News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Saddh? : Fanatisme Dalam Eufemisme?

Started by K.K., 26 May 2009, 09:56:42 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 May 2009, 09:21:21 AM
[at]  ryu

Jadi point-nya apa?
Untuk jaman sekarang saddha dibutuhkan untuk menguatkan pondasi nya terhadap buddha dhamma, apabila ada orang yang tidak mengenal Buddha bisa mencapai tingkat arahat ataupun kesucian itu bisa saja dari hasil buah karmanya di masa lalu.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 27 May 2009, 09:47:27 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 May 2009, 09:21:21 AM
[at]  ryu

Jadi point-nya apa?
Untuk jaman sekarang saddha dibutuhkan untuk menguatkan pondasi nya terhadap buddha dhamma, apabila ada orang yang tidak mengenal Buddha bisa mencapai tingkat arahat ataupun kesucian itu bisa saja dari hasil buah karmanya di masa lalu.

Tidak masalah menguatkan pondasi dan keyakinan pada Buddha-Dhamma. Yang akan jadi masalah adalah ketika orang tidak mengenal batasan "keyakinan" itu sehingga Saddha mulai bergeser nilainya menjadi satu bentuk fanatisme.


Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoTambahan penjelasan atas kisah Thera Sariputta:
1. Thera Asajji tidak mengatakan bahwa gurunya adalah seorang Samma Sambuddha yang mencapai penerangan sempurna dsb dsb. Sariputta hanya terkesan pada pembawaan Assaji yang berbeda.
2. Mahasamano atau "Petapa Agung" diucapkan Assaji pada potongan ke dua, sementara Sariputta mencapai Sotapatti setelah potongan pertama diucapkan. Jadi bagian "Petapa Agung" bukan bagian dari pencerahan Sariputta.

1) Sariputta sebelumnya sudah terkesan dengan pembawaan Bhikkhu Assaji yang anggun. Beliau pun berpikir bahwa jika Assaji memiliki seorang guru, pastilah guru itu adalah orang yang luar biasa. Dan karenanya timbul 'hasrat' secara tidak langsung untuk kagum pada gurunya Bhikkhu Assaji; yakni Sang Buddha.

2) Ingat, kalau di poin pertama saya sudah jelaskan bahwa Sariputta sudah kagum (meski belum bertemu) pada gurunya Bhikkhu Assaji. Pencapaian Sotapatti oleh Sariputta dikarenakan beliau memahami benar syair yang diucapkan oleh Bhikkhu Assaji. Setelah mendengar kata "Petapa Agung", Sariputta pun semakin yakin pada kualitas gurunya Bhikkhu Assaji.


Quote from: Kainyn_KuthoJika demikian, bagaimana dengan para Pacceka Buddha? Apakah Pacceka Buddha memiliki Saddha kepada Buddha tertentu  ataukah Pacceka Buddha tidak memiliki Saddha?

Ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan ini...

1) Pandangan pertama adalah pandangan sesuai mitologi Buddhisme.
-> Dalam pandangan ini, saya berkomentar kalau semua Buddha; baik Sammasambuddha, Pacceka Buddha, maupun Savaka Buddha, pastilah turut mengembangkan saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha dalam praktik-Nya. Seorang calon Sammasambuddha pastilah sebelumnya mengembangkan saddha pada Buddha (di masa lampau), Dhamma dan Sangha (di masa lampau). Demikian juga yang dilakukan oleh calon Pacceka Buddha. Sedangkan seorang calon Savaka Buddha pastilah sebelumnya turut mengembangkan saddha pada Buddha (gurunya), Dhamma dan Sangha (seniornya atau Sangha di masa lampau).

2) Pandangan kedua adalah pandangan universalis
-> Dalam pandangan ini, saya berkomentar kalau seorang Pacceka Buddha, pastilah turut mengembangkan saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Terlepas dari label-label Tiratna ala Buddhisme itu, seorang Pacceka Buddha pasti memiliki keyakinan kuat pada : "Pencerahan" (Buddha), "Kebenaran Tertinggi" (Dhamma), dan "Orang-orang lain yang mampu merealisasinya juga" (Sangha). Artinya, seorang calon Pacceka Buddha pasti memiliki keyakinan sebelumnya bahwa Kebenaran harus diselami, dan Pencerahan dapat dicapai, serta pasti ada orang lain yang telah mencapainya.


