Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain => Topic started by: sukma on 01 December 2008, 06:42:00 PM

Title: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 06:42:00 PM
Minta Izin diskusi Species manusia tanpa zat "roh" sesuai Ajaran Buddhis, dan tidak bersumber dari Agama dan Keyakinan lain, bila thread ini tidak sesuai aturan main Web DC, silahkan dierase.


Manusia terdiri atas Jiwa dan Badan tidak merupakan soal. Meskipun dapat terjadi., bahwa jiwa atau badan dianggap merupakan dan di sebut manusia, namun, betapapun harus dipertahankan, bahwa keduanya-duanya betul-betul berbeda, namun sebenarya badan bukan manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwa pun bukan manusia jikalau badan tidak di jiwai olehnya. Jadi, bagaimana pun juga, kedua-duanya digabungkan menjadi suatu kesatuan, untuk mendirikan manusia dalam arti utuh. Tetapi dengan demikian masih belum jelas, bagaimana kesatuan ini dapat dimengerti.

Kita dapat berkenalan dengan definisi, yang katanya, diberikan oleh orang-orang bijaksana dari dahulu kala, yakni bahwa manusia adalah mahluk yang berakal budi yang dapat mati. Defenisi ini disatu pihak menyatakan,bahwa manusia termasuk yang genius, dan di lain pihak bahwa sebagai berakal budi ia menurut speciesnya berbeda dengan binatang-binatang..

Akan tetapi defenisi ini tidak menentukan bagaimana perbedaan dan hubungan jiwa dengan badan harus dipikirkan. Pada hematnya, "jiwa adalah semacam subtansi berakal budi yang dipersiapkan untuk mengemudi badan, tetapi itu berarti bahwa badan juga harus dianggap merupakan suati subtansi, dan akhirnya manusia sendiri menjadi suatu subtansi yang ketiga, yang terdiri dari dua subtansi yang lainnya. Hanya, ya tidaklah harus diakui bahwa menjadi sulit memandang subtansi yang terakhir itu sebagai betul-betul satu subtansi,yakni sebagai sesuatu, yang memiliki kesatuan yang perlu, agar subtansi betul-betul menjadi satu subtansi.

Ambillah sebagai contoh pasangan suami isteri. Betapapun mereka dipersatukan dan malahan ditunjukkan dengan memakai satu kata saja (pasutri),mereka tetap dua subtansi dan kesatuan mereka bukan subtansi (tetapi relasi). Atau dapat dikatakan bahwa manusia ialah badan yang siap dipakai atau dihidupkan oleh jiwa, sebagaimana alat yang dapat dihidupkan untuk menerangi kenyataan sekitar yang kita sebut lampu. Ataukah harus dikatakan bahwa manusia adalah jiwa yang memakai badan , sebagaimana kita berbicara tentang abang becak, yang memang abang becak, karena ia memakai becak sebagai alatnya.??

Bisa kah jika manusia kita di definisikan sebagai ; "jiwa berakal budi yang memakai badan yang dapat mati".? Perhatikanlah, bahwa rumus tradisional "mahluk hidup(atau binatang) berakal budi(animal rationale)" diubah menjadi "jiwa berakal budi(animal rationalis)". Jadi, manusia menurut hakikat yang sebenarnya disamakan dengan jiwa. Lalu, rupanya apabila jiwa disebutkan,maka badan pun harus disebutkan, yakni sebagai apa yang dipakai jiwa tersebut. Lantas, dimana kesatuan manuia.?

Ataukah dengan kata lain kita sebut bahwa manusia adalah "jiwa yang mempunyai badan dan tidak membuat dua pribadi tetapi satu orang", namun, pernyataan ini tidak bernada betul-betul meyakinkan. Ada pertanyaan, bagaimana di dalam diri manusia itu adanya dan fungsi badan dapat dimengerti.?

Tidakkah timbul kesan bahwa di dalam kenyataan manusiawi yang kita kenali badan sebenarnya sessuatu yang asing, yang tidak ikut mendefinisikan hakikat kenyataan manusiawi tersebut.?. Tidak sulit kelihatannya bahwa suatu cara menilai badan seperti itu mudah dikembangkan menjadi suatu penilaian negativ, seolah-olah entah apa sebabnya harus disesali, bahwa badan itu ada. Dan sebenrnya sudah ada pelbagai Ajaran Meditasi yang menjurus ke arah itu dan menekankan bahwa jiwa seharusnya mencoba melepaskan diri dari badannya.
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 06:55:35 PM
kalo menurut saya secara simpelnya

Manusia adalah makhluk hidup

makhluk hidup terdiri dari Nama dan Rupa

yang membedakan Manusia dan Makhluk Hidup lainnya adalah tingkat Dukkha
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 07:04:51 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 06:55:35 PM
kalo menurut saya secara simpelnya

Manusia adalah makhluk hidup

makhluk hidup terdiri dari Nama dan Rupa

yang membedakan Manusia dan Makhluk Hidup lainnya adalah tingkat Dukkha

hatRed, kita pengikut Ajaran Buddhis setiap hari berhubungan dengan sesama manusia dan lebih sering pertemuan hubungan ini terjadi pada kelompok manusia yang tidak sama Paguyuban, Agama, dll. Kapan kah kita diluar tidak ketemu diskusi secara ilmiah kedokteran atau paham Universal.? Saya perhatikan banyak sekali kita sbagai manusia sendiri tidak mengetahui unsur apa itu jiwa.? Mau easy come easy going ya aku setuju dengan jawaban hatRed diatas,
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 07:11:39 PM
 [at] sukma

heheh.... kalo konsep jiwa ini, aye emang blon ngarti banget dan setuju ma pernyataan aye sendiri.

itu mah jawaban urang buddhist euy.

kalo secara pribadi, sih. sampai sekarang gak percaya jiwa itu ada.

malah bingung juga. pernah sih mikir waktu mo concern ke robotika.

malah sempat dapet ilham kalo jiwa itu kek listrik. apapun badannya listriknya tetep sama.

listrik itu cuma memberi tenaga agar tu robot jalan. tetapi semua listrik kan sama. cuma badannya aja yang beda.

jadi lsitrik yg dipake di kipas angin juga bisa jalan di Tv kan?

tapi gak tau lagi deh. lagipula penjelasan sukma juga keknya copast dari pelajaran Pancasila/kewarganegaraan  deh.

kalo sukma sendiri mikir jiwa tuh kek gmana?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 07:18:55 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 07:11:39 PM
[at] sukma

heheh.... kalo konsep jiwa ini, aye emang blon ngarti banget dan setuju ma pernyataan aye sendiri.

itu mah jawaban urang buddhist euy.

kalo secara pribadi, sih. sampai sekarang gak percaya jiwa itu ada.

malah bingung juga. pernah sih mikir waktu mo concern ke robotika.

malah sempat dapet ilham kalo jiwa itu kek listrik. apapun badannya listriknya tetep sama.

listrik itu cuma memberi tenaga agar tu robot jalan. tetapi semua listrik kan sama. cuma badannya aja yang beda.

jadi lsitrik yg dipake di kipas angin juga bisa jalan di Tv kan?

tapi gak tau lagi deh. lagipula penjelasan sukma juga keknya copast dari pelajaran Pancasila/kewarganegaraan  deh.

kalo sukma sendiri mikir jiwa tuh kek gmana?

hatRed, yang pasti jiwa itu bukan "Bendawi". Sesuatu yang bendawi bercirikan besar dan luas, sesuai dengan ukuran-ukuran ketiga matranya yaitu ; panjang, lebar, dan tinggi, dan mengisi sebagian ruangan -yang lebih kecil atau yang lebih besar- sesuai ukuran-ukuran tersebut. Adapun, bagaimana pun juga jiwa tidak bercirikan demikian toch.?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 07:21:23 PM
Bagaimana bila kita sebut kehadiran jiwa kepada dirinya kita sebut KESADARAN,?
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 07:23:36 PM
hmm..... Kesadaran

kalau orang gila gmana?

trus kalo pingsan?

yang koma?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 07:35:21 PM
Saya ada dan saya ketahui, bahwa saya ada, dan saya ketahui, bahwa saya mencintai diri saya.? Dan jikalau seseorang penganut Skeptisme dari perguruan Akademis bertanya, bagaimana jikalau saya keliru.?, maka saya menjawab ; "Juga jikalau saya keliru, saya Ada" . Jadi, jikalau saya keliru saya mempunyai kepastian, jadi pengenalan pasti bahwa saya ada. Tetapi bukan hanya itu saja dengan mudah menampakkan bahwa ada pelbagai kepastian lain yang terimplikasi dalam kepastian yang pertama itu. Demikian, bahwa saya yang keliru ini hidup, bahwa saya sedang berpikir, dan sebab itu, bahwa saya mempunyai daya berpikir atau akal - budi.
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 07:39:51 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 07:35:21 PM
Saya ada dan saya ketahui, bahwa saya ada, dan saya ketahui, bahwa saya mencintai diri saya.? Dan jikalau seseorang penganut Skeptisme dari perguruan Akademis bertanya, bagaimana jikalau saya keliru.?, maka saya menjawab ; "Juga jikalau saya keliru, saya Ada" . Jadi, jikalau saya keliru saya mempunyai kepastian, jadi pengenalan pasti bahwa saya ada. Tetapi bukan hanya itu saja dengan mudah menampakkan bahwa ada pelbagai kepastian lain yang terimplikasi dalam kepastian yang pertama itu. Demikian, bahwa saya yang keliru ini hidup, bahwa saya sedang berpikir, dan sebab itu, bahwa saya mempunyai daya berpikir atau akal - budi.


ini maksudnya pa

jadi binun neh g. apa hubannya.

tulung relasinya di explicitin.
Title: Re: Manusia
Post by: K.K. on 01 December 2008, 07:55:22 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 06:42:00 PM
Minta Izin diskusi Species manusia tanpa zat "roh" sesuai Ajaran Buddhis, dan tidak bersumber dari Agama dan Keyakinan lain, bila thread ini tidak sesuai aturan main Web DC, silahkan dierase.


Manusia terdiri atas Jiwa dan Badan tidak merupakan soal. Meskipun dapat terjadi., bahwa jiwa atau badan dianggap merupakan dan di sebut manusia, namun, betapapun harus dipertahankan, bahwa keduanya-duanya betul-betul berbeda, namun sebenarya badan bukan manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwa pun bukan manusia jikalau badan tidak di jiwai olehnya. Jadi, bagaimana pun juga, kedua-duanya digabungkan menjadi suatu kesatuan, untuk mendirikan manusia dalam arti utuh. Tetapi dengan demikian masih belum jelas, bagaimana kesatuan ini dapat dimengerti.

Kita dapat berkenalan dengan definisi, yang katanya, diberikan oleh orang-orang bijaksana dari dahulu kala, yakni bahwa manusia adalah mahluk yang berakal budi yang dapat mati. Defenisi ini disatu pihak menyatakan,bahwa manusia termasuk yang genius, dan di lain pihak bahwa sebagai berakal budi ia menurut speciesnya berbeda dengan binatang-binatang..

Akan tetapi defenisi ini tidak menentukan bagaimana perbedaan dan hubungan jiwa dengan badan harus dipikirkan. Pada hematnya, "jiwa adalah semacam subtansi berakal budi yang dipersiapkan untuk mengemudi badan, tetapi itu berarti bahwa badan juga harus dianggap merupakan suati subtansi, dan akhirnya manusia sendiri menjadi suatu subtansi yang ketiga, yang terdiri dari dua subtansi yang lainnya. Hanya, ya tidaklah harus diakui bahwa menjadi sulit memandang subtansi yang terakhir itu sebagai betul-betul satu subtansi,yakni sebagai sesuatu, yang memiliki kesatuan yang perlu, agar subtansi betul-betul menjadi satu subtansi.

Ambillah sebagai contoh pasangan suami isteri. Betapapun mereka dipersatukan dan malahan ditunjukkan dengan memakai satu kata saja (pasutri),mereka tetap dua subtansi dan kesatuan mereka bukan subtansi (tetapi relasi). Atau dapat dikatakan bahwa manusia ialah badan yang siap dipakai atau dihidupkan oleh jiwa, sebagaimana alat yang dapat dihidupkan untuk menerangi kenyataan sekitar yang kita sebut lampu. Ataukah harus dikatakan bahwa manusia adalah jiwa yang memakai badan , sebagaimana kita berbicara tentang abang becak, yang memang abang becak, karena ia memakai becak sebagai alatnya.??

Bisa kah jika manusia kita di definisikan sebagai ; "jiwa berakal budi yang memakai badan yang dapat mati".? Perhatikanlah, bahwa rumus tradisional "mahluk hidup(atau binatang) berakal budi(animal rationale)" diubah menjadi "jiwa berakal budi(animal rationalis)". Jadi, manusia menurut hakikat yang sebenarnya disamakan dengan jiwa. Lalu, rupanya apabila jiwa disebutkan,maka badan pun harus disebutkan, yakni sebagai apa yang dipakai jiwa tersebut. Lantas, dimana kesatuan manuia.?

Ataukah dengan kata lain kita sebut bahwa manusia adalah "jiwa yang mempunyai badan dan tidak membuat dua pribadi tetapi satu orang", namun, pernyataan ini tidak bernada betul-betul meyakinkan. Ada pertanyaan, bagaimana di dalam diri manusia itu adanya dan fungsi badan dapat dimengerti.?

