD.apakah salah orang melakukan ritual ?No. 2 : berkesan takut atau ingin memperkuat MMD dengan Umat Islam masuk ke MMD ? ( buktinya umat lain mau bergabung )..

Maaf yah pak Hud....yang baik saya ambil....yang tidak baik saya tidak ambil...dan ada beberapa yang saya protes....he..he..he..

Salam Metta,

Charles Ben

dan komentar rekan lainnya juga :

QuoteOn 8/19/09, Henry <henry.ch02 [at] gmail.com> wrote:

tidaklah demikian maksudnya.
kalau dia tidak membolehkan umat Islam sholat, maka dia akan digrebek
FPI. tamatlah riwayat mu.
sedangkan untuk umat Buddha, dia merasa lebih gampang ditindas. pada
dasarnya seorang pengecut akan menghitung untung ruginya dalam
bertindak.

memberi hormat kepada yang harus dihormati, bukanlah suatu kemelekatan.

2009/8/19 <nboedi [at] yahoo.com>:
> Menurut pendapat saya,apa yg dilakukan Pak Hud sdh benar,kita sbg org Buddhis diajarkan utk menghindarkan kemelekatan,dan ketika beliau membolehkan umat agama lain utk menjalankan ritual adalah karena beliau menghormati mereka,karena belum tentu umat agama lain itu dapat menghindarkan diri dari kemelekatan seperti kita umat Buddhis
>
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

semoga cukup memperjelas yah

markosprawira

Quote from: hatRed on 19 August 2009, 10:39:43 AM
Quote
3. Tujuan "MMD" adalah  "berhentinya-pikiran" ( bukan Nibbana sebagaimana Sang Buddha menunjukkannya sebagai tujuan-sejati bagi ummat Buddha )
kemaren sempet diskusi sama si yaHud di eFBe... keknya dia salah kata deh..
kalo i nangkepnya maksud pikiran dia yg berhenti tuh adalah konseptualisasi/penafsiran.. dalam bahasa inggrisnya adalah Thought.
sedangkan Mind itu tidak berhenti....

mengenai ini, pernah saya diskusikan dengan PH juga.

Karena saya merasa aneh, bro...... untuk apa dia menggunakan istilah dalam bahasa inggris, bukannya menggunakan istilah dalam tipitaka yaitu CITTA?

dan ternyata jelas bhw PH salah kaprah dimana ternyata dia menyamakan CITTA/Pikiran/Kesadaran/Vinnana dengan BATIN/NAMA
Padahal sesungguhnya Citta yang dalam hal Khandha disebut Vinnana, adalah merupakan salah satu dari 4 unsur pembentuk Batin/Nama

Berikut email2an saya dengan PH :

QuoteOn 8/7/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:

Ada perbedaan antara pembentukan konsep, dengan melekati konsep

Konsep itu adalah sesuatu yg wajar, misal kita bisa tahu mengenai Tanah sebagai suatu yg solid, warna coklat, dsbnya

Tapi jika anda melihat mulapariyaya lagi, disana jelas bhw yg dimaksud adalah tidak melekat pada konsep itu, alias tanpa AKU.
Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal (eternalis), pun sebaliknya jangan berkonsep tidak ada tanah (nihilisme)

Silahkan lihat kembali pengertian dibawah :
- berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
- berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
- berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
- tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah

Citta = kesadaran = pikiran = vinnana : ini jelas ada dalam 5 khandha yaitu vinnana khandha

Sangat berbeda dengan batin yg notabene terdiri dari 4 khandha, yang salah satunya adalah citta/pikiran/kesadaran/vinnana

Batin bukanlah sama dengan citta seperti yg anda sebut dibawah : saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'!

Jadi kalau sudut pandang sudah berbeda, saya rasa sudah tidak perlu diteruskan karena anda sudah menggunakan istilah yg berbeda dengan yg digunakan di sutta itu sendiri

anumodana


On 8/7/09, Hudoyo <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:

Dari: Markosprawira

> *Tambahan oleh markosprawira*
> **
> Sering terjadi salah paham pada sebagian pihak seolah dalam Mulapariyaya sutta, kesadaran pada arahat BERHENTI sampai tahap 1 saja ('abhijanati' - persepsi murni)


=============================================

HUDOYO:

Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha
menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)." Ini dinyatakan pula oleh Bhikkhu Bodhi, alm Nanavira Thera dsb dalam buku-buku mereka tentang Mulapariyaya-sutta.

Lalu kepada seorang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar dalam menerima 'persepsi murni' (abhijanati), jangan sampai timbul  pembentukan konsep (ma manni), jangan sampai timbul si aku, yang  memisahkan diri dari objek, ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.

