QuoteJika anda paham misalnya Tipitaka pali maka ini akan mendorong anda untuk menerapkannya dalam hidup sehari2....... misal jika anda tahu teori cetasika, maka anda akan berusaha untuk mengamati proses cetasika dalam batin anda. Dengan ini, anda akan tahu bagaimana akusala  cetasika itu, sehingga jika timbul, kita akan dapat mengeremnya.
jika anda fanatik/melekat maka pada batin anda akan timbul "dosa mula citta" jika kitab suci atau apapun yang dilekati itu berubah.....
Disini jelas, anda boleh tahu semua teori mengenai cetasika, tapi dalam hidup sehari-hari tidak bisa mengontrol kemarahan.
Misal anda sebagai atasan, lalu ada orang yang "ribut" dengan staf anda, anda akan merasa tersinggung.
OK, thanx buat penjelasannya. Saya memang setuju pada penerapan pada kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas kita. Misalnya kita dengki sama orang, lalu dalam teori dibahas bagaimana 'tidak bermanfaatnya' dengki itu dan dengan bantuan teori (misalnya ketika kita dengki, ingat pada pembahasannya) sehingga kita bisa menyadarinya, tentu boleh saja. Menurut saya, itu bukan fanatik sama sekali. 
Untuk yang tidak/belum masuk dalam kapasitas kita, menurut saya itulah yang berpotensi membuat orang fanatik. Misalnya Abhinna, bagi yang tidak bisa membuktikan atau tidak pernah ketemu, ada orang yang menyangkal habis2an dan ada orang yang membela habis2an tentang keberadaan Abhinna. Nah, di sini orang itu tidak mengalami dan tidak bisa membuat orang mengalami tetapi bersikukuh pada pandangannya. Inilah yang membuat orang fanatik. Kalau ditampung sebagai pengetahuan (misalnya Abhinna secara garis besar dibagi jadi 6), ya tentu saja tidak ada ke-fanatik-an di situ.  ;D
			
 
			
			
				Quote from: markosprawira on 19 June 2008, 05:14:53 PM
pandangan saya jelas karena bersumber dari Tipitaka Pali dalam hal ini, Abhidhamma yang juga selaras dengan Sutta dan Vinaya
misalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
Bagi saya sederhana saja, kitab Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... seperti dikatakan oleh Buddhadasa Mahathera, Nyanavira Thera dsb. ... Namun saya pun tidak tergantung pada kedua orang itu. ... Menurut pengalaman saya, Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... Ini bukan dogma, tapi bisa dicek oleh masing-masing praktisi MMD yang beragama Buddha ... kalau mau ... :)
Quotesemoga ini memperjelas bahwa saya hanya menyuarakan berdasar pegangan atau landasan Buddha Dhamma yang sahih, bukan atas RASA atau pengalaman pribadi yang digunakan untuk menisbikan Buddha Dhamma
karena jika ada yang berbeda dengan buddha dhamma maka dapat dipastikan bahwa ada kekeliruan pada pandangan yang berbeda itu
Ini khas pernyataan orang agama ... "Ini kitab yang sahih ... setiap interpretasi yang berbeda adalah haram ... Ahmadiyah harus dilarang." ... :) Tidak peduli di agama apa pun, pikiran seperti ini ada di setiap agama: FPI, Keristen, Buddhis ... :)
Silakan ... boleh-boleh saja, kok. ... :) MMD sudah punya pangsa pasarnya sendiri: yaitu, mereka yang ingin mencapai keheningan batin tanpa dibebani oleh kitab suci dari mana pun. ... :)  Dan ini tidak bisa dibendung dalam zaman modern ini. ... :)
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: markosprawira on 19 June 2008, 05:27:46 PM
dear pak hudoyo,
sudah jelas bahwa kita berbeda..... anda berprinsip : "pikiran terhenti"
sementara saya berdasar Abhidhamma, memegang bahwa "pikiran itu selalu eksis, hanya saja selalu berubah"...... bahkan pada lokuttara sekalipun, pikiran/kesadaran itu tetap muncul, sampai dia mencapai maha parinibbana....
end of discussion karena tidak guna jika dilanjutkan........
anumodana atas sharingnya.........
Setuju, mengakhiri diskusi antara Anda dan saya. 
hudoyo
			
 
			
			
				QuoteJangan dicampuradukkan pengalaman kekosongan dengan konsep kekosongan. :)
maaf pak , han han hanya ingin bertanya dan sekaligus menyampaikan pendapat dan menanyakan pendapat.
mengenai ini pak :
Quotepengalaman kekosongan dengan konsep kekosongan.
menurut han han " dalam KOSONG ,tidak ada dan tidak dikatakan pengalaman Kekosongan, apalagi Konsep Kekosongan"
dan bukankah bapak sudah menulis seperti kalimat yg dibawah ini  ??( bold )
QuoteApa yang diuraikan dengan kata-kata di sini adalah konsep, itu bukan kekosongan itu sendiri ... Kata-kata itu perlu untuk mengkomunikasikan sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa dikomunikasikan. ... 
bapak menulis  
pengalaman kekosongan dengan konsep kekosongan. dan pada kalimat diatas juga tertulis 
itu bukan kekosongan itu sendiri, secara tidak langsung bapak mengetahui bahwa Kosong adalah Kosong dan tidak dapat diuraikan, hanya kalimat yang bapak pakai adalah " Konsep Kekosongan " dan " itu bukan Kekosongan itu sendiri ".
pertanyaan han han , kalau Kosong bukanlah Kosong yg sesungguhnya ( apabila dibicarakan ) , kenapa Kosong harus dikonsep dan dibicarakan ??
bukankah dengan dikonsep dan dibicarakan malah tidak membicarakan kosong yg sesungguhnya ??
jadi apa yg mau diambil hikmahnya kalo yg dibicarakan bukan kosong yg sesungguhnya ??
QuoteSang Buddha mengajarkan tentang nibbana ...
han han lebih cenderung memakai kalimat bahwa " Sang Buddha mengabarkan / membabarkan  tentang Nibbana "
Quotetapi konsep nibbana bukanlah pengalaman nibbana itu sendiri ...
maafkan han han yg masih muda pak , merujuk darikata " Membabarkan" maka Nibbana tidak di Konsep dan memang setau han han tidak ada Konsep Nibbana.
jadi seharusnya dan yg memang sudah terjadi adalah " Pengalaman BERNIBBANA yg sudah disampaikan , bukan ajaran dan Konsep  Bernibbana yg disampailkan.
QuoteTapi Sang Buddha perlu mengkomunikasikan pengalaman batinnya sendiri kepada orang lain ...
kata " mengkomunikasikan " yg bapak sampaikan disini adalah sangat berbeda dengan kata " mengajarkan " pada Kalimat bapak 
"Sang Buddha mengajarkan tentang nibbana ..., makanya saya lebih suka menggunakan kata " membabarkan/ menyampaikan.
QuoteJadi, sekali lagi, jangan dicampuradukkan konsep kekosongan dengan pengalaman kekosongan ... Konsep kekosongan diperlukan sebagai telunjuk yang menunjuk kepada rembulan bagi mereka yang benar-benar serius ingin mengalami kekosongan. ... Perkara orang mau menggunakan telunjuk itu atau tidak, tidak relevan buat saya ... :)
Pak Hudoyo ... han han  tidak membicarakan tentang Konsep atau Pengalaman Kekosongan , yg han han tanya dan sampaikan  adalah :
Kosong adalah Kosong. dan kalau Kosong sudah dibicarakan maka dia sudah bukan Kosong  lagi.
jadi mempertanyakan dan membahas Kosong dengan Pengalaman Kekosongan apalagi dengan Konsep Kekosongan adalah pembahasan yg bukan Kosong .
QuoteLho, kok lucu ... Kalau Anda mengatakan bahwa apa yang saya katakan tidak benar, untuk apa Anda minta tuntunan lebih jauh kepada saya. ... :)
pak Hudoyo .. kita memang berbeda usia yg cukup jauh. jadi han han yg muda minta maaf lebih dulu dan kalu bapak pernah juga berusia muda kiranya bapak juga mengerti pertanyaan seorang anak muda .
so ..han han tidak  menulis bahwa perkataan/ kalimat bapak tidak benar .
kalau han han katakan bahwa tulisan bapak tidak benar , seharusnya tulisan han han yg benar , karna tanpa ada yg benar atau dirasa benar, maka nggak mungkin terlihat yg tidak benar .
tapi disini bapak menyampaikan / mengutip kalimat² dari ajaran Buddha ( pihak ketiga ) dan kalau saya mempertanyakan kalimat² penyampain Bapak apakah tidak lebih baik saya sampaikan  pendapat saya juga sebagai perbandingan , ada yg keliru pak  ??
QuoteSilakan saja Anda mengatakan bahwa apa yang saya katakan tidak benar. ... Saya tidak tersinggung, kok ... :) 
pak Hudoyo .. han han udah tulis beberapa kali bahwa han han tidak mengatakan bahwa apa yg bapak tulis " tidak benar " dan tidak ingin menyinggung bapak.maaf saya kalo bapak merasa demikian.
sekali lagi pendapat han han  adalah " kosong yg dibicarakan adalah bukan kosong " 
QuoteBerkali-kali saya katakan ... ada banyak jalan untuk sampai pada pembebasan ... MMD salah satunya ... Dan saya berkata, tidak ada SATU jalan yang COCOK untuk SEMUA orang. ... 
satu , dua kali han han ada baca tulisan bapak mengenai MMD , tapi maaf pak Hudoyo , tidak ada hubungannya dengan pertanyaan  han han. Han han hanya bertanya Kosong yg dibicarakan adalah bukan kosong.
QuoteNah, silakan memilih jalan Anda sendiri ... saya tidak perlu menyanggah Anda yang tidak membenarkan kata-kata saya. .... :)
pak .. han han masih bertanya mengenai Kekosongan , bukan mempermaslahkan pilihan jalan.
mohon jangan dikomentarkan lagi yah pak.
QuoteCuma kalau boleh saya beri saran: jika Anda sudah memilih satu jalan ... Anda tidak perlu mengatakan jalan orang lain tidak benar ... Setuju, bukan? ... :)
Salam,
hudoyo
saran bapak han han terima dengan senang hati dan akan han han perhatikan buat selanjutnya, tapi tema yg han han tanyakan adalah
tetap " Kosong yg dibicarakan adalah bukan Kosong yg sebenarnya", dan han han tidak ingin / sedang mempermasalhkan pilihan bapak.
salam dari han han 
[/quote]
			