Quote from: Kainyn_KuthoApakah ini berarti seseorang yang mendengar ajaran Buddha, tetapi tidak tahu Buddhisme, tidak bisa mencapai kesucian?

Secara garis besar sudah saya jelaskan di atas.

K.K.

Quote from: upasaka on 27 May 2009, 11:24:07 AM
1) Sariputta sebelumnya sudah terkesan dengan pembawaan Bhikkhu Assaji yang anggun. Beliau pun berpikir bahwa jika Assaji memiliki seorang guru, pastilah guru itu adalah orang yang luar biasa. Dan karenanya timbul 'hasrat' secara tidak langsung untuk kagum pada gurunya Bhikkhu Assaji; yakni Sang Buddha.
Dalam kasus ini, apakah berarti seseorang harus memiliki semacam saddha kepada seseorang (bahwa ia luar biasa) sebelum mendengarkan ajaran? Jika waktu itu Sariputta tidak menganggap Assaji sebagai guru, apakah kata-kata Assaji menjadi sia-sia?


Quote2) Ingat, kalau di poin pertama saya sudah jelaskan bahwa Sariputta sudah kagum (meski belum bertemu) pada gurunya Bhikkhu Assaji. Pencapaian Sotapatti oleh Sariputta dikarenakan beliau memahami benar syair yang diucapkan oleh Bhikkhu Assaji. Setelah mendengar kata "Petapa Agung", Sariputta pun semakin yakin pada kualitas gurunya Bhikkhu Assaji.
Sariputta tidak menjadi "semakin yakin" setelah mendengarkan bait ke dua. Setelah mendengarkan bait pertama, ia sudah menjadi Sotapanna, di mana keyakinannya pada dhamma, sudah bukan lagi berdasarkan kepercayaan, tetapi berdasarkan pengetahuan langsung. Demikian pula keyakinannya pada adanya pembabar Dhamma, juga sudah bukan berdasarkan kepercayaan, namun lewat pengertian dan kebijaksanaan. Sehingga bagaimana pun tidak akan tergoyahkan.




Quote
1) Pandangan pertama adalah pandangan sesuai mitologi Buddhisme.
-> Dalam pandangan ini, saya berkomentar kalau semua Buddha; baik Sammasambuddha, Pacceka Buddha, maupun Savaka Buddha, pastilah turut mengembangkan saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha dalam praktik-Nya. Seorang calon Sammasambuddha pastilah sebelumnya mengembangkan saddha pada Buddha (di masa lampau), Dhamma dan Sangha (di masa lampau). Demikian juga yang dilakukan oleh calon Pacceka Buddha. Sedangkan seorang calon Savaka Buddha pastilah sebelumnya turut mengembangkan saddha pada Buddha (gurunya), Dhamma dan Sangha (seniornya atau Sangha di masa lampau).
Saya kurang setuju pada dua hal dalam pandangan ini.
Pertama adalah karena pencapaian kesucian para Buddha, tidak selalu didahului dengan ingatan masa lampau (pubbenivasanusati), yang dengan begitu, spekulasi "pengetahuan (yang mendasari Saddha) pada Buddha selalu ada" adalah tidak mungkin. Dengan sendirinya, nama pandangan yang "sesuai dengan mitologi Buddhis" ini sebetulnya tidak sesuai dengan mitologi Buddhis. Kita kembali pada kasus Buddha Gotama di mana pengetahuan kehidupan lampau menjelang pencapaian Samma Sambuddha adalah terarah pada Paticca Samuppada, bukan pengetahuan tentang Buddha di masa lampau. (Dvedhavitakka Sutta mencatat detail dari pikiran nafsu sampai pada pencerahan Bodhisatta. Di situ tidak ada disinggung mengenai Buddha, Dhamma, Sangha masa lampau, apalagi Saddha terhadap mereka.)

Ke dua adalah pandangan begini sama saja seperti pandangan agama lain yang mana "semua hal baik yang dilakukan manusia adalah sudah diatur oleh Tuhan agama saya sehingga tidak mungkin orang menjadi baik tanpa campur tangan Tuhan". Saya tidak pernah menemukan satu sutta pun di mana Buddha menyatakan sikap begini.



