_/\_ Dear all,
Saudara-saudari se-Dharma, ada yang mau saya tanyakan nih, Buddha wafat pada umur berapa tahun? Kalo 80 tahun tp koq di ilustrasinya masi tampak muda, tanpa kerutan. Setelah Buddha wafat, jasad Beliau diapakan? Apakah diprabu? Atau dikubur?
Terima kasih _/\_
yup, seingat saya sekitar 80an ,
ah itu mah ilustrasi aje bos... biar lebih sedap dipandang...
seingat saya dibakar dan reliknya disebar...
sama2
Quote from: iwakbelido on 14 May 2008, 06:19:22 PM
_/\_ Dear all,
Saudara-saudari se-Dharma, ada yang mau saya tanyakan nih, Buddha wafat pada umur berapa tahun? Kalo 80 tahun tp koq di ilustrasinya masi tampak muda, tanpa kerutan. Setelah Buddha wafat, jasad Beliau diapakan? Apakah diprabu? Atau dikubur?
Terima kasih _/\_
Film animasi Buddha produksi Jepang menggambarkan Buddha pada usia 80 dengan mimik yang tua.
[at] Andry:
oh ya? disebar ya? ditabur di laut/sungai kayak masa sekarang kan begitu, setelah diprabu, abunya disebar di laut/sungai.
[at] Chingik:
wah, bisa didownload di mana ya film animasi Buddha produksi Jepang itu?
PENGHORMATAN TERHADAP PENINGGALAN
SANG BHAGAVA
13. Kemudian suku Malla dari Kusinara itu memerintahkan kepada orang-orangnya demikian : "Kumpulkanlah sekarang semua wangi-wangian, bunga-bungaan dan para pemain musik dan apa saja yang ada di Kusinara ini." Suku Malla dengan wewangian, bunga-bungaan dan para pemain musik, dengan membawa lima ratus perangkat pakaian, pergi ke hutan Sala, ke taman hiburan suku Malla, menuju tempat jenasah Sang Bhagava. Setelah sampai di sana, mereka lalu memberi hormat terhadap jenasah Sang Bhagava, serta menyajikan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian dan segala sesuatu yang dibawanya; lalu mereka mendirikan kemah-kemah dan kubu-kubu untuk bernaung selama mereka ada di sana, melakukan upacara penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava itu. Kemudian mereka berunding: "Kini matahari sudah tinggi, hari sudah siang, sudah terlambat kiranya untuk memperabukan layon Sang Bhagava. Sebaiknya kita laksanakan pada hari-hari berikutnya saja."
Pada hari-hari yang kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam mereka terus menerus mengadakan kebaktian dan penghormatan kepada jenasah Sang Bhagava dengan bermacam tari-tarian lagu-lagu kebaktian diserta bunyi gamelan dengan musik dengan tak henti-hentinya; di samping itu mereka menyajikan bunga-bunga, kembang rampai, wangi-wangian yang baunya harum semerbak meliputi seluruh tempat tersebut.
14. Tetapi pada hari ketujuh mereka lalu berunding : "Kita telah melakukan upacara kebaktian dan penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian, lagu-lagu kebaktian disertai gamelan dan musik keagamaan; menyajikan segala macam kembang serta wangi-wangian dan melakukan puja-bakti untuk menghormati jenasah Sang Bhagava. Sekarang marilah kita, mengangkat dan mengusung jenasah Beliau ke arah Selatan, dan di sana di sebelah Selatan kota kita melakukan perabuan jenasah Sang Bhagava."
Kemudian delapan orang suku Malla dari keluarga yang terkemuka, setelah mandi dan berkeramas dengan bersih serta mengenakan pakaian yang baru, dengan pikiran : "Kita akan mengangkat jenasah Sang Bhagava" mereka pun lalu berusaha mengerjakan hal itu, tetapi mereka tak dapat mengangkatnya.
Demikianlah diceritakan bahwa suku Malla itu bertanya kepada Anurudha demikian: "Bhante, karena apa dan apakah sebabnya, delapan orang dari suku Malla dari keluarga yang terkemuka ini, yang telah mandi dan berkeramas dengan bersih, serta mengenakan pakaian yang baru, dengan pikiran : "Kita akan mengangkat jenasah Sang Bhagava, lalu mereka berusaha melakukan hal itu tetapi mereka tidak dapat mengangkatnya?"
"Saudara-saudara Vasettha, ketahuilah bahwa kalian mempunyai sesuatu maksud tetapi para dewa pun mempunyai maksud yang lain."
15. "Bhante, apakah maksud para dewa itu?"
"Saudara-saudara Vasettha, maksud para dewa bahwa kalian telah melakukan upacara kebaktian penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava, dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian, lagu kebaktian disertai gamelan dan musik keagamaan; dan menyajikan segala macam kembang serta wangi-wangian dan melakukan puji-pujian untuk menghormati Sang Bhagava. Lalu berkata : "Marilah mengangkat dan mengusung jenasah Beliau ke arah Selatan; dan di sana, di sebelah Selatan kota kita melakukan perabuan jenasah Sang Bhagava."
Vasettha, sedangkan maksud Para dewa adalah: "Kita telah melakukan upacara kebaktian dan penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu dari surga serta musik dari surga; menyajikan segala macam kembang serta wangi-wangian dari surga, dan melakukan puja untuk menghormati jenasah Sang Bhagava. Sekarang marilah kita membawa jenasah Sang Bhagava ke arah Utara di sebelah Utara kota dan setelah sampai di sana, dengan melalui pintu gerbang kita lalu menuju ke pusat kota; dan dari situ kita lalu menuju ke Timur; dengan melalui pintu gerbang di Timur lalu kita menuju ke Cetiya dari suku Malla, Makutta Bhandana, dan di sanalah kita perabukan jenasah Sang Bhagava."
"Bhante, kalau begitu, baiklah apa yang dikehendaki oleh para dewa itu, kita lakukan."
16. Dengan demikian seluruh Kusinara, di segala pelosok ditimbuni penuh dengan bunga-bungaan Mandarawa; sampai setengah lutut. Demikian kebaktian dan penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava itu telah dilakukan oleh Para dewa dan oleh suku Malla dari Kusinara. Dengan tari-tarian, lagu-lagu, musik; bunga-bungaan dan wangi-wangian dari kedua pihak, dewa dan manusia, semuanya melakukan penghormatan, kebaktian serta pemujaan dengan hidmat tulus ikhlas. Dengan hidmat dan tertib mereka mengusung jenasah Sang Bhagava itu ke arah Utara, ke bagian Utara dari kota, dan sesudah melalui pintu gerbang Utara, lalu menuju ke pusat kota, dan sesudah melewati pintu gerbang sebelah Timur mereka menuju ke Cetiya dari suku Malla, Makuta-bhandhana, dan di sanalah jenasah Sang Bhagava dibaringkan.
17. Lalu suku Malla dari Kusinara itu berkata kepada Ananda demikian : "Bagaimana seharusnya kita melakukan penghormatan dalam memperabukan jenasah Sang Bhagava?"
"Vasetha, sama seperti cara menghormati jenasah seorang Raja Jagad."
"Tetapi bagaimanakah seharusnya kita berlaku untuk menghormati Raja Jagad itu?"
"Jenasah seorang Raja Jagad itu pertama-tama di bungkus seluruhnya dengan kain linen yang baru, dan kemudian dengan kain katun wool baru pula.
Sesudah itu dibungkus lagi seluruhnya dengan kain linen yang baru, dan lagi dengan kain katun wool yang telah dipersiapkan. Dan begitulah selanjutnya dilakukan sampai lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus kain katun wool. Setelah itu dikerjakan jenasah Raja Jagad dibaringkan dalam suatu peti dengan dicat meni, lalu dimasukkan lagi ke dalam peti dengan dicat meni, dan suatu Pancaka (tempat perabuan) didirikan dari berbagai macam kayu wangi-wangian; di situlah jenasah seorang Raja Jagad diperabukan, dan pada perempatan (pertemuan empat jalan) didirikan sebuah stupa bagi Raja Jagad itu. Demikianlah hal itu seharusnya dilaksanakan."
"Vasetha, demikianlah sama seperti halnya jenasah seorang Raja Jagad begitu pula harus dilakukan pada jenasah Sang Tathagata. Dan barang siapa yang datang ke tempat itu membawa bunga-bungaan, atau dupa, atau serbuk cendana dan melakukan kebaktian serta penghormatan di sana mereka akan memperoleh kebahagian, untuk suatu waktu yang lama."