 
			
			
				Rekan Han Han,
Tampaknya Anda mau berdebat tentang 'konsep' dan 'pengalaman'.
Lalu Anda mempermasalah kata 'mengkomunikasikan' dan 'mengajarkan' yang saya gunakan, dan lebih suka memakai kata 'membabarkan' ... yang menurut saya, ini cuma debat kusir. ... :)
Anda mengatakan bahwa "Nibbana bukan konsep". ... Rekan Han Han, sekali lagi saya nyatakan dengan tegas, bagi seorang yang belum mencapai nibbana, seperti Anda dan saya, maka 
Nibbana ADALAH konsep. ... Kalau ini Anda tolak, maka saya tidak bisa memahami jalan pikiran Anda ... dan sorry, saya mengundurkan diri dari debat ini. ... :)
Anda terus mempersoalkan "Mengapa kosong harus dikonsep dan dibicarakan"? ... Padahal dalam posting lalu saya sudah mencoba menjelaskannya ... Kalau Anda terus bertanya seperti ini, maka cuma  ada dua kemungkinan: (1) Anda tidak memahami penjelasan saya, atau (2) Jalan pikiran Anda sangat berbeda dengan jalan pikiran saya ... Dalam kedua hal itu, tidak ada gunanya debat ini diteruskan ...
Sekali lagi, saya jelaskan di sini, kepada Anda (kalau Anda mau mengerti) dan kepada seluruh pembaca di forum ini:
Bagi orang yang belum mencapainya, 'Nibbana' adalah konsep.
Bagi orang yang belum mengalaminya, 'su~n~nata'(kekosongan) adalah konsep.
SETIAP KATA YANG DIGUNAKAN MANUSIA UNTUK BERPIKIR ADALAH KONSEP. Dan dalam hal-hal yang abstrak, kata (konsep) tidak bisa menggantikan apa yang dikatakan (dikonsepsikan).Dalam bahasa Pali ini disebut 
'ma~n~nati' = conceiving = mengkonsepsikan.
Silakan baca 
Mulapariyaya-sutta (MN 1): Di situ Sang Buddha berkata bahwa 
seorang puthujjana selalu mengkonsepsikan ('ma~n~nati') segala sesuatu: tanah, air, api, udara ... sampai 'nibbana'. 
Di situ Sang Buddha juga mengajarkan bahwa 
seorang yang tengah berlatih, hendaknya tidak memikir-mikir tentang segala sesuatu, termasuk konsep 'nibbana'.Di situ Sang Buddha akhirnya menyatakan bahwa 
dalam batin seorang arahat tidak ada lagi konsep 'nibbana' (nibbana na ma~n~nati).Lalu, Anda masih mengejar terus sekalipun sudah saya jelaskan, kenapa Kosong harus dikonsep dan dibicarakan ??
Nah, mengapa Sang Buddha mengajarkan (saya tetap pakai kata 'mengajarkan') konsep 'nibbana' kepada orang-orang yang belum mencapai nibbana?
Mengapa Sang Buddha dan saya mengajarkan konsep 'su~n~nata' (kekosongan) kepada orang yang belum mengalami kekosongan?
Silakan dipikirkan sendiri ... Pertanyaan seperti ini tidak perlu saya jawab. ...Nah, Rekan Han Han, kalau Anda masih menyanggah juga apa yang saya sampaikan di atas, jelas Anda tidak bisa mengikuti jalan pikiran saya (dan saya tidak bisa mengikuti jalan pikiran Anda) ... Dalam hal itu saya tidak bisa menjelaskannya lebih baik lagi kepada Anda, dan saya akan mengundurkan diri dari diskusi ini.
Quotepak Hudoyo .. han han udah tulis beberapa kali bahwa han han tidak mengatakan bahwa apa yg bapak tulis " tidak benar " dan tidak ingin menyinggung bapak.maaf saya kalo bapak merasa demikian.
Lha yang Anda tulis ini apa artinya:
QuoteJadi menurut han han kalimat 
Hudoyo: Itulah vipassana sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Tidaklah tepat atau malah tidak benar.
Jadi, jelas: (1) entah Anda lupa; (2) entah Anda tidak jujur; (3) Entah pikiran Anda tidak bisa saya ikuti.
Dalam ketiga hal itu, saya tidak perlu lagi menanggapi Anda. Sampai di sini saja.
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: hudoyo on 19 June 2008, 06:02:12 PM
Quote from: markosprawira on 19 June 2008, 05:14:53 PM
pandangan saya jelas karena bersumber dari Tipitaka Pali dalam hal ini, Abhidhamma yang juga selaras dengan Sutta dan Vinaya
misalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
Bagi saya sederhana saja, kitab Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... seperti dikatakan oleh Buddhadasa Mahathera, Nyanavira Thera dsb. ... Namun saya pun tidak tergantung pada kedua orang itu. ... Menurut pengalaman saya, Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... Ini bukan dogma, tapi bisa dicek oleh masing-masing praktisi MMD yang beragama Buddha ... kalau mau ... :)
Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mulapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja
Sementara dalam abhidhamma, pada setiap proses saja, minimal sudah terjadi 1 proses pikiran yang terdiri dari 17 citta (minimal loh, sehingga pada kenyataannya terdiri dari banyak citta). Jadi walau hanya ada proses pertama saja pada lokuttara, itu berarti setidaknya sudah terjadi 1 proses citta atau 17 citta/pikiran.
Karena itu, cetasika yang dominan pada lokuttara adalah Panna, bukan cetana seperti pada lokiya.
Disini jelas bahwa Abhidhamma dapat menjelaskan sutta (dan juga vinaya mengenai dasar aturannya) dengan lebih jelas dan selaran, yang notabene menjadi salah satu acuan anda mengenai "citta/pikiran". Jika penasaran, hal ini bisa anda tanyakan ke praktisi Abhidhamma
Tentang kesahihan Abhidhamma : Kembali disini anda bertentangan dengan ucapan anda sendiri mengenai asas kemanfaatan yang pernah diangkat oleh bro willibordus. 
Anda tidak mau melirik Abhidhamma, hanya karena asumsi 
"Abhidhamma bukan ajaran Buddha". 
Kenapa saya bilang ini asumsi?? karena anda pun sudah menyatakan 
"tidak bisa membuktikan apakah itu dari mulut Buddha atau bukan" (semoga anda masih ingat menyatakan hal ini dalam thread yang sama)
Sementara jika berdasar asas kemanfaatan, yang anda sudah setujui pada thread yang sama : 
tidaklah penting apakah itu keluar dari mulut buddha atau ajaran buddha, yang penting adalah bahwa ajaran itu bisa membawa ke arah pencapaian nibbana.
Quote from: hudoyo on 19 June 2008, 06:02:12 PM
Quotesemoga ini memperjelas bahwa saya hanya menyuarakan berdasar pegangan atau landasan Buddha Dhamma yang sahih, bukan atas RASA atau pengalaman pribadi yang digunakan untuk menisbikan Buddha Dhamma
karena jika ada yang berbeda dengan buddha dhamma maka dapat dipastikan bahwa ada kekeliruan pada pandangan yang berbeda itu
Ini khas pernyataan orang agama ... "Ini kitab yang sahih ... setiap interpretasi yang berbeda adalah haram ... Ahmadiyah harus dilarang." ... :) Tidak peduli di agama apa pun, pikiran seperti ini ada di setiap agama: FPI, Keristen, Buddhis ... :)
Silakan ... boleh-boleh saja, kok. ... :) MMD sudah punya pangsa pasarnya sendiri: yaitu, mereka yang ingin mencapai keheningan batin tanpa dibebani oleh kitab suci dari mana pun. ... :)  Dan ini tidak bisa dibendung dalam zaman modern ini. ... :)
mengenai pernyataan orang agama : silahkan anda berkata seperti itu, hanya saja seperti yang sudah saya sebut diatas bahwa abhidhamma dapat menjelaskan sutta (serta vinaya) dengan lebih jelas
pun selaras dengan asas kemanfaatan, abhidhamma, sutta dan vinaya jika dijalankan dengan benar, membawa banyak perkembangan pada batin menuju yang lebih baik
ini yang meyakinkan saya bahwa ini adalah ajaran yang benar, karena pada Simsappa Sutta, Buddha menyebut bahwa ajarannya bagai segenggam daun di hutan Simsappa, namun dengan hanya segenggam ini saja, mampu membawa ke arah pembebasan
Jadi maaf, bukan saya fanatik dengan buddhism, lebih tepatnya melekat pada kebenaran yang membawa manfaat. 
mengenai MMD anda : anumodana jika itu memang membawa manfaat bagi banyak orang........  _/\_
hanya saja, jika untuk penerapan Mahapariyaya yang sudah jelas merupakan citta vitthi saja, sudah melenceng, maaf saja karena hasilnya tentunya juga akan melenceng
Karena itu maaf jika saya tidak tertarik dengan MMD, karena abhidhamma lebih bisa memberikan penjelasan mengenai citta, cetasika dan rupa serta penerapan dalam hidup sehari-hari, tidak hanya untuk meditator saja.
NB : di kelas abhidhamma juga sudah banyak orang non buddhis yang merasakan manfaat. Ada dokter muslim yang menyebut dirinya "universalis", juga ada beberapa kristiani yang kritis, yang menyatakan dirinya "selaras dengan pemikiran buddhis", yang ikut beranjali dan menghormat guru Buddha karena sedemikian agungnya ajaran Guru Buddha.
Betul yang anda bilang, masing-masing ada "pangsa pasarnya" sendiri-sendiri, sesuai dengan perkembangan batin masing-masing.
Karena sudah jelas saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.  ^:)^
anumodana  _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 19 June 2008, 05:36:38 PM
OK, thanx buat penjelasannya. Saya memang setuju pada penerapan pada kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas kita. Misalnya kita dengki sama orang, lalu dalam teori dibahas bagaimana 'tidak bermanfaatnya' dengki itu dan dengan bantuan teori (misalnya ketika kita dengki, ingat pada pembahasannya) sehingga kita bisa menyadarinya, tentu boleh saja. Menurut saya, itu bukan fanatik sama sekali. 
Untuk yang tidak/belum masuk dalam kapasitas kita, menurut saya itulah yang berpotensi membuat orang fanatik. Misalnya Abhinna, bagi yang tidak bisa membuktikan atau tidak pernah ketemu, ada orang yang menyangkal habis2an dan ada orang yang membela habis2an tentang keberadaan Abhinna. Nah, di sini orang itu tidak mengalami dan tidak bisa membuat orang mengalami tetapi bersikukuh pada pandangannya. Inilah yang membuat orang fanatik. Kalau ditampung sebagai pengetahuan (misalnya Abhinna secara garis besar dibagi jadi 6), ya tentu saja tidak ada ke-fanatik-an di situ.  ;D
dear Kai,
salah satu iklan yang saya ingat adalah "Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan"
selaras dengan ini, Buddha menyatakan dalam Dhammapada bahwa sia-sia orang hidup 100 tahun tapi tidak mempraktekkan Dhamma.
Lebih baik orang hidup hanya sehari, namun mempraktekkan Dhamma.
Disini jelas, bahwa orang "harus" tahu Dhamma terlebih dahulu, baru kemudian mempraktekkannya.
Yang menjadi sumber keributan adalah :
1. ada yang tahu Dhamma tapi tidak mempraktekkan : sama seperti sendok pada sup. Hanya bisa mengantarkan sup (baca : bicara Dhamma) tapi yang tidak bisa merasakan rasanya sup (baca : manfaat Dhamma).
2. Ada yang mempraktekkan tapi tidak berdasar Dhamma : sama seperti orang diberi pisau tapi tidak diberitahu bahwa pisau digunakan untuk memotong sayur, buah. Karena itu, ada kemungkinan, orang itu akan menggunakannya untuk membunuh orang lain.
Semoga diskusi kita ini bisa membawa manfaat yah.......
			