Tidakkah timbul kesan bahwa di dalam kenyataan manusiawi yang kita kenali badan sebenarnya sessuatu yang asing, yang tidak ikut mendefinisikan hakikat kenyataan manusiawi tersebut.?. Tidak sulit kelihatannya bahwa suatu cara menilai badan seperti itu mudah dikembangkan menjadi suatu penilaian negativ, seolah-olah entah apa sebabnya harus disesali, bahwa badan itu ada. Dan sebenrnya sudah ada pelbagai Ajaran Meditasi yang menjurus ke arah itu dan menekankan bahwa jiwa seharusnya mencoba melepaskan diri dari badannya.

Teori yang cukup menarik.

Jadi maksudnya ada sesuatu yang namanya jiwa, sedangkan tubuh hanyalah suatu kendaraan untuk memuat jiwa, begitu? Baik, kalau begitu saya mau tanya: Menurut anda, bagi seorang yang terlahir dengan jasmani buta, apakah jiwanya mengenal bentuk-bentuk?

Jasmani (becak) maksudnya tidak menyatakan hakikat jiwa dan tidak berinteraksi dengan jiwa (si Tukang Becak)? Saya mau tanya, antara ketika kita kecil, sebelum hormon seksual berkembang dan ketika kita dewasa, setelah hormon seksual berkembang, apakah "jiwa" (sewaktu anak2 dan dewasa) definisi anda itu sama atau berbeda?

Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 07:56:31 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 07:39:51 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 07:35:21 PM
Saya ada dan saya ketahui, bahwa saya ada, dan saya ketahui, bahwa saya mencintai diri saya.? Dan jikalau seseorang penganut Skeptisme dari perguruan Akademis bertanya, bagaimana jikalau saya keliru.?, maka saya menjawab ; "Juga jikalau saya keliru, saya Ada" . Jadi, jikalau saya keliru saya mempunyai kepastian, jadi pengenalan pasti bahwa saya ada. Tetapi bukan hanya itu saja dengan mudah menampakkan bahwa ada pelbagai kepastian lain yang terimplikasi dalam kepastian yang pertama itu. Demikian, bahwa saya yang keliru ini hidup, bahwa saya sedang berpikir, dan sebab itu, bahwa saya mempunyai daya berpikir atau akal - budi.


ini maksudnya pa

jadi binun neh g. apa hubannya.

tulung relasinya di explicitin.

inilah yang di bilang saya "ada" di sini seperti Ajaran Buddhis kita Ke - aku-an yang sangat melekat walau sudah kleiru namun tetap "ada", itulah pikran manusia.
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 08:00:04 PM
tunggu dulu,

pas baca2 lagi,

ini sukma mo bicarain tentang jiwa menurut Buddhism atau diluar itu?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 08:04:47 PM
Banyak Filsuf-Filsuf yang dengan sekonsekuen-konsekuennya menerima bahwa jiwa itu hanya sesuatu yang bendawi atau jasmani saja. Ada yang mengatakan bahwa jiwa itu adalah darah, menurut yang lain jiwa itu adalah otak, atau jantung (yakni bukan jantung dalam arti kiasan, melainkan dalam arti harfiah, jadi jantung yang dari daging itu). Ada juga yang erpikir jiwa itu terdiri dari atas atom-atom. Lain lagi menyatakan subtansi jiwa sama dengan anasir udara atau anasir api.

Dan masih ada teori yang menyatakan bahwa jiwa, yang terdiri dari dirinya sendiri tidak dapat dipikirkan sebagai subtansi, karena bukan sesuatu benda, adalah keselarasan antara anasir-anasie yang bersama-sama membentuk badan.
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 08:41:04 PM
(At hatRed)

Come on.! jiwa universal seluruh manusia di bumi, dan bagaimana nantinya saya bisa masuk ke dalam jiwa menurut Ajaran Buddhis dan menjabarkan nya secara ilmu kedokteran.


  Masih ada Filsuf –filsuf yang bertolak dari pendapat bahwa jiwa bukan jasmani atau bendawi, melainkan menurut subtansinya adalah hidup, yang menghidupkan badan, berusaha membuktikan bahwa jiwa tidak dapat mati (mungkin kah ini yang di maksud Inkarnasi di Buddhis.?), karena tidak mungkin hidup itu sendiri tidak hidup.

Masih ada pendapat, yang menyamakan yang menyamakan jiwa dengan apa mereka sebut anasir yang kelima dan mereka gabungkan dengan badan, yang terdiri atas keempat anasir yang terkenal itu.  Tetapi, barangkali mereka pun harus digolongkan bersama dengan mereka yang menyamakan jiwa dengan yang bendawi menurut arti yang biasa.

Ternyata, adanya begitu banyak pendapat mengenal jiwa merupakan pertanda bahwa jiwa itu TIDAK DIKENAL.
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 08:48:32 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 01 December 2008, 07:55:22 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 06:42:00 PM
Minta Izin diskusi Species manusia tanpa zat "roh" sesuai Ajaran Buddhis, dan tidak bersumber dari Agama dan Keyakinan lain, bila thread ini tidak sesuai aturan main Web DC, silahkan dierase.


Manusia terdiri atas Jiwa dan Badan tidak merupakan soal. Meskipun dapat terjadi., bahwa jiwa atau badan dianggap merupakan dan di sebut manusia, namun, betapapun harus dipertahankan, bahwa keduanya-duanya betul-betul berbeda, namun sebenarya badan bukan manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwa pun bukan manusia jikalau badan tidak di jiwai olehnya. Jadi, bagaimana pun juga, kedua-duanya digabungkan menjadi suatu kesatuan, untuk mendirikan manusia dalam arti utuh. Tetapi dengan demikian masih belum jelas, bagaimana kesatuan ini dapat dimengerti.

Kita dapat berkenalan dengan definisi, yang katanya, diberikan oleh orang-orang bijaksana dari dahulu kala, yakni bahwa manusia adalah mahluk yang berakal budi yang dapat mati. Defenisi ini disatu pihak menyatakan,bahwa manusia termasuk yang genius, dan di lain pihak bahwa sebagai berakal budi ia menurut speciesnya berbeda dengan binatang-binatang..

Akan tetapi defenisi ini tidak menentukan bagaimana perbedaan dan hubungan jiwa dengan badan harus dipikirkan. Pada hematnya, "jiwa adalah semacam subtansi berakal budi yang dipersiapkan untuk mengemudi badan, tetapi itu berarti bahwa badan juga harus dianggap merupakan suati subtansi, dan akhirnya manusia sendiri menjadi suatu subtansi yang ketiga, yang terdiri dari dua subtansi yang lainnya. Hanya, ya tidaklah harus diakui bahwa menjadi sulit memandang subtansi yang terakhir itu sebagai betul-betul satu subtansi,yakni sebagai sesuatu, yang memiliki kesatuan yang perlu, agar subtansi betul-betul menjadi satu subtansi.

Ambillah sebagai contoh pasangan suami isteri. Betapapun mereka dipersatukan dan malahan ditunjukkan dengan memakai satu kata saja (pasutri),mereka tetap dua subtansi dan kesatuan mereka bukan subtansi (tetapi relasi). Atau dapat dikatakan bahwa manusia ialah badan yang siap dipakai atau dihidupkan oleh jiwa, sebagaimana alat yang dapat dihidupkan untuk menerangi kenyataan sekitar yang kita sebut lampu. Ataukah harus dikatakan bahwa manusia adalah jiwa yang memakai badan , sebagaimana kita berbicara tentang abang becak, yang memang abang becak, karena ia memakai becak sebagai alatnya.??

Bisa kah jika manusia kita di definisikan sebagai ; "jiwa berakal budi yang memakai badan yang dapat mati".? Perhatikanlah, bahwa rumus tradisional "mahluk hidup(atau binatang) berakal budi(animal rationale)" diubah menjadi "jiwa berakal budi(animal rationalis)". Jadi, manusia menurut hakikat yang sebenarnya disamakan dengan jiwa. Lalu, rupanya apabila jiwa disebutkan,maka badan pun harus disebutkan, yakni sebagai apa yang dipakai jiwa tersebut. Lantas, dimana kesatuan manuia.?

Ataukah dengan kata lain kita sebut bahwa manusia adalah "jiwa yang mempunyai badan dan tidak membuat dua pribadi tetapi satu orang", namun, pernyataan ini tidak bernada betul-betul meyakinkan. Ada pertanyaan, bagaimana di dalam diri manusia itu adanya dan fungsi badan dapat dimengerti.?

Tidakkah timbul kesan bahwa di dalam kenyataan manusiawi yang kita kenali badan sebenarnya sessuatu yang asing, yang tidak ikut mendefinisikan hakikat kenyataan manusiawi tersebut.?. Tidak sulit kelihatannya bahwa suatu cara menilai badan seperti itu mudah dikembangkan menjadi suatu penilaian negativ, seolah-olah entah apa sebabnya harus disesali, bahwa badan itu ada. Dan sebenrnya sudah ada pelbagai Ajaran Meditasi yang menjurus ke arah itu dan menekankan bahwa jiwa seharusnya mencoba melepaskan diri dari badannya.

Teori yang cukup menarik.

Jadi maksudnya ada sesuatu yang namanya jiwa, sedangkan tubuh hanyalah suatu kendaraan untuk memuat jiwa, begitu? Baik, kalau begitu saya mau tanya: Menurut anda, bagi seorang yang terlahir dengan jasmani buta, apakah jiwanya mengenal bentuk-bentuk?

Jasmani (becak) maksudnya tidak menyatakan hakikat jiwa dan tidak berinteraksi dengan jiwa (si Tukang Becak)? Saya mau tanya, antara ketika kita kecil, sebelum hormon seksual berkembang dan ketika kita dewasa, setelah hormon seksual berkembang, apakah "jiwa" (sewaktu anak2 dan dewasa) definisi anda itu sama atau berbeda?



Jiwa waktu janin dalam kandungan, balita, pubertas, dewasa, adalah jiwa yang sama, namun terjadi Proses naik level
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 08:49:12 PM
 [at] sukma

pusiing neh... ingatan lagi kacau balau

kalo konsep jiwa menurut saya pribadi sih (apalagi masih skepts gini) gak begitu yakin dengan konsep jiwa.

paling dalam akademis, "Kejiwaan" malah dipandang sebagai situasi kondisi batin seseorang. dalam kata lain ya kesadaran seperti sukma katakan.

kalau menilai filsuf2 tersebut, pandangan mereka seperti menganggap jiwa itu lebih daripada hanya kesadaran. tetapi mengarah kepada pembentuk hidup.

kalau mungkin yg didefkan sebagai jiwa adalah sebagai "Penentu" suatu "Raga" maka, hal ini tidak dapat didef secara ilmu kedokteran.
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 08:55:41 PM
 [at] sukma

melanjuti konsep jiwa seperti listrik.

menurut sukma, dalam buddhism dikenal adanya kehidupan lampau.

anggaplah benar kalau ada yang namanya tumimbal lahir. lalu apa yang berpindah

apa yang berpindah dari kehidupan sebelumnya yang ada di kehidupan sekarang?

kalau seseorang dapat mengingat kehidupan lampaunya, apa yang membuat seseorang dapat mengingatnya?

kalau zat otaknya tidak mungkin kan? apa yang dinamakan jiwa ini?

tetapi kalau jiwa ini yang berpindah, apalah bedanya reinkarnasi dengan tumimbal lahir?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 08:56:48 PM
(At Kainyn)

Saya sudah jawab pertanyaan anda di page 1. Maaf arus internet lagi kacau, bolot.

Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 09:00:16 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 08:55:41 PM
[at] sukma

melanjuti konsep jiwa seperti listrik.

menurut sukma, dalam buddhism dikenal adanya kehidupan lampau.

anggaplah benar kalau ada yang namanya tumimbal lahir. lalu apa yang berpindah

apa yang berpindah dari kehidupan sebelumnya yang ada di kehidupan sekarang?

kalau seseorang dapat mengingat kehidupan lampaunya, apa yang membuat seseorang dapat mengingatnya?

kalau zat otaknya tidak mungkin kan? apa yang dinamakan jiwa ini?

tetapi kalau jiwa ini yang berpindah, apalah bedanya reinkarnasi dengan tumimbal lahir?

hatRed, you got my point.! Justru threads manusia = jasmani + jiwa ini lah yang akan aku lari nya nanti ke pertanyaan Anda diatas. You a smart.
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 09:02:12 PM
hatRed

bagaimana pula hubungan Jiwa - Badan dan Pengamatan Indrawi.?
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 09:14:06 PM
Quote from: sukma
Justru threads manusia = jasmani + jiwa ini lah yang akan aku lari nya nanti ke pertanyaan Anda diatas

lah anda nanya, saya juga nanya, yang ngejawab sape?