Quote2) Pandangan kedua adalah pandangan universalis
-> Dalam pandangan ini, saya berkomentar kalau seorang Pacceka Buddha, pastilah turut mengembangkan saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Terlepas dari label-label Tiratna ala Buddhisme itu, seorang Pacceka Buddha pasti memiliki keyakinan kuat pada : "Pencerahan" (Buddha), "Kebenaran Tertinggi" (Dhamma), dan "Orang-orang lain yang mampu merealisasinya juga" (Sangha). Artinya, seorang calon Pacceka Buddha pasti memiliki keyakinan sebelumnya bahwa Kebenaran harus diselami, dan Pencerahan dapat dicapai, serta pasti ada orang lain yang telah mencapainya.

Para Pacceka Buddha tercerahkan dengan usaha sendiri, maka mereka tidak mengenal sosok "guru" (yang dalam hal ini bisa mencerahkan orang lain). Mengenai pencerahan, sama seperti para Savaka, mereka juga tidak selalu didahului dengan ingatan masa lampau.
Karena tidak mengenal guru, maka mereka tidak memiliki satu sistematika latihan tertentu sebagaimana kita kenal sebagai dhamma-vinaya. Itulah sebabnya mereka tidak bisa mengajarkannya pada orang lain. Mereka hanya mengajar apa yang umum saja.
Yang terakhir, Pacceka Buddha sebagian memang hidup berkelompok, namun sebagian hanya sendiri, maka tidak selalu ada persamuhan/Sangha Pacceka Buddha.



ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 May 2009, 10:00:53 AM
Quote from: ryu on 27 May 2009, 09:47:27 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 May 2009, 09:21:21 AM
[at]  ryu

Jadi point-nya apa?
Untuk jaman sekarang saddha dibutuhkan untuk menguatkan pondasi nya terhadap buddha dhamma, apabila ada orang yang tidak mengenal Buddha bisa mencapai tingkat arahat ataupun kesucian itu bisa saja dari hasil buah karmanya di masa lalu.

Tidak masalah menguatkan pondasi dan keyakinan pada Buddha-Dhamma. Yang akan jadi masalah adalah ketika orang tidak mengenal batasan "keyakinan" itu sehingga Saddha mulai bergeser nilainya menjadi satu bentuk fanatisme.


kalau sudah bergeser ke fanatisme keknya itu sudah lari dari jalan tengah.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoDalam kasus ini, apakah berarti seseorang harus memiliki semacam saddha kepada seseorang (bahwa ia luar biasa) sebelum mendengarkan ajaran? Jika waktu itu Sariputta tidak menganggap Assaji sebagai guru, apakah kata-kata Assaji menjadi sia-sia?

Kalau Sariputta tidak terkesan pada pembawaan Bhikkhu Assaji, saya rasa Sariputta tidak akan menghampiri Bhikkhu Assaji.

Saddha adalah keyakinan setelah mengalami. Dalam hal ini, Sariputta mengalami sebuah momen unik ketika melihat pembawaan anggun dari Bhikkhu Assaji.


Quote from: Kainyn_KuthoSariputta tidak menjadi "semakin yakin" setelah mendengarkan bait ke dua. Setelah mendengarkan bait pertama, ia sudah menjadi Sotapanna, di mana keyakinannya pada dhamma, sudah bukan lagi berdasarkan kepercayaan, tetapi berdasarkan pengetahuan langsung. Demikian pula keyakinannya pada adanya pembabar Dhamma, juga sudah bukan berdasarkan kepercayaan, namun lewat pengertian dan kebijaksanaan. Sehingga bagaimana pun tidak akan tergoyahkan.

Pada saat itu, Sariputta memang telah melepaskan belenggu vicikicha (keragu-raguan). Meski belum pernah berjumpa langsung dengan Sang Buddha, pada saat itu Sariputta memiliki keyakinan yang kuat kalau Sang Buddha adalah guru yang dapat membimbingnya merealisasi Pencerahan.


Quote from: Kainyn_KuthoSaya kurang setuju pada dua hal dalam pandangan ini.
Pertama adalah karena pencapaian kesucian para Buddha, tidak selalu didahului dengan ingatan masa lampau (pubbenivasanusati), yang dengan begitu, spekulasi "pengetahuan (yang mendasari Saddha) pada Buddha selalu ada" adalah tidak mungkin. Dengan sendirinya, nama pandangan yang "sesuai dengan mitologi Buddhis" ini sebetulnya tidak sesuai dengan mitologi Buddhis. Kita kembali pada kasus Buddha Gotama di mana pengetahuan kehidupan lampau menjelang pencapaian Samma Sambuddha adalah terarah pada Paticca Samuppada, bukan pengetahuan tentang Buddha di masa lampau. (Dvedhavitakka Sutta mencatat detail dari pikiran nafsu sampai pada pencerahan Bodhisatta. Di situ tidak ada disinggung mengenai Buddha, Dhamma, Sangha masa lampau, apalagi Saddha terhadap mereka.)

