ka , mau nanya , saya pernah denger kalau agama buddha itu misal seseorang telah meninggal ia akan masuk neraka dulu untuk menebus karma2 buruk nya, apa itu benar ?
[gmod]Split dari Tanya Jawab Untuk Pemula (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9554.0.html)[/gmod]
Quote from: KevinWiijayaa on 05 July 2013, 11:26:33 AM
ka , mau nanya , saya pernah denger kalau agama buddha itu misal seseorang telah meninggal ia akan masuk neraka dulu untuk menebus karma2 buruk nya, apa itu benar ?
tidak.
semua makhluk terlahir sesuai kamma masing2, jadi bisa saja terlahir lagi menjadi manusia, dewa, hewan, di alam negara, di surga, dll. Sebagai manusia biasa, kita sulit mengetahui ke alam mana mahkluk itu terlahir, kecuali memiliki iddhi (kemampuan bathin tertentu)
Quote from: bluppy on 05 July 2013, 11:41:41 AM
tidak.
semua makhluk terlahir sesuai kamma masing2, jadi bisa saja terlahir lagi menjadi manusia, dewa, hewan, di alam negara, di surga, dll. Sebagai manusia biasa, kita sulit mengetahui ke alam mana mahkluk itu terlahir, kecuali memiliki iddhi (kemampuan bathin tertentu)
kalo gitu, misal nanti seseorang meninggal , ia langsung terlahir ke alam lain ya ?
Quote from: KevinWiijayaa on 05 July 2013, 11:51:10 AM
kalo gitu, misal nanti seseorang meninggal , ia langsung terlahir ke alam lain ya ?
iya, langsung terlahir ke alam lain. Tetapi kita sulit mengetahui ke alam yang mana
Quote from: KevinWiijayaa on 05 July 2013, 11:51:10 AM
kalo gitu, misal nanti seseorang meninggal , ia langsung terlahir ke alam lain ya ?
sekalian nambahin jawaban cc Bluppy, kalau menurut aliran Mahayana, ada selang waktu max 49 hari sebelum terlahir ke alam lain
kalau menurut theravada, langsung terlahir di alam lain
Quote from: will_i_am on 05 July 2013, 12:48:21 PM
sekalian nambahin jawaban cc Bluppy, kalau menurut aliran Mahayana, ada selang waktu max 49 hari sebelum terlahir ke alam lain
kalau menurut theravada, langsung terlahir di alam lain
IYA, bhante Panna juga bilang gitu ke sahabat saya sewaktu patidana pembacaan parita 49 hr meninggalnya.
Quote from: will_i_am on 05 July 2013, 12:48:21 PM
sekalian nambahin jawaban cc Bluppy, kalau menurut aliran Mahayana, ada selang waktu max 49 hari sebelum terlahir ke alam lain
kalau menurut theravada, langsung terlahir di alam lain
Lamanya keadaan antara/peralihan (antarabhava) ini bervariasi dari satu aliran ke aliran lainnya, al: seminggu atau lebih (menurut Buddhaghosa dalam komentar Kathavatthu), tujuh hari (menurut Vasumitra), tujuh minggu tetapi tidak lebih (menurut Abhidharmakosa-sastra), secepat kebutuhan untuk mendapatkan kondisi untuk kehidupan baru (menurut Vasubhandu dalam Abhidharmakosa-sastra), atau dalam waktu yang sangat singkat (menurut aliran Vaibhasika). Tetapi memang kepercayaan yang populer adalah selama 49 hari.
Quote from: will_i_am on 05 July 2013, 12:48:21 PM
sekalian nambahin jawaban cc Bluppy, kalau menurut aliran Mahayana, ada selang waktu max 49 hari sebelum terlahir ke alam lain
kalau menurut theravada, langsung terlahir di alam lain
kalau begitu , 49 hari itu dia ngapain ya ka ?
Quote from: KevinWiijayaa on 05 July 2013, 01:19:13 PM
kalau begitu , 49 hari itu dia ngapain ya ka ?
Kalo dalam Mahayana ada buku yang menjelaskan hal-hal yang ditemui selama 49 hari itu, misalnya melihat cahaya, bertemu dengan makhluk2 gaib (Buddha, Bodhisattva, dst). Tapi gw gak ada link bukunya, mungkin teman2 dari Mahayana bisa membantu....
Siapa yg mengulang Abhidhamma di sidang sangha I?
Quote from: Sunyata on 12 July 2013, 04:40:09 PM
Siapa yg mengulang Abhidhamma di sidang sangha I?
Menurut Vinaya Pitaka, Cullavaga bab XI (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,21594.msg381459.html#msg381459), tidak tercatat adanya pengulangan Abhidhamma. Namun kitab komentar menyatakan Mahakassapa yang mengulang Abhidhamma.
Quote from: KevinWiijayaa on 05 July 2013, 01:19:13 PM
kalau begitu , 49 hari itu dia ngapain ya ka ?
Gentayangan
Quote from: Kelana on 12 July 2013, 10:11:12 PM
Gentayangan
:)) ^:)^
Biasanya beliau masih berada di dekat kita, maka dari itu selama 49 hari amat berguna sekali untuk melakukan patidana atas nama beliau sehingga membantu beliau mendapatkan kelahiran dialam yang lebih baik. Pesan para bhante agar kita jangan menangisi yang sudah meninggal karena hal ini, beliau tidak bisa melanjutkan perjalanan karena terikat dengan kita merasa tidak bisa pergi, padahal mereka seharusnya melanjutkan kehidupan dalam kelahiran yang berikutnya. Melakukan kebajikan atas nama almarhum sesuai sabda sang Buddha dalam Sigalovadasutta.
Quote from: Shasika on 12 July 2013, 10:41:58 PM
:)) ^:)^
Biasanya beliau masih berada di dekat kita, maka dari itu selama 49 hari amat berguna sekali untuk melakukan patidana atas nama beliau sehingga membantu beliau mendapatkan kelahiran dialam yang lebih baik. Pesan para bhante agar kita jangan menangisi yang sudah meninggal karena hal ini, beliau tidak bisa melanjutkan perjalanan karena terikat dengan kita merasa tidak bisa pergi, padahal mereka seharusnya melanjutkan kehidupan dalam kelahiran yang berikutnya. Melakukan kebajikan atas nama almarhum sesuai sabda sang Buddha dalam Sigalovadasutta.
tapi hal ini bertentangan dengan doktrin theravada yg mengatakan bahwa seseorang langsung terlahir kembali pada saat kematian terjadi. bagaimana penjelasannya Sis? dan bagaimana pandangan para dosen di sana?
Quote from: Shasika on 12 July 2013, 10:41:58 PM
:)) ^:)^
Biasanya beliau masih berada di dekat kita, maka dari itu selama 49 hari amat berguna sekali untuk melakukan patidana atas nama beliau sehingga membantu beliau mendapatkan kelahiran dialam yang lebih baik. Pesan para bhante agar kita jangan menangisi yang sudah meninggal karena hal ini, beliau tidak bisa melanjutkan perjalanan karena terikat dengan kita merasa tidak bisa pergi, padahal mereka seharusnya melanjutkan kehidupan dalam kelahiran yang berikutnya. Melakukan kebajikan atas nama almarhum sesuai sabda sang Buddha dalam Sigalovadasutta.
:>-
Tapi benar loh menurut kepustakaan Mahayana, Abhidharmakosa Sastra. Dalam antarabhava mereka berwujud anak kecil (jabang bayi kelahiran mendatang) yang merupakan ciptaan pikiran (mano maya) dan mereka makan bebauan. Mereka menunggu tempat di mana ia akan dilahirkan.
misi, numpang tanya..diparitta kan ada buddhanussati, dhammanussati n sanghanussati..
jadi bagaimana sebaiknya saya merenungkannya masing2..?
apa waktu buddhanussati saya membayangkan person buddha yg sedang posisi meditasi ato gmn?
trs klo dhammanussati n sanghanussati gmn banyanginnya..?
makasi sebelumnya..
Quote from: jung13 on 13 July 2013, 12:05:32 AM
misi, numpang tanya..diparitta kan ada buddhanussati, dhammanussati n sanghanussati..
jadi bagaimana sebaiknya saya merenungkannya masing2..?
apa waktu buddhanussati saya membayangkan person buddha yg sedang posisi meditasi ato gmn?
trs klo dhammanussati n sanghanussati gmn banyanginnya..?
makasi sebelumnya..
mungkin bisa baca artinya, dan direnungkan, diresapi. ;D
Quote from: Indra on 12 July 2013, 11:10:05 PM
tapi hal ini bertentangan dengan doktrin theravada yg mengatakan bahwa seseorang langsung terlahir kembali pada saat kematian terjadi. bagaimana penjelasannya Sis? dan bagaimana pandangan para dosen di sana?
Dalam ajaran Theravada memang demikian, dan disanapun juga demikian keyakinan mereka, bahkan disana lebih gila lagi kalo dibandingkan dengan tradisi Indonesia, dimana keluarga akan menangis terus sepanjang hari di hari kematiannya, dan masih memeluk jasadnya, banyak sekali saya lihat di tanah air sini hal demikian, kalo disana begitu meninggal para family TIDAK diperkenankan mendekat/menyentuh, keluarga segera menghubungi pihak2 berwenang bahwa family mereka meninggal, bila meninggal dari RS gampang langsung bisa mengurus ke krematorium tapi bila meninggal di rmh maka keluarga segera mengurus ke pihak berwenang utk surat kematian baru ngurus ke krematorium. Saya tanya mengapa demikian, mereka bilang bahwa bersamaan disaat kita menutup mata itu terjadi proses beraneka macam, yang mana bila kamma buruk yang matang maka dia akan terlahir di neraka saat itu juga, sehingga kita dilarang menyetuhnya karena dia sedang menderita kesakitan dll. Jika kebajikan kita banyak sehingga mampu menolong kita dari neraka maka diwaktu yang bersamaan dikala dia sedang sakit tersiksa di neraka kebajikan akan datang menolong, kita yang tidak memiliki abhinna tidak mampu melihat semua proses itu, sehingga kita tidak mendengar atau melihat betapa begitu banyak proses yang terjadi dikala itu, itulah sebabnya kita dilarang mendekat/menyetuh jenasah.
Sejak hari kematiannya hingga 7 hari akan diselenggarakan pirith semalam suntuk, bagi keluarga mampu mereka menyelenggarakan dengan besar2an, bagi keluarga sederhana mereka hanya mengadakan patidana tiap hari secara sederhana dengan pirith semalam suntuk di hari meninggalnya saja. setelah itu 30 hari, 100 hari, 1 thn, 2 thn, 1000 hari. Kalo ini mirip dengan tradisi kita hanya sedikit beda yang 30hari, bagi etnis Tionghoa akan memakai 49 hari, sedang orang Indonesia umum (berbagai suku dan agama) akan memakai 40 hari.
Ini tradisi disana ya bro, dan mereka sangat disiplin sekali menjalankannya, bahkan hingga puluhan tahunpun masih mereka jalankan, saya sering juga mendapat undangan patidana untuk 28thn peringatan kematian suami/istri/ortu, bahkan pernah 15thn peringatan kematian anjingnya (***kalo ini saya salut banget, anjing aja sampai spt itu mendapat perlakuannya). Mereka memiliki faham bahwa anjing bisa menjadi anjing mereka pasti dahulu famili mereka, karena kemelekatannya pada keluarga dan tidak memiliki kebajikan yang cukup mengakibatkan mereka terlahir sbg anjing di keluarga mereka. Itulah sebabnya mereka melakukan patidana untuk anjing mereka agar membantu dia terlahir kealam yang lebih baik.
Ajaran dosen saya kurang lebih juga mirip demikian, bahwa setelah menutup mata segera kita terlahir kembali, bila kamma buruk yg matang maka segera kita terlahir di neraka, tanpa menunggu sekian hari masa tunggu. Justru itulah patidana dilakukan agar segera menolong almarhum.
***kok ketikan saya tidak rapi ya? nyari untuk merapikan ketikan "justify" juga tidak ada tu di menu. gimana sih cara merapikan ketikan yg langsung ketik di reply ?
Quote from: Shasika on 13 July 2013, 09:11:13 AM
Dalam ajaran Theravada memang demikian, dan disanapun juga demikian keyakinan mereka, bahkan disana lebih gila lagi kalo dibandingkan dengan tradisi Indonesia, dimana keluarga akan menangis terus sepanjang hari di hari kematiannya, dan masih memeluk jasadnya, banyak sekali saya lihat di tanah air sini hal demikian, kalo disana begitu meninggal para family TIDAK diperkenankan mendekat/menyentuh, keluarga segera menghubungi pihak2 berwenang bahwa family mereka meninggal, bila meninggal dari RS gampang langsung bisa mengurus ke krematorium tapi bila meninggal di rmh maka keluarga segera mengurus ke pihak berwenang utk surat kematian baru ngurus ke krematorium. Saya tanya mengapa demikian, mereka bilang bahwa bersamaan disaat kita menutup mata itu terjadi proses beraneka macam, yang mana bila kamma buruk yang matang maka dia akan terlahir di neraka saat itu juga, sehingga kita dilarang menyetuhnya karena dia sedang menderita kesakitan dll. Jika kebajikan kita banyak sehingga mampu menolong kita dari neraka maka diwaktu yang bersamaan dikala dia sedang sakit tersiksa di neraka kebajikan akan datang menolong, kita yang tidak memiliki abhinna tidak mampu melihat semua proses itu, sehingga kita tidak mendengar atau melihat betapa begitu banyak proses yang terjadi dikala itu, itulah sebabnya kita dilarang mendekat/menyetuh jenasah.
Sejak hari kematiannya hingga 7 hari akan diselenggarakan pirith semalam suntuk, bagi keluarga mampu mereka menyelenggarakan dengan besar2an, bagi keluarga sederhana mereka hanya mengadakan patidana tiap hari secara sederhana dengan pirith semalam suntuk di hari meninggalnya saja. setelah itu 30 hari, 100 hari, 1 thn, 2 thn, 1000 hari. Kalo ini mirip dengan tradisi kita hanya sedikit beda yang 30hari, bagi etnis Tionghoa akan memakai 49 hari, sedang orang Indonesia umum (berbagai suku dan agama) akan memakai 40 hari.
Ini tradisi disana ya bro, dan mereka sangat disiplin sekali menjalankannya, bahkan hingga puluhan tahunpun masih mereka jalankan, saya sering juga mendapat undangan patidana untuk 28thn peringatan kematian suami/istri/ortu, bahkan pernah 15thn peringatan kematian anjingnya (***kalo ini saya salut banget, anjing aja sampai spt itu mendapat perlakuannya). Mereka memiliki faham bahwa anjing bisa menjadi anjing mereka pasti dahulu famili mereka, karena kemelekatannya pada keluarga dan tidak memiliki kebajikan yang cukup mengakibatkan mereka terlahir sbg anjing di keluarga mereka. Itulah sebabnya mereka melakukan patidana untuk anjing mereka agar membantu dia terlahir kealam yang lebih baik.
Ajaran dosen saya kurang lebih juga mirip demikian, bahwa setelah menutup mata segera kita terlahir kembali, bila kamma buruk yg matang maka segera kita terlahir di neraka, tanpa menunggu sekian hari masa tunggu. Justru itulah patidana dilakukan agar segera menolong almarhum.
***kok ketikan saya tidak rapi ya? nyari untuk merapikan ketikan "justify" juga tidak ada tu di menu. gimana sih cara merapikan ketikan yg langsung ketik di reply ?
Penelitian atas sutta2 oleh Ajahn Sujato juga menemukan bahwa tidak ada bukti mengenai kelahiran kembali yg terjadi langsung pada saat kematian yg tercatat dalam sutta2. kira2 apakah Sis mengetahui apa latar belakang para sesepuh Theravada menggagas doktrin ini?
Quote from: Indra on 13 July 2013, 10:16:25 AM
Penelitian atas sutta2 oleh Ajahn Sujato juga menemukan bahwa tidak ada bukti mengenai kelahiran kembali yg terjadi langsung pada saat kematian yg tercatat dalam sutta2. kira2 apakah Sis mengetahui apa latar belakang para sesepuh Theravada menggagas doktrin ini?
Ada dalam Abhidhamma bro, pada saat proses kematian patisandhi berlangsung, itu nafas msh ada tapi amat sangat lemah sekali hingga kitapun tidak mampu melihat (makanya dokter membuat surat kematian setelah 3 jam kematian, karena hal ini, mereka menyadari bahwa sebelum 3 jam, mereka tidak dapat membuat surat kematian seseorang). disinilah proses dari patisandhi ke cutisandhi, dimana CUTISANDHI inilah yang membawa kita jadi manusia lagi (jika kebajikan kita cukup) ato jadi anjing keluarga kita karena kita terlalu melekat dengan keluarga dan kurang memiliki kebajikan, ato membawa kita ke neraka.
Quote from: Shasika on 13 July 2013, 10:24:42 AM
Ada dalam Abhidhamma bro, pada saat proses kematian patisandhi berlangsung, itu nafas msh ada tapi amat sangat lemah sekali hingga kitapun tidak mampu melihat (makanya dokter membuat surat kematian setelah 3 jam kematian, karena hal ini, mereka menyadari bahwa sebelum 3 jam, mereka tidak dapat membuat surat kematian seseorang). disinilah proses dari patisandhi ke cutisandhi, dimana CUTISANDHI inilah yang membawa kita jadi manusia lagi (jika kebajikan kita cukup) ato jadi anjing keluarga kita karena kita terlalu melekat dengan keluarga dan kurang memiliki kebajikan, ato membawa kita ke neraka.
Maksud om Indra adalah bahwa dalam sutta-sutta justru secara tersirat mendukung keberadaan keadaan peralihan (antarabhava) tsb, setidaknya menurut penelitian Bhikkhu Sujato, selengkapnya ada di Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara Dalam Buddhisme Awal (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29)
Quote from: ariyakumara on 13 July 2013, 05:48:04 PM
Quote from: Indra on 13 July 2013, 10:16:25 AM
Penelitian atas sutta2 oleh Ajahn Sujato juga menemukan bahwa tidak ada bukti mengenai kelahiran kembali yg terjadi langsung pada saat kematian yg tercatat dalam sutta2. kira2 apakah Sis mengetahui apa latar belakang para sesepuh Theravada menggagas doktrin ini?
Maksud om Indra adalah bahwa dalam sutta-sutta justru secara tersirat mendukung keberadaan keadaan peralihan (antarabhava) tsb, setidaknya menurut penelitian Bhikkhu Sujato, selengkapnya ada di Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara Dalam Buddhisme Awal (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29)
Makasih bro Ariyakumara ;D
Iya, setelah saya teliti kembali ternyata sayalah yang tidak cermat membaca, maaf ya bro Indra ^:)^
Makasih link nya, saya baru baca ini, kalo tidak dikasih link ama bro saya tidak tahu ada penelitian terhadap antarabhava untuk Theravadin ;D
Quote
"Dan lebih jauh, Guru Gotama, ketika suatu makhluk telah meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?"
"Vaccha, ketika suatu makhluk meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, Ku-katakan ia diberi bahan bakar oleh keinginan.[25] (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29#cite_note-25) Karena, Vaccha, pada saat itu, keinginan adalah bahan bakarnya."[26] (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29#cite_note-26)
Mungkin sebaiknya pembahasan lebih lanjut tentang antarabhava ini dijadikan topik tersendiri, karena bukan perbincangan untuk pemula lagi ;D
Quote from: ariyakumara on 13 July 2013, 07:08:28 PM
Mungkin sebaiknya pembahasan lebih lanjut tentang antarabhava ini dijadikan topik tersendiri, karena bukan perbincangan untuk pemula lagi ;D
SETUJU ;D
Quote from: ariyakumara on 13 July 2013, 07:08:28 PM
Mungkin sebaiknya pembahasan lebih lanjut tentang antarabhava ini dijadikan topik tersendiri, karena bukan perbincangan untuk pemula lagi ;D
Setuju.
Ada yang mau jadi TS-nya?
Biar mods aja yang split jadi thread baru ;D
menyimak aja.... ;D
Sebelum berlanjut, ada yang bisa menjelaskan apa itu mati menurut agama Buddha? (agar tidak dikomplain belakangan, bisa disertakan juga rujukan yang valid)
Saya perjelas, makhluk hidup (terutama manusia) dikatakan mati , apa cirinyam kriterianya apa?
Quote from: Kelana on 16 July 2013, 12:01:18 PM
Sebelum berlanjut, ada yang bisa menjelaskan apa itu mati menurut agama Buddha? (agar tidak dikomplain belakangan, bisa disertakan juga rujukan yang valid)
Saya perjelas, makhluk hidup (terutama manusia) dikatakan mati , apa cirinyam kriterianya apa?
MN 43 Mahavedalla Sutta:
24. "Teman, ketika jasmani ini kehilangan berapa kondisikah maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu?"
"Teman, ketika jasmani ini kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran – maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu."
25. "Teman, apakah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan?"
"Teman, dalam hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna; bentukan-bentukan pikirannya telah memudar dan sirna, vitalitasnya padam, panasnya berhamburan, dan indria-indrianya hancur seluruhnya. Dalam hal seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya tidak berhamburan, dan indria-indrianya menjadi sangat jernih. Ini adalah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan."
Quote from: Kelana on 16 July 2013, 12:01:18 PM
Sebelum berlanjut, ada yang bisa menjelaskan apa itu mati menurut agama Buddha? (agar tidak dikomplain belakangan, bisa disertakan juga rujukan yang valid)
Saya perjelas, makhluk hidup (terutama manusia) dikatakan mati , apa cirinyam kriterianya apa?
dari MN 9 Sammaditthi Sutta
22. "Dan apakah penuaan dan kematian, apakah asal-mula penuaan dan kematian, apakah lenyapnya penuaan dan kematian, apakah jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kemunduran kehidupan, indria-indria melemah – ini disebut penuaan. Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuh – ini disebut kematian. Maka penuaan ini dan kematian ini adalah apa yang disebut dengan penuaan dan kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan dan kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar ... konsentrasi benar.
Referensi dari wikipedia
From the records of early Buddhist schools, it appears that at least six different groups accepted the notion of an intermediate existence (antarābhava), namely, the Sarvāstivāda, Darṣṭāntika, Vātsīputrīyas, Saṃmitīya, Pūrvaśaila and late Mahīśāsaka. The first four of these are closely related schools. Opposing them were the Mahāsāṃghika, early Mahīśāsaka, Theravāda, Vibhajyavāda and the Śāriputra Abhidharma (possibly Dharmagupta) (Bareau 1955: 291).
Some of the earliest references we have to the "intermediate existence" are to be found in the Sarvāstivādin text the Mahāvibhāṣa 《阿毘達磨大毘婆沙論》. For instance, the Mahāvibhāṣa indicates a "basic existence" (本有), an "intermediate existence" (中有), a "birth existence" (生有) and "death existence" (死有) (CBETA, T27, no. 1545, p. 959, etc.). Bareau (1955: 143) provides the arguments of the Sarvāstivāda as follows:
The intermediate being who makes the passage in this way from one existence to the next is formed, like every living being, of the five aggregates (skandha). His existence is demonstrated by the fact that it cannot have any discontinuity in time and space between the place and moment of death and those of rebirth, and therefore it must be that the two existences belonging to the same series are linked in time and space by an intermediate stage. The intermediate being is the Gandharva, the presence of which is as necessary at conception as the fecundity and union of the parents. Furthermore, the Antarāparinirvāyin is an Anāgamin who obtains parinirvāṇa during the intermediary existence. As for the heinous criminal guilty of one of the five crimes without interval (ānantarya), he passes in quite the same way by an intermediate existence at the end of which he is reborn necessarily in hell.
Deriving from a later period of the same school, though with some differences, Vasubandhu's Abhidharmakośa explains (English trs. p. 383ff):
What is an intermediate being, and an intermediate existence? Intermediate existence, which inserts itself between existence at death and existence at birth, not having arrived at the location where it should go, cannot be said to be born. Between death-that is, the five skandhas of the moment of death – and arising – that is, the five skandhas of the moment of rebirth-there is found an existence-a "body" of five skandhas-that goes to the place of rebirth. This existence between two realms of rebirth (gatī) is called intermediate existence.
He cites a number of texts and examples to defend the notion against other schools which reject it and claim that death in one life is immediately followed by rebirth in the next, without any intermediate state in between the two. Both the Mahāvibhāṣa and the Abhidharmakośa have the notion of the intermediate state lasting "seven times seven days" (i.e. 49 days) at most. This is one view, though, and there were also others.
Similar arguments were also used in Harivarman's *Satyasiddhi Śāstra, a quasi-Mahāyāna text, and the Upadeśa commentary on the Prajñāpāramitā Sūtras, both of which have strong influence from the Sarvāstivāda school. Both of these texts had powerful influence in Chinese Buddhism, which also accepts this idea as a rule.
The Saddharma-smṛty-upasthāna Sūtra (正法念處經) classifies 17 intermediate states with different experiences
http://en.wikipedia.org/wiki/Bardo
Some Buddhist schools assert that after death, consciousness is suspended for a period before rebirth takes place. This interval is called the in-between state (antarabhava). There are different theories as to how long this interval lasts. Some say seven days, others say 14 and yet others say 49. While Theravada Buddhism denies the reality of the in-between state, the Pali texts imply that there is an interval between death and rebirth. The Buddha spoke of the situation "when one has laid down the body (i.e. died) but has not yet been reborn" (S.IV,400). On several other occasions he said that for one who has attained Nibbana there is "no here, no there, no in-between" (S.IV,73), referring to this life, the next life, and the in-between state. He even said that in certain circumstances someone might attain Nibbana while in this in-between state. He called the individual who achieved this "a Nibbanized-in-between type" (antaraparinibbayi, S.V,69).
In the Vajrayàna Buddhism of Tibet the in-between state is called the bardo. Some Tibetans believe that reading instructions from a text called Liberation Through Hearing in the In-between State (Bardo Thodol) to a recently deceased person who is supposedly in this state, can help them avoid rebirth and attain enlightenment. This text is known in the West as The Tibetan Book of the Dead.
The Abhidhamma and the Classical Theravada hold that rebirth is always immediate with no intermediate state. Although there is no indication from the Suttas that directly references an immediate rebirth in all cases. It is only insisted upon in the Abhidhamma, which although part of the Pali Canon, is a later text.
There are a few other Suttas which suggest that there could be this intermediate state. One of the strongest indications of this is in the Metta Sutta which speaks of extending loving-kindness to 'bhuutaa vaa sambhavesii vaa' -- "to beings who have come to be and those about to come to be."
http://www.dhammawiki.com/index.php?title=In_between_state
Quote from: ariyakumara on 16 July 2013, 12:28:49 PM
MN 43 Mahavedalla Sutta:
24. "Teman, ketika jasmani ini kehilangan berapa kondisikah maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu?"
"Teman, ketika jasmani ini kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran – maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu."
25. "Teman, apakah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan?"
"Teman, dalam hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna; bentukan-bentukan pikirannya telah memudar dan sirna, vitalitasnya padam, panasnya berhamburan, dan indria-indrianya hancur seluruhnya. Dalam hal seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya tidak berhamburan, dan indria-indrianya menjadi sangat jernih. Ini adalah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan."
Quote from: Indra on 16 July 2013, 12:51:13 PM
dari MN 9 Sammaditthi Sutta
22. "Dan apakah penuaan dan kematian, apakah asal-mula penuaan dan kematian, apakah lenyapnya penuaan dan kematian, apakah jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kemunduran kehidupan, indria-indria melemah – ini disebut penuaan. Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuh – ini disebut kematian. Maka penuaan ini dan kematian ini adalah apa yang disebut dengan penuaan dan kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan dan kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar ... konsentrasi benar.
Top! :jempol:
Kita simpan dulu.
Quote from: xenocross on 16 July 2013, 01:12:05 PM
Referensi dari wikipedia
From the records of early Buddhist schools, it appears that at least six different groups accepted the notion of an intermediate existence (antarābhava), namely, the Sarvāstivāda, Darṣṭāntika, Vātsīputrīyas, Saṃmitīya, Pūrvaśaila and late Mahīśāsaka. The first four of these are closely related schools. Opposing them were the Mahāsāṃghika, early Mahīśāsaka, Theravāda, Vibhajyavāda and the Śāriputra Abhidharma (possibly Dharmagupta) (Bareau 1955: 291).
Some of the earliest references we have to the "intermediate existence" are to be found in the Sarvāstivādin text the Mahāvibhāṣa 《阿毘達磨大毘婆沙論》. For instance, the Mahāvibhāṣa indicates a "basic existence" (本有), an "intermediate existence" (中有), a "birth existence" (生有) and "death existence" (死有) (CBETA, T27, no. 1545, p. 959, etc.). Bareau (1955: 143) provides the arguments of the Sarvāstivāda as follows:
The intermediate being who makes the passage in this way from one existence to the next is formed, like every living being, of the five aggregates (skandha). His existence is demonstrated by the fact that it cannot have any discontinuity in time and space between the place and moment of death and those of rebirth, and therefore it must be that the two existences belonging to the same series are linked in time and space by an intermediate stage. The intermediate being is the Gandharva, the presence of which is as necessary at conception as the fecundity and union of the parents. Furthermore, the Antarāparinirvāyin is an Anāgamin who obtains parinirvāṇa during the intermediary existence. As for the heinous criminal guilty of one of the five crimes without interval (ānantarya), he passes in quite the same way by an intermediate existence at the end of which he is reborn necessarily in hell.