Quote
bagaimana pula hubungan Jiwa - Badan dan Pengamatan Indrawi.?

hmmmm.......

kalo pandangan Pribadi :

      Jiwa itu hanyalah, sesuatu yg tidak berbentuk dan tidak dapat dibentuk, kek ibarat listrik saya itu.

disini saya anggap

Badan = Robot
Jiwa = Listrik
Pengamatan Indrawi = Pengalaman/Knowledge

anggaplah makhluk itu robot, diberi battrei/listrik.

saat robot ini berinteraksi dengan lingkungan maka ini yang disebut pengamatan indrawi. hasil pengamatan ini, hanya disimpan. tetapi tidak membentuk jiwa. karena jiwa adalah hal lain.

layaknya battrei tersebut. bila battrei tersebut dipakai oleh mesin yang lain (anggap kipas angin) maka mesin tersebut pun dapat hidup/melakukan pengamatan indrawi.

tetapi kipas angin ini tidak dapat mencerna pengamatan indrawi/pengalaman dari robot karena informasi ini tidak dibentuk di battrei tersebut.

karena battrei tersebut murni, (saat bicara battrei ini yg dimaksud adalah listriknya bukan fisiknya).
dan tidak dapat dibentuk.


hmmm.......... semakin bingung saja. karena contoh diatas saya ambil jika saya menganggap Jiwa itu lebih dari sekedar kondisi batin, tetapi lebih mengarah sebagai "Penentu".
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 09:22:56 PM
hatRed, ilustrasi badan = robot dan jiwa = listrik, nanti kita bahas ya...

kita sepakati dulu, jiwa menurut definisinya tidak ada luasnya (tidak bendawi)dan sebab itu tidak sebagian hadir dalam bagian badan yang ini dan sebagian hadir dalam bagian badan yang itu. Jiwa hadir dalam badan sedemikian rupa sehingga seluruhnya dalam semua bagian badan bersama-sama dan seluruhnya dalam setiap bagian yang mana pun juga.

Kehadiran itu memang tidak dapat dipikirkan sebagai sebagai suatu kehadiran yang tersebar menurut matra-matra ruang, Kehadiran itu harus dipikirkan sebagai suatu kehadiran yang tersebar melalui semacam perhatian yanh hidup, yang mungkin boleh di sebut semacam kesiapsiagaan.

Ambil saja contoh berikut ini ; suatu titik yang kecil pada kulit di sentuh ; meskipun tempat itu bukan seluruh badan, malahan dalam badan hampir tidak kelihatan, namun sentuhan itu terasa oleh jiwa sebagai keseluruhan dan anehnya, perasaan sentuhan itu tidak tersebar di seluruh badan, tetapi hanya terlokalisasi ditempat di mana  terjadi. Jadi, bagaimana mungkin, bahwa sentuhan itu kena pada seluruh jiwa, meskipun hanya terjadi dalam tempat yang kecil, selain karena jiwa seluruhnya hadir pada tempat sentuhan itu terjadi, namun agar seluruhnya dapat hadir disitu tidak harus meninggalkan bagian-bagian badan yang lain, yang memang juga tetap hidup terus, meskipun tidak di sentuh,

Dan seandainya pada saat yang sama bagian-bagian yang lain itu juga disentuh, maka sntuhan-sentuhan itu pun tentu bukan tidak ketahuan jiwa. Inilah yang saya pahami sebagai hubungan ; Jiwa-Badan dan Pengamatan Indrawi.
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 01 December 2008, 09:26:44 PM
dilanjutkan besok. saya off line. see all of us tomorow  :'(
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 09:33:00 PM
hmmm...

kalau begitu, saat makhluk kehilangan anggota tubuhnya, bukan berarti dia kehilangan sebagian jiwanya atau tidak?

ada salah satu sumber mengatakan, seseorang yang diamputasi kadang2 merasakan nyeri di bagian yang diamputasi karena dalam sadar mereka masih menganggap anggota tubuhnya tersebut masih ada (berarti disini ada Perasaan dan Kesadaran secara "nyata" akan anggota tubuhnya yg hilang).

apakah "hal yang diamputasi ini" merupakan jiwa?
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 09:33:32 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 09:26:44 PM
dilanjutkan besok. saya off line. see all of us tomorow  :'(

ocre deh.
Title: Re: Manusia
Post by: hendrako on 01 December 2008, 09:45:37 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 08:48:32 PM
Jiwa waktu janin dalam kandungan, balita, pubertas, dewasa, adalah jiwa yang sama, namun terjadi Proses naik level

Coba kita kembali memperhatikan kalimat yang di bold biru di atas.

Kata namun menunjukkan hal yang bertentangan dengan pernyataan sebelumnya.
Apabila dikatakan bahwa "jiwa yang sama." mestinya jiwa itu tidak berubah atau kekal.
Namun....
ternyata, apa yang dikatakan sebagai jiwa itu mengalami perubahan, yaitu berproses dari saat ke saat, sebagaimana yang saudara/i Sukma katakan dan contohkan.

Hanya kesannya saja sama, karena terdapat kesinambungan, namun hakikinya, karena sifatnya yang berubah dari saat ke saat, maka tidak dapat dikatakan sama atau kekal. Oleh karena ketidakkekalan itulah maka tidak ada yang bersifat tetap pada apa yang dikatakan sebagai jiwa, dan tidak pas dipandang sebagai diri atau jiwa yang kekal.

Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 01 December 2008, 09:51:53 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 08:55:41 PM
[at] sukma

melanjuti konsep jiwa seperti listrik.

menurut sukma, dalam buddhism dikenal adanya kehidupan lampau.

anggaplah benar kalau ada yang namanya tumimbal lahir. lalu apa yang berpindah

apa yang berpindah dari kehidupan sebelumnya yang ada di kehidupan sekarang?

kalau seseorang dapat mengingat kehidupan lampaunya, apa yang membuat seseorang dapat mengingatnya?

kalau zat otaknya tidak mungkin kan? apa yang dinamakan jiwa ini?

tetapi kalau jiwa ini yang berpindah, apalah bedanya reinkarnasi dengan tumimbal lahir?

maksudnya sukma tuh, untuk pertanyaan ini.
Title: Re: Manusia
Post by: hendrako on 01 December 2008, 10:54:06 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 09:51:53 PM
Quote from: hatRed on 01 December 2008, 08:55:41 PM
[at] sukma

melanjuti konsep jiwa seperti listrik.

menurut sukma, dalam buddhism dikenal adanya kehidupan lampau.

anggaplah benar kalau ada yang namanya tumimbal lahir. lalu apa yang berpindah

apa yang berpindah dari kehidupan sebelumnya yang ada di kehidupan sekarang?

kalau seseorang dapat mengingat kehidupan lampaunya, apa yang membuat seseorang dapat mengingatnya?

kalau zat otaknya tidak mungkin kan? apa yang dinamakan jiwa ini?

tetapi kalau jiwa ini yang berpindah, apalah bedanya reinkarnasi dengan tumimbal lahir?

maksudnya sukma tuh, untuk pertanyaan ini.

Tumimbal lahir bukan perpindahan, namun kontinuitas, kesinambungan.
Title: Re: Manusia
Post by: Nevada on 01 December 2008, 11:19:44 PM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 09:22:56 PM
hatRed, ilustrasi badan = robot dan jiwa = listrik, nanti kita bahas ya...

kita sepakati dulu, jiwa menurut definisinya tidak ada luasnya (tidak bendawi)dan sebab itu tidak sebagian hadir dalam bagian badan yang ini dan sebagian hadir dalam bagian badan yang itu. (1) Jiwa hadir dalam badan sedemikian rupa sehingga seluruhnya dalam semua bagian badan bersama-sama dan seluruhnya dalam setiap bagian yang mana pun juga.

Kehadiran itu memang tidak dapat dipikirkan sebagai sebagai suatu kehadiran yang tersebar menurut matra-matra ruang, (2) Kehadiran itu harus dipikirkan sebagai suatu kehadiran yang tersebar melalui semacam perhatian yanh hidup, yang mungkin boleh di sebut semacam kesiapsiagaan.

Ambil saja contoh berikut ini ; suatu titik yang kecil pada kulit di sentuh ; meskipun tempat itu bukan seluruh badan, malahan dalam badan hampir tidak kelihatan, namun sentuhan itu terasa oleh jiwa sebagai keseluruhan dan anehnya, perasaan sentuhan itu tidak tersebar di seluruh badan, tetapi hanya terlokalisasi ditempat di mana  terjadi. Jadi, bagaimana mungkin, bahwa sentuhan itu kena pada seluruh jiwa, meskipun hanya terjadi dalam tempat yang kecil, (3) selain karena jiwa seluruhnya hadir pada tempat sentuhan itu terjadi, namun agar seluruhnya dapat hadir disitu tidak harus meninggalkan bagian-bagian badan yang lain, yang memang juga tetap hidup terus, meskipun tidak di sentuh,

(4) Dan seandainya pada saat yang sama bagian-bagian yang lain itu juga disentuh, maka sntuhan-sentuhan itu pun tentu bukan tidak ketahuan jiwa. Inilah yang saya pahami sebagai hubungan ; Jiwa-Badan dan Pengamatan Indrawi.

[at] Sukma

Saya tanggapi kalimat di postingan Anda yg saya beri nomor dan cetak tebal...

(1) Anda mengatakan jiwa itu tidak bisa didefinisi, yakni tidak berbentuk. Namun di kalimat yg saya cetak tebal itu, Anda malah mengeluarkan statement bahwa jiwa itu hadir sepenuhnya pada raga / badan jasmaniah. Saya rasa ini adalah kontradiksi.

(2) Pada paragraf berikutnya, Anda berusaha mengklarisifikasi pernyataan di paragraf sebelumnya, mungkin agar tidak terjadi kesalahpahaman. Namun pada paragraf kedua ini, Anda malah membuat analogi bahwa kehadiran jiwa itu layaknya perhatian / kesiapsiagaan. Secara teoritis ini adalah janggal.

(3) Anda menyimpulkan pernyataan yg berbunyi : 'jiwa itu hadir pada suatu lokasi tertentu' dan 'namun tidak meninggalkan bagian badan2 yg lain'. Ini pernyataan yg kontradiksi lagi.

(4) Di kalimat itu, Anda menyimpulkan bahwa jiwa 'selalu hadir' saat badan mengadakan kontak dengan objek luar. Kenyataannya kadang kala kita tidak sadar (mungkin dalam istilah Anda : 'jiwa tidak hadir') saat ada kontak dengan objek luar.

Mohon penjelasannya kembali...  _/\_
Title: Re: Manusia
Post by: K.K. on 02 December 2008, 08:21:14 AM
Quote from: sukma on 01 December 2008, 08:56:48 PM
(At Kainyn)

Saya sudah jawab pertanyaan anda di page 1. Maaf arus internet lagi kacau, bolot.
Ya, thanx. Saya lihat kok.


QuoteJiwa waktu janin dalam kandungan, balita, pubertas, dewasa, adalah jiwa yang sama, namun terjadi Proses naik level
Naik level ini, apa maksudnya? Mencakup apa saja? Apa saja faktor yang mempengaruhi kenaikan level ini?
Title: Re: Manusia
Post by: markosprawira on 02 December 2008, 11:35:15 AM
 [at] upasaka, Kainyn, hendriko : udah pada mantab2 nih.......

muditacitta utk semangat anda semua  _/\_

[at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam buddhism

semoga rekan lain lebih bisa menjelaskan daripada saya  _/\_
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 02 December 2008, 01:57:49 PM
Kepada Kainyn_Kutho, hatRed,
hendrako markosprawira
upasaka, tolong saya siapkan makalah ini sesudh reply ini kita baru bahas.
Lanjutan hubungan jiwa – badan dan pengamatan indriawi. 

[at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam Buddhism . Khusus pesan dari Karkos akan saya amati.



Sentuhan suatu titik kecil pada kulit di reply kemarin bukan tidak ketahuan oleh jiwa, atau tidak tersembunyi bagi jiwa, menjadi penting baginya untuk menerangkan seluruh pengamatan indriawi. Proses pengamatan indriawi ini berlangsung karena ada kerja sama antara pengaruh obyek dari luar pada indra yang bersangkutan dan perhatian yang hidup atau barangkali boleh dikatakan kesiapsiagaan jiwa dalam badan. Karena kesiapsiagaan itu suatu perubahan dalam salah satu organ indra yang diakibatkan oleh salah satu obyek bukan tidak ketahuan oleh jiwa ; dan harus ditambah bahwa perbuatan itu bukan tidak ketahuan langsung, dan tidak melalui pengaruh dari suatu yang lain.

Ambil contoh yang berikut ini ;

Kita melihat asap, maka kita berkesimpulan, bahwa ada apinya. Tentu saja adanya asap itu kita ketahui melalui indra penglihat, dan tentang adanya api itu juga dapat dikatakan bahwa kita mengetahuinya melalui indra penglihat. Tetapi, untuk mengetahui adanya asap sudah cukup organ penglihat itu dipengaruhi dan diubah, perubahan yang dari dirinya sendiri diketahui oleh jiwa, sedangkan tentang api itu pengenalan tidak sama langsung, karena selaian perubahan dalam organ indra diperlukan juga suatu Penalaran Raional, yang menimbulkan kesimpulan, bahwa jikalau ada asap, maka mesti ada api juga yang mengakibatkan asap tersebut.

Jadi, untuk kedua jenis pengenalan itu perubahan dalam organ –oleh pengarug asap- adalah suatu syarat yang perlu terpenuhi. Tetapi untuk pengenalan jenis yang pertama terpenuhinya syarat itu sudah cukup juga, agar kesiapsiagaan jiwa terhadapnya diaktifkan, sedangkan untuk jenis pengenalan yang kedua, syarat itu belum cukup untuk menghasilkan dalam jiwa pengenalan tentang adanya api, karena untuk itu selain
Perubahan dalam organ dan kesiapsiagaan jiwa masih diperlukan juga : Penalaran Rasional.

