comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, ngotot mempertahankan pandangan seperti itu dan sulit memusnahkan pandangan itu; karena tidak memiliki pengertian benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak ngotot dan mudah memusnahkannya, sebagai cara untuk menghindarinya.
Bagaimanapun akusala dhamma (dhamma tak baik) itu, dhamma seperti itu mengarah ke kondisi yang rendah; sebaliknya, bagaimanapun kusala dhamma (dhamma baik) itu, dhamma seperti itu mengarah ke kondisi lebih tinggi. Dengan demikian:

   1. Orang yang kejam, tidak memiliki tanpa-kekejaman sebagai kondisi lebih tinggi.
   2. Orang yang membunuh, tidak memiliki pantangan membunuh sebagai kondisi lebih tinggi.
   3. - 43 ...

  44. Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, ngotot mempertahankan pandangan seperti itu; karena tidak memiliki pengertian, benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak ngotot dan mudah memusnahkannya, adalah kondisi lebih tinggi.

Orang yang menggapai-gapai (menyelamatkan diri) dalam rawa untuk menyelamatkan orang lain yang mengapai-gapai dalam rawa adalah tidak mungkin; orang yang tidak berada dalam rawa dapat menyelamatkan orang yang menggapai-gapai dalam rawa adalah mungkin. Orang tidak terlatih, tidak disiplin dan tidak mencapai nibbana akan melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah tidak mungkin; orang yang terlatih, disiplin dan telah mencapai nibbana bila melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah mungkin. Begitu pula:

   1. Orang kejam berubah menjadi tanpa kekejaman adalah cara untuk mencapai nibbana.
   2. Orang pembunuh berubah menjadi pantang membunuh adalah cara untuk mencapai nibbana.
   3. - 43 ...

  44. Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, mengotot mempertahankan pandangan seperti itu; karena tidak memiliki pengertian benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak mengotot dan mudah memusnahkannya, adalah cara untuk mencapai nibbana.

Demikianlah, jalan untuk memusnahkan, jalan untuk mengembangkan batin, jalan untuk menghindari, jalan untuk mencapai pencapaian lebih tinggi dan jalan untuk mencapai nibbana telah saya tunjukkan.
Apa yang harus dilakukan untuk siswanya berdasarkan pada kasih sayang Guru yang mengharapkan kesejahteraan dan kasihnya, telah saya kerjakan untuk-Mu, Cunda. Itulah akar dari pohon-pohon, ini pondok-pondok kosong. Cunda kembangkanlah Jhana, jangan menunggu, itu akan mengakibatkan penyesalan. Inilah pesan kami untukmu."
Itulah yang dikatakan Sang Bhagava. Bhikkhu Mahacunda merasa puas dan gembira mendengar uraian Sang Bhagava.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: bond on 14 August 2009, 12:19:52 PM
kalau yg menyatakan sih tidak ada di sp , yg ada adalah orang yg mau menunjukan orang yg menjadi nara sumber Dhamma. Jadi apanya yg mo dicopas  ^-^
Oh, kalau gitu, no comment. Setiap orang boleh berpendapat apa pun.


QuoteCuma saya pernah baca Luangta Mahaboowa menceritakan pengalaman kearahatannya pada buku arahat magga dan phala , ada e-booknya di sini. artinya IMO kalo dia sudah melihat kebenaran dan ternyata sesuai dengan Tipitaka melalui pencapaiannya berarti adalah narasumber Dhamma bukan?

Narasumber-dhamma (dalam artian Buddha dhamma) hanyalah Samma Sambuddha seorang.
Sementara, untuk dhamma-dhamma duniawi (lokiya) tentu banyak yang bisa memberikan manfaat, bahkan kadang orang awam yang tidak terkenal pun bisa membimbing. Tetapi dalam artian Buddha-dhamma yang sejati, jangankan savaka, maha-savaka bahkan agga-savaka pun tidak selalu berpengetahuan sepenuhnya dalam membimbing dhamma. Saya pernah berikan contohnya dulu (kepada dilbert) seperti Sariputta masih dikritik Buddha dalam "kesalahan" mengajar Dhananjani; Maha-panthaka yang tidak mengetahui bagaimana cara mengajar adiknya, bahkan mengusirnya. Bagi Cula-panthaka, Maha-panthaka, seorang yang bahkan dikatakan oleh Buddha sebagai yang paling unggul dalam keahlian perubahan persepsi pun, tetap bukanlah seorang "narasumber (Buddha) dhamma".


K.K.

Quote from: ryu on 14 August 2009, 12:29:04 PM
Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, ngotot mempertahankan pandangan seperti itu dan sulit memusnahkan pandangan itu; karena tidak memiliki pengertian benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak ngotot dan mudah memusnahkannya, sebagai cara untuk menghindarinya.
Bagaimanapun akusala dhamma (dhamma tak baik) itu, dhamma seperti itu mengarah ke kondisi yang rendah; sebaliknya, bagaimanapun kusala dhamma (dhamma baik) itu, dhamma seperti itu mengarah ke kondisi lebih tinggi. Dengan demikian:

   1. Orang yang kejam, tidak memiliki tanpa-kekejaman sebagai kondisi lebih tinggi.
   2. Orang yang membunuh, tidak memiliki pantangan membunuh sebagai kondisi lebih tinggi.
   3. - 43 ...

  44. Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, ngotot mempertahankan pandangan seperti itu; karena tidak memiliki pengertian, benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak ngotot dan mudah memusnahkannya, adalah kondisi lebih tinggi.

Orang yang menggapai-gapai (menyelamatkan diri) dalam rawa untuk menyelamatkan orang lain yang mengapai-gapai dalam rawa adalah tidak mungkin; orang yang tidak berada dalam rawa dapat menyelamatkan orang yang menggapai-gapai dalam rawa adalah mungkin. Orang tidak terlatih, tidak disiplin dan tidak mencapai nibbana akan melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah tidak mungkin; orang yang terlatih, disiplin dan telah mencapai nibbana bila melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah mungkin. Begitu pula:

   1. Orang kejam berubah menjadi tanpa kekejaman adalah cara untuk mencapai nibbana.
   2. Orang pembunuh berubah menjadi pantang membunuh adalah cara untuk mencapai nibbana.
   3. - 43 ...

  44. Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, mengotot mempertahankan pandangan seperti itu; karena tidak memiliki pengertian benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak mengotot dan mudah memusnahkannya, adalah cara untuk mencapai nibbana.

Demikianlah, jalan untuk memusnahkan, jalan untuk mengembangkan batin, jalan untuk menghindari, jalan untuk mencapai pencapaian lebih tinggi dan jalan untuk mencapai nibbana telah saya tunjukkan.
Apa yang harus dilakukan untuk siswanya berdasarkan pada kasih sayang Guru yang mengharapkan kesejahteraan dan kasihnya, telah saya kerjakan untuk-Mu, Cunda. Itulah akar dari pohon-pohon, ini pondok-pondok kosong. Cunda kembangkanlah Jhana, jangan menunggu, itu akan mengakibatkan penyesalan. Inilah pesan kami untukmu."
Itulah yang dikatakan Sang Bhagava. Bhikkhu Mahacunda merasa puas dan gembira mendengar uraian Sang Bhagava.

Di sini dikatakan bahwa sikap seorang guru yang baik adalah mengajar karena kasih dan mengharapkan kesejahteraan para murid, dan sikap itu juga sudah dijalankan oleh Buddha. Di sini tidak dikatakan tentang ada atau tidaknya guru sebagai narasumber-dhamma tersebut. Jadi saya tidak bisa jawab.

bond

#453
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 12:31:01 PM
Quote from: bond on 14 August 2009, 12:19:52 PM
kalau yg menyatakan sih tidak ada di sp , yg ada adalah orang yg mau menunjukan orang yg menjadi nara sumber Dhamma. Jadi apanya yg mo dicopas  ^-^
Oh, kalau gitu, no comment. Setiap orang boleh berpendapat apa pun.


QuoteCuma saya pernah baca Luangta Mahaboowa menceritakan pengalaman kearahatannya pada buku arahat magga dan phala , ada e-booknya di sini. artinya IMO kalo dia sudah melihat kebenaran dan ternyata sesuai dengan Tipitaka melalui pencapaiannya berarti adalah narasumber Dhamma bukan?

Narasumber-dhamma (dalam artian Buddha dhamma) hanyalah Samma Sambuddha seorang.
Sementara, untuk dhamma-dhamma duniawi (lokiya) tentu banyak yang bisa memberikan manfaat, bahkan kadang orang awam yang tidak terkenal pun bisa membimbing. Tetapi dalam artian Buddha-dhamma yang sejati, jangankan savaka, maha-savaka bahkan agga-savaka pun tidak selalu berpengetahuan sepenuhnya dalam membimbing dhamma. Saya pernah berikan contohnya dulu (kepada dilbert) seperti Sariputta masih dikritik Buddha dalam "kesalahan" mengajar Dhananjani; Maha-panthaka yang tidak mengetahui bagaimana cara mengajar adiknya, bahkan mengusirnya. Bagi Cula-panthaka, Maha-panthaka, seorang yang bahkan dikatakan oleh Buddha sebagai yang paling unggul dalam keahlian perubahan persepsi pun, tetap bukanlah seorang "narasumber (Buddha) dhamma".



Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.

Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku"  Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma? Jika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan

Saya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.

Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut.  Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.

Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_

Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

#454
Quote from: bond on 14 August 2009, 12:53:24 PM
Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.

Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku"  Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma?

Tidak. Mereka yang melihat dhamma, melihat Buddha. Tetapi orang lain tetap tidak melihat apa-apa.


QuoteJika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan

Apakah mau bergantung pada bhikkhu, atau menjadikan diri sendiri sebagai pulau, adalah pilihan masing-masing, tergantung keterbatasan dan keterkondisian masing-masing pula. Tipitaka terbukti atau tidak, bukan kita nilai dari orang lain, tetapi dari diri sendiri.



QuoteSaya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.

Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut.  Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.

Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_


Seseorang bisa cocok dengan satu guru, namun belum tentu cocok dengan guru lain.
Seorang guru bisa menjadi "narasumber" bagi seseorang, namun belum tentu bagi orang lain.

Analogi tersebut tidak sesuai, karena dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dipindah-tangan begitu saja. Sama sebuah rumus fisika yang rumit tertulis di satu kertas, walaupun disebar ke sejuta orang, tidak menjadikan sejuta orang itu mengerti. Jika seseorang bisa menyampaikan maknanya, membuat orang lain mengerti, maka dia disebut narasumber pengetahuan.

Ada juga orang yang hanya memiliki "kertas", bukan "pengetahuan" dan merasa sudah mengerti, menyebarkan yang berakibat menyesatkan dan mencelakakan orang lain. Kalau dalam analogi air danau itu, seseorang ambil air danau murni, menyimpan dalam botol plastik di bawah matahari, lalu dibagikan ke orang lain untuk diminum. Airnya (kitabnya) sih memang asli dari danau, tapi mengakibatkan kanker.


Anatta

#455
Di Maha Parinibbana Sutta, SB menjawab pertanyaan Bhikkhu Ananda ttg siapakah yang akan menjadi guru setelah SB parinibbana. SB menjawab yang kira-kira demikian: "Semua Dhamma dan Vinaya yang sudah saya ajarkan dan babarkan lah yang akan menjadi guru kamu sepeninggalan saya."

Kemudian siapa yang paling berhak meng-interpretasikan Dhamma - Vinaya? Sebenarnya kita masing-masing juga mempunyai hak untuk menginterpretasikan Dhamma - Vinaya, tentunya dengan memakai acuan yang benar, bukannya meng-interpretasikannya semau kita sendiri, seperti misalnya, hanya ada tiga sutta saja yang benar2 ajaran asli dari SB sedangkan yang lainnya adalah bukan ajaran SB.

Salah satu acuan untuk menentukan suatu ajaran itu Dhamma atau bukan adalah seperti yang kita temukan di Anguttaranikaya IV. 143. Di sutta tersebut ada yang dinamakan DHAMMAVINAYA JANANALAKKHANA, yakni tujuh norma dari Dhamma - Vinaya, yakni:

1. Ekantanibbida: Tidak mudah kecewa dan tabah
2. Viraga: Sikap yang tidak terpengaruh, tenang dan tanpa nafsu
3. Nirodha: kepadaman dari kekotoran batin dan derita
4. Upasama: Ketenangan (ketenangan batin)
5. Abhinna: Pengetahuan tinggi (tenaga batin)
6. Sambodha: Penerangan, mencapai penerangan batin
7. Nibbana: Kebebasan mutlak, berakhir dari derita, terbebas dari kelahiran dan kematian

Jadi kalau kita mempelajari Dhamma - Vinaya, kemudian bathin kita mengalami apa yang telah disebutkan diatas, maka Dhamma - Vinaya tsb adalah ajaran SB.

Semoga uraian ini membantu untuk memahami permasalahan 'Narasumber Dhamma'

Semoga semua mahluk berbahagia. ^:)^ ^:)^ ^:)^

K.K.

Quote from: Anatta on 14 August 2009, 01:42:58 PM
Salah satu acuan untuk menentukan suatu ajaran itu Dhamma atau bukan adalah seperti yang kita temukan di Anguttaranikaya IV. 143. Di sutta tersebut ada yang dinamakan DHAMMAVINAYA JANANALAKKHANA, yakni tujuh norma dari Dhamma - Vinaya, yakni:

1. Ekantanibbida: Tidak mudah kecewa dan tabah
2. Viraga: Sikap yang tidak terpengaruh, tenang dan tanpa nafsu
3. Nirodha: kepadaman dari kekotoran batin dan derita
4. Upasama: Ketenangan (ketenangan batin)
5. Abhinna: Pengetahuan tinggi (tenaga batin)
6. Sambodha: Penerangan, mencapai penerangan batin
7. Nibbana: Kebebasan mutlak, berakhir dari derita, terbebas dari kelahiran dan kematian

Menarik. Kalau begitu saya punya pertanyaan.

Apakah kalian yang mengaku "empunya" dhamma sejati tidak terpengaruh, tabah, tenang, ketika berhadapan dengan MMD? 


Anatta

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 01:55:32 PM
Quote from: Anatta on 14 August 2009, 01:42:58 PM
Salah satu acuan untuk menentukan suatu ajaran itu Dhamma atau bukan adalah seperti yang kita temukan di Anguttaranikaya IV. 143. Di sutta tersebut ada yang dinamakan DHAMMAVINAYA JANANALAKKHANA, yakni tujuh norma dari Dhamma - Vinaya, yakni:

1. Ekantanibbida: Tidak mudah kecewa dan tabah
2. Viraga: Sikap yang tidak terpengaruh, tenang dan tanpa nafsu
3. Nirodha: kepadaman dari kekotoran batin dan derita
4. Upasama: Ketenangan (ketenangan batin)
5. Abhinna: Pengetahuan tinggi (tenaga batin)
6. Sambodha: Penerangan, mencapai penerangan batin
7. Nibbana: Kebebasan mutlak, berakhir dari derita, terbebas dari kelahiran dan kematian

Menarik. Kalau begitu saya punya pertanyaan.

Apakah kalian yang mengaku "empunya" dhamma sejati tidak terpengaruh, tabah, tenang, ketika berhadapan dengan MMD? 



Ini pertanyaan ditujukan ke siapa nih? Siapa yang mengaku 'empunya' dhamma sejati?? Tuh...sih master kali yang 'empunya' dhamma sejati! =)) =)) =))


morpheus

Quote from: Anatta on 14 August 2009, 11:31:14 AM
Opini akan bersifat subjektif kalau kita berlandaskan dengan pendapat pribadi kita masing-masing. Tetapi kita ini kan mempunyai Tipitaka yang bisa dijadikan bahan rujukan? Apakah dengan merujuk kepada Tipitaka anda katakan subjektif??
pertama, pembaca tipitaka itu manusia yg tentunya bisa menafsirkan menurut backgroundnya masing2.
kedua, tidak ada jaminan tipitaka itu sendiri ditulis bebas dari distorsi.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Nevada

#459
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 12:09:26 PM
Quote from: ryu on 14 August 2009, 11:58:30 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 11:49:15 AM
Quote from: Hendra Susanto on 14 August 2009, 11:42:02 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 11:39:43 AM
Quote from: upasaka on 14 August 2009, 12:19:33 AM
Quote
HUDOYO:
Sekali lagi, yang merasa bisa melihat ASAVA hanyalah melihat bentukan
pikirannya sendiri.