18. Kemudian suku Malla memberi perintah kepada orang-orangnya demikian : "Kumpulkanlah sekarang segala kain katun wool yang baru dari suku Malla." Lalu suku Malla dari Kusinara itu membungkus jenasah Sang Bhagava seluruhnya dengan kain linen baru, lalu dengan kain katun wool yang telah disiapkan; dan demikian seterusnya sehingga lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain katun wool. Setelah itu dikerjakan, mereka membaringkan jenasah Sang Bhagava di dalam sebuah peti dengan dicat meni yang ditaruh lagi di dalam sebuah peti yang dicat meni yang ditaruh lagi di dalam peti yang dicat meni lainnya, kemudian mereka mendirikan pancaka pembakaran yang dibuat dari segala macam kayu-kayuan wangi-wangian dan di atas pancaka itulah jenasah Sang Bhagava ditempatkan.
19. Ketika itu Maha Kassapa sedang dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, bersama serombongan besar para bhikkhu yang berjumlah sampai lima ratus orang. Dalam perjalanan itu, Maha Kassapa menepi dari jalan raya dan duduk di bawah sebatang pohon.
Demikian, suku Ajivaka telah datang di tempat itu, dalam perjalanan ke Pava; dan ia membawa setangkai bunga Mandarawa dari Kusinara. Maha Kassapa melihat Ajivaka itu datang; ketika ia sudah dekat maka beliau berkata kepadanya : "Apakah Anda mengetahui tentang Guru kita?"
"Ya, saya mengetahui bahwa hari ini adalah hari yang ketujuh dari wafatnya Pertapa Gotama. Di sana kami telah memungut bunga Mandarava ini."
Mendengar jawaban itu, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan kesenangan nafsu, mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata : "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Sugata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru Jagad parinibbana dan lenyap dari pandangan." Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung: "Segala sesuatu adalah tidak kekal bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi jika tidak demikian?"
20. Ketika itu, seorang bernama Subhadda, yang telah mengundurkan diri dari keduniawian setelah umurnya lanjut. Ia pun terdapat di antara sekelompok bhikkhu itu, di mana ia berkata kepada mereka demikian : "Cukuplah saudara-saudara, janganlah berduka cita, janganlah meratap. Sekarang kita telah bebas dari Pertapa yang Maha Besar itu. Sudah terlalu lama, kita telah ditekan dengan kata-kata : 'Ini cocok bagimu, itu tidak baik bagimu.' Sekarang kita akan dapat berbuat apa saja yang kita kehendaki, dan melepaskan apa yang kita tidak senangi, tidak ada yang akan melarangnya."
Tetapi Maha Kassapa menegur para bhikkhu : "Cukuplah, saudara-saudara! Janganlah berduka cita, janganlah meratap! Karena bukankah Sang Bhagava dahulu telah mengatakan bahwa segala yang baik dan yang kita cintai pastilah akan mengalami perubahan, pergeseran, dan perpisahan?" Karena segala sesuatu yang timbul menjadi wujud, terlahir dalam perpaduan bentuk-bentuk tertentu akan mengalami kelapukan; bagaimana seseorang dapat berkata : "Semoga ia tidak sampai pada peleburannya."
21. Dikisahkan pada waktu itu, di tempat perabuan, tempat orang suku Malla asal dari keluarga yang terkemuka telah mandi dan berkemas dengan bersih lalu mengenakan pakaian-pakaian yang baru dengan pikiran: "Kita akan menyalakan api perabuan Sang Bhagava itu." Lalu mereka berusaha mengerjakan hal itu, tetapi mereka tak dapat. Setelah itu suku Malla berkata kepada Anuruddha demikian: "Bhante Anuruddha, mengapa keempat orang dari keluarga yang terkemuka, yang telah mandi dan berkeramas dengan bersih serta mengenakan pakaian-pakaian baru mempunyai pikiran: 'Kita akan menyalakan api perabuan Sang Bhagava.' Mereka berusaha melakukan hal itu, tetapi tak dapat."
"Vasettha, kamu mempunyai satu maksud tetapi para dewa mempunyai maksud lain." "Bhante, apakah maksud para dewa itu?"
"Maksud dari para dewa adalah demikian: "Bhikkhu Maha Kassapa sedang dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, bersama serombongan para bhikkhu yang berjumlah sampai lima ratus orang. Jangan nyalakan api perabuan Sang Bhagava itu, sebelum bhikkhu Maha Kassapa tiba untuk menghormati jenasah Sang Bhagava."
" Kalau demikian, apa yang dikehendaki para dewa itu, biarkanlah terlaksana."
22. Kemudian rombongan Maha Kassapa tiba di tempat pancaka Sang Bhagava di Cetiya dari suku Malla, Makuta-bandhana, di Kusinara. Beliau lalu mengatur jubahnya pada salah satu bahunya, dan dengan tangan tercakup di muka, beliau menghormat Sang Bhagava; beliau berjalan mengitari pancaka tiga kali, kemudian menghadap pada jenasah Sang Bhagava, lalu beliau berlutut menghormat pada jenasah Sang Bhagava. Hal yang serupa itu, juga dilakukan oleh kelima ratus bhikkhu itu.
Demikianlah setelah dilakukan penghormatan oleh Maha Kassapa beserta kelima ratus bhikkhu itu, maka di pancaka Sang Bhagava lalu terlihat api menyala dengan sendirinya dan membakar seluruhnya.
23. Demikanlah terjadi takkala jenasah Sang Bhagava mulai dibakar; yang mula-mula terbakar adalah kulitnya, jaringan daging, urat-urat dan cairan-cairan semua itu tiada yang nampak, abu maupun bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Tepat sama seperti lemak atau minyak kalau dibakar tidak meninggalkan bagian-bagiannya atau debu-debunya, demikian pula dengan jenazah Sang Bhagava setelah terbakar, apa yang dinamakan kulit, jaringan, daging, urat-uratan serta cairan, tiada nampak debunya atau bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Dari kelima ratus lapisan kain linen pembungkusnya, hanya dua yang tidak musnah, yaitu yang paling dalam dan yang paling luar.
Demikianlah ketika jenazah Sang Bhagava telah habis terbakar maka air seperti dicurahkan dari langit memadamkan api perabuan itu. Dari pohon Sala juga keluar air menyiramnya, suku Malla dari Kusinara juga membawa air yang telah diisi dengan berbagai wangi-wangian dan mereka juga menyirami api perabuan Sang Bhagava itu.
Kemudian suku Malla dari Kusinara, mengambil relik (sisa jasmani) Sang Bhagava, lalu ditempatkan di tengah-tengah ruangan sidang mereka, yang kemudian dipagari sekelilingnya dengan anyaman tombak-tombak, lalu dilapisi lagi dengan pagar dari panah dan busur-busur.
Di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama tujuh hari. Untuk menghormati relik Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyian dan lagu-lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan dan wangi-wangian, melakukan puja bakti terhadap relik Sang Bhagava.
PEMBAGIAN RELIK-RELIK (BENDA-BENDA
PENINGGALAN) SANG BHAGAVA
24. Kemudian Raja Magadha, Ajatasattu, putera Ratu Videhi, mendengar bahwa Sang Bhagava telah mangkat di Kusinara. Ia mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari kesatria asal Sang Bhagava; demikianlah pula saya. Karena itu saya sangat perlu untuk menerima sebagian relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu saya akan dirikan sebuah stupa; dan untuk menghormatiNya, saya akan mengadakan suatu kebaktian dan perayaan."
Orang Licchavi dari Vesali setelah mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka lalu mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan mengatakan: "Dari Kesatria asal Sang Bhagava; demikianlah pula kami. Kami sangat perlu untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu kami akan mendirikan sebuah stupa. Kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian, untuk menghormati Beliau."
Suku Sakya dari Kapilavasthu juga setelah mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Maka mereka mengirim utusan kepada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Sang Bhagava adalah keluarga kami. Berhargalah bagi kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava kami akan mendirikan sebuah stupa, dan untuk menghormati Beliau, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Suku Buli dari Allakappa mendengar pula bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan mengatakan: "Dari Kesatria asal Sang Bhagava; dan demikian pula kami. Berhargalah kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu kami akan mendirikan stupa, dan untuk menghormati Beliau, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Suku Koli dari Ramagama mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka mengirim suatu utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava, dan demikian pula kami. Berhargalah kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu kami akan mendirikan stupa, dan untuk menghormati Beliau, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Brahmana Vethadipa mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Ia mengirim suatu utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava dan saya adalah seorang brahmana. Berharga bagi saya untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu saya akan mendirikan sebuah stupa, dan untuk menghormati Beliau, saya akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Suku Malla dari Pava mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara, dan mereka mengirim suatu utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava, dan demikian pulalah kami. Berharga bagi kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava, kami akan mendirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, kami akan mengadakan perayaan kebaktian."