Dan perbedan antarakedua jenis pengenalan itu memperlihatkan bahwa dan mengapa jenis pengenalan yang pertama adalah "Pengamatan Indrawi", dan jenis pengenalan yang kedua adalah "Pengenalan Rasional". Seluruh perbedaan antara kedua jenis pengenalan itu ialah bahwa pengenalan indrawi adalah suatu perubahan dalam organ badani yang dari dirinya sendiri bukan tidak ketahuan oleh jiwa, sedangkan pengenalan rasional sebagai titik tolak dapat memakai pengenalan indrawi, tetapi atas tingkatnya sendiri antara perubahan dalam organ badani dan timbulnya pengenalan harus menyisipkan Keaktifan Rasio.

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.
Title: Re: Manusia
Post by: hatRed on 02 December 2008, 02:11:41 PM
sebenarnya, menurut Buddhism, konsep Jiwa yang sekarang beredar di masyarakat, salah kaprah.

karena Buddhism menganggap AKU adalah fantasi, begitu pula Jiwa.

Konsep jiwa yang ada di masyarakat mungkin lebih kearah roh, setan, hantu, atau dalam istilah TInya adalah Software dan raganya adalah Hardware.

menurut Buddhism hal ini adalah salah, karena roh/hantu/setan bukan terlahir dari manusia yang mati, tetapi adalah salah satu bentuk kehidupan lain, seperti Kehidupan manusia mengganggap kehidupan binatang, atau kehidupan para dewa.

dan juga ada anggapan dewa dewi sekarang selalu bersejarah manusia, sehingga manusia menggambarkan dewa/dewi seperti manusia. padahal layaknya roh tersebut, alam dewa adalah bentuk kehidupan lain.

Jadi kalau boleh menyimpulkan, Dalam Buddhism kehidupan hanya dikenal satu kali saja dalam satu masa di alam kehidupan. jadi tidak kontinue.

hal ini saya utarakan menanggapi pernyataan bahwa tumimbal lahir bukan suatu proses kelanjutan dari kehidupan sebelumnya.

tetapi yang membuat bingung adalah seseorang dapat mengenal kehidupan beliau yang lampau. atas dasar apa ia mengetahui itu adalah kehidupan dia yang lampau, bukan orang lain?
Title: Re: Manusia
Post by: K.K. on 02 December 2008, 02:29:21 PM
Quote from: sukma on 02 December 2008, 01:57:49 PM
Kepada Kainyn_Kutho, hatRed,
hendrako markosprawira
upasaka, tolong saya siapkan makalah ini sesudh reply ini kita baru bahas.
Lanjutan hubungan jiwa – badan dan pengamatan indriawi. 

[at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam Buddhism . Khusus pesan dari Karkos akan saya amati.



Sentuhan suatu titik kecil pada kulit di reply kemarin bukan tidak ketahuan oleh jiwa, atau tidak tersembunyi bagi jiwa, menjadi penting baginya untuk menerangkan seluruh pengamatan indriawi. Proses pengamatan indriawi ini berlangsung karena ada kerja sama antara pengaruh obyek dari luar pada indra yang bersangkutan dan perhatian yang hidup atau barangkali boleh dikatakan kesiapsiagaan jiwa dalam badan. Karena kesiapsiagaan itu suatu perubahan dalam salah satu organ indra yang diakibatkan oleh salah satu obyek bukan tidak ketahuan oleh jiwa ; dan harus ditambah bahwa perbuatan itu bukan tidak ketahuan langsung, dan tidak melalui pengaruh dari suatu yang lain.

Ambil contoh yang berikut ini ;

Kita melihat asap, maka kita berkesimpulan, bahwa ada apinya. Tentu saja adanya asap itu kita ketahui melalui indra penglihat, dan tentang adanya api itu juga dapat dikatakan bahwa kita mengetahuinya melalui indra penglihat. Tetapi, untuk mengetahui adanya asap sudah cukup organ penglihat itu dipengaruhi dan diubah, perubahan yang dari dirinya sendiri diketahui oleh jiwa, sedangkan tentang api itu pengenalan tidak sama langsung, karena selaian perubahan dalam organ indra diperlukan juga suatu Penalaran Raional, yang menimbulkan kesimpulan, bahwa jikalau ada asap, maka mesti ada api juga yang mengakibatkan asap tersebut.

Jadi, untuk kedua jenis pengenalan itu perubahan dalam organ –oleh pengarug asap- adalah suatu syarat yang perlu terpenuhi. Tetapi untuk pengenalan jenis yang pertama terpenuhinya syarat itu sudah cukup juga, agar kesiapsiagaan jiwa terhadapnya diaktifkan, sedangkan untuk jenis pengenalan yang kedua, syarat itu belum cukup untuk menghasilkan dalam jiwa pengenalan tentang adanya api, karena untuk itu selain
Perubahan dalam organ dan kesiapsiagaan jiwa masih diperlukan juga : Penalaran Rasional.

Dan perbedan antarakedua jenis pengenalan itu memperlihatkan bahwa dan mengapa jenis pengenalan yang pertama adalah "Pengamatan Indrawi", dan jenis pengenalan yang kedua adalah "Pengenalan Rasional". Seluruh perbedaan antara kedua jenis pengenalan itu ialah bahwa pengenalan indrawi adalah suatu perubahan dalam organ badani yang dari dirinya sendiri bukan tidak ketahuan oleh jiwa, sedangkan pengenalan rasional sebagai titik tolak dapat memakai pengenalan indrawi, tetapi atas tingkatnya sendiri antara perubahan dalam organ badani dan timbulnya pengenalan harus menyisipkan Keaktifan Rasio.

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.


Ketika orang melihat asap, kesadaran mata menangkap bentuk. Kemudian pikiran mengenali asap tersebut, yang berdasarkan ingatan (bentuk pikiran lampau).
Bagi seorang yang memiliki kecenderungan pada asap kebanyakan berasal dari api kebakaran, maka ia menduganya demikian.
Bagi seorang yang memiliki kecenderungan pada asap kebanyakan berasal dari bakar sate, maka ia menduganya demikian.
Bagi seorang yang memiliki kecenderungan pada pengenalan jenis asap (apakah warnanya, baunya, besarnya, intensitasnya), maka ia menganalisa lebih jauh berdasarkan input lebih lanjut.

lalu.... di mana jiwanya? perannya yang mana?

Kembali lagi, jika asap itu ada di depan orang buta (yang tidak merasakan asapnya, ataupun mencium baunya), apakah jiwanya mengetahui asap?
Title: Re: Manusia
Post by: sobat-dharma on 02 December 2008, 07:07:16 PM
Mari kita ikuti keyakinan "jika jiwa pengendara , dan tubuh adalah kendaraannya" apa saja konsekuensinya...

1. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, maka kita seharusnya menguasai seluruh tubuh kita tanpa perkecualian. Misalnya, kita seharusnya bisa mengendalikan kapan organ tubuh kita sesuka kita. Kita bisa memperlambat dan mempercepat jantung ataupun ginjal, usus dan sebagainya sesuai dengan kemauan kita. Kita juga yang harusnya menentukan kapan kita mati kapan tidak. Tapi bukankah dalam kenyataan hal ini tidak terjadi?

2. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, seharusnya jiwa bisa melihat cara kerja tubuh secara transparan apa adanya. Misalnya saat kita melihat, maka harusnya kita bisa melihat gerak organ mata kita dan proses yang berlangsung di dalam organ mata itu sendiri. Atau saat berpikir, seharusnya jiwa dapat melihat otak yang sedang bekerja. Tapi bukankah dalam kenyataan hal ini tidak terjadi?


3. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, seharusnya jiwa dapat meninggalkan tubuh sesukanya ia mau dan kemudian kembali lagi saat ia inginkan tanpa adanya suatu usaha khusus apa pun. Tapi bukankah dalam kenyataan hal ini tidak terjadi?


4. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, kemana perginya jiwa saat seseorang tidur atau pingsan?

5. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, mengapa manusia dapat bermimpi?  Saat itu apakah jiwa sedang meninggalkan tubuhnya? Jika ia mengapa ia berada dalam dunia antah berantah yang misterius.

6. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, mengapa kerusakan tubuh menyebabkan kerusakan pada aspek tertentu pada psikologis. Misalnya orang yang mengalami kerusakan bagian otak tertentu, kemudian kehilangan ingatan masa lalunya, apakah jiwa orang tersebut juga rusak? Pada orang tua yang pikun, kemana perginya jiwa yang abadi itu?

7. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, mengapa saat tubuh kita sakit, perasaan dan pikiran kita menjadi terganggu juga. Hal ini membuktikan bahwa tubuh kadangkala justru menjadi faktor yang mempengaruhi tubuh dan pikiran kita.

8. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, maka seharusnya kita dapat mengendalikan perasaan dan pikiran kita semau kita dengan mudah tanpa adanya suatu usaha tertentu. Jiwa itu bisa mengatakan pada dirinya ia ingin marah atau bahagia sesukanya tanpa rintangan apapun. Ia bisa menentukan apa yang mau ia pikirkan atau ia yakini secara semena-mena tanpa adanya usaha apapun. Asumsinya jika jiwa itu adalah tuan bagi dirinya sendiri, maka ia berkuasa sepnuhnya atas apa yang dilakukan olehnya. Tapi pada kenyataannya "jiwa" seringkali hanya menjadi korban atau efek dari kondisi-kondisi di sekitarnya ataupun tubuhnya sendiri. Dalam hidup kita, seberapa seringkah "jiwa" kita menguasai diri kita sendiri?

Memperhatikan kedelapan alasan di atas, saya melihat bahwa jiwa dan tubuh tidaklah sama dengan pengendara dengan kendaraannya. Jika jiwa yang anda maksudkan sama dengan "aku yang mengendalikan segala sesuatu di dalam tubuh", maka saya katakan hal tersebut hanya ilusi belaka.
Title: Re: Manusia
Post by: markosprawira on 03 December 2008, 05:23:40 PM
Karena keterbatasan pikiran manusia, muncullah JIWA

karena keterbatasan pikiran manusia, muncullah ALAM BAWAH SADAR

karena keterbatasan pikiran manusia, muncullah TUHAN
Title: Re: Manusia
Post by: hendrako on 04 December 2008, 12:46:13 AM
Quote from: sukma on 02 December 2008, 01:57:49 PM

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.


Yang dimaksud dengan jiwa diatas adalah yang disebut nama di dalam Buddhism,

Seperti yang telah diungkapkan oleh Bro Kainyn_Kutho ;
Di dalam Buddhism, yang disebut dengan mahluk adalah terdiri dari nama dan rupa (pancakhanda),

LIMA KHANDHA
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :

   1. Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
   2. Sañña = Pencerapan.
   3. Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
   4. Vedanä = Perasaan.
   5. Viññana = Kesadaran.

Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan nama. Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. :

   1. Rupa
      Kita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita.
   2. Viññana (citta)
      Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
   3. Sañña
      Rangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
   4. Sankhära
      Rangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
   5. Vedanä
      Dengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita.

Proses mental ini berlangsung sbb. :

Kesadaran   >   Pencerapan   >   Pikiran   >   Perasaan.


Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa.

Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=691&hal=2&cont=intisari2-2.html&path=&hmid=

Jadi Nama atau batin diuraikan oleh Sang Buddha menjadi beberapa bagian, namun sebenarnya hanya kelihatannya saja berbeda karena ke-empat bagian tersebut adalah satu yaitu batin. Nama atau batin inilah yang sering disalah-persepsikan sebagai jiwa, roh, atau diri yang kekal.

Di dalam contoh melihat asap, yang bekerja tidak hanya jasmani/tubuh/rupa atau hanya batin, namun keduanya bekerja bersama-sama.
Tanpa organ mata yang aktif maka kesadaran mata tidak ada, tanpa ingatan dan persepsi maka tidak ada pengenalan bentuk tersebut sebagai asap. Tanpa bentuk2 pikiran yang sekaligus bekerja sama dengan ingatan maka tidak ada perkiraan bahwa ada api yang menyebabkan asap.

Jadi, yang dimaksud sebagai "pengenalan rasional" dan "keaktifan jiwa" adalah Nama atau batin.





Title: Re: Manusia
Post by: markosprawira on 04 December 2008, 01:14:08 PM
Ehm sori, saya mo sedikit ralat....

saya pribadi ga berani mengasumsikan bhw JIWA = NAMA yg ada dalam nama-rupa

karena JIWA dipersepsikan sebagai motor penggerak dari fisik. Jadi jiwa sebagai "something, ada di "somewhere" di dalam tubuh kita ini (cmiiw)
Inilah yg kenapa disebut dinamakan dengan ATTA

sementara NAMA dan RUPA bergerak dalam keselarasan, tidak ada yg menjadi unsur utama dari keduanya, tidak ada yg mendominasi diantara keduanya, pun tidak bisa dipisahkan

Itu kenapa dalam abhidhamma, buddha menyatakan manusia sebagai perpaduan dari nama dan rupa, bukan rupa yg dipimpin oleh nama, atau sebaliknya

semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 04 December 2008, 06:36:22 PM
Quote from: markosprawira on 04 December 2008, 01:14:08 PM
Ehm sori, saya mo sedikit ralat....

saya pribadi ga berani mengasumsikan bhw JIWA = NAMA yg ada dalam nama-rupa

karena JIWA dipersepsikan sebagai motor penggerak dari fisik. Jadi jiwa sebagai "something, ada di "somewhere" di dalam tubuh kita ini (cmiiw)
Inilah yg kenapa disebut dinamakan dengan ATTA

sementara NAMA dan RUPA bergerak dalam keselarasan, tidak ada yg menjadi unsur utama dari keduanya, tidak ada yg mendominasi diantara keduanya, pun tidak bisa dipisahkan

Itu kenapa dalam abhidhamma, buddha menyatakan manusia sebagai perpaduan dari nama dan rupa, bukan rupa yg dipimpin oleh nama, atau sebaliknya

semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah

  At ; hatRed, Kainyn_Kutho, sobat-dharma, hendrako, markosprawira, many thanks saya ucapkan terhadap reply kalian sebagai bahan pelajaran buat saya, sayang karena ada kesibukkan dalam beberapa hari ini trmasuk besok harus ke Bandung, telah membuat diskusi ini menjadi sedikit terhalang dan mohon dimengerti.