 
			
			
				Wah.. Ditendang ke sini. OOT yah?!  ;D
QuoteDisini jelas, bahwa orang "harus" tahu Dhamma terlebih dahulu, baru kemudian mempraktekkannya.
Kalo di sini, saya setengah setuju. Dhamma atau kebenaran, tidak hanya ada dalam satu ajaran (agama). Dhamma itu ada di dalam kehidupan kita sehari-hari. Jadi ada kebenaran yang kita jalankan sebagai kebenaran tanpa tahu teori/ajaran tentang kebenaran itu. Contohnya, dalam satu masyarakat yang tidak mengenal agama, ada orang yang serakah dan ada yang tidak serakah. Yang tidak serakah ini merasakan bahagia dengan merasa cukup tanpa adanya teori bahwa "keinginan = dukkha" dan sebagainya. Dia menjalankan kebenaran itu sendiri tanpa tahu teori/ajaran kebenaran itu. 
Untuk hal yang lain, saya setuju memang ada yang "diperkenalkan" lebih dahulu, baru dijalankan. Misalnya Abhinna dalam contoh sebelumnya, ada orang yang tidak tahu abhinna karena memang tidak ada di komunitasnya. Lalu kemudian ada yang mengajarkan bagaimana mengembangkan Abhinna, dan dia mempraktekkannya. 
Quote1. ada yang tahu Dhamma tapi tidak mempraktekkan : sama seperti sendok pada sup. Hanya bisa mengantarkan sup (baca : bicara Dhamma) tapi yang tidak bisa merasakan rasanya sup (baca : manfaat Dhamma).
Ini benar, tetapi di titik lain, ada juga yang pernah makan sup, tapi tidak tahu itu namanya sup. 
Quote2. Ada yang mempraktekkan tapi tidak berdasar Dhamma : sama seperti orang diberi pisau tapi tidak diberitahu bahwa pisau digunakan untuk memotong sayur, buah. Karena itu, ada kemungkinan, orang itu akan menggunakannya untuk membunuh orang lain.
Ya, ini namanya 'malpraktek', bisa karena praktek sesuka hati ataupun pemahaman teori yang salah. 
Karena saya sendiri tidak tahu bagaimana mengukur teori atau praktek, maka saya pribadi melihat berdasarkan perilaku dan pola pikirnya dalam kehidupan sehari-hari. 
			
 
			
			
				Quote from: markosprawiramisalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
ada kok, nirodha-samapatti vithi ;)
			
 
			
			
				 [at] Kai : lebih tepatnya "disalurkan kesini" he3.......
mengenai perilaku dan pola pikir : betul sekali yang anda sebutkan. Lihatlah dari perilaku dan pola pikir sehari-harinya, bukan dari "sosok"
itu pula yang selalu ditekankan oleh mentor kami mengenai "kultus individu". Banyak orang yang hanya melihat pada sosok "tokoh", bukan pada kebenaran yang diberitahukannya
Ini membuat orang membela secara "membuta" dan "fanatik"/melekat" namun jika ternyata ada perilaku yang tidak sesuai, banyak orang yang kecewa.
Padahal jika melihat pada kebenaran, Buddha sendiri menyebutkan dalam Simsappa Sutta bahwa kebenaran itu amat sangat buanyak sekali, namun "tidak semua" membimbing ke arah nibbana.
Ini dapat dilihat pada Dhammapada 364 sbb : 
Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan gembira dalam Dhamma, yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia. 
Jadi tidak masalah kebenaran diucapkan oleh siapapun, bahkan oleh seorang anak kecil.
Yang masalah adalah jika yang diucapkan itu bukanlah suatu kebenaran yang sesuai dengan Buddha Dhamma
Itu yang Buddha nyatakan dalam Dhammapada 392 :
Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.
Semoga bisa memberi pencerahan bagi kita semua...........
			
			
			
				Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 09:19:03 AM
Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mahapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja
maaf ya ini sepertinya ditujukan ke Pak Hudoyo, tetapi saya ingin menjawab :P
1 tahapan kognisi tanpa disertai oleh konsep pikiran (apa sih istilah Pak Hud) menurut saya tidak dapat di-porsikan, apakah ini 1 citta ataupun 17 citta... 
Quote
Sementara dalam abhidhamma, pada setiap proses saja, minimal sudah terjadi 1 proses pikiran yang terdiri dari 17 citta (minimal loh, sehingga pada kenyataannya terdiri dari banyak citta). Jadi walau hanya ada proses pertama saja pada lokuttara, itu berarti setidaknya sudah terjadi 1 proses citta atau 17 citta/pikiran.
menurut saya simple saja, pembedahan setiap orang berbeda 
bahkan utk objek yg sama.
misalnya pertanyaan saya, "ada berapa tahapan cara kita buang air?".
seseorang bisa saja hanya membedahnya "buka, keluarkan & lepaskan (3)"
& yg lain mungkin bisa dibedah lebih halus lagi "tangan ke resleting, dst... (n)"
& dalam hal ini tdk dapat dikatakann 
salah satu lebih baik"Quote
hanya saja, jika untuk penerapan Mahapariyaya yang sudah jelas merupakan citta vitthi saja, sudah melenceng, maaf saja karena hasilnya tentunya juga akan melenceng
saya sendiri, dalam meditasipun belum sampai dpt melihat tahapan citta-vitthi.
jd saya tidak pantas men-judge citta-vitthi adalah kebenaran ataupun ketidakbenaran...
Quote
Karena itu maaf jika saya tidak tertarik dengan MMD, karena abhidhamma "lebih" bisa memberikan penjelasan mengenai citta, cetasika dan rupa serta penerapan dalam hidup sehari-hari, tidak hanya untuk meditator saja.
lebih itu subjektif lho... ;)
Quote
Karena sudah jelas saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.  ^:)^
dan sebaliknya :)
jadi mari kita hargai perbedaan :)
_/\_
			
 
			
			
				Quote[at] Kai : lebih tepatnya "disalurkan kesini" he3.......
mengenai perilaku dan pola pikir : betul sekali yang anda sebutkan. Lihatlah dari perilaku dan pola pikir sehari-harinya, bukan dari "sosok"
itu pula yang selalu ditekankan oleh mentor kami mengenai "kultus individu". Banyak orang yang hanya melihat pada sosok "tokoh", bukan pada kebenaran yang diberitahukannya
Ini membuat orang membela secara "membuta" dan "fanatik"/melekat" namun jika ternyata ada perilaku yang tidak sesuai, banyak orang yang kecewa.
Padahal jika melihat pada kebenaran, Buddha sendiri menyebutkan dalam Simsappa Sutta bahwa kebenaran itu amat sangat buanyak sekali, namun "tidak semua" membimbing ke arah nibbana.
Ini dapat dilihat pada Dhammapada 364 sbb :
Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan gembira dalam Dhamma, yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.
Jadi tidak masalah kebenaran diucapkan oleh siapapun, bahkan oleh seorang anak kecil.
Yang masalah adalah jika yang diucapkan itu bukanlah suatu kebenaran yang sesuai dengan Buddha Dhamma
Itu yang Buddha nyatakan dalam Dhammapada 392 :
Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.
Semoga bisa memberi pencerahan bagi kita semua...........
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 10:36:09 AM
Quote from: markosprawiramisalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
ada kok, nirodha-samapatti vithi ;)
dear tesla,
sepengetahuan saya, ini mirip dengan "berdiam dalam jhana", atau masuk ke "nibbana".... cmiiw....
hanya saja disini bukan "terhenti" atau "stop", hanya "halt".....
kasus mirip kaya seolah kalo sudah mencapai nibbana, maka orang itu dianggap selalu berada dalam "nibbana"...... itu yang mendasari "terhenti" atau "stop"
Padahal sebenarnya pada kesehariannya, beliau tidak selalu berada dalam nibbana.... misal pada saat makan, maka dia terpusat pada makan itu
semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah.........
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 11:14:23 AM
Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 09:19:03 AM
Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mahapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja
maaf ya ini sepertinya ditujukan ke Pak Hudoyo, tetapi saya ingin menjawab :P
1 tahapan kognisi tanpa disertai oleh konsep pikiran (apa sih istilah Pak Hud) menurut saya tidak dapat di-porsikan, apakah ini 1 citta ataupun 17 citta... 
mirip kaya proses scanning di scanner komputer, bro....... pada mereka yang hanya melihat lampu scanner berjalan, maka "seolah" scanning hanya terjadi 1x saja, dari awal lampu nyala, sampai lampu mati........ jadi kalau dihentikan di tengah jalan, maka dianggap scanning itu belum terjadi.... 
bagi yang tahu proses, dapat diketahui bahwa setiap saat optik scanner itu selalu bekerja sehingga walau dihentikan di tengah, tetap saja optik sudah bekerja.
demikian juga:
pengertian pak hud : tahapan kognisi 1 - 6 harus terpenuhi, baru itu 1 citta....
menurut abhidhamma : pada tahap 1 (ada 17 citta sesuai citta vitthi), pada tahap 2 (minimal ada 17 citta, bisa juga lebih), dst...dst.....
singkatnya : tahap 1 mengenali apa adanya..... masuk tahap 2, masuk persepsi2 kita akan bentuk (jadi bisa terjadi banyak proses citta disini), masuk tahap 3 misalnya warna, dst...dst..... 
demikianlah proses kognisi menurut penjelasan abhidhamma
Maaf saya sedang ada urusan, sisanya akan saya lanjutkan nanti......... anumodana
			
 
			
			
				Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 11:28:14 AM
dear tesla,
sepengetahuan saya, ini mirip dengan "berdiam dalam jhana", atau masuk ke "nibbana".... cmiiw....
kalau berdasarkan penjelasan pada "
Buddha Abhidhamma - Ultimate Science" karya Dr. Mehm Tin Mon, 
dijelaskan citta vitthi jhana adalah : 
Jha(na)-Jha-Jha-dst...-Bha (diakhiri dg bavanga)
sedang nirodha-samapatti adalah : Jha8-
...(tidak ada)...-pha(la) (kalau anagami maka anagami phala, kalau arahat ya arahat phala)
kutipannya:
Now the person develops the aråpàvacara fourth-jhàna and
soon after the occurrence of neva-sa¤¤à-n'àsa¤¤à-yatana citta as
appanà-javana for two conscious moments, the stream of
consciousness is cut off—no cittas, cetasikas and cittaja-råpa
(corporeality formed by citta) arise any more.sekedar info, soal resolusi sebelum nirodha-samapatti ini cocok pula dg pengakuan pengalaman pak Hud ;D
tetapi kemungkinannya adalah:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^
Quote
hanya saja disini bukan "terhenti" atau "stop", hanya "halt".....
kasus mirip kaya seolah kalo sudah mencapai nibbana, maka orang itu dianggap selalu berada dalam "nibbana"...... itu yang mendasari "terhenti" atau "stop"
Padahal sebenarnya pada kesehariannya, beliau tidak selalu berada dalam nibbana.... misal pada saat makan, maka dia terpusat pada makan itu
semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah.........
setuju... dalam hal ini sebenarnya cuma ada perbedaan bahasa, sedangkan maknanya sama.
PS: saya merasa janggal juga Pak Hud ini selalu berusaha membagi ariya menjadi sekha (berhenti partial) & arahat (berhenti total) saja. bukan sotapanna, sakadagami, anagami & arahat... ;D kenapa pak?
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 01:17:27 PM
kalau berdasarkan penjelasan pada "Buddha Abhidhamma - Ultimate Science" karya Dr. Mehm Tin Mon, 
dijelaskan citta vitthi jhana adalah : Jha(na)-Jha-Jha-dst...-Bha (diakhiri dg bavanga)
sedang nirodha-samapatti adalah : Jha8-...(tidak ada)...-pha(la) (kalau anagami maka anagami phala, kalau arahat ya arahat phala)
kutipannya:
Now the person develops the aråpàvacara fourth-jhàna and
soon after the occurrence of neva-sa¤¤à-n'àsa¤¤à-yatana citta as
appanà-javana for two conscious moments, the stream of
consciousness is cut off—no cittas, cetasikas and cittaja-råpa
(corporeality formed by citta) arise any more.
sekedar info, soal resolusi sebelum nirodha-samapatti ini cocok pula dg pengakuan pengalaman pak Hud ;D
tetapi kemungkinannya adalah:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^
dear tesla,
jika demikian berarti ini jalur jhana khan??? alias samatha??? cmiiw........
seperti yang kita tahu, jalur untuk kesucian ada 2 yaitu :
1. samatha dan lanjut ke vipassana
2. vipassana langsung
dan sepengetahuan saya, pak hud selalu menyebut vipassana2.... tidak samatha....... cmiiw....
Quote from: tesla on 20 June 2008, 01:17:27 PM
Quote
hanya saja disini bukan "terhenti" atau "stop", hanya "halt".....
kasus mirip kaya seolah kalo sudah mencapai nibbana, maka orang itu dianggap selalu berada dalam "nibbana"...... itu yang mendasari "terhenti" atau "stop"
Padahal sebenarnya pada kesehariannya, beliau tidak selalu berada dalam nibbana.... misal pada saat makan, maka dia terpusat pada makan itu
semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah.........
setuju... dalam hal ini sebenarnya cuma ada perbedaan bahasa, sedangkan maknanya sama.
PS: saya merasa janggal juga Pak Hud ini selalu berusaha membagi ariya menjadi sekha (berhenti partial) & arahat (berhenti total) saja. bukan sotapanna, sakadagami, anagami & arahat... ;D kenapa pak?
kahn udah jelas bro...... itu berdasar pengalaman....... jadi saya rasa terserah yang mengalami mo menyebut apa yah... he3......
makanya itu kenapa saya bilang : 
saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, dan begitu juga sebaliknya (tambahan tesla) berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.kalau tesla mo bertanya, pakailah alur yang sesuai dengan yang dipegang oleh si pencetus...... kalau udah beda alur, yah susyah.... he3...... seperti membandingkan jeruk dan apel.....
			
 
			
			
				_/\_
			
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 11:14:23 AM
menurut saya simple saja, pembedahan setiap orang berbeda bahkan utk objek yg sama.
misalnya pertanyaan saya, "ada berapa tahapan cara kita buang air?".
seseorang bisa saja hanya membedahnya "buka, keluarkan & lepaskan (3)"
& yg lain mungkin bisa dibedah lebih halus lagi "tangan ke resleting, dst... (n)"
& dalam hal ini tdk dapat dikatakann salah satu lebih baik"
disini bro tesla belum melihat perbedaannya........
versi pak hud : 1 pikiran/citta = 6 tahap, jadi kalau hanya ada 1 tahap, berarti itu bukan 1 pikiran/citta.......
versi abhidhamma : ada 6 tahap dalam mengenali objek.
pada setiap tahap, minimal terdiri dari 1 proses citta/citta vitthi yang terdiri dari 17 citta
jadi walau di lokuttara hanya ada "tahap 1" saja, itu berarti proses citta tetaplah terjadi alias tidak terhenti.
Hanya saja kesadaran yang muncul adalah "apa adanya", gambar hanya gambar, perpaduan dari coretan, warna, dll...... bukanlah gambar yang indah atau gambar yang jelek.
Pada kasus BAB,
versi pak hud : usaha di BAB itu adalah dari buka celana sampai pakai celana lagi. Jadi kalau cuma buka celana aja, itu belum ada usaha untuk BAB
versi abhidhamma : buka celana adalah usaha utk BAB, menaruh celana adalah usaha untuk BAB, duduk adalah usaha untuk BAB.
Jadi walau cuma baru buka  celana, itu sudah merupakan usaha untuk BAB
perbedaan sangat besar pada saat anda ditanya : apa anda udah usaha untuk BAB?? karena jawaban no. 1 tidak ada usaha, sementara jawaban no. 2 iya, sudah ada usaha
Quote from: tesla on 20 June 2008, 11:14:23 AM
saya sendiri, dalam meditasipun belum sampai dpt melihat tahapan citta-vitthi.
jd saya tidak pantas men-judge citta-vitthi adalah kebenaran ataupun ketidakbenaran...
saya berpegang pada citta vitthi bahwa pada setiap tahap itu sudah terjadi (minimal) 17 citta
dan seperti yang saya sebut, bahwa Abhidhamma dalam hal ini dapat menjelaskan Sutta (dan juga Vinaya)
Quote from: tesla on 20 June 2008, 11:14:23 AM
lebih itu subjektif lho... ;)
sebagai putthujana, saya akui bahwa saya melekatkan diri kepada untuk konsep yang sampai sejauh ini, membawa manfaat besar bagi diri saya. _/\_
itu  dilakukan dalam usaha saya untuk membedakan mana yang akusala dan mana yang kusala di dalam usaha untuk mengurangi akusala kamma dan memperbanyak kusala kamma
kembali ke rakit : bahwa konsep masih dibutuhkan untuk sampai ke pantai seberang.
tapi tentunya konsep ini berbeda dengan pak hud...... jadi saya tidak ingin memperpanjang lagi  _/\_
the choice is yours, my bro.......
			