Deriving from a later period of the same school, though with some differences, Vasubandhu's Abhidharmakośa explains (English trs. p. 383ff):
What is an intermediate being, and an intermediate existence? Intermediate existence, which inserts itself between existence at death and existence at birth, not having arrived at the location where it should go, cannot be said to be born. Between death-that is, the five skandhas of the moment of death – and arising – that is, the five skandhas of the moment of rebirth-there is found an existence-a "body" of five skandhas-that goes to the place of rebirth. This existence between two realms of rebirth (gatī) is called intermediate existence.
He cites a number of texts and examples to defend the notion against other schools which reject it and claim that death in one life is immediately followed by rebirth in the next, without any intermediate state in between the two. Both the Mahāvibhāṣa and the Abhidharmakośa have the notion of the intermediate state lasting "seven times seven days" (i.e. 49 days) at most. This is one view, though, and there were also others.
Similar arguments were also used in Harivarman's *Satyasiddhi Śāstra, a quasi-Mahāyāna text, and the Upadeśa commentary on the Prajñāpāramitā Sūtras, both of which have strong influence from the Sarvāstivāda school. Both of these texts had powerful influence in Chinese Buddhism, which also accepts this idea as a rule.
The Saddharma-smṛty-upasthāna Sūtra (正法念處經) classifies 17 intermediate states with different experiences
http://en.wikipedia.org/wiki/Bardo
OK ini menjadi pertanyaannya sebelum dilanjutkan.
antarābhava itu intermediate existence atau intermediate state. Indonesianya, apakah ia alam antara atau keadaan antara?
Quote from: Kelana on 16 July 2013, 02:17:57 PM
OK ini menjadi pertanyaannya sebelum dilanjutkan.
antarābhava itu intermediate existence atau intermediate state. Indonesianya, apakah ia alam antara atau keadaan antara?
bhava = penjelmaan, karena sudah menjelma, sptnya lebih cocok ke "alam"
Quote from: Indra on 16 July 2013, 02:54:34 PM
bhava = penjelmaan, karena sudah menjelma, sptnya lebih cocok ke "alam"
OK
Apakah
In-between state (keadaan antara) dalam tulisan Bhikkhu Sujato yang berjudul
Rebirth and the In-between State in Early Buddhism (Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara Dalam Buddhisme Awal), mengacu pada alam antara (antarabhava)?
http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29 (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29)
Kita perlu menyamakan pemahaman dulu. Jika yang dimaksud bukan alam antara, ini berarti kita tidak bisa menggunakan tulisan Bhikkhu Sujato sebagai rujukan di dalam membahas anatarabhava yang berarti alam antara.
jumlah alamnya nambah 1 lagi donk ???
Quote from: Rico Tsiau on 16 July 2013, 04:41:31 PM
Quote from: Indra on 16 July 2013, 02:54:34 PM
bhava = penjelmaan, karena sudah menjelma, sptnya lebih cocok ke "alam"
jumlah alamnya nambah 1 lagi donk ???
Tidak bisa dikategorikan "alam" karena tidak memenuhi syarat utk dikatakan alam (31 alam)
***menyimak dlu.
Menurut SN 12.2 (http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_12.2:_Vibha%E1%B9%85ga_Sutta), bhava hanya ada 3: kamabhava, rupabhava, dan arupabhava. Oleh sebab itu, pengertian antarabhava sbg "kehidupan/alam antara" (intermediate existence) tidak didukung oleh sutta, tetapi kalo "keadaan antara" (intermediate state) mungkin masih bisa masuk...
dan bhava itu memberi kondisi utk jati/kelahiran. kalo dari paticcasamuppada yah bhava dan jati/kelahiran itu berbeda
Quote
"Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? Lahirnya berbagai makhluk menjadi berbagai golongan makhluk, terlahirkan, masuk [ke dalam rahim], produksi, terwujudnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan indria. Ini disebut kelahiran.[2]
"Dan apakah, para bhikkhu, penjelmaan? Ada tiga jenis penjelmaan: penjelmaan di alam indria, penjelmaan di alam berbentuk, penjelmaan di alam tanpa bentuk. Ini disebut penjelmaan.[3]
jika tanpa sampe kelahiran, apakah ada landasan2 indria? jika tidak ada landasan2 indria, input data dari mana?
avijja - sankhara - vinnana - namarupa - salayatana (landasan indera) - phassa- vedana - tanha (nafsu keinginan/ craving) - upadana - BHAVA
====================
"Of course you are befuddled, Vaccha. Of course you are uncertain. When there is a reason for befuddlement in you, uncertainty arises. I designate the rebirth of one who has sustenance, Vaccha, and not of one without sustenance. Just as a fire burns with sustenance and not without sustenance, even so I designate the rebirth of one who has sustenance and not of one without sustenance."
"But, Master Gotama, at the moment a flame is being swept on by the wind and goes a far distance, what do you designate as its sustenance then?"
"Vaccha, when a flame is being swept on by the wind and goes a far distance, I designate it as wind-sustained, for the wind is its sustenance at that time."
"And at the moment when a being sets this body aside and is not yet reborn in another body, what do you designate as its sustenance then?"
"Vaccha, when a being sets this body aside and is not yet reborn in another body, I designate it as craving-sustained, for craving is its sustenance at that time."
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn44/sn44.009.than.html
===================================================
Hanya menghubung-hubungkan.... kali aja cocok
dibahas juga:
=================================
27. "Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan) terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu, tetapi ibu tidak ada makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir (kembali), maka terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/mahatanhasankhaya-sutta/
===============================================================
makhluk apa yg siap terlahir kembali itu? Apakah pas ayah dan ibu ketemu harus ada makhluk, manusia, atau binatang yang mati? Atau harus ada dewa yang sudah akan mati? (Dewa dikatakan akan mati stelah 7 hari tanda2 kematian)
Ataukah makhluk itu menunggu keadaan yang tepat untuk bisa lahir?
trus ada juga
=====================================
5. 'Juga, Sang Bhagavā tidak tertandingi dalam hal mengajarkan Dhamma sehubungan dengan cara-cara kelahiran kembali dalam empat cara, yaitu: seseorang masuk ke dalam rahim ibunya tanpa menyadarinya,5 berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara pertama. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara ke dua. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara ke tiga. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar. Ini adalah ajaran yang tanpa tandingan sehubungan dengan cara-cara kelahiran kembali ....'
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/sampasadaniya-sutta/
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
kalau spontan apa bisa dikatakan "masuk dengan sadar" ?
Lebih jauh: baca di http://sdhammika.blogspot.com/2013/03/the-buddha-on-rebirth.html
Kathavatthu VIII,2:
Of an Intermediate State.
Controverted Point.—That there is an intermediate state of existence.
From the Commentary.—Some (as, for instance, the Pubbaseliyas and Sammitiyas), by a careless acceptation of the Sutta-phrase—'completed existence within the interval'1—held that there is an interim stage where a being awaits reconception for a week or longer. The counter-argument is based on the Exalted One's dictum that there are three states of becoming only—the Kama-, the Rupa-, and the Arupa-worlds.2 And it is because of that dictum that the opponent [in so far as he is orthodox] has to deny so many of the questions.
[1] Th. [Theravada]—If there be such a state, you must identify it with either the Kama-life, or Rupa-life, or Arupa-life,
which you refuse to do. . . .
[2] You deny that there is an intermediate state between the first and second, or the second and third, of these . . .
[8] you affirm, indeed, that is no such thing; how then can you maintain your proposition ?
[4] Is it a fifth matrix, a sixth destiny, an eighth station for reborn consciousness,3 a tenth realm of beings ? Is it a mode of living, a destiny, a realm of beings, a renewal of life, a matrix, a station of consciousness, an acquiring of individuality? Is there karma leading to it? Are there beings who approach thither ? Do beings get born in it, grow old, die in it, decease from it, and get reborn from it? Do the five aggregates exist in it? Is it a five-mode existence ? All this you deny. How then can you maintain your proposition?
[5-7] You admit that every one of these [categories or notions] applies to each of the three planes of life named above, the only difference being that the first two—Kamalife and Rupa-life—are five-mode existences; the last—Arupa-life—is a four-mode existence (that is, without material qualities). If then there is an intermediate stage of life, you must be able to predicate some or all of these [notions or categories] of it. But you say you cannot. . . .
[8] But you deny also that there is an intermediate life for all beings. Hence your proposition is not universally valid.
[9-11] For whom then do you deny the intermediate state? For the person whose retribution is immediate?1 If you assent, to that extent your proposition is for you not true. Or is it for the person whose retribution is not immediate that you affirm this state ? Yes, you say. Then you must deny it for his opposite. You deny it also for one who is to be reborn in purgatory,, in the sphere of unconscious beings, in the immaterial heavens. Therefore to that extent your proposition is not universally valid. Nevertheless, you maintain that thereis an intermediate stage of life for one whose retribution is not immediate, for one who is not to be reborn in purgatory, nor among the ' unconscious beings,' nor in the immaterial heavens. [Concerning these you have yet to state in what respect, as a plane of life, it resembles, or differs from, the three named by the Exalted One.]
[12] P.S. [Pubbaseliya & Sammatiya]—But are there not beings who ' complete existence within the first half of the term ?' If so, are we not right ?
[18] Th.—Granted that there are such beings, is there a separate interval-state [between any two recognized existences]? Yes, you say. But granted that there are beings who 'complete existence within the second half of the term,' is there a separate state of life corresponding thereto ? If you deny, you must also deny your proposition [since you rest it on this basis]. The same argument applies to such cognate terms as ' beings who complete existence without,' and again, 4 with difficulty and striving' (see above, I., 4, § 9, n. 1).
Intinya menurut Kathavatthu, antarabhava ditolak krn tidak disebutkan sebagai salah satu bhava ataupun salah satu alam kehidupan/keadaan kesadaran dalam sutta-sutta.
Quote from: xenocross on 17 July 2013, 12:27:37 AM
avijja - sankhara - vinnana - namarupa - salayatana (landasan indera) - phassa- vedana - tanha (nafsu keinginan/ craving) - upadana - BHAVA
====================
"Of course you are befuddled, Vaccha. Of course you are uncertain. When there is a reason for befuddlement in you, uncertainty arises. I designate the rebirth of one who has sustenance, Vaccha, and not of one without sustenance. Just as a fire burns with sustenance and not without sustenance, even so I designate the rebirth of one who has sustenance and not of one without sustenance."
"But, Master Gotama, at the moment a flame is being swept on by the wind and goes a far distance, what do you designate as its sustenance then?"
"Vaccha, when a flame is being swept on by the wind and goes a far distance, I designate it as wind-sustained, for the wind is its sustenance at that time."
"And at the moment when a being sets this body aside and is not yet reborn in another body, what do you designate as its sustenance then?"
"Vaccha, when a being sets this body aside and is not yet reborn in another body, I designate it as craving-sustained, for craving is its sustenance at that time."
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn44/sn44.009.than.html
===================================================
Hanya menghubung-hubungkan.... kali aja cocok
Lho ini khan bhava BUKAN antarabhava.
Sedang yang diatas lebih cocok utk alam deva, karena mereka tidak memiliki body phisically tp masih punya craving, ada kisah deva pohon menculik seorang wanita yang dia cintai.
Quote from: ariyakumara on 16 July 2013, 08:12:20 PM
Menurut SN 12.2 (http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_12.2:_Vibha%E1%B9%85ga_Sutta), bhava hanya ada 3: kamabhava, rupabhava, dan arupabhava. Oleh sebab itu, pengertian antarabhava sbg "kehidupan/alam antara" (intermediate existence) tidak didukung oleh sutta, tetapi kalo "keadaan antara" (intermediate state) mungkin masih bisa masuk...
IYA bro Ariyakumara, saya juga SETUJU.
Quote from: ariyakumara on 16 July 2013, 08:12:20 PM
Menurut SN 12.2 (http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_12.2:_Vibha%E1%B9%85ga_Sutta), bhava hanya ada 3: kamabhava, rupabhava, dan arupabhava. Oleh sebab itu, pengertian antarabhava sbg "kehidupan/alam antara" (intermediate existence) tidak didukung oleh sutta, tetapi kalo "keadaan antara" (intermediate state) mungkin masih bisa masuk...
penggunaan kata "bhava" setelah "antara" yg menjadi persoalan, karena kalau yg dimaksudkan adalah "keadaan" seharusnya kata pali yg digunakan adalah "antara"+"
keadaan"
Katthavatthu kan agak belakangan, dan isinya abhidhamma dari pandangan aliran Mahaviharasin
Abhidharma aliran lain, misalnya Sarvastivada, mengakui antarabhava
Milinda Panha, mengatakan bahwa kelahiran kembali adalah spontan/ langsung, tapi milinda panha juga teks agak belakangan
detail lebih jauh yg aku tahu tentang antarabhava dijelaskan di teks mandarin atau tibetan.
ini ketemu studi yang membahas detail, dengan perbandingan kanon pali dengan komentar dan abhidhamma berbagai aliran.
terlalu panjang kalau dicopas kesini
Living Word of the Buddha SD vol 2 no 17 Is rebirth immediate?
http://dharmafarer.googlepages.com/IsRebirthImmediatesd2.17.pdf
Quote from: xenocross on 17 July 2013, 10:55:19 AM
ini ketemu studi yang membahas detail, dengan perbandingan kanon pali dengan komentar dan abhidhamma berbagai aliran.
terlalu panjang kalau dicopas kesini
Living Word of the Buddha SD vol 2 no 17 Is rebirth immediate?
http://dharmafarer.googlepages.com/IsRebirthImmediatesd2.17.pdf
:jempol:
Quote from: Indra on 17 July 2013, 10:04:30 AM
penggunaan kata "bhava" setelah "antara" yg menjadi persoalan, karena kalau yg dimaksudkan adalah "keadaan" seharusnya kata pali yg digunakan adalah "antara"+"keadaan"
Apa makna "bhava" yang sebenarnya?
Kalo menurut Bhikkhu Bodhi dalam terjemahan SN:
Quote... bhava, bukanlah "penjelmaan" dalam makna pengelompokan fenomena yang paling umum, yang berhubungan dengan segala sesuatu dari piring di dapur hingga angka-angka dalam persamaan matematis. Penjelmaan dalam makna yang belakangan ini dicakup oleh kata kerja atthi dan kata benda abstrak atthitā. Bhava adalah penjelmaan makhluk nyata dalam satu dari ketiga alam kehidupan dalam kosmologi Buddhis, suatu kehidupan yang dimulai dari konsepsi hingga berakhir pada kematian. Dalam formula kemunculan bergantungan dipahami dalam makna (i) sisi kehidupan yang aktif yang menghasilkan kelahiran kembali menjadi kehidupan makhluk tertentu, dengan kata lain kamma yang menghasilkan kelahiran-kembali; dan (ii) modus penjelmaan makhluk yang dihasilkan dari aktivitas demikian.
Penjelasan komentar SN:
QuoteSpk: dalam penjelmaan, baik penjelmaan-kamma (kammabhava) dan penjelmaan-kelahiran-kembali (upapattibhava). Dari semua ini, penjelmaan-kamma adalah kamma yang mengarah pada kehidupan di alam-indria; karena kamma itu, adalah penyebab bagi penjelmaan-kelahiran-kembali di alam itu. Disebutkan sebagai "penjelmaan" dengan menyertakan nama atas akibat dari penyebab. Penjelmaan-kelahiran-kembali adalah kumpulan dari kelompok-kelompok unsur kehidupan yang dibutuhkan oleh kamma yang dihasilkan oleh kamma tersebut; ini disebut "penjelmaan" dalam pengertian "muncul di sana." Cara penjelasan yang sama berlaku untuk penjelmaan di alam-berbentuk dan alam-tanpa-bentuk (dengan pengecualian bahwa dalam alam-tanpa-bentuk penjelmaan-kelahiran-kembali hanya empat kelompok unsur batin yang ada).
Harus diperhatikan bahwa dalam menginterpretasikan ungkapan upādānapaccayā bhavo, komentar menganggap bhava sebagai kammabhava atau upapattibhava, karena baik aktivitas kehendak maupun kelahiran-kembali dikondisikan oleh kemelekatan; tetapi dalam ungkapan bhavapaccayā jāti, mereka membatasi bhava pada kammabhava, karena upapattibhava termasuk di dalamnya jāti dan dengan demikian tidak dapat menjadi kondisi baginya. Baca Vism 572-73 (Ppn 17:258-60) dan Vism 575 (Ppn 17:270).
Tetapi ini tentu saja berdasarkan tradisi komentar Theravada yang menolak adanya antarabhava.
Jadi, bagaimana makna "bhava" sebenarnya menurut Sang Buddha sendiri? Apakah ada dalam sutta yang menjelaskan lebih rinci tentang "bhava" ini?
Quote from: ariyakumara on 17 July 2013, 10:06:13 PM
Apa makna "bhava" yang sebenarnya?
Jadi, bagaimana makna "bhava" sebenarnya menurut Sang Buddha sendiri? Apakah ada dalam sutta yang menjelaskan lebih rinci tentang "bhava" ini?
Bagaimana dengan hukum Patticcasamuppada ?
Paticca Samuppada - Dependent Origination
Pali EnglishAvijjâ paccayâ sankhârâ Ignorance conditions kamma formations.Sankhârâ paccayâ viññanam Kamma formations condition consciousness.Viññanam paccayâ nâmarûpam Consciousness conditions mind-matter.Nâmarûpa paccayâ salâyantanam Mind-matter conditions six-sense bases.Salâyantana paccayâ phasso Six-sense bases condition contacts.Phassa paccayâ vedanâ Contacts condition feelings.Vedanâ paccayâ tanhâ Feelings condition craving.Tanhâ paccayâ upâdânam Craving conditions clinging.Upâdâna paccayâ bhavo Clinging conditions becoming (or action).Bhava paccayâ jâti Becoming conditions birth.Jâti paccayâ jaramaranam soka parideva sukkha domanassu-pâyâsâ sambhavanti Birth conditions old age, death, grief, lamentation, pain, depression and despair.Evametassa kevalassa dukkha-khandassa samudayo hoti Thus the entire mass of suffering arises.Menurut hukum ini bhava adalah clinging condition, sedangkan bhavantara dikategorikan bhava karena ada clinging dengan feeling (vedana) terhadap keluarga yg dicintai, tetapi belum jati (menjelma/lahir) karena masih menanti.
karena sepertinya sudah stuck, bingung dengan kata bhava
Aku lanjutin menurut mahayana, apa yg kudengar dari guruku, dari buku, ataupun dari tradisi
Setelah mati, kesadaran melebur dan jadi kesadaran paling halus. Entah namanya patisandhi vinnana (mahayana pake istilah lain yg aku lupa). Nah proses setelahnya bergantung pada banyak faktor.
Jika orang itu memiliki karma buruk yang sangat berat, proses antarabhava nya berlangsung cepat, dan langsung jatuh ke neraka.
Jika orang itu memiliki karma baik yg sangat hebat, proses antarabhavanya juga sekejap, dia spontan langsung lahir di surga.
Tapi kebanyakan orang tidak seperti di atas. Biasanya pikiran sebelum kematian akan menentukan lahir dimana.
Jika dia melekat pada keluarga atau harta, umumnya dia akan lahir jadi peta/ hantu kelaparan. Hal ini bisa didahului oleh antarabhava yg sangat cepat, bisa juga antarabhava yg agak lama. Kebanyakan kasus biasanya cepat.
(Untuk kelahiran ke alam yg lahirnya spontan, biasanya antarabhava berlangsung sangat singkat)
Begitu juga jika pikiran sebelum mati baik, dan lahir ke alam dewa, biasanya antarabhava berlangsung singkat dan langsung lahir ke surga.
Tapi banyak kasus, pikiran sebelum mati kurang kuat. Atau dia akan lahir kembali menjadi manusia atau binatang.
Sehingga antarabhava berlangsung lumayan lama. Dikatakan maksimal 7x7hari.
Mungkin karena menunggu ada kondisi yang cocok untuk lahir (menunggu orang tua yg cocok berhubungan seks)
Dikatakan bahwa, situasi di alam antara/ bardo itu mirip dengan alam tujuan. Jadi ada alam bardo binatang, bardo neraka, bardo peta, bardo asura, bardo dewa, dll.
Sehingga kalau ada makhluk masuk ke bardo neraka, dia akan menderita di alam itu, sebelum lahir di neraka yang sesungguhnya. Begitu juga alam antara lainnya.
Alam antara ini, berdasarkan penglihatan orang yg bisa ngelihat makhluk2 halus, lebih transparan dan gak berwujud dibandingkan peta atau asura. Ini katanya.
Lama kehidupan di alam bardo adalah 7x7hari. Artinya satu bentuk kelahiran berlangsung selama 7 hari, setelah itu dia mati dan masuk ke bardo selanjutnya, atau mati dan lahir di antara 31 alam. Jadi tradisi chinese biasanya melakukan sembahyang tiap 7 hari sampai hari ke 49.
Bardo apa yg dialami seorang makhluk, itu tergantung karma dan kebiasaan pikiran dia. Akan muncul banyak ilusi dan bayangan, dan kalau udah terseret ke salah satu bayangan, kesadaran akan lahir di keadaan menurut bayangan itu.
Mirip halangan dan ilusi waktu meditasi.
dikatakan, yg bisa full 49 hari mengalami bardo, itu hanya praktisi tingkat tinggi. Maksudnya apa, saya gak tau, kayaknya itu ajaran tingkat tinggi.
Tapi ada juga dikatakan di tibetan book of the dead, kalau hari pertama bisa menghindari masuk bardo, bisa langsung mengarahkan pikiran ke alam2 yg lebih tinggi. Kalau gak berhasil, cobain di hari ke7 mengarah ke alam surga, dst.
Biasanya selama bardo, kesadaran itu akan ada di tempat2 yg familiar dengan dia atau tubuhnya, atau keluarganya. Biasanya mereka bebas bergerak (kecuali mungkin bardo neraka) dan berkeliling. Tetapi karena kemelekatan terhadap tubuh atau keluarga biasanya sih mereka gampang lahir jadi peta dan melakukan hal yg sama, berkeliling.
Sehingga ada kebingungan juga apakah yg lagi keliling itu makhluk antara atau makhluk peta.
Tapi, apa yg dilakukan keluarga gak berubah. Keluarga harus mengadakan pelimpahan jasa, pembacaan paritta dan sutra, tidak menangis, dll. Karena dengan semua itu ada kemungkinan makhluk peta atau makhluk antara ini pikirannya mengarah ke positif dan lahir di alam tinggi.
Ada kesaksian satu anak indigo, yang ayahnya segera setelah meninggal jadi peta. Dia bisa melihat dan komunikasi. Setelah pelimpahan jasa intensif, pembacaan doa dll, ayahnya bisa lahir jadi dewa ketika kremasi tubuhnya.
Tapi ada juga kesaksian orang sakti lain, mengenai satu orang yg hidupnya agak gak bener, rada durhaka ke orang tua. Setelah mati, dia jadi peta. Keluarga melakukan hal standar, pelimpahan jasa dan pembacaan sutra. Dan di pembacaan doa ke 49 hari, orang ini bilang, si peta tubuhnya tenggelam ke tanah. Artinya dia masuk neraka. Jadi kalau karma udah berat memang susah dilawan
Trus ada sebuah teori yg belum bisa terkonfirmasi, yaitu lamanya bardo adalah 7x7hari berdasarkan dimensi alamnya.
Misalkan ada orang yg akan lahir jadi manusia, maka lama bardo adalah 7x7 hari (maksimal) waktu manusia.
Tapi kalau ada orang yg akan lahir jadi makhluk neraka, lama bardo adalah 7x7 hari (maksimal) waktu neraka.
katanya, lama waktu di neraka paling atas, Sanjiva, 1 hari neraka = 100 tahun (atau 50 tahun?) manusia
Jadi 7 hari neraka = 700 tahun manusia.
Sehingga, orang yg akan masuk neraka, kalau tidak langsung lahir, akan ada di alam antara selama 700 tahun (minimal) manusia, atau 4900 (maksimal) tahun sebelum akhirnya masuk ke neraka.
Perhitungan yg mirip juga untuk alam peta, karena katanya 1 hari alam peta lebih lama dari berapa tahun alam manusia.
Jadi, ada kemungkinan leluhur kita saat ini baru saja lahir jadi peta, dan mengharapkan patidana.
Tolong dicatat ini baru spekulasi, dan biasanya orang hanya menghitung 49 hari waktu manusia. Tapi kalau ternyata benar.... yah sering2 patidana deh
Quote from: xenocross on 18 July 2013, 01:19:38 PM
Tolong dicatat ini baru spekulasi, dan biasanya orang hanya menghitung 49 hari waktu manusia. Tapi kalau ternyata benar.... yah sering2 patidana deh
bahkan Theravada yg tidak menganut bardo2an....pun melakukan patidana...jd sebenarnya tidak membutuhkan "klo ternyata benar"
bagiku..mirip alam peta (alam yg di maksud bardo) toh alam petanya ada macam2... dan memang alam peta tertentu ada yg bisa menerima patidana..
Sundul
Jadi apa arti antarabhava?
Quote from: xenocross on 18 July 2013, 01:19:38 PM
Setelah mati, kesadaran melebur dan jadi kesadaran paling halus. Entah namanya patisandhi vinnana (mahayana pake istilah lain yg aku lupa). Nah proses setelahnya bergantung pada banyak faktor.
Bisa tolong dijelaskan apa itu mati pada makhluk menurut Mahayana (sumbernya please). Thanks
Quote from: Shasika on 18 July 2013, 12:09:19 PM
Menurut hukum ini bhava adalah clinging condition, sedangkan bhavantara dikategorikan bhava karena ada clinging dengan feeling (vedana) terhadap keluarga yg dicintai, tetapi belum jati (menjelma/lahir) karena masih menanti.
Apakah dalam penantian masih ada feeling (vedana) sehingga ada clinging?
Quote from: Kelana on 19 July 2013, 09:07:58 PM
Sundul
Jadi apa arti antarabhava?
Masih stuck di sini...
Mungkin sdr. Kelana punya pendapat sendiri ttg arti antarabhava ini....
Quote from: ariyakumara on 19 July 2013, 09:32:55 PM
Masih stuck di sini...
Mungkin sdr. Kelana punya pendapat sendiri ttg arti antarabhava ini....
Saya juga belum yakin , tapi cederung bahwa 'bhava' di sini bukan suatu alam, tetapi lebih pada 'kondisi untuk menjadi', ada kata kerja di sini, becoming, ada "proses" . Jika melihat teks agama lain dalam hal ini Hindu, 'bhava' diartikan sebagai sikap batin/perasaan.
Sehingga mungkin dalam kasus misalnya 'kamabhava' bisa berarti (proses )untuk menjadi/menjelma berdasarkan pada kama (seksulitas). Kalau diterapkan pada kata 'antarabhava' maka menjadi aneh (menjelma berdasarkan pada antara??) makanya mungkin ditolak dalam Kathāvatthu.
Terlepas dari itu, saya menemukan ada kata 'bhāva' (ada garis di atas huruf 'a') selain kata 'bhava'. Saya pribadi kurang tahu apakah ini mempengaruhi artinya meskipun sedikit. Mungkin yang bisa bahasa Pali bisa membantu.
Selain itu ada kata 'antarā' selain kata 'antara'. antarā (dlm Sandkrit) dapat diterjemahkan menjadi 'hampir', 'dekat', 'saat' (KBBI juga mengartikan 'antara' salah satunya sebagai 'dekat'), Jadi tidak hanya berarti 'tengah-tengah atau 'di antara''. Bisa jadi antarābhava berarti (proses) penjelmaan yang hampir terjadi atau bisa berarti di saat-saat menjelma. Mungkin ini maksud awal dari aliran Buddhisme awal yang pro (mereka bukan bermaksud menyatakan adanya alam/dunia antara), namun disalahpahami oleh yang kontra. Kemudian konsep antarabhava ini berkembang dan berubah menjadi benar-benar ada alamnya.
Dalam Kathāvatthu tertulis: 'antarābhava' bukan 'antarabhava'. Sekali lagi mungkin yang bisa bahasa Pali bisa membantu apakah perbedaan ini penting atau tidak.
Demikian untuk saat ini.
Quote from: Shasika on 18 July 2013, 12:09:19 PM
Menurut hukum ini bhava adalah clinging condition, sedangkan bhavantara dikategorikan bhava karena ada clinging dengan feeling (vedana) terhadap keluarga yg dicintai, tetapi belum jati (menjelma/lahir) karena masih menanti.
bold, maksudnya menanti untuk lahir lagi ? ???,
andaikan jadi 'mahluk menanti' utk menjelma/lahir dan 'mahluk menanti' lebih tepat di sebut mahluk apa ? :),
tentunya ada kondisi 'terminal' untuk tunggu proses menanti terlahir lagi, begitukah ! :)
dari sini (http://www.palikanon.com/english/wtb/b_f/bhaava.htm)
Quote
bhāva
(feminine and masculine) 'nature',
refers to the sexual characteristics of the body, and belongs to the group of corporeality (s. khandha).
It is a commentarial term for the faculties of femininity and masculinity (s. indriya 7, 8). (App.).
kalau yang antarā belum dapat
Biasanya "bhāva" digunakan dalam Abhidhamma Theravada menunjuk pada sifat jenis kelamin sebagai bagian dari rupakkhanada.
Menurut PTS Pali Dictionary:
QuoteBhāva
Bhāva [fr. bhū, cp. Vedic bhāva] 1. being, becoming, condition, nature; very rarely by itself (only in later & C. literature, as e. g. J i.295 thīnaŋ bhāvo, perhaps best to be translated as "women's character," taking bhāva=attabhāva); usually -- ˚, denoting state or condition of, and representing an abstr. der. from the first part of the cpd. e. g. gadrabha˚ ʻ asininity ʼ J ii.109. Thus in connection with (a) adjectives: atthika˚ state of need PvA 120; ūna˚ depletion SnA 463; ekī˚ loneliness Vism 34; sithill˚ (for sithila˚ in conn. with kṛ & bhū) relaxation Vism 502. -- (b) adverbs. upari˚ high
-- 503 --
condition M i.45; pātu˚ appearance Sn 560; vinā˚ difference Sn 588. (c) nouns & noun -- derivations: atta˚ individual state, life, character Sn 388 (=citta SnA 374); asaraṇa˚ state of not remembering DhA iii.121; samaṇa˚ condition of a recluse Sn 551. -- (d) forms of verbs: nibbatta˚ fact of being reborn DhA iii.121; magg' ārūḷha˚ the condition of having started on one's way VvA 64; baddha˚ that he was bound; suhita˚ that they were well J iv.279. The translation can give either a full sentence with "that it was" etc. (VvA 64: "that he had started on his way"), or a phrase like "the fact or state of," or use as an English abstract noun ending in -- ness (atthika -- bhāva needfulness, eki˚ loneliness), -- ion (ūna˚ depletion, pātu˚ manifestation). -- hood (atta˚ selfhood), or -- ship (samaṇa˚ recluseship). <-> Similarly in Com. style: sampayutta -- bhāvo (m.) DhA iii.94, for *sampayuttattaŋ (abstr.); bhākuṭikassa bhāvo=bhakuṭiyaŋ Vism 26; sovacassassa bhāvo= sovacassatā KhA 148; mittassa bh.=mettaŋ KhA 248. Here sometimes bhava for bhāva. -- 2. (in pregnant, specifically Buddhistic sense) cultivation or production by thought, mental condition, esp. a set mental condition (see der. bhāvanā). Sometimes (restricted to Vin & J) in sense "thinking of someone," i. e. affection, love, sentiment. -- (a) in combn khanti, diṭṭhi, ruci, bhāva at Vin ii.205; iii.93; iv.3, 4. -- (b) in Jātaka passages: J v.237; vi.293 (bhāvaŋ karoti, with loc., to love). -- abhāva (late, only in C. style) not being, absence, want PvA 25; abl. abhāvato through not being, in want of PvA 9, 17. -- sabhāva (sva+bhāva) see sep.
http://dsalsrv02.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3557.pali (http://dsalsrv02.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3557.pali)
Kalo "antarā" sama artinya dengan "antara", hanya beda bentuk kata ("antarā" adalah bentuk ablatif/adverbial dari "antara"):
QuoteAntarā
Antarā (adv.) [abl. or adv. formation fr. antara; Vedic antarā.] prep. (c. gen. acc. or loc.), pref. (˚ -- ) and adv. "in between" (of space & time), midway, inside; during, meanwhile, between. On interpretation of term see DA i.34 sq. -- (1). (prep.) c. acc. (of the two points compared as termini; cp. B.Sk. antarā ca Divy 94 etc.) D i.1 (antarā ca Rājagahaŋ antarā ca Nāḷandaŋ between R. and N.). -- c. gen. & loc. Vin ii.161 (satthīnaŋ between the thighs, where id. p. at J i.218 has antara -- satthīsu); A ii.245 (satthīnaŋ. but v. l. satthimhi). -- (2) (adv.) meanwhile Sn 291, 694; It 85; Dh 237. -- occasionally Miln 251. -- (3). (pref.) see cpds.
-- kathā "in between talk, talk for pastime, chance conversation, D ii.1, 8, 9; S i.79; iv.281; A iii.167; Sn p. 115; DA i.49 and freq. passim. -- gacchati to come in between, to prevent J vi.295. -- parinibbāyin an Anāgāmin who passes away in the middle of his term of life in some particular heaven D iii.237; A i.233; Pug 16. -- magge (loc.) on the road, on the way J i.253; Miln 16; DhA ii.21; iii.337; PvA 151, 258, 269, 273 (cp. antara˚). -- maraṇa premature death DhA i.409; PvA 136. -- muttaka one who is released in the meantime Vin ii.167
http://dsalsrv02.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:1269.pali (http://dsalsrv02.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:1269.pali)
Sekarang berdasarkan Sanskerta dari kata bhava (tanpa ā)
Monier Williams Sanskrit-English Dictionary (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/monier/)
(H1) भव [p= 748,3] [L=148983] m. ( √ भू) coming into existence , birth , production , origin (= भाव Vop. ; ifc. , with f(आ). = arising or produced from , being in , relating to) Ya1jn5. MBh. Ka1v. &c
[L=148984] becoming , turning into (comp.) Ka1t2h.
[L=148985] being , state of being , existence , life (= सत्-ता L. ) S3a1rn3gP. (cf. भवा*न्तर)
[p= 749,1] [L=148986] worldly existence , the world (= संसार L. ) Ka1v. Pur.
[L=148987] (with Buddhists) continuity of becoming (a link in the twelvefold chain of causation) Dharmas. 42 ( MWB. 102)
[L=148988] well-being , prosperity , welfare , excellence (= श्रेयस् L. ) MBh. Ka1v. &c
[L=148989] obtaining , acquisition (= आप्ति , प्रा*प्ति) L.
http://dictionary.tamilcube.com/sanskrit-dictionary.aspx (http://dictionary.tamilcube.com/sanskrit-dictionary.aspx)
Bhava ( 1 ) : Becoming , from the verb "bhu" or "bhavh" which means to become or to exist .
Bhava ( 2 ) : Subjective state of being ( existence ) ; attitude of mind ; mental attitude or feeling ; state of realization in the heart or mind .
bhava ( bhaava ). Being , becoming .
bhava - the Source
bhava : ( bhU } ) coming info existence , birth , production , origin ( : { bhAva } ; , with : arising or produced from , being in , relating to ) ; becoming , turning into Kâthh ; being , state of being , existence , life ( sat-tA } ) ( bhavA7ntara } ) ;
Bhava : Attitude , mostly expressing a particular relationship God ; any of the five such attitudes prescribed by Vaishnavism , viz. , Santa , Dasya , Sakhya , Vatsalya and Madhurya (of peace , of servant , of friend , of maternal , and of a lover , respe
Sepertinya lebih banyak diartikan sebagai proses menjelma daripada suatu alam, suatu kondisi.
Jika yang dimaksud adalah alam, mengapa tidak menggunakan kata 'bhumi' atau 'loka'?
Saran saya untuk lebih memastikan arti dan fungsi dari kata 'bhava' ini mungkin kita bisa melihat konteks kalimatnya. Kita mungkin akan mudah menemukannya dalam kepustakaan Pali tapi sepertinya sukar untuk yang Sanskertanya.
Salah satu contoh sudah disampaikan oleh Sdri. Shasika yaitu pada hukum Patticcasamuppada. http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623)
'bhava' di hukum Patticcasamuppada sepertinya tidak mengacu pada alam, ini juga berlaku pada kepustakaan bahasa Sanskerta karena format hukum tersebut sama.
Untuk sementara itu dulu.
Quote from: Kelana on 22 July 2013, 09:58:45 PM
Sekarang berdasarkan Sanskerta dari kta bhava (tanpa ā)
Monier Williams Sanskrit-English Dictionary (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/monier/)
(H1) भव [p= 748,3] [L=148983] m. ( √ भू) coming into existence , birth , production , origin (= भाव Vop. ; ifc. , with f(आ). = arising or produced from , being in , relating to) Ya1jn5. MBh. Ka1v. &c
[L=148984] becoming , turning into (comp.) Ka1t2h.
[L=148985] being , state of being , existence , life (= सत्-ता L. ) S3a1rn3gP. (cf. भवा*न्तर)
[p= 749,1] [L=148986] worldly existence , the world (= संसार L. ) Ka1v. Pur.
[L=148987] (with Buddhists) continuity of becoming (a link in the twelvefold chain of causation) Dharmas. 42 ( MWB. 102)
[L=148988] well-being , prosperity , welfare , excellence (= श्रेयस् L. ) MBh. Ka1v. &c
[L=148989] obtaining , acquisition (= आप्ति , प्रा*प्ति) L.
http://dictionary.tamilcube.com/sanskrit-dictionary.aspx (http://dictionary.tamilcube.com/sanskrit-dictionary.aspx)
Bhava ( 1 ) : Becoming , from the verb "bhu" or "bhavh" which means to become or to exist .
Bhava ( 2 ) : Subjective state of being ( existence ) ; attitude of mind ; mental attitude or feeling ; state of realization in the heart or mind .
bhava ( bhaava ). Being , becoming .
bhava - the Source
bhava : ( bhU } ) coming info existence , birth , production , origin ( : { bhAva } ; , with : arising or produced from , being in , relating to ) ; becoming , turning into Kâthh ; being , state of being , existence , life ( sat-tA } ) ( bhavA7ntara } ) ;
Bhava : Attitude , mostly expressing a particular relationship God ; any of the five such attitudes prescribed by Vaishnavism , viz. , Santa , Dasya , Sakhya , Vatsalya and Madhurya (of peace , of servant , of friend , of maternal , and of a lover , respe
Sepertinya lebih banyak diartikan sebagai proses menjelma daripada suatu alam, suatu kondisi.
Jika yang dimaksud adalah alam, mengapa tidak menggunakan kata 'bhumi' atau 'loka'?
Saran saya untuk lebih memastikan arti dan fungsi dari kata 'bhava' ini mungkin kita bisa melihat konteks kalimatnya. Kita mungkin akan mudah menemukannya dalam kepustakaan Pali tapi sepertinya sukar untuk yang Sanskertanya.
Salah satu contoh sudah disampaikan oleh Sdri. Shasika yaitu pada hukum Patticcasamuppada. http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623)
'bhava' di hukum Patticcasamuppada sepertinya tidak mengacu pada alam, ini juga berlaku pada kepustakaan bahasa Sanskerta karena format hukum tersebut sama.
Untuk sementara itu dulu.
bardo juga artinya bukan alam, tapi keadaan.
The Tibetan word bardo means literally "intermediate state" - also translated as "transitional state" or "in-between state" or "liminal state"
http://en.wikipedia.org/wiki/Bardo
trus ada kutipan dari sebuah mahayana sutra
QuoteSaddharma smrti upasthana sutra. Chapter thirty four. Selected passage.
[1] When the time of death approaches for a human being and they are going to be reborn as human. They see the following signs. They see a great rocky mountain lowering over them like a shadow. And they think: The mountain is about to fall down on me. [2] And then, they may make a gesture with their hand as if to push it back. [3] Their brothers, relatives and neighbors may see this gesture, but to them it seems that they are simply pushing their hand into space. [4] Soon the mountain seems to be made of white cloth and they climb up the cloth. [5] Then it seems to be made of red cloth.
[6] Then, as the time of death approaches they see a brilliant light and being unaccustomed to this, they are confused and disorientated at the time of death. [7] Because they are confused, they see all variety of things appearing as if in a dream. [8] Then they see their future father and mother in sexual union and in seeing them, a reverse thought arises in them. [9] If they are going to be reborn as a man, they see themselves in union with their mother and being hindered by their father. If they are going to be reborn as a woman, they see themselves in union with their father and being hindered by their mother. [10] At this moment the intermediate state comes to an end and there is the arising of life and unawakened-knowing in the on going stream of conditioned arising. [11] It is like the imprint of a seal, the pattern of which remains after the seal has been broken.
Quote from: Kelana on 22 July 2013, 09:58:45 PM
Sepertinya lebih banyak diartikan sebagai proses menjelma daripada suatu alam, suatu kondisi.
Jika yang dimaksud adalah alam, mengapa tidak menggunakan kata 'bhumi' atau 'loka'?
Saran saya untuk lebih memastikan arti dan fungsi dari kata 'bhava' ini mungkin kita bisa melihat konteks kalimatnya. Kita mungkin akan mudah menemukannya dalam kepustakaan Pali tapi sepertinya sukar untuk yang Sanskertanya.
Salah satu contoh sudah disampaikan oleh Sdri. Shasika yaitu pada hukum Patticcasamuppada. http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623)
'bhava' di hukum Patticcasamuppada sepertinya tidak mengacu pada alam, ini juga berlaku pada kepustakaan bahasa Sanskerta karena format hukum tersebut sama.
Untuk sementara itu dulu.
Bagaimana konsep/pandangan Brahmanisme pada masa Sang Buddha tentang bhava atau antarabhava? Apakah ada para pertapa atau brahmana pada masa itu yang mengajarkan tentang antarabhava? Mungkin kita bisa membandingkan dengan konsep Buddhis ttg bhava....
sulit, karena konsep brahmanisme yang ada pada masa Buddha sudah tidak survive catatannya ke masa sekarang. Hindu yang sekarang ada sudah beda jauh. Zaman Buddha hanya ada 3 veda. Sekarang adanya 4 veda. Catatan tentang pemikiran brahmanisme pada waktu itu adanya dari komentar Buddha atau murid2nya terhadap pandangan mereka.
Tapi kemungkinan ada pendapat mereka tentang antarabhava. Hal ini implisit di dalam pertanyaan raja milinda di milinda panha
Quote"Jika seseorang meninggal dunia dan kemudian terlahir di alam Brahma,
serta pada saat yang sama seseorang lain yang meninggal dunia dan kemudian terlahir di Kashmir, siapakah yang akan sampai terlebih dahulu?" "
"Berapa jauhkan kota kelahiran Baginda dari sini?"
"200 league."
"Dan berapa jauhkah Kashmir?"
"12 league."
"Manakah di antaranya yang lebih cepat Baginda ingat?"
"Keduanya sama, Yang Mulia."
"Demikian juga, O Baginda, orang-orang yang meninggal pada saat
yang sama
itu akan terlahir pada saat yang sama pula."
Quote from: Kelana on 19 July 2013, 09:25:18 PM
Apakah dalam penantian masih ada feeling (vedana) sehingga ada clinging?
Berdasarkan pengalaman ya bro, ini ada kisah nyata yang sungguh2 terjadi, ada jenasah udah seminggu belum ditutup peti karena masih menanti anak bungsu yang berada di USA belum bisa segera pulang ke tanah air, akhirnya benar2 tidak bisa pulang, sehingga anak berpamitan melalui HP ditempelkan ke telinga jenasah mamanya, saat HP ditempelkan ke telinga jenasah, ternyata jenasah mengeluarkan air mata, itu bukti nyata bahwa almarhum masih ada didekat sana dan mendengar suara anaknya yang berpamitan tidak bisa pulang untuk mengantarkan mamanya terakhir kali. Berarti dia masih ada ikatan cinta kepada anaknya (feeling).
ini ada kutipan "Vedana sutta" (S.ii.247)
manosamphassajāya vedanāyapi (feelings born of mind contact), sang Buddha sangat jelas menyebutkan bahwa feeling muncul karena adanya kontak mind (mano). kita semua tahu bahwa disaat kita meninggal hanya tinggal mano saja (vinnana) yang akan melanjutkan perjalanan ke alam berikut.
[spoiler]
7. Rāhulasaṃyuttaṃ
1. Paṭhamavaggo
5. Vedanāsuttaṃ
192. Sāvatthiyaṃ viharati...pe... ''taṃ kiṃ maññasi, rāhula, cakkhusamphassajā vedanā niccā vā aniccā vā''ti? ''Aniccā, bhante''...pe... ''sotasamphassajā vedanā...pe... ghānasamphassajā vedanā... jivhāsamphassajā vedanā... kāyasamphassajā vedanā... manosamphassajā vedanā niccā vā aniccā vā''ti? ''Aniccā , bhante''...pe... ''evaṃ passaṃ, rāhula, sutavā ariyasāvako cakkhusamphassajāya vedanāyapi nibbindati...pe... sota... ghāna... jivhā... kāya...
manosamphassajāya vedanāyapi nibbindati...pe... pajānātī''ti.
[spoiler]
ENGLISH
(5) Vedana / Feelings 1. I heard thus. At one time the Blessed One was living in the monastery offered by Anàthapindika in Jeta's grove in Sàvatthi. Then venerable Ràhula approached the Blessed One worshipped and sat on a side. Sitting on a side venerable Ràhula said to the Blessed One: Venerable sir, Blessed One, may I be taught so that I would withdraw and seclude and abide diligent and zealous to dispel.
2. Ràhula, are feelings born of eye contact permanent or impermanent?
They are impermanent, venerable sir.
That which is impermanent is it unpleasant or pleasant?
It's unpleasant, venerable sir.
That which is impermanent, unpleasant, a changing thing is it suitable to be considered `that is mine, I am that, it's my self?
That is not so, venerable sir.
5. Ràhula, are feelings born of ear contact ... re ...
6. ... re ... feelings born of nose ontact ... re ...
7. ... re ... feelings born of tongue contact ... re ...
8. ... re ... feelings born of body contact ... re ...
9. Ràhula, are feelings born of mind contact permanent or impermanent?
They are impermanent venerable sir.
That which is impermanent is it unpleasant or pleasant?
It's unpleasant, venerable sir.
That which is impermanent, unpleasant, a changing thing is it suitable to be considered `that is mine, I am that, it's my self?
That is not so, venerable sir.
10. Ràhula, the noble disciple seeing it thus turns away from feelings born of eye contact turns away from feelings born of ear contact, turns away from feelings born of nose contact, turns away from feelings born of tongue contact turns away from feelings born of body contact and turns away from
feelings born of mind contact.
11. Turning away detaches himself, is dispassionate and is released. Released, knowledge arises, `Birth is destroyed, the holy life is lived, duties are done, there's nothing more to wish'.
[spoiler]
INDONESIA
1. Aku mendengar demikian. Pada suatu waktu Sang Bhagava tinggal di Vihara Anathapindika di hutan Jeta di Savatthi. Kemudian Rahula mendekati Sang Bhagava menyembah dan duduk di sisi. Duduk di sisi Rahula berkata kepada Sang Bhagava: Hormat saya, Bhante, mohon Sang bhagava mengajarkan dhamma secara singkat kepada saya dan saya akan menyendiri, ke tempat terpencil, berlatih sungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat menaklukkan dirinya sendiri
2. Rahula, perasaan yang lahir dari kontak mata permanen atau tidak permanen?
Mereka tidak kekal, Yang Mulia.
Itu yang kekal itu menyenangkan atau menyenangkan?
Ini tidak menyenangkan, Yang Mulia.
Itu yang tidak kekal, tidak menyenangkan, hal yang berubah apakah cocok untuk
dipertimbangkan `adalah milikku, aku, itu diri saya?
Itu tidak begitu, Yang Mulia.
5. Rahula, adalah perasaan yang lahir dari kontak telinga ... re ...
6. ... re ... perasaan yang lahir dari hidung ontact ... re ...
7. ... re ... perasaan yang lahir dari kontak lidah ... re ...
8. ... re ... perasaan yang lahir dari kontak tubuh ... re ...
9. Rahula, adalah perasaan yang lahir dari pikiran kontak permanen atau tidak permanen?
Mereka Mulia kekal.
Itu yang kekal itu menyenangkan atau menyenangkan?
Ini tidak menyenangkan, Yang Mulia.
Itu yang tidak kekal, tidak menyenangkan, hal yang berubah adalah cocok untuk
dipertimbangkan `yang adalah milikku, aku itu, itu diri saya?
Itu tidak begitu, Yang Mulia.
10. Rahula, siswa mulia melihatnya demikian berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak mata berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak telinga, berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak hidung, berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak lidah berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak tubuh dan berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak pikiran.
11. Berpaling melepaskan dirinya, melepaskan perasaan dan tanggalkan. Setelah ditanggalkan, muncul pengetahuan, `Kelahiran telah dihancurkan, hidup dalam kehidupan suci, tugas telah diselesaikan, tidak ada lagi keinginan '.
[/spoiler]
[/spoiler]
[/spoiler]
Quote from: Kelana on 22 July 2013, 09:58:45 PM
Sekarang berdasarkan Sanskerta dari kata bhava (tanpa ā)
Monier Williams Sanskrit-English Dictionary (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/monier/)
(H1) भव [p= 748,3] [L=148983] m. ( √ भू) coming into existence , birth , production , origin (= भाव Vop. ; ifc. , with f(आ). = arising or produced from , being in , relating to) Ya1jn5. MBh. Ka1v. &c
[L=148984] becoming , turning into (comp.) Ka1t2h.
[L=148985] being , state of being , existence , life (= सत्-ता L. ) S3a1rn3gP. (cf. भवा*न्तर)
[p= 749,1] [L=148986] worldly existence , the world (= संसार L. ) Ka1v. Pur.
[L=148987] (with Buddhists) continuity of becoming (a link in the twelvefold chain of causation) Dharmas. 42 ( MWB. 102)
[L=148988] well-being , prosperity , welfare , excellence (= श्रेयस् L. ) MBh. Ka1v. &c
[L=148989] obtaining , acquisition (= आप्ति , प्रा*प्ति) L.
http://dictionary.tamilcube.com/sanskrit-dictionary.aspx (http://dictionary.tamilcube.com/sanskrit-dictionary.aspx)
Bhava ( 1 ) : Becoming , from the verb "bhu" or "bhavh" which means to become or to exist .
Bhava ( 2 ) : Subjective state of being ( existence ) ; attitude of mind ; mental attitude or feeling ; state of realization in the heart or mind .
bhava ( bhaava ). Being , becoming .
bhava - the Source
bhava : ( bhU } ) coming info existence , birth , production , origin ( : { bhAva } ; , with : arising or produced from , being in , relating to ) ; becoming , turning into Kâthh ; being , state of being , existence , life ( sat-tA } ) ( bhavA7ntara } ) ;
Bhava : Attitude , mostly expressing a particular relationship God ; any of the five such attitudes prescribed by Vaishnavism , viz. , Santa , Dasya , Sakhya , Vatsalya and Madhurya (of peace , of servant , of friend , of maternal , and of a lover , respe
Sepertinya lebih banyak diartikan sebagai proses menjelma daripada suatu alam, suatu kondisi.
Jika yang dimaksud adalah alam, mengapa tidak menggunakan kata 'bhumi' atau 'loka'?
Saran saya untuk lebih memastikan arti dan fungsi dari kata 'bhava' ini mungkin kita bisa melihat konteks kalimatnya. Kita mungkin akan mudah menemukannya dalam kepustakaan Pali tapi sepertinya sukar untuk yang Sanskertanya.
Salah satu contoh sudah disampaikan oleh Sdri. Shasika yaitu pada hukum Patticcasamuppada. http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451623.html#msg451623)
'bhava' di hukum Patticcasamuppada sepertinya tidak mengacu pada alam, ini juga berlaku pada kepustakaan bahasa Sanskerta karena format hukum tersebut sama.
Untuk sementara itu dulu.
SETUJU, 'bhava' bukan suatu alam.
Quote from: Shasika on 24 July 2013, 12:42:04 AM
Berdasarkan pengalaman ya bro, ini ada kisah nyata yang sungguh2 terjadi, ada jenasah udah seminggu belum ditutup peti karena masih menanti anak bungsu yang berada di USA belum bisa segera pulang ke tanah air, akhirnya benar2 tidak bisa pulang, sehingga anak berpamitan melalui HP ditempelkan ke telinga jenasah mamanya, saat HP ditempelkan ke telinga jenasah, ternyata jenasah mengeluarkan air mata, itu bukti nyata bahwa almarhum masih ada didekat sana dan mendengar suara anaknya yang berpamitan tidak bisa pulang untuk mengantarkan mamanya terakhir kali. Berarti dia masih ada ikatan cinta kepada anaknya (feeling).
Menurut Bhikkhu Sujato, dalam keadaan antara kelima khanda masih bekerja. Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan pengalaman seseorang yang mengalami NDE/ODE:
Jika lima kelompok unsur kehidupan merupakan suatu cara memahami kelahiran kembali menjadi berbagai keadaan makhluk, ini hanya akan lebih jelas untuk menyatakan bahwa mereka juga terlibat dalam proses kelahiran antara.[43] Sedikit perenungan menegaskan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah sungguh mengalami NDE (near death experience [pengalaman mendekati kematian]) atau OOBE (out of body experience [pengalaman keluar dari tubuh]). Seseorang melihat "bentuk-bentuk", cahaya, gambaran, dan memiliki perasaan bergerak keluar dari tubuh. Ini semuanya adalah bagian dari kelompok unsur bentuk. Harus dicatat bahwa "pergerakan" adalah ciri fisik, sehingga perasaan bergerak keluar tubuh adalah fenomena fisik, dan tidak dapat dijelaskan dengan merujuk pada roh yang sepenuhnya tanpa materi (secara kebetulan ini adalah salah satu mengapa saya meninggalkan kepercayaan saya terhadap suatu roh). Untuk dapat "melihat" cahaya, seseorang harus dengan suatu cara berinteraksi dengan foton [partikel cahaya]. Pasti ada dimensi fisik yang hadir, kalau tidak foton hanya akan menembus melaluinya tanpa hambatan. Kualitas ini disebut "kontak-hambatan" (paṭighasamphassa) di dalam Sutta-Sutta.[44] Tentu saja, kita membayangkan kehadiran "fisik" ini tidak dalam istilah materi fisik yang kasar (oḷārika), tetapi sejenis "tubuh energi", atau "tubuh halus", istilah terbaik yang di dalam Sutta-Sutta akan disebut "tubuh ciptaan pikiran (manomayakāya), yang dikatakan tiruan yang "bersifat fisik" (rūpī) dari tubuh kasar.[45] Jadi kelompok unsur bentuk pastinya bagian dari pengalaman ini, bahkan jika ini bukan tubuh biasa yang biasanya kita kenali.
Subjek biasanya mengalami perasaan bahagia, yang merupakan bagian dari kelompok unsur perasaan. Seringkali, mereka akan mengenali keluarga atau teman-teman yang datang untuk bertemu dengan mereka. Kemampuan mengenali ini merupakan bagian dari kelompok unsur persepsi. Ada kalanya ketika subjek seringkali merasa seakan-akan mereka harus membuat suatu pilihan, untuk tetap [melanjutkan] atau kembali. Pilihan ini dimasukkan dalam kelompok unsur aktivitas-aktivitas kehendak. Akhirnya, subjek dengan jelas sadar selama proses ini, di sana kesadaran bekerja. Demikianlah bagi orang yang belum tercerahkan proses kelahiran kembali dapat digambarkan dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan; sebaliknya, Arahant yang telah tercerahkan tidak dapat digambarkan setelah kematian dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan, karena ini semua telah lenyap.[46] Quote from: Shasika on 24 July 2013, 01:09:33 AM
SETUJU, 'bhava' bukan suatu alam.
Bhikkhu Sujato juga menyampaikan hal yang sama bahwa antarabhava adalah suatu keadaan transisi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan berikutnya:
Tampaknya bagi saya terdapat sesuatu yang lebih dalam yang dapat kita pelajari dari merenungkan tentang keadan antara. Perubahan adalah traumatis, dan kita membutuhkan suatu periode untuk penyesuaian. Perumpamaan yang diberikan Sang Buddha – berkelana dari rumah ke rumah, atau melayang bagaikan percikan api di udara – menangkap suatu perasaan kesendirian dan tidak menentu di alam semesta ini. Makhluk yang telah meninggalkan badan mereka dihempaskan ke dalam sesuatu yang tidak diketahui, di mana semua ketakutan dan harapan mereka dapat disadari. Perbuatan, pengalaman, keinginan, dan kebiasaan-kebiasaan dari kehidupan ini dan masa lampau membuat kesan pada arus kesadaran: kita mengetahui hal ini, kita merasakannya tiap waktu. Hal-hal demikian memakan waktu untuk dicerna diri sendiri dan mengkristal dalam suatu pola baru. Kita tidak memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan dengan sekejap. Masa kebingungan, yang telah meninggalkan satu hal dan belum mencapai hal yang lain, memberikan ruang bagi kesadaran untuk menyatukan pelajaran dari masa lampau dan mengarahkan dirinya sendiri ke masa depan.
Terlepas dari semua yang telah kita katakan untuk mendukung keadaan "antara", saya masih akan membuat suatu keberatan penting. Gagasan "keadaan" menyatakan suatu modus keberadaan, tetapi sebaliknya, apa yang kita lihat menyatakan ketiadaan suatu keberadaan. Keadaan antara bukan suatu alam tersendiri yang entah bagaimana berdiri di ruang kosong di antara alam-alam lain. Kita mungkin membayangkan demikian, tetapi ini hanya sebuah perumpamaan untuk membantu kita memandang pengalaman ini secara masuk akal. Referensi-referensi tentang "keadaan antara" tidak berfokus pada keberadaan objektif atau kosmologis dari alam yang demikian, dan sejauh ini saya pikir keberatan Kathāvatthu atas keadaan antara dapat dibenarkan. Agaknya bacaan-bacaan itu berfokus pada pengalaman suatu individu tentang apa yang terjadi setelah kematian, tetapi sebelum kehidupan selanjutnya. Ini adalah suatu proses perubahan, pencarian, keinginan untuk menjadi ada. Untuk mengatakan ini sebagai "keadaan antara" sejujurnya adalah suatu aktualisasi dari konsep ini, yang telah melebarkan pernyataan sebenarnya dari mana istilah itu diturunkan. Namun demikian, mungkin tidak dapat disangkal bahwa kita tetap memakai istilah ini, yang akan baik-baik saja sepanjang kita mengingat bahwa ini hanya suatu cara yang sesuai untuk menyamaratakan tentang pengalaman individual, bukan suatu alam atau tempat kehidupan tertentu.
AN 7:55 Alam Tujuan Kelahiran Orang-Orang
"Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara."
"Baik, Bhante," para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
"Dan apakah, Bhante, tujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu?
(1) "Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara. <1>
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... [71] ... ; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
(2) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memancar, terbang dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
(3) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam persis sebelum mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... [72] ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
(4) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memancar, terbang dan padam ketika mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... [72] ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat. <2>
(5) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan kecil jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan kecil jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha. <3> [73]
(6) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan besar jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.
(7) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan [74] besar jerami atau kayu itu habis, api itu akan membakar hutan atau belukar hingga mencapai tepian lahan itu, tepi jalan, tepi gunung batu, tapi air, atau sepetak tanah yang indah, dan kemudian, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.
"Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu.
"Dan apakah, para bhikkhu, pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan? Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' dan ia telah sepenuhnya merealisasikan keadaan itu. Ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia telah sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan.
"Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan."
***
catatan:
<1> Perumpamaan-perumpamaan ini mengilustrasikan ketiga jenis antarāparinibbāyī, "yang mencapai nibbāna pada masa antara." Walaupun argument-argumen yang didasarkan pada perumpamaan-perumpamaan tidak selalu bisa diandalkan, namun ketiga perumpamaan itu menyiratkan bahwa "yang mencapai nibbāna pada masa antara" mencapai nibbāna sebelum benar-benar terlahir kembali. Seperti halnya ketiga percikan yang padam setelah terbang dari mangkuk yang panas membara sebelum menyentuh tanah, maka (menurut interpretasi saya) ketiga jenis ini mencapai nibbāna akhir berturut-turut apakah segera setelah memasuki keadaan antara, atau selama dalam masa antara itu, atau segera setelah kelahiran kembali terjadi. Dalam kasus ini, mereka segera memasuki elemen nibbāna tanpa sisa (anupādisesanibbānadhātu).
<2> Mp mengingterpretasikan orang ini sebagai seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan masa kehidupannya dan akhir kehidupannya. Akan tetapi, kata upahacca, "setelah dipukul," dan perumpamaan percikan yang padam ketika menyentuh tanah, menyiratkan bahwa jenis ini adalah seorang yang mencapai nibbāna hampir segera setelah terlahir kembali.
<3> Sementara interpretasi komentar standard Theravada menganggap kedua jenis berikutnya – seorang yang mencapai nibbāna tanpa usaha (asaṅkhāraparinibbāyī) dan seorang yang mencapai nibbāna dengan usaha (sasaṅkhāraparinibbāyī) sebagai dua cara alternatif yang melaluinya antarāparinibbāyī dan upahaccaparinibbāyī mencapai tujuannya, namun perumpamaan percikan api menyiratkan, secara tegas, bahwa kelima jenis (atau tujuh, jika menghitung ketiga sub-bagian pertama secara terpisah) adalah berbeda, yang membentuk serangkaian dari yang paling tajam hingga yang paling lambat. Dengan demikian jika, seperti dugaan Mp, upahaccaparinibbayī adalah seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan kehidupan dan akhir kehidupan, maka tidak ada tempat untuk kedua jenis lainnya, yaitu mereka yang mencapai nibbāna tanpa usaha dan mereka yang mencapai nibbāna dengan usaha.
So?
sehubungan dengan antaraparinibayyi
menariknya, di Tibetan book of the dead, juga dikatakan bahwa pencerahan bisa dialami di bardo.
Jika seseorang mampu melihat bahwa dia sudah mati, dia melihat cahaya sebagai proyeksi pikirannya sendiri, dia melihat ilusi sebagai ilusi, sepenuhnya sadar. Dia bisa "menyatu dengan tubuh Buddha dan pergi ke alam Buddha" alias pencerahan. Tapi rasanya gak mungkin orang biasa bisa, ini hanya untuk mereka yang selama hidupnya praktek.
Kalaupun gak tembus pencerahan, para praktisi tingkat tinggi mampu memilih kelahiran kembali selanjutnya. Mereka bisa memilih lahir di alam tinggi atau memilih alam manusia. Mereka bisa mencari keluarga yg tepat untuk kelahiran berikutnya. Contoh populernya adalah para tulku yg adalah kelahiran kembali dari Lama - Lama di tibet.
Tapi biasanya, makhluk biasa akan takut dan panik saat mati. Mereka melihat ilusi seperti kenyataan. Mereka "tidak sadar" selama proses itu.
Trus katanya akan ada beberapa cahaya. Cahaya yg menuju alam Buddha justru kelihatan paling menakutkan untuk makhluk yg belum tercerahkan. Cahaya yg menuju alam kelahiran akan terlihat nyaman, menarik, dll. Itu karena batin dipengaruhi kilesa. Dan karena batin dalam kondisi bingung, panik, batin akan mencari tempat bersembunyi di tempat yg kelihatannya nyaman itu, dan masuklah ke salah satu alam kelahiran.
btw, definisi kematian menurut mahayana
aku gak ada sumbernya, tapi menurut pemahamanku (yg entah dari baca atau denger)
kalau batin sudah melebur dengan sempurna menjadi kesadaran paling halus dan berpisah dengan tubuh. Ini juga biasanya dibarengi dengan meleburnya 4 unsur dalam tubuh.
Contoh paling nyata, menurut tradisi tibet, jika seorang praktisi dharma meninggal, tubuhnya dibiarkan dulu selama beberapa hari. Sampai ada tanda bahwa pikirannya sudah meninggalkan tubuh. Misalnya kalau mati dalam posisi duduk bersila, tubuh sang guru akan tegak selama beberapa hari, lalu tiba2 kepalanya menunduk. Itu tandanya pikiran sudah pergi. Atau ada setetes cairan merah keluar dari kepala.
Selama pikiran masih belum keluar dari tubuh, pikiran itu masih berproses dalam melebur dan akan mengalami banyak sensasi. Ini adalah masa paling kritis untuk praktisi tantra karena mereka akan berusaha mengenali sensasi itu dan menentukan kelahiran berikutnya.
Kalau selama periode ini tubuh diganggu, ya kemungkinan akan menggagalkan usaha
Dan yg bukan praktisi juga, ya kalau diganggu mungkin akan masuk alam rendah? Makanya banyak tradisi negara buddhis melarang kita menyentuh tubuh seseorang yg meninggal selama beberapa hari.
Termasuk kremasi juga, dilakukan setelah beberapa hari. Bayangkan kalau pikiran lagi melebur dan belum meninggalkan tubuh sepenuhnya, tiba-tiba dikremasi. Ada satu buku petunjuk kematian versi Buddhisme Tiongkok yang mengatakan "Jangan membakar tubuh almarhum dengan segera, karena kesadarannya mungkin masih disitu dan kalau dibakar maka dia akan merasakan panas terbakar". Saya rasa "merasakan dibakar" mungkin terlalu berlebihan tapi kalau pikiran belum lepas sepenuhnya dari tubuh pasti ada suatu penderitaan disana
Quote from: xenocross on 22 July 2013, 10:26:53 PM
bardo juga artinya bukan alam, tapi keadaan.
The Tibetan word bardo means literally "intermediate state" - also translated as "transitional state" or "in-between state" or "liminal state"
http://en.wikipedia.org/wiki/Bardo
trus ada kutipan dari sebuah mahayana sutra
Jadi hampir dipastikan bahwa istilah bhava bukanlah suatu alam tersendiri.
Namun satu hal yang perlu dipertanyakan apakah bardo atau antarabhava ini terjadi saat seseorang telah dikatakan mati atau belum? Tapi sebelumnya seperti yang sebelumnya saya tanyakan, apakah mati itu dalam Mahayana?
Dari tradisi Theravada telah disampaikan oleh Sdr. Indra dan Sdr. Ariyakumara, secara singkat bahwa mati itu adalah kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran, hancurnya pancaskandha. Jadi brrdasarkan hal ini, jika masih ada unsur batin meskipun badan ini rusak diletakkan (mati secara medis) maka masih belum bisa dikatakan sebagai mati dalam pengertian Buddhis.
Quote from: ariyakumara on 23 July 2013, 08:53:00 AM
Bagaimana konsep/pandangan Brahmanisme pada masa Sang Buddha tentang bhava atau antarabhava? Apakah ada para pertapa atau brahmana pada masa itu yang mengajarkan tentang antarabhava? Mungkin kita bisa membandingkan dengan konsep Buddhis ttg bhava....
Dari pencarian saya sepertinya antarabhava tidak ada pada sebelum dan saat Buddhisme lahir, tetapi ada pada abad ke-1 di aliran Hindu tradisi Vedanta.
Ketika saya caro, istilah ini ada dalam kosakata Jain, meskipun tidak langsung berarti ajaran Jain mengajarkannya.
Glossary of Jain words
http://www.cs.colostate.edu/~malaiya/jaingloss.html
Antara-bhava = The state of existence between death and rebirth
Dalam Early Advaita Vedānta and Buddhism – Richard King, hal 82, ditulis kalimat
As universal support, Brahman is also that which
resides within (antarabhāva) all things. Jadi istilah anatrabhava juga bisa berarti 'berada di dalam" hal ini juga ada di kamus sanskerta. Apa yang berada di dalam ? ya, Soul, Atma,Brahman, roh.
kalau menurut mahayana sulit jg karena harus cari text nya, tapi ada artikel medis berkaitan dengan ini, yg membahas gimana cara ngurus mayat orang yg praktek buddhis tibet
Quote
Journal of Hospice and Palliative Nursing
End-of-Life Needs of Patients Who Practice Tibetan Buddhism
The place to begin is the Tibetan Buddhist definition of "death". This definition, as described by Chagdud Khadro, is quite precise and based on the perception of subtle energies in the body (Tibetan rlung, usually translated as "wind" but ranging from respiratory breath to synapses). According to the Tibetan teachings, after the last breath, the subtle energies of the body draw toward the heart area. Then the subtle energy that maintains the white, masculine energy, received from one's father at the moment of conception and maintained in the crown of the head throughout one's life, drops toward the heart. The deceased has a visual experience like moonlight. Then the red, feminine energy, received from one's mother at conception and maintained below the navel, rises toward the heart. The deceased has a visual experience of redness, like the sky at dawn or sunset. The masculine and feminine energies merge and one swoons into unconsciousness, like passing into a clear, dark night. This is death, beyond resuscitation.
However, it is believed that the nexus of consciousness—at its most subtle level of cognizance and movement—can remain in the body for up to 3 days or longer, depending on the circumstances of death. If the body dies by accident or violence, if the body is undisturbed, or if certain rituals are performed to liberate it from the body, the consciousness may exit immediately. In these cases, the body is merely a corpse and nothing unusual needs to be considered. But, after a peaceful death, Tibetan Buddhists are exceptionally concerned about what happens to the body in the moments and days after death, and they try to ensure that the consciousness exits from the crown of the head.
Quote from: Shasika on 24 July 2013, 12:42:04 AM
Berdasarkan pengalaman ya bro, ini ada kisah nyata yang sungguh2 terjadi, ada jenasah udah seminggu belum ditutup peti karena masih menanti anak bungsu yang berada di USA belum bisa segera pulang ke tanah air, akhirnya benar2 tidak bisa pulang, sehingga anak berpamitan melalui HP ditempelkan ke telinga jenasah mamanya, saat HP ditempelkan ke telinga jenasah, ternyata jenasah mengeluarkan air mata, itu bukti nyata bahwa almarhum masih ada didekat sana dan mendengar suara anaknya yang berpamitan tidak bisa pulang untuk mengantarkan mamanya terakhir kali. Berarti dia masih ada ikatan cinta kepada anaknya (feeling).
ini ada kutipan "Vedana sutta" (S.ii.247)
manosamphassajāya vedanāyapi (feelings born of mind contact), sang Buddha sangat jelas menyebutkan bahwa feeling muncul karena adanya kontak mind (mano). kita semua tahu bahwa disaat kita meninggal hanya tinggal mano saja (vinnana) yang akan melanjutkan perjalanan ke alam berikut.
[spoiler]
7. Rāhulasaṃyuttaṃ
1. Paṭhamavaggo
5. Vedanāsuttaṃ
192. Sāvatthiyaṃ viharati...pe... ''taṃ kiṃ maññasi, rāhula, cakkhusamphassajā vedanā niccā vā aniccā vā''ti? ''Aniccā, bhante''...pe... ''sotasamphassajā vedanā...pe... ghānasamphassajā vedanā... jivhāsamphassajā vedanā... kāyasamphassajā vedanā... manosamphassajā vedanā niccā vā aniccā vā''ti? ''Aniccā , bhante''...pe... ''evaṃ passaṃ, rāhula, sutavā ariyasāvako cakkhusamphassajāya vedanāyapi nibbindati...pe... sota... ghāna... jivhā... kāya... manosamphassajāya vedanāyapi nibbindati...pe... pajānātī''ti.
[spoiler]
ENGLISH
(5) Vedana / Feelings 1. I heard thus. At one time the Blessed One was living in the monastery offered by Anàthapindika in Jeta's grove in Sàvatthi. Then venerable Ràhula approached the Blessed One worshipped and sat on a side. Sitting on a side venerable Ràhula said to the Blessed One: Venerable sir, Blessed One, may I be taught so that I would withdraw and seclude and abide diligent and zealous to dispel.
2. Ràhula, are feelings born of eye contact permanent or impermanent?
They are impermanent, venerable sir.
That which is impermanent is it unpleasant or pleasant?
It's unpleasant, venerable sir.
That which is impermanent, unpleasant, a changing thing is it suitable to be considered `that is mine, I am that, it's my self?
That is not so, venerable sir.
5. Ràhula, are feelings born of ear contact ... re ...
6. ... re ... feelings born of nose ontact ... re ...
7. ... re ... feelings born of tongue contact ... re ...
8. ... re ... feelings born of body contact ... re ...
9. Ràhula, are feelings born of mind contact permanent or impermanent?
They are impermanent venerable sir.
That which is impermanent is it unpleasant or pleasant?
It's unpleasant, venerable sir.
That which is impermanent, unpleasant, a changing thing is it suitable to be considered `that is mine, I am that, it's my self?
That is not so, venerable sir.
10. Ràhula, the noble disciple seeing it thus turns away from feelings born of eye contact turns away from feelings born of ear contact, turns away from feelings born of nose contact, turns away from feelings born of tongue contact turns away from feelings born of body contact and turns away from feelings born of mind contact.
11. Turning away detaches himself, is dispassionate and is released. Released, knowledge arises, `Birth is destroyed, the holy life is lived, duties are done, there's nothing more to wish'.
[spoiler]
INDONESIA
1. Aku mendengar demikian. Pada suatu waktu Sang Bhagava tinggal di Vihara Anathapindika di hutan Jeta di Savatthi. Kemudian Rahula mendekati Sang Bhagava menyembah dan duduk di sisi. Duduk di sisi Rahula berkata kepada Sang Bhagava: Hormat saya, Bhante, mohon Sang bhagava mengajarkan dhamma secara singkat kepada saya dan saya akan menyendiri, ke tempat terpencil, berlatih sungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat menaklukkan dirinya sendiri
2. Rahula, perasaan yang lahir dari kontak mata permanen atau tidak permanen?
Mereka tidak kekal, Yang Mulia.
Itu yang kekal itu menyenangkan atau menyenangkan?
Ini tidak menyenangkan, Yang Mulia.
Itu yang tidak kekal, tidak menyenangkan, hal yang berubah apakah cocok untuk
dipertimbangkan `adalah milikku, aku, itu diri saya?
Itu tidak begitu, Yang Mulia.
5. Rahula, adalah perasaan yang lahir dari kontak telinga ... re ...
6. ... re ... perasaan yang lahir dari hidung ontact ... re ...
7. ... re ... perasaan yang lahir dari kontak lidah ... re ...
8. ... re ... perasaan yang lahir dari kontak tubuh ... re ...
9. Rahula, adalah perasaan yang lahir dari pikiran kontak permanen atau tidak permanen?
Mereka Mulia kekal.
Itu yang kekal itu menyenangkan atau menyenangkan?
Ini tidak menyenangkan, Yang Mulia.
Itu yang tidak kekal, tidak menyenangkan, hal yang berubah adalah cocok untuk
dipertimbangkan `yang adalah milikku, aku itu, itu diri saya?
Itu tidak begitu, Yang Mulia.
10. Rahula, siswa mulia melihatnya demikian berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak mata berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak telinga, berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak hidung, berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak lidah berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak tubuh dan berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak pikiran.
11. Berpaling melepaskan dirinya, melepaskan perasaan dan tanggalkan. Setelah ditanggalkan, muncul pengetahuan, `Kelahiran telah dihancurkan, hidup dalam kehidupan suci, tugas telah diselesaikan, tidak ada lagi keinginan '.
[/spoiler]
[/spoiler]
[/spoiler]
Jika kita mengacu pada apa itu mati dalam Buddhis (saat ini baru berdasarkan Theravada) dan jika benar kisah di atas maka bisa dikatakan orang tersebut belum mati. Ia mati secara medis tapi tidak dalam pengertian Buddhis.
Karena tubuh sudah mati tapi batin belum, maka mungkin inilah yang kemudian dianggap secara awam sebagai setengah mati setengah hidup, antara hidup dan mati, antara mati dan lahir.
Jadi antarabhava / bardo ini, bagi saya tidak menunjukkan merupakan bentuk interval antara mati dan lahir karena antarabhava/bardo itu sendiri terjadi bukan setelah seseorang mati, tapi saat masih hidup (bukan menurut medis) tapi sekarat dimana sisa-sisa batin masih belum padam sepenuhnya.
Dari sini kita bisa mengatakan bahwa keberadaan bardo bukan merupakan bukti bahwa kelahiran kembali terjadi secara tidak langsung, karena sekali lagi bahwa bardo itu sendiri terjadi saat orang masih hidup meski medis menyatakan mati. Untuk itulah mengapa ada kisah orang bisa bangkit dari 'mati", karena sebenarnya ia tidak mati, ia mati dalam konteks medis.
QuoteVasubandhu's definition of death can be seen by referring to his Pancaskhandaka Prakarana ("A Discussion Concerning the Five Skandha") [1], a work subsequent to his monumental and often quoted "Abhidharmakosha" writings, and in which he re-considered and modified many of the doctrinal and terminological definitions he outlined in the "Abhidharmakosha". In the "Pancaskhandaka" the definitions he gives for the 'life force' and 'birth' can be combined to produce his view regarding the requisites for 'life'.
In the "Pancaskhandaka" he defines such 'Life' to be :
"Any continuity in regard to the events taking place within an organism, which have been projected by past actions and which maintains a series of samskaras which have not arisen before.".
By means of this definition we can quite easily see how its converse (the death state) would be defined, for it would be when
"Any continuity, in regard to events taking place within an organism and projected by past actions, does not arise."
In other words the continuity is broken or altered in some definite manner.
http://www.oocities.org/gorinto/anta.html
Quote
Buddhist criteria
The main concern for the Buddhist in determining death is the presence or absence of mind. With the exception of Buddhist cultures which maintain that the integrity of the body is necessary for the departed to transform into an ancestor, such as is the case in Japan and China, organ donation after it has been established that the mind has left the body is seen as a positive activity and, it can be said, even encouraged in support of the practices of generosity and the accumulation of merit. In Buddhist practice in general there is no question as to the benefit of offering any part of one's body, while living or dead. Although
"there is no official consensus among Buddhist communities as to the determination of death or the permissibility of organ donation...most Buddhist communities permit organ donation as a matter of individual conscience and consider it an act of compassion and generosity that can serve as a condition for realizing nirvana." 16
In Tantric Buddhism the practice of Chod (Tib: "Cutting [Attachment to the Body]") is a tool for reducing the obsessive clinging the mind has to our material form by imagining the offering of one's body, after the mind has exited the crown of the head and has transformed into a deity, as food to unfortunate beings in the lower realms. Chod is modelled after the actions of Shakyamuni Buddha in a former life when he gave his body to a hungry tigress who, out of desperate hunger, was about to eat her cubs. Stories of such sacrifices abound in Buddhist lore. The Indian scholar-saint Atisha meditated in a cave for twelve years with no apparent results. It wasn't until, out of compassion, he used a piece of his own flesh to coax maggots out of the festering wound of a sick dog, that he achieved a vision of the future Buddha Maitreya. It is an understatement to say that "Buddhists of various backgrounds...support...the idea of donating one's vital organs to save someone's life as consistent with Buddhist values of generosity and loving-kindness." 7
Unlike in the world of modern medicine, it is the cardiac-centered criteria that seems most suitable in facilitating the transference of consciousness, the chief Buddhist concern at death-time. One specialist in both medical and Buddhist practice concludes that "as long as there is heat in the body, and a pulse and respiration, or any reflexes, it is best to avoid disturbing the patient, in case the consciousness is present." 7 One attorney and Zen scholar shows the primary issues for the Buddhist practitioner around post-mortem use of the body to be the gifting of any anatomical part of the body (organs, tissue, corneas) in general or specifically for research purposes, the performance of an autopsy or embalming, and disposal by burial or cremation. He offers a sample health care proxy which considers each of the above options, and for each great care is taken particularly to indicate how soon after cardiac death such events are allowed to take place according to the practitioner's advance directives. 9 If organ harvesting is hindered by a time-interval required by the wait for a sign or event to establish the absence of mind, "unless a person is extremely well-trained, the consciousness is likely to be disturbed by the surgery and it may be best to avoid organ transplantation." 7
There is also much support for the Buddhist model of death determination following cardiac-centered criteria as a direct result of rejecting those based on brain death-centered criteria.
"Some Buddhist arguments...emphasize the body's development from an original mass, such that no particular organ like the brain should take priority in determining death. Given this lack of hierarchy, some would argue that the dissipation of heat after the last breath favours criteria based upon the cessation of cardio-pulmonary activity rather than brain-death criteria." 16
Even with the onset of any degree of brain-death, if the body is alive artificially by way of cardio-pulmonary mechanical heroics, it is widely held in Buddhism that the mind will not leave the body. Although there is much scriptural and commentarial support for this, perhaps this is too bold a statement. It may be more mild to say that "if the heart has not stopped beating and the bodily heat has not yet disappeared, there is reason to believe that the consciousness may still be present in the body." 7 A patient in a persistent vegetative state (PVS) still meets the "minimum requirement...for assuming the existence of a person...[which] is the existence of consciousness." 7 As a result,
"some concern does exist among Buddhists concerning the criterion of brain-stem death, to which organ transplantation from cadavers is closely linked. To declare death on the basis of this criterion seems premature to some, and not in keeping with Buddhist scriptural teachings concerning the point when death occurs. The ancient sources state that death occurs when three things - vitality, heat, and consciousness - leave the body." 2
Dividing that which is required to leave the body in the valid determination of death into three does not negate our strong premise that the main component in defining death is the departure of mind, and that Buddhists can easily rely on cardiac-centered criteria. Unlike with brain-death, cardiac death necessarily prompts the departure of mind, although some time might elapse. However, with the departure of mind, heat and vitality cannot remain.
Looking at cardiac-centered criteria as being in opposition to brain-death centered criteria gives preference to viewing death as "...the death of the whole psycho-spiritual organism rather than any one of its parts." 2 The following statement by the same author, one who is admirable in his active work in bridging Buddhism and bioethics, gives us reason to pause:
"...since the traditional Buddhist criteria for determining death are biological in nature Buddhism would reject any definition of death that focused solely on the loss of consciousness or the higher brain functions controlled by the neocortex."2
This statement is true insofar as the biological status of the human organism is the only ordinary means we have of determining the presence or absence of mind, since certain signs and symptoms give indication of the latter, which is of the utmost importance. However, declaring that Buddhist determine death using biology might lead one to believe that Buddhists rely on the functionality of the body alone. This smacks of materialism contrary to the Buddhist emphasis on experience and consciousness, in that it does not take into account that it is the status of mind that actually defines death. Any bodily state used to determine death is simply a way of perceiving indirectly what is happening with the mind, a non-physical and non-visible phenomenon. Again, the Buddhist stance that mind is the key factor in establishing death clearly informs decision-making around invasive activities, since, "from a Tibetan Buddhist perspective...any intervention before...the experience of clear light, especially in the case of a skilled meditation practitioner, is inadvisable." 7
As mentioned earlier, there are objective signs that are agreed upon in the Tantric world as indicating the departure of mind, such as the appearance of fluid at orifices or the smell of decay. There are additional ways that traditionally are accepted as valid methods of establishing that the consciousness has left the body. Earlier we saw, in the sky-burial description, that a religious with expertise in divination has the ability to determine the mind's departure. However, it would be more accurate to say that someone with an appropriate level of clairvoyance can perceive directly the mind which has moved into the Bardo (Tib: "In-between State"), referring to the state of existence between death and rebirth. Lastly, there is the Tantric practice of Phowa (Tib: "Transference of Consciousness") which, if performed by a qualified master (who can either be the patient themselves or one practicing the ritual for the benefit of the patient), can act as the final push for the mind's exit. In such a case, the exit would also be auspicious, meaning one that occurs through an upper orifice or through the crown of the head and necessarily leading to a fortunate rebirth. Any of these means of determining the departure of mind, signs, clairvoyant pronouncement or ritual, would, in general, satisfy the Tantric Buddhist that the appropriate time for organ procurement has arrived. In the absence of these, standard best practice with Buddhist patients suggests that "as far as possible, it is best to leave the body alone and in quietude for two to three days after the pulse and breathing have stopped, or until the corpse begins to decompose."7 To harken back to the earlier discussion regarding the NHBD (non-heart-beating-donor), it is clear in the Buddhist approach that there is a great concern with how soon after cardiac death the body is manipulated in any way, especially invasively with organ procurement or autopsy, if cardiac-centered criteria dominate. There is no predictable schedule for the departure of mind. It can happen before three days pass, but it does not occur after three days with an ordinary being. The only exception to this principle is in the case of the Yogi (Skt: "hermit meditator") who can remain in a state of meditation for more than a week with cardio-pulmonary vital signs absent. In such a case the only remaining observable signs are heat in the chest and freedom from decay and odour. The mind has not left, and any invasive activity would be inappropriate.
http://torontobuddhistethics.blogspot.com/2009/12/death-in-tantric-buddhism-and-modern.html
Quote from: xenocross on 24 July 2013, 01:08:04 PM
kalau menurut mahayana sulit jg karena harus cari text nya, tapi ada artikel medis berkaitan dengan ini, yg membahas gimana cara ngurus mayat orang yg praktek buddhis tibet
Menurut saya, berdasarkan tulisan di atas, ini menunjukkan sama bahwa mati dalam konteks Budhdis (bukan konteks medis) harus terjadi padamnya, dark night atau apapun istilahnya pada kesadaran.
Jadi jika benar demikian, maka seperti yang telah saya sampaikan kepada Sdri. Shasika bahwa bardo ini tidak terjadi saat mati dalam konteks Buddhis, tapi pada saat masih hidup. Bagi medis mungkin sudah mati tapi tidak dalam konteks Buddhis.
Kayaknya udah hampir ketemu kesimpulannya....
Soal definisi kematian menurut Mahayana, sepertinya sama dengan Theravada dengan asumsi bahwa Mahayana juga menggunakan teks2 awal yg sama dg teks Pali (Mahavedalla Sutta jg ditemukan versi Madhyama Agama-nya dg judul yg berbeda, analisis Paticcasamuppada pasti jg ditemukan dlm Samyukta Agama)....
Quote from: Kelana on 24 July 2013, 01:31:22 PM
Menurut saya, berdasarkan tulisan di atas, ini menunjukkan sama bahwa mati dalam konteks Budhdis (bukan konteks medis) harus terjadi padamnya, dark night atau apapun istilahnya pada kesadaran.
Jadi jika benar demikian, maka seperti yang telah saya sampaikan kepada Sdri. Shasika bahwa bardo ini tidak terjadi saat mati dalam konteks Buddhis, tapi pada saat masih hidup. Bagi medis mungkin sudah mati tapi tidak dalam konteks Buddhis.
tapi
di mahayana dipercaya bahwa bahkan sesudah tubuh dikremasi
bardo masih berlanjut. Bisa jadi belum lahir bahkan 2 minggu setelah kremasi.
kalau pada saat kesadaran padam sama sekali ga ada pertemuan sel telur dan sperma, trus si gandhaba ngapain?
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik
Quote from: The Ronald on 24 July 2013, 06:25:17 PM
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik
:hammer:
Maksudnya istilah yang digunakan dalam MN 38 Mahatanhasankhaya Sutta. Kalo dalam Karaniya Metta Sutta disebut "sambhavesi" (makhluk yang sedang mencari kelahiran kembali)
Quote from: The Ronald on 24 July 2013, 06:25:17 PM
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik
A somewhat mysterious usage of the term gandhabba has also been taken as referring to the in-between state.33 By the time of the Buddha, gandhabba had almost entirely reached its classical meaning of a class of celestial musicians. But earlier Vedic usage varied, and it seems to have been as vague as our
'spirit'. This quasi-animist meaning appears in the following passage.
Bhikkhus, the descent of the being-to-be-born (gabbhassâvakkanti) takes place through the union of three things. Here, there is the union of the mother and the father; but the mother is not in season, and the being-to-be-born (gandhabba) is not present. In this case, no descent of a being-to-be-born occurs. But when there is the union of the mother and father; the mother is in season; and the being-to-be-born is present, through the union of these three the descent of the being-to-be-born occurs.
http://santifm.org/santipada/2010/rebirth-and-the-in-between-state-in-early-buddhism/
Quote from: The Ronald on 24 July 2013, 06:25:17 PM
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik
=)) =))
Quote from: xenocross on 24 July 2013, 02:24:06 PM
tapi
di mahayana dipercaya bahwa bahkan sesudah tubuh dikremasi
bardo masih berlanjut. Bisa jadi belum lahir bahkan 2 minggu setelah kremasi.
kalau pada saat kesadaran padam sama sekali ga ada pertemuan sel telur dan sperma, trus si gandhaba ngapain?
bisa aja
si gandabha lagi nyantai minum kopi atau terbang sana sini (kayak di film) nyari pembuahan atau tunggu info dari penguasa setempat utk diarahkan ke pembuahan yang sedang terjadi =)) =))
Maaf, sebaiknya tidak memberikan komen2 yg OOT dan tidak menanggapi komen2 yg OOT mengingat ini topik yang serius. Trims.
ok ini serius modde oN...
26. "Para bhikkhu, kehamilan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini tidak ada [266] kehamilan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini juga tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ketiga hal ini maka kehamilan janin dalam rahim terjadi.
jd ada 3 kasus...
1.ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba (tidak terjadi kehamilan)
2. ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba (tidak terjadi kehamilan)
3. ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, (terjadi kehamilan)
dan yg tanyakan.... adalah kasus ke 4 (yg tidak akan terjadi)..yaitu ada gadhabba...tp ga ada perpaduan ayah ibu.. bagi gandhabba tsb...
intinya ga mungkin ada gandhabba...jika 2 faktor itu blm ada..., bahkan jika 2 faktor tsb ada..gandhabba..blm tentu ada..walau ada kemungkinan akan ada.
Kelahiran spontan yang ada contohnya di sutta, biasanya kelahiran di surga atau di neraka.
Kalau misalnya akan lahir jadi manusia, kan akan mengikuti karma dia. Kalau misalnya dia mempunyai karma untuk lahir di keluarga kaya. Tapi pada saat kematian, pada saat kesadaran melebur sepenuhnya menjadi patisandhi vinnana, kalau misalnya pertemuan sperma dan sel telur hanya ada di keluarga-keluarga miskin, sementara keluarga yang kaya kebetulan sedang tidak ada.
Apakah "gandhaba" ini harus terpaksa masuk ke janin untuk keluarga miskin? Karena harus spontan?
Ataukah "gandhaba" ini bisa menunggu, sambil mencari, keluarga yang tepat?
Menurut saya, kemungkinan lebih besar yg kedua, menunggu.
Karena menurut logika, tidak mungkin kondisi untuk kelahiran bisa otomatis sesuai terjadi bersamaan dengan kematian makhluk.
sebagai contoh, andaikata terjadi bencana alam di satu negara dan jutaan orang mati. Katakanlah banyak yang masuk neraka, sedikit yang masuk surga, dan sebagian besar akan lahir lagi jadi manusia. Berarti harus ada jutaan pertemuan sperma dan sel telur pada periode waktu antara bencana sampai sekitar 3 hari setelah bencana. Berarti harus ada jutaan pasang pria dan wanita yang saat itu kebetulan bertemu dan berhubungan dan mereka memiliki kecocokan karma dengan calon bayi. Dan jutaan wanita itu harus dalam masa subur semua.
Contoh lain. Kita sudah membahas definisi mati, yaitu berpisahnya kesadaran halus dengan tubuh. Ini bisa berlangsung beberapa hari, dan ada yg berasumsi mungkin jeda waktu itu yg disebut antarabhava. Dengan jeda waktu ini, dimungkinkan untuk menyesuaikan waktu mati dengan kelahiran berikut.
Tapi, jika misalnya ada orang mati mendadak, dan tubuhnya hancur di tempat. Misalnya terbakar hidup hidup. Kesadarannya dipisahkan paksa dengan tubuhnya. Kecuali jika dia lahir spontan di surga atau neraka atau peta, akan jadi pertanyaan tentang kondisi kelahiran dia. Apakah pada saat yang sama ketika dia mati terbakar, ada sel telur dan sperma di keluarga yg cocok?
Kalau misalnya akan lahir jadi manusia, kan akan mengikuti karma dia. Kalau misalnya dia mempunyai karma untuk lahir di keluarga kaya. Tapi pada saat kematian, pada saat kesadaran melebur sepenuhnya menjadi patisandhi vinnana, kalau misalnya pertemuan sperma dan sel telur hanya ada di keluarga-keluarga miskin, sementara keluarga yang kaya kebetulan sedang tidak ada.
spekulasi ini terlalu jauh... kasih contoh ya..
"5. "Di sini, murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, tidak dalam kesengsaraan, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur pendek. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.
6. "Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur panjang. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, [204] ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup."
nah dgn contoh di atas..jika yg muncul adalah perbuatan baik..maka jika seandainya ga ada keluarga yg sesuai di antara manusia..dia bisa terlahir di alam dewa...jd ga mesti ngotot harus di alam manusia..dan akhirnya menjadi "gandhabba" (atau pun sebaliknya)
atau jika perbuatan buruknya yg berbuah... maka jika seandainya tidak ada keluarga2 yg cocok di alam manusia...maka dia bisa menjadi serangga..kutu...semut..hewan lain...dll...(begitu pun sebaliknya)
itu sebabnya..jd manusia itu bagaikan kuya2 yg muncul..(lupa) bbrp kappa sekali... yg kepalanya masuk ke sebuah "gelang"
krn harus pas -pas..mati di suatu alam..dan kebetulan keluarga2 yg sesuai lagi buat anak...
jd ga ada cerita ada 'gandhabba" tp ga ada yg melakukan pembuahan..dll
Gandhabba dalam konteks pembahasan topik ini tidak sama dengan Gandhabba para musisi surgawi di alam dewa Catumaharajika.
Quote from: The Ronald on 25 July 2013, 11:26:38 AM
Kalau misalnya akan lahir jadi manusia, kan akan mengikuti karma dia. Kalau misalnya dia mempunyai karma untuk lahir di keluarga kaya. Tapi pada saat kematian, pada saat kesadaran melebur sepenuhnya menjadi patisandhi vinnana, kalau misalnya pertemuan sperma dan sel telur hanya ada di keluarga-keluarga miskin, sementara keluarga yang kaya kebetulan sedang tidak ada.
spekulasi ini terlalu jauh... kasih contoh ya..
"5. "Di sini, murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, tidak dalam kesengsaraan, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur pendek. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.
6. "Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur panjang. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, [204] ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup."
nah dgn contoh di atas..jika yg muncul adalah perbuatan baik..maka jika seandainya ga ada keluarga yg sesuai di antara manusia..dia bisa terlahir di alam dewa...jd ga mesti ngotot harus di alam manusia..dan akhirnya menjadi "gandhabba" (atau pun sebaliknya)
atau jika perbuatan buruknya yg berbuah... maka jika seandainya tidak ada keluarga2 yg cocok di alam manusia...maka dia bisa menjadi serangga..kutu...semut..hewan lain...dll...(begitu pun sebaliknya)
itu sebabnya..jd manusia itu bagaikan kuya2 yg muncul..(lupa) bbrp kappa sekali... yg kepalanya masuk ke sebuah "gelang"
krn harus pas -pas..mati di suatu alam..dan kebetulan keluarga2 yg sesuai lagi buat anak...
jd ga ada cerita ada 'gandhabba" tp ga ada yg melakukan pembuahan..dll
dan ini juga spekulasi kan, dan ini malah lebih jauh lagi
kenapa orang yg harusnya akan jadi manusia malah jadi dewa?
trus kalau misalnya orang akan jadi anjing, tapi karena tidak ada anjing lagi kawin, trus pindah jadi peta? itu tidak sesuai hukum karma. Ada orang harusnya jadi manusia miskin, tapi karena tidak ada keluarga yang tepat, malah jadi binatang?
Kalau begitu, bukankah itu bukan hukum karma namanya, tapi hukum kebetulan. Kebetulan pas orang itu mati, ada anjing yg kawin, jadi dia jadi anak anjing?
Kayaknya sdr. Ronald ada kebingungan antara gandhabba sbg makhluk surgawi dan gandhabba sbg makhluk yang sedang mencari kelahiran.... Cmiiw...
spekulasi yg kumaksudkan jauh itu...ga ada keharusan dia HARUS jd manusia...., krn bisa saja..terlahir dulu di alam lain...sambil kondisi2 lainnya cocok untuk jd manusia....
jd ga ada kondisi mahluk HARUS terlahir jd manusia....di saat kondisi2 lainnya tidak tepat.
untuk ganddhaba...bukan "mencari kelahiran" tp ada saat pembuahan berhasil...kata mencari ini seakan2 dia ada sebelum pembuahan....dan lg menunggu... menurut ku gitu.
kamma itu bergantung kondisi... dan manusia ada banyak perbuatan yg dilakukannya ...bahkan dalam satu hari.. apa lagi seumur hidup..
hukum kamma...buahnya bukan berarti HARUS... tp sesuai dgn kondisi yg ada..
yang pasti itu hanya jika...dia melakukan kejahatan berat.... yah pasti terlahir di neraka.. yg lain ga pasti...sesuai dgn kondisi yg ada...
sutta di atas..menunjukan suatu perbuatan..bisa menghasilkan buah bermacam2... ga pasti harus terlahir di suatu alam ( kecuali garuka kamma)
Quote from: The Ronald on 25 July 2013, 04:09:40 PM
kamma itu bergantung kondisi... dan manusia ada banyak perbuatan yg dilakukannya ...bahkan dalam satu hari.. apa lagi seumur hidup..
hukum kamma...buahnya bukan berarti HARUS... tp sesuai dgn kondisi yg ada..
yang pasti itu hanya jika...dia melakukan kejahatan berat.... yah pasti terlahir di neraka.. yg lain ga pasti...sesuai dgn kondisi yg ada...
sutta di atas..menunjukan suatu perbuatan..bisa menghasilkan buah bermacam2... ga pasti harus terlahir di suatu alam ( kecuali garuka kamma)
betul, karma yang diperbuat seseorang semasa hidup itu banyak
tapi, jawaban tsb tidak menyangkal keberadaan antarabhava
menurut penjelasan tentang antarabhava, kalau tidak ada kondisi yang tepat untuk lahir, si makhluk ini akan mengalami kehidupan di antarabhava selama beberapa hari. Antarabhava yg dialami mirip dengan alam tujuan.
Dalam beberapa hari ini timbul banyak proses, muncul bayangan2 ilusi yang adalah proyeksi pikiran.
Jika pikiran hanyut dalam suatu bayangan tertentu, itu akan mengaktifkan karma yg berkaitan dengan bayangan tersebut. Dan antarabhava makhluk itu akan berubah sesuai dengan alam kelahiran tujuan yang baru. Jika kondisi untuk alam kelahiran baru semua dipenuhi dan karmanya matang, makhluk itu akan lahir di alam tersebut.
Tapi jika kondisi masih belum terpenuhi, atau makhluk ini tidak hanyut dalam salah satu ilusi, maka antarabhava akan terus berlanjut.
dan kalau dilihat sutta-nya, memang kesan yg kudapat adalah "gandabbha" ini hadir, artinya menunggu.
Karena buat saya gak masuk akal bahwa pada saat sel telur dan sperma bertemu, pada saat yang sama
- ada makhluk neraka yg karma buruknya di neraka habis
- ada makhluk peta yang karma buruknya di alam peta habis
- ada binatang yang pas mati
- ada dewa yg karma baiknya di surga habis, dan mati
- ada manusia yang kesadaran penerusnya meninggalkan tubuh
tanpa ada jeda sedikitpun? Dengan kesesuaian karma?
Saya masih berpendapat antarabhava itu lebih masuk akal.
btw, memang semua dari kita disini berspekulasi. Kecuali ada yg punya abhinna dan mengetahui langsung proses kelahiran dan kematian
Quote from: xenocross on 25 July 2013, 10:30:41 PM
betul, karma yang diperbuat seseorang semasa hidup itu banyak
tapi, jawaban tsb tidak menyangkal keberadaan antarabhava
menurut penjelasan tentang antarabhava, kalau tidak ada kondisi yang tepat untuk lahir, si makhluk ini akan mengalami kehidupan di antarabhava selama beberapa hari. Antarabhava yg dialami mirip dengan alam tujuan.
Dalam beberapa hari ini timbul banyak proses, muncul bayangan2 ilusi yang adalah proyeksi pikiran.
Jika pikiran hanyut dalam suatu bayangan tertentu, itu akan mengaktifkan karma yg berkaitan dengan bayangan tersebut. Dan antarabhava makhluk itu akan berubah sesuai dengan alam kelahiran tujuan yang baru. Jika kondisi untuk alam kelahiran baru semua dipenuhi dan karmanya matang, makhluk itu akan lahir di alam tersebut.
Tapi jika kondisi masih belum terpenuhi, atau makhluk ini tidak hanyut dalam salah satu ilusi, maka antarabhava akan terus berlanjut.
dan kalau dilihat sutta-nya, memang kesan yg kudapat adalah "gandabbha" ini hadir, artinya menunggu.
Karena buat saya gak masuk akal bahwa pada saat sel telur dan sperma bertemu, pada saat yang sama
- ada makhluk neraka yg karma buruknya di neraka habis
- ada makhluk peta yang karma buruknya di alam peta habis
- ada binatang yang pas mati
- ada dewa yg karma baiknya di surga habis, dan mati
- ada manusia yang kesadaran penerusnya meninggalkan tubuh
tanpa ada jeda sedikitpun? Dengan kesesuaian karma?
Saya masih berpendapat antarabhava itu lebih masuk akal.
btw, memang semua dari kita disini berspekulasi. Kecuali ada yg punya abhinna dan mengetahui langsung proses kelahiran dan kematian
bold : dulu Buddha Gotama dan beberapa siswa-i punya lho, tapi tidak pernah cerita tentang gandhaba seperti spekulasi anda, makanya ai meragukan gandaba.
ya coba dibaca ke belakang mengenai studi sutta tentang antarabhava
Buddha dan murid2nya kadang mengatakan sesuatu yang ambigu dan bisa diartikan seperti gandabha
dan juga, Buddha juga tidak pernah secara eksplisit mengatakan tidak ada, ataupun secara eksplisit mengatakan semua kelahiran kembali itu spontan. Hanya karena beberapa contoh kelahiran spontan ke alam surga tidak bisa dikatakan semua kelahiran kembali itu spontan kan.
Lalu, sepanjang sejarah Buddhisme masa iya gak ada satupun yang gak punya abhinna. Saya menduga perbedaan teori mengenai lamanya antarabhava diantara aliran2 awal Buddhisme itu karena mereka mengamati proses antarabhava makhluk-makhluk, lalu dijadikan teori. Kalau yang diamati hanya ada disitu seminggu, maka teori mereka antarabhava itu ya seminggu
Quote from: xenocross on 26 July 2013, 11:39:22 AM
ya coba dibaca ke belakang mengenai studi sutta tentang antarabhava
Buddha dan murid2nya kadang mengatakan sesuatu yang ambigu dan bisa diartikan seperti gandabha
bold, oh karena sesuatu yang ambigu maka boleh diartikan gandabha, begitukah !
dan minta donk referensi, Buddha Gotama dan murid2nya yang mengatakan sesuatu yang ambigu !
Quote
dan juga, Buddha juga tidak pernah secara eksplisit mengatakan tidak ada, ataupun secara eksplisit mengatakan semua kelahiran kembali itu spontan. Hanya karena beberapa contoh kelahiran spontan ke alam surga tidak bisa dikatakan semua kelahiran kembali itu spontan kan.
Buddha Gotama mengatakan ada 4 jenis terlahir mahluk hidup
saya kira anda sudah tau, jadi tidak usah dijelaskan lagi
Quote
Lalu, sepanjang sejarah Buddhisme masa iya gak ada satupun yang gak punya abhinna. Saya menduga perbedaan teori mengenai lamanya antarabhava diantara aliran2 awal Buddhisme itu karena mereka mengamati proses antarabhava makhluk-makhluk, lalu dijadikan teori. Kalau yang diamati hanya ada disitu seminggu, maka teori mereka antarabhava itu ya seminggu
jadi yang 'ngetem' seminggu disebut mahluk apa ya ? disebut mahluk gandaba kah ! atau ada ide lain ....
Quote from: xenocross on 18 July 2013, 01:19:38 PM
Dikatakan bahwa, situasi di alam antara/ bardo itu mirip dengan alam tujuan. Jadi ada alam bardo binatang, bardo neraka, bardo peta, bardo asura, bardo dewa, dll.
Sehingga kalau ada makhluk masuk ke bardo neraka, dia akan menderita di alam itu, sebelum lahir di neraka yang sesungguhnya. Begitu juga alam antara lainnya.
jd saat dunia mengalami kehancuran... maka akan banyak mahluk2 di alam "Bardo" jika anda benar...sebut saja bardo alam brahma...
dan jika dunia mulai terbentuk.... akan lebih cepat mana yg muncul di alam brahma.. mahluk yg mati di alam abhassara... dan muncul sebagai maha brahma..atau kumpulan gadabbha maha brahma..yg munggu antrian terlahir di alam Brahama...
di DN 1
"2.3. 'Tetapi akan tiba saatnya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang. Dalam dunia yang mengembang ini, sebuah istana Brahmā[41] muncul. Dan kemudian satu makhluk, karena habisnya masa kehidupannya atau jasa baiknya,[42] jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali dalam istana Brahmā yang kosong. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.'"
ini mungkin lebih cocok...bukan krn jatuh dari alam abhassara..kemudian muncul kembali dlm istana Brahma yg kosong....krn harusnya antrian dari alam bardonya maha brahama dan pengikut brahma sudah muncul ....
"2.4. 'Kemudian dalam diri makhluk ini yang telah menyendiri sekian lama, muncullah kegelisahan, ketidakpuasan, dan kekhawatiran, ia berpikir: "Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!" dan makhluk-makhluk lain, [18] karena habisnya masa kehidupan mereka atau jasa-jasa baik mereka, jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali di dalam istana Brahmā sebagai teman-teman bagi makhluk ini. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, ... dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.'"
seharusnya ga perlu tunggu mahluk lain jatuh dari alam abhassara..krn tentu saja yg antri di alam bardo itu banyak...
di DN 27
"0. 'Akan tiba waktunya, Vāseṭṭha, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut.[16] Pada saat penyusutan, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama. Cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang lagi. Pada saat mengembang ini, makhluk-makhluk dari alam Brahmā Ābhassara, [85] setelah meninggal dunia dari sana, sebagian besar terlahir kembali di alam ini. Di sini mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung[17] – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.'"
seharusnya ga perlu tunggu mahluk2 jatuh dari alam Abhassara... krn banyak antrian untuk terlahir di alam ini (walau kata alam ini dapat berarti alam kamma - loka..bisa juga alam manusia)
itu jika memang ada bardo-bardoan yg kmu maksud....
Quote from: ariyakumara on 24 July 2013, 06:41:08 AM
Menurut Bhikkhu Sujato, dalam keadaan antara kelima khanda masih bekerja. Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan pengalaman seseorang yang mengalami NDE/ODE:
Jika lima kelompok unsur kehidupan merupakan suatu cara memahami kelahiran kembali menjadi berbagai keadaan makhluk, ini hanya akan lebih jelas untuk menyatakan bahwa mereka juga terlibat dalam proses kelahiran antara.[43] Sedikit perenungan menegaskan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah sungguh mengalami NDE (near death experience [pengalaman mendekati kematian]) atau OOBE (out of body experience [pengalaman keluar dari tubuh]). Seseorang melihat "bentuk-bentuk", cahaya, gambaran, dan memiliki perasaan bergerak keluar dari tubuh. Ini semuanya adalah bagian dari kelompok unsur bentuk. Harus dicatat bahwa "pergerakan" adalah ciri fisik, sehingga perasaan bergerak keluar tubuh adalah fenomena fisik, dan tidak dapat dijelaskan dengan merujuk pada roh yang sepenuhnya tanpa materi (secara kebetulan ini adalah salah satu mengapa saya meninggalkan kepercayaan saya terhadap suatu roh). Untuk dapat "melihat" cahaya, seseorang harus dengan suatu cara berinteraksi dengan foton [partikel cahaya]. Pasti ada dimensi fisik yang hadir, kalau tidak foton hanya akan menembus melaluinya tanpa hambatan. Kualitas ini disebut "kontak-hambatan" (paṭighasamphassa) di dalam Sutta-Sutta.[44] Tentu saja, kita membayangkan kehadiran "fisik" ini tidak dalam istilah materi fisik yang kasar (oḷārika), tetapi sejenis "tubuh energi", atau "tubuh halus", istilah terbaik yang di dalam Sutta-Sutta akan disebut "tubuh ciptaan pikiran (manomayakāya), yang dikatakan tiruan yang "bersifat fisik" (rūpī) dari tubuh kasar.[45] Jadi kelompok unsur bentuk pastinya bagian dari pengalaman ini, bahkan jika ini bukan tubuh biasa yang biasanya kita kenali.
Subjek biasanya mengalami perasaan bahagia, yang merupakan bagian dari kelompok unsur perasaan. Seringkali, mereka akan mengenali keluarga atau teman-teman yang datang untuk bertemu dengan mereka. Kemampuan mengenali ini merupakan bagian dari kelompok unsur persepsi. Ada kalanya ketika subjek seringkali merasa seakan-akan mereka harus membuat suatu pilihan, untuk tetap [melanjutkan] atau kembali. Pilihan ini dimasukkan dalam kelompok unsur aktivitas-aktivitas kehendak. Akhirnya, subjek dengan jelas sadar selama proses ini, di sana kesadaran bekerja. Demikianlah bagi orang yang belum tercerahkan proses kelahiran kembali dapat digambarkan dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan; sebaliknya, Arahant yang telah tercerahkan tidak dapat digambarkan setelah kematian dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan, karena ini semua telah lenyap.[46]
Bhikkhu Sujato juga menyampaikan hal yang sama bahwa antarabhava adalah suatu keadaan transisi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan berikutnya:
Tampaknya bagi saya terdapat sesuatu yang lebih dalam yang dapat kita pelajari dari merenungkan tentang keadan antara. Perubahan adalah traumatis, dan kita membutuhkan suatu periode untuk penyesuaian. Perumpamaan yang diberikan Sang Buddha – berkelana dari rumah ke rumah, atau melayang bagaikan percikan api di udara – menangkap suatu perasaan kesendirian dan tidak menentu di alam semesta ini. Makhluk yang telah meninggalkan badan mereka dihempaskan ke dalam sesuatu yang tidak diketahui, di mana semua ketakutan dan harapan mereka dapat disadari. Perbuatan, pengalaman, keinginan, dan kebiasaan-kebiasaan dari kehidupan ini dan masa lampau membuat kesan pada arus kesadaran: kita mengetahui hal ini, kita merasakannya tiap waktu. Hal-hal demikian memakan waktu untuk dicerna diri sendiri dan mengkristal dalam suatu pola baru. Kita tidak memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan dengan sekejap. Masa kebingungan, yang telah meninggalkan satu hal dan belum mencapai hal yang lain, memberikan ruang bagi kesadaran untuk menyatukan pelajaran dari masa lampau dan mengarahkan dirinya sendiri ke masa depan.
Terlepas dari semua yang telah kita katakan untuk mendukung keadaan "antara", saya masih akan membuat suatu keberatan penting. Gagasan "keadaan" menyatakan suatu modus keberadaan, tetapi sebaliknya, apa yang kita lihat menyatakan ketiadaan suatu keberadaan. Keadaan antara bukan suatu alam tersendiri yang entah bagaimana berdiri di ruang kosong di antara alam-alam lain. Kita mungkin membayangkan demikian, tetapi ini hanya sebuah perumpamaan untuk membantu kita memandang pengalaman ini secara masuk akal. Referensi-referensi tentang "keadaan antara" tidak berfokus pada keberadaan objektif atau kosmologis dari alam yang demikian, dan sejauh ini saya pikir keberatan Kathāvatthu atas keadaan antara dapat dibenarkan. Agaknya bacaan-bacaan itu berfokus pada pengalaman suatu individu tentang apa yang terjadi setelah kematian, tetapi sebelum kehidupan selanjutnya. Ini adalah suatu proses perubahan, pencarian, keinginan untuk menjadi ada. Untuk mengatakan ini sebagai "keadaan antara" sejujurnya adalah suatu aktualisasi dari konsep ini, yang telah melebarkan pernyataan sebenarnya dari mana istilah itu diturunkan. Namun demikian, mungkin tidak dapat disangkal bahwa kita tetap memakai istilah ini, yang akan baik-baik saja sepanjang kita mengingat bahwa ini hanya suatu cara yang sesuai untuk menyamaratakan tentang pengalaman individual, bukan suatu alam atau tempat kehidupan tertentu.
Anda benar bro Ariyakumara, saya juga baca artikel ini dari anda, baru saya tahu beliau telah menulis ttg antarabhava. Melihat referensi2 beliau saya rasa theravada seharusnya menerima adanya antarabhava.
Quote from: Indra on 24 July 2013, 08:11:44 AM
AN 7:55 Alam Tujuan Kelahiran Orang-Orang
"Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara."
"Baik, Bhante," para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
"Dan apakah, Bhante, tujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu?
(1) "Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara. <1>
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... [71] ... ; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
(2) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memancar, terbang dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
(3) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam persis sebelum mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... [72] ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
(4) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memancar, terbang dan padam ketika mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... [72] ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat. <2>
(5) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan kecil jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan kecil jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha. <3> [73]
(6) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku ...' ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan besar jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.
(7) "Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.
"Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan [74] besar jerami atau kayu itu habis, api itu akan membakar hutan atau belukar hingga mencapai tepian lahan itu, tepi jalan, tepi gunung batu, tapi air, atau sepetak tanah yang indah, dan kemudian, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian ... Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.
"Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu.
"Dan apakah, para bhikkhu, pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan? Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: 'sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.' Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: 'Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,' dan ia telah sepenuhnya merealisasikan keadaan itu. Ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia telah sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan.
"Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan."
***
catatan:
<1> Perumpamaan-perumpamaan ini mengilustrasikan ketiga jenis antarāparinibbāyī, "yang mencapai nibbāna pada masa antara." Walaupun argument-argumen yang didasarkan pada perumpamaan-perumpamaan tidak selalu bisa diandalkan, namun ketiga perumpamaan itu menyiratkan bahwa "yang mencapai nibbāna pada masa antara" mencapai nibbāna sebelum benar-benar terlahir kembali. Seperti halnya ketiga percikan yang padam setelah terbang dari mangkuk yang panas membara sebelum menyentuh tanah, maka (menurut interpretasi saya) ketiga jenis ini mencapai nibbāna akhir berturut-turut apakah segera setelah memasuki keadaan antara, atau selama dalam masa antara itu, atau segera setelah kelahiran kembali terjadi. Dalam kasus ini, mereka segera memasuki elemen nibbāna tanpa sisa (anupādisesanibbānadhātu).
<2> Mp mengingterpretasikan orang ini sebagai seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan masa kehidupannya dan akhir kehidupannya. Akan tetapi, kata upahacca, "setelah dipukul," dan perumpamaan percikan yang padam ketika menyentuh tanah, menyiratkan bahwa jenis ini adalah seorang yang mencapai nibbāna hampir segera setelah terlahir kembali.
<3> Sementara interpretasi komentar standard Theravada menganggap kedua jenis berikutnya – seorang yang mencapai nibbāna tanpa usaha (asaṅkhāraparinibbāyī) dan seorang yang mencapai nibbāna dengan usaha (sasaṅkhāraparinibbāyī) sebagai dua cara alternatif yang melaluinya antarāparinibbāyī dan upahaccaparinibbāyī mencapai tujuannya, namun perumpamaan percikan api menyiratkan, secara tegas, bahwa kelima jenis (atau tujuh, jika menghitung ketiga sub-bagian pertama secara terpisah) adalah berbeda, yang membentuk serangkaian dari yang paling tajam hingga yang paling lambat. Dengan demikian jika, seperti dugaan Mp, upahaccaparinibbayī adalah seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan kehidupan dan akhir kehidupan, maka tidak ada tempat untuk kedua jenis lainnya, yaitu mereka yang mencapai nibbāna tanpa usaha dan mereka yang mencapai nibbāna dengan usaha.
Lho ini bahkan Nibbana aja ada masa antara nya. Berarti Theravada seharusnya mengakui adanya antarabhava.
apa itu theravada sendiri mesti kita klarifikasi. Theravada itu adalah sekte turunan generasi ke-3(kalo tidak salah) dari masa early buddhism dan yg membedakan adalah interpretasi terhadap khotbah2 sang buddha yang mostly dituangkan dalam bentuk commentary theravada. Jadi utk theravada biasanya yg dipakai adalah teks2 belakangan interpretasi dan perkembangan dari scholar2 theravada itu sendiri. yg biasa dijadikan rujukan yah si visudhimagga dan abhidhammatthasangaha sekarang ini.
cmiiw, menurut interpretasi visudhimagga dan abhidhammathasanggaha, theravada itu tidak mengakui alam antara. jadi sekejab lsg terlahir kembali.
Quote from: Sumedho on 26 July 2013, 04:47:11 PM
apa itu theravada sendiri mesti kita klarifikasi. Theravada itu adalah sub sekte turunan generasi ke-2 dari early buddhism dan yg membedakan adalah interpretasi terhadap khotbah2 sang buddha yang mostly dituangkan dalam bentuk commentary theravada. Jadi utk theravada biasanya yg dipakai adalah teks2 belakangan interpretasi dan perkembangan dari scholar2 theravada itu sendiri. yg biasa dijadikan rujukan yah si visudhimagga dan abhidhammatthasangaha sekarang ini.
cmiiw, menurut interpretasi visudhimagga dan abhidhammathasanggaha, theravada itu tidak mengakui alam antara. jadi sekejab lsg terlahir kembali.
Iya memang selama ini para scholar Theravada memiliki pandangan demikian, sewaktu saya belajar dulu juga para dosen tidak percaya adanya alam antara, mereka pun mengajarkan setelah mati langsung terlahir kembali ke alam dimana ketika itu yang terkuat muncul dalam pemikiran kita.
Istilah Theravada muncul belakangan anda benar Tuhan, setelah adanya Dipavamsa (pertama kali munculnya istilah Theravada)
Quote from: Kelana on 24 July 2013, 12:45:45 PM
Jadi hampir dipastikan bahwa istilah bhava bukanlah suatu alam tersendiri.
Namun satu hal yang perlu dipertanyakan apakah bardo atau antarabhava ini terjadi saat seseorang telah dikatakan mati atau belum? Tapi sebelumnya seperti yang sebelumnya saya tanyakan, apakah mati itu dalam Mahayana?
Dari tradisi Theravada telah disampaikan oleh Sdr. Indra dan Sdr. Ariyakumara, secara singkat bahwa mati itu adalah kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran, hancurnya pancaskandha. Jadi brrdasarkan hal ini, jika masih ada unsur batin meskipun badan ini rusak diletakkan (mati secara medis) maka masih belum bisa dikatakan sebagai mati dalam pengertian Buddhis.
IYA bro Kelana, memang referensi2 yang telah disampaikan mereka juga mendukung demikian. Saya juga mendukung pandangan anda bro.
Quote from: Shasika on 26 July 2013, 04:44:49 PM
Lho ini bahkan Nibbana aja ada masa antara nya. Berarti Theravada seharusnya mengakui adanya antarabhava.
sutta itu tidak mengatakan bahwa ada masa antara dalam nibbana, melainkan nibbana itu tercapai ketika makhluk itu berada dalam masa antara.
Quote from: adi lim on 26 July 2013, 02:04:23 PM
bold, oh karena sesuatu yang ambigu maka boleh diartikan gandabha, begitukah !
dan minta donk referensi, Buddha Gotama dan murid2nya yang mengatakan sesuatu yang ambigu !
Buddha Gotama mengatakan ada 4 jenis terlahir mahluk hidup
saya kira anda sudah tau, jadi tidak usah dijelaskan lagi
jadi yang 'ngetem' seminggu disebut mahluk apa ya ? disebut mahluk gandaba kah ! atau ada ide lain ....
Maksudnya ada 4 jenis kelahiran. Spontan, kandungan, kelembaban, telur
Kelahiran spontan misalnya dewa, brahma, makhluk neraka , dan peta.
Tetapi bagaimana dengan kelahiran melalui kandungan atau telur? Apakah si makhluk "spontan" langsung masuk ke telur atau zigot?
masalah ambigu
QuoteAfter gaining a general impression of the role of rebirth in a few mainstream contexts in the Āgama Suttas, we may now have a look at the controverted question of the 'in-between state'. The basic problem is whether one life immediately follows another, or whether there is a period of time in between. This question was disputed among the early Buddhist schools. In their debates, all parties accepted the Suttas as authoritative, and quoted them in support of their position. So we usually find that when the early Buddhists could not agree, this was because the question was not addressed in a straightforward or explicit way in the Āgama Suttas. In this case the Theravādins denied the in-between state, while many other schools affirmed it
masalah antarabhava yg sepertinya disebut
Quote
'Vaccha, I declare that there is rebirth for one with fuel [with grasping],24 not for one without fuel [without grasping]. Vaccha, just as fire burns with fuel, not without fuel, even so, Vaccha, I declare that there is rebirth for one with fuel [with grasping], not for one without fuel [without grasping].'
'But, master Gotama, when a flame is tossed by the wind and goes a long way, what does master Gotama declare to be its fuel?'
'Vaccha, when a flame is tossed by the wind and goes a long way, I declare that it is fuelled by the air. For, Vaccha, at that time, the air is the fuel.'
'And further, master Gotama, when a being has laid down this body, but has not yet been reborn in another body, what does the master Gotama declare to be the fuel?'
'Vaccha, when a being has laid down this body, but has not yet been reborn in another body, it is fuelled by craving, I say.25 For, Vaccha, at that time, craving is the fuel.'
Kutuhalasāla Sutta
Lalu yg ini juga mungkin saja merujuk pada antarabhava
Quote'For one who is dependent there is wavering (calita); for one who is independent, there is no wavering. When there is no wavering, there is tranquillity. When there is tranquillity, there is no inclination (towards craving or existence) (nati). When there is no inclination, there is no coming and going (agatigati). When there is no coming and going, there is no passing away and rebirth (cutūpapāta). When there is no passing away and rebirth, there is neither here nor beyond nor in between the two (na ubhayaṁ antarena). This itself is the end of suffering.
Channovāda Sutta
Quote
Bhikkhus, there are these four kinds of food for the maintenance of beings that already have come to be (bhūtā) and for the support of beings seeking a new existence (sambhavesī). What are the four? They are physical food, gross or subtle; contact as the second; mental volition as the third; and consciousness as the fourth.38SN 12.11, 12.12, 12.63, 12.64, MN 38.15/1:261. Cf Metta Sutta, Sn 1.8 = Kh no 9
While the early Suttas do not give us any further information, the fact that the sambhavesī is contrasted with the bhūta, which clearly means one in a state of being (bhava), suggests that the sambhavesī is in a state of potential.39 The in-between state is truly 'in-between', it is only defined by the absence of more substantial forms of existence, and one in that state, so it seems, is exclusively oriented towards a more fully-realized incarnation.
39. In the Abhidharmakoṣa, a Sanskrit Buddhist work, the term saṁbhavaiśinis one of the five names for the intermediate existence, along with manomaya, gandharva and (abhi)nirvṛtti
ya sudah kalau gak suka kata gandhaba, pake kata gandharva saja :))
Quote from: xenocross on 26 July 2013, 11:06:17 PM
masalah ambigu
Quote
After gaining a general impression of the role of rebirth in a few mainstream contexts in the Āgama Suttas, we may now have a look at the controverted question of the 'in-between state'. The basic problem is whether one life immediately follows another, or whether there is a period of time in between. This question was disputed among the early Buddhist schools. In their debates, all parties accepted the Suttas as authoritative, and quoted them in support of their position. So we usually find that when the early Buddhists could not agree, this was because the question was not addressed in a straightforward or explicit way in the Āgama Suttas. In this case the Theravādins denied the in-between state, while many other schools affirmed it
Lalu yg ini juga mungkin saja merujuk pada antarabhava
Quote
'For one who is dependent there is wavering (calita); for one who is independent, there is no wavering. When there is no wavering, there is tranquillity. When there is tranquillity, there is no inclination (towards craving or existence) (nati). When there is no inclination, there is no coming and going (agatigati). When there is no coming and going, there is no passing away and rebirth (cutūpapāta). When there is no passing away and rebirth, there is neither here nor beyond nor in between the two (na ubhayaṁ antarena). This itself is the end of suffering.
Channovāda Sutta
Bro Xenocross, yang saya ingin tanyakan "Agama Sutta" itu kalo di theravada sutta apa ya ?
Untuk
"na ubhayaṁ antarena"ini jelas2 bahasa Pali yang berarti "TIDAK BERADA DIANTARA DUA" karena kata "NA" artinya adalah "TIDAK"
Jadi pengin lanjutin,
If U read it carefully its mention clearly that : "For one who is dependent there is wavering (
calita); for one who is independent, there is no wavering. When there is no wavering, there is tranquillity. When there is tranquillity, there is no inclination (towards craving or existence) (
nati)." from here we can understand, that whosoever the one no wavering, there is tranquility, there is no inclination. Its mean that one already free from antarabhava, that one still alive and attainment.
Again we can read frm ths passage : "When there is no coming and going, there is no passing away and rebirth (
cutūpapāta). When there is no passing away and rebirth, there is neither here nor beyond nor
in between the two(na ubhayaṁ antarena). This itself is the end of suffering." Its clearly mention abt no coming and no going, no passing away and rebirth, again clearly mention itself is the end of suffering, this is really clearly that one attained ARAHANTSHIP.
[at] Xenocross: Kalo pakai bukunya Bhikkhu Sujato sebagai rujukan, ini sudah diterjemahkan di DCPress: Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara dalam Buddhisme Awal (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29)
[spoiler]Kalo sudah ada bahasa Indonesia-nya, kenapa mengutip yang bahasa Inggris :P [/spoiler]
Quote from: xenocross on 26 July 2013, 11:06:17 PM
Kutuhalasāla Sutta
ini termasuk dalam Nikaya apa ya? nomor suttanya pls
maklumlah sering baca aslinya jadi ga sadar udah ada terjemahannya
QuotePernyataan yang paling eksplisit yang mendukung keadaan antara mungkin adalah Kutuhalasāla Sutta, yang mengatakan bagaimana suatu makhluk telah meletakkan tubuh ini tetapi belum terlahir kembali ke dalam tubuh lainnya.
"Vaccha, Aku menyatakan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seseorang dengan bahan bakar [dengan kemelekatan],[24] (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29#cite_note-24) bukan bagi seseorang tanpa bahan bakar [tanpa kemelekatan]. Vaccha, seperti halnya api yang membakar dengan bahan bakar, bukan tanpa bahan bakar, demikian juga, Vaccha, Aku menyatakan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seseorang dengan bahan bakar [dengan kemelekatan], bukan bagi seseorang tanpa bahan bakar [tanpa kemelekatan]."
"Tetapi, Guru Gotama, ketika suatu nyala api tertiup oleh angin dan telah berjalan jauh, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?"
"Vaccha, ketika suatu nyala api tertiup oleh angin dan telah berjalan jauh, Aku menyatakan bahwa ia diberi bahan bakar oleh udara. Karena, Vaccha, pada saat itu, udara adalah bahan bakarnya."
"Dan lebih jauh, Guru Gotama, ketika suatu makhluk telah meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?"
"Vaccha, ketika suatu makhluk meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, Ku-katakan ia diberi bahan bakar oleh keinginan.[25] (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29#cite_note-25) Karena, Vaccha, pada saat itu, keinginan adalah bahan bakarnya."[26] (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29#cite_note-26)
SN 44.9. Versi Cina yang paralel SĀ2 190 dalam T II 443b04 adalah sama: 身死於此。意生於彼。於其中間。誰為其取 (Ketika tubuh ini mati, dan terdapat keinginan untuk terlahir di tempat lain, apakah yang menopang interval di antaranya?) Namun SĀ 957 dalam T II 244b4 tidak begitu eksplisit: 眾生於此處命終。乘意生身生於餘處. (Ketika seseorang berakhir kehidupannya, keinginan adalah cara di mana seseorang yang melekat memegang tubuh yang lain.) Paragraf ini tidak terlihat dalam pembahasan Kathāvatthu.
Quote
Terbukti ada sebuah kiasan untuk keadaan antara dalam Channovāda Sutta, di mana Mahā Cunda mengajar Channa orang Vajjī, dengan mengutip Sang Buddha sebagai berikut:
Bagi seseorang yang bergantung terdapat keraguan (calita); bagi seseorang yang tidak bergantung, maka tidak ada keraguan. Jika tidak ada keraguan, maka terdapat ketenangan. Jika terdapat ketenangan, maka tidak ada kecenderungan (terhadap keinginan atau kehidupan) (nati). Jika tidak ada kecenderungan, maka tidak ada kedatangan dan kepergian (agatagati). Jika tidak ada kedatangan dan kepergian, maka tidak ada kematian dan kelahiran kembali (cutūpapāta). Jika tidak ada kematian dan kelahiran kembali, maka tidak ada di sini ataupun di luar sana ataupun di antara keduanya (na ubhayaṁ antarena). Inilah akhir penderitaan.[32] (http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_%28Sujato%29#cite_note-32)
Sementara istilah yang digunakan di sini mungkin sedikit terlalu samar-samar untuk menyatakan dengan tegas tentang suatu interpretasi yang pasti, namun berdasarkan paragraf sebelumnya maka adalah masuk akal untuk melihat hal ini sebagai suatu kiasan yang lebih jauh untuk keadaan antara.
Agama sutta = 4 Nikaya di pali kanon. Disebut demikian mungkin karena versi mahayana namanya digha-agama dst.
Khuddaka Nikaya tidak masuk karena merupakan campuran material awal dan material belakangan yang tidak ada padanan nya di versi agama.
Quote from: xenocross on 26 July 2013, 11:06:17 PM
Maksudnya ada 4 jenis kelahiran. Spontan, kandungan, kelembaban, telur
Kelahiran spontan misalnya dewa, brahma, makhluk neraka , dan peta.
Tetapi bagaimana dengan kelahiran melalui kandungan atau telur? Apakah si makhluk "spontan" langsung masuk ke telur atau zigot?
masalah ambigu
mosok gitu aja bisa ambigu antara telur atau zigot ?
Quote
ya sudah kalau gak suka kata gandhaba, pake kata gandharva saja :))
emang saya ada tulis tidak suka kata 'gandhaba' ?
apa sih arti kata gandarva ?
Quote from: xenocross on 27 July 2013, 09:43:01 AM
maklumlah sering baca aslinya jadi ga sadar udah ada terjemahannya
Agama sutta = 4 Nikaya di pali kanon. Disebut demikian mungkin karena versi mahayana namanya digha-agama dst.
Khuddaka Nikaya tidak masuk karena merupakan campuran material awal dan material belakangan yang tidak ada padanan nya di versi agama.
wong versi china-pali
salah mengartikan kale !!
Quote from: adi lim on 27 July 2013, 10:05:45 AM
mosok gitu aja bisa ambigu antara telur atau zigot ?
emang saya ada tulis tidak suka kata 'gandhaba' ?
apa sih arti kata gandarva ?
gandharva ya sama aja dengan gandhaba, satu sanskrit satu pali.
Maksudnya ambigu adalah, tidak pernah jelas dikatakan bahwa kelahiran itu langsung terjadi dan tidak ada jeda waktu.
Quote from: xenocross on 27 July 2013, 11:54:40 AM
gandharva ya sama aja dengan gandhaba, satu sanskrit satu pali.
Maksudnya ambigu adalah, tidak pernah jelas dikatakan bahwa kelahiran itu langsung terjadi dan tidak ada jeda waktu.
Contoh yang mudah bisa dilihat misalnya dari DN 14. Mahāpadānasutta atau MN 123. Acchariyaabbhutasutta, dijelaskan tentang momen bodhisatta telah meninggalkan tubuh (deva) Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu.
[...] bodhisatto tusitā kāyā cavitvā sato sampajāno mātukucchiṃ okkami.([...] bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu.)
Jadi jelas ada jeda antara 'setelah kematian dari deva Tusita' dan 'sebelum
kelahiran dalam rahim'. Eksistensi (bhava) yang terletak di antara "setelah hancurnya khanda" dan "sebelum terbentuknya khanda" ini yang disebut antarabhava. Abhidharma menjelaskan antarabhava ini digerakkan hanya dengan kekuatan karma saja, mencari apa yang menjadi kelahirannya yang akan matang, dan memiliki 'gambaran' sesuai alam kelahiran yang dituju. Jadi jika seorang manusia mati dan akan terlahir dalam rahim anjing, maka bhava ini terlihat seperti anjing.
Ketika bakal makhluk dalam fase ini, batinnya dalam keadaan kacau, hanya 3 jenis makhluk yang sadar dan penuh perhatian, yaitu selain bodhisatta yang disebut di atas, adalah cakravartin dan bakal pratyekabuddha. (Ketika berdiam dalam rahim, bakal Buddha & Pratyekabuddha tetap sadar dan penuh perhatian, dan ketika keluar dari rahim, hanya bodhisatta yang masih sadar dan penuh perhatian.) Bhava ini ditopang oleh bau-bauan (gandha) sebagai makanan, maka disebut "gandharva". (Pemusik di caturmaharajika timur suka tinggal dalam pohon dan tempat yang wangi, jadi juga disebut gandharva, tapi tidak berhubungan dengan istilah sama dalam konteks antarabhava.)
Jadi, sekarang kita sementara memiliki 3 kesimpulan:
1. Tidak ada antarabhava (pandangan Theravada)
2. Ada antarabhava, yaitu keadaan sebelum kematian dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara medis (pendapat sdr. Kelana)
3. Ada antarabhava, yaitu keadaan setelah kematian dan sebelum terlahir kembali (pandangan Abhidharma aliran non-Theravada seperti yang dijelaskan sdr. KK)
Quote from: ariyakumara on 27 July 2013, 02:40:53 PM
Jadi, sekarang kita sementara memiliki 3 kesimpulan:
1. Tidak ada antarabhava (pandangan Theravada)
2. Ada antarabhava, yaitu keadaan sebelum kematian dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara Buddhis (pendapat sdr. Kelana)
3. Ada antarabhava, yaitu keadaan setelah kematian dan sebelum kematian (pandangan Abhidharma aliran non-Theravada seperti yang dijelaskan sdr. KK)
mungkin maksudnya sebelum kelahiran om.
Edited ;D
Quote from: hemayanti on 27 July 2013, 02:42:16 PM
mungkin maksudnya sebelum kelahiran om.
ini yang dimaksud
Quote from: xenocross on 27 July 2013, 11:54:40 AM
gandharva ya sama aja dengan gandhaba, satu sanskrit satu pali.
Maksudnya ambigu adalah, tidak pernah jelas dikatakan bahwa kelahiran itu langsung terjadi dan tidak ada jeda waktu.
saya bisa terima, karena kemampuan batin masing2 manusia memang berbeda dalam pemahaman dalam arti terjemahan sutta, apalagi referensi sutta dan sutra dicampur aduk, jadi kayak gado2 ^-^
tapi menurut sutta kanon pali jelas sekali, tidak ada jeda waktu
Quote from: adi lim on 27 July 2013, 08:15:47 PM
saya bisa terima, karena kemampuan batin masing2 manusia memang berbeda dalam pemahaman dalam arti terjemahan sutta, apalagi referensi sutta dan sutra dicampur aduk, jadi kayak gado2 ^-^
tapi menurut sutta kanon pali jelas sekali, tidak ada jeda waktu
Yg dimaksud dengan agama sutta itu ya kanon pali dan kanon agama chinese yang isinya sama. 4 nikaya = 4 agama
contoh sutta kanon pali yang menunjukkan kelahiran kembali tanpa jeda waktu? yang mana?
Quote from: xenocross on 27 July 2013, 10:18:47 PM
Yg dimaksud dengan agama sutta itu ya kanon pali dan kanon agama chinese yang isinya sama. 4 nikaya = 4 agama
penterjemah bukan orang yang sama, tentunya bisa berbeda arti !
kesimpulannya : anda dan saya membaca dan pemahaman hasil penterjermah yang berbeda,
makanya bisa diterima, lagi pula kemampuan batin saya dengan anda berbeda pula.
Quote
contoh sutta kanon pali yang menunjukkan kelahiran kembali tanpa jeda waktu? yang mana?
bukankah sudah dijelaskan ama bro KK dan bro Ronald diatas
emang tidak baca ? ??? apakah perlu dicopy ulang !
Quote from: ariyakumara on 27 July 2013, 02:40:53 PM
Jadi, sekarang kita sementara memiliki 3 kesimpulan:
1. Tidak ada antarabhava (pandangan Theravada)
2. Ada antarabhava, yaitu keadaan sebelum kematian dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara Buddhis (pendapat sdr. Kelana)
3. Ada antarabhava, yaitu keadaan setelah kematian dan sebelum terlahir kembali (pandangan Abhidharma aliran non-Theravada seperti yang dijelaskan sdr. KK)
Maaf bro Ariyakumara, bisakah ini ditambahkan ?
Barusan saya mendapat bantuan dari salah seorang member yang bersedia membantu saya untuk menghubungi Ven.Peacemind, terlampir rekaman pertanyaan saya untuk beliau yang disampaikan oleh member tsb :
Quote
Peacemind : Wah... unfortunately, passwordnya saja saya sudah lupa... Lagipula, banyak member di DC yang handal dalam Tipitaka dan ajaran sekte2 lain.. Mereka bisa membantu...
Ya gak pa2 bhante, Mereka lagi stuck pd definis bhava. Apakah bhava = keberadaan/kehidupan (existence)? Jika ya maka antarabhava = kehidupan peralihan, ini jelas tdk didukung sutta krn bhava hanya ada 3: kamabhava, rupabhava dan arupabhava.
Peacemind : Yups,,,, dalam hal ini, bhava adalah existence / keberadaan / kehidupan.
Beda bhava dan jati apa bhante?
Peacemind : Sebenarnya dalam Karaniyametta sutta dan sutta-sutta lainnya, ada istilah sambhāvesi yang berarti makhluk-makhluk yang sedang mencari kehidupan. Secara kasar, ini seperti memiliki maksud makhluk2 yang belum terlahir tapi tengah mencari kehidupan di mana atau sebagai apa ia dilahirkan. Namun, komentar Tipitaka menyatakan bahwa mereka bukan makhluk antarabhava, melainkan misalnya jika mereka yang terlahir melalui kandungan, ketika berada dalam kandungan, ia dikatakan sambhāvesi dan ketika sudah dilahirkan artinya 'bhūta'.
Peacemind : Bhāva dan jāti, tentu berbeda meski saling terikat. Bhāva mengacu kepada keseluruhan kehidupan, sedangkan jāti hanya mengacu kepada kelahiran.
Baiklah, bhante, terima kasih.
Peacemind : Sebenarnya Pan*****i memberikan satu sutta yang dikutip seorang bhikkhu yang tampaknya mengacu kepada antarabhava, di mana sutta tersebut ada pernyataan, 'Ketika seseorang meletakkan tubuh ini dan belum muncul ke tubuh yang lain". Namun menurut kitab komentar Tipitaka, pernyataan, "Ketika seseorang meletakkan tubuh ini|" artinya "Seseorang meletakkan cuticitta (pikiran terakhir sebelum terlahir lagi)", dan pertanyaan 'belum muncul ke tubuh lain" artinya, "bahwa pikiran cuticitta itu belum berlanjut ke patisandhicitta /pikiran pertama setelah dilahirkan".
Quote from: Shasika on 28 July 2013, 02:13:41 PM
Maaf bro Ariyakumara, bisakah ini ditambahkan ?
Barusan saya mendapat bantuan dari salah seorang member yang bersedia membantu saya untuk menghubungi Ven.Peacemind, terlampir rekaman pertanyaan saya untuk beliau yang disampaikan oleh member tsb :
Itu termasuk pandangan pertama dari tradisi Theravada bahwa tidak ada antarabhava....
Quote from: ariyakumara on 28 July 2013, 05:59:46 PM
Itu termasuk pandangan pertama dari tradisi Theravada bahwa tidak ada antarabhava....
kembali lagi stack. :(
Maaf, karena ada urusan, saya ketinggalan banyak diskusinya. Jadi saya perlu waktu untuk review sebelum mulai kembali.
Quote from: xenocross on 24 July 2013, 02:24:06 PM
tapi
di mahayana dipercaya bahwa bahkan sesudah tubuh dikremasi
bardo masih berlanjut. Bisa jadi belum lahir bahkan 2 minggu setelah kremasi.
Ini berarti tidak bisa dikatakan sebagai mati dalam Buddhisme meskipun jasad sudah dibakar atau rusak, meskipun pada akhirnya disusul oleh kematian batin. Kemungkinan proses kematian batin dan fisik tidak selalu bersamaan meskipun berselang beberapa menit. Untuk itu kita bisa memahami bahwa ada kebiasaan untuk menunda proses kremasi untuk memastikan bahwa matinya benar-benar mati secara fisik maupun batin.
Quotekalau pada saat kesadaran padam sama sekali ga ada pertemuan sel telur dan sperma, trus si gandhaba ngapain?
Jawabannya: tidak ada kemungkinan untuk tidak ada pertemuan sel telur dan sperma di alam semesta ini.
Mengapa kita berpikir bahwa ada kemungkinan tidak adanya pertemuan sel telur dan sperma?
gandhaba sendiri bukanlah makhluk tersendiri, tapi pikiran akhir dari orang yang sekarat ini. Karena setelah padam akan langsung dilahirkan , maka dianggap sebagai 'calon'
Quote from: ariyakumara on 27 July 2013, 02:40:53 PM
Jadi, sekarang kita sementara memiliki 3 kesimpulan:
1. Tidak ada antarabhava (pandangan Theravada)
2. Ada antarabhava, yaitu keadaan sebelum kematian dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara Buddhis (pendapat sdr. Kelana)
3. Ada antarabhava, yaitu keadaan setelah kematian dan sebelum terlahir kembali (pandangan Abhidharma aliran non-Theravada seperti yang dijelaskan sdr. KK)
Yang saya katakan adalah: secara medis. Jadi Ada antarabhava, yaitu keadaan (kondisi pikiran) sebelum mati dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis
walaupun sudah dinyatakan mati secara Buddhis.
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2013, 01:51:30 PM
Contoh yang mudah bisa dilihat misalnya dari DN 14. Mahāpadānasutta atau MN 123. Acchariyaabbhutasutta, dijelaskan tentang momen bodhisatta telah meninggalkan tubuh (deva) Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu.
[...] bodhisatto tusitā kāyā cavitvā sato sampajāno mātukucchiṃ okkami.
([...] bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu.)
Jadi jelas ada jeda antara 'setelah kematian dari deva Tusita' dan 'sebelum kelahiran dalam rahim'. Eksistensi (bhava) yang terletak di antara "setelah hancurnya khanda" dan "sebelum terbentuknya khanda" ini yang disebut antarabhava. Abhidharma menjelaskan antarabhava ini digerakkan hanya dengan kekuatan karma saja, mencari apa yang menjadi kelahirannya yang akan matang, dan memiliki 'gambaran' sesuai alam kelahiran yang dituju. Jadi jika seorang manusia mati dan akan terlahir dalam rahim anjing, maka bhava ini terlihat seperti anjing.
Untuk itu di awal saya menyampaikan apa yang dimaksud dengan mati dalam Buddhisme? apakah karena matinya/padamnya Kaya (tubuh) langsung bisa disebut dengan mati atau setelah kaya dan nama padam.
Dalam kisah bodhisatta tersebut tidak disebutkan batinnya padam, hanya disebutkan meninggalkan kaya, tubuh. Bagi saya ia belum mati tapi menjelang mati. Kemudian baru di lanjutkan batinnya sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu, ini adalah proses mati sekaligus lahir. Saat inilah ia benar-benar mati sebagai deva di tusita dan lahir sebagai manusia. Jadi dalam kisah tidak ada jeda antara mati dan lahir.
Quote from: Kelana on 25 August 2013, 11:11:00 AM
Quote from: ariyakumara on 27 July 2013, 02:40:53 PM
Jadi, sekarang kita sementara memiliki 3 kesimpulan:
1. Tidak ada antarabhava (pandangan Theravada)
2. Ada antarabhava, yaitu keadaan sebelum kematian dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara Buddhis medis (pendapat sdr. Kelana)
3. Ada antarabhava, yaitu keadaan setelah kematian dan sebelum terlahir kembali (pandangan Abhidharma aliran non-Theravada seperti yang dijelaskan sdr. KK)
Yang saya katakan adalah: secara medis. Jadi Ada antarabhava, yaitu keadaan (kondisi pikiran) sebelum mati dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara Buddhis medis.
Edited ;D
Quote from: Kelana on 25 August 2013, 10:59:55 AM
Ini berarti tidak bisa dikatakan sebagai mati dalam Buddhisme meskipun jasad sudah dibakar atau rusak, meskipun pada akhirnya disusul oleh kematian batin. Kemungkinan proses kematian batin dan fisik tidak selalu bersamaan meskipun berselang beberapa menit. Untuk itu kita bisa memahami bahwa ada kebiasaan untuk menunda proses kremasi untuk memastikan bahwa matinya benar-benar mati secara fisik maupun batin.
Jawabannya: tidak ada kemungkinan untuk tidak ada pertemuan sel telur dan sperma di alam semesta ini.
Mengapa kita berpikir bahwa ada kemungkinan tidak adanya pertemuan sel telur dan sperma?
gandhaba sendiri bukanlah makhluk tersendiri, tapi pikiran akhir dari orang yang sekarat ini. Karena setelah padam akan langsung dilahirkan , maka dianggap sebagai 'calon'
jadi menurut pendapat anda, bahkan setelah 2 minggu sesudah kremasi, orang itu belum dikatakan mati secara batin?
Jadi anda menganggap antarabhava itu termasuk proses peleburan batin, yang bisa saja terjadi bahkan setelah kesadaran berpisah dari tubuh? Dan bisa berlangsung lumayan lama?
Quote from: Kelana on 25 August 2013, 11:23:03 AM
Untuk itu di awal saya menyampaikan apa yang dimaksud dengan mati dalam Buddhisme? apakah karena matinya/padamnya Kaya (tubuh) langsung bisa disebut dengan mati atau setelah kaya dan nama padam.
Dalam kisah bodhisatta tersebut tidak disebutkan batinnya padam, hanya disebutkan meninggalkan kaya, tubuh. Bagi saya ia belum mati tapi menjelang mati. Kemudian baru di lanjutkan batinnya sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu, ini adalah proses mati sekaligus lahir. Saat inilah ia benar-benar mati sebagai deva di tusita dan lahir sebagai manusia. Jadi dalam kisah tidak ada jeda antara mati dan lahir.
tapi yang seperti ini kan normalnya disebut "jeda".
Sudah meninggalkan tubuh tapi belum masuk ke tubuh baru, jadi ada jeda waktu
dan jeda inilah yang kemudian disebut antarabhava
...... apakah perdebatan antarabhava atau tidak hanya karena perbedaan persepsi dan definisi?
definisi mati di mahayana sepertinya adalah "berpisahnya kesadaran dari tubuh jasmani secara permanen"
Quote from: xenocross on 25 August 2013, 04:05:52 PM
tapi yang seperti ini kan normalnya disebut "jeda".
Sudah meninggalkan tubuh tapi belum masuk ke tubuh baru, jadi ada jeda waktu
dan jeda inilah yang kemudian disebut antarabhava
persepsinya seperti ada sesuatu yang ringan atau roh yang melayang2, kemudian terbang kemana2 dan gentayangan mencari tubuh lain, sesudah ketemu tubuh baru, barulah masuk kedalam, begitukah maksudnya ?
Quote from: Kelana on 25 August 2013, 11:23:03 AM
Untuk itu di awal saya menyampaikan apa yang dimaksud dengan mati dalam Buddhisme? apakah karena matinya/padamnya Kaya (tubuh) langsung bisa disebut dengan mati atau setelah kaya dan nama padam.
Dalam kisah bodhisatta tersebut tidak disebutkan batinnya padam, hanya disebutkan meninggalkan kaya, tubuh. Bagi saya ia belum mati tapi menjelang mati. Kemudian baru di lanjutkan batinnya sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu, ini adalah proses mati sekaligus lahir. Saat inilah ia benar-benar mati sebagai deva di tusita dan lahir sebagai manusia. Jadi dalam kisah tidak ada jeda antara mati dan lahir.
Setahu saya, yang disebutkan kematian adalah terurainya antara batin dan jasmani.
Dalam paham
Theravada, kematian dan kelahiran kembali adalah langsung. Dianalogikan seperti matahari tenggelam di satu belahan bumi, saat yang sama juga terbit di belahan bumi lainnya, tidak ada jeda bagian tanpa cahaya matahari; atau seperti 2 ruangan yang terpisah satu pintu, saat keluar dari ruangan satu adalah saat yang sama masuk ke ruangan lainnya, tidak ada saat berada di antara 2 ruangan.
Dalam 2 sutta tentang bodhisatta, kita lihat penjelasan momen itu, ada 2 kriteria: (1) 'setelah meninggalkan tubuh Tusita' dan (2) 'memasuki rahim'.
Batin tidak mungkin meninggalkan jasmani sebelum kematian (karena Buddhisme bukan menganut sistem roh yang keluar masuk tubuh, namun integrasi batin-jasmani yang saling bergantung), jadi ketika dikatakan 'telah meninggalkan tubuh' berarti adalah setelah kematian sebagai makhluk. Pada saat ini juga dikatakan ia belum masuk, masih dalam proses memasuki.
Dalam proses tanpa jeda, momen belum meninggalkan = belum memasuki, meninggalkan = memasuki, dan setelah meninggalkan = setelah memasuki.
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 August 2013, 04:13:51 PM
Setahu saya, yang disebutkan kematian adalah terurainya antara batin dan jasmani.
Dalam paham Theravada, kematian dan kelahiran kembali adalah langsung. Dianalogikan seperti matahari tenggelam di satu belahan bumi, saat yang sama juga terbit di belahan bumi lainnya, tidak ada jeda bagian tanpa cahaya matahari; atau seperti 2 ruangan yang terpisah satu pintu, saat keluar dari ruangan satu adalah saat yang sama masuk ke ruangan lainnya, tidak ada saat berada di antara 2 ruangan.
Dalam 2 sutta tentang bodhisatta, kita lihat penjelasan momen itu, ada 2 kriteria: (1) 'setelah meninggalkan tubuh Tusita' dan (2) 'memasuki rahim'.
Batin tidak mungkin meninggalkan jasmani sebelum kematian (karena Buddhisme bukan menganut sistem roh yang keluar masuk tubuh, namun integrasi batin-jasmani yang saling bergantung), jadi ketika dikatakan 'telah meninggalkan tubuh' berarti adalah setelah kematian sebagai makhluk. Pada saat ini juga dikatakan ia belum masuk, masih dalam proses memasuki.
Dalam proses tanpa jeda, momen belum meninggalkan = belum memasuki, meninggalkan = memasuki, dan setelah meninggalkan = setelah memasuki.
Gw setuju dengan ajaran di atas. Sangat masuk logika dan konsisten dengan doktrin anatta. Sayangnya teori seperti ini hanya diajarkan dalam Abhidhamma (CMIIW) dan tidak ada di bagian Pitaka yg lain. Dengan alasan sejarah Konsili dan penelitian sumber sahih (katanya), sebagian orang yg juga mengaku theravada mengatakan bahwa Abhidhamma ini tidak diajarkan oleh Sang Buddha melainkan tambahan bhikkhu belakangan. Thus, doktrin kematian yg disambung kelahiran tanpa jeda itu juga menjadi 'tidak sahih'.
Adalah sumber yg detail di dalam Sutta atau Vinaya yg juga menjelaskan proses seperti di atas (kematian tanpa jeda ke kelahiran berikutnya) ?
Quote from: sanjiva on 26 August 2013, 05:32:17 PM
Gw setuju dengan ajaran di atas. Sangat masuk logika dan konsisten dengan doktrin anatta. Sayangnya teori seperti ini hanya diajarkan dalam Abhidhamma (CMIIW) dan tidak ada di bagian Pitaka yg lain. Dengan alasan sejarah Konsili dan penelitian sumber sahih (katanya), sebagian orang yg juga mengaku theravada mengatakan bahwa Abhidhamma ini tidak diajarkan oleh Sang Buddha melainkan tambahan bhikkhu belakangan. Thus, doktrin kematian yg disambung kelahiran tanpa jeda itu juga menjadi 'tidak sahih'.
Adalah sumber yg detail di dalam Sutta atau Vinaya yg juga menjelaskan proses seperti di atas (kematian tanpa jeda ke kelahiran berikutnya) ?
saya sih ada membaca bahwa komentar dari Bro Kainyin itu juga menyebutkan sumber sutta untuk kasus Bodhisatta.
Quote from: sanjiva on 26 August 2013, 05:32:17 PM
Gw setuju dengan ajaran di atas. Sangat masuk logika dan konsisten dengan doktrin anatta. Sayangnya teori seperti ini hanya diajarkan dalam Abhidhamma (CMIIW) dan tidak ada di bagian Pitaka yg lain. Dengan alasan sejarah Konsili dan penelitian sumber sahih (katanya), sebagian orang yg juga mengaku theravada mengatakan bahwa Abhidhamma ini tidak diajarkan oleh Sang Buddha melainkan tambahan bhikkhu belakangan. Thus, doktrin kematian yg disambung kelahiran tanpa jeda itu juga menjadi 'tidak sahih'.
Adalah sumber yg detail di dalam Sutta atau Vinaya yg juga menjelaskan proses seperti di atas (kematian tanpa jeda ke kelahiran berikutnya) ?
Sumber yang detail khusus topik kematian dan kelahiran kembali saya belum pernah ketemu di sutta. Yang ada adalah sebagian-sebagian dan yang bisa dilakukan adalah mencoba tarik kesimpulan dari potongan informasi tersebut. Para pelajar buddhis awal juga melakukan hal yang sama dan menghasilkan kesimpulan yang bisa berbeda-beda, dituangkan ke dalam "abhidhamma" yang berbeda-beda, dan akhirnya melahirkan sekte yang berbeda.
Terlepas dari "apakah abhidhamma diajarkan oleh Buddha atau tidak", yang namanya aliran Theravada tidak menganut antarabhava sebagaimana dituangkan dalam kathavatthu (buku ke 5 abhidhamma pitaka).
Quote from: Indra on 26 August 2013, 05:51:59 PM
saya sih ada membaca bahwa komentar dari Bro Kainyin itu juga menyebutkan sumber sutta untuk kasus Bodhisatta.
Yang saya tanyakan adalah ini
(bold):
Quote from: sanjiva on 26 August 2013, 05:32:17 PM
Adalah sumber yg detail di dalam Sutta atau Vinaya yg juga menjelaskan proses seperti di atas (kematian tanpa jeda ke kelahiran berikutnya) ?
Apakah sudah terjawab dengan ini?
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2013, 01:51:30 PM
Contoh yang mudah bisa dilihat misalnya dari DN 14. Mahāpadānasutta atau MN 123. Acchariyaabbhutasutta, dijelaskan tentang momen bodhisatta telah meninggalkan tubuh (deva) Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu.
[...] bodhisatto tusitā kāyā cavitvā sato sampajāno mātukucchiṃ okkami.
([...] bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu.)
Jadi jelas ada jeda antara 'setelah kematian dari deva Tusita' dan 'sebelum kelahiran dalam rahim'.
--> nah kan malah dikatakan sebaliknya ? Ada jeda katanya?
Kata2 "bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu"
--> Ini malah berkesan seperti ada atta yg berpindah ?
Eksistensi (bhava) yang terletak di antara "setelah hancurnya khanda" dan "sebelum terbentuknya khanda" ini yang disebut antarabhava. Abhidharma menjelaskan antarabhava ini digerakkan hanya dengan kekuatan karma saja, mencari apa yang menjadi kelahirannya yang akan matang, dan memiliki 'gambaran' sesuai alam kelahiran yang dituju. Jadi jika seorang manusia mati dan akan terlahir dalam rahim anjing, maka bhava ini terlihat seperti anjing.
--> ini dari Abhidhamma bukan sutta atau vinaya. Ada tidak penjelasan sedetail ini ataukah cuma ditafsir2 dari yg asalnya cuma berupa kalimat umum di sutta/vinaya ?
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 August 2013, 07:20:07 PM
Sumber yang detail khusus topik kematian dan kelahiran kembali saya belum pernah ketemu di sutta. Yang ada adalah sebagian-sebagian dan yang bisa dilakukan adalah mencoba tarik kesimpulan dari potongan informasi tersebut. Para pelajar buddhis awal juga melakukan hal yang sama dan menghasilkan kesimpulan yang bisa berbeda-beda, dituangkan ke dalam "abhidhamma" yang berbeda-beda, dan akhirnya melahirkan sekte yang berbeda.
Gw setuju dengan pendapat anda
(bold).
Quote
Terlepas dari "apakah abhidhamma diajarkan oleh Buddha atau tidak", yang namanya aliran Theravada tidak menganut antarabhava sebagaimana dituangkan dalam kathavatthu (buku ke 5 abhidhamma pitaka).
Gw kira yg dituntut di sini adalah konsistensi.
Kalau dikatakan Sang Buddha tidak mengajarkan Abhidhamma, dan itu adalah tambahan belakangan maka artinya jangan memakai Abhidhamma sebagai acuan termasuk masalah antarabhava ini. Karena justru sumber yg menolak antarabhava adalah dari Abhidhamma. Masa mengatakan Abhidhamma tidak diajarkan Buddha tapi mempercayainya untuk menolak doktrin antarabhava dari sutta/sutra.
Bahkan bisa saja isi sutta mengatakan "ada perpindahan" dan "ada jeda" seperti gw refer ke sutta yang anda jelaskan di atas. Jadi bertolak belakang sekali antara sumber 'sahih' (sutta vinaya) dengan sumber 'tidak sahih' (abhidhamma) dalam pembahasan ini. Itu kalau mau konsisten.
Quote from: sanjiva on 26 August 2013, 07:34:19 PM
Gw setuju dengan pendapat anda (bold).
Gw kira yg dituntut di sini adalah konsistensi.
Kalau dikatakan Sang Buddha tidak mengajarkan Abhidhamma, dan itu adalah tambahan belakangan maka artinya jangan memakai Abhidhamma sebagai acuan termasuk masalah antarabhava ini. Karena justru sumber yg menolak antarabhava adalah dari Abhidhamma. Masa mengatakan Abhidhamma tidak diajarkan Buddha tapi mempercayainya untuk menolak doktrin antarabhava dari sutta/sutra.
justru ini adalah bagian yg menarik dan juga penting, bahwa penolakan antarabhava itu bersumber dari Abhidhamma yg bukan ajaran Sang Buddha, dan sekaligus bertentangan dengan sutta-sutta yg diajarkan oleh Sang Buddha. atau setidaknya Abhidhamma telah menafsirkan seenaknya sesuatu yg tidak dijelaskan secara terperinci dalam sutta2.
Quote
Bahkan bisa saja isi sutta mengatakan "ada perpindahan" dan "ada jeda" seperti gw refer ke sutta yang anda jelaskan di atas. Jadi bertolak belakang sekali antara sumber 'sahih' (sutta vinaya) dengan sumber 'tidak sahih' (abhidhamma) dalam pembahasan ini. Itu kalau mau konsisten.
mengenai "ada perpindahan" ini akan mudah dibantah melalui doktrin paticcasamuppada yg dijelaskan dalam sutta2, sedangkan "ada jeda" ini memang sangat mungkin, karena memang ada sutta yg menjelaskan hal ini.
Tapi senada dengan postingan Bro Kainyn, faktanya memang pandangan theravada lebih condong pada sumber "tidak sahih" daripada sumber "sahih". ini kalau mau jujur.
Quote from: sanjiva on 26 August 2013, 07:34:19 PM
Gw kira yg dituntut di sini adalah konsistensi.
Kalau dikatakan Sang Buddha tidak mengajarkan Abhidhamma, dan itu adalah tambahan belakangan maka artinya jangan memakai Abhidhamma sebagai acuan termasuk masalah antarabhava ini.
Soal antarabhava ini di sutta tidak ada, tapi topik ini mengundang perbedaan pendapat sehingga disusunlah doktrin mengenai hal ini dan dituangkan dalam abhidhamma, di mana ada yang terima, ada yang tolak. Di sini saya hanya berusaha menghadirkan keduanya karena setahu saya kebanyakan di Indo hanya tahu Abhidhamma Theravada, jadi minimal menyadari adanya beragam interpretasi sutta, bukan hanya satu jenis.
QuoteKarena justru sumber yg menolak antarabhava adalah dari Abhidhamma. Masa mengatakan Abhidhamma tidak diajarkan Buddha tapi mempercayainya untuk menolak doktrin antarabhava dari sutta/sutra.
Di sini saya tidak membantah atau mendukung doktrin antarabhava, hanya mengatakan abhidhamma satu menolak, satu lainnya menerima. Perihal 'apakah abhidhamma diajarkan Buddha' adalah sama sekali persoalan berbeda dan tidak ada hubungannya dengan penggunaannya sebagai otoritas. Misalnya di Sarvastivada (dan turunannya) percaya bahwa Abhidharma BUKAN ajaran Buddha langsung tapi hasil kompilasi dharma dari para muridnya: 4 buku dipercaya diajarkan oleh 4 sravaka langsung, 3 lainnya adalah karya murid belakangan, namun toh mereka menggunakannya sebagai otoritas. Tidak masalah kalau memang merasa interpretasinya cocok. Bagi aliran lain yang merasa itu tidak perlu, memang tidak menjadikan abhidharma sebagai otoritas, misalnya Sautrantika dan Mahasanghika, walaupun mereka juga mempelajarinya.
QuoteBahkan bisa saja isi sutta mengatakan "ada perpindahan" dan "ada jeda" seperti gw refer ke sutta yang anda jelaskan di atas. Jadi bertolak belakang sekali antara sumber 'sahih' (sutta vinaya) dengan sumber 'tidak sahih' (abhidhamma) dalam pembahasan ini. Itu kalau mau konsisten.
Theravada menyatakan tidak ada dengan argumennya, Sammitiya menyatakan ada dengan argumennya juga. Memang tidak mungkin ada kesepakatan, tapi ini bukan inkonsistensi, namun perbedaan tafsir antara para scholar saja.
Quote from: Indra on 26 August 2013, 08:11:15 PM
justru ini adalah bagian yg menarik dan juga penting, bahwa penolakan antarabhava itu bersumber dari Abhidhamma yg bukan ajaran Sang Buddha, dan sekaligus bertentangan dengan sutta-sutta yg diajarkan oleh Sang Buddha. atau setidaknya Abhidhamma telah menafsirkan seenaknya sesuatu yg tidak dijelaskan secara terperinci dalam sutta2.
Artinya anda mengatakan bahwa Y.A. (Yang Ariya, aka Arahat) Moggaliputta dan bhikkhu2 ariya sangha peserta Konsili tersebut menafsirkan seenaknya....?
Quote
mengenai "ada perpindahan" ini akan mudah dibantah melalui doktrin paticcasamuppada yg dijelaskan dalam sutta2, sedangkan "ada jeda" ini memang sangat mungkin, karena memang ada sutta yg menjelaskan hal ini.
Karena masih berhubungan dengan thread ini (ada antarabhava / tidak) silahkan disajikan di sini sutta2 yg kata anda menjelaskan doktrin paticcasumuppada yg membantah "ada perpindahan" dan bagaimana bunyinya. Monggo.....
Quote from: sanjiva on 27 August 2013, 10:00:52 AM
Artinya anda mengatakan bahwa Y.A. (Yang Ariya, aka Arahat) Moggaliputta dan bhikkhu2 ariya sangha peserta Konsili tersebut menafsirkan seenaknya....?
siapa yg mensertifikasi bahwa Moggaliputta adalah Y.A? dan ya saya memang mengatakan bahwa mereka menafsirkan seenaknya aka menurut selera mereka, karena kalau tidak, tentu tidak akan ada yg protes dan menolaknya, bukan?
Quote
Karena masih berhubungan dengan thread ini (ada antarabhava / tidak) silahkan disajikan di sini sutta2 yg kata anda menjelaskan doktrin paticcasumuppada yg membantah "ada perpindahan" dan bagaimana bunyinya. Monggo.....
doktrin paticcasamuppada menjelaskan mengenai segala fenomena yg muncul karena bergantung pada sebab dan kondisinya, ini termasuk mengenai bagaimana munculnya makhluk, jika anda meminta penjelasan doktrin paticcasamuppada yg formulanya sudah sangat sering dibahas di sini, saya menyarankan agar anda lebih banyak membaca thread2 di DC ini, atau kalau masih blm cukup saya akan mengusulkan agar dibuatkan board "Buddhisme untuk Pra-pemula".
Quote from: Indra on 27 August 2013, 10:31:14 AM
siapa yg mensertifikasi bahwa Moggaliputta adalah Y.A? dan ya saya memang mengatakan bahwa mereka menafsirkan seenaknya aka menurut selera mereka, karena kalau tidak, tentu tidak akan ada yg protes dan menolaknya, bukan?
Protes dan menolaknya dalam hal apa?
- Apakah karena ada yg salah dalam isi doktrin di Abhidhamma?
- atau karena meneliti dokumen2 sejarah yg tersisa; dan menyimpulkan bahwa pada Abhidhamma bukan bagian dari dhamma-vinaya? (Konsili I belum membagi & mengelompokkan dhamma vinaya menjadi 3 pitaka seperti yg dipakai di jaman modern sekarang).
Anda berspekulasi dengan kearahatan sesepuh bhikkhu sangha perintis Theravada dan menuduh mereka seenaknya 'mengarang' abhidhamma. Apakah anda siap dengan resiko kamma buruk mengata2i seperti itu kalau ternyata mereka2 ini benar2 arahat?
Quote
doktrin paticcasamuppada menjelaskan mengenai segala fenomena yg muncul karena bergantung pada sebab dan kondisinya, ini termasuk mengenai bagaimana munculnya makhluk, jika anda meminta penjelasan doktrin paticcasamuppada yg formulanya sudah sangat sering dibahas di sini, saya menyarankan agar anda lebih banyak membaca thread2 di DC ini, atau kalau masih blm cukup saya akan mengusulkan agar dibuatkan board "Buddhisme untuk Pra-pemula".
Tinggal copas saja koq berbelit belit. Ada pepatah mengatakan kelamaan bergaul dengan sesuatu maka anda akan menjadi sesuatu itu. Kelamaan berdebat dengan belut di dc bisa2 ketularan juga. :whistle:
Yg gw minta tunjukkan bukti kata2 anda di atas, mana kalimat sutta yg membantah "ada perpindahan" dan bagaimana bunyinya? Kalau tidak ada, ya bilang saja tidak ada. Simple kan?
Quote from: sanjiva on 27 August 2013, 11:42:57 AM
Protes dan menolaknya dalam hal apa?
- Apakah karena ada yg salah dalam isi doktrin di Abhidhamma?
- atau karena meneliti dokumen2 sejarah yg tersisa; dan menyimpulkan bahwa pada Abhidhamma bukan bagian dari dhamma-vinaya (Konsili I belum membagi & mengelompokkan dhamma vianaya menjadi 3 pitaka seperti yg dipakai di jaman modern sekarang)?
ini adalah bukti bahwa diskusi dengan anda adalah suatu kesia2an, anda juga mengikuti diskusi2 sebelumnya dgn topik serupa dan sekarang anda masih mempertanyakan lagi kenapa ada kelompok yg menolak Abhidhamma, percuma saja mengulangi diskusi ini jika anda sudah menutup diri thd kebenaran-kebenaran yg berpotensi mengguncang iman anda.
Quote
Anda berspekulasi dengan kearahatan sesepuh bhikkhu sangha perintis Theravada dan menuduh mereka seenaknya 'mengarang' abhidhamma. Apakah anda siap dengan resiko kamma buruk mengata2i seperti itu kalau ternyata mereka2 ini benar2 arahat?
Tinggal copas saja koq berbelit belit. Ada pepatah mengatakan kelamaan bergaul dengan sesuatu maka anda akan menjadi sesuatu itu. Kelamaan berdebat dengan belut di dc bisa2 ketularan juga. :whistle:
sebenarnya soal spekulasi itu adalah sama antara kedua belah pihak, spekluasi dari pihak yg percaya bahwa seseorang adalah arahat sama saja dengan spekulasi dari pihak lawannya.
Apakah menurut anda kamma buruk itu hanya menimpa pada orang yg siap menerimanya? jika saya akan terkena akibat buruk dari pernyataan saya, apakah saya bisa tidak menerima akibat itu jika saya tidak siap? anda sungguh adalah theravadin yg sangat mengecewakan.
Quote
Yg gw minta tunjukkan bukti kata2 anda di atas, mana kalimat sutta yg membantah "ada perpindahan" dan bagaimana bunyinya? Kalau tidak ada, ya bilang saja tidak ada. Simple kan?
doktrin itu membantahnya bukan dengann kata2 spt yg anda inginkan, jika anda menginginkan bantahan dgn kata2 yg persis spt keinginan anda, maka anda dipersilakan menggubah sutta sendiri. Doktrin itu membantahnya dengan formula bahwa sesuatu ada karena ada penyebab dan kondisinya, "karena ada ini maka muncul itu." formula itu tidak menyiratkan "ini berpindah ke itu." atau sejenisnya. ini tentu jika anda cukup cerdas bisa memahaminya, yg saya khawatir sebaliknya.
mengenai belut, ini adalah jurus upaya-kausalya (aka jeruk makan jeruk), yaitu menghadapi belut dengan belut. Ini bukan pertama kalinya saya berhadapan dengan prajurit theravadin yg terguncang ketika keyakinannya diusik.
wkwkwkwk :)) ada tontonan seru nih di DC, ayo bro Sanjiva hajar lagi :)) kakao paling kesel melihat orang yg merasa dirinya paling tahu dan bener, apalagi ucapannya rasis banget theravadin,.. :)) dst, kakao ma indra pernah berseteru jg dulu, tp kakao udh ga inget gara2 apa, udh lupa, mungkin kl dia msh menyimpan emosi ma kakao, gpp, ayo bro sanjiva kakao dukung anda ;D
Quote from: kakao on 27 August 2013, 02:45:16 PM
wkwkwkwk :)) ada tontonan seru nih di DC, ayo bro Sanjiva hajar lagi :)) kakao paling kesel melihat orang yg merasa dirinya paling tahu dan bener, apalagi ucapannya rasis banget theravadin,.. :)) dst, kakao ma indra pernah berseteru jg dulu, tp kakao udh ga inget gara2 apa, udh lupa, mungkin kl dia msh menyimpan emosi ma kakao, gpp, ayo bro sanjiva kakao dukung anda ;D
Gw berdiskusi di DC bukan soal suka tidak suka, mendukung tidak mendukung, berseteru tidak berseteru. Gw hanya menyampaikan apa yg gw rasa benar dari apa yg gw tahu dan telah dengar, lihat, baca, dan pelajari. Begitu juga kalau ada yg gw rasa tidak benar menurut gw, tentu gw akan bersuara dengan tulisan.
Maaf kalau tidak bisa memenuhi keinginan anda soal hajar menghajar, dsb. _/\_
Kalau anda sendiri ada sanggahan untuk apa2 yg dikemukakan om Indra, silahkan menyampaikannya di sini atau di thread lain yg sesuai. Mari kita saling berdiskusi secara sehat di sini.
BTW, trims atas simpati dan dukungan anda. :)
Quote from: Indra on 27 August 2013, 11:59:19 AM
ini adalah bukti bahwa diskusi dengan anda adalah suatu kesia2an, anda juga mengikuti diskusi2 sebelumnya dgn topik serupa dan sekarang anda masih mempertanyakan lagi kenapa ada kelompok yg menolak Abhidhamma, percuma saja mengulangi diskusi ini jika anda sudah menutup diri thd kebenaran-kebenaran yg berpotensi mengguncang iman anda.
Diskusi Abhidhamma mana yg anda maksud?
Terakhir diskusi yg gw ikuti adalah ini dan hasilnya bisa dilihat sendiri :whistle:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1342.15.html (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1342.15.html)
Quote
sebenarnya soal spekulasi itu adalah sama antara kedua belah pihak, spekluasi dari pihak yg percaya bahwa seseorang adalah arahat sama saja dengan spekulasi dari pihak lawannya.
Apakah menurut anda kamma buruk itu hanya menimpa pada orang yg siap menerimanya? jika saya akan terkena akibat buruk dari pernyataan saya, apakah saya bisa tidak menerima akibat itu jika saya tidak siap? anda sungguh adalah theravadin yg sangat mengecewakan.
Gw concern dengan anda, seperti kasus seorang wanita yg menjadi pelacur hanya karena mengata2i seorang bhikkhuni arahat sebagai pelacur ("pelacur mana yg meludah......dst). Yah, mudah2an hal seperti itu tidak menimpa anda. OK lanjutttt.
Quote
doktrin itu membantahnya bukan dengann kata2 spt yg anda inginkan, jika anda menginginkan bantahan dgn kata2 yg persis spt keinginan anda, maka anda dipersilakan menggubah sutta sendiri. Doktrin itu membantahnya dengan formula bahwa sesuatu ada karena ada penyebab dan kondisinya, "karena ada ini maka muncul itu." formula itu tidak menyiratkan "ini berpindah ke itu." atau sejenisnya. ini tentu jika anda cukup cerdas bisa memahaminya, yg saya khawatir sebaliknya.
Gw yakin kalau anda cukup cerdas tentu anda sudah membaca yg sudah dikutip dari sutta di atas, kembali gw ulangi dari sini:
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2013, 01:51:30 PM
Contoh yang mudah bisa dilihat misalnya dari DN 14. Mahāpadānasutta atau MN 123. Acchariyaabbhutasutta, dijelaskan tentang momen bodhisatta telah meninggalkan tubuh (deva) Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu.
[...] bodhisatto tusitā kāyā cavitvā sato sampajāno mātukucchiṃ okkami.
([...] bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu.)
Jadi jelas ada jeda antara 'setelah kematian dari deva Tusita' dan 'sebelum kelahiran dalam rahim'. Eksistensi (bhava) yang terletak di antara "setelah hancurnya khanda" dan "sebelum terbentuknya khanda" ini yang disebut antarabhava.
Statement di atas yg anda 'amini' juga sebagai pakar sutta yg cerdas, seharusnya menimbulkan tanda tanya besar dalam benak anda, sama seperti kritisnya anda dalam penolakan Abhidhamma: Mengapa isi sutta ini (yg sahih menurut anda) koq bisa bertentangan dengan sutta mengenai patticasamuppada (yg juga sahih menurut anda) ?
Gw yakin kalau anda tidak setuju dengan statement yg
dibold karena bertentangan maknanya dengan suttanya patticasamuppada, tentu anda akan menyampaikan keberatan. Kecuali mungkin pertentangan makna ini terlewat dari pengamatan anda yg cerdas dan baru saja anda sampaikan dalam diskusi2 di atas.
Quote
mengenai belut, ini adalah jurus upaya-kausalya (aka jeruk makan jeruk), yaitu menghadapi belut dengan belut. Ini bukan pertama kalinya saya berhadapan dengan prajurit theravadin yg terguncang ketika keyakinannya diusik.
Tidak seperti anda, gw memilih menghindari perdebatan berlarut2 dengan belut karena tidak ada hasilnya selain membantu onan1 otak kaum belut, karena itu mudah2an gw terhindar dari penularannya ketimbang mereka yg selalu bergaul bersama.
Quote from: sanjiva on 27 August 2013, 06:03:12 PM
Diskusi Abhidhamma mana yg anda maksud?
Terakhir diskusi yg gw ikuti adalah ini dan hasilnya bisa dilihat sendiri :whistle:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1342.15.html (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1342.15.html)
itu dan juga yg lain, dan seperti yg sudah saya katakan sebelumnya, berdiskusi dengan orang yg sudah mengambil sikap menolak argumen apa pun dari lawan diskusinya tanpa memberi kesempatan untuk merenungkan sebelum memutuskan hanyalah suatu kesia2an dan hanya menghasilkan kelelahan, jadi hasilnya adalah apa yg ingin anda lihat, bukan apa yg saya lihat.
Quote
Gw concern dengan anda, seperti kasus seorang wanita yg menjadi pelacur hanya karena mengata2i seorang bhikkhuni arahat sebagai pelacur ("pelacur mana yg meludah......dst). Yah, mudah2an hal seperti itu tidak menimpa anda. OK lanjutttt.
dan saya juga concern pada anda, kisah pelacur itu adalah karya Komentator (yaitu Dhammapala) seperti juga karya2 theravada spektakuler lainnya (yaitu oleh Buddhaghosa), memprihatinkan bahwa banyak penganut theravada yg lebih meyakini ajaran para komentator daripada Ajaran Sang Guru.
Quote
Gw yakin kalau anda cukup cerdas tentu anda sudah membaca yg sudah dikutip dari sutta di atas, kembali gw ulangi dari sini:Statement di atas yg anda 'amini' juga sebagai pakar sutta yg cerdas, seharusnya menimbulkan tanda tanya besar dalam benak anda, sama seperti kritisnya anda dalam penolakan Abhidhamma: Mengapa isi sutta ini (yg sahih menurut anda) koq bisa bertentangan dengan sutta mengenai patticasamuppada (yg juga sahih menurut anda) ?
Gw yakin kalau anda tidak setuju dengan statement yg dibold karena bertentangan maknanya dengan suttanya patticasamuppada, tentu anda akan menyampaikan keberatan. Kecuali mungkin pertentangan makna ini terlewat dari pengamatan anda yg cerdas dan baru saja anda sampaikan dalam diskusi2 di atas.
sebutan "pakar sutta yg cerdas" saya tangkap sebagai suatu tindakan ad hominem yg cukup bagi saya untuk menghentikan diskusi ini walaupun sebenarnya saya ingin sekali menuntaskan diskusi ini. jadi silakan anda memegang pandangan anda itu yg dulu juga pernah saya pegang dan sekarang sudah saya lepaskan.
Quote
Tidak seperti anda, gw memilih menghindari perdebatan berlarut2 dengan belut karena tidak ada hasilnya selain membantu onan1 otak kaum belut, karena itu mudah2an gw terhindar dari penularannya ketimbang mereka yg selalu bergaul bersama.
perdebatan tidak mungkin dilakukan sendirian, jadi jika anda mengatakan bahwa perdebatan ini adalah onani, maka bukankah anda juga sedang beronani? sayang sekali anda tidak mampu memberikan argumen yg cerdas selain hanya meratapi keterbatasan anda.
sebentar aku jadi bingung. ini ngomongin bahwa antarabhava bertentangan dengan paticcasamupada?
bertentangan nya dimana ya?
lah aliran yg percaya antarabhava juga mengajarkan paticcasamupada kok....
Quote from: xenocross on 27 August 2013, 11:16:11 PM
sebentar aku jadi bingung. ini ngomongin bahwa antarabhava bertentangan dengan paticcasamupada?
bertentangan nya dimana ya?
lah aliran yg percaya antarabhava juga mengajarkan paticcasamupada kok....
setuju Bro, bahkan antarabhava ini membuat paticcasamuppada menjadi semakin logis
Quote from: kakao on 27 August 2013, 02:45:16 PM
wkwkwkwk :)) ada tontonan seru nih di DC, ayo bro Sanjiva hajar lagi :)) kakao paling kesel melihat orang yg merasa dirinya paling tahu dan bener, apalagi ucapannya rasis banget theravadin,.. :)) dst, kakao ma indra pernah berseteru jg dulu, tp kakao udh ga inget gara2 apa, udh lupa, mungkin kl dia msh menyimpan emosi ma kakao, gpp, ayo bro sanjiva kakao dukung anda ;D
anda theravadin juga ya ???,
dan sangat disayangkan, sifat dendam yang anda miliki telah 'membutakan' anda
kasian deh ^-^
Menariknya, dalam paham 'tanpa jeda', bhava menjadi proses yang tidak jelas apaan sebab tidak ada bedanya dengan jati. Ketika 'marana' terjadi di satu makhluk, langsung 'jati' di makhluk lain, tanpa jeda. Paham 'ada jeda' ini lebih memungkinkan penjelasan perbedaan 'bhava' dengan 'jati'.
Untuk 'tidak berpindah' sudah jelas ada di Mahatanhasankhayasutta (MN 38).
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2013, 01:51:30 PM
[...] bodhisatto tusitā kāyā cavitvā sato sampajāno mātukucchiṃ okkami.
([...] bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu.)
Jadi jelas ada jeda antara 'setelah kematian dari deva Tusita' dan 'sebelum kelahiran dalam rahim'.
--> nah kan malah dikatakan sebaliknya ? Ada jeda katanya?
Menurut interpretasi harafiah begitu. Entah menurut interpretasi lainnya.
QuoteKata2 "bodhisatta setelah meninggalkan tubuh tusita, sadar penuh perhatian memasuki rahim ibu"
--> Ini malah berkesan seperti ada atta yg berpindah ?
Ketika seorang meninggal, batin dan jasmaninya telah terurai, tidak ada 'atta' apapun yang tetap di sini. Bhava itu pun adalah terkondisi oleh proses dan tidak kekal. Ketika ada kondisinya, maka ia baru terlahir. Sama saja prinsipnya dalam paham 'ada jeda' maupun 'tanpa jeda'. Misalnya di sutta ada syarat terjadinya makhluk (dalam kelahiran manusia) adalah ada unsur ayah (sperma), unsur ibu (telur), ibu dalam masa subur, dan adanya kesadaran penerus. Kesadaran penerus ini adalah dari makhluk yang telah meninggal, berkondisi dan berproses, bukan atta.
Bedanya, dalam paham ada jeda, kelahiran manusia menjadi manusia kembali bisa terjadi sesaat atau beberapa lama setelah kematian. Sedangkan, yang sangat menarik, paham tanpa jeda hanya dimungkinkan oleh kondisi: waktu kematian di makhluk 'asal' harus persis waktu waktu ejakulasi ayah makhluk 'tujuan', tidak boleh kurang atau lebih sebab tidak ada jeda sama sekali.
QuoteEksistensi (bhava) yang terletak di antara "setelah hancurnya khanda" dan "sebelum terbentuknya khanda" ini yang disebut antarabhava. Abhidharma menjelaskan antarabhava ini digerakkan hanya dengan kekuatan karma saja, mencari apa yang menjadi kelahirannya yang akan matang, dan memiliki 'gambaran' sesuai alam kelahiran yang dituju. Jadi jika seorang manusia mati dan akan terlahir dalam rahim anjing, maka bhava ini terlihat seperti anjing.
--> ini dari Abhidhamma bukan sutta atau vinaya. Ada tidak penjelasan sedetail ini ataukah cuma ditafsir2 dari yg asalnya cuma berupa kalimat umum di sutta/vinaya ?
Bhava ada sebelum jati itu asalnya memang cuma kalimat umum di sutta/vinaya, seperti di Mahanidanasutta (DN 15).
Quote from: Kelana on 25 August 2013, 10:59:55 AM
Jawabannya: tidak ada kemungkinan untuk tidak ada pertemuan sel telur dan sperma di alam semesta ini.
Mengapa kita berpikir bahwa ada kemungkinan tidak adanya pertemuan sel telur dan sperma?
gandhaba sendiri bukanlah makhluk tersendiri, tapi pikiran akhir dari orang yang sekarat ini. Karena setelah padam akan langsung dilahirkan , maka dianggap sebagai 'calon'
benar , tidak mungkin tidak ada pertemuan sel telur dan sperma
Tetapi itu artinya kita lahir di dunia ini karena KEBETULAN kita mati pada saat yang sama dengan pertemuan sel telur dan sperma tertentu.
Buddha menolak paham "segala sesuatu terjadi karena kebetulan".
Karena seharusnya ada karma yang berperan disitu. Kalau faktornya kebetulan pasangan itu yg lagi berhubungan, biarpun gak cocok karmanya trus asal masuk aja gitu ya?
Ini bertentangan dengan keyakinan saya bahwa orang tua dan anak punya kecocokan karma/ hubungan karma
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2013, 08:46:30 AM
Bedanya, dalam paham ada jeda, kelahiran manusia menjadi manusia kembali bisa terjadi sesaat atau beberapa lama setelah kematian. Sedangkan, yang sangat menarik, paham tanpa jeda hanya dimungkinkan oleh kondisi: waktu kematian di makhluk 'asal' harus persis waktu waktu ejakulasi ayah makhluk 'tujuan', tidak boleh kurang atau lebih sebab tidak ada jeda sama sekali.
mungkin ini mengambarkan kata2 sulit sekali bisa terlahir sebagai manusia?
Quote from: Indra on 27 August 2013, 07:10:16 PM
perdebatan tidak mungkin dilakukan sendirian, jadi jika anda mengatakan bahwa perdebatan ini adalah onani, maka bukankah anda juga sedang beronani? sayang sekali anda tidak mampu memberikan argumen yg cerdas selain hanya meratapi keterbatasan anda.
Sayang sekali anda tidak memahami apa yg gw maksudkan dengan istilah si belut yg sering anda sebut dan dulu bersparring partner dengan anda di dc. Belakangan sering post soal burma dan menghilang setelah bom meledak di ekayana. Itulah yg gw maksud dengan memuaskan dirinya sendiri (onan1) dengan posting2nya sendiri. Semoga kali ini anda mampu memahami yg gw maksud.
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2013, 08:46:30 AM
Bedanya, dalam paham ada jeda, kelahiran manusia menjadi manusia kembali bisa terjadi sesaat atau beberapa lama setelah kematian. Sedangkan, yang sangat menarik, paham tanpa jeda hanya dimungkinkan oleh kondisi: waktu kematian di makhluk 'asal' harus persis waktu waktu ejakulasi ayah makhluk 'tujuan', tidak boleh kurang atau lebih sebab tidak ada jeda sama sekali.
Bukan waktu ejakulasi, melainkan waktu pertemuan ovum dan sperma (pembuahan). Sperma yg telah diejakulasikan memerlukan waktu hingga 24 jam bahkan lebih untuk bisa mencapai lokasi ovum berada.
Selain itu masih ada yg belum jelas: Apakah waktu pembuahan terjadi (1 sel membelah jadi 2, dari 2 menjadi 4, dst) dapat dikatakan sudah menjadi makhluk hidup yg baru? Gw belum menemukan referensi yg tegas-jelas di Tipitaka soal ini.
Quote
Bhava ada sebelum jati itu asalnya memang cuma kalimat umum di sutta/vinaya, seperti di Mahanidanasutta (DN 15).
Yah, makanya untuk hal2 yg teknis dan detail kembalinya ke teori Abhidhamma lagi atau jadi clueless.
Quote from: Rico Tsiau on 28 August 2013, 09:48:45 AM
mungkin ini mengambarkan kata2 sulit sekali bisa terlahir sebagai manusia?
Bukan. Sulit terlahir sebagai manusia dikatakan dalam konteks sekali manusia tidak memiliki pandangan benar dan moralitas, maka ia akan jatuh ke alam rendah, tidak ada kesempatan memahami kebenaran, mengubah pandangannya. Jika ke alam peta atau niraya, waktunya sangat-sangat lama, dan seandainya terlahir di alam manusia, ia terlahir penuh penderitaan, penuh hambatan, yang arahnya lagi-lagi condong pada pandangan salah dan tak bermoral, akhirnya setelah kematian, muncul lagi di alam menderita. (Selengkapnya bisa dibaca di Balapanditasutta, MN 129.)
Quote from: sanjiva on 28 August 2013, 10:08:56 AM
Bukan waktu ejakulasi, melainkan waktu pertemuan ovum dan sperma (pembuahan). Sperma yg telah diejakulasikan memerlukan waktu hingga 24 jam bahkan lebih untuk bisa mencapai lokasi ovum berada.
Iya, berarti tetap pertemuan sperma pertama dengan ovum itu harus tepat saat kematian makhluk 'asal'.
QuoteSelain itu masih ada yg belum jelas: Apakah waktu pembuahan terjadi (1 sel membelah jadi 2, dari 2 menjadi 4, dst) dapat dikatakan sudah menjadi makhluk hidup yg baru? Gw belum menemukan referensi yg tegas-jelas di Tipitaka soal ini.
Soal ini sepertinya ada disinggung dalam Visuddhimagga, dan menimbulkan permasalah lain jika ditinjau dari medis juga.
QuoteYah, makanya untuk hal2 yg teknis dan detail kembalinya ke teori Abhidhamma lagi atau jadi clueless.
Betul, lewat komentar, karya sastra belakangan dan literatur lain yang relevan, akan lebih terperinci tafsirannya, dan lebih mudah diketahui kebenarannya. Contoh misalnya dari topik sebelah (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24061.0.html), tentang kosmologi buddhis menurut sutta masih 'mengambang', tapi interpretasi terperinci dalam visuddhimagga, komentar, dan abhidharma yang memodelkan kosmologi bumi datar secara detail, jadi bisa dipastikan keliru menurut sains.
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2013, 11:16:33 AM
Bukan. Sulit terlahir sebagai manusia dikatakan dalam konteks sekali manusia tidak memiliki pandangan benar dan moralitas, maka ia akan jatuh ke alam rendah, tidak ada kesempatan memahami kebenaran, mengubah pandangannya. Jika ke alam peta atau niraya, waktunya sangat-sangat lama, dan seandainya terlahir di alam manusia, ia terlahir penuh penderitaan, penuh hambatan, yang arahnya lagi-lagi condong pada pandangan salah dan tak bermoral, akhirnya setelah kematian, muncul lagi di alam menderita. (Selengkapnya bisa dibaca di Balapanditasutta, MN 129.)
oh begitu ya, tq atas masukannya.
QuoteIya, berarti tetap pertemuan sperma pertama dengan ovum itu harus tepat saat kematian makhluk 'asal'.
saya pernah baca bahwa karma ikut berperan disini, jadi apakah karena matangnya karma si mahkluk makanya pertemuan sperma dan sel telur memungkinkan terjadi, atau sebaliknya pertemuan sperma dan sel telur mengkondisikan matangnya karma si makhluk?
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2013, 11:16:33 AM
Iya, berarti tetap pertemuan sperma pertama dengan ovum itu harus tepat saat kematian makhluk 'asal'.
Tapi rentang waktunya kan jadi lebih panjang. Bukan saat ejakulasi yg cuma beberapa detik, melainkan bisa sampai dua hari tergantung cepat lambatnya perjalanan sperma ketemu ovum. Lumayanlah kalo mau nunggu ada makhluk yg mati dalam 2 hari buat melanjutkan hidup baru ke situ. Lagian gak harus lahir jadi manusia / binatang bersperma lagi kan? Yang paling cepat dan selalu ada slot kosong available setiap saat yah jadi peta ataupun makhluk lainnya yg terlahir spontan. Nanti mereka mati dari sana baru lahir lagi sebagai manusia saat sudah ada sperma-ovum bertemu. Jadi waktunya lebih fleksibel dan santai, ga usah buru2 mati karena lagi ada yg ejakulasi. :hammer:
Quote
Soal ini sepertinya ada disinggung dalam Visuddhimagga, dan menimbulkan permasalah lain jika ditinjau dari medis juga.
Visuddhi Magga digolongkan di luar Tipitaka, jadi tetap tidak ada dasar literatur buddha 'aseli' yg mampu menjelaskan persoalan ini. Sementara agama lain misalnya kr1sten & 1slam dapat menjawab sesuai kitab suci mereka, misalnya dalam kontroversi masalah aborsi.
Quote
Betul, lewat komentar, karya sastra belakangan dan literatur lain yang relevan, akan lebih terperinci tafsirannya, dan lebih mudah diketahui kebenarannya. Contoh misalnya dari topik sebelah (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24061.0.html), tentang kosmologi buddhis menurut sutta masih 'mengambang', tapi interpretasi terperinci dalam visuddhimagga, komentar, dan abhidharma yang memodelkan kosmologi bumi datar secara detail, jadi bisa dipastikan keliru menurut sains.
Wah ternyata Abhidha
rma-nya Mahayana sudah bisa dipastikan keliru secara sains ::)
Syukurlah, #:-S untung bukan Abhidha
mma-nya Theravada :whistle:
Bahkan sutta sahih seperti Mahaparinibbana Sutta pun tak luput dari kekeliruan secara sains :
Quote from: Kainyn_Kutho on 13 July 2013, 09:08:21 AM
Menariknya, belakangan saya ada baca-baca tentang kosmologi Hindu (yang juga dipakai dalam kosmologi Buddhis) bahwa memang dianggap udara menopang air, lalu atas air ada daratan. Dalam kosmologi Buddhis, Gunung Mahameru dianggap sebagai pusat dunia, yang kemudian di kelilingi oleh pegunungan Himava (Himalaya) dan di bawahnya ada empat benua di setiap arah mata angin yang berbatasan dengan samudra. Di ujung samudra ada 'tembok' yang menahan airnya (disebut cakkavalasila). Ini jelas bahwa penggambaran bumi adalah datar melingkar (maka disebut cakkavala/pegunungan melingkar), dan memang dianggap daratan berada di atas air, dan kemudian air berada di atas udara.
Maka dengan demikian saya update pendapat saya bahwa sutta ini jelas tidak sesuai sains.
barusan tau ada perdebatan sengit di sini... numpang baca ;D
Quote from: adi lim on 28 August 2013, 06:10:23 AM
anda theravadin juga ya ??? ,
dan sangat disayangkan, sifat dendam yang anda miliki telah 'membutakan' anda
kasian deh ^-^
Mang kenapa dengan Theravada? selama itu baik gpp koq, Mahayana bagaimana?apakah semua baik?saya nggak pernah dendam sama siapapun, theravada, Mahayana, tantrayana apalah artinya kalau anda sdh mengkotak2an pikiran anda berarti sudut pandang anda hanya dikalangan itu2 aja, sayang sekali anda berpandangan sempit, sebenarnya Theravada lebih kearah praktek Dhutangga"kesederhanaan"(kearah kesederhanaan bhikkhu hutan) yg lebih baik, tetapi memang ada beberapa jg sdh materialisme, sementara dimahayana glamourisme, sementara di tantra sendiri magisme, ;D
_/\_ maaf... salah atau tidak nih... kok saya melihat ada sesuatu yg meruncing ya.. :)
Quote from: ming_l16ht on 28 August 2013, 01:51:55 PM
_/\_ maaf... salah atau tidak nih... kok saya melihat ada sesuatu yg meruncing ya.. :)
Emangnya pensil pake runcing2 mas bro ;D
Quote from: shinchan on 28 August 2013, 01:58:17 PM
Emangnya pensil pake runcing2 mas bro ;D
hehehehe.... ;D
keliling2 liat pembahasan disini. awalnya sih gak masalah, tapi lama2 kok sampai bawa2 aliran.. :)
Quote from: Rico Tsiau on 28 August 2013, 11:28:03 AM
oh begitu ya, tq atas masukannya.
Sama2.
Quotesaya pernah baca bahwa karma ikut berperan disini, jadi apakah karena matangnya karma si mahkluk makanya pertemuan sperma dan sel telur memungkinkan terjadi, atau sebaliknya pertemuan sperma dan sel telur mengkondisikan matangnya karma si makhluk?
Pertemuan sperma dan telur itu proses biologis, saya pikir tidak menyebabkan kematian makhluk lain. Secara teori, kamma berperan dalam "masuknya" kesadaran pada saat ada pertemuan sperma dengan telur.
-------
Quote from: sanjiva on 28 August 2013, 12:02:34 PM
Tapi rentang waktunya kan jadi lebih panjang. Bukan saat ejakulasi yg cuma beberapa detik, melainkan bisa sampai dua hari tergantung cepat lambatnya perjalanan sperma ketemu ovum. Lumayanlah kalo mau nunggu ada makhluk yg mati dalam 2 hari buat melanjutkan hidup baru ke situ. Lagian gak harus lahir jadi manusia / binatang bersperma lagi kan?
Sama saja. Intinya pada saat sperma bertemu telur, pada saat itulah harus mati. Kalau terlalu cepat, sperma belum sampai, kalau telat juga tidak jadi.
QuoteYang paling cepat dan selalu ada slot kosong available setiap saat yah jadi peta ataupun makhluk lainnya yg terlahir spontan. Nanti mereka mati dari sana baru lahir lagi sebagai manusia saat sudah ada sperma-ovum bertemu.
Jadi waktunya lebih fleksibel dan santai, ga usah buru2 mati karena lagi ada yg ejakulasi. :hammer:
Sama saja. Dari peta jadi manusia/hewan, tetap harus pas saat pembuahan = saat kematian dari makhluk 'asal' tersebut (apakah manusia, peta, binatang, dsb).
Yang jadi perbedaan adalah kalau dalam prinsip 'ada jeda', maka bisa ada 'antrian' yang siap masuk ketika ada pembuahan, sedangkan kalau 'tanpa jeda', saat pembuahan harus persis dengan saat kematian.
Fakta ini memang tidak kontradiktif, hanya saya lihat menarik saja kalau dipikir, secara statistik sangat kecil kemungkinannya.
QuoteVisuddhi Magga digolongkan di luar Tipitaka, jadi tetap tidak ada dasar literatur buddha 'aseli' yg mampu menjelaskan persoalan ini. Sementara agama lain misalnya kr1sten & 1slam dapat menjawab sesuai kitab suci mereka, misalnya dalam kontroversi masalah aborsi.
Jawaban definitif dogmatis walaupun bisa dijawab dengan lantang, tidak artinya kalau tidak benar.
QuoteWah ternyata Abhidharma-nya Mahayana sudah bisa dipastikan keliru secara sains ::)
Syukurlah, #:-S untung bukan Abhidhamma-nya Theravada :whistle:
Bahkan sutta sahih seperti Mahaparinibbana Sutta pun tak luput dari kekeliruan secara sains :
Iya, karena abhidhamma Theravada tidak ada isi yang bisa diproses, hanya kumpulan data untuk disusun sendiri. Jadi kalau Abhidharma ibaratnya kue yang bisa dicicipi enak atau tidak, Abhidhamma Theravada seperti tepung yang tidak bisa dimakan. "Kue" dari Abhidhamma Theravada contohnya yah visuddhimagga itu, dengan diameter bulan dan matahari yang mencengangkan.
Dan benar, sutta ataupun vinaya dinyatakan otoritas secara historis, namun bukan berarti isinya pasti benar, di samping diakui juga bisa ada kekeliruan preservasinya selama ribuan tahun sampai sekarang. Maka sebagai buddhis yang belajar, sudah sepantasnya kita meneliti, selain isi dan maknanya, juga latar belakang sejarahnya.
Quote from: ming_l16ht on 28 August 2013, 02:00:49 PM
hehehehe.... ;D
keliling2 liat pembahasan disini. awalnya sih gak masalah, tapi lama2 kok sampai bawa2 aliran.. :)
Suka atau tidak, memang faktanya buddhisme memiliki aliran yang sangat banyak dengan doktrinnya masing-masing yang berbeda-beda. Di sini idealnya kita membahas apa adanya tanpa perlu bersikap sentimentil terhadap satu aliran. Dengan begitu bisa objektif menerima kalau aliran yang dianut bisa salah dan aliran lain juga mungkin benar.
Quote from: ming_l16ht on 28 August 2013, 02:00:49 PM
hehehehe.... ;D
keliling2 liat pembahasan disini. awalnya sih gak masalah, tapi lama2 kok sampai bawa2 aliran.. :)
gpp om ming, udh lama kita2 nggak tempur :)) , tapi kakao bingung mau mihak yang mana :P kakao lahir dilingkungan Tridharma, sejak kecil ikut tridharma ;D , kebaktian ikut Theravada ;D , sekarang gede kerja ada hubungan dg Mahayana ;D
bingung, mao ikut2an yang mana, tetep benjut kepala :)) :)) :)) ...
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 August 2013, 02:12:00 PM
Sama2.
Pertemuan sperma dan telur itu proses biologis, saya pikir tidak menyebabkan kematian makhluk lain. Secara teori, kamma berperan dalam "masuknya" kesadaran pada saat ada pertemuan sperma dengan telur.
-------
Sama saja. Intinya pada saat sperma bertemu telur, pada saat itulah harus mati. Kalau terlalu cepat, sperma belum sampai, kalau telat juga tidak jadi.
6. "Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: 'Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibunya.' Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.
7. "Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: 'Ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibunya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya – cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana. Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: "Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!" Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa.' Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.
Itu kutipan dari mn 123....
Dari sana kurasa ga ada jeda antara meninggal di alam tusita dan masuk kerahim...krn bukan suatu "perjalanan" fisik..dari surga tusina ..trus jalan ke alam manusia..baru kemudian masuk ke rahim....tp berupa pikiran.
Kemudian muncul juga pertanyaan..jika memang saat sperma bertemu ovum... maka langsung ada mahluk yg terkandung....berarti...gempa bumi itu terjadi pada saat malam melakukan hub seks? ( soalnya aku berpikir ada kemungkinan..terjadi pembuahan..tunggu sampe kondisi embrionya cocok...baru ada mahluk yg menempati embrio tsb)
Quote from: The Ronald on 06 September 2013, 06:44:50 PM
Kemudian muncul juga pertanyaan..jika memang saat sperma bertemu ovum... maka langsung ada mahluk yg terkandung....berarti...gempa bumi itu terjadi pada saat malam melakukan hub seks? ( soalnya aku berpikir ada kemungkinan..terjadi pembuahan..tunggu sampe kondisi embrionya cocok...baru ada mahluk yg menempati embrio tsb)
Just info: menurut teks komentar dalam tradisi Theravada, pembuahan Bodhisatta dalam rahim ibunya tidak terjadi melalui hubungan seks karena ibu Bodhisatta sedang menjalankan Uposatha sila saat akan mengandung Bodhisatta. Demikian juga Mahavastu, teks Lokottaravada (subaliran dari Mahasanghika) yang merupakan campuran sutta dan komentar, menyatakan demikian....
Quote from: ariyakumara on 06 September 2013, 07:27:20 PM
Just info: menurut teks komentar dalam tradisi Theravada, pembuahan Bodhisatta dalam rahim ibunya tidak terjadi melalui hubungan seks karena ibu Bodhisatta sedang menjalankan Uposatha sila saat akan mengandung Bodhisatta. Demikian juga Mahavastu, teks Lokottaravada (subaliran dari Mahasanghika) yang merupakan campuran sutta dan komentar, menyatakan demikian....
Sayangnya diskusi scholar di DC tidak 'mengakui' kitab komentar, thus mentah kembali bahwa tidak menjadi embrio dari hubungan sex dan pertemuan ovum dan sperma. :-?
Juga apakah begitu terjadi pembuahan begitu bisa dikatakan sudah lahir kembali di sana? Bisa saja pada usia beberapa bulan kandungan baru ada makhluk yg 'lahir kembali' di sana dari kematian yg sebelumnya. ::)
Quote from: sanjiva on 06 September 2013, 09:14:23 PM
Sayangnya diskusi scholar di DC tidak 'mengakui' kitab komentar, thus mentah kembali bahwa tidak menjadi embrio dari hubungan sex dan pertemuan ovum dan sperma. :-?
Yups. Ternyata di DN 14 Mahapadana Sutta dikatakan:
1.18. 'Adalah peraturan bahwa
sejak seorang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, ibunya akan, secara alami menjadi lebih berbudi, menghindari pembunuhan, dari mengambil apa yang tidak diberikan, dari melakukan hubungan seksual [13] yang salah, dari berbohong, atau dari meminum minuman keras dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran. Ini adalah peraturan.'
Cuma nambah masalah kayaknya ;D
Quote from: ariyakumara on 06 September 2013, 10:24:16 PM
Yups. Ternyata di DN 14 Mahapadana Sutta dikatakan:
1.18. 'Adalah peraturan bahwa sejak seorang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, ibunya akan, secara alami menjadi lebih berbudi, menghindari pembunuhan, dari mengambil apa yang tidak diberikan, dari melakukan hubungan seksual [13] yang salah, dari berbohong, atau dari meminum minuman keras dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran. Ini adalah peraturan.'
Cuma nambah masalah kayaknya ;D
paragraf ini mengatakan bahwa setelah Sang Ibu mengandung Sang Bodhisatta, maka ia otomatis memiliki moralitas yang sempurna sebagai seorang umat awam. saya tidak menangkap ada makna lain selain hal ini. kalau dihubungkan dengan antarabhava masih lebih releven yg di MN 123
Quote from: ariyakumara on 06 September 2013, 07:27:20 PM
Just info: menurut teks komentar dalam tradisi Theravada, pembuahan Bodhisatta dalam rahim ibunya tidak terjadi melalui hubungan seks karena ibu Bodhisatta sedang menjalankan Uposatha sila saat akan mengandung Bodhisatta. Demikian juga Mahavastu, teks Lokottaravada (subaliran dari Mahasanghika) yang merupakan campuran sutta dan komentar, menyatakan demikian....
Demikian juga, lalitavistara sutra dari mahayana mengatakan bahwa Mayadevi sedang melakukan uposatha sila. Sehingga tidak ada hubungan seks pada saat Bodhisattva turun ke rahim. Ketika sedang uposatha sila itu Mayadevi kemudian bermimpi gajah putih memasuki perutnya.
Versi lalitavistara sutra lebih gemerlap lagi deh. Bodhisattva turun ke rahim dengan membawa serta kutagara. Kutagara itu bisa dibayangkan semacam kapsul 4 dimensi, dalemnya istana dan tahta beliau. Jadi di dalam rahim itu berubah jadi istana suci.
anyway, udah habis bahan kayaknya ya buat ngomongin antarabhava?
Quote from: Indra on 06 September 2013, 11:13:52 PM
paragraf ini mengatakan bahwa setelah Sang Ibu mengandung Sang Bodhisatta, maka ia otomatis memiliki moralitas yang sempurna sebagai seorang umat awam. saya tidak menangkap ada makna lain selain hal ini. kalau dihubungkan dengan antarabhava masih lebih releