comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

markosprawira

Quote from: ryu on 11 August 2009, 03:00:11 PM
Quote from: morpheus on 11 August 2009, 02:45:11 PM
Quote from: ryu on 11 August 2009, 01:14:00 PM
ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))
meragukan tipitaka itu menghujad? yah tul, biarlah the unbeliever yg meragukan dan mempertanyakan tipitaka dihukum bapa, dibakar api neraka yg kekal...

iya pastinya sih Bhikkhu seperti itu pasti akan mengalami kesengsaraan setelah kematian, karena menuju ke alam-alam menderita dari satu kelahiran ke kelahiran lain, dari kegelapan menuju kegelapan [yang lebih pekat]. (kata tipitaka) =))

Menderitanya bukan karena dihukum loh melainkan karena dari dirinya sendiri yg mengkondisikan seperti itu

berbeda dengan paham lain yg ada konsep "dihukum"

mereka yang memegang miccha ditthi, yg dilakukan secara terus menerus dimana akan makin melekat, sesungguhnya sedang menyiapkan diri utk masuk ke mahatapana niraya (niraya di pinggiran avici)

hendaknya ini bisa membuat kita lebih berhati2.....

metta

marcedes

Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 02:05:55 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 01:52:22 PM
Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya

yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya

Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....

semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru

Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?



Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
ini menarik.
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...

lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

markosprawira

Quote from: marcedes on 11 August 2009, 04:59:10 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
ini menarik.
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...

lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....


Disini bro bisa melihat bhw usaha utk mempertahankan obyek, sesungguhnya merupakan kemelekatan dengan konsep bhw ini adalah obyek yg HARUS saya pegang

betul yg anda bilang bhw hendaknya jgn dilakukan secara berlebihan, pun jangan terlalu longgar yg membuat pikiran kita jadi pindah ke obyek lain

nah kemelekatan melalui konsep diatas itulah yg dihindari dengan mannati yg disebutkan dalam mulapriyaya, namun bukan pembentukan persepsinya
karena persepsi/sanna ada dalam semua citta, jadi PASTI timbul sebagai kecenderungan utk mengenali obyek
namun hendaknya kita menghindari kemelekatan pada konsep yg ada di persepsi

pun seyogyanya mulapariyaya dibaca secara keseluruhan dimana tidak saja berhenti pada mannati, namun juga sebenarnya proses citta, proses persepsi berjalan terus, namun sudah tanpa ada kemelekatannya


ryu

Quote from: marcedes on 11 August 2009, 04:59:10 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 02:05:55 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 01:52:22 PM
Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya

yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya

Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....

semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru

Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?



Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
ini menarik.
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...

lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....

bukankah disinilah perlunya sutta untuk bahan referensi, contoh apabila seseorang yang mempunyai kemelekatan yang kuat terhadap suatu perasaan apakah dia bisa langsung menghilangkan kemelekatannya lewat meditasi tanpa usaha?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

markosprawira

QuoteOn 8/11/09, Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:


VITAKKA-SANTHANA-SUTTA (ringkasan) - Majjhima Nikaya, 20

{Resume: Sang Buddha memberikan lima cara praktis untuk mengatasi pikiran buruk.]

Pada suatu ketika, Sang Buddha, yang tengah berdiam di Savatthi, di Hutan Jeta, di vihara Anathapindika, memanggil para bhikkhu dan mengajar mereka:

"Bila seorang bhikkhu berminat untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi (adhicitta), ada lima hal yang harus dijalankannya pada waktu-waktu yang tepat (kaalena kaala.m -- tidak terus-menerus). Apakah kelima hal itu?

(1) Bila pikiran (vitakka) buruk --pikiran yang terkait dengan keinginan, kebencian & kegelapan batin-- muncul dalam batin seorang bhikkhu ketika ia tengah menggarap suatu hal, maka ia harus menggarap hal lain yang bersifat baik. Dengan demikian, pikiran yang buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya.
Ibaratnya orang menggunakan pasak kecil untuk mencabut sebuah pasak besar.

(2) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu menggarap hal lain yang bersifat baik, maka ia harus menyelidiki kerugian yang bisa disebabkan oleh pikiran buruk itu. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya seorang muda yang senang berdandan merasa ngeri bila sebuah bangkai ular, atau anjing atau manusia digantungkan di lehernya.

(3) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu menyelidiki kerugian yang bisa disebabkan oleh pikiran buruk itu, maka ia harus mengabaikan saja & tidak menghiraukan pikiran buruk itu. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya orang yang sengaja menutup mata dan berpaling ke arah lain.

(4) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu mengabaikan saja & tidak menghiraukan pikiran buruk itu, maka ia harus mengendurkan bentukan-pikiran oleh pikiran buruk itu. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya, orang yang semula berjalan cepat, lalu berjalan lambat, lalu berdiri saja, lalu berbaring; dengan cara itu ia melepaskan posisi yang lebih kasar dan mengambil posisi yang lebih halus.

(5) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu mengendurkan bentukan-pikiran oleh pikiran buruk itu, maka dengan mengatupkan gigi [tekad kuat] ia harus menundukkan, mengungkung, dan menindas batinnya dengan kemauannya. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya seorang yang kuat menundukkan, mengungkung dan menindas seorang yang lebih lemah.

Nah, jika seorang bhikkhu menggarap hal lain yang bersifat baik ...
menyelidiki kerugian yang bisa disebabkan oleh pikiran buruk ...
mengabaikan saja & tidak menghiraukan pikiran buruk ... mengendurkan
bentukan-pikiran oleh pikiran buruk ... menundukkan, mengungkung, dan
menindas batinnya dengan kemauannya ... dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya, maka ia dinamakan bhikkhu yang menguasai urutan pemikirannya. Ia memikirkan apa yang diinginkannya, dan tidak memikirkan apa yang tidak diinginkannya, Ia telah mematahkan keinginan, menanggalkan belengu-belenggu, dan --melalui penembusan yang benar terhadap kesombongan-- telah mengakhiri penderitaan dan dukkha."