 
			
			
				diskusi makin HOT aja nh...
gw ga jago teori apapun, ga jago praktek apapun...
ingat aja...
100.000 anak sungai, 84.000 mengarah ke laut, sisanya ga tau ngalir kmana...
pintar2 lah dalam mencari anak sungai untuk dilalui..
dengan mengingat keuntungan kelahiran sebagai manusia, mari dalam kehidupan ini kita belajar dari Guru yang sesuai dan dengan ajaran yang tetap bernanung pada Triratna
			
			
			
				Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 01:56:18 PM
dear tesla,
jika demikian berarti ini jalur jhana khan??? alias samatha??? cmiiw........
yah itu dia... saya masih ingat kok bahwa nirodha-samapatti hanya exclusive milik arahat & anagami yg menguasai rupa & arupa jhana (dalam penjelasan abhidhamma) ;)
oleh krn itu saya sebutkan kemungkinan itu:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^
Quote
dan sepengetahuan saya, pak hud selalu menyebut vipassana2.... tidak samatha....... cmiiw....
yup sudah jelas, artinya dalam pengalaman pak hud, utk masuk ke nirodha-samapatti (saya yg beri nama ini :) ) tidak perlu jhana.
kemungkinannya adalah 3 yg tadi ^-^
Quote
kahn udah jelas bro...... itu berdasar pengalaman....... jadi saya rasa terserah yang mengalami mo menyebut apa yah... he3......
makanya itu kenapa saya bilang : saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, dan begitu juga sebaliknya (tambahan tesla) berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.
kalau tesla mo bertanya, pakailah alur yang sesuai dengan yang dipegang oleh si pencetus...... kalau udah beda alur, yah susyah.... he3...... seperti membandingkan jeruk dan apel.....
yah sekedar saran & pendapat, menurut saya yg paling utama adalah pengalaman sendiri, bukan tipitaka ataupun pengalaman orang lain.
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 04:09:30 PM
yah itu dia... saya masih ingat kok bahwa nirodha-samapatti hanya exclusive milik arahat & anagami yg menguasai rupa & arupa jhana (dalam penjelasan abhidhamma) ;)
oleh krn itu saya sebutkan kemungkinan itu:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^
yup sudah jelas, artinya dalam pengalaman pak hud, utk masuk ke nirodha-samapatti (saya yg beri nama ini :) ) tidak perlu jhana.
kemungkinannya adalah 3 yg tadi ^-^
yah sekedar saran & pendapat, menurut saya yg paling utama adalah pengalaman sendiri, bukan tipitaka ataupun pengalaman orang lain.
dear bro,
saya ga memberi komentar apapun mengenai pribadi yah......  _/\_
untuk pengalaman pribadi : teman saya ada yang setelah bervipassana, pernah "merasa bicara dengan dewa" (ujungnya menjalani perawatan psikiater), ada juga yang bertekad utk mencapai nibbana dalam kehidupan ini, yang setelah bervipassana, merasa "mencapai nibbana" (tapi ternyata mengakibatkan susunan syarafnya rusak)
ada juga teman yang dulu vipassana di Batu, tapi "diusir" oleh Bhante... .selidik punya selidik ternyata Bhante melihat dia berambisi untuk menjadi sakti
nah tinggal dilihat dari perilaku dan pola pikir sehari2nya aja......kalau memang dia sudah mencapai "tingkat kesucian", saya yakin perilaku dan pola pikirnya pasti selaras dengan Tipitaka. Itulah yang menjadi guidance kita, apakah tersesat atau tidak....
misal seperti teman yang mengklaim "mencapai nibbana", tapi ternyata omongannya ngelantur, tidak konsisten, bahkan dia mengaku bahwa pada saat itu, dia merasa bahwa semua orang salah, dan hanya dia yang benar sehingga semua org "harus disembuhkan" sampe dia diseret ke rumah sakit jiwa dan baru ketauan bahwa syarafnya rusak
Jadi jangan hanya hapal tipitaka tapi tidak praktek, tapi juga hendaknya praktek dengan berpegang pada tipitaka.
Seperti naek rakit ke pantai seberang, naek rakit yah harus didorong dong  :P
Percuma kalo cuma naek rakit doang tapi kaga didorong  ;D
Atau kita masih berdiri muter2 di pantai sini, kaga naek rakit tapi ngedorong2 melulu....  :))
semoga bisa dimengerti yah........  _/\_
			
 
			
			
				HOT...
Tapi saya bingung bacanya
*maklum masih cetek pengetahuan Dhammanya*
			
			
			
				Bro Markos... Anumodana.... _/\_
Seperti di film (kisah nyata) "BEAUTIFUL MIND" dong? karena terlalu jenius maka selalu melihat objek (orang2) yg ga bisa di lihat oleh orang lain. itu Film yang bagus... :)
_/\_ :lotus:
			
			
			
				Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 05:06:14 PM
nah tinggal dilihat dari perilaku dan pola pikir sehari2nya aja......kalau memang dia sudah mencapai "tingkat kesucian", saya yakin perilaku dan pola pikirnya pasti selaras dengan Tipitaka. Itulah yang menjadi guidance kita, apakah tersesat atau tidak....
bukankah dalam Sutta Pitaka sendiri ada nasehat agar "jgn percaya begitu saja pada kitab suci"?
apakah Tipitaka sendiri adalah exclusive dari nasehat ini?
kalau pendapat saya pribadi sih, walau bukan agama Buddha yg mengerti Tipitaka, seseorang yg menyucikan pikirannya, dapat mencapai nibbana. apapun agamanya...
			
 
			
			
				Gimana bisa menyucikan pikiran lha wong ada yang agamanya mengajarkan untuk membunuh? Ada yang menyucikan pikirannya dengan melekat pada Maha Kuasa? Mari.....
			
			
			
				pada penyucian pikiran, akhirnya semua harus dilepaskan.
termasuk agama itu sendiri, apapun agamanya (Islam, ka****k, kr****n, Hindu, Buddha, Tao, Kong Hu Cu, dll...)
seperti kata bro markos, rakit akhirnya harus dilepas juga ;)
			
			
			
				Dan di agama lain tidak ada jalan lain selain tunduk pada yang kuasa, sampai mati malah makin melekat.
			
			
			
				Quote from: ryu on 21 June 2008, 09:33:10 AM
Dan di agama lain tidak ada jalan lain selain tunduk pada yang kuasa, sampai mati malah makin melekat.
yah dalam hidup kan umat tak selalu hanya bersinggungan dg agama. pasti ada kehidupan lain misalnya keluarga, usaha, sosial, dll... mudah2an aja bisa ketemu jalan melepas dari tempat yg selain agama ;)
dhamma sebenarnya ada di mana mana kok :)
			
 
			
			
				Quotenah tinggal dilihat dari perilaku dan pola pikir sehari2nya aja......kalau memang dia sudah mencapai "tingkat kesucian", saya yakin perilaku dan pola pikirnya pasti selaras dengan Tipitaka. Itulah yang menjadi guidance kita, apakah tersesat atau tidak....
Hm....Pernyataan saudara diatas "seakan2" Tipitaka 
mutlak benar?Mohon di berikan penjelasan....
Salam,
Riky
			
 
			