Ke dua adalah pandangan begini sama saja seperti pandangan agama lain yang mana "semua hal baik yang dilakukan manusia adalah sudah diatur oleh Tuhan agama saya sehingga tidak mungkin orang menjadi baik tanpa campur tangan Tuhan". Saya tidak pernah menemukan satu sutta pun di mana Buddha menyatakan sikap begini.

Perlu diingat, bahwa Bodhisatta Gotama sudah mengembangkan saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha selama berkappa-kappa lalu, melewati berbagai macam era Sammasambuddha, dan berkali-kali menyatakan adhitana kepada beberapa Sammasambuddha secara langsung.

Sedangkan saddha dari seorang calon Pacceka Buddha lebih terkonsentrasi pada Dhamma. Seorang calon Pacceka Buddha yang memiliki keyakinan kuat dan menghayati 4 Kebenaran Mulia bisa merealisasi Pencerahan. Namun perlu diketahui, meyakini 4 Kebenaran Mulia pun secara tidak langsung turut mengembangkan saddha pada Buddha dan Sangha.


Quote from: Kainyn_KuthoPara Pacceka Buddha tercerahkan dengan usaha sendiri, maka mereka tidak mengenal sosok "guru" (yang dalam hal ini bisa mencerahkan orang lain). Mengenai pencerahan, sama seperti para Savaka, mereka juga tidak selalu didahului dengan ingatan masa lampau.
Karena tidak mengenal guru, maka mereka tidak memiliki satu sistematika latihan tertentu sebagaimana kita kenal sebagai dhamma-vinaya. Itulah sebabnya mereka tidak bisa mengajarkannya pada orang lain. Mereka hanya mengajar apa yang umum saja.
Yang terakhir, Pacceka Buddha sebagian memang hidup berkelompok, namun sebagian hanya sendiri, maka tidak selalu ada persamuhan/Sangha Pacceka Buddha.

Tidak ada harga mati untuk yakin pada Buddha dan Sangha untuk dapat merealisasi Pencerahan. Yang perlu dikonsentrasikan adalah Dhamma itu sendiri, yakni Kebenaran. Tanpa memiliki keyakinan pada Dhamma, tidak mungkin seseorang bisa terus berjuang. Seorang calon Pacceka Buddha memang tidak memerlukan bimbingan (Guru) maupun 'kesaksian orang lain' (Sangha) untuk mencapai Pencerahan. Yang dibutuhkannya adalah keyakinan kuat setelah menjalankan praktik, yang notabene bisa mendorongnya untuk terus mengembangkan batin.

Karena itu... Apakah Buddha Gotama itu pernah ada atau tidak, itu bukan menjadi syarat seseorang untuk mencapai Pencerahan. Apakah Ariya Sangha masih eksis atau tidak, itu bukan menjadi syarat seseorang untuk mencapai Pencerahan. Namun Dhamma itu selalu ada, dan itulah yang perlu kita yakini dan hayati.

K.K.

Quote from: upasaka on 27 May 2009, 02:07:26 PM
Quote from: Kainyn_KuthoDalam kasus ini, apakah berarti seseorang harus memiliki semacam saddha kepada seseorang (bahwa ia luar biasa) sebelum mendengarkan ajaran? Jika waktu itu Sariputta tidak menganggap Assaji sebagai guru, apakah kata-kata Assaji menjadi sia-sia?

Kalau Sariputta tidak terkesan pada pembawaan Bhikkhu Assaji, saya rasa Sariputta tidak akan menghampiri Bhikkhu Assaji.

Saddha adalah keyakinan setelah mengalami. Dalam hal ini, Sariputta mengalami sebuah momen unik ketika melihat pembawaan anggun dari Bhikkhu Assaji.

Ya, memang jelas Sariputta di sini memiliki kekaguman dan keyakinan terhadap Assaji. Nah, yang jadi pertanyaan adalah:
Bila seseorang memiliki kebijaksanaan yang cukup, mendengarkan dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, akankah dhamma itu memberi manfaat baginya?