=================================

KOMENTAR:

MARKOSPRAWIRA:

Disini dengan jelas terlihat bahwa saat seseorang sudah memutuskan tanha, sudah terbebas dari dukkha, pikirannya tetap berjalan alias TIDAK BERHENTI seperti pada paham sebagian orang.
Yang disebut disini adalah adanya SATI sampajanna (sadar dan waspada setiap saat), terampil dalam menjaga pikiran yang timbul

semoga bisa bermanfaat bagi rekan2 sekalian

=================================

KAINYN KUTHO: (dari Dhammacitta.org)

Bagi yang awam, agar jangan tercampur istilah "pikiran" dalam
Vitakkasanthana Sutta dan Mulapariyaya Sutta.

Pada Mulapariyaya Sutta, yang dimaksud adalah "maññati" sebuah proses
berpikir membentuk suatu ide/bentukan pikiran, sedangkan pada
Vitakkasanthana Sutta, dibahas adalah "vitakka". Vitakka adalah semua
objek pikiran yang muncul dari ingatan masa lalu. Terhentinya "vitakka" adalah seperti dalam jhana II, sementara terhentinya "maññati" adalah ketika seorang arahat melakukan vipassana.

Konteks pembicaraan kedua sutta juga sangat berbeda. Mulapariyaya Sutta membahas mengenai proses pencerapan objek saat ini, sementara
Vitakkasanthana Sutta membahas objek masa lampau (yang ditelah sebelumnya dicerap), yang tidak bermanfaat (akusala) dan diatasi dengan Vitakka lain lagi yang bermanfaat.

=================================

HUDOYO HUPUDIO:

Sdr Markosprawira dengan entengnya mengomentari: "saat seseorang sudah
memutuskan tanha, sudah terbebas dari dukkha, pikirannya tetap berjalan alias TIDAK BERHENTI seperti pada paham sebagian orang." -- Tentu yang dimaksudkannya dengan "sebagian orang" itu adalah saya & para praktisi MMD, yang selalu menyatakan bahwa dalam batin seorang Arahat tidak ada lagi pikiran sebagaimana seorang puthujjana berpikir; pendapat ini didasarkan pada ajaran Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta.

Mengapa saya katakan "dengan enteng"? Karena dalam membandingkan
Vitakkasanthana-sutta dengan Mulapariyaya-sutta, saking didorong oleh
nafsu untuk mendiskreditkan MMD & saya, Markosprawira –disengaja atau
tidak—tidak menelusuri kembali apa istilah asli dalam bahasa Pali yang
digunakan dalam masing-masing sutta itu yang diterjemahkan ke bahasa
Indonesia menjadi 'pikiran'. Dengan tindakannya itu Markosprawira justru telah mempertentangkan Vitakkasanthana-sutta dengan Mulapariyaya-sutta!

Dalam Vitakkasanthana-sutta 'pikiran' adalah terjemahan dari 'VITAKKA', sedangkan dalam Mulapariyaya-sutta, 'pikiran' adalah terjemahan dari 'MANNATI' (verb), atau 'MANNITAM' (noun) dalam Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140. Jelas 'vitakka/vitakketi' dan 'mannitam/mannati' sangat berbeda maknanya dan berbeda konteks penggunaannya, sehingga tidak bisa dipertentangkan sama sekali. Seharusnya Markosprawira bertanya: apakah 'vitakka' bisa berhenti?

Sepintas lalu ajaran yang terkandung dalam Vitakkasanthana-sutta ini
merupakan pengembangan lebih lanjut dari ajaran "Jangan berbuat kejahatan ...", sebagaimana tercantum dalam Ovada-Patimokkha. Di sini kejahatan & kebaikan berhadap-hadapan, dan orang dianjurkan untuk melawan kejahatan sekuat-kuatnya, dengan menggunakan segala macam cara. Di sini peran si aku, si pengambil keputusan, yang mendasari semua pikiran sangat menonjol.
Sutta ini adalah representasi dari ajaran suatu agama, agama mana pun,
ketika dipahami oleh pikiran manusia, yang selalu bersifat dualistik,
sehingga dengan demikian manusia harus menentukan pilihannya secarfa
moralistik.

Ini sangat berbeda dengan ajaran Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta. Dalam kedua sutta itu –dan dalam sutta-sutta lain yang
senada dengan itu—Sang Buddha mengajarkan agar orang menyadari gerak-gerik pikiran & akunya sendiri. Khusus kepada orang yang "berlatih" (untuk mencapai pembebasan), Sang Buddha mengajarkan agar di dalam mencerap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam, dari saat ke saat, jangan sampai muncul pembentukan konsep, dalam bentuk objek yang tercerap itu, dan dalam bentuk aku yang kemudian ingin memiliki & bersenang hati dengan objek itu.

Akhirnya Sang Buddha menyatakan, bahwa dalam batin orang yang telah bebas, tidak ada lagi rangkaian pembentukan konsep seperti itu, seperti yang selalu terjadi pada orang biasa (puthujjana). Dengan kata lain, orang yang telah bebas tidak lagi berpikir sebagaimana orang biasa berpikir.

Secara singkat, yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta itu adalah meditasi vipassana dalam bentuk yang paling murni.

Dengan demikian jelaslah bahwa Vitakkasanthana-sutta tidak bisa
dipertentangkan dengan Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta.