Mengambil pelajaran Buddhis yang di tulis sdr Hendarko tentang  LIMA KHANDHA , serta reply terakhir dari sdr Markos bahwa JIWA dinamakan ATTA, pada point ini sudah membantu ku untuk memahami diskusi dengan thread "manusia" ini sesuai Ajaran Buddhis

waktu yang singkat selama saya joint dengan Web DC yang tercinta ini khususnya dengan ke 2 threads yang saya tulis, serta mengamati kronologis diskusi di 1 - 2 threads dengan topic yang khususnya tidak dalam Ajaran Buddhis, terasa sekali buat saya adanya hambatan untuk mencapai diskusi demi terwujudnya Dhamma yang baik bagi Netter-Netter dan Moderator-Moderator penganut Ajaran Buddhis pada Web DC ini. Mengapa.?

Penemuan saya yang masih sangat dini ini ada pada faktor yang sangat sederhana yaitu istilah & Makna KATA yang dipakai dalam bahasa Sangsekerta atau Pali ini dalam berdiskusi menghadapi sdr-sdri kita yang kebetulan tidak sealiran dengan kita selalu mengalami hambatan diskusi dan akhirnya tujuan Dhamma Baik yang dirindukan kita Tidak Tercapai...., apakah HAMBATAN bisa diatasi paling tidak mengguranginya demi terwujudnya Buddhis Universal.?  Maaf karena  :outoftopic:

Kembali ke topic, beri saya waktu untuk menyelesaikan ke 2 Topic saya "Kehendak Bebas' dan "Manusia" yang sebenarnya masih banyak point-point yang perlu saya pertanyakan, sayang keterbatasan waktu karena pekerjaan membuat saya harus bersabar..... :(

Title: Re: Manusia
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 05 December 2008, 09:40:26 AM
Kalau yang anda maksud dengan jiwa, roh, hati nurani, diri, atta, atman, dengan bahasa apapun, menurut saya bukanlah ajaran Sang Buddha.

Kalau anda memaksakan ada suatu inti diri di dalam ajaran Sang Buddha, hal ini bukanlah diskusi.
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 08 December 2008, 04:45:33 PM
Posted by: Wolverine ;
Kalau yang anda maksud dengan jiwa, roh, hati nurani, diri, atta, atman, dengan bahasa apapun, menurut saya bukanlah ajaran Sang Buddha.

Kalau anda memaksakan ada suatu inti diri di dalam ajaran Sang Buddha, hal ini bukanlah diskusi.




Saya tidak bisa memaksa ada sesuatu dalam inti diri Ajaran Sang Buddha, saya hanya melihat ada satu titik cerah untuk diskusi tanpa merusak Ajaran Sang Buddha toh.?

Dalam buku Pancasila Dan Pancadhamma dari Sangha Theravada Indonesia,

1 .halaman 34 pada topic HILANGNYA PENGENDALIAN DIRI ;

Pikiran manusia biasanya dipengaruhi oleh HATI NURANI. Hati nurani ini memberi tahu tentang apa yang benar dan salah, apa yang senantiasa dihindai dan apa yang sehausnya dilaksanakan.

2 .Halaman 59-60 pada topic Kewaspadaan mengenai Hakekat hidup ;

"..........Bagaimana mereka bekerja dan berkembang dapat dipelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan....."

3 .Serta pada halaman 63 Topic bagan ; Garis Besar Pancasila & Pancadhamma oleh Bhikkhu Pannavaro

Ketiga point diatas adalah tulisan dari Sangha Threvarada Indonesia, lihat pada point 1 ; ada kata "HATI NURANI", sementara para Netter dan Moderator Web DC sepertinya sangat alergi dengan kata Hati Nurani ini tersurat dari topic "Kehendak Bebas" & "Manusia" ini.

Pada point ke 2 , lihat anjuran pelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan tentang diri manusia, betapa Sangha Theravada Indonesia tidak berkeras harus melakukan diskusi Dhamma semua berpatokan dari Kitab Suci Ajaran Buddha toh,? Sekali lagi, saya tidak bisa memaksa mau diskusi menang sepihak.

Salam ; Sati - Sampajanna  ^:)^
Title: Re: Manusia
Post by: markosprawira on 10 December 2008, 03:16:52 PM
Quote from: sukma on 08 December 2008, 04:45:33 PM
Posted by: Wolverine ;
Kalau yang anda maksud dengan jiwa, roh, hati nurani, diri, atta, atman, dengan bahasa apapun, menurut saya bukanlah ajaran Sang Buddha.

Kalau anda memaksakan ada suatu inti diri di dalam ajaran Sang Buddha, hal ini bukanlah diskusi.




Saya tidak bisa memaksa ada sesuatu dalam inti diri Ajaran Sang Buddha, saya hanya melihat ada satu titik cerah untuk diskusi tanpa merusak Ajaran Sang Buddha toh.?

Dalam buku Pancasila Dan Pancadhamma dari Sangha Theravada Indonesia,

1 .halaman 34 pada topic HILANGNYA PENGENDALIAN DIRI ;

Pikiran manusia biasanya dipengaruhi oleh HATI NURANI. Hati nurani ini memberi tahu tentang apa yang benar dan salah, apa yang senantiasa dihindai dan apa yang sehausnya dilaksanakan.

2 .Halaman 59-60 pada topic Kewaspadaan mengenai Hakekat hidup ;

"..........Bagaimana mereka bekerja dan berkembang dapat dipelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan....."

3 .Serta pada halaman 63 Topic bagan ; Garis Besar Pancasila & Pancadhamma oleh Bhikkhu Pannavaro

Ketiga point diatas adalah tulisan dari Sangha Threvarada Indonesia, lihat pada point 1 ; ada kata "HATI NURANI", sementara para Netter dan Moderator Web DC sepertinya sangat alergi dengan kata Hati Nurani ini tersurat dari topic "Kehendak Bebas" & "Manusia" ini.

Pada point ke 2 , lihat anjuran pelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan tentang diri manusia, betapa Sangha Theravada Indonesia tidak berkeras harus melakukan diskusi Dhamma semua berpatokan dari Kitab Suci Ajaran Buddha toh,? Sekali lagi, saya tidak bisa memaksa mau diskusi menang sepihak.

Salam ; Sati - Sampajanna  ^:)^

dear sukma,

Buku itu pun masih merupakan karangan dari putthujhana (manusia awam).

Jika memang anda berkeras mengenai hati nurani, tolong diberikan padanannya secara bahasa Pali, agar semua menjadi jelas, apakah HATI NURANI yg ada di buku itu, benar sama dengan HATI NURANI yg anda maksudkan, ok?

Karena 1 bahasa indonesia, banyak yg mempunyai bahasa pali yg berbeda2 misal Pikiran, bahasa palinya bisa :
- Mano
- Citta

ini saja sudah membuat konteks diskusi yg berbeda2......

Title: Re: Manusia
Post by: Nevada on 10 December 2008, 11:57:17 PM
Quote from: sukma on 02 December 2008, 01:57:49 PM
Kepada Kainyn_Kutho, hatRed,
hendrako markosprawira
upasaka, tolong saya siapkan makalah ini sesudh reply ini kita baru bahas.
Lanjutan hubungan jiwa – badan dan pengamatan indriawi. 

[at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam Buddhism . Khusus pesan dari Karkos akan saya amati.



Sentuhan suatu titik kecil pada kulit di reply kemarin bukan tidak ketahuan oleh jiwa, atau tidak tersembunyi bagi jiwa, menjadi penting baginya untuk menerangkan seluruh pengamatan indriawi. Proses pengamatan indriawi ini berlangsung karena ada kerja sama antara pengaruh obyek dari luar pada indra yang bersangkutan dan perhatian yang hidup atau barangkali boleh dikatakan kesiapsiagaan jiwa dalam badan. Karena kesiapsiagaan itu suatu perubahan dalam salah satu organ indra yang diakibatkan oleh salah satu obyek bukan tidak ketahuan oleh jiwa ; dan harus ditambah bahwa perbuatan itu bukan tidak ketahuan langsung, dan tidak melalui pengaruh dari suatu yang lain.

Ambil contoh yang berikut ini ;

Kita melihat asap, maka kita berkesimpulan, bahwa ada apinya. Tentu saja adanya asap itu kita ketahui melalui indra penglihat, dan tentang adanya api itu juga dapat dikatakan bahwa kita mengetahuinya melalui indra penglihat. Tetapi, untuk mengetahui adanya asap sudah cukup organ penglihat itu dipengaruhi dan diubah, perubahan yang dari dirinya sendiri diketahui oleh jiwa, sedangkan tentang api itu pengenalan tidak sama langsung, karena selaian perubahan dalam organ indra diperlukan juga suatu Penalaran Raional, yang menimbulkan kesimpulan, bahwa jikalau ada asap, maka mesti ada api juga yang mengakibatkan asap tersebut.

Jadi, untuk kedua jenis pengenalan itu perubahan dalam organ –oleh pengarug asap- adalah suatu syarat yang perlu terpenuhi. Tetapi untuk pengenalan jenis yang pertama terpenuhinya syarat itu sudah cukup juga, agar kesiapsiagaan jiwa terhadapnya diaktifkan, sedangkan untuk jenis pengenalan yang kedua, syarat itu belum cukup untuk menghasilkan dalam jiwa pengenalan tentang adanya api, karena untuk itu selain
Perubahan dalam organ dan kesiapsiagaan jiwa masih diperlukan juga : Penalaran Rasional.

Dan perbedan antarakedua jenis pengenalan itu memperlihatkan bahwa dan mengapa jenis pengenalan yang pertama adalah "Pengamatan Indrawi", dan jenis pengenalan yang kedua adalah "Pengenalan Rasional". Seluruh perbedaan antara kedua jenis pengenalan itu ialah bahwa pengenalan indrawi adalah suatu perubahan dalam organ badani yang dari dirinya sendiri bukan tidak ketahuan oleh jiwa, sedangkan pengenalan rasional sebagai titik tolak dapat memakai pengenalan indrawi, tetapi atas tingkatnya sendiri antara perubahan dalam organ badani dan timbulnya pengenalan harus menyisipkan Keaktifan Rasio.

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.


Sdr. Sukma yang berjiwa besar...

Tidak usah terburu2, pekerjaan Anda juga penting. Kita bisa mendiskusikan thread2 Anda dengan santai. OK, saya akan menanggapi postingan Anda yg diquote itu...

Saya sepertinya sudah cukup mengerti mengenai konsep Pengamatan Indrawi dan Pengenalan Rasional yang Anda jelaskan. Sebagai bahan perbandingan, Konsep Pengamatan Indrawi itu mungkin dikenal dalam Buddhisme sebagai Kesadaran Indera. Sedangkan Konsep Pengenalan Rasional itu mungkin sejalan dengan Konsep Pencerapan, Gagasan dan Konsepsi di Buddhisme...


Bagaimana cara kerja indera mengenal objek luar?

Kesadaran adalah reaksi yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indera* kita dengan objeknya masing-masing. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indera kita yang mengadakan kontak dengan objeknya masing-masing. Perlu ditekankan kali ini, yang disebut indera itu adalah alat di tubuh kita yang berfungsi untuk mengenali dunia luar, untuk mengenali objeknya masing-masing. Jadi salah besar kalau ada orang yang mampu 'menebak' sesuatu dengan tepat, maka kemampuan itu diberi nama sebagai "indera". Kemampuan seperti itu lebih layak disebut sebagai insting, berpikir instan, sederhana dan sedikit keberuntungan.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, Anda harus mengerti bahwa kesadaran tidak dapat mengenali objeknya. Kesadaran hanya merupakan kesadaran, yaitu kesadaran akan adanya objek. Misalnya kalau mata mendapatkan kontak (phassa)dengan warna merah, kesadaran mata kita akan bangkit dan kita akan sadar akan adanya objek yang berwarna tersebut. Pada tingkat ini kesadaran belum mengenal apa-apa. Pada tingkat pencerapanlah maka kita dapat mengenal objek itu sebagai warna merah. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau objek telah terlihat. Begitu pula yang terjadi pada indera kita yang lain.

Kesadaran (vinnana) bukanlah "jiwa", "Roh" atau "Aku". Banyak yang menganggap bahwa kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk berkeliling, sesuatu yang melakukan, yang merasakan, yang hadir dan yang mengalami akibat dari semua perbuatan. Dengan kata lain teori ini menduplikatkan makna Roh dalam satu bentuk "kesadaran". Teori ini sepenuhnya salah! Kenapa? Karena kesadaran itu timbul karena satu kondisi yang sesuai, dan tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya. Oleh karena ada mata dan objek yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama "kesadaran mata". Demikian pula kesadaran-kesadaran lain yang dikondisikan indera-indera lainnya.