25. Tetapi ketika mereka menerima pernyataan-pernyataan ini, suku Malla di Kusinara, mengadakan sidang dan menyatakan demikian: "Di kota kitalah Sang Bhagava telah wafat. Kita yang berhak atas semua relik dari Sang Bhagava." Kemudian Brahmana Dona berkata kepada sidang dengan rangkaian sajak sebagai berikut :
"Wahai saudara-saudara dengarlah sepatah kata dariku,
Sang Buddha, Maha Guru yang kita junjung tinggi,
Telah mengajarkan, agar kita selalu bersabar,
Sungguh tak layak, jika timbul ketegangan nanti,
Timbul perkelahian, peperangan karena
Relik Beliau, Manusia Agung yang tak ternilai,
Marilah kita bersama, wahai para hadirin,
Dalam suasana persaudaraan yang rukun dan damai,
Membagi menjadi delapan, peninggalan yang suci ini,
Sehingga setiap penjuru, jauh tersebar di sana sini,
Terdapat stupa-stupa yang megah menjulang tinggi,
Dan jika melihat semua itu, lalu timbul dalam sanubari,
suatu keyakinan yang teguh terhadap Beliau."
"Kalau begitu baiklah, Brahmana. Silahkan Brahmana membagi relik itu dalam ke delapan bagian." Brahmana Dona berkata kepada sidang: "Baiklah para hadirin."
Kemudian dia membagi dengan adil, dalam delapan bagian yang sama, semua peninggalan Sang Bhagava itu. Setelah selesai membagi itu, ia berkata kepada sidang demikian: "Biarlah tempayan ini, saudara-saudara berikan kepadaku. Untuk tempayan ini akan kudirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, aku akan mengadakan perayaan dan kebaktian." Tempayan itu lalu diberikan kepada Brahmana Dona.
26. Kemudian suku Moriya dari Pippalivana mengetahui bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara.
Mereka mengirim suatu utusan pada kaum Malla dari Kusinara, dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava, dan demikian jugalah kami. Berharga bagi kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava kami akan mendirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Tetapi oleh karena relik sudah habis terbagi, maka ia dianjurkan demikian: "Tidak ada bagian dari relik Sang Bhagava yang masih tertinggal lagi. Sudah terbagi habis relik Sang Bhagava itu. Tetapi saudara dapat mengambil abu-abu dari peninggalan Sang Bhagava." Mereka mengambil abu-abu dari Sang Bhagava, lalu dibawa pulang ke kotanya.
27. Kemudian raja dari Magadha, Ajatasattu, putera dari ratu Videhi, mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava, di Rajagaha, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Orang Licchavi dari Vesali mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Vesali, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Sakya dari Kapilavasthu mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Kapilavasthu, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Buli dari Allakappa mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Allakappa, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Koli dari Ramagama telah mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Vethadipa, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Kaum Malla dari Pava telah mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Pava, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Brahmana Dona telah mendirikan sebuah stupa untuk Tempayan (bekas tempat relik Sang Bhagava), dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Moriya dari Pipphalivana mendirikan sebuah stupa untuk abu Sang Bhagava di Pipphalivana, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Demikian maka terdapat delapan stupa untuk relik Sang Bhagava dan stupa yang kesembilan untuk tempayan dan stupa yang kesepuluh untuk abu Sang Bhagava.
Demikianlah telah terjadi pada waktu yang lalu.
28. Terbagi delapan relik Sang Bhagava
Beliau Yang Maha Tahu, kembangnya manusia,
Tujuh bagian, di Jambudipa dipuja orang,
Satu bagian, di Ramagama,
Dipuja oleh raja naga,
Sebuah gigi dipuja di surga Tavatimsa.
Sebuah gigi lagi dipuja di Kalingga oleh raja naga.
Karena pancaran cinta kasih yang tak terbatas,
Tanah air ini mendapat berkah yang melimpah.
Karena itu relik-relik Beliau dijaga dengan baik,
oleh mereka yang turut memujanya, para dewa, para naga dan oleh manusia bijaksana.
Beliaulah yang paling tinggi dipuja.
Maka itu hormatilah Dia dengan anjali,
karena sungguh sulit adanya, mungkin
ratusan Kappa belum tentu bertemu dengan seorang Buddha.
iwakbelido,
Kalo dari tradisi Theravada, Buddha Gotama parinibbana (wafat) pada usia 80 tahun. Banyak dalam sutta dikatakan tubuhnya sudah tua dan melemah, jadi tidak selalu tampak muda seperti pada ilustrasi. Mengenai apa yang dilakukan pada jasadnya, ini kutipan dari Maha Parinibbana Sutta:
"Jenazah seorang Raja Dunia, mula-mula dibungkus dengan kain linen yang baru dan kemudian diikat dengan kain wool katun dan dengan begitu ia dibalut dengan lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain katun wool. Apabila itu sudah dikerjakan, maka jenazah Sang Raja Dunia itu, ditempatkan dalam sebuah peti pembuluh yang dicat meni, yang dimasukkan pula dalam peti pembuluh yang lain, kemudian ditempatkan di pembakaran jenazah yang dibangun dengan beraneka macam kayu-kayu yang wangi, dan dengan demikian jenazah Sang Raja Jagat itu lalu dibakar. Di persimpangan empat (perempatan) lalu dirikan stupa untuk raja jagat itu. Demikianlah Ananda, yang seharusnya dilakukan kepada jenazah seorang Raja Dunia.
Selanjutnya Ananda, seperti halnya dengan jenazah dari Raja Dunia itu, demikian pula seharusnya dikerjakan terhadap badan wadag Sang Tathagata..."
kemudian reliknya dibagi menjadi 8 bagian dan dibagikan kepada:
1. Raja dari Magadha, Ajatasattu
2. Orang Licchavi dari Vesali
3. Suku Sakya dari Kapilavasthu
4. Suku Buli dari Allakappa
5. Suku Koli dari Ramagama
6. Kaum Malla dari Pava
7. Brahmana Dona
8. Suku Moriya dari Pipphalivana
Quote from: iwakbelido on 15 May 2008, 08:38:35 AM
[at] Andry:
oh ya? disebar ya? ditabur di laut/sungai kayak masa sekarang kan begitu, setelah diprabu, abunya disebar di laut/sungai.
[at] Chingik:
wah, bisa didownload di mana ya film animasi Buddha produksi Jepang itu?
Dulu sering lihat pajangan VCDnya di Yayasan Buddha Amitabha di jln Latumeten. Mungkin bro bisa minta ke sana.
[at] nyanadhana : terima kasih banyak saudara Nyanadhana :) postingnya sangat berguna, menambah pengetahuan
[at] Kainyn_Kutho : terima kasih atas infonya.
Saudara se-Dharma, kalau yang ada di Stupa puncak Candi Borobudur itu reliknya siapa ya?
setau aku ,cerita rakyatnya ada beberapa versi
1. Relik Rambut Sang Buddha
2. Relik pembuat Borobudur
3. Relik raja-raja Buddhist
4. Relik Arahat
namun ketika jaman penjajahan Belanda, stupa utama sempet dibongkar orang Belanda, pas mereka lihat dikira kotak debu, dibuang gitu aja oleh Belanda,stupa atas trus dijadikan sebagai tempat minum kopi dan teh pada pagi dan sore hari.
Quote from: nyanadhana on 15 May 2008, 11:28:02 AM
setau aku ,cerita rakyatnya ada beberapa versi
1. Relik Rambut Sang Buddha
2. Relik pembuat Borobudur
3. Relik raja-raja Buddhist
4. Relik Arahat
namun ketika jaman penjajahan Belanda, stupa utama sempet dibongkar orang Belanda, pas mereka lihat dikira kotak debu, dibuang gitu aja oleh Belanda,stupa atas trus dijadikan sebagai tempat minum kopi dan teh pada pagi dan sore hari.
HAH? dibuang begitu saja oleh Belanda?? Yakin? Jadi sekarang di dlm stupa tersebut ngga ada apa2 ya?
Lalu saat Sang Buddha wafat, apakah ada kejadian yang menakjubkan? Misalkan seperti para naga menangis atau apapun lah, seperti saat Beliau lahir, Beliau langsung jalan 7 langkah ke timur, lalu bumi bergetar dll _/\_
Quote from: iwakbelido on 15 May 2008, 12:06:33 PM
Lalu saat Sang Buddha wafat, apakah ada kejadian yang menakjubkan? Misalkan seperti para naga menangis atau apapun lah, ...
