News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

about Romo Sakyaputra (upasaka pandita di Buddhayana SBY)

Started by tula, 05 June 2009, 10:29:05 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

tula



Quote
[ Jum'at, 05 Juni 2009 ]
Kisah Religi Sakyaputra Soeyono Soemarto
PADA usia 17 tahun, Sakyaputra Soeyono Soemarto mantap memilih jalur hidup sebagai seorang biksu. Tapi, karena desakan orang tua, gelar tersebut dia tinggalkan. Meski begitu, pria yang dua bulan lagi bakal memasuki usia 60 tahun tersebut hingga kini masih mengabdikan diri sebagai pengikut Buddha sejati.

Bahkan, dia masih memiliki cita-cita menjadi biksu lagi sebelum meninggal dunia. "Mudah-mudahan keinginan saya terwujud. Tinggal menunggu izin istri," katanya saat ditemui pekan lalu dengan mata berbinar.

Keinginan kembali menjadi biksu bukan tanpa alasan. Bapak enam anak itu mengatakan ingin merasakan meninggal dalam keadaan suci yang benar-benar sejati, tanpa terpengaruh hal-hal keduniawian. Sebab, jika sudah menjadi biksu, seseorang harus berani meninggalkan kesenangan duniawi, tidak terikat lagi dengan keluarga. "Selain menjadi biksu lagi, saya ingin menginjakkan kaki di tanah kelahiran Buddha di Nepal," ucapnya.

Awalnya, pria kelahiran Semarang itu bukan seorang penganut Buddha. Latar belakang keluarganya juga tidak mengajarkan agama itu. "Saya dulu kejawen," ujarnya. "Sejak umur enam tahun, orang tua dan eyang mengajari saya poso (puasa, Red) Senin-Kamis, mutih (putih, Red), ngalong (puasa yang hanya boleh makan buah, Red), dan ngrowot (makan ubi-ubian, Red)," sambungnya.

Pada 1954 Sakya mulai mengenal sebuah wihara bernama Buddha Gaya yang setiap hari dilewati saat sekolah. Sering melihat tempat ibadah tersebut, pria yang gemar membaca itu penasaran ingin masuk ke dalam. Apalagi, hati kecilnya sering mempertanyakan tempat seperti apakah yang dilihat tersebut. Akhirnya, dia memberanikan diri datang ke tempat itu. Di sana dia bertemu Biksu Ashin Jinarakkhita Sthavira yang mengenalkan pada ajaran Buddha. "Saya juga diajak bermeditasi," ucapnya.

Ritual menekuni agama Buddha itu dijalankan sampai 1962, sebelum Sakya memilih pindah ke pusat Kota Semarang demi melanjutkan sekolah di SMP unggulan. Untuk bisa sekolah, dia rela berjualan koran dan kue. Itu dilakukan sampai lulus SMP.

Setelah lulus, pada 1964 dia teringat pada wihara dan biksu yang memberinya petunjuk tentang agama Buddha itu. Sakya lantas berkelana mencari biksu tersebut ke Bandung. Menurut informasi, pemuka agama Buddha itu pindah ke kota tersebut. "Pencarian saya tidak sia-sia. Di Bandung, saya bertemu dengan Biku Ashin," tutur dia.

Setahun kemudian, tepatnya 1965, Sakya diajak ke Singapura. Namun, sampai detik itu dia belum menyatakan sebagai Buddhis secara resmi. Tapi, kala akan berangkat ke Singapura, dia dimandikan dengan ritual Upasaka. Riyual tersebut biasanya ditujukan untuk seorang Buddhis yang berlatih melaksanakan lima sila. "Dengan dimandikan itulah, saya baru resmi menjadi penganut agama Buddha," ujarnya.

Sesampai di Singapura, Sakya mengikuti Pabbaja, yakni latihan menjadi seorang calon biksu. "Pada 12 Februari 1966 saya diresmikan sebagai biksu," papar dia. Selama hampir lima tahun, Sakya berada di Singapura untuk memperdalam ajaran Buddha. Akhirnya, pada 1969 dia kembali ke Jakarta untuk menemui seorang teman seperjuangan yang juga menjadi pemuka agama Buddha, yaitu Biku Girirakito. "Selama tiga tahun, kami beradu argumen," tegasnya.

Argumen itu berkaitan dengan ajaran agama Mahayana dan Theravada. Dia bertujuan mencari kesepahaman dan mengarahkan ajaran agama Buddha sesuai dengan ajaran Buddha Indonesia yang berkepribadian Indonesia. "Tapi, ternyata adu argumen lama yang kami lakukan tidak mencapai kesepakatan juga," lanjut dia.