Sebagai contoh, kesadaran mata dikondisikan oleh :
- adanya indera penglihatan
- adanya objek wujud (objek indera penglihatan)
- adanya media cahaya yang mendukung
- adanya perhatian (kesiagaan indera)

Tanpa salah satu kondisi itu terpenuhi, maka tidak akan ada kesadaran mata (penglihatan), sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan ke tingkat pencerapan.

NB : * enam indera (salayatana -> mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran)


Bagaimana menurut Anda Sdr. Sukma...?
Title: Re: Manusia
Post by: markosprawira on 11 December 2008, 10:08:59 AM
Quote from: upasaka on 10 December 2008, 11:57:17 PM
Kembali ke pembahasan sebelumnya, Anda harus mengerti bahwa kesadaran tidak dapat mengenali objeknya. Kesadaran hanya merupakan kesadaran, yaitu kesadaran akan adanya objek. Misalnya kalau mata mendapatkan kontak (phassa)dengan warna merah, kesadaran mata kita akan bangkit dan kita akan sadar akan adanya objek yang berwarna tersebut. Pada tingkat ini kesadaran belum mengenal apa-apa. Pada tingkat pencerapanlah maka kita dapat mengenal objek itu sebagai warna merah. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau objek telah terlihat. Begitu pula yang terjadi pada indera kita yang lain.

kalau saya boleh lebih perjelas.

Pada saat terjadi kesadaran pada pintu indera fisik (panca dvara) misal mata, pada saat itu objek masih dikenali sebagaimana apa adanya.

Setelah itu dilanjutkan di pintu indera pikiran (mano dvara), yg pertama pun masih apa adanya.
Setelah itu, di kesadaran2 berikutnya di mano dvara, masuklah pengaruh dari persepsi misal bentuk, warna, dan sebagainya....

mgkn jika bro sukma pernah tau scanner di komputer.... kira2 seperti itulah kerjanya batin manusia

semoga bisa bermanfaat yah
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 11 December 2008, 02:08:36 PM
Quote from: upasaka 

/quote]

Sdr. Sukma yang berjiwa besar...

Tidak usah terburu2, pekerjaan Anda juga penting. Kita bisa mendiskusikan thread2 Anda dengan santai. OK, saya akan menanggapi postingan Anda yg diquote itu...

Saya sepertinya sudah cukup mengerti mengenai konsep Pengamatan Indrawi dan Pengenalan Rasional yang Anda jelaskan. Sebagai bahan perbandingan, Konsep Pengamatan Indrawi itu mungkin dikenal dalam Buddhisme sebagai Kesadaran Indera. Sedangkan Konsep Pengenalan Rasional itu mungkin sejalan dengan Konsep Pencerapan, Gagasan dan Konsepsi di Buddhisme...


Bagaimana cara kerja indera mengenal objek luar?

Kesadaran adalah reaksi yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indera* kita dengan objeknya masing-masing. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indera kita yang mengadakan kontak dengan objeknya masing-masing. Perlu ditekankan kali ini, yang disebut indera itu adalah alat di tubuh kita yang berfungsi untuk mengenali dunia luar, untuk mengenali objeknya masing-masing. Jadi salah besar kalau ada orang yang mampu 'menebak' sesuatu dengan tepat, maka kemampuan itu diberi nama sebagai "indera". Kemampuan seperti itu lebih layak disebut sebagai insting, berpikir instan, sederhana dan sedikit keberuntungan.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, Anda harus mengerti bahwa kesadaran tidak dapat mengenali objeknya. Kesadaran hanya merupakan kesadaran, yaitu kesadaran akan adanya objek. Misalnya kalau mata mendapatkan kontak (phassa)dengan warna merah, kesadaran mata kita akan bangkit dan kita akan sadar akan adanya objek yang berwarna tersebut. Pada tingkat ini kesadaran belum mengenal apa-apa. Pada tingkat pencerapanlah maka kita dapat mengenal objek itu sebagai warna merah. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau objek telah terlihat. Begitu pula yang terjadi pada indera kita yang lain.

Kesadaran (vinnana) bukanlah "jiwa", "Roh" atau "Aku". Banyak yang menganggap bahwa kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk berkeliling, sesuatu yang melakukan, yang merasakan, yang hadir dan yang mengalami akibat dari semua perbuatan. Dengan kata lain teori ini menduplikatkan makna Roh dalam satu bentuk "kesadaran". Teori ini sepenuhnya salah! Kenapa? Karena kesadaran itu timbul karena satu kondisi yang sesuai, dan tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya. Oleh karena ada mata dan objek yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama "kesadaran mata". Demikian pula kesadaran-kesadaran lain yang dikondisikan indera-indera lainnya.

Sebagai contoh, kesadaran mata dikondisikan oleh :
- adanya indera penglihatan
- adanya objek wujud (objek indera penglihatan)
- adanya media cahaya yang mendukung
- adanya perhatian (kesiagaan indera)

Tanpa salah satu kondisi itu terpenuhi, maka tidak akan ada kesadaran mata (penglihatan), sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan ke tingkat pencerapan.

NB : * enam indera (salayatana -> mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran)


Bagaimana menurut Anda Sdr. Sukma...?

Hi...! Salam untuk Markos dan Upasaka serta semua sobat yang tak tertulis namanya ....sdh 4 hari Off Line krn kesibukkan kerja persiapan proposal & Contract, sdh rindu dengan sobat-sobat di Web DC ini.

Untuk reply dari sobat Markos hal padanan bahasa Pali tentang kata "Hati Nurani" entar ya di jwb, saya tertarik dengan pemahaman tentang "Kesadaran" dengan panca indera Mata dari sobat Upasaka dan reply ke 44 sobat Markos, dibawah ini akan saya buat satu Analogi yang kiranya sesuai yang ditulis kalian berdua atau tidak.? Please Comment ya ....

Apabila sebatang tongkat atau bambu atau dayung yang lurus kita masukkan kedalam air yang jernih, maka tepat pada permukaan air itu tongkat/bambu atau dayung tampak "seolah-olah" tak lagi lurus tetapi patah. Jikalau melihat serta mempertimbangkan Gejala itu rasio kita memutuskan dan menyatakan bahwa tongkat/bambu atau dayung itu betul-betul tidak lurus dan patah, maka Hati Nurani (atau apa sebutan dalam Ajaran Buddhis) kita membiarkan dirinya dikuasai, atau mungkin boleh dikatakan ditolak/dikesampingkan, oleh kesan-kesan inderawi yang bersangkutan, dengan akibatnya bahwa putusan dan pernyataannya keliru.

Kita tidak perlu mengatakan bahwa pengamatan inderawi Menipu kita dan tidak dapat diandalkan. Rasio kita sendiri keliru dan kekeliruannya itu dapat diatasi dengan mudah. Rasio kita tidak terpaksa menuruti kesan-kesan inderawi itu, tetapi sudah cukup rasio menginsafi bahwa karena keadaan alamiahnya demikian, kesan-kesan inderawi itu mesti timbul sebagaimana terjadi.

Dengan perkataan lain, rasio kita dapat menolak kesan inderawi itu, dan dengan demikian berpegang pada putusan bahwa tongkat atau dayung kita itu tetap berbentuk lurus. Dengan demikian , rasio menyatakan dan menampakkan keunggulannya terhadap pengamatan inderawi.





Title: Re: Manusia
Post by: Nevada on 12 December 2008, 12:12:19 AM
Quote from: sukma on 11 December 2008, 02:08:36 PM

Hi...! Salam untuk Markos dan Upasaka serta semua sobat yang tak tertulis namanya ....sdh 4 hari Off Line krn kesibukkan kerja persiapan proposal & Contract, sdh rindu dengan sobat-sobat di Web DC ini.

Untuk reply dari sobat Markos hal padanan bahasa Pali tentang kata "Hati Nurani" entar ya di jwb, saya tertarik dengan pemahaman tentang "Kesadaran" dengan panca indera Mata dari sobat Upasaka dan reply ke 44 sobat Markos, dibawah ini akan saya buat satu Analogi yang kiranya sesuai yang ditulis kalian berdua atau tidak.? Please Comment ya ....

Apabila sebatang tongkat atau bambu atau dayung yang lurus kita masukkan kedalam air yang jernih, maka tepat pada permukaan air itu tongkat/bambu atau dayung tampak "seolah-olah" tak lagi lurus tetapi patah. Jikalau melihat serta mempertimbangkan Gejala itu rasio kita memutuskan dan menyatakan bahwa tongkat/bambu atau dayung itu betul-betul tidak lurus dan patah, maka Hati Nurani (atau apa sebutan dalam Ajaran Buddhis) kita membiarkan dirinya dikuasai, atau mungkin boleh dikatakan ditolak/dikesampingkan, oleh kesan-kesan inderawi yang bersangkutan, dengan akibatnya bahwa putusan dan pernyataannya keliru.

Kita tidak perlu mengatakan bahwa pengamatan inderawi Menipu kita dan tidak dapat diandalkan. Rasio kita sendiri keliru dan kekeliruannya itu dapat diatasi dengan mudah. Rasio kita tidak terpaksa menuruti kesan-kesan inderawi itu, tetapi sudah cukup rasio menginsafi bahwa karena keadaan alamiahnya demikian, kesan-kesan inderawi itu mesti timbul sebagaimana terjadi.

Dengan perkataan lain, rasio kita dapat menolak kesan inderawi itu, dan dengan demikian berpegang pada putusan bahwa tongkat atau dayung kita itu tetap berbentuk lurus. Dengan demikian , rasio menyatakan dan menampakkan keunggulannya terhadap pengamatan inderawi.


Sdr. Sukma...

Itulah yang dikerjakan oleh indera kita. Indera kita hanya menangkap segala sesuatu berdasarkan apa yang terlihat, dan yang terlihat oleh indera adalah fatamorgana. Kenyataannya kita tidak bisa menggantungkan indera kita untuk menyelami kebenaran.

"Lima kelompok kehidupan (pancakkhandha) menyusun apa yang kita sebut AKU. Dari kelima kelompok ini, kelompok bentuk (rupakkhandha) memiliki sifat seperti busa yang berkumpul; kelompok perasaan (vedanakkhandha) memiliki sifat seperti sebuah gelembung; kelompok pencerapan (samjnakkhandha) memiliki sifat seperti sebuah fatamorgana; kelompok bentuk-bentuk pikiran (samkharakhandha) memiliki sifat seperti sebuah rumput layu; dan kelompok kesadaran (vijnanakkhandha) memiliki sifat seperti sebuah khayalan. Demikianlah seseorang harus mengetahui bahwa sifat pokok dari AKU adalah tidak lain dari sifat dari busa, gelembung, fatamorgana, rumput, dan khayalan; sehingga tidak ada kelompok kehidupan ataupun nama-nama kelompok kehidupan; tidak ada makhluk-makhluk ataupun nama-nama makhluk; tidak ada dunia fana ataupun dunia di atas fana. Pemahaman terhadap kelompok kehidupan yang benar seperti ini disebut pemahaman tertinggi. Jika seseorang mencapai pemahaman tertinggi ini, maka ia terbebaskan. Jika ia tidak melekat pada benda-benda duniawi, ia melebihi dunia fana."

Sejarah dunia sudah membuktikan kesalahan umat manusia dalam memandang Bumi dan Matahari. Secara pengamatan indera, terlihat seolah Matahari mengelilingi Bumi. Namun semua orang tentunya tidak bisa menolak kenyataan bahwa ternyata Bumi-lah yang mengelilingi Matahari. Ini contoh lain yang menunjukkan keterbatasan pengamatan indera dan pengenalan rasional umat manusia di zaman dahulu.

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, kesadaran indera (pengamatan indrawi) dikondisikan oleh :
- adanya indera penglihatan
- adanya objek wujud (objek indera penglihatan)
- adanya media cahaya yang mendukung
- adanya perhatian (kesiagaan indera)
- adanya kontak indera*

Kelima kondisi ini bekerja bersamaan sehingga memunculkan kesadaran indera. Pada kondisi ini, kesadaran pada pintu indera fisik (panca dvara) masih mengenali objek sebagaimana adanya. Setelah itu kesadaran berproses menuju pintu indera pikiran (mano dvara), dan objek masih dilihat sebagaimana adanya. Kemudian di mano dvara, kesadaran itu mulai dipengaruhi dari persepsi dan pencerapan. Di titik ini, kesadaran sudah mengenal objek sebagaimana apa yang terlihat di dalam sudut pandang indera.

Setelah melihat objek, perasaan pun otomatis akan muncul. Perasaan ini terbagi menjadi perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan netral. Bergantung pada cara pandang dan kematangan batin seseorang, dari perasaan inilah muncul gagasan atau konsepsi. Gagasan atau konsepsi ini akan menelaah dan membandingkan antara apa yang ditangkap oleh indera dengan apa yang tersimpan di memori; yaitu berupa faktor2 tingkat intelijen, pengalaman, keadaan batin dan karakter seseorang.

NB : *adanya kontak indera adalah kondisi ke-5 yang memenuhi syarat untuk munculnya sebuah kesadaran indera. Saya lupa menyisipkannya di postingan sebelumnya  _/\_

Kira2 begitu dulu yah...