Kesimpangsiuran terjadi karena Sdr Markosprawira menerjemahkan 'citta' dengan 'pikiran' (lihat kutipan tulisannya di bawah), sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! Arus 'batin'/'kesadaran' memang tidak pernah berhenti, tapi 'pikiran', 'berpikir' bisa dan harus berhenti dalam kesadaran vipassana.

Dalam bahasa Inggris, 'pikiran' adalah 'thought', 'pemikiran/berpikir' adalah 'thinking'. 'Pikiran'/'berpikir' selalu didahului dengan 'pembentukan konsep', 'penafsiran' (misalnya, konsep Buddha, konsep Dhamma, konsep Sangha, pikiran tentang pembunuhan, pikiran tentang pencurian, pikiran tentang perzinaan dsb). Manusia tidak bisa berpikir tanpa 'pembentukan konsep', tanpa 'penafsiran'. Dalam bahasa Pali, 'pembentukan konsep', 'penafsiran' dsb disebut 'mannati' (verb) atau 'mannitam' (noun) (lihat Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140). Menurut Bhikkhu Bodhi, akar kata dari 'mannati' dan 'mannitam' adalah 'man-', yang berarti 'berpikir'.

Di dalam Mulapariyaya-sutta (MN 1) maupun Dhatu-vibhanga-sutta (MN 140), Sang Buddha mengajarkan bahwa dalam batin (citta) seorang yang bebas tidak ada lagi 'pembentukan konsep, penafsiran' dsb, singkatnya tidak ada lagi 'pikiran, berpikir' SEBAGAIMANA SEORANG PUTHUJJANA BERPIKIR. Seorang arahat tidak berpikir baik tidak pula berpikir buruk, sebagaimana manusia biasa berpikir.

Di dalam Mulapariyaya-sutta, hal ini sangat jelas ketika Sang Buddha  bicara tentang OBJEK "segala yang terlihat (dittham), segala yang  terdengar (sutam), segala yang tercerap (mutam), segala yang dikenal [dalam batin] (vinnatam)". Kepada orang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar setiap kali mencerap OBJEK seperti itu, jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang objek, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari objek, kemudian ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.

Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang
dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang
ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.

Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak
memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya
dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).

Bacalah khotbah-khotbah terbaru dari Sri Pannyavaro Mahathera tentang sadar/eling, di mana orang tidak memikir-mikir lagi tentang hal-hal yang baik maupun yang buruk. "Sadar/eling itu membebaskan," kata Bhante Pannya. .

Salam,
Hudoyo
------------------------------------------------
Situs Web MMD, http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD, http://meditasi-mengenal-diri.ning.com


> Padahal apa yang bisa dilihat diatas adalah bhw kesadaran itu TETAP BERJALAN
> terus, hanya saja :
> 1. Pathavim Pathavito Abhijanati : secara langsung mengetahui tanah
> sebagai tanah
> 2. Pathavim Abhinnaya : berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> 3. Pathavim Na Mannati : berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah
> dari] tanah
> 4. Pathavim Na Meti Mannati : berhenti menganggap tanah sebagai
> "milikku"
> 5. Pathavim Na Abhinandati: tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
>
> *Jadi yang berhenti adalah KONSEPNYA, bukan KESADARANNYA itu sendiri*.
> Hal ini bisa kita lihat diatas, "berhenti mengkonsepsikan", "berhenti mengkonsignasikan tanah" dstnya, jadi BUKAN berhentinya kesadaran
>
> Kesadarannya itu sendiri tetap berjalan, tetap berlangsung dengan kondisi pikiran yang KIRIYA/fungsional sebagaimana ada dalam tabel Citta/Pikiran
>
> Demikian penjelasan mengenai Mulapariyaya sutta, semoga bisa bermanfaat bagi rekan2 sekalian

to be continued di bawah

markosprawira

Konsep mengenai pikiran, sesungguhnya adalah rujukan dari JK, yg dimanipulir seolah selaras dengan tipitaka yaitu berdasar beberapa sutta saja, BUKAN seluruh sutta
Itu kenapa sering muncul pernyataan PH bhw "Sutta ini bukan berasal dari mulut Sang Buddha", dgn alasan karena itu tidak sesuai dengan hasil "sadar"nya
Padahal sudah jelas tidak akan matching karena yang terjadi sesungguhnya adalah upaya untuk mencocok2an Konsep Pikiran JK, dengan sutta dalam Tipitaka

hal ini pernah dibahas juga oleh bro bond yg saya forward ke SP :

QuoteOn 8/3/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:

Berikut adalah jawaban sahabat Bond atas tanggapan pak hudoyo



Quote Tulisan bapak Hudoyo master MMD

Date: Wed, 29 Jul 2009 15:44:42
To: <milis_buddha [at] yahoogroups.com>
Subject: Re: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA


Rekan Johnson,

Anda pernah mengikuti retretr MMD beberapa kali. Kalau boleh saya bertanya, apakah Anda pada dewasa ini melakukan MMD?