			
				Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 09:19:03 AM
Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mulapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja
Sementara dalam abhidhamma, pada setiap proses saja, minimal sudah terjadi 1 proses pikiran yang terdiri dari 17 citta (minimal loh, sehingga pada kenyataannya terdiri dari banyak citta). Jadi walau hanya ada proses pertama saja pada lokuttara, itu berarti setidaknya sudah terjadi 1 proses citta atau 17 citta/pikiran.
Karena itu, cetasika yang dominan pada lokuttara adalah Panna, bukan cetana seperti pada lokiya.
Berhentinya pikiran (ma~n~nati) dan tinggal 'persepsi murni' (sa~njanati) sebagaimana tercantum dalam Mulapariyaya-sutta adalah 
FAKTA yang 
bisa dilihat/dialami oleh setiap pemeditasi.
Sedangkan teori Abhidhamma Anda yang menyatakan ada 17 citta-dhamma tidak lebih daripada 
TEORI. Saya belum pernah bertemu dengan seorang pakar Abhidhamma yang 
bisa melihat/mengalami secara AKTUAL 17 citta-dhamma ini. Dan saya yakin Anda pun belum pernah melihat/mengalaminya, Anda cuma 
MENGHAFALKAN.
QuoteDisini jelas bahwa Abhidhamma dapat menjelaskan sutta (dan juga vinaya mengenai dasar aturannya) dengan lebih jelas dan selaran, yang notabene menjadi salah satu acuan anda mengenai "citta/pikiran". Jika penasaran, hal ini bisa anda tanyakan ke praktisi Abhidhamma
Tidak perlu saya bertanya kepada praktisi Abhidhamma, karena saya sudah yakin 
Abhidhamma Theravada bukan berasal dari mulut Sang Buddha ... sama yakinnya bahwa 
Abhidharma Sarvastivada juga bukan berasal dari mulut Sang Buddha.
QuoteTentang kesahihan Abhidhamma : Kembali disini anda bertentangan dengan ucapan anda sendiri mengenai asas kemanfaatan yang pernah diangkat oleh bro willibordus. 
Anda tidak mau melirik Abhidhamma, hanya karena asumsi "Abhidhamma bukan ajaran Buddha". 
Kenapa saya bilang ini asumsi?? karena anda pun sudah menyatakan "tidak bisa membuktikan apakah itu dari mulut Buddha atau bukan" (semoga anda masih ingat menyatakan hal ini dalam thread yang sama)
Yang Anda sebut 'asumsi' itu bagi saya adalah 
kesimpulan intelektual berdasarkan beberapa pertimbangan:
(1) Saya pernah 
HAFAL isi 
Abhidhammattha-sangaha pada awal 1970an, jauh lebih dulu daripada Anda belajar Abhidhamma ... tapi saya 
tidak pernah merasakan manfaat Abhidhamma sama sekali ... berbeda dengan Anda. ... Bahkan sebaliknya, saya merasa Abhidhamma adalah 
beban pengetahuan yang tidak perlu sama sekali. 
(2) Apalagi setelah saya mempelajari bahwa di samping ada Abhidhamma Theravada ada pula 
Abhidharma dari sekte Sarvastivada, yang 
isinya sama sekali berlainan dengan Abhidhamma Theravada. Jelas 
secara intelektual saya menyimpulkan bahwa 
tidak mungkin kedua-duanya berasal dari mulut Sang Buddha. 
(3) 
Yang terpenting adalah bahwa setelah saya mengenal meditasi vipassana dan 
mendapat pencerahan-pencerahan tertentu dalam meditasi vipassana, bertambah kuat keyakinan saya bahwa 
Abhidhamma sama sekali tidak perlu untuk mencapai kepadaman (nibbana).QuoteSementara jika berdasar asas kemanfaatan, yang anda sudah setujui pada thread yang sama : tidaklah penting apakah itu keluar dari mulut buddha atau ajaran buddha, yang penting adalah bahwa ajaran itu bisa membawa ke arah pencapaian nibbana.
Silakan saja kalau Anda berpendapat Abhidhamma bisa "membawa ke arah pencapaian nibbana". Itu hak Anda, dn saya tidak berniat untuk mengguncang-guncangnya. ... :) Di atas telah saya sampaikan bahwa bagi saya Abhidhamma tidak berguna sama sekali. 
Nah, satu pertanyaan saya, harap dijawab dengan jujur: 
untuk mencapai nibbana, Apakah Anda praktisi meditasi vipassana juga, dan--kalau Anda mempraktekkan vipassana versi Mahasi Sayadaw--sampai berapa jauh nyana-nyana yang pernah Anda alami? ... :)
Quotemengenai pernyataan orang agama : silahkan anda berkata seperti itu, hanya saja seperti yang sudah saya sebut diatas bahwa abhidhamma dapat menjelaskan sutta (serta vinaya) dengan lebih jelas
pun selaras dengan asas kemanfaatan, abhidhamma, sutta dan vinaya jika dijalankan dengan benar, membawa banyak perkembangan pada batin menuju yang lebih baik
ini yang meyakinkan saya bahwa ini adalah ajaran yang benar, karena pada Simsappa Sutta, Buddha menyebut bahwa ajarannya bagai segenggam daun di hutan Simsappa, namun dengan hanya segenggam ini saja, mampu membawa ke arah pembebasan
Jadi maaf, bukan saya fanatik dengan buddhism, lebih tepatnya melekat pada kebenaran yang membawa manfaat.
Setuju, bahwa dalam Theravada Sang Buddha hanya mengajarkan segenggam kebenaran. ... Oleh karena itu berkembang Mahayana dengan doktrin Sunyata, Zen dengan meditasi koan dan satori, Aliran Amitabha dengan Alam Sukhavati, Vajrayana dengan ajaran dzogchen ... dst. .. Masing-masing menggunakan asas manfaat. ... Nah, setujukah Anda kalau saya katakan 
semua ajaran yang menuntun pada nibbana dari semua sekte Agama Buddha itu merupakan "ajaran yang benar" bagi pengikutnya masing-masing berdasarkan asas manfaat, sebagaimana keyakinan Anda kepada Abhidhamma sebagai "ajaran yang benar" ... :) Mohon ini dijawab dengan jujur ... :)
Sekali lagi, silakan saja Anda berpegang pada Abhidhamma 
Theravada, kalau Anda merasa mendapat manfaat dari situ ... sementara saya membuang Abhidhamma yang, bagi saya, saya anggap beban pikiran yang cuma memperbesar ego. 
Quotemengenai MMD anda : anumodana jika itu memang membawa manfaat bagi banyak orang........  _/\_
hanya saja, jika untuk penerapan Mahapariyaya yang sudah jelas merupakan citta vitthi saja, sudah melenceng, maaf saja karena hasilnya tentunya juga akan melenceng
Anda mencoba menghakimi 
FAKTA pengalaman MMD berdasarkan pengetahuan 
HAFALAN Anda ... hahaha ... :)) ... kasihan ... :)
QuoteKarena itu maaf jika saya tidak tertarik dengan MMD, karena abhidhamma lebih bisa memberikan penjelasan mengenai citta, cetasika dan rupa serta penerapan dalam hidup sehari-hari, tidak hanya untuk meditator saja.
Saya selalu mengatakan bahwa 
tidak ada SATU teknik vipassana yang cocok untuk SEMUA orang; MMD juga tidak ... Jadi kalau Anda tidak tertarik MMD itu wajar-wajar saja kok ... :)
Tapi 
apakah Anda bermeditasi atau tidak? ... 
Di situ letak permasalahannya bagi Anda. ... Ingat ajaran Sang Buddha adalah sila, 
SAMADHI dan pannya. ... Kalau ya, boleh saya tahu meditasi apa yang Anda lakukan sehari-hari? Dan apa hasilnya? ... :) ... Ataukah, 
karena Anda sudah merasa tahu akan liku-liku batin Anda sendiri dari teori-teori Abhidhamma, lantas Anda merasa tidak perlu bermeditasi? ... :)
Seorang meditator yang mumpuni 
tidak membedakan kesadaran dalam meditasi dan kesadaran dalam kehidupan sehari-hari. ... Kalau orang masih memisahkan 'kesadaran meditasi' dan 'kesadaran sehari-hari', jelas vipassana-nya belum sempurna. ... 
QuoteNB : di kelas abhidhamma juga sudah banyak orang non buddhis yang merasakan manfaat. Ada dokter muslim yang menyebut dirinya "universalis", juga ada beberapa kristiani yang kritis, yang menyatakan dirinya "selaras dengan pemikiran buddhis", yang ikut beranjali dan menghormat guru Buddha karena sedemikian agungnya ajaran Guru Buddha.
O begitu, tho ... :)) Dengan menampilkan cerita-cerita seperti ini, 
tanpa Anda sadari mencuat ke permukaan kesadaran Anda sebuah 
motivasi tersembunyi dalam batin Anda ... 
sebetulnya Anda melekat kuat pada Agama Buddha, dan mengharapkan melalui Abhidhamma banyak orang akan menerima Buddha sebagai "juruselamat". ... Apakah itu "pembebasan" yang diajarkan Abhidhamma? ... :)
Dalam MMD, yang terjadi justru sebaliknya, 
pemeditasi tidak lagi melekat kepada ajaran agama apa pun, juga tidak pada ajaran Sang Buddha! ... :)
Kalau Anda ingin mempromosikan Abhidhamma sebagai "penuntun menuju nibbana", saya sarankan pada akhir setiap kelas Abhidhamma para peserta menuliskan testimoni mengenai pengalaman batin mereka selama mengikuti kelas Abhidhamma ... lalu testimoni itu Anda tayangkan di forum DC ini ... saya ingin membacanya. ... Terima kasih, kalau setuju. ... :)
Quote
Betul yang anda bilang, masing-masing ada "pangsa pasarnya" sendiri-sendiri, sesuai dengan perkembangan batin masing-masing.
Karena sudah jelas saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.  ^:)^
anumodana  _/\_
Setuju debat ini dihentikan.
Salam,
Hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 01:17:27 PM
sekedar info, soal resolusi sebelum nirodha-samapatti ini cocok pula dg pengakuan pengalaman pak Hud ;D
tetapi kemungkinannya adalah:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^
hehe ... letak permasalahannya di sini adalah pada kata 
"cocok" di atas. ... :)
Sepakati dulu apa artinya "cocok": (1) identik (persis sama); (2) mirip; (3) "serupa tapi tak sama"; (4) ... ; (5) ... 
Bagi saya, pengalaman batin saya adalah AKTUALITA, sedangkan semua PENGETAHUAN tentang apa yang disebut 'jhana' tidak lebih daripada TEORI bagi orang yang belum mengalaminya sendiri. ... Saya bisa cerita sedikit banyak tentang pengalaman batin saya, tapi saya tidak bisa cerita apa-apa tentang 'jhana'. ... :)  Bagaimana saya bisa membandingkan pengalaman batin saya dengan 'jhana'? ... :)
QuotePS: saya merasa janggal juga Pak Hud ini selalu berusaha membagi ariya menjadi sekha (berhenti partial) & arahat (berhenti total) saja. bukan sotapanna, sakadagami, anagami & arahat... ;D kenapa pak?
Dalam Mulapariyaya-sutta hanya dibedakan empat kategori manusia: (1) puthujjana; (2) sekha ("orang yang berlatih", yang kemudian ditafsirkan sebaqai sotapanna s.d. anagami); (3) arahat; dan (4) buddha.
Bagi saya pribadi, seorang 'sekha' bukan baru dimulai ketika orang mencapai tingkat Sotapanna; seorang puthujjana pun bisa menjadi 'sekha'. ... 
Sebaliknya, saya sendiri tidak begitu tertarik menggunakan kategorisasi Sotapanna, Sakadagami, Anagami & Arahat sebagai "tingkat-tingkat" pembebasan; karena (1) di satu pihak tidak ada tolok ukurnya yang obyektif ... dan (2) di lain pihak, saya merasa kalau orang membahas masalah itu hanya akan memperbesar ego sendiri. ... :)  Di internet, ada seorang bernama Jeff Brooks mengklaim dirinya seorang Sotapanna, menahbiskan dirinya menjadi bhikkhu dengan nama Sotapanna Jhanananda, bahkan dalam tulisan-tulisan tertentu ia menyiratkan telah menjadi arahat. ... Di Slawi, Jawa Tengah, saya kenal seseorang yang setiap kali bertemu dengan saya selalu mempermasalahkan tolok ukur seorang Sotapanna, dengan mengisyaratkan bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat itu, karena merasa telah mematahkan tiga belenggu pertama. :)) ... Pengetahuan intelektualnya tentang Buddha Dhamma hebat sekali ... Jawaban saya kepada beliau pendek saja: kalau beliau masih merasa perlu mempermasalahkan tolok ukur seorang Sotapanna dengan saya, bagaimana mungkin beliau telah mematahkan 'vicikiccha' (keraguan)? ... :))
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 04:09:30 PM
yup sudah jelas, artinya dalam pengalaman pak hud, utk masuk ke nirodha-samapatti (saya yg beri nama ini :) ) tidak perlu jhana.
Wah ... hati-hati dengan "memberi nama" ... saya jadi tidak mengerti tulisan saya sendiri (menurut Tesla): 
"... utk masuk ke nirodha-samapatti tidak perlu jhana." ... :))
Seingat saya, saya tidak pernah bicara tentang 'nirodha-samapatti' dan/atau 'jhana' berdasarkan PENGALAMAN pribadi. ... kalau saya bicara tentang kedua istilah itu, tentu mengutip dari Tipitaka. ... :)
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 20 June 2008, 10:08:28 PM
Gimana bisa menyucikan pikiran lha wong ada yang agamanya mengajarkan untuk membunuh? Ada yang menyucikan pikirannya dengan melekat pada Maha Kuasa? Mari.....
Hanya minoritas orang Islam yang berkeyakinan bahwa agamanya mengajarkan membunuh. Mayoritas Muslim tidak berpendapat begitu ...
"Melekat pada Yang Maha Kuasa"? ... Pikiran seperti ini sama dengan "melekat pada KONSEP nibbana" ... :)
Seorang Muslim yang ingin "kembali kepada Yang Maha Kuasa", ia mulai dengan mengamati egonya sendiri, sesuai dengan "Abhidhamma"-nya sendiri ... persis sama dengan seorang siswa Sang Buddha yang ingin "mencapai nibbana" mulai dengan mengamati egonya sendiri. ... :)  Ada lho, "Abhidhamma" Muslim, yang paralel dengan Abhidhamma Theravada ... namanya 'ilmu akhlak', sebagaimana diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dll. ... 
Tolong jangan memberi komentar agama orang lain berangkat dari pengetahuan yang dangkal ... Kedengarannya malah lucu. ... :)
Salam,
Hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 20 June 2008, 07:54:41 PM
kalau pendapat saya pribadi sih, walau bukan agama Buddha yg mengerti Tipitaka, seseorang yg menyucikan pikirannya, dapat mencapai nibbana. apapun agamanya...
Sangat setuju ... Pengalaman teman-teman non-Buddhis dalam retret MMD membuktikan hal itu. .... :)
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 21 June 2008, 09:42:17 AM
yah dalam hidup kan umat tak selalu hanya bersinggungan dg agama. pasti ada kehidupan lain misalnya keluarga, usaha, sosial, dll... mudah2an aja bisa ketemu jalan melepas dari tempat yg selain agama ;)
dhamma sebenarnya ada di mana mana kok :)
Juga setuju ... Krishnamurti bukan agama ... :)
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: hudoyoBagi saya, pengalaman batin saya adalah AKTUALITA, sedangkan semua PENGETAHUAN tentang apa yang disebut 'jhana' tidak lebih daripada TEORI bagi orang yang belum mengalaminya sendiri. ... Saya bisa cerita sedikit banyak tentang pengalaman batin saya, tapi saya tidak bisa cerita apa-apa tentang 'jhana'. ...   Bagaimana saya bisa membandingkan pengalaman batin saya dengan 'jhana'? ...
 :-? ;D
Quote from: hudoyo on 24 June 2008, 08:08:27 AM
Quote from: tesla on 20 June 2008, 04:09:30 PM
yup sudah jelas, artinya dalam pengalaman pak hud, utk masuk ke nirodha-samapatti (saya yg beri nama ini :) ) tidak perlu jhana.
Wah ... hati-hati dengan "memberi nama" ... saya jadi tidak mengerti tulisan saya sendiri (menurut Tesla): "... utk masuk ke nirodha-samapatti tidak perlu jhana." ... :))
Seingat saya, saya tidak pernah bicara tentang 'nirodha-samapatti' dan/atau 'jhana' berdasarkan PENGALAMAN pribadi. ... kalau saya bicara tentang kedua istilah itu, tentu mengutip dari Tipitaka. ... :)
Salam,
hudoyo
ya itu dia, kan kita sedang bicara irisan antara pikiran berhenti & citta vitthi... jadi ada 'pemaksaan pencocokan' di sini, yaitu:
1. pikiran = citta
2. pikiran berhenti = citta berhenti yg mana hanya terjadi di nirodha-samapatti
3. prasyarat nirodha-samapatti (jhana8 & setidaknya anagami ;D )
4. salah satu resolusi sebelum masuk ke nirodha yaitu menentukan lamanya durasi (yg pak hud sendiri bilang sering sekali tepat & hanya selisih 1-2 menit)
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 21 June 2008, 09:22:39 AM
pada penyucian pikiran, akhirnya semua harus dilepaskan.
termasuk agama itu sendiri, apapun agamanya (Islam, Katholik, Keristen, Hindu, Buddha, Tao, Kong Hu Cu, dll...)
Setuju pada prinsipnya ...
Tapi menurut saya, pelepasan itu bukan 'pada akhirnya' ... melainkan justru di dalam kesadaran vipassana 
SEJAK AWAL orang mulai duduk bermeditasi ...  :)
Di lain pihak, agama mungkin diperlukan selama orang berada di tataran pikiran. ... Tapi ada pula orang yang di tataran pikiran sama sekali tidak membutuhkan agama. ... :)
Quoteseperti kata bro markos, rakit akhirnya harus dilepas juga ;)
"Rakit", "Jalan Mulia" dsb itu 
istilah agama ... bukan istilah 
kesadaran meditatif ... 
Dalam kesadaran meditasi, yang ada hanyalah 
'sadar' dan 
'tidak sadar' ... 
tidak ada "rakit", tidak ada "Jalan Mulia Berunsur Delapan" ... dsb. Tidak ada 'tujuan', tidak ada 'usaha', tidak ada 'cara, metode, jalan, rakit', tidak ada 'waktu'. ... :)
Salam,
Hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 24 June 2008, 08:30:56 AM
ya itu dia, kan kita sedang bicara irisan antara pikiran berhenti & citta vitthi... jadi ada 'pemaksaan pencocokan' di sini, yaitu:
1. pikiran = citta
2. pikiran berhenti = citta berhenti yg mana hanya terjadi di nirodha-samapatti
3. prasyarat nirodha-samapatti (jhana8 & setidaknya anagami ;D )
4. salah satu resolusi sebelum masuk ke nirodha yaitu menentukan lamanya durasi (yg pak hud sendiri bilang sering sekali tepat & hanya selisih 1-2 menit)
Yang nomor (2) itu 
saya tidak tahu ... karena saya tidak tahu apa itu 'nirodha-samapatti'. ... :)
Jadi bagi saya, nomor-nomor selanjutnya (3 dan 4) tidak relevan.
Tampaknya 
pengalaman 'berhentinya pikiran' saya itu terjadi di luar 'jhana' ... apalagi 'nirodha-samapatti' menurut teori 'jhana'. 
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				nirodha-samapatti itu sebuah label pencapaian meditasi dimana nirodha artinya padam pak ;D
bedanya sama jhana apa yah...
Quote from: tesla on 24 June 2008, 08:30:56 AM
Quote from: hudoyoBagi saya, pengalaman batin saya adalah AKTUALITA, sedangkan semua PENGETAHUAN tentang apa yang disebut 'jhana' tidak lebih daripada TEORI bagi orang yang belum mengalaminya sendiri. ... Saya bisa cerita sedikit banyak tentang pengalaman batin saya, tapi saya tidak bisa cerita apa-apa tentang 'jhana'. ...   Bagaimana saya bisa membandingkan pengalaman batin saya dengan 'jhana'? ...
 :-? ;D
			 
			
			
				Quote from: hudoyo on 24 June 2008, 08:19:37 AM
Quote from: ryu on 20 June 2008, 10:08:28 PM
Gimana bisa menyucikan pikiran lha wong ada yang agamanya mengajarkan untuk membunuh? Ada yang menyucikan pikirannya dengan melekat pada Maha Kuasa? Mari.....
Hanya minoritas orang Islam yang berkeyakinan bahwa agamanya mengajarkan membunuh. Mayoritas Muslim tidak berpendapat begitu ...
"Melekat pada Yang Maha Kuasa"? ... Pikiran seperti ini sama dengan "melekat pada KONSEP nibbana" ... :)
Seorang Muslim yang ingin "kembali kepada Yang Maha Kuasa", ia mulai dengan mengamati egonya sendiri, sesuai dengan "Abhidhamma"-nya sendiri ... persis sama dengan seorang siswa Sang Buddha yang ingin "mencapai nibbana" mulai dengan mengamati egonya sendiri. ... :)  Ada lho, "Abhidhamma" Muslim, yang paralel dengan Abhidhamma Theravada ... namanya 'ilmu akhlak', sebagaimana diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dll. ... 
Tolong jangan memberi komentar agama orang lain berangkat dari pengetahuan yang dangkal ... Kedengarannya malah lucu. ... :)
Salam,
Hudoyo
mungkin saya hanya melihat dari permukaan saja, tapi kenyataan memang begitu, apakah bpk pernah masuk forum kr****n dan mengajarkan MMD? Apa tanggapan mereka? Kalau agama i mungkin masih bisa.
			
 
			
			
				karismatik maksudnya? ^-^
			
			
			
				Quote from: tesla on 24 June 2008, 09:13:48 AM
karismatik maksudnya? ^-^
yap, CMIIW meditasi bagi mereka sdh di cap sesat.
			
 
			
			
				 setau aku, kr****n juga ada meditasinya lho, di Katholik terutama yang zadoel tinggal di gua-gua. dulu pernah nonton liputannya di Metro TV, kalo karismatik aye ga tahu, sesudah pecah menjadi Protestan,banyak aliran kr****n aneh2 bermunculan, apalgi di Jakarta.
			
			
			
				Quote
yap, CMIIW meditasi bagi mereka sdh di cap sesat.
Kalo Kharismatik, lebih baik jangan dibahas. Terlalu banyak alirannya dan masing2 percaya pada 'tokoh utama' masing2 yang bicaranya saja bisa berbeda dengan Alkitab sendiri. Kalo dalam Katho1ik, sama sekali berbeda. Mereka masih melakukan Hesychasm (=Samatha).
			
 
			
			
				Kalo katolak mah gak usah di omong, mereka kadang suka meditasi setau aye di lembang di vipasana graha.
			
			
			
				Quote from: tesla on 24 June 2008, 08:40:14 AM
nirodha-samapatti itu sebuah label pencapaian meditasi dimana nirodha artinya padam pak ;D
bedanya sama jhana apa yah...
Kalau tidak salah ... menurut teori jhana, 
'nirodha-samapatti' itu sinonim dari 
'sannya-vedayita-nirodha' (lenyapnya persepsi & perasaan) ... yang 
hanya tercapai SESUDAH melampaui jhana ke-8 (kesadaran akan bukan pencerapan bukan pula bukan-pencerapan).
Kalau tidak salah pula ... dalam Samannaphala-sutta atau salah satu sutta dari Digha Nikaya, melalui 'sanna-vedayita-nirodha' ini orang bisa mencapai nibbana. ... CMIIW ... :)
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 24 June 2008, 09:01:50 AM
mungkin saya hanya melihat dari permukaan saja, tapi kenyataan memang begitu, apakah bpk pernah masuk forum Keristen dan mengajarkan MMD? Apa tanggapan mereka? Kalau agama i mungkin masih bisa.
Saya tidak pernah masuk ke dalam forum Keristen atau Katholik ... tapi sebaliknya ada banyak teman-teman Katholik ikut retret MMD ... ada segelintir teman-teman Keristen Protestan ikut retret MMD ... di samping banyak teman Muslim ikut retret MMD ... Ada dua orang pastor dan beberapa suster pernah ikut MMD ... 
Orang Keristen Protestan relatif lebih sedikit tertarik pada meditasi ... mungkin karena kuatnya pengertian bahwa "meditasi mungkin berasal dari kuasa gelap" ... mereka melarang umat di gerejanya melakukan meditasi.  
Pada umumnya mereka merasa mendapatkan pencerahan dari MMD ... melihat secara baru ... Tetapi ada satu-dua orang yang menolak MMD ... mungkin karena kelekatan yang kuat pada doktrin agamanya sendiri ...
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				numpang lewat, kalau di Samaññaphala Sutta sih tidak ada. Nanti kalau di DN yg lain ada saya posting disini.
http://dhammacitta.org/tipitaka/dn/dn.02.0.wlsh.html
			
			
			
				Quote from: Sumedho on 24 June 2008, 10:29:48 AM
numpang lewat, kalau di Samaññaphala Sutta sih tidak ada. Nanti kalau di DN yg lain ada saya posting disini.
http://dhammacitta.org/tipitaka/dn/dn.02.0.wlsh.html
Baru ketemu, ada di Ariyapariyesana-sutta, Majjhima Nikaya, 26:
"... Overcoming all the sphere of neither-perception -nor-non-perception attains to the cessation of perceptions and feelings. Seeing it with wisdom too desires get destroyed. Bhikkhus, to this is said, the bhikkhu has blindfolded death. Destroying the feetless one has gone beyond the sight of death. Crossing over to the beyond he goes with confidence, stands with confidence, sits with confidence and lies with confidence. What is the reason Has gone beyond the sight of death.
The Blessed One said thus and those bhikkhus delighted in the words of the Blessed One."
			
 
			
			
				thanks Pak Hud,
Versi Bhikkhu Thanissaro
...
"Then again the monk, with the complete transcending of the dimension of neither perception nor non-perception, enters & remains in the cessation of perception & feeling. And, having seen [that] with discernment, his mental fermentations are completely ended. This monk is said to have blinded Mara. Trackless, he has destroyed Mara's vision and has become invisible to the Evil One. Having crossed over, he is unattached in the world. Carefree he walks, carefree he stands, carefree he sits, carefree he lies down. Why is that? Because he has gone beyond the Evil One's range."
That is what the Blessed One said. Gratified, the monks delighted in the Blessed One's words.
			
			
			
				Di dalam Samannaphala-sutta, Digha Nikaya, 2. pemeditasi mencapai nibbana melalui jhana ke-4 lalu mengembangkan abhinna sampai abhinna ke-6: asavakkhaya-nyana (pengetahuan tentang berakhirnya arus kotoran batin (asava)):
The Ending of Mental Fermentations
"With his mind thus concentrated, purified, and bright, unblemished, free from defects, pliant, malleable, steady, and attained to imperturbability, the monk directs and inclines it to the knowledge of the ending of the mental fermentations. He discerns, as it has come to be, that 'This is suffering... This is the origination of suffering... This is the cessation of suffering... This is the way leading to the cessation of suffering... These are mental fermentations... This is the origination of fermentations... This is the cessation of fermentations... This is the way leading to the cessation of fermentations.' His heart, thus knowing, thus seeing, is released from the fermentation of sensuality, the fermentation of becoming, the fermentation of ignorance. With release, there is the knowledge, 'Released.' He discerns that 'Birth is ended, the holy life fulfilled, the task done. There is nothing further for this world.' ..."
Salam,
hudoyo
			
			
			
				btw hubungannya apa Pak Hud, antara jhana 4 lalu abhinna itu dengan niroda-samapatti dan berhentinya pikiran pak?
			
			
			
				Quote from: tesla on 24 June 2008, 09:13:48 AM
karismatik maksudnya? ^-^
Karismatik adalah gerakan modern yang bernafaskan okultisme dan meluas secara lintas iman di berbagai gereja Protestan dan Katholik. 
Gerakan ini menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman okult seperti "bahasa lidah" (bisa berbicara dalam berbagai bahasa yang tidak dikenal manusia), peramalan, dan penyembuhan dengan tangan, sebagaimana dialami oleh orang Keristen zaman awal. 
Beberapa kalangan pimpinan gereja Katholik maupun Protestan mengingatkan warganya agar berhati-hati dengan gerakan ini, karena gerakan ini mengaburkan pengertian 'baptisan' dengan upacara resmi serupa di masing-masing gereja. Namun gerakan ini dalam bentuknya yang moderat tetap meluas di kalangan gereja-gereja.
Selanjutnya, lihat: 'Charismatic Movement' di Wikipedia. 
Salam,
hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: Sumedho on 24 June 2008, 04:44:54 PM
btw hubungannya apa Pak Hud, antara jhana 4 lalu abhinna itu dengan niroda-samapatti dan berhentinya pikiran pak?
Tentang teori abhinna ke-6 dan teori nirodha samapatti, saya tidak tahu apa-apa ... :) 
Rupanya tidak ada hubungan antara kedua hal itu dengan 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan ... karena kalau saya baca teori tersebut--apalagi uraiannya dalam Visuddhi-magga--tampaknya merupakan hal yang amat sulit untuk dicapai oleh orang kebanyakan. ... 
Padahal dalam retret MMD, banyak teman-teman, Buddhis maupun non-Buddhis, yang mencapai 'berhentinya pikiran', sekalipun hanya sebentar ... Satu-dua teman berada dalam 'berhentinya pikiran' untuk waktu yang cukup lama. ...
Tampaknya Rekan Tesla keliru ketika menafsirkan 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan dengan 'nirodha samapatti' dari teori jhana:
Quote from: tesla on 20 June 2008, 01:17:27 PM
sekedar info, soal resolusi sebelum nirodha-samapatti ini cocok pula dg pengakuan pengalaman pak Hud ;D
tetapi kemungkinannya adalah:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^
Kalau rekan Tesla mau mencari hubungan antara pengalaman 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan dengan Tipitaka Pali, jangan mencari di teori jhana, melainkan carilah di Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta, dan Mulapariyaya-sutta (MN 1). 
Di situ Sang Buddha berkata: 
(1) "Di dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat ... dst" - Ini berarti 'pikiran berhenti'.
(2) "Kalau bisa berada di situ, ... kamu tidak ada ... itulah akhir dukkha" - ini nibbana. 
Instruksi singkat Sang Buddha kepada Malunkyaputta ini tidak menyebut-nyebut tentang jhana ... dan Malunkyaputta, begitu memperoleh instruksi ini, langsung berlatih SENDIRIAN--beliau tidak belajar teori jhana dari para arahat yang lain, tidak belajar dari Tipitaka Pali (yang belum ada pada waktu itu) ... pegangannya untuk bermeditasi vipassana hanyalah instruksi Sang Buddha yang pendek kepadanya ... dan beliau mencapai pembebasan. 
"Then Ven. Malunkyaputta, having been admonished by the admonishment from the Blessed One, got up from his seat and bowed down to the Blessed One, circled around him, keeping the Blessed One to his right side, and left. Then, dwelling alone, secluded, heedful, ardent, & resolute, he in no long time reached & remained in the supreme goal of the holy life for which clansmen rightly go forth from home into homelessness, knowing & realizing it for himself in the here & now. He knew: "Birth is ended, the holy life fulfilled, the task done. There is nothing further for the sake of this world." And thus Ven. Malunkyaputta became another one of the arahants."
Itulah yang saya gunakan sekarang dalam mengajarkan MMD ... instruksi Sang Buddha yang pendek kepada Malunkyaputta ... tanpa teori jhana ... tanpa teori-teori "meditasi Buddhis" (yang lain seperti tercantum dalam Mahasatipatthana-sutta).
Itu pula sebabnya, ada umat Buddhis yang merasa cocok dengan MMD, tapi ada pula yang merasa tidak cocok dengan MMD. :) ... Tidak apa-apa. ... 
Salam,
Hudoyo
			
 
			
			
				Quote from: hudoyo on 24 June 2008, 04:48:01 PM
Quote from: tesla on 24 June 2008, 09:13:48 AM
karismatik maksudnya? ^-^
Karismatik adalah gerakan modern yang bernafaskan okultisme dan meluas secara lintas iman di berbagai gereja Protestan dan Katholik. 
Gerakan ini menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman okult seperti "bahasa lidah" (bisa berbicara dalam berbagai bahasa yang tidak dikenal manusia), peramalan, dan penyembuhan dengan tangan, sebagaimana dialami oleh orang Keristen zaman awal. 
Beberapa kalangan pimpinan gereja Katholik maupun Protestan mengingatkan warganya agar berhati-hati dengan gerakan ini, karena gerakan ini mengaburkan pengertian 'baptisan' dengan upacara resmi serupa di masing-masing gereja. Namun gerakan ini dalam bentuknya yang moderat tetap meluas di kalangan gereja-gereja.
Selanjutnya, lihat: 'Charismatic Movement' di Wikipedia. 
Salam,
hudoyo
bahkan ka****k pun sekarang ada yang kharismatiknya, mereka ada bahasa rohnya :)
			
 
			
			
				Quote from: hudoyo on 24 June 2008, 05:08:14 PM
Kalau rekan Tesla mau mencari hubungan antara pengalaman 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan dengan Tipitaka Pali, jangan mencari di teori jhana, melainkan carilah di Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta, dan Mulapariyaya-sutta (MN 1). 
Bukan begitu pak... saya menyesuaikan dg lawan bicara sedang memakai bagian mana dalam Tipitaka...
Quote
Di situ Sang Buddha berkata: 
(1) "Di dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat ... dst" - Ini berarti 'pikiran berhenti'.
(2) "Kalau bisa berada di situ, ... kamu tidak ada ... itulah akhir dukkha" - ini nibbana. 
ingin tanya yg no. (1) pak.
"Di dalam yg terlihat hanya ada yg terlihat... dst"
saya tidak tahu ini pikiran berhenti atau bukan, tapi pengalaman saya,
ketika merasakan penderitaan dan kemudian menyadari bahwa penderitaan itu berasal dari pikiran yg berusaha merubah kondisi utk mencapai kondisi yg diinginkan.
dan ketika saya tidak berusaha merubah kondisi lagi, penderitaan bathin pun berhenti.
kondisi di luar tetap saja begitu, tidak berubah.
yg berubah hanya saya yg menerima apa adanya.
seperti inikah "
Di dalam yg terlihat hanya ada yg terlihat... "?
tapi agak berapa lama kemudian, pikiran berusaha lagi mencari jalan yg lebih baik, menjadi arsitek hidup, dll... hasilnya penderitaan bathin muncul lagi.
_/\_
			
 
			
			
				Rekan Tesla,
Diskusi mengenai ini saya pindahkan ke thread MMD.
Salam,
hudoyo