QuotePerlu diingat, bahwa Bodhisatta Gotama sudah mengembangkan saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha selama berkappa-kappa lalu, melewati berbagai macam era Sammasambuddha, dan berkali-kali menyatakan adhitana kepada beberapa Sammasambuddha secara langsung.

Sedangkan saddha dari seorang calon Pacceka Buddha lebih terkonsentrasi pada Dhamma. Seorang calon Pacceka Buddha yang memiliki keyakinan kuat dan menghayati 4 Kebenaran Mulia bisa merealisasi Pencerahan. Namun perlu diketahui, meyakini 4 Kebenaran Mulia pun secara tidak langsung turut mengembangkan saddha pada Buddha dan Sangha.

Jangan disalah-artikan pernyataan saya sebagai "para ariya belum tentu punya Saddha". Siapa pun yang sudah merealisasikan dhamma, sudah pasti memiliki Saddha minimal kepada dhamma. Dengan begitu, secara tidak langsung, ia akan memiliki Saddha kepada "pembabar dhamma" (Buddha) dan "rekan lain yang juga merealisasi" (Sangha), JIKA ia cukup beruntung menemukannya.
Saya ibaratkan bahwa saya seorang dari masyarakat yang terisolasi, sedang mencari jawaban atas pergerakan benda. Lalu entah bagaimana ada kertas yang terbang nyasar entah dari mana, yang isinya hukum Newton, "mendarat" dekat saya. Kemudian, saya mengikuti teori di kertas itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan berhasil. Dengan begitu, saya punya keyakinan bahwa "kertas" itu mengandung kebenaran. Dengan sendirinya, secara tidak langsung keyakinan bahwa "ada guru yang mengajarkan hal itu" atau "ada orang lain yang juga mengerti", timbul di pikiran.

Pertanyaan saya sederhana. Apakah kalau saya tidak tahu siapa itu Newton, tidak percaya ia adalah fisikawan besar, maka saya tidak bisa mengerti teorinya?



QuoteTidak ada harga mati untuk yakin pada Buddha dan Sangha untuk dapat merealisasi Pencerahan. Yang perlu dikonsentrasikan adalah Dhamma itu sendiri, yakni Kebenaran. Tanpa memiliki keyakinan pada Dhamma, tidak mungkin seseorang bisa terus berjuang. Seorang calon Pacceka Buddha memang tidak memerlukan bimbingan (Guru) maupun 'kesaksian orang lain' (Sangha) untuk mencapai Pencerahan. Yang dibutuhkannya adalah keyakinan kuat setelah menjalankan praktik, yang notabene bisa mendorongnya untuk terus mengembangkan batin.

Karena itu... Apakah Buddha Gotama itu pernah ada atau tidak, itu bukan menjadi syarat seseorang untuk mencapai Pencerahan. Apakah Ariya Sangha masih eksis atau tidak, itu bukan menjadi syarat seseorang untuk mencapai Pencerahan. Namun Dhamma itu selalu ada, dan itulah yang perlu kita yakini dan hayati.

Memang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha  (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).

Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.

Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?


K.K.

Karena sudah lebih dari dua minggu tidak ada kelanjutan, dan di samping itu sepertinya karena salah pengertian malah menimbulkan kecurigaan bahwa saya mengecilkan Tiratana & Tipitaka, maka thread di-lock.

Berbeda dengan kebanyakan agama, Ajaran Buddha menekankan keyakinan seseorang adalah berdasarkan kebenaran yang sudah dipahami masing-masing, bukan semata-mata karena kitab suci. Namun berbeda pula dengan sikap skeptis berlebihan, di mana ajaran ditolak mentah-mentah tanpa perlu diselidiki. Dengan demikian, Ajaran Buddha menjauhkan seseorang dari sikap fanatik sementara sekaligus mendorong agar selalu mengembangkan pengertian dan kebijaksanaan.

Jika seseorang menggenggam pola pikir "Tipitaka tidak bisa salah", maka sebetulnya ia tidak melihat kelebihan Dhamma itu sendiri. Dan ketika ia bertemu pada isinya yang kontradiktif atau tidak sesuai dengan kebenaran, maka baginya hanya ada 3 pilihan: meninggalkan Buddhisme (karena kitabnya ada salah tulis), mengubah-suai tafsiran agar nyambung, "Mengubah" kebenaran agar sama dengan Tipitaka.

Jika ingin melanjutkan diskusi, silahkan di thread ini.

_/\_