Berikut jawaban saya terhadap kepenasaran Master MMD : Bandingkan dua quote yang saya bold :

(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.

....
Salam,
Hudoyo





Jawab Quote by bond

Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa, bukan mengatasi pikiran. Kalau kilesa ini terendap(dalam samatha) atau  hilang saat bervipasana, maka pikiran itu akan jernih dan cemerlang. Dan yang akan dominan hanya yg disebut 'yang mengetahui' yg melihat apa adanya/yatthabhutamnyanadassanam/pure citta(mungkin ada istilah lain dalam bahasa Abhidhammanya)




Nah mari kita lihat percakapan di bawah ini kembali sebelum saya ulas lebih dalam  percakapan WHS dengan pak Hudoyo:

Quote http://www.facebook.com/note.php?note_id=113470851639&comments=

Whs:Apakah berhentinya pikiran bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pak selain saat bermeditasi? misal saat saya mengetik, bukankah pikiran ini bergerak dan berarti 'aku' bekerja?
Mohon penjelasanya. terima kasih sebelumnya. Amituofo

Hudoyo:
Ketika Anda mengetik surat, tentu Anda membutuhkan pikiran, jadi gunakan pikiran, Anda tidak bisa mengetik surat sambil bermeditasi.
Tetapi bahkan di dalam mengetik satu surat itu pun kadang-kadang Anda berhenti, menarik napas panjang, minum kopi dulu, melihat keluar jendela, dsb. Nah, apa yang terjadi dengan pikiran Anda pada saat-saat itu? ... Read MoreBiasanya melamun, bukan.
Nah, secara singkat inilah challenge Krishnamurti kepada kita: "BISAKAH PIKIRAN BERHENTI, DAN HANYA BERGERAK BILA BENAR-BENAR DIBUTUHKAN?" ("Can thinking stop, and only moves when really needed?")
Kalau Anda mampu melakukannya, berarti Anda bisa bermeditasi di tengah-tengah kesibukan sehari-hari.

Lain lagi dengan kegiatan makan misalnya. Makan adalah kegiatan fisik yang sedikit sekali membutuhkan pikiran. Oleh karena itu ketika makan biasanya pikiran ini melamun. Nah, di sini terlebih lagi relevan tantangan Krishnamurti: "Bisakah pikiran ini berhenti, dan hanya bergerak ketika benar-benar dibutuhkan?"
Terima kasih atas jawaban bapak. Kalau boleh saya mau bertanya lagi. Apakah artinya juga bila ketika dalam beraktivitas memerlukan pikiran bergerak artinya si 'aku' muncul?

Begini: kesadaran-aku itu hanya muncul bersama munculnya pikiran. Kalau pikiran diam, kesadaran-aku itu juga lenyap. Ini bisa Anda alami sendiri di dalam meditasi.
Dengan demikian dapat dikatakan, aku itu sinonim dengan pikiran, dua-duanya berjalan seiring.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa dilihat dalam beberapa contoh.
Pertama, ketika kita ... Read Moremenonton bioskop layar lebar, bila ceritanya menarik dan memukau, untuk sementara pikiran & si aku berhenti, Anda terseret oleh jalan cerita film itu. Tetapi ada saat-saat ketika pikiran bergerak lagi, lalu muncullah aku, yang menyadari, "Ah, itu cuma film, aku sedang duduk di teater bersama orang lain, dsb dsb." Pada saat itu jalan cerita film itu mulai luntur karena dicemari oleh pikiran beserta kesadaran-aku yang muncul.

Contoh kedua, pada waktu orang sangat terkejut, biasanya pikiran & aku berhenti untuk sesaat. Misalnya ketika ada petir menyambar di dekat kita. Pada saat itu, kita terkesima, pikiran & aku berhenti untuk sesaat. Tetapi saat berikutnya, muncullah kembali pikiran & aku: "Wah, barusan ada petir. Untung aku tidak kena ... dsb dsb."
Nah, berhentinya pikiran & aku ini bisa Anda alami dalam vipassana/MMD.


Whs:
Tadi bapak mengatakan aku itu sinonim dengan pikiran , dua-duanya berjalan seiring. Apakah berhentinya pikiran ini bisa dikatakan lenyapnya dukkha?
Terima kasih untuk jawaban sebelumnya. Amituofo

Hudoyo:
Betul, aku itu berakhir KARENA pikiran berhenti. Berakhirnya pikiran dan aku, itulah berakhirnya dukkha.
Ini uraian Sang Buddha sendiri dalam Mulapariyaya-sutta dasn Bahiya-sutta. Di situ Sang Buddha menjelaskan tentang terjadinya proses pikiran pada orang biasa (puthujjana), pada orang yang berlatih vipassana, dan proses batin seorang arahat & ... Read Moretathagata.
Bila Anda sungguh-sungguh berminat, bacalah lebih dulu artikel "Pengantar Mulapariyaya-sutta" di Notes saya, yang saya hiasi banyak gambar & foto menarik. Lalu ada pula "Mulapariyaya-sutta" sendiri yang terasa kering. Dan terakhir "Bahiya-sutta" yang pendek, tapi lugas & jelas.


