tq buat penjelasannya
Semakin aq pikir , semua semakin kompleks ya
Ada asaran untuk melatih diri menghindari kemelekatan? Padahal qt tidak mempunyai rencana untuk melekat, semua terjadi begitu aja seperti kebiasaan.
Sebagai contoh internet, jaman dulu qt tidak menggunakannya tidak apa2 tapi sekarang kalau tidak membuka internet berasa ada yang kurang, apakah ini termasuk bentuk kemelekatan jg?
Ya, memang semua kesederhanaan ini sebetulnya kompleks.
Maka memang sebaiknya jangan dibuat lebih rumit lagi.
Setiap orang punya kemelekatan yang berbeda, jadi untuk melatih diri, pertama-tama harus menyadari dulu kemelekatan kita masing-masing. Caranya adalah dengan berusaha selalu sadar dan sering memperhatikan bathin kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Ketika satu pikiran muncul, menyebabkan suatu perasaan, maka coba disadari. Tidak perlu ditolak atau didukung, tapi diketahui saja timbul-tenggelamnya. Kalau kita sering mengamati demikian, kita tahu pada hal apa saja kita cenderung melekat, dan bisa kita coba batasi.
Secara gampang, apapun yang keterkondisiannya cenderung pada munculnya gejolak perasaan bathin baik senang maupun sedih, maka itu bisa disebut kemelekatan. Seperti internet juga bisa saja menjadi kemelekatan, sehingga ketika tidak ada akses, maka timbul perasaan 'ada yang kurang' (=ketidak-puasan) itu.
Pindah topik dikit, pikiran sesuatu yang kompleks. Sulit untuk melatih pikiran itu, terkadang bisa terbesit planning untuk melakukan tindakan tidak benar, sudah ada niat lah tapi kemudian tidak jadi dilaksanakan, apakah itu termasuk kamma? Begitupula sebaliknya, bila qt tidak mempunyai kehendak hanya berupa refleks lalu melakukan tindakan tidak benar, apakah itu jg kamma? Adakah suatu perbuatan yang tidak berakibat kamma?
Ketika muncul kehendak dalam pikiran, itu sudah penanaman kamma lewat pikiran. Kemudian kamma diperkuat lagi dengan ucapan dan perbuatan (jasmani). Jadi ketika kita ada niat, walaupun hanya terbesit saja, sebetulnya itu sudah kamma, tapi tentu saja jika tidak dipupuk terus, maka kamma itu lemah dan mungkin tidak cukup untuk menghasilkan akibat signifikan. Tapi kalau kita benar mau berlatih, jangan membenarkan pikiran demikian dengan berpikir, 'ah, cuma mikir iseng doang', karena hal-hal kecil kalau sering dikembangkan, lama-lama jadi besar juga.
Kalau refleks yang betul-betul refleks, karena tidak didorong oleh kehendak di pikiran, maka tidak ada kamma yang terjadi di sana. Mungkin kita sering dengar kutipan dari Buddha Gotama: "Kehendak, para bhikkhu, yang kunyatakan sebagai kamma." Perbuatan lewat pikiran, ucapan, jasmani, menjadi 'subur' lewat kehendak. Tapi tanpa kehendak, ucapan dan perbuatan jasmani tidak ada kammanya.
Lalu manusia terlahir akibat kamma nya sendiri, dia tidak bisa memilih mau lahir di keluarga mana dalam bentuk rupa seperti apa.
Bagaimana dengan bayi yang dilahirkan tidak normal dan baru sebentar di dunia sudah meninggal, berarti dia blm membuat kamma apapun dunk. Lalu selanjutnya bagaimana? Kemudian kenapa orang tuanya bisa mendapatkan kamma seperti itu?
Kamma itu diwarisi dari kehidupan-kehidupan lampau, bukan hanya dimulai pada satu kelahiran terakhir. Itu sebabnya bahkan ada yang masih di janin namun mengalami abortus, ada yang meninggal saat dilahirkan, dan lain sebagainya. Buddhisme tidak menganut paham 'baru lahir = bersih seperti kertas kosong', namun semua makhluk mewarisi kamma lampaunya. Ketika janin/bayi meninggal, maka ia akan terlahir lagi di keadaan yang sesuai dengan kammanya yang matang pada saat tersebut.
Seorang anak bisa dilahirkan di keluarga tertentu juga memang karena punya hubungan kamma. Ada orang tua yang jadi bahagia karena anaknya, ada juga yang malah seumur hidup disusahkan oleh anaknya. Hal yang tidak baik yang dialami seseorang memang adalah buah kamma buruknya, tetapi bukan berarti dia tidak bisa mengusahakan dan mengubahnya menjadi lebih baik. Soal kamma masa lampau apa, tentu kita tidak tahu. Tapi ada kisah dhamma, mungkin bisa memberikan gambaran sedikit, yaitu sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak, padahal mereka orang yang baik. Suatu ketika, mereka berkesempatan bertemu Buddha Gotama dan bertanya mengapa mereka tidak bisa punya anak walaupun mereka adalah orang yang saleh (dalam kehidupan ini), dan Buddha memberitahu bahwa dulu di suatu kehidupan lampau, mereka naik kapal dan terkena bencana. Mereka berdua selamat dan terdampar di satu pulau. Karena tidak ada makanan, maka mereka setiap hari mencuri telur burung dan memakannya tanpa perasaan menyesal. Karena perbuatan jahat tersebut maka di kehidupan ini mereka tidak memiliki anak.
Ini hanya satu kisah saja, jangan dipukul rata semua yang tidak punya anak berarti dulunya suka curi telur burung yah.
Bagaimana pula dengan orang yang memiliki kelainan seksual, sehingga dia berganti jenis kelamin, apakah ini termasuk tindakan asusila?Lalu akibatnya bagaimana?
Secara singkatnya bagaimana agar aq bisa lebih memahami proses kamma itu sendiri? Mengapa begini dan mengapa begitu
Konon memang kelainan seksual disebabkan oleh perilaku seksual yang salah. Kalau untuk 'menerawang' proses dari sebab ini memunculkan akibat itu, ini sama sekali bukan kapasitas seorang biasa. Hanya seorang Buddha yang punya pengetahuan tersebut. Hukum kamma diajarkan ke kita agar kita mengerti konsekwensi sebab-akibat dari satu perbuatan, sehingga apapun yang terjadi di saat ini, kita tidak mencari sosok 'kambing hitam', namun menerima bahwa itu adalah akibat dari masa lampau; dan di sisi lain kita juga tidak melakukan perbuatan buruk dan semangat melakukan kebaikan, sebab akibatnya pasti kembali ke diri kita sendiri.
Teori kamma secara garis besar adalah semua hal yang kita lakukan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan tidak menyenangkan. Sebaliknya apa yang kita lakukan dengan tanpa keserakahan, tanpa kebencian, dan tanpa kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan yang menyenangkan.
Maaf banyak bertanya dan topiknya loncat2
mohon bimbingannya
Tidak masalah topiknya loncat2, tapi jangan anggap saya sebagai pembimbing, tapi sebagai teman yang berbagi saja.