Yang ada, YA Ananda yg menangis.
Sementara murid2 lain yg telah mencapai kearahatan tidak ada satupun yg menagis.
OOT:
Dalam ajaran Buddha peristiwa kematian bukanlah suatu peristiwa yg harus ditangisi.
Kematian hanyalah fenomena alam biasa.
Dalam tangisan kematian, batin kita merintih karena kemelekatan kita terhadap objek yg ditarik lepas. Sangat berat melepas kemelekatan akan orang2 yg paling dikasihi.
Memang benar, apa yg kita anggap cinta itu adalah kemelekatan, buktinya, ketika objek yg kita cintai 'pergi', kita menderita.
::
setau aku itu kesalahan zaman dulu dimana ga ada yang mengerti bahwa itu punya org suci apalagi berdebu, btw informasi ini aku dapat dengan bertanya ke tour guide borobudur dan bagian penelitian borobudur yaph,itu informasi yang aku dapat.
Kejadian wafat,nanti aku post
PARINIBBANA SANG BHAGAVA
8. Mula-mula Sang Bhagava memasuki Jhana pertama.
Bangkit dari Jhana pertama, beliau memasuki Jhana kedua. Bangkit dari Jhana kedua beliau memasuki Jhana ketiga. Bangkit dari Jhana ketiga, beliau memasuki Jhana keempat. Bangkit dari Jhana keempat, beliau memasuki keadaan Ruang Tak Terbatas. Bangkit dari keadaan Ruang Tak Terbatas, beliau memasuki keadaan Kesadaran Tak Terbatas. Bangkit dari keadaan Kesadaran Tak Terbatas, beliau memasuki keadaan Kekosongan. Bangkit dari keadaan kekosongan, beliau memasuki keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencerapan. Bangkit dari Keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencerapan, beliau memasuki Keadaan Penghentian dari Pencerapan dan Perasaan.
Kemudian Ananda berkata demikian : "Anuruddha kiranya Sang Bhagava telah mangkat."
"Tidak, saudara Ananda, Sang Bhagava belum mangkat, Beliau memasuki keadaan Penghentian dari Pencerapan dan Perasaan."
9. Kemudian Sang Bhagava, bangkit dari keadaan Penghentian dari Pencerapan dan Perasaan, lalu kembali lagi memasuki keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencernaan. Bangkit dari keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencerapan, beliau memasuki keadaan Kekosongan, beliau memasuki keadaan Kesedaran Tak Terbatas. Bangkit dari Keadaan Kesadaran Tak Terbatas, beliau memasuki keadaan Ruang Tak Terbatas. Bangkit dari keadaan Ruang Tak Terbatas, beliau memasuki Jhana keempat. Bangkit dari Jhana keempat, beliau memasuki Jhana ketiga. Bangkit dari Jhana ketiga, beliau memasuki Jhana kedua. Bangkit dari Jhana kedua, beliau memasuki Jhana pertama.
Bangkit dari Jhana pertama, beliau memasuki Jhana kedua. Bangkit dari Jhana kedua, beliau memasuki Jhana ketiga. Bangkit dari Jhana ketiga, beliau memasuki Jhana keempat. Dan bangkit dari Jhana keempat, lalu mangkatlah, Sang Bhagava - Parinibbana.
Demikianlah ketika Sang Bhagava telah Parinibbana, tepat bersamaan dengan saat parinibbanaNya, maka terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat, menakutkan, mengerikan, dan mengejutkan disertai halilintar sambar-menyambar di angkasa.
Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, dewa Brahma Sahampati mengucapkan syair ini:
Mereka semua, semua makhluk hidup akan melepaskan bentuk kehidupan mereka kelompok batin dan jasmani.
Walaupun Ia seorang Guru Jagad seperti Beliau, yang tiada taranya, yang perkasa Tathagata Sambuddha Parinibbana juga.
Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, dewa Sakka, raja para dewa, mengucapkan syair ini:
"Segala yang berbentuk tidak kekal adanya, bersifat timbul dan tenggelam,
Setelah timbul akan hancur dan lenyap,
Bahagia timbul setelah gelisah lenyap."
Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, bhikkhu Anuruddha mengucapkan syair ini:
Tanpa menggerakkan napas, namun dengan keteguhan batin, bebas dari keinginan dan segala ikatan, demikianlah Sang Bijaksana mengakhiri hidupnya.
Walaupun menghadapi saat maut, Beliau tak gentar, batinnya tetap tenang.
Bagaikan padamnya nyala lampu'
Beliau mencapai kebebasan.
Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, Ananda mengucapkan syair ini:
"Maka terjadilah kegemparan sehingga bulu roma berdiri, ketika Sang Buddha parinibbana."
Demikianlah, ketika Sang Bhagava meninggal, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan kesenangan napsu dengan mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata: "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru jagad parinibbana dan lenyap dari pandangan."
Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung dalam batin: "Segala sesuatu adalah tidak kekal, bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi, jika tidak terjadi demikian?"
11. Kemudian bhikkhu Anurudha berkata kepada para bhikkhu: "Cukuplah para avuso! Janganlah berduka cita, janganlah meratap! Karena bukankah Sang Bhagava dahulu telah menyatakan bahwa segala sesuatu yang disayangi dan yang dicintai itu tidaklah kekal, pastilah ada perobahan, pergeseran serta perpisahan ? Apa yang timbul dalam perwujudan, kelahiran sebagai makhluk dalam bentuk yang berpaduan itu, pasti akan mengalami kelapukan; maka hal ini tidak lenyap. Para dewa juga sangat berduka cita."
"Tetapi, para dewa manakah yang disadarkan oleh bhante?" tanya Ananda.
"Ananda, para dewa angkasa dan bumi yang masih cenderung pada kesenangan nafsu, dengan rambut kusut sambil mengangkat tangan, mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata : "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru Jagad parinibbana dan akan lenyap dari pandangan."
"Tetapi para dewa yang telah bebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung: "Segala sesuatu adalah tidak kekal bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi jika tidak demikian?"
12. Kini Anurudha dan Ananda selama satu malam suntuk memperbincangkan Dhamma. Kemudian Anurudha berkata kepada Ananda : "Ananda, sekarang pergilah ke Kusinara, umumkanlah kepada suku Malla : "Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian." "Baiklah bhante."
Lalu Ananda dengan seorang kawannya mempersiapkan diri sebelum tengah hari dan sambil membawa patta serta jubahnya menuju ke Kusinara.
Pada saat itu suku Malla dari Kusinara sedang berkumpul dalam ruang persidangan untuk merundingkan soal itu juga. Takala Ananda menemui mereka, lalu mengumumkan : "Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian."
Demikianlah, ketika mereka mendengar kata-kata Ananda, suku Malla dengan semua anak, istri, menantu mereka menjadi sedih, berduka cita dan sangat susah kelihatannya, ada di antara mereka dengan rambut yang kusut serta mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata : "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Sugata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru Jagad parinibbana dan lenyap dari pandangan."
thanks a lot buat infonya _/\_
Up... Up.... mengangkat kembali topik ini.. ;D
Rekan2 sedhamma yg baik, saya butuh dikit info yg kiranya dapat dopertanggung jawabkan kebenarannya...
Sy pernah membaca bahwa sang buddha wafat setelah mengkomsumsi Daging babi lunak..
Dan setelah saya mencari info dr mbah google, ternyata beliau wafat bukan krn keracunan makanan tp lebih krn penyakit usia tua pd umumnya...
Nah yg jadi pertanyaan saya, kenapa setelah beliau makan, sisa dr makanan tsb diminta oleh beliau agar segera dikubur ??
Apa kira2 alasan beliau utk mengubur makanan tsb? apakah hal ini ada dijelaskan dlm sutta ??
Mohon pencerahan dr rekan2..
_/\_
penjelasan dari Sang Buddha sendiri adalah, tidak satu mahkluk pun yg mampu menyantap makanan tsb.
jadi informasinya hanya sampai di sini...
Sang Buddha juga meyakinkan Cunda agar tidak bersedih, sebab dana makanan yg diberikan tsb justru merupakan dana yg manfaatnya besar...
kenapa sisa makanan tsb tidak boleh disantap oleh yg lain?? ga tau juga... :hammer:
Ada artikel dari Bhikkhu Mettanando mengenai "BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?"
bisa dibaca di: http://bhagavant.com/home.php?link=naskah_dhamma_article&n_id=60
Yup, thanks bro kelana, tp justru artikel tsb lah yg udh sy dapat dr hasil googling..
Tapi blm mendapatkan apa maksud ato alasan mengapa Sang buddha melarang org2 utk menyantap sisa makanan tsb?? dan memerintahkan utk segera menguburkan makanan tsb...
Ada umat buddha yg masih sangat awam yg bertanya ttg hal tsb, dan seperti yg dia ketahui bahwa dlm agama buddha tiada rahasia, semua bisa dijelaskan kecuali beberapa hal diantaranya ttg Nibbana dan Asal mula kehidupan.. Tp mengapa hal yg sepertinya sepele ini tiada satupun yg mengetahui alasannya??
Tapi klo emank ga ada ya apa boleh buat, ntar saya jelasin aja bahwa pertanyaan tsb ga bermanfaat dlm pengembangan Batin ;D
^:)^
Quotekutip di bhagavant.com
Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya ? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita shock yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhirNya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu.
mengapa sang Buddha masih bisa shock???
QuoteSecara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan
wah ini menakutkan nih, bagaimana kita bisa mengontrol aliran darah supaya bisa mengalr lebih tinggi ke pencernaan, ini diluar kuasa ku. menakutkan saja...
QuoteSecara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darah nya , yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah.
bikin sugesti yang enggak enggak!
QuoteSy pernah membaca bahwa sang buddha wafat setelah mengkomsumsi Daging babi lunak..
Nanti diprotes yang Mahayana ;D
Menilik asal katanya sukara maddava diterjemahkan secara harafiah sebagai kesukaan babi, di kitab komentar Pali (Theravada) dijelaskan bahwa makanan itu adalah bagian babi yang menyenangkan, atau babi muda. Di Mahayana hal itu adalah sejenis jamur kesukaan babi. Masing-masing pasti akan mempertahankan argumentasi masing-masing ;D
Konon ada 2 makanan yang paling bagus untuk didanakan, yaitu kepada Bodhisatta tepat sebelum mencapai pencerahan, dan kepada Buddha sebelum parinibanna. Mengetahui hal ini dan ingin membuat kebajikan, para dewa memberikan banyak sari-sari (ouja) yang bergizi, sehingga overdosis, dan tidak ada makhluk yang bisa mencerna dengan baik kecuali Sammasambuddha sendiri. Kalau ada yang menyantap pasti akan overdosis dan tidak mampu mencerna. Makanya dilarang untuk dimakan.
Kalau pandangan materialis seperti Mettanando disimpulkan karena mesentric disease. Ada juga yang bilang keracunan. Atau mungkin shock kehilangan banyak darah, dsb. Tapi kalau mengacu kepada Sutta dan komentar-komentar, bukan hal itu yang terjadi
Tapi saya percaya bukan hal itu penyebab Sang Buddha wafat, karena memang sudah sesuai waktunya, karena untuk mengajarkan anicca. Sang Buddha pernah mengatakan bahwa Sammasambuddha bisa hidup sampai akhir kalpa jika Sang Buddha menghendakinya. Seorang Sammasambuddha konon tidak bisa wafat karena faktor luar, seperti dibunuh, karena keracunan, karena radang otot perut, dll. Karena timbunan jasa-jasa yang dilakukan pada saat masih menjadi Bodhisatta, hal itu mengakibatkan suatu titik jenuh, yang berakibat seorang Sammasambuddha tidak bisa wafat karena faktor luar. Hal ini bukan cuma eksklusif Theravada, melainkan di 3 aliran besar mempercayai adanya Dhammatta, keteraturan-keteraturan yang ada pada saat kemunculan seorang Sammasambuddha, seperti waktu yang sesuai, penduduk yang sesuai, tempat yang sesuai, kondisi-kondisi yang sesuai. Salah satu Dhammatta itu adalah seorang Sammasambuddha tidak bisa wafat karena faktor luar.
Sang Buddha disebut Maha Tahu, maka tidak mungkin sang Buddha tidak mengetahui bahwa makanan itu akan berakibat buruk bagi tubuhnya.
Sang Buddha tentu sudah mengetahui sebelum memakan benda yang membuat tubuhNya menjadi lemah dan rusak.
Mengapa sang Buddha Yang Maha Tahu itu tetap melakukan hal tersebut?
Karena sudah memiliki perjanjian dengan sang Mara pada saat 3 bulan yang lalu.
Shingga tidak ada satupun yang dapat melemahkan tubuhNya kecuali harus mengkomsumsi jenis tumbuhan/jamur yang bernama Kaki Babi itu.
Dan Buddhapun bertemu dengan siswa yang bernama Cunda.
Perlu kita ketahui bersama dalam artikel tersebut Bhikkhu Mettanando mengungkapkan sudut pandang kedokteran dan menempatkan Buddha sebagai layaknya manusia biasa. Oleh karena itu kadang kala kita akan menemukan sedikit kontradiksi dari apa yang telah kita dengar dari tradisi.
Quote from: Umat Awam on 21 May 2008, 06:23:39 PM
Yup, thanks bro kelana, tp justru artikel tsb lah yg udh sy dapat dr hasil googling..
Tapi blm mendapatkan apa maksud ato alasan mengapa Sang buddha melarang org2 utk menyantap sisa makanan tsb?? dan memerintahkan utk segera menguburkan makanan tsb...
Ada umat buddha yg masih sangat awam yg bertanya ttg hal tsb, dan seperti yg dia ketahui bahwa dlm agama buddha tiada rahasia, semua bisa dijelaskan kecuali beberapa hal diantaranya ttg Nibbana dan Asal mula kehidupan.. Tp mengapa hal yg sepertinya sepele ini tiada satupun yg mengetahui alasannya??
Tapi klo emank ga ada ya apa boleh buat, ntar saya jelasin aja bahwa pertanyaan tsb ga bermanfaat dlm pengembangan Batin ;D
^:)^
Jika mengacu pada sutta maka kita akan melihat jawaban (alasan) Sang Buddha yaitu :" Cunda, sisa-sisa Sukaramaddava yang masih tertinggal, tanamkanlah dalam sebuah lobang,
karena kami lihat di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri."
Jika diteruskan dengan pertanyaan: "mengapa para dewa, mara, dll tidak sanggup memakannya?" , hal ini tidak terdapat dalam sutta, karena mungkin pada waktu itu tidak ada yang menanyakannya. Nah, tidak ada penjelasan dalam sutta bukan berarti hal tersebut adalah suatu rahasia. Yang namanya rahasia adalah sesuatu yang memang ada tapi disembunyikan.
Quote from: JHONSON on 21 May 2008, 07:13:44 PM
mengapa sang Buddha masih bisa shock???
Shock di sini bukanlah reaksi batin yang terkejut, tapi reaksi jasmani karena adanya kondisi yang tidak biasanya yang datang tiba-tiba. Jadi jelas Sang Buddha masih bisa shock karena beliau memiliki tubuh jasmani.
QuoteSecara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan
wah ini menakutkan nih, bagaimana kita bisa mengontrol aliran darah supaya bisa mengalr lebih tinggi ke pencernaan, ini diluar kuasa ku. menakutkan saja...
Apa yang harus ditakutkan? Ini adalah proses wajar yang ada dalam tubuh. Ketika kita makan makanan yang sifatnya berat maka otomatis aliran darah lebih tinggi menuju ke saluran pencernaan. Mungkin yang dari kedokteran bisa menjelaskan lebih lanjut.
Quote from: JHONSON on 21 May 2008, 07:16:04 PM
bikin sugesti yang enggak enggak!
Sugesti yang enggak-enggak? Maksudnya apa ya ?
Quote from: JHONSON on 21 May 2008, 09:51:34 PM
Sang Buddha disebut Maha Tahu, maka tidak mungkin sang Buddha tidak mengetahui bahwa makanan itu akan berakibat buruk bagi tubuhnya.
Sang Buddha tentu sudah mengetahui sebelum memakan benda yang membuat tubuhNya menjadi lemah dan rusak.
Mengapa sang Buddha Yang Maha Tahu itu tetap melakukan hal tersebut?
Karena sudah memiliki perjanjian dengan sang Mara pada saat 3 bulan yang lalu.
Shingga tidak ada satupun yang dapat melemahkan tubuhNya kecuali harus mengkomsumsi jenis tumbuhan/jamur yang bernama Kaki Babi itu.
Dan Buddhapun bertemu dengan siswa yang bernama Cunda.
Sebelum menjawabnya, pertanyaannya adalah apa yang anda maksud dari Maha Tahu di sini?
_/\_ Sukara maddava memang penterjemahannya memiliki kata ambigu namun dari Sutta kita dapatkan adalah begini, makanan ini sebenarnya hanyalah dana makanan biasa namun para deva menambahkan sari-sari yang sangat bergizi ke dalam. Sang Buddha yang mengetahui hal ini mengatakan kepada murid-muridnya untuk tidak memakan itu karena makanan itu diperuntukkan untuk Tathagata dan hanya Tathagata yang bisa menyerap sari-sari itu sedangkan bila seseorang memakannya diakibatkan sari yang dikandung terlalu bergizi tinggi maka akan menyebabkan keracunan/kematian.
Sang Buddha menyantap makanan itu lalu memulai perjalanan menuju 2 Pohon Sala yang kita kenal sebagai tempat Parinibbana Sang Buddha. Sebelum Parinibbana , Sang Buddha juga sudah mengetahui bahwa jikalau ia Parinibbana maka akan ada orang yang mencela Cunda karena memberikan makanan terakhir yang beracun, sesungguhnya bukan demikian, Sang Buddha parinibbana adalah karena jasmaninya sudah uzur,mengikuti Niyama,maka jasmani akan ditelan oleh waktu(tua dan mati).
Sang Buddha berpesan kepada muridnya agar tidak mencela Cunda karena ia telah berdana makanan kepada Tathagata dan itu adalah perbuatan yang sangat terpuji. Makanan Sukara Maddava yang sisa kemudian harus dikuburkan karena sari itu akan kembali diserap oleh bumi dan netral.
Jadi Tathgata bukan Parinibbana gara-gara keracunan makanan melainkan sudah waktunya. _/\_
Makanan yang telah dimakan itu dibuang dan dikatakan tidak bisa dimakan oleh dewa, mara, brahmana, samana dan brahmana, karena makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain.
Hal ini kemungkinan sama seperti dalam Sagatha-Vagga 7.1.9, tetapi makanan itu diberikan tanpa mengetahui Gotama adalah seorang Samma Sambuddha, sehingga dikatakan para Arahat (Siswa Tathagata) bisa memakannya.
siapa itu budha?
tiada tuhan selain Allah
Allah itu maha tahu
Quote from: Wen Wen on 18 June 2008, 10:27:13 AM
siapa itu budha?
tiada tuhan selain Allah
Allah itu maha tahu
=)) MAHA TAHU=TAHU YANG BESAR YAH =))
MAHA TAHU berarti sejenis makanan yang amat besar, tahu yang amat besar, tempe deh OOt
Quote from: karuna_murti on 21 May 2008, 09:30:13 PM
Tapi saya percaya bukan hal itu penyebab Sang Buddha wafat, karena memang sudah sesuai waktunya, karena untuk mengajarkan anicca. Sang Buddha pernah mengatakan bahwa Sammasambuddha bisa hidup sampai akhir kalpa jika Sang Buddha menghendakinya. Seorang Sammasambuddha konon tidak bisa wafat karena faktor luar, seperti dibunuh, karena keracunan, karena radang otot perut, dll. Karena timbunan jasa-jasa yang dilakukan pada saat masih menjadi Bodhisatta, hal itu mengakibatkan suatu titik jenuh, yang berakibat seorang Sammasambuddha tidak bisa wafat karena faktor luar. Hal ini bukan cuma eksklusif Theravada, melainkan di 3 aliran besar mempercayai adanya Dhammatta, keteraturan-keteraturan yang ada pada saat kemunculan seorang Sammasambuddha, seperti waktu yang sesuai, penduduk yang sesuai, tempat yang sesuai, kondisi-kondisi yang sesuai. Salah satu Dhammatta itu adalah seorang Sammasambuddha tidak bisa wafat karena faktor luar.
Tanya: kalau memang Sang Buddha sudah waktunya wafat, mengapa Beliau memberikan kesan seolah-olah itu adalah kesalahan YM Ananda, apakah jika YM Ananda memohon maka Sang Buddha tidak jadi wafat? kalau ya, bagaimana dengan Dhammatta?
Sang Buddha tidak memberikan kesan bahwa Ananda yang salah, yang mempergunjingkan kesalahan Ananda adalah bhikkhu yang belum mencapai pencerahan, Sang Buddha sudah wanti wanti hal ini dngan menasehati muridnya untuk tidak mempermasalahkan Ananda sesudah Parinibbana. namun bhikkhu yang belum mencapai pencerahan dan dirudung duka mendalam terus memprotes karena dikiranya Buddha itu eternal.
Pencapaian Dhamma adalah sampai pada titik dimana tubuh ini memang tidak bisa meneruskan kehidupannya lagi ibarat mesin mobil keluaran tahun 90 yang udahmulai aus dan usang.
Mara yang menemui Buddha jangan ditanggapi sebagai persona melainkan sebagai sifat alami kematian. Jara Maranam.
berikut ini adalah kutipan Maha Parinibbana Sutta
------------------------------------------------------
38. Mendengar ucapan-ucapan tersebut, Ananda lalu berkata kepada Sang Bhagava: "Bhante, semoga Sang Bhagava selalu berada di dunia ini; Semogalah Yang Berbahagia tetap di sini sepanjang masa, demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Kasihanilah dunia demi kebaikan mahluk-mahluk semuanya dan demi kebahagiaan para dewa serta manusia."
39. Sang Bhagava lalu menjawab demikian: "Cukuplah Ananda, janganlah menahan Sang Tathagata, karena waktunya sudahlah terlambat, untuk permintaan semacam itu."
Tapi untuk kedua dan ketiga kalinya, Ananda memohon kepada Sang Bhagava: "Bhante, semoga Sang Bhagava tetap berada di dunia ini, semoga Yang Berbahagia tetap di sini sepanjang masa; demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Kasihanilah dunia, demi kebaikan semua mahluk dan kebahagiaan para dewa serta manusia."
Sang Bhagava lalu berkata: "Ananda, apakah kamu mempunyai keyakinan terhadap buah hasil Penerangan sejati dari Sang Tathagata?"
Ananda menjawab: "Bhante, kami sangat yakin."
"Ananda, kalau begitu, mengapa kamu mengganggu Sang Tathagata sampai tiga kali?"
40. Ananda menjawab: "Dari mulut Sang Tathagata sendiri kami telah mendengar: 'Barang siapa yang telah mengembangkan, mempraktekkan, menggunakan, memelihara, menyelidiki dengan seksama dan menguasai empat iddhipada (dasar kekuatan batin), maka ia dapat menggunakan iddhipada itu sebagai alat dan dasar dan bila ia ingin, ia dapat mempertahankan kehidupannya selama satu kappa atau selama sebagian kappa yang masih berlangsung.' Sekarang Sang Tathagata telah mempraktekkan dan mengembangkan iddhipada itu dengan sempurna, maka ia dapat dan bila ia ingin, ia dapat hidup selama satu kappa atau selama bagian dari kappa yang masih berlangsung."
"Ananda, apakah kamu mempercayainya?"
"Ya, kami mempercayainya, bhante," jawab Ananda. "Ananda, dengan demikian kesalahan ada padamu. Karena dalam hal ini kamu telah gagal memahami saran yang sederhana dan bermakna serta dorongan yang berarti yang diberikan oleh Sang Tathagata, maka seharusnya kamu tidak memohon beliau untuk tetap berada di sini. Jika pada waktu yang lalu kamu memohon seperti itu, untuk kedua kali Sang Tathagata mungkin menolaknya, tetapi untuk yang ketiga kalinya ia mungkinkan menyetujuinya. Ananda, oleh karena itu, kesalahan ada padamu, maka permohonanmu sekarang adalah sia-sia."
--------------------------
jadi menurut Sutta ini, Sang Buddha memang menyalahkan Ananda
Maha Parinibbana sutta
Praise To Ananda
36. Then the Blessed One addressed the bhikkhus, saying: "Bhikkhus, the Blessed Ones, Arahants, Fully Enlightened Ones of times past also had excellent and devoted attendant bhikkhus, such as I have in Ananda. And so also, bhikkhus, will the Blessed Ones, Arahants, Fully Enlightened Ones of times to come.
37. "Capable and judicious is Ananda, bhikkhus, for he knows the proper time for bhikkhus to have audience with the Tathagata, and the time for bhikkhunis, the time for laymen and for laywomen; the time for kings and for ministers of state; the time for teachers of other sects and for their followers.
38. "In Ananda, bhikkhus, are to be found four rare and superlative qualities. What are the four? If, bhikkhus, a company of bhikkhus should go to see Ananda, they become joyful on seeing him; and if he then speaks to them of the Dhamma, they are made joyful by his discourse; and when he becomes silent, they are disappointed. So it is also when bhikkhunis, laymen, or laywomen go to see Ananda: they become joyful on seeing him; and if he then speaks to them of the Dhamma, they are made joyful by his discourse; and when he becomes silent, they are disappointed.
39. "In a universal monarch, bhikkhus, are to be found four rare and superlative qualities. What are those four? If, bhikkhus, a company of nobles should go to see the universal monarch, they become joyful on seeing him; and if he then speaks, they are made joyful by his talk; and when he becomes silent, they are disappointed. So it is also when a company of brahmans, of householders, or of ascetics goes to see a universal monarch.
40. "And in just the same way, bhikkhus, in Ananda are to be found these four rare and superlative qualities."
benar sekali, tapi itu diluar topik, tidak menjawab pertanyaan
46. "And then, Ananda, I answered Mara, the Evil One, saying: 'Do not trouble yourself, Evil One. Before long the Parinibbana of the Tathagata will come about. Three months hence the Tathagata will utterly pass away.'
Sebenarnya bukan atas permintaan Mara dan Sang Buddha menyanggupi Mara, ada beberapa kesalahan dalam penerjemahan.
"Ananda, dengan demikian kesalahan ada padamu. Karena dalam hal ini kamu telah gagal memahami saran yang sederhana dan bermakna serta dorongan yang berarti yang diberikan oleh Sang Tathagata, maka seharusnya kamu tidak memohon beliau untuk tetap berada di sini. Jika pada waktu yang lalu kamu memohon seperti itu, untuk kedua kali Sang Tathagata mungkin menolaknya, tetapi untuk yang ketiga kalinya ia mungkinkan menyetujuinya. Ananda, oleh karena itu, kesalahan ada padamu, maka permohonanmu sekarang adalah sia-sia."
Pertanyaan: Mengapa Sang Buddha menyalahkan Ananda untuk hal yang sebenarnya bukan kesalahan Ananda?
Masak sih pak Indra?
Kronologis --> Sang Buddha memberikan hint kepada Ananda, Ananda tidak sadar.
Mara minta Sang Buddha wafat sekarang, Buddha bilang belom waktunya (gak ada perjanjian dengan mara), 3 bulan lagi. (sudah menentukan kapan).
Sang Buddha bilang 3 bulan lagi wafat ke Ananda, Ananda minta Sang Buddha tinggal, Sang Buddha menyatakan sesuatu yang salah (karena sudah tidak bisa lagi, jangan minta lagi, bukan menyalahkan).
"Ananda, oleh karena itu, kesalahan ada padamu, maka permohonanmu sekarang adalah sia-sia."
bukankah kalimat di atas menyiratkan bahwa Sang Buddha menyalahkan Ananda, atau interpretasi saya keliru?
Salah, karena memang sudah tidak bisa. (kan Sang Buddha sudah bilang sebelumnya, akan Parinibanna 3 bulan lagi).
Bukan karena kesalahan Ananda, maka Sang Buddha Parinibanna.
"Ananda, oleh karena itu, kesalahan ada padamu, maka permohonanmu sekarang adalah sia-sia."
kalau begitu bukankah lebih baik kalau begini
"Ananda, bukan kesalahanmu, tapi permohonanmu sekarang adalah sia-sia." dengan demikian para bhikkhu lain juga tidak akan menyalahkan Ananda
Beberapa interpretasi Pali memang kadang suka keliru , dan ini kamu harus mengerti karena yang interpretasi bukan lagi Arahat melainkan semua orang juga bisa. versi Pali nya
183. ''Nanu etaṃ [evaṃ (syā. pī.)], ānanda, mayā paṭikacceva [paṭigacceva (sī. pī.)] akkhātaṃ – 'sabbeheva piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo aññathābhāvo. Taṃ kutettha, ānanda, labbhā, yaṃ taṃ jātaṃ bhūtaṃ saṅkhataṃ palokadhammaṃ, taṃ vata mā palujjīti netaṃ ṭhānaṃ vijjati'. Yaṃ kho panetaṃ, ānanda, tathāgatena cattaṃ vantaṃ muttaṃ pahīnaṃ paṭinissaṭṭhaṃ ossaṭṭho āyusaṅkhāro, ekaṃsena vācā bhāsitā – 'na ciraṃ tathāgatassa parinibbānaṃ bhavissati. Ito tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena tathāgato parinibbāyissatī'ti. Tañca [taṃ vacanaṃ (sī.)] tathāgato jīvitahetu puna paccāvamissatīti [paccāgamissatīti (syā. ka.)] netaṃ ṭhānaṃ vijjati. Āyāmānanda, yena mahāvanaṃ kūṭāgārasālā tenupasaṅkamissāmā''ti. ''Evaṃ, bhante''ti kho āyasmā ānando bhagavato paccassosi.
Atha kho bhagavā āyasmatā ānandena saddhiṃ yena mahāvanaṃ kūṭāgārasālā tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā āyasmantaṃ ānandaṃ āmantesi – ''gaccha tvaṃ, ānanda, yāvatikā bhikkhū vesāliṃ upanissāya viharanti, te sabbe upaṭṭhānasālāyaṃ sannipātehī''ti. ''Evaṃ, bhante''ti kho āyasmā ānando bhagavato paṭissutvā yāvatikā bhikkhū vesāliṃ upanissāya viharanti, te sabbe upaṭṭhānasālāyaṃ sannipātetvā yena bhagavā tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ aṭṭhāsi. Ekamantaṃ ṭhito kho āyasmā ānando bhagavantaṃ etadavoca – ''sannipatito, bhante, bhikkhusaṅgho, yassadāni, bhante, bhagavā kālaṃ maññatī''ti.
184. Atha kho bhagavā yenupaṭṭhānasālā tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā paññatte āsane nisīdi. Nisajja kho bhagavā bhikkhū āmantesi – ''tasmātiha, bhikkhave, ye te mayā dhammā abhiññā desitā, te vo sādhukaṃ uggahetvā āsevitabbā bhāvetabbā bahulīkātabbā, yathayidaṃ brahmacariyaṃ addhaniyaṃ assa ciraṭṭhitikaṃ, tadassa bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussānaṃ. Katame ca te, bhikkhave, dhammā mayā abhiññā desitā, ye vo sādhukaṃ uggahetvā āsevitabbā bhāvetabbā bahulīkātabbā, yathayidaṃ brahmacariyaṃ addhaniyaṃ assa ciraṭṭhitikaṃ, tadassa bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussānaṃ. Seyyathidaṃ – cattāro satipaṭṭhānā cattāro sammappadhānā cattāro iddhipādā pañcindriyāni pañca balāni satta bojjhaṅgā ariyo aṭṭhaṅgiko maggo. Ime kho te, bhikkhave, dhammā mayā abhiññā desitā, ye vo sādhukaṃ uggahetvā āsevitabbā bhāvetabbā bahulīkātabbā, yathayidaṃ brahmacariyaṃ addhaniyaṃ assa ciraṭṭhitikaṃ, tadassa bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussāna''nti.
185. Atha kho bhagavā bhikkhū āmantesi – ''handadāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha. Naciraṃ tathāgatassa parinibbānaṃ bhavissati. Ito tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena tathāgato parinibbāyissatī''ti. Idamavoca bhagavā, idaṃ vatvāna sugato athāparaṃ etadavoca satthā [ito paraṃ syāmapotthake evaṃpi pāṭho dissati –§daharāpi ca ye vuddhā, ye bālā ye ca paṇḍitā.§aḍḍhāceva daliddā ca, sabbe maccuparāyanā.§yathāpi kumbhakārassa, kataṃ mattikabhājanaṃ.§khuddakañca mahantañca, yañca pakkaṃ yañca āmakaṃ.§sabbaṃ bhedapariyantaṃ, evaṃ maccāna jīvitaṃ.§athāparaṃ etadavoca satthā]. –
''Paripakko vayo mayhaṃ, parittaṃ mama jīvitaṃ;
Pahāya vo gamissāmi, kataṃ me saraṇamattano.
''Appamattā satīmanto, susīlā hotha bhikkhavo;
Susamāhitasaṅkappā, sacittamanurakkhatha.
''Yo imasmiṃ dhammavinaye, appamatto vihassati;
Pahāya jātisaṃsāraṃ, dukkhassantaṃ karissatī''ti [viharissati (syā.), vihessati (sī.)].
Tidak menyalahkan Ananda tapi menyatakan sudah terlambat karena Tataghata sudah berkata dan itu tidak bisa ditarik kembali
saya tidak sedikitpun memahami bahasa Pali, tapi saya menyukai penjelasan bahwa tidak ada pernyataan bahwa Sang Buddha menyalahkan Ananda, dan bahwa ini adalah misinterpretasi dari penerjemah yang mungkin dimulai dari generasi Prof. T Rhys Davids sendiri.
Saya bisa menerima penjelasan teman2, terima kasih
Quote"Ya, kami mempercayainya, bhante," jawab Ananda. "Ananda, dengan demikian kesalahan ada padamu. Karena dalam hal ini kamu telah gagal memahami saran yang sederhana dan bermakna serta dorongan yang berarti yang diberikan oleh Sang Tathagata, maka seharusnya kamu tidak memohon beliau untuk tetap berada di sini.
Dilihat dari terjemahan tersebut, secara sederhana jelas sekali maksudnya bahwa Sang Buddha mengatakan
kesalahan Ananda ialah Ia gagal memahami ajaran tsb, bukannya Sang Buddha parinibbana karena kesalahan Ananda...
::
Interpretasi tanpa kajian langsung sebenarnya menimbulkan beragam pertanyaan seperti yang bro Indra nyatakan, dan itu adalah betul karena persepsi ini dipakai dan akhirnya menimbulkan beragam tanda tanya, Maha Parinibbana Sutta sendiri berisi pembahasan yang kontradiktif, disamping Buddha memuji Ananda di lain pihak menyalahkan Ananda.
Penyusupan kata-kata seperti ini memang sangat berbahaya dan sinyalemen itu ditanggapi oleh bro Indra, sangat teliti sekali. namun kembali lagi ke pihak siapa yang menulis pertama Maha Parinibbana Sutta, proses setelah Konsili I , siapa penerjemah, adakah pihak lain yang sengaja menyusup?
Sebuah Sutta harus dibaca dengan kebijaksanaan dan penelusuran kedalam. kadangkala kita bisa menemukan propaganda Brahmanisme, Hinduisme, Taoisme dan agama tradisional setempat di dalam Sutta/Sutra, ini harus dipahami.
Ananda selalu dipersalahkan setiap kali membahas Buddha parinibbana oleh beberapa bhikkhu yang belum memiliki status suci. ini sudah lajim dan penyusupan oleh mereka juga wajar. setelah era Ananda, Maha Kassapa parinibbana, telah muncul banyak kemungkinan penyusupan berhubung saksi sejarah tidak ada lagi.
Mungkin buku ke dua Dhammacitta soal Ananda bisa menjawab berbagai masalah pelik yang terjadi waktu itu. Saya pernah membaca soal Ananda The Guardian Of Dhamma, versi English dan ada pembahasannya. _/\_
Dilihat dari terjemahan tersebut, secara sederhana jelas sekali maksudnya bahwa Sang Buddha mengatakan kesalahan Ananda ialah Ia gagal memahami ajaran tsb, bukannya Sang Buddha parinibbana karena kesalahan Ananda...
Ananda saat Buddha parinibbana masih diliputi kemelekatan, dia juga bersedih pada saat Buddha parinibbana, hanya pada saat mendekati Konsili I, dia mencapai Arahat. jadi bisa dikatakan memang ada "kesalahan" pada Anandanya sendiri namun jangan diterjemahkan langsung sebagai kesalahan (negatiF)
Quote from: nyanadhana on 20 June 2008, 12:32:58 PM
Dilihat dari terjemahan tersebut, secara sederhana jelas sekali maksudnya bahwa Sang Buddha mengatakan kesalahan Ananda ialah Ia gagal memahami ajaran tsb, bukannya Sang Buddha parinibbana karena kesalahan Ananda...
Ananda saat Buddha parinibbana masih diliputi kemelekatan, dia juga bersedih pada saat Buddha parinibbana, hanya pada saat mendekati Konsili I, dia mencapai Arahat. jadi bisa dikatakan memang ada "kesalahan" pada Anandanya sendiri namun jangan diterjemahkan langsung sebagai kesalahan (negatiF)
Ya, sy setuju.
'Kesalahan' yg dimaksud Sang Buddha adalah: bahwa Ananda telah gagal menangkap inti ajaran dgn baik.
Sedangkan pernyataan orang2 bahwa Sang Buddha wafat karena 'kesalahan' Ananda, tidaklah berdasar.
IMO, terdapat salah pengertian berkaitan dgn kalimat 'kesalahan ananda' ini.
::
_/\_
Quote from: Indra on 20 June 2008, 11:11:08 AM
Quote from: karuna_murti on 21 May 2008, 09:30:13 PM
Tapi saya percaya bukan hal itu penyebab Sang Buddha wafat, karena memang sudah sesuai waktunya, karena untuk mengajarkan anicca. Sang Buddha pernah mengatakan bahwa Sammasambuddha bisa hidup sampai akhir kalpa jika Sang Buddha menghendakinya. Seorang Sammasambuddha konon tidak bisa wafat karena faktor luar, seperti dibunuh, karena keracunan, karena radang otot perut, dll. Karena timbunan jasa-jasa yang dilakukan pada saat masih menjadi Bodhisatta, hal itu mengakibatkan suatu titik jenuh, yang berakibat seorang Sammasambuddha tidak bisa wafat karena faktor luar. Hal ini bukan cuma eksklusif Theravada, melainkan di 3 aliran besar mempercayai adanya Dhammatta, keteraturan-keteraturan yang ada pada saat kemunculan seorang Sammasambuddha, seperti waktu yang sesuai, penduduk yang sesuai, tempat yang sesuai, kondisi-kondisi yang sesuai. Salah satu Dhammatta itu adalah seorang Sammasambuddha tidak bisa wafat karena faktor luar.
Tanya: kalau memang Sang Buddha sudah waktunya wafat, mengapa Beliau memberikan kesan seolah-olah itu adalah kesalahan YM Ananda, apakah jika YM Ananda memohon maka Sang Buddha tidak jadi wafat? kalau ya, bagaimana dengan Dhammatta?
Saudara Indra Yang baik,
Untuk bisa mengerti mengenai hal ini, mungkin akan membantu bila kita membaca
Sotasoma jataka. Dalam Sotasoma Jataka, Bodhisatta (sebagai Sotasoma) menepati janji yang telah diucapkannya, walaupun resikonya adalah nyawanya sendiri.
Menepati janji adalah
Sacca yang merupakan bagian dari
dasa paramita, sacca lebih dari sekedar berbicara benar, sacca juga meliputi menepati kata-kata yang telah diucapkan. Seorang Bodhisatta harus menyempurnakan sacca paramita.
Oleh karena itu Sang Buddha menepati kata-kata yang telah Beliau ucapkan, jadi Sang Buddha sebenarnya hanya mengatakan bahwa Beliau sudah berjanji kepada Mara untuk Parinibbana.
Pada kesempatan lain dalam Vessantara Jataka, Bodhisatta menyerahkan seluruh yang dimiliki bahkan keluarga dan nyawanya sendiri bila diminta. Beliau tidak menolak walau yang meminta orang jahat sekalipun, oleh karena itu Beliau tidak menolak ketika yang meminta adalah Mara.
Mengapa demikian? menurut saya Seorang Buddha telah melenyapkan seluruh kekotoran batin, oleh karena itu
Beliau memperlakukan semua mahluk sama (semua Buddha maupun Arahat telah melenyapkan mana atau kesombongan, yaitu batin yang membanding-bandingkan).
Demikian juga terhadap Mara, sehingga Beliau tidak menolak ketika Mara mengajukan permintaan Parinibbana, karena permintaan Mara juga sangat beralasan, dan berkaitan dengan Janji Sang Buddha setelah Beliau mencapai penerangan sempurna (ketika itu Beliau diminta oleh Mara, tetapi Beliau menolak karena Tiratana belum berkembang dengan mantap).
Sangat sulit memperkirakan jalan pikiran seorang Buddha, karena mereka tidak berpikir dengan cara kita. Saya kira Sang Buddha tidak bermaksud menyalahkan Y.A. Ananda, sedangkan permintaan Mara yang keterlaluan saja diterima oleh Beliau.
Semoga keterangan ini dapat membantu.
Semoga kita semua selalu maju dalam Dhamma
Sukhi hotu,
fabian
_/\_
terima kasih atas penjelasannya Bro Fabian
Mara itu evil kan? istilahnya iblis kan ya?
koq Mara minta kepada Sang Buddha untuk parinibana ya? kenapa ya? trus koq Sang Buddha mau?
mohon maaf, karena pengetahuan saya masi cetek :)