Komentar Bond

Lenyapnya dukkha yang sesungguhnya yang SELALU diajarkan Sang Buddha adalah ketika kilesa demi kilesa hilang/hancur sampai keseluruhan kilesa untuk selamanya yang dimulai dari sotapanna sampai dengan arahat.

Pencapaian Arahat adalah puncak dimana kilesa hilang seluruhnya dan Citta/ pikiran bebas dari kilesa ini untuk selamanya.  Dalam paticasamupada sebab dari dukha adalah Avijja yang merupakan kilesa.

Dan Lenyapnya dukkha adalah lenyapnya Avijja/kilesa-kilesa. Bukan berhentinya pikiran. Jelas bukan, dua perbedaan ini?

DAN yang diajarkan Sang Buddha di Bahiya sutta, Mulapariyaya Sutta dan Malunkyaputta sutta adalah bagaimana dukkha ini lenyap atau dengan kata lain menghancurkan sumber dari dukkha yaitu kilesa tadi.

Dan SB juga mengajarkan bagaimana dalam bervipasanna melihat kilesa ini dan timbulnya pengetahuan untuk menghilangkan kilesa ini(Asavakkhayanyana /pengetahuan penghancuran noda-noda batin).

Apakah ini doktrin? ini bukanlah doktrin.

Ini adalah realita bagi yang sudah mengalami.
Kalau belum dan karena memang tidak sanggup dan mengatakan doktrin, ini adalah kebodohannya sendiri bukan?

Kalau mau bukti nyata orang yg sudah mengalami, saya bisa menunjukan orangnya dan om Master MMD bisa menanyakan langsung. Jangan sampai ketika ingin dipertemukan nara sumbernya, malah mengatakan tidak ada kepentingannya tetapi hanya bisa mengkritik tapi tidak mau bertemu.

Misal mengkritik Paauk Sayadaw. Giliran Paauk Sayadaw ke Indonesia ke cibodas, diajak untuk mengklarifikasi, malah tidak berani dengan berbagai alasan ha..ha.  Aneh bukan?

apa artinya seorang pengkritik hanya berani dibelakang tapi tidak berani langsung ke nara sumbernya? silakan diartikan sendiri he..he

ini buktinya :

Quote by bond
Pak Hud bisa hubungi charles di 08121050996 dia yg menerima pendaftaran utk retreat dan informasi2 ttg Paauk Sayadaw. Nah kalo bisa Pak Hud bisa tanya langsung mumpung Pa-auknya datang. Setelah itu share sama kita2.


Quote by Hudoyo
Saya tidak berminat untuk berdebat dengan siapa pun. ... Minat saya hanya membuka mata orang mengenai hal-hal yang menurut perasaan saya patut dipertanyakan. ... Sebatas itu saja. ... Silakan saja kalau ada yang mau menanyakan langsung kepada beliau. ...


--->Padahal TSnya sendiri yg buka pertanyaan.  PA-AUK SAYADAW: Untuk mencapai Nibbana harus mampu melihat kehidupan lampau? (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,2877.15.html)


Jadi dengan penggunaan 3 sutta oleh Master of MMD adalah merupakan pengalihan isu seakan-akan JK sebagai sumber inspirasi Pak Hud sama dengan ajaran Sang Buddha.
Padahal JK sendiri tidak ingin diembel-embelkan dengan label agama.

Jelas pula berhentinya pikiran bukanlah lenyapnya dukkha. Dukkha yang laten selalu ada apabila kilesa masih ada.

Jika diartikan berhentinya pikiran = lenyapnya dukkha seperti yang diutarakan oleh master MMD/Pak Hudoyo MAKA JELASLAH MMD berguna sebatas saat bermeditasi tetapi tidak dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari.

Karena dalam kehidupan sehari-hari pasti pikiran bergerak dgn demikian ada dukkha terus. Arahat pun pikirannya bisa bergerak ketika dia harus berbicara, menulis , memberi ceramah Dhamma dsb.

Termasuk ketika Sang Buddha ditanya dengan berbagai pertanyaan oleh para ahli agama, brahmana dan pertapa dijaman itu. Hanya Sang Buddha menjawab dengan hati yang tanpa kilesa.

Apakah artinya Sang Buddha ataupun arahat batinnya masih ada dukkha?

Nah semoga penjelasan ini membuka pintu hati kita dan smoga Pak Hudoyo sehat-sehat selalu dan mencapai cita-citanya, dan tidak perlu khawatir MMDnya tergusur. Berlian akan selalu berkilau kalau memang berlian kalau batu tanah liat sekali kepruk ya hancur. Saya yakin murid-murid MMD akan menyampaikan hal ini sekalipun berbisik-bisik.  kalau tidak disampaikan berarti bukanlah murid yang baik dan berbakti terhadap master/gurunya.

Ok sampai disini saja pembuktiannya ya.....paling-paling jawaban disana atau di milis MMD hanya berputar-putar dan bermain lidah seperti dulu. Kalau masih kurang jelas saran saya untuk pak Hudoyo : jangan kebanyakan gerilya di milis2 nanti hasil MMD nya pecah atau menjadi Dhamma yang pecah. Jam terbang meditasinya ditingkatkan pak dan kurangi perdebatan yang ngotot kemana-mana ya...   



---------- Forwarded message ----------
From: Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id>
Date: Aug 1, 2009 6:21 PM
Subject: [samaggiphala] Untuk Sdr Markos Prawira & Bond di Dhammacitta.org
To: samaggiphala [at] yahoogroups.com

Dari: Milis Sahabat Hikmahbudhi

Sdr Bond di Dhammacitta.org menyatakan: "Jelas dan pantas MMD memang bukan meditasi Buddhist yang diajarkan Sang Buddha dan juga tidak sesuai dengan bahiya sutta,malunkyaputta sutta dan mulapariyaya sutta." Di samping itu, Sdr Bond telah melakukan pelecehan 'ad hominem' terhadap saya dalam tulisannya itu.

Pernyataan Sdr Bond yang dikutip oleh Sdr Markos Prawira itu tidak
disertai pembuktian material bahwa MMD "tidak sesuai dengan Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta & Mulapariyaya-sutta". Alih-alih ia bicara panjang lebar tentang doktrin-doktrin Buddhisme lain yang TIDAK TERDAPAT dalam ketiga sutta itu, dan yang justru telah ditanggalkan dalam pelaksanaan vipassana/MMD sesuai ajaran Sang Buddha dalam ketiga sutta itu.

Kalau Sdr Bond tidak mampu membuktikan pernyataannya itu secara material berdasarkan Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta & Mulapariyaya-sutta, maka jelas ucapannya itu hanyalah pepesan kosong belaka yang tidak perlu dihiraukan.

Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com

--- In Sahabat_Hikmahbudhi [at] yahoogroups.com, markos prawira
<markosprawira [at] ...> wrote:
>
> Berikut sharing di :
> http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.new.html#new
>
> Quote from: bond on *Today* at 11:25:23
> AM<http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.msg200879.html#msg200879>
> Coba perhatikan yang dibold, Jelas dan pantas MMD memang bukan meditasi Buddhist yang diajarkan Sang Buddha dan juga tidak sesuai dengan bahiya sutta,malunkyaputta sutta dan mulapariyaya sutta. Jadi ketiga sutta itu hanya digunakan untuk marketing dengan gaya gerilya jendral Sudirman di milis2 dan forum.
>
> Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari *kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa*, *bukan mengatasi pikiran.* Kalau kilesa ini terendap(dalam samatha) atau hilang saat bervipasana, maka pikiran itu akan jernih dan cemerlang. Dan yang akan dominan hanya yg disebut 'yang mengetahui' yg melihat apa adanya/yatthabhutamnyanadassanam/pure citta(mungkin ada istilah lain dalam bahasa Abhidhammanya)
>
> Dan jmb 8 dan 4 km bukanlah suatu domain pikiran ataupun produk berpikir.
> JUSTRU pengejewantahan NYATA jmb 8 dan 4 km yaitu tercapainya magga dan phala dalam artian magga phala inilah WUJUD/NYATA yg bukan produk berpikir dari JMB 8 dan 4 km. Ini yang telah direalisasi PARA ARIYA DAN SANG BUDDHA.
> Kalau kita sekarang sedang membicarakan jmb8 dan 4 km, ya ini adalah suatu konsep untuk menunjuk yang NYATA/paramatha sacca dan ini diperlukan tapi bukan dilekati, karena mau tidak mau sekarang kita harus berpikir dan mengkomunikasikan dalam suatu bahasa ataupun tulisan sehingga kita bisa memahaminya.
>
> Kesimpulan jmb8 dan 4 km bukanlah domain intelek/hasil produk berpikir.
> Tapi 4 km dan jmb 8 adalah memang produk Paramatha sacca yg dikonsepkan agar mudah dicerna untuk kepentingan mengajar dan belajar.
>
> Jadi sudah jelas dari *"apa yang diatasi saat bervipasana"* apakah MMD sesuai dengan ajaran Sang Buddha atau tidak.
>
> Jadi ya sekarang terserah kita mau pilih yg mana. Kalau ada statement dari non buddhist mengatakan belajar MMD bermanfaat, karena membuat mereka bisa menjadi sadar, ya bagus dan bermanfaat TETAPI hanya sebatas itu saja.
> Berbeda dengan pelaksanaan Dhamma yang diajarkan Sang Buddha untuk
> merealisasi Dhamma sampai hilangnya kilesa dan bukan hanya sekedar sadar tetapi MAHA SADAR.
>
>
> Smoga Mereka semua yg berada disini dan dimanapun berada termasuk makhluk dan para Dewa yang berada di 6 penjuru. Smoga mereka berbahagia.  _/\_

Salam,


Tolong dibaca pelan2 agar bisa jelas terlihat yah  _/\_

K.K.

Quote from: bond on 19 August 2009, 10:22:48 AM
Tipitaka itu sumbernya dari mana?

Pertanyaannya jika Buddha menggunakan sudut pandang orang lain, maka referensi apa yg Buddha gunakan untuk menjelaskan Dhamma dengan menggunakan sudut pandang orang lain?

Maksudnya, sumber kebenarannya dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha.

Ketika seorang yang melekat pada pandangan kasta, Buddha serta-merta tidak mengatakan "kasta itu bukan dhamma", melainkan mengulas kasta itu sendiri. Ketika orang melekat pada petapaan keras, Buddha tidak serta-merta mengatakan "petapaan keras salah", melainkan menjelaskan secara detail tentang petapaan keras. Buddha tidak "mengisi" seseorang dengan doktrin-doktrin, namun membimbing orang melihat kenyataan apa adanya. Membimbing orang lain melihat kenyataan, bukanlah dengan buku, dengan referensi, namun dengan pengertian, kebijaksanaan, dan memahami orang lain. Itulah yang saya tangkap.


markosprawira

#517
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 August 2009, 01:09:03 PM
Quote from: bond on 19 August 2009, 10:22:48 AM
Tipitaka itu sumbernya dari mana?

Pertanyaannya jika Buddha menggunakan sudut pandang orang lain, maka referensi apa yg Buddha gunakan untuk menjelaskan Dhamma dengan menggunakan sudut pandang orang lain?

Maksudnya, sumber kebenarannya dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha.

Ketika seorang yang melekat pada pandangan kasta, Buddha serta-merta tidak mengatakan "kasta itu bukan dhamma", melainkan mengulas kasta itu sendiri. Ketika orang melekat pada petapaan keras, Buddha tidak serta-merta mengatakan "petapaan keras salah", melainkan menjelaskan secara detail tentang petapaan keras. Buddha tidak "mengisi" seseorang dengan doktrin-doktrin, namun membimbing orang melihat kenyataan apa adanya. Membimbing orang lain melihat kenyataan, bukanlah dengan buku, dengan referensi, namun dengan pengertian, kebijaksanaan, dan memahami orang lain. Itulah yang saya tangkap.

dear Kai,

sesungguhnya diatas bro bond sudah dengan gamblang menyatakan :

QuoteKomentar Bond

Lenyapnya dukkha yang sesungguhnya yang SELALU diajarkan Sang Buddha adalah ketika kilesa demi kilesa hilang/hancur sampai keseluruhan kilesa untuk selamanya yang dimulai dari sotapanna sampai dengan arahat.

Pencapaian Arahat adalah puncak dimana kilesa hilang seluruhnya dan Citta/ pikiran bebas dari kilesa ini untuk selamanya.  Dalam paticasamupada sebab dari dukha adalah Avijja yang merupakan kilesa.

Dan Lenyapnya dukkha adalah lenyapnya Avijja/kilesa-kilesa. Bukan berhentinya pikiran. Jelas bukan, dua perbedaan ini?

DAN yang diajarkan Sang Buddha di Bahiya sutta, Mulapariyaya Sutta dan Malunkyaputta sutta adalah bagaimana dukkha ini lenyap atau dengan kata lain menghancurkan sumber dari dukkha yaitu kilesa tadi.

Dan SB juga mengajarkan bagaimana dalam bervipasanna melihat kilesa ini dan timbulnya pengetahuan untuk menghilangkan kilesa ini(Asavakkhayanyana /pengetahuan penghancuran noda-noda batin).

Apakah ini doktrin? ini bukanlah doktrin.
 

Ini adalah realita bagi yang sudah mengalami.
Kalau belum dan karena memang tidak sanggup dan mengatakan doktrin, ini adalah kebodohannya sendiri bukan?


dan mengenai buku, sepertinya kembali bro Kai ada salah paham

dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literatur
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan

namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna

Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya

Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"

Disinilah fungsi buku, literatur sebagai rakit yg membawa, sebagai peta yg menunjukkan jalan

Tapi org yg bodoh akan bilang bhw tidak perlu rakit, tidak perlu peta

semoga dengan diskusi ini bisa jadi jelas bhw bukanlah bukunya yg menjadi masalah, namun permasalahannya adalah pada MELEKAT dan PANNA dalam menyingkapi buku tersebut

Ingat loh bro, Objek itu sifatnya netral
Kita-lah yg membuatnya menjadi tidak netral

semoga bermanfaat

metta  _/\_


K.K.

 [at]  Bro markos

Saya tidak mengatakan buku tidak ada gunanya. Kalau buku tidak ada gunanya, saya tidak baca tipitaka.
Yang saya katakan adalah satu buku, atau acuan tidaklah bisa digunakan sebagai acuan untuk menilai segalanya. Dan benar, objek adalah netral. Satu Tipitaka bisa menjadi sampah di tangan orang yang tidak bijak, namun sepotong ajaran bisa menjadi segalanya bagi seorang bijaksana.



bond

#519
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 August 2009, 01:09:03 PM
Quote from: bond on 19 August 2009, 10:22:48 AM
Tipitaka itu sumbernya dari mana?

Pertanyaannya jika Buddha menggunakan sudut pandang orang lain, maka referensi apa yg Buddha gunakan untuk menjelaskan Dhamma dengan menggunakan sudut pandang orang lain?

Maksudnya, sumber kebenarannya dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha.

Ketika seorang yang melekat pada pandangan kasta, Buddha serta-merta tidak mengatakan "kasta itu bukan dhamma", melainkan mengulas kasta itu sendiri. Ketika orang melekat pada petapaan keras, Buddha tidak serta-merta mengatakan "petapaan keras salah", melainkan menjelaskan secara detail tentang petapaan keras. Buddha tidak "mengisi" seseorang dengan doktrin-doktrin, namun membimbing orang melihat kenyataan apa adanya. Membimbing orang lain melihat kenyataan, bukanlah dengan buku, dengan referensi, namun dengan pengertian, kebijaksanaan, dan memahami orang lain. Itulah yang saya tangkap.



Saya tidak bertanya bagaimana Buddha membimbing, tetapi dasar/acuan Buddha membimbing itu apa? atau dengan kata lain pertanyaan saya seperti  ini :
Pengertian Buddha, kebijaksanaan Buddha , mengerti orang lain sampai batinnya orang  itu , itu semua muncul dari mana atau  sumbernya darimana kalau dia bisa membimbing?

Bro tulis : 'Maksudnya, sumber kebenarannya(tipitaka) dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha. ' artinya pengalaman pribadi Buddha yg dijadikan referensi bukankah demikian..? kalau bukan  pengetahuanseorang Buddha mengajar itu darimana?
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

Quote from: bond on 19 August 2009, 01:49:48 PM
Saya tidak bertanya bagaimana Buddha membimbing, tetapi dasar/acuan Buddha membimbing itu apa? atau dengan kata lain pertanyaan saya seperti  ini :
Pengertian Buddha, kebijaksanaan Buddha , mengerti orang lain sampai batinnya orang  itu , itu semua muncul dari mana atau  sumbernya darimana kalau dia bisa membimbing?

Bro tulis 'Maksudnya, sumber kebenarannya(tipitaka) dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha. ' artinya pengalaman pribadi Buddha yg dijadikan referensi bukankah demikian..? kalau bukan  pengetahuanseorang Buddha mengajar itu darimana?

Bukankah sudah saya katakan bahwa semua pengajaran itu bersumber dari pengalaman pribadi seorang Buddha?

bond

#521
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 August 2009, 01:52:17 PM
Quote from: bond on 19 August 2009, 01:49:48 PM
Saya tidak bertanya bagaimana Buddha membimbing, tetapi dasar/acuan Buddha membimbing itu apa? atau dengan kata lain pertanyaan saya seperti  ini :
Pengertian Buddha, kebijaksanaan Buddha , mengerti orang lain sampai batinnya orang  itu , itu semua muncul dari mana atau  sumbernya darimana kalau dia bisa membimbing?

Bro tulis 'Maksudnya, sumber kebenarannya(tipitaka) dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha. ' artinya pengalaman pribadi Buddha yg dijadikan referensi bukankah demikian..? kalau bukan  pengetahuanseorang Buddha mengajar itu darimana?

Bukankah sudah saya katakan bahwa semua pengajaran itu bersumber dari pengalaman pribadi seorang Buddha?
[/b]

Baiklah kalau begitu, bukan kah berarti referensi/sumber pengalaman seseorang bisa dijadikan referensi/sumber sepanjang itu selaras dengan Dhamm(paramatha Dhamma) bukan yg relatif...sebagaimana Sang Buddha membimbing, mengajar sebagaimana pengalaman Beliau.....?

Bagaimana dengan pernyataan bro bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak bisa dijadikan referensi? Apakah hal ini bersifat khusus atau general? mungkin perbedaan ini bisa membantu bro kainyn melihat konteksnya..
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

morpheus

Quote from: markosprawira on 19 August 2009, 01:04:48 PM
dan ternyata jelas bhw PH salah kaprah dimana ternyata dia menyamakan CITTA/Pikiran/Kesadaran/Vinnana dengan BATIN/NAMA
Padahal sesungguhnya Citta yang dalam hal Khandha disebut Vinnana, adalah merupakan salah satu dari 4 unsur pembentuk Batin/Nama
di sini anda merasa semuanya harus sesuai standard abhidhamma anda. padahal pak hudoyo jelas2 bilang terminologi yg dia pake ini bukan barang baru, bukan bikinan sekadar buat beda. terminologi citta seperti ini udah lazim dipake oleh bhikkhu2 lain:
Quote
Oh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)

Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.

Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.

Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.

Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.

Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.

'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).

Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.

Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]

Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.

Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3."

perlu dicatat juga terminologi "thought" itu sangat sering dan lazim dipake buku2 panduan meditasi, baik itu dari theravada ataupun zen.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

williamhalim

Quote
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literatur
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan

namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna

Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya

Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"

Disinilah fungsi buku, literatur sebagai rakit yg membawa, sebagai peta yg menunjukkan jalan

Tapi org yg bodoh akan bilang bhw tidak perlu rakit, tidak perlu peta

semoga dengan diskusi ini bisa jadi jelas bhw bukanlah bukunya yg menjadi masalah, namun permasalahannya adalah pada MELEKAT dan PANNA dalam menyingkapi buku tersebut



Anumodana Bro Markos.
Penjelasan ini penting untuk memisahkan mana yg MELEKAT dengan buku2 dan mana yg PANNA dengan bantuan buku2...

Ajaran2 yg kita dapatkan dari buku2 dan diskusi2, kita renungkan dan kemudian kita implementasikan dalam keseharian. Misalnya: Oh benar juga, pikiran kita terbentuk menjadi kebiaaan karena kita seringkali mengulang2 kebiasaan buruk kita. Kebiasaan buruk yg kita lakukan sekali dua kali akan menjadi kebiasaan. Ini adalah teori yg kita renungkan dalam praktik keseharian. Jika hal ini seringkali direnungkan dan dipraktikkan maka akan menjadi kebiasaan baru kita. Akan tertanam dalam batin kita. Kebijaksanaan Suttamayapanna akan meningkat menjadi Cintamayapanna.

Makanya saya menolak dengan keras ajaran Pak Hud untuk merealisasi akhir dukkha: Cukup "menyadari saja" dan hanya meyakini 3 Sutta.

Jelas, bagi putthujana diperlukan pembelajaran sutta2, perenungan dan implementasi. Diperlukan latihan dan usaha2. Diperlukan meditasi duduk dan sila. Kombinasi itu semua, akan menghasilkan batin yg perlahan2 mengkilat dan sedikit demi sedikit bisa bebas dari kilesa, bebas dari dukkha.

Tidak hanya 3 sutta itu saja, melainkan keseluruhan tipitaka adalah kombinasi yg mumpuni bagi kita untuk melatih diri.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

K.K.

Quote from: bond on 19 August 2009, 01:57:26 PM
Baiklah kalau begitu, bukan kah berarti referensi/sumber pengalaman seseorang bisa dijadikan referensi/sumber sepanjang itu selaras dengan Dhamm(paramatha Dhamma) bukan yg relatif...sebagaimana Sang Buddha membimbing, mengajar sebagaimana pengalaman Beliau.....?

Bagaimana dengan pernyataan bro bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak bisa dijadikan referensi? Apakah hal ini bersifat khusus atau general? mungkin perbedaan ini bisa membantu bro kainyn melihat konteksnya..


Ini salah satu contoh beda konteks yang fatal.

-Mengenai Buddha adalah pengalaman pribadi dijadikan referensi ajaran bagi murid-murid yang mengikuti ajaran guru tersebut.
-Mengenai debat Pak Hudoyo & perkedel, pengalaman pribadi seorang bhikkhu (yang rasanya tidak diakui Pak Hudoyo sebagai guru) untuk diterima kebenarannya oleh dua pihak.

Yang pertama adalah jika 2 orang murid berselisih paham tentang maksud guru, maka nasihat guru bisa dijadikan acuan.
Yang ke dua adalah seperti orang Buddha dan orang Kr1sten berdebat, lalu salah satu pihak mencari pembenaran lewat pemuka agamanya sendiri.