Mungkin Bro Markosprawira bisa memberi penjelasan yang lebih detail...  _/\_
Title: Re: Manusia
Post by: Reenzia on 12 December 2008, 01:41:39 AM
 [at] sis sukma

sis, coba tanggapi pertanyaan bro sobat-darma deh, saia penasaran juga :))
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 13 December 2008, 06:11:15 PM
Permintan Reenzia   
[at] sis sukma

sis, coba tanggapi pertanyaan bro sobat-darma deh, saia penasaran juga
   :))

Reenzia, Sobat-darma, bagaimana saya mau mulai menjawab 8 pertanyaan sobat-darma ini.? mulai dari awal tulisan topic "manusia" ini seperti tulisan saya di reply 1 ini ;

Manusia terdiri atas Jiwa dan Badan tidak merupakan soal. Meskipun dapat terjadi., bahwa jiwa atau badan dianggap merupakan dan di sebut manusia, namun, betapapun harus dipertahankan, bahwa keduanya-duanya betul-betul berbeda, namun sebenarya badan bukan manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwa pun bukan manusia jikalau badan tidak di jiwai olehnya. Jadi, bagaimana pun juga, kedua-duanya digabungkan menjadi suatu kesatuan, untuk mendirikan manusia dalam arti utuh. Tetapi dengan demikian masih belum jelas, bagaimana kesatuan ini dapat dimengerti.???........dstnya

Perhatikan kalimat diatas yg digaris bawahi, serta tentang bagaimana para Filsuf memahami "jiwa" seperti pada reply yang ke 12 yang saya garis bawahi dibawah ini ;

Banyak Filsuf-Filsuf yang dengan sekonsekuen-konsekuennya menerima bahwa jiwa itu hanya sesuatu yang bendawi atau jasmani saja. Ada yang mengatakan bahwa jiwa itu adalah darah, menurut yang lain jiwa itu adalah otak, atau jantung (yakni bukan jantung dalam arti kiasan, melainkan dalam arti harfiah, jadi jantung yang dari daging itu). Ada juga yang erpikir jiwa itu terdiri dari atas atom-atom. Lain lagi menyatakan subtansi jiwa sama dengan anasir udara atau anasir api.

Dan masih ada teori yang menyatakan bahwa jiwa, yang terdiri dari dirinya sendiri tidak dapat dipikirkan sebagai subtansi, karena bukan sesuatu benda, adalah keselarasan antara anasir-anasie yang bersama-sama membentuk badan.


Reenzia, Sobat-darma, semua orang itu dengan konsekuen berpendirian bahwa ; Jiwa itu fana dan tanpa badan mesti mati, tetapi ada Filsuf yang, bertolak dari pendapat bahwa jiwa bukan jasmani atau bendawi, melainkan menurut subtansinya adalah hidup, yang menghidupi badan, berusaha membuktikkan bahwa jiwa tidak dapat mati, karena tidak mungkin, hidup itu sendiri tidak hidup.

Masih ada pendapat, yang menyamakan jiwa dengan apa yang mereka sebut Anasir yang kelima dan mereka gabungkan dengan badan, yang terdiri atas keempat anasir yang terkenal itu. Tetapi barangkali para Filsuf pun harus digolongkan bersama dengan mereka yang menyamakan Jiwa dengan yang Bendawi menurut artinya yang biasa.

Ternyata, adanya begitu banyak pendapat mengenai jiwa merupakan pertanda bahwa jiwa itu tidak dikenal

Beberapa analogi yang coba saya tuangkan direply yang lalu sepertinya saya gagal memberi penjelasan yang lebih mengarah ke Ajaran Buddhis, tapi beri waktu dan dengan rileks saya akan coba menuangkannya...take time.


Title: Re: Manusia
Post by: ryu on 13 December 2008, 06:28:56 PM
Pandangan sukma ini masuknya ke buddhism bukan? Atau punya aliran sendiri? Aliran apa yah?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 13 December 2008, 06:46:16 PM
By Ryu
Pandangan sukma ini masuknya ke buddhism bukan? Atau punya aliran sendiri? Aliran apa yah?


Saya mencoba memposisikan diri saya diluar Buddhism, karena terlalu sempit buat saya berdiskusi secara Universal Humanity bila saya harus memakai istilah bahasa Pali yang nota bene pemahamannya ke dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. Aliran sendiri.? tidak mampu buat saya mempunyai Aliran sendiri
Title: Re: Manusia
Post by: ryu on 13 December 2008, 06:53:58 PM
Quote from: sukma on 13 December 2008, 06:46:16 PM
By Ryu
Pandangan sukma ini masuknya ke buddhism bukan? Atau punya aliran sendiri? Aliran apa yah?


Saya mencoba memposisikan diri saya diluar Buddhism, karena terlalu sempit buat saya berdiskusi secara Universal Humanity bila saya harus memakai istilah bahasa Pali yang nota bene pemahamannya ke dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. Aliran sendiri.? tidak mampu buat saya mempunyai Aliran sendiri

hal yang sederhana menurut saya dalam Buddhism itu tidak mengenal jiwa :) kalau mau di hubung2kan/disama2kan dengan Jiwa sepertinya tidak akan nyambung.
Seperti ingin menyamakan air dan api yang sudah tentu berlawanan makan tidak akan ada titik temu :)
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 13 December 2008, 07:01:19 PM
Quote from: ryu on 13 December 2008, 06:53:58 PM
Quote from: sukma on 13 December 2008, 06:46:16 PM
By Ryu
Pandangan sukma ini masuknya ke buddhism bukan? Atau punya aliran sendiri? Aliran apa yah?


Saya mencoba memposisikan diri saya diluar Buddhism, karena terlalu sempit buat saya berdiskusi secara Universal Humanity bila saya harus memakai istilah bahasa Pali yang nota bene pemahamannya ke dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. Aliran sendiri.? tidak mampu buat saya mempunyai Aliran sendiri

hal yang sederhana menurut saya dalam Buddhism itu tidak mengenal jiwa :) kalau mau di hubung2kan/disama2kan dengan Jiwa sepertinya tidak akan nyambung.
Seperti ingin menyamakan air dan api yang sudah tentu berlawanan makan tidak akan ada titik temu :)

Ryu, permasalahannya Utamanya hanya di bahasa saja tentang kata ; jiwa / hati nurani, lihat reply nya sdr Markos tentang ini diatas. Saya memahami di Buddhis tidak ada kata jiwa/ hati nurani. tapi tidakkah saya ini seorang manusia yang menurut ilmu kedokteran manusia juga mempunyai jiwa.?
Title: Re: Manusia
Post by: ryu on 13 December 2008, 07:10:15 PM
Quote from: sukma on 13 December 2008, 07:01:19 PM
Quote from: ryu on 13 December 2008, 06:53:58 PM
Quote from: sukma on 13 December 2008, 06:46:16 PM
By Ryu
Pandangan sukma ini masuknya ke buddhism bukan? Atau punya aliran sendiri? Aliran apa yah?


Saya mencoba memposisikan diri saya diluar Buddhism, karena terlalu sempit buat saya berdiskusi secara Universal Humanity bila saya harus memakai istilah bahasa Pali yang nota bene pemahamannya ke dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. Aliran sendiri.? tidak mampu buat saya mempunyai Aliran sendiri

hal yang sederhana menurut saya dalam Buddhism itu tidak mengenal jiwa :) kalau mau di hubung2kan/disama2kan dengan Jiwa sepertinya tidak akan nyambung.
Seperti ingin menyamakan air dan api yang sudah tentu berlawanan makan tidak akan ada titik temu :)

Ryu, permasalahannya Utamanya hanya di bahasa saja tentang kata ; jiwa / hati nurani, lihat reply nya sdr Markos tentang ini diatas. Saya memahami di Buddhis tidak ada kata jiwa/ hati nurani. tapi tidakkah saya ini seorang manusia yang menurut ilmu kedokteran manusia juga mempunyai jiwa.?
apa bukan keterbatasan ilmu kedokteran juga yang mengartikan jiwa?
bingung ah :))
Title: Re: Manusia
Post by: Reenzia on 13 December 2008, 07:31:45 PM
sis sukma, menurut ilmu kedokteran, apakah jiwa itu?
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 14 December 2008, 11:16:06 AM
Quote from: Reenzia on 13 December 2008, 07:31:45 PM
sis sukma, menurut ilmu kedokteran, apakah jiwa itu?

Reenzia, buat menjawab pertanyaan anda dibawah ini saya beri referensi dari
TheFreeDictionary ; 

http://www.thefreedictionary.com/soul 

:o
Title: Re: Manusia
Post by: Reenzia on 14 December 2008, 11:45:54 AM
sis, di link yg anda berikan, soul itu hanya ada dalam dictionary
sedangkan yg saia tanyakan itu menurut ilmu kedokteran, bukan secara umum

nah setelah coba saia cari di medical dictionary tidak ditemukan adanya soul 'soul'

http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/soul (http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/soul)
Title: Re: Manusia
Post by: Nevada on 14 December 2008, 12:03:00 PM
[at] sukma

Sebagai bahan referensi penjelasan akan konsep jiwa (atta) di dalam Buddhisme :

Konsep Anatta di Buddhisme

Suatu hari adalah seorang pertapa yang bernama Vacchagotta mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah atta itu ada?" Sang Buddha diam. Kemudian, dia bertanya kembali, "Apakah atta itu tidak ada?" Namun Sang Buddha tetap diam. Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang kekal, yang tidak Ia setujui. Namun, bila Ia menjawab bahwa atta itu tiada, maka Vacchagotta akan berpikir Sang Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian.

Apakah atta yang ditolak oleh Sang Buddha itu? Kata anatta adalah kombinasi dua kata, yaitu an dan atta. An berarti tidak atau tiada, dan atta biasanya diterjemahkan sebagai jiwa atau diri. Atta dipahami sebagai inti dalam segala sesuatu, bagian terbaik dari sesuatu, bagian yang merupakan sari, bagian yang murni, sejati, indah, bagian yang menjadi penguasa, dan tak lekang oleh waktu.

Sang Buddha menjelaskan, sesuatu yang sering disebut sebagai atta (jiwa / roh) oleh awam adalah pancakkhandha (5 kelompok kehidupan / kegemaran) :

(1) Kegemaran kepada bentuk materi (rupakkhandha)
Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta , yaitu empat unsur yang terdiri dari unsur    padat, cair, panas dan gerak yang mengkondisikan fisik jasmani. Termasuk pula benda-benda dan hal-hal yang berkaitan dengan Mahabhuta    itu sendiri, seperti enam indera (mata, hidung, telinga, lidah, kulit dan batin) dengan objeknya masing-masing, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam objek pikiran (dhammayatana). Rupakkhandha adalah keseluruhan bentuk-bentuk, baik yang berada dalam tubuh kita maupun objek sasarannya.

(2)Kegemaran kepada perasaan (vedanakkhandha)
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan (perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan juga perasaan netral) yang timbul karena adanya kontak indera dengan dunia luar. Ada enam jenis perasaan, yaitu perasaan yang timbul dari kontak mata dengan wujud yang terlihat, telinga dengan suara yang terdengar, hidung dengan bebauan yang tercium, lidah dengan rasa yang terkecap, kulit dengan bentuk yang tersentuh, dan batin dengan objek pikiran (mental) yang terolah. Semua perasaan ini termasuk dalam kelompok ini. Sebaiknya terlebih dahulu kita sedikit membahas mengenai "pikiran" (manas) dalam pemahaman Buddhis.

Menurut ilmu pengetahuan, dibutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk mengembangkan pikiran dan pemahaman manusia. Banyak jenis manusia purba yang memiliki volume otak yang lebih besar dari manusia saat ini, namun tingkat kecerdasannya tidak berkembang secanggih manusia saat ini. Di antara beraneka ragam jenis makhluk di Alam Semesta ini, hanya manusia yang memiliki kecerdasan tertinggi. Hanya manusia yang dapat mengembangkan pikiran sampai menyentuh tingkat Kebijaksanaan Tertinggi. Oleh karena itulah hanya manusia yang dapat menjadi Buddha, mencapai Nibbana. Makhluk Deva dan Brahma memang memiliki kebijaksanaan tinggi. Namun struktur biologis dan kondisi alam mereka tidak memungkinkan untuk mengembangkan pikiran sampai melebihi kemampuan manusia. Makhluk Peta (hantu), Asura (jin) dan Niraya (penghuni neraka) bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kebijaksanaannya, terlebih lagi Makhluk Tiracchana (hewan).

Sedikit pembahasan, yang membuat manusia beranggapan bahwa hewan itu tidak memiliki "jiwa", "roh" atau "pribadi", adalah cara hidupnya. Cara hidup hewan adalah berpikir dengan instingnya. Insting adalah artian dari berpikir instan dan sederhana. Hewan itu hidup hanya dengan memikirkan nafsu-nafsunya, melampiaskan nafsu-nafsunya, dan mempertahankan nafsu-nasfunya. Mereka hanya hidup untuk mencari makan, bermain, bertualang dalam habitatnya, kawin, membela diri atau bertengkar untuk merebut sesuatu, serta bertahan dan melindungi diri dari perubahan alam ataupun serangan lainnya. Cara hidup mereka yang berdasarkan insting inilah yang sering dianggap manusia bahwa mereka tidak bisa berpikir, tidak punya pikiran, atau bahkan hidup mereka memang sudah "terprogram" oleh Tuhan. Perbedaan kualitas pikiran inilah yang menjadikan manusia menjadi sangat mulia di antara makhluk-makhluk lainnya.

Dari pikiran maka seseorang dapat menitikkan air matanya. Dari pikiran maka seseorang dapat diumbar nafsunya. Dari pikiran maka seseorang dapat dipancing emosinya. Dari pikiran seseorang maka hormon pun dapat dihasilkan oleh kelenjar di dalam tubuhnya. Dan dalam kenyataan sesungguhnya, dari pikiranlah maka jantung, paru-paru, darah dan segala organ tubuh kita dapat bekerja! Dalam konsep ilmu kebatinan, dari pikiranlah maka semua kekuatan gaib yang sudah kita miliki sejak lahir dapat dikembangkan dan diasah. Sudah jelas kiranya bahwa pikiran memang yang menggerakkan dunia!

Yang pertama kita harus mengerti dengan baik bahwa "manas" bukanlah "jiwa" atau "roh" sebagai lawan dari badan jasmani. Ia juga sebuah indera layaknya seperti indera-indera lainnya. Manas dapat dikendalikan dan dikembangkan seperti indera lainnya. Masing-masing indera hanya memegang satu peranan bagi sang makhluk untuk mengenali dunianya. Contohnya : kita dapat melihat warna dengan mata, dan bukannya dapat melihat suara dengan mata. Semua objek indera yang dapat langsung kita rasakan di dunia ini (seperti wujud, suara, bebauan, rasa dan bentuk) hanyalah sebagian dari isi dunia ini. Begitu pula gagasan, pikiran dan konsepsi. Mereka juga bagian dari dunia ini, dan mereka hanya dapat dirasakan oleh indera batin (pikiran).

Harus disadari bahwa pikiran dan gagasan tidaklah berdiri sendiri. Pada hakikatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman. Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide (gambaran) tentang warna, kecuali melalui perbandingan gerak udara maupun suara yang dihasilkan dari warna-warna tersebut. Dengan demikian, pikiran (yang jika mengolah suatu objek dapat menimbulkan bentuk perasaan atau vedana) adalah salah satu dari keenam indera kita yang dapat dikendalikan, dikekang, dan diarahkan ke jalan menuju kesucian.


(3)Kegemaran kepada pencerapan (sannakkhandha)
Seperti dengan perasaan, pencerapan pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan indera kita dengan objeknya masing-masing. Pencerapan juga terjadi karena indera kita mengadakan kontak dengan dunia luar, baik yang merupakan objek fisik maupun objek mental.

(4)Kegemaran kepada bentuk-bentuk pikiran (samkharakkhanda)
Kelompok ini mencakup semua kegiatan "kehendak" kita, atau yang dikenal dalam masyarakat umum dengan sebutan kamma (perbuatan atau action). Untuk berbuat sesuatu pada umumnya semua makhluk akan terlebih dahulu berkehendak. Kehendak (cetana) adalah satu bentuk kegiatan mental. Kegiatan inilah yang mengarahkan pikiran kita untuk berbuat baik, berbuat buruk, ataupun berbuat netral. Seperti perasaan dan pencerapan, kehendak ini juga terdiri dari enam jenis yang berhubungan    dengan keenam indera kita dengan objeknya masing-masing. Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan, karenanya mereka tak akan menghasilkan buah kamma (akibat). Namun kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya :
   - manasikara – perhatian
   - chanda – keinginan untuk berbuat
   - adhimokkha ¬– ketetapan hati
   - saddha – keyakinan
   - samadhi – semedi
   - panna – kebijaksanaan
   - viriya – semangat
   - raga ¬– hawa nafsu
   - patigha – rasa dengki
   - avijja – ketidaktahuan
   - mana – keangkuhan
   - sakkayaditthi – ide tentang "Aku" yang kekal dan terpisah dari jasmani maupun batin
   Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam kelompok ini.

(5)Kegemaran kepada kesadaran (vinnanakkhandha)
Kesadaran adalah reaksi yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indera kita dengan objeknya masing-masing. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran    pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indera kita yang mengadakan kontak dengan objeknya masing-masing.

Kesadaran (vinnana) bukanlah "jiwa", "Roh" atau "Aku". Banyak yang menganggap bahwa kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk berkeliling, sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengawali dari semua perbuatan. Vinnana berarti kesadaran atau juga disebut dengan citta. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita menyadari bahwa batin kita telah menangkap suatu rangsangan ketika anggota tubuh kita berhubungan dengan sesuatu, misalnya:
- terjadi kontak antara mata dengan suatu bentuk
- terjadi kontak antara jasmani dengan sentuhan
- terjadi kontak antara telinga dengan suara
- terjadi kontak antara hidung dengan bau-bauan
- terjadi kontak antara pikiran dengan situasi

Pancakkhandha ini jika bekerjasama dalam satu kombinasi sebagai "satu mesin physio-psychologic", maka kita akan mendapatkan ide tentang "Aku" itu. Namun ini adalah ide palsu. Maksudnya kalimat awal tadi hanyalah memberi info bahwa "Aku" itu adalah pancakkhandha yang berkerja bersama dalam mengarungi kehidupan. Dalam proses tumimbal lahir selanjutnya, pancakkhandha ini juga akan berubah dan menjadi orang (makhluk) lain. Namun orang (makhluk) lain itu tidak bukan sebenarnya adalah akibat dari makhluk sebelumnya. Atau dengan kata lain mereka berdua itu berbeda, namun bukanlah orang (makhluk) yang berbeda.
"Hanya penderitaan yang ada, namun tak dapat dijumpai si penderita"
"Perbuatan yang ada, tetapi tak ada si pembuat"


Tak ada penggerak yang bergerak di belakang pergerakan itu, yang ada hanyalah pergerakan itu sendiri. Penghidupan ini bukan bergerak, namun penghidupan itu sendiri merupakan pergerakkan. Keduanya bukanlah hal yang berbeda. Dengan kata lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang berpikir.
Title: Re: Manusia
Post by: Nevada on 14 December 2008, 12:11:37 PM
[at] sukma

Quote"Suatu hari adalah seorang pertapa yang bernama Vacchagotta mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah atta itu ada?" Sang Buddha diam. Kemudian, dia bertanya kembali, "Apakah atta itu tidak ada?" Namun Sang Buddha tetap diam. Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang kekal, yang tidak Ia setujui. Namun, bila Ia menjawab bahwa atta itu tiada, maka Vacchagotta akan berpikir Sang Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian."

Justru dalam ilmu pengetahuan, anatta adalah sejalan dengan penemuan ilmiah. Kisah di atas menunjukkan sikap Sang Buddha dalam menanggapi pertanyaan akan keberadaan atta. Tanggapan Sang Buddha itu mirip dengan jawaban Robert Oppenheimer, seorang ahli Fisika, yang menyatakan :

" Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab 'tidak'. Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab 'tidak'. Bila kita bertanya apakah electron bergerak, kita juga harus menjawab 'tidak'.

Dalam iptek, konsep anatta adalah selaras. Semua orang yang telah melihat teori dan fakta bahwa di dunia ini adalah paduan atom2 seharunya tidak menyanggah kalau 'makhluk' pun tersusun dari atom2 itu. Dalam konsep kedokteran, pemakaian kata "jiwa" dimaksudkan akan "suatu keberadaan yang mendukung kelangsungan fisik, yang dikenal juga dalam istilah mental atau psikis". Saya tidak pernah mendengar ilmu kedokteran menemukan fakta keberadaan 'roh'.

Title: Re: Manusia
Post by: ryu on 14 December 2008, 12:21:58 PM
Keberadaan roh dialam Peta kali yang ada mah :)
Title: Re: Manusia
Post by: Nevada on 14 December 2008, 12:23:43 PM
[at] ryu

kalau itu mah yang sering disebut oleh orang awam sebagai 'roh gentayangan'  ;D
Title: Re: Manusia
Post by: ryu on 14 December 2008, 12:32:06 PM
apakah roh yang di alam peta bisa merubah rupanya seperti orang2 terdekat kita ?
Title: Re: Manusia
Post by: ryu on 14 December 2008, 12:52:12 PM
Jawaban Buddha atas pertanyaan Uruvela Kassapa tentang ATTA

Suatu siang, kala Buddha dan Kassapa sedang berdiri di tepi sungai Neranjara, Kassapa berkata, "Gotama, di hari sebelumnya engkau menyebutkan tentang memeditasikan tubuh, perasaan-perasaan, persepsi persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Aku telah melatih meditasi itu, dan mulai dapat memahami betapa berbagai perasaan dan persepsi seseorang menentukan kualitas kehidupannya. Aku juga melihat tidak adanya elemen kekal abadi yang dapat diketemukan di dalam salah satu dari kelima sungai itu. Aku bahkan dapat melihat bahwa keyakinan akan suatu diri yang terpisah keliru adanya. Namun, aku masih belum mengerti mengapa seseorang menelusuri jalur spiritual jika tanpa adanya diri ? Siapakah yang akan menjadi terbebaskan ?

Buddha bertanya, "Kassapa, apakah engkau setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran ?"

"Ya Gotama, aku setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran".

"Apakah engkau setuju penderitaan pasti ada seban-sebabnya ?"

"Ya, aku setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"

"Kassapa, ketika sebab sebab penderitaan hadir, maka penderitaan juga hadir. Ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, maka penderitaan pun hilang."

"Ya, aku melihat ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, penderitaan itu sendiri akan hilang."

"Penyebab penderitaan adalah kebodohan bathin, suatu cara yang keliru untuk melihat realita. Berpikir bahwa yang tidak kekal sebagai kekal merupakan kebodohan bathin. Berpikir ada diri sementara tak ada yang disebut diri merupakan kebodohan bathin. Dari kebodohan bathin lahirlah keserakahan, ketakutan, iri hati, dan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya. Jalan menuju pembebasan adalah jalan untuk melihat segala sesuatu secara mendalam agar benar benar mampu memahami sifat dasar ketidak kekalan (Anicca), tiada diri yang terpisah (An-atta), akan saling ketergantungan dari segala sesuatu (Pattica Samupada). Jalan ini adalah jalan untuk mengatasi kebodohan bathin. Setelah kebodohan bathin di atasi, penderitaan pun terlampaui. Itulah pembebasan sejati. Tak perlu ada suatu diri di sana untuk dibebaskan."

....

Uruvela Kassapa duduk hening untuk sesaat, lalu berkata, "Gotama, aku tahu engkau berbicara hanya dari pengalaman langsungmu sendiri. Kata katamu tidak hanya menyatakan konsep konsep. Kau katakan pembebasan hanya dapat dicapai melalui berbagai upaya meditasi, melihat segala sesuatu secara mendalam. Apakah engkau berpikir semua upacara, ritual dan doa sama sekali tidak berguna ?"

Buddha menunjuk ke sisi seberang sungai dan berkata, "Kassapa, jika seseorang hendak menyeberang ke sisi seberang sana, apa yang seharusnya ia lakukan ?"

"Jika airnya cukup dangkal, maka dia dapat berjalan menyeberang ke sana. Jika tidak, maka dia harus berenang atau mengayuh perahu ke seberang."

"Aku setuju. Tetapi, bagaimana jika ia tidak mau berjalan menyeberang, berenang atau mengayuh perahu ? Bagaimana jika ia hanya berdiri saja di sisi sungai ini dan berdoa agar sisi sungai di seberang sana mendatangi dirinya ? Bagaimana pendapatmu tentang orang semacam ini ?"

"Aku berpendapat ia agak bodoh!"

"Demikianlah Kassapa.! Jika seseorang tidak mengatasi kebodohan bathin dan berbagai penghalang mental lainnya, maka, orang itu tak akan dapat menyeberang ke sisi lainnya menuju pembebasan. Meskipun ia menghabiskan seumur hidupnnya untuk berdoa."

Tiba tiba kassapa meledak dalam isak tangis dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan telapak kaki BUDDHA. "Gotama, aku telah menghabiskan lebih dari separuh hidupku. Mohon terimalah aku sebagai muridmu dan berikanlah aku kesempatan untuk belajar dan berlatih jalan menuju pembebasan bersamamu."
Title: Re: Manusia
Post by: sukma on 27 December 2008, 03:33:19 PM
Perkataan "Jiwa" selalu tidak mendapat tempat bagi Ajaran Buddha kita, sedangkan kita tahu manusia terdiri dari badan jasmani dan Alaya-Vijnana (kesadaran asli). Alaya-Vijnana tidak akan musnah, setelah badan akhirnya mati, dan setelah Alaya-Vijnana benar-benar meninggalkan badan, barulah seseorang di sebut mati. Namun, sesungguhnya yang mati adalah badan, bukan Alaya-Vijnana, apakah Alaya-Vijnana ini bisa di sebut JIWA.?
Title: Re: Manusia
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 27 December 2008, 04:37:18 PM
Quote from: sukma on 27 December 2008, 03:33:19 PM
Perkataan "Jiwa" selalu tidak mendapat tempat bagi Ajaran Buddha kita, sedangkan kita tahu manusia terdiri dari badan jasmani dan Alaya-Vijnana (kesadaran asli). Alaya-Vijnana tidak akan musnah, setelah badan akhirnya mati, dan setelah Alaya-Vijnana benar-benar meninggalkan badan, barulah seseorang di sebut mati. Namun, sesungguhnya yang mati adalah badan, bukan Alaya-Vijnana, apakah Alaya-Vijnana ini bisa di sebut JIWA.?

Alaya Vijnana adalah kesadaran gudang menurut mazhab Yogacara. Hal tersebut bukan hal universal dalam Buddhisme, dan sering mendapat kritikan dari aliran lain.