Akhirnya, Sakya kembali ke Singapura. Dua tahun kemudian, pada 1974, dia kembali ke tanah kelahiran untuk menemui orang tua.

Setelah sembilan tahun tidak bertemu, orang tuanya menyambut gembira kedatangan Sakya. Tapi, orang tua juga menganjurkan dia untuk melepas gelar biksu. Mereka tidak ingin Sakya terus beradu argumen tanpa kepastian. "Setelah dapat izin dari guru di Singapura, pada 23 Maret 1976 saya tanggalkan jubah biksu dan diganti dengan baju. Tapi, saya tetap seorang Buddhis," ucapnya. (may/ayi)

Tentang Sakyaputra Soeyono Soemarto

Panggilan: Sakya

Lahir: Semarang, 20 Agustus 1949

Gelar Pengabdian dalam Agama Buddha: Upasaka Pandita

Anak: 6 Orang

Cucu: 9 Orang

Kegiatan:

Pelaksana Pengurus Harian (PPH) Vihara Buddhayana

Memimpin Puja

Sekilas Perjalanan Religi Sakya :

Pada usia 17 tahun, Sakya dinobatkan sebagai seorang Biksu.

Berawal pada 1954 Sakya mulai mengenal sebuah wihara bernama Buddha Gaya.

Pada 1965 (saat usia 16 tahun) dia resmi menjadi penganut agama Buddha.

Pada 1974 dia bertemu lagi dengan orang tuanya dan dianjurkan untuk menanggalkan gelar biksu.

Setelah mendapat izin dari gurunya, baru pada 1976 dia resmi menanggalkan jubah biksu dan sampai sekarang mengabdi pada Buddha sebagai Upasaka Pandita.

dikutip dari :
http://www.jawapos.com/evergreen/index.php?act=detail&nid=73376


artikel lain

Quote
Lepas Jubah demi Orang Tua
MESKI tidak lagi menjadi seorang biksu, Sakyaputra Soeyono Soemarto tetap melanjutkan hidupnya berdasar agama Buddha. Hal itu diwujudkan dengan menjadi seorang Upasaka Pandita. ''Bersamaan dengan lepas jubah biksu dan berganti baju biasa, saya ditetapkan sebagai Upasaka Pandita,'' katanya.

Kala itu, prosesi lepas jubah Sakya berlangsung di hadapan orang tuanya, mendiang Soeliman Soemarto dan Kasmirah. Kedua orang tua yang memang menganjurkan Sakya untuk tidak menjadi biksu itu pun lega. Tapi, sebagai orang tua, mereka tidak memaksa bungsu di antara empat bersaudara tersebut untuk meninggalkan Buddha.

''Karena itu, saya mau memenuhi permintaan mereka. Apa yang saya lakukan ini merupakan wujud bakti kepada orang tua. Yang terpenting, saya tidak pernah meninggalkan Buddha,'' ucapnya mantap.

Sampai saat ini, Sakya tetap mengabdikan diri di Vihara Buddhayana. Setiap hari, kakek sembilan cucu itu berada di tempat ibadah tersebut. Banyak hal yang dilakukan di tempat itu. Mulai memimpin kegiatan keagamaan seperti Puja hingga mengerjakan pembukuan.

Dia juga bersedia melayani keluh kesah umat yang datang. ''Dengan tetap mengabdi pada Buddha di wihara, wawasan kita akan bertambah,'' katanya.

Sebab, lanjut dia, biasanya orang yang datang ke wihara itu memiliki permasalahan yang harus diselesaikan. Nah, saat membantu menyelesaikan permasalahan dengan memberikan bimbingan ke arah yang lebih baik itulah wawasan makin bertambah. Sebab, antara orang yang satu dengan lainnya memiliki permasalahan berbeda. Secara otomatis penyelesaian yang dianjurkan pun tidak sama.

''Saya beruntung telah melalui tiga kehidupan yang dapat digunakan bekal memecahkan permasalahan,'' ucapnya. ''Yaitu, kehidupan sebagai anak, biksu, dan rumah tangga. Jadi, lebih mudah mengarahkan penyelesaian masalah yang menyangkut keluarga, kemasyarakatan, atau agama,'' ujar suami Titin Martini Dharmayanti tersebut.

Membantu sesama itu juga merupakan salah satu ajaran Buddha yang selalu diterapkan Sakya. Dalam agama yang diyakini itu, dia mengaku mendapatkan kedamaian serta kebahagiaan. ''Selama masih kuat, saya akan terus mengabdi pada Buddha,'' tegasnya. (may/ayi)

dikutip dari :
http://www.jawapos.com/evergreen/index.php?act=detail&nid=73375