CATATAN:
Saya pribadi, ketika membaca Vitakkasanthana-sutta, tidak mendapat kesan apa-apa; tidak ada hal yang bersifat radikal atau unik dalam sutta itu yang patut keluar dari ucapan seorang Buddha. Seorang awam bisa saja berkhotbah seperti itu, tidak perlu seorang arahat, apalagi seorang Buddha.

Kemudian, paragraf terakhir dari sutta itu terasa "dipaksakan" atau
"ditempelkan" begitu saja pada kelima paragraf di atasnya: setelah orang mengatasi pikiran buruk dengan menggunakan kelima cara itu, lalu tiba-tiba sutta itu bicara tentang orang yang sudah menjadi arahat, sehingga terkesan seolah-olah kelima cara itu saja cukup untuk membebaskan batin seseorang.

Berdasarkan kedua fakta di atas, saya bertanya-tanya, benarkah
Vitakkasanthana-sutta itu berasal dari Sang Buddha? Bagaimana mungkin
mengatasi pikiran buruk lalu langsung menjadi arahat?

Salam,
Hudoyo

Kembali anda memotong perbincangan yang sesungguhnya sudah jauh lewat ketimbang yg anda post dibawah

Berikut saya post jawaban saya bahwa sesungguhnya tidak ada pembedaan antara pikiran di vitakkasanthana dengan di mulapariyaya

QuoteDisini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60


dan yang kemudian saya tanggapi belakangan :

QuoteSangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja

ini bisa dilihat dari :


Quote
HUDOYO:

Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."


Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.

Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PH

Quote
kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja

Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai
(Quote proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti)


Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkan

Quote
dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep


Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya

Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.html



3.   Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.

Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya

Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja


Bahkan vitakka saja masih dianggap sebagai PIKIRAN, itu menandakan kekurang telitian anda dalam membaca postingan di Dhammacitta secara lengkap

padahal di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.315.html , sebagaimana saya kutip diatas, dengan jelas dinyatakan bhw VITAKKA adalah CETASIKA, bukan jenis PIKIRAN

Komentar anda semakin menguatkan kekeliruan mengenai apa itu pikiran, kesadaran bahkan anda menyamakan CITTA dengan BATIN/NAMA
Quote(On 8/7/09, Hudoyo <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! )

padahal anak sekolah aja yang cuma tahu menghapal, sudah bisa menyebutkan bhw NAMA Khandha terdiri dari 4 yaitu :
- Vinnana khandha (citta)
- Sanna khandha (persepsi)
- vedana khandha
- sankhara khandha

Jelas kerancuan muncul karena anda hanya berpegang pada 2 - 3 sutta saja, sedangkan sesungguhnya Tipitaka merupakan kesatuan yang saling mendukung, bukannya saling bertentangan sehingga perlu diragukan seperti pernyataan anda dibawah yang mengira2 apakah ini ucapan buddha atau bukan

end of discussion

bond

Quote from: marcedes on 11 August 2009, 04:59:10 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 02:05:55 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 01:52:22 PM
Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya

yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya

Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....

semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru

Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?



Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
ini menarik.
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...---> nah ini usaha yg tidak/belum benar
|
|---Moment ini dari atas ke bawah adalah juga usaha dari yg tidak/belum benar menuju usaha benar karena panna mulai bekerja.
|
V



lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....---> sudah tepat/usahanya sudah benar , sudah balance

Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

ratnakumara


markosprawira

Sharing sedikit dari milis tetangga :



    wirajhana [at] gmail.com wrote :


Ah, ini dia lanjutan dari hasil mengikuti diskusi "membunuh Buddha" dgn
orang2 yang sangat dalam berkecimpung di Diskusi mengenal diri, silakan
simak secara perlahan:

Seorang wanita [xxx] di tread ini di FB Hudoyo:
<http://www.facebook.com/fiona.hartanto1> Knp kisah cinta Krishnamurti & Rosalind selalu menjadi isu yg sepertinya sangat negatif? Menurut saya tidak ada hubungannya... toh K tidak pernah ditahbis menjadi bhikkhu ataupun semacam rahib, dan tidak pernah sekalipun juga menyarankan orang untuk hidup selibat... Ada yg punya pendapat juga mengenai ini? Mungkin Pak Hud & pria2 di sini punya pandangan yg beda dari saya yang wanita?

Hudoyo:
Hudoyo Hupudio <http://www.facebook.com/hudoyo>  [at] xxx: Betul, (1) K tidak pernah menganjurkan hidup selibat; (2) K tidak pernah mengajarkan "kesucian perkawinan", malah sebaliknya, dia sering mengritik lembaga
perkawinan sebagai pembenaran bagi penindasan laki2 thd perempuan; (3) K menekankan makna 'cinta', dan bahwa seks itu mendapatkan pembenarannya di dalam cinta, bukan di dalam lembaga perkawinan.

Wirajhana:
orang lebih menyukai onani daripada membunuh diri..dan menyenangkan sekali melihat "romo" begitu terpuaskan..

level membunuh Buddha? hehehehe..

xxx:
<http://www.facebook.com/fiona.hartanto1>  [at] wirajhana: ucapan anda itu adalah hasil pikiran anda... dan maaf, kata2 anda kotor, pak wira benar juga kan, kata teman2 saya yang non-buddhis bahwa kesan umat
buddha di Indonesia pada umumnya "tidak berpendidikan", lah wong gaya bicaranya kebanyakan kayak wirajhana gini... malu2in nih

wirajhana:
krisnamurti menggendong kemana2 ajarannya dan berselingkuh bertahun2 adalah suci? berbusa2 ngecap..masih tidak mengetahui bahwa manusia adalah sarang kotoran..yang lapuk oleh usia dan akan terlahir kembali?

hehehe...

ngajar MMD berbicara vipasanna apa lantas jadi orang suci?..toh masih ngga mampu mengartikani membunuh Buddha? hehehe

Ucapan saya pastinya hasil pikiran saya
Mungkin anda sangat terusik dengan kata onani, sehingga menyatakan kata2 saya kotor?
kata-kata adalah multi makna..paling tidak ada dua arti?

arti 1, melakukan hubungan seksual dgn diri sendiri & membayangkan hal2 sensual

apakah ini kotor?

90% lebih laki2 prnh melakukan ini [saya yakin 100%, pak Hudoyopun pernah melakukan ini & tentunya saya jg pernah]

arti 2, melakukan sesuatu dgn memakai orang lain sebagai objek yg tujuannya pilih: meyenangkan diri sendiri ato minta dikasihani,ato didukung [hehehe]

kotor?..

Pikiran anda yang kotor fiona [Ah janga2 ini juga debat kusir..]

xxx:
[at] wirajhana: argumen anda thd Krishnamurti, MMD, Pak Hudoyo, membunuh Buddha atau apapun itu tidak menarik, membosankan. Dihentikan saja.

Wirajhana:
hehehehe...o ya xxx, coba tanya arti ke satu itu pernah dilakukan ayah ato pacar..ato suami...siapa tau mo jujur memberitahu..

Daniel Suchamda: <http://www.facebook.com/danz.suchamda>  [at] xxx: saya juga melihatnya begitu, buddhist indonesia (yg chinese) sifatnya memang kampungan spt orang kurang pendidikan. Maklum, biasanya mereka memang golongan marginal.:)

xxx:
memang aslinya banyak yang tidak berpendidikan... dan krn tdk berpendidikan, mustahil memahami ajaran yang dalam. kasihan ya :)

Hudoyo Hupudio <http://www.facebook.com/hudoyo>  [at] Wirajhana: "orang lebih menyukai onani daripada membunuh diri..dan menyenangkan sekali melihat "romo" begitu terpuaskan.."

Orang lebih menyukai onani daripada berdiam diri ... dan menyenangkan sekali melihat Anda begitu terpuaskan..

[at] Wirajhana: "krisnamurti menggendong kemana2 ajarannya dan berselingkuh bertahun2 adalah suci? berbusa2 ngecap..masih tidak mengetahui bahwa manusia adalah sarang kotoran..yang lapuk oleh usia dan akan terlahir kembali? hehehe..."

Lagi-lagi Anda cuma bisa melihat luarnya Krishnamurti, Anda tidak mampu melihat dalamnya, sehingga yang keluar dari mulut Anda dari dulu sampai sekarang ya itu-itu saja.

"ngajar MMD berbicara vipasanna apa lantas jadi orang suci?..toh masih ngga mampu mengartikani membunuh Buddha? hehehe"

Debat kusir yang berulang.

"Ah janga2 ini juga debat kusir.."

Betul.

[at] Wirajhana: "arti 1, melakukan hubungan seksual dgn diri sendiri & membayangkan hal2 sensual apakah ini kotor?"

Menggunakan kata 'onani' dalam suatu debat itu sendiri adalah suatu onani ... memperoleh kepuasan yang amat sangat.

Wirajhana:
menanggapi pun bukan membunuh pikiran..menanggapi onani dengan menggunakan kata onani..menandakan sangat jelas bahwa yang menulis catatan dan yang berbusa2 ngecap..boro2 mau membunuh Buddha mengenalipun tak mampu..

saya onani..kan udah saya bilang iya..hehehehehe...hahahahaha

Hudoyo Hupudio <http://www.facebook.com/hudoyo> onani terus ...

Wirajhana Eka <http://www.facebook.com/wirajhana.eka> : bagaimana pak..nikmatkan...daripada membunuh diri..

o ya, non buddhis itu terbiasa dicocok hidung kaya kerbau..menurut aja apa kata pendeta dan mursidnya..nah kebiasaan itu menyenangkan si mursid/pendetanya..

itulah mengapa pendetanya/mursidnya mengalami kepuasan berulang2 dari hal itu...hahahahahaha

Hudoyo Hupudio <http://www.facebook.com/hudoyo> Andalah yang onani terus
...

Seorang wanita [yyy]
<http://www.facebook.com/profile.php?id=1805019026>  [at] wirajhana eka:
nama yg bgs.. Hehe.. Mau nanya.. K mengapa dikatakan berselingkuh? Apa K pernah menikah? Di usia brapa K terlibat asmara? Thanks ats infonya.. Be happy..

Hudoyo Hupudio <http://www.facebook.com/hudoyo> Dari Forum Diskusi MMD
Sidiartha (Denpasar):
hehehe....Wirajhana sudah kena pancing, bukan sebaliknya. Di kampung saya, ada yg agak unik....ada semacam nilai2 yg dianut oleh masayarakat setempat, bahwa utk dapat melaksanakan bhakti marga dg baik, batin itu haros polos, lugu.....sehingga masyarakat di desa saya jarang sekali membaca kita2 suci weda, apalagi menguasai sampai melekati. Kami...dalam keseharian melaksanakan praktik bakti..dapat di katakan tanpa konsep, namu dg kesederhanaan dan kepolosan. Berbeda dg daerah lain..dalam praktek baktinya penuh dg mantra hasil menghapal kitab suci, hasil mempelajari lontar2, di desa saya sederhana dan polos. Sebagai akibatnya, di desa saya tdk ada yg namanya orang pintar, paranormal, orang sakti, apalagi ahli kitab suci. Namun desa tetangga saya bertebaran orang2 sakti, santet, dll..hasil dari mempelajari lontar.

Wirajhana:
Hehehe pak Hudoyo, Oh Ya KTP saya masih hindu sampe saat ini..dan ngga ngerasa perlu tuh ubah2 KTP..
Sejak berkenalan dengan Buddha..barulah saya tahu bedanya orang yang sedang omong kosong ato tidak..pajang2 gaya2 sok suci..padahal cuma nyari duit dan di puja-puji..hehehehe

jadi lucu baca pengajar mengenal diri tapi ngga tau sedang onani..hahahahahaha

mengenal diri?

Hehehehe..sedang beronani saja ngga tau..apalagi mengenali diri..ehh malah berkhayal makin tinggi di level membunuh Buddha..hahahahahaha..sorry bos, masih jauh..jauh banget..level anda masih sekitar xxx..hahahahaha

seorang lelaki [zzz]
[at] bung wira : mari sama" ber'onani' agar budha terbunuh dengan sendirinya.. ^_*v..

Wirajhana:
telat pak..saya sedang menikmatinya..

Ngga bisa membunuh Buddha dengan sendirinya, butuh latihan panjang dan usaha yang keras dan tekun..bahkan seumur hiduppun belum tentu bisa [bahkan tidak bisa seumur hidup pun masih terhitung normal..ini tergantung bahan yang sekarang anda punya]..

tapi hasil latihan itu akan berguna di kehidupan berikutnya terutama jika meneruskan latihan ini[repotnya dikehidupan depan belum tentu mempunyai pengetahuan yang sama dengan saat ini sehingga bisa bertekad
kerja keras mencapai kondisi itu, namun buat saya apabila itu dapat dicapai dikehidupan berikutnya..maka saya sudah merasa super beruntung]

Oke, yang lebih mudah buang catatan membunuh buddha, buang MMD..kecuali konsentrasi pada hal tertentu nah untuk pengetahuan basic ini..cukup pak hudoyo yang memberikan penghantar..

selamat mencoba.

Btw, untuk [yyy] yang nanya perselingkuhan Krisnamurti dengan Roselind..silakan tanya muridnya [pak hudoyo]..mudah2an ia cukup legowo menceritakan detailnya

xxx:
[at] wirajhana: saya lebih senang kalo bisa membuang tulisan2 anda itu... sayangnya ngga bisa krn bukan FB saya

yyy:
[at] wirajhana eka: thanks ats infonya.. Btw, mau tau dari sdr wirajhana eka aja, bolehkan! Hehe.. Klu blh tau apakah anda sangat membenci krisnamurti? Apa yg membuat anda menjadi berpindah kepercayaan dari
agama hindu kemudian jadi sreg dgn agama buddha? Boleh donk berbagi sedikit!! Apa anda sdh berkeluarga ato anda memilih hidup sendiri ato menjadi bhikku? Klu blh tau, hehe.. Peace!!! Be happy..

XXX:
[at] daniel: udah deh komunitas buddhist makin parah deh... umat beragama lain yg ikut masuk kok ya yang jenisnya sama... sudah suratan takdir
haha

<http://www.facebook.com/danz.suchamda> Daniel Suchamda
<http://www.facebook.com/danz.suchamda>  [at] xxx : itulah yang saya kritik di milis2 buddhist : katanya memegang sila dsb, tetapi jelas sekali tidak mengerti etika dasar, tidak sopan, kurang ajar, licik, munafik,
mau menang sendiri. Seringkali bahkan argumennya tidak ditanggapi tapi malah penuh dengan ad-hominem (penyerangan ke pribadi). Bahkan seringkali salah tangkap atau tidak mengerti ... Baca Selengkapnyasama
sekali tentang esensi yg sedang dibicarakan. Entahlah apa karena bbrp dari mereka memang kapasitas intelektualnya hanya segitu, atau gara-gara masuk ke komunitas buddhis lantas ketularan bodonya (maklum banyak yg menjadikan 'vihara' sbg tempat pelarian bahkan ada jg yg jadi bhikku krn mogok sekolah atau gak mampu bersaing di masyarakat umum atau 'rada-rada' gitulah).

xxx:
[at] daniel: hehehe... setuju! yang pasti mahluk sejenis berkumpul & berorganisasi bersama :) sungguh2 mereka patut melihat komunitas umat beragama lain yang sikapnya jauh lebih etis & lebih intelektual...

Hudoyo:
[at] Wirajhana: Anda terus-menerus melakukan ad hominem (menyerang pribadi lawan bicara) untuk mencapai kepuasan diri sendiri,--menurut istilah Anda sendiri-- terus ber-onani. Akibatnya beberapa teman mulai
mengeluhkan kelakuan Anda, yang dinilai meresahkan. Kalau Anda tidak memperbaiki kelakuan Anda di thread ini, terpaksa Anda saya keluarkan dari sini.

Daniel Suchamda <http://www.facebook.com/danz.suchamda> Kalau saya yang jadi bhikkhu, pasti sudah saya gampar si wirahjana eka itu. Karena kebodohannya tidak hanya merusak nama Buddhism tetapi juga menjebloskan dirinya sendiri ke jurang kebodohan yg semakin dalam.
Sayang, bhikkhu / pandita theravada indonesia terlalu lembek dalam mendidik umatnya sehingga ya begitulah hasilnya.

Wirajhana:
hahahahahaha...sekarang hudoyo bukannya mencapai level dapat membunuh Buddha malah sekarang mencapai level menjadi tuhan...

makin mirip xxx..terutama jika periuk nasi di coel..

mengenal diri? hehehehe..hahahahahahaha

Daniel Suchamda <http://www.facebook.com/danz.suchamda>  [at] wirahjana :
dalam kapasitas apa anda mengetest seseorang? Bahkan anda paham pun belum.
Oleh karena itu, perbuatan anda itu bisa disebut sebagai : kurang ajar. Kalau kapasitas anda terlalu kecil untuk memahami sesuatu yg lebih besar, maka janganlah anda bertindak hina. Bukankah orang theravada
marah kalau disebut hinayana? :D
Dari sini silakan anda dan kelompok anda bercermin diri mengapa dalam sejarah menjadi demikian.

xxx:
teman2, jika ada yg tidak berkenan dgn argumen wirajhana yg tidak sopan, bisa melapor ke FB ya. Caranya: search nama wirajhana eka, lalu klik "report this person" lalu akan muncul kotak, bisa pilih "racist/hate
speech" bisa dgn melampirkan diskusi ini. account wira akan terdelete dalam beberapa jam. salam :)

oh ya, setelah memilih "racist/hate speech" akan muncul isian2 lain spt tgl, konten dr diskusinya, tinggal di-copy paste saja. thanks.

Wirajhana:
hahahaha...silakan..silakan...di click...

abis kalo tuhannya di coel-coel..masa cuma ngomel mulu disini..hahahahahahaha

sy juga pengen liat hasilnya...jangan ragu2

mengenal diri? hahahahahahahahahahahahahahaha

markosprawira

Sharing lain yg menarik juga :

QuoteOn 8/13/09, willibordus <williamhalim [at] xl.blackberry.com> wrote:

Sedemikian banyak sutta dalam Tipitaka, yg telah dipraktikkan dan terbukti bertahan hingga ribuan tahun... yg isinya sedemikian jelas dan terang benderang...

kenapa ketika muncul satu kalimat yg isinya mengawang-awang, langsung disamber dan diposting ke berbagai milis? Seakan2 bangga bener dgn kalimat tsb? Tipitaka sering dikoar2 "Bukan dari Mulut Sang Buddha langsung"... tapi kalimat "Bertemu Buddha Bunuh Buddha" yg jelas2 bukan berasal dari mulut SB kok digenggam erat2 dan diproklamirkan kemana2?

Heran sungguh heran

Terbukti memang, Pikiran sungguh lincah...
Kenyataan yg dilematis.... Mengajarkan Pikiran untuk Diam, ternyata malah bergerak semakin lincah.... Teori yg salah ataukah Praktik yg salah?

Intinya, sesuatu yg instan, tidak akan efektif, adalah mimpi2 yg memabukkan... -setidaknya bagi kita2 yg mengaku dengan jujur ke putthujanaan kita- ... latihan, disiplin, pembelajaran, perenungan, usaha yg konsisten, kesemuanya ini akan membantu mengkondisikan kita menyusuri Sang Jalan.....

Saya setuju dgn pemikiran Bro Wirajhana:

> Ngga bisa membunuh Buddha dengan sendirinya, butuh latihan panjang dan > usaha yang keras dan tekun..bahkan seumur hiduppun belum tentu bisa > [bahkan tidak bisa seumur hidup pun masih terhitung normal..ini
> tergantung bahan yang sekarang anda punya].. > > tapi hasil latihan itu akan berguna di kehidupan berikutnya terutama > jika meneruskan latihan ini[repotnya dikehidupan depan belum tentu > mempunyai pengetahuan yang sama dengan saat ini sehingga bisa bertekad
> kerja keras mencapai kondisi itu, namun buat saya apabila itu dapat
> dicapai dikehidupan berikutnya..maka saya sudah merasa super beruntung]


Semoga kita semua dapat jujur terhadap diri sendiri dan menentukan latihan yg tepat bagi kita untuk dapat mengikis dukkha dan merealisasi Pencerahan...

Willi



Anatta

<http://www.facebook.com/fiona.hartanto1>  [at] wirajhana: ucapan anda itu adalah hasil pikiran anda... dan maaf, kata2 anda kotor, pak wira benar juga kan, kata teman2 saya yang non-buddhis bahwa kesan umat
buddha di Indonesia pada umumnya "tidak berpendidikan", lah wong gaya bicaranya kebanyakan kayak wirajhana gini... malu2in nih

[at] Fiona: Teman-teman anda yang non-buddhis mempunyai kesan bahwa umat buddha 'tidak berpendidikan', mungkin teman-teman anda itu hanya melihat Hudoyo saja kalee...Masih banyak umat buddha yang sopan dan santun. Eh itu Hudoyo juga ngomong kotor, kenapa Fiona gak komentar ya?

[at] Markosprawira: anumodana untuk segala postingan anda. Itu Hudoyo dari dulu ampe sekarang ribuuuutt aja, kapan meditasinya ya? Kalau kita mengikuti Tipitaka hasilnya jelas! Kalau kita mengikuti MMD?? Hasilnya yaa paling banter seperti Hudoyo lah, ngomongnya muter-muter doang...!

piyadhammo

Quote from: Hendra Susanto on 10 August 2009, 06:22:57 PM
heheheh... kelihatan banget dari hasil yang sudah2 pencipta MMD malah makin gahaaarrrr... LDM sedikit pun gak berkurang tuch... kita kan lihat hasil klo hasilnya gak jelas atau malah makin parah ya mending yang uda jelas donk...

Memang benar bro Hendra, tidak berkurang, malah BERTAMBAH LDM nya !
katanya pakar MMD yang sudah BERPENGALAMAN, dan banyak mengajar berbagai kalangan baik Buddhis maupun non Buddhis

Benar - benar kacian !

_/\_

morpheus

wah, informasi di sini kurang jujur dan gak seimbang. jawabannya disembunyiin. sampe ad hominem dibawa2.
supaya seimbang, saya copy paste juga ah.

---

--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, MARKOSPRAWIRA <markosprawira [at] ...> wrote:
>
> Saya tidak menghilangkan apapun dari mularipayaya, silahkan lihat kembali
> pernyataan saya dibawah :
>
> Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal
> (eternalis) -> #2,
======================================
HUDOYO:
Haha ... Anda semakin amburadul!
Dalam Mulapariyaya-sutta, langkah #2 tidak bicara tentang 'eternalisme'.

Yang tertulis sebagai langkah #2 dalam Mulapariyaya-sutta adalah:

#2 "Pa.thavi.m na ma~n~nati" - IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN TANAH.
(Tidak ada masalah 'eternalisme' di sini.)

***

MARKOSPRAWIRA:
> pun sebaliknya jangan berkonsep tidak ada tanah (nihilisme) -> #3
======================================
HUDOYO:
Hehe ... semakin melenceng Anda!
Dalam Mulapariyaya-sutta, langkah #3 tidak bicara tentang 'nihilisme'.

Yang tertuilis sebagai langkah #3 dalam Mulapariyaya-sutta adalah:

#3 "Pa.thaviyaa na ma~n~nati" - IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN [DIRINYA] DI DALAM TANAH.

***

MARKOSPRAWIRA:
> kalau anda mau, saya akan quote yg lengkapnya yaitu :
>
> (3)- berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> (4)- berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
> (5)- berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
> (6)- tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
====================================
HUDOYO:
Tetap saja, langkah #2 tidak Anda masukkan!

MARKOSPRAWIRA:
> Disitu jelas bhw saya salah mengetik angka semata dimana seharusnya
> (2) berhenti mengkonsepsikan tanah sebagai tanah
====================================
HUDOYO:
Lho, di atas Anda bicara tentang ETERNALISME:
"Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal
> (eternalis) -> #2,"

Sekarang, Anda mengutip begitu saja langkah #2 dari Mulapariyaya-sutta (entah Anda mengerti atau tidak mengerti maksudnya). Dengan membawa-bawa ETERNALISME dan NIHILISME ke dalam sutta ini, tampak jelas bahwa Anda bukan "salah mengetik angka semata", melainkan ANDA TIDAK MEMAHAMI SAMA SEKALI MAKNA MULAPARIYAYA-SUTTA.

Anda bukan saja tidak memahami makna Mulapariyaya-sutta, tetapi dalam satu posting saja Anda telah mencla-mencle (di atas berkata 'A' di bawah berkata 'B') dan berkeras tidak mengakui ke-MOHA-an Anda!

***

MARKOSPRAWIRA:
>
> sehingga menjadi
> 2. Pathavim Abhinnaya
> berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> 3. Pathavim Na Mannati
> berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
> 4. Pathavim Na Meti Mannati
> berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
> 5. Pathavim Na Abhinandati
> tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
>
================================
HUDOYO:
Inilah PUNCAK KEAMBURADULAN pemahaman Anda terhadap Mulapariyaya-sutta!
Urutan nomor langkahnya saja sudah salah-salah, apalagi isinya.

Berikut ini adalah kutipan & terjemahan yang betul dari Mulapariyaya-sutta.

(1) "Pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati." ("Ia melihat langsung tanah sebagai tanah.")
(2) "(Pa.thavi.m pa.thavito abhi~n~naaya), pa.thavi.m na ma~n~nati." ("(Setelah melihat langsung tanah sebagai tanah), ia tidak mengkonsepsikan tanah.")
(3) "Pa.thaviya na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan dirinya di dalam tanah.")
(4) "Pa.thavito na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan dirinya terpisah dari tanah.")
(5) "Pa.thavi.m me' ti na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan, 'Tanah untukku'.")
(6) "Pa.thavi.m naabhinandati." ("Ia tidak bersenang hati dengan tanah.")
(terjemahan: Bhikkhu Bodhi)

Jadi, dalam "versi" Mulapariyaya-sutta Anda, langkah #2 itu tetap salah! Seharusnya: "Pa.thavi.m na ma~n~nati" - "IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN TANAH." (Di sini tidak ada kaitan sama sekali dengan 'eternalisme' atau 'nihilisme' seperti Anda pahami secara salah!)


MARKOSPRAWIRA:
> Saya tidak menutupi apapun, jadi tolonglah dibaca dulu postingan orang lain
> dengan seksama sebelum menuduh macam2
===============================
HUDOYO;
Anda mungkin tidak menutupi apa pun; Anda hanya tidak mengerti apa yang Anda tulis. :D

*****

MARKOSPRAWIRA:
>
> Sebaliknya anda yg dengan jelas menghilangkan bagian dimana *anda
> menyebutkan CITTA = BATIN.... padahal BATIN = NAMA, sedangkan Citta adalah
> bagian dari NAMA*
==============================
HUDOYO:
Oh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)

Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.

Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.

Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.

Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.

Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.

'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).

Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.

Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]

Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.

Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3.

Demikianlah Sdr Markosprawira, silakan saja kalau Anda mau membatasi pemahaman Anda tentang citta pada pengertian dalam Abhidhamma, tapi sadarilah bahwa 'citta' mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dalam Sutta Pitaka!

*****

MARKOSPRAWIRA:
>
> Apalagi dengan pernyataan anda : *Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU
> --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.*
> yang notabene justru sangat berlawanan sekali dengan *Ovada PAtimokkha dan
> Mapadana Sutta*, yang notabene merupakan *inti ajaran SEMUA Buddha*,
> dari *Buddha
> Vipasi sampai Buddha Gautama*
===============================
HUDOYO:
Di sini terlihat bahwa Anda mempertentangkan DUA KONTEKS dari ajaran Sang Buddha.

Ovada-patimokkha .("Jangan berbuat kejahatan: Perbanyak kebaikan: Sucikan hati & pikiran") adalah ajaran di LEVEL PIKIRAN, di mana terdapat DUALITAS (baik/buruk, boleh/tidak boleh dsb), dan tersirat adanya DIRI, yang harus membuat pilihan moralistik di dalam meniti hidupnya, yang hasilnya akan diterimanya sesuai dengan HUKUM KARMA.

Di lain pihak, ajaran VIPASSANA, sebagaimana terkandung dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta, MENGATASI LEVEL PIKIRAN, sehingga dengan demikian MENGATASI DUALITAS baik/buruk, kusala/akusala, dab, dan MENGATASI DIRI & MENGATASI HUKUM KARMA. Ini jelas dengan ajaran Sang Buddha "Ketika mencerap apa saja 'yang dikenal' (vinnatam), jangan sampai muncul konsepsi tentang 'yang dikenal', jangan sampai timbul aku, yang ingin memiliki 'yang dikenal' & bersenang hati dengan 'yang dikenal'. " (Mulapariyaya-sutta) "Kalau kamu bisa berada di situ, maka KAMU TIDAK ADA LAGI. Itulah, hanya itulah, akhir dukkha (nibbana)." (Bahiya-sutta)

:"Kesenangan adalah akar dari penderitaan." ("Nandi dukkhassa muulan'ti") [Buddha Gotama dalam Mulapariyaya-sutta]

Kebenaran vipassana ini tidak mungkin dipahami oleh Markosprawira kalau ia bukan pemeditasi vipassana!

*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Dengan 2 kekeliruan fatal diatas, saya tidak akan melanjutkan diskusi dengan
> anda
================================
HUDOYO:
Kekeliruan fatal? ... Fatal buat siapa? ... Buat Anda, kali. :D

Demikianlah sdr Markosprawira, semoga posting ini menyadarkan Anda akan adanya Dhamma yang jauh lebih luas daripada yang Anda pelajari dalam lingkungan tembok sempit Abhidhamma Pitaka.

Salam,
Hudoyo
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

williamhalim

Quote from: Anatta on 13 August 2009, 02:17:44 PM

[at] Markosprawira: anumodana untuk segala postingan anda. Itu Hudoyo dari dulu ampe sekarang ribuuuutt aja, kapan meditasinya ya? Kalau kita mengikuti Tipitaka hasilnya jelas! Kalau kita mengikuti MMD?? Hasilnya yaa paling banter seperti Hudoyo lah, ngomongnya muter-muter doang...!

Bro Anatta ini benar sekali...

Pikiran awam saja: orang2 akan heran melihat seorang Master Meditasi yg mengajarkan Berhentinya Pikiran, masih bersiliweran dan berdebat kesana-kesini di internet dengan anak2 ingusan, sibuk berkeliaran dari milis ke milis, adu mulut, saling mempertahankan ego dgn kalimat yg kadang2 sudah tidak nyaman dibaca....

Benar kata Bro Anatta, kapan meditasinya, atau beginikah hasil meditasi tsb?

Seorang Master Meditasi akan dipercaya jika apa yg ia ajarkan sesuai dengan apa yg dipraktikkan. Orang2 boleh saja berkomentar "bertemu Buddha bunuh buddha" atau "jangan lihat siapa yg mengajar melainkan lihatlah ajarannya"... Jangankan apa yg diajarkan sangat kontroversial, ajaran yg indah2pun, orang masih tetap melirik / menilai 'sikap si pengajar...

Apakah kita mau belajar 'bagaimana berhenti dari kecanduan narkotik' dari seseorang yg tiap harinya 'sakaw' dan masih nge-drugs? apakah kita bisa yakin ajaran 'bagaimana berhenti merokok' dari seorang perokok berat yg asapnya mengepul2?

Teori boleh indah, tapi kenyataan berbicara lain....

Sebagian member boleh menilai postingan saya ini subyektif, tapi jika seseorang telah memproklamirkan dirinya menjadi Master / Pengajar, 'Penilaian subyektif' terhadap dirinya tidak akan terhindarkan. Jika berani mengajarkan sesuatu, ia harus bersiap2 menerima kritikan thp ajaran-nya dan sorotan thp perilaku pribadinya....

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

J.W


morpheus

berulang kali di sini dibicarakan mengenai perilaku, sikap ataupun perbuatan (dalam hal ini tulisan).

sadarkah kita bahwa kita gak akan bisa mengetahui isi hati sesungguhnya hanya dengan membaca tulisan?
kalo sekadar menilai perbuatan / kata dari satu dimensi saja, seorang dokter bedah yg membelah perut terlihat sama dengan seorang pembunuh serial yg juga membelah perut. bisakah kita menilai niat seseorang dari satu dimensi perbuatan saja? bisakah menilai ego seseorang dengan melihat perbuatan saja?

sebuah fakta bahwa di forum ini ada impresi yg berbeda terhadap tulisan yg sama.
sadarkah kita kenapa sebuah tulisan bisa memberikan impresi yg berbeda pada pembaca2nya?
ada pembaca yg merasa biasa2 aja, ada yg merasa ini tingkah laku edan dan ada yg mendapat manfaat...
pernahkah terpikir, mungkin bukan tulisannya, melainkan kondisi batin pembacanya...

bicara masalah ribut. apa itu yg sedang ribut?
tulisannya yg ribut, penulisnya ribut ataukah batin pembacanya yg ribut?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path