***
perkedel says:
> Ok lah kalau Anda tidak butuh..he..he. Jadi saya tidak repot2 lagi.
> Biar pemirsa yg menilai. Seorang ilmuwan Dhamma sepatutnya
menyelesaikan dilema sampai tuntas kalau perlu sampai ke nara sumbernya lsg.
Memang berbeda orang2 jaman Sang Buddha dan jaman sekarang dalam mengklarifikasi
kebenaran Dhamma.
================================
HUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.

Sang Buddha mewariskan kepada kita Kalama-sutta.

http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/74262

Ini menunjukkan bahwa MMD pun tidak bisa menyumbang narasumber Dhamma.

Memang betul sekarang ini tidak ada narasumber dhamma, termasuk MMD.
Ada yang berani menyatakan diri sebagai narasumber dhamma?

saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om

Betul, dhamma tertulis di tipitaka, saya percaya itu. Namun, siapa yang bisa menafsirkannya tanpa bias?

orang yang tercerahkan, tapi apakah ada orang yang tercerahkan? o o siapa dia?

Tercerahkan pun, belum tentu bisa mengajar. Maka saya katakan tidak ada narasumber dhamma.

Tidak perlu memperluas bahan diskusi sampai mengenai talenta pengajar dari seorang Sammasambuddha...

Alasan Pak Hudoyo mengeluarkan pernyataan "tidak ada lagi narasumber Dhamma" ini merupakan bentuk reaksi atas klaim dari Sdr. Perkedel. Bisa kita lihat, kalau Sdr. Perkedel menyatakan ada seorang bhikkhu yang bisa melihat assava, dan mengajak Pak Hudoyo untuk berdiskusi dengan beliau. Namun Pak Hudoyo menolak dan menyatakan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang menjadi narasumber Dhamma.

Maksudnya tidak perlu dipelintir sampai sejauh tidak ada lagi orang yang mengenal segenap alam, guru para deva dan manusia, atau talenta-talenta luar biasa lainnya itu. Pernyataan Pak Hudoyo ini cukup dilihat dalam koridor diskusi. Bahwa sebenarnya maksud dari pernyataan Pak Hudoyo adalah "tidak ada lagi orang yang mencapai Pencerahan". Sehingga tidak ada yang bisa memberikan kesaksian atas Kebenaran yang dapat direalisasi lewat jalan meditatif. Pak Hudoyo menolak kesaksian manapun karena dia merasa di dunia ini semua orang adalah orang buta. Makanya Pak Hudoyo menyisipkan kalimat terakhir tentang Kalama Sutta; maksudnya untuk memeriksa semua pengalaman diri sendiri.

Tapi sayangnya kadang evaluasi diri ini subjektif...

K.K.

Quote from: Anatta on 14 August 2009, 02:12:26 PM
Ini pertanyaan ditujukan ke siapa nih? Siapa yang mengaku 'empunya' dhamma sejati?? Tuh...sih master kali yang 'empunya' dhamma sejati! =)) =)) =))

Kalau anda tidak merasa "empunya" dhamma sejati, mengapa repot2 berargumen dengan MMD?


K.K.

Quote from: upasaka on 14 August 2009, 03:13:49 PM
Tidak perlu memperluas bahan diskusi sampai mengenai talenta pengajar dari seorang Sammasambuddha...

Alasan Pak Hudoyo mengeluarkan pernyataan "tidak ada lagi narasumber Dhamma" ini merupakan bentuk reaksi atas klaim dari Sdr. Perkedel. Bisa kita lihat, kalau Sdr. Perkedel menyatakan ada seorang bhikkhu yang bisa melihat assava, dan mengajak Pak Hudoyo untuk berdiskusi dengan beliau. Namun Pak Hudoyo menolak dan menyatakan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang menjadi narasumber Dhamma.

Tetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?



QuoteMaksudnya tidak perlu dipelintir sampai sejauh tidak ada lagi orang yang mengenal segenap alam, guru para deva dan manusia, atau talenta-talenta luar biasa lainnya itu. Pernyataan Pak Hudoyo ini cukup dilihat dalam koridor diskusi. Bahwa sebenarnya maksud dari pernyataan Pak Hudoyo adalah "tidak ada lagi orang yang mencapai Pencerahan". Sehingga tidak ada yang bisa memberikan kesaksian atas Kebenaran yang dapat direalisasi lewat jalan meditatif. Pak Hudoyo menolak kesaksian manapun karena dia merasa di dunia ini semua orang adalah orang buta. Makanya Pak Hudoyo menyisipkan kalimat terakhir tentang Kalama Sutta; maksudnya untuk memeriksa semua pengalaman diri sendiri.

Tapi sayangnya kadang evaluasi diri ini subjektif...

Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?


Nevada

#462
Quote from: Kainyn_KuthoTetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?

Makanya Sdr. Perkedel (dan juga Sdr. Fabian) mengajak Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang dimaksud. Mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk melihat pembuktian, tapi Pak Hudoyo malah menolaknya mentah-mentah.

Quote from: Kainyn_KuthoSaya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?

Bukan begitu, Bro. Orang yang Anda katakan mencari "pegangan" di luar itu hanya melihat bahwa ada figur-figur yang mumpuni dalam pengalaman meditasi. Saya melihat bahwa mereka tidak menjadikan figur-figur itu sebagai patokan mati, tapi mereka melihat bahwa figur-figur itu merupakan orang yang cukup kompeten. Ibarat kita mempelajari teknik memainkan piano dari seorang Mozart, meski Mozart sendiri (seharusnya) bukanlah pianis No. 1 sepanjang masa. Kalau ada rekan lain yang punya sudut pandang lain, itu sudah jadi urusan pribadinya.



K.K.

Quote from: upasaka on 14 August 2009, 04:45:08 PM
Quote from: Kainyn_KuthoTetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?

Makanya Sdr. Perkedel (dan juga Sdr. Fabian) mengajak Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang dimaksud. Mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk melihat pembuktian, tapi Pak Hudoyo malah menolaknya mentah-mentah.

Ya, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan? 



QuoteBukan begitu, Bro. Orang yang Anda katakan mencari "pegangan" di luar itu hanya melihat bahwa ada figur-figur yang mumpuni dalam pengalaman meditasi. Saya melihat bahwa mereka tidak menjadikan figur-figur itu sebagai patokan mati, tapi mereka melihat bahwa figur-figur itu merupakan orang yang cukup kompeten. Ibarat kita mempelajari teknik memainkan piano dari seorang Mozart, meski Mozart sendiri (seharusnya) bukanlah pianis No. 1 sepanjang masa. Kalau ada rekan lain yang punya sudut pandang lain, itu sudah jadi urusan pribadinya.

Pengalaman meditasi seseorang, tidak akan pernah dimengerti orang lain, kecuali oleh mereka yang telah melalui pengalaman yang sama. Bagi orang-orang yang belum setingkat mereka, figur-figur tersebut menjadi kompeten karena "dikatakan demikian", berdasarkan persepsi.

Sewaktu Maurice Ravel menggelar konser "Fandango", semua kritikus mencelanya habis-habisan. Keadaan berkembang, percakapan menjadi kontroversi, kemudian digelar konser "Bolero" dan dipuji habis-habisan. Fandango dan Bolero adalah gubahan yang sama. Yang berbeda hanyalah persepsi orang. Lalu bagaimana kita mengetahui apakah lagu itu bermutu atau tidak? Tidak bisa, kecuali kita mendalami musik.
Demikian juga halnya dalam dhamma, sebelum kita sendiri mendalami, maka "kata orang" mengenai "orang yang tercerah" adalah tidak berarti. Semua hanya persepsi, hanya kecocokan.


bond

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 01:19:22 PM
Quote from: bond on 14 August 2009, 12:53:24 PM
Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.

Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku"  Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma?

Tidak. Mereka yang melihat dhamma, melihat Buddha. Tetapi orang lain tetap tidak melihat apa-apa. Orang lain itu siapa? Saya rasa sudah jelas mereka yg melihat Dhamma, melihat Buddha.


QuoteJika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan

Apakah mau bergantung pada bhikkhu, atau menjadikan diri sendiri sebagai pulau, adalah pilihan masing-masing, tergantung keterbatasan dan keterkondisian masing-masing pula. Tipitaka terbukti atau tidak, bukan kita nilai dari orang lain, tetapi dari diri sendiri. Memang semuanya tergantung diri sendiri. Tapi Jangan membuat diri menjadi takabur.



QuoteSaya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.

Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut.  Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.

Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_


Seseorang bisa cocok dengan satu guru, namun belum tentu cocok dengan guru lain.
Seorang guru bisa menjadi "narasumber" bagi seseorang, namun belum tentu bagi orang lain. Narasumber dengan memilih narasumber itu berbeda. Nara sumber adalah yg 'melihat dgn sempurna' memilih  guru adalah masalah kecocokan teknik berlatih dan cara, bukan kecocokan narasumber. Semua nara sumber bermuara pada satu yaitu Buddha. Kalau Narasumber dari Dhamma yg sama, dan Anda artikan narasumbernya cocok-cocokan , sama saja Dhamma yg cocok. Jika ada 10 Buddha  memberi tahu 1 orang ttg Dhamma yg sama, hanya teknik penyampaian berbeda, dan ketika seseorang cocok dengan salah satu dari 10 Buddha karena cara penyampaian yg sesuai, apakah artinya yg 9 tidak valid sebagai narasumber? tapi jika masih semua dipukul rata dengan cocok mencocok...apa boleh buat...tidak akan ketemu. Patut diingat banyak pencapaian arahat dari satu Buddha ke jaman Buddha lainnya. Contoh banyak yg tidak menjadi arahat dan mengerti sekalipun dijelaskan oleh Buddha Dipankara dijamannya tetapi 'org yg sama ' baru mengerti di jaman Buddha Gautama.....apakah artinya Buddha Dipankara bukan Narasumber Buddha Dhamma jika dilihat mengerti atau tidaknya seseorang memahami Dhamma seperti yang Anda sampaikan.

Analogi tersebut tidak sesuai, karena dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dipindah-tangan begitu saja. Sama sebuah rumus fisika yang rumit tertulis di satu kertas, walaupun disebar ke sejuta orang, tidak menjadikan sejuta orang itu mengerti. Jika seseorang bisa menyampaikan maknanya, membuat orang lain mengerti, maka dia disebut narasumber pengetahuan. Kalau analogi Anda demikian maka seorang buddhist, sah2 saja mengatakan apa yg dikatakan Buddha dan karena ketidak mengertian terhadap sebagian kata2 Buddha maka Buddha bukanlah narasumber Dhamma yg valid untuk sebagian kata2 yg tidak dimengerti dan narasumber terhadap  kata2 Buddha yg dia mengerti, begitukah tentang pemahaman Dhamma tentang narasumber? artinya tergantung orang yg menilai apakah itu narasumber atau bukan. Jika demikian maka semua hanya omong kosong belaka dan Dhamma memiliki berbagai citarasa, tergantung orang mau cicipi yg mana, demikian nibbana juga banyak macamnya tergantung intrepertasi kita saja. Kalau sudah begini , entahlah.... ^-^

Ada juga orang yang hanya memiliki "kertas", bukan "pengetahuan" dan merasa sudah mengerti, menyebarkan yang berakibat menyesatkan dan mencelakakan orang lain. Kalau dalam analogi air danau itu, seseorang ambil air danau murni, menyimpan dalam botol plastik di bawah matahari, lalu dibagikan ke orang lain untuk diminum. Airnya (kitabnya) sih memang asli dari danau, tapi mengakibatkan kanker.

Dalam analogi saya tidak mengatakan untuk diminum tapi dikumpulkan sampai sama menjadi setangki air....Anda yg menambahkan kalau air danau itu untuk diminum, artinya yang bodoh orang yg bawa dan taruh di plastik....itu artinya si pembawa tidak mengerti hakekat membawa air sehubungan untuk apa air itu dibagikan. Jadi kelihatanya ada penyimpangan essensi yg ingin saya sampaikan... tapi it's ok karena kita berdiskusi tentang cocok-cocokan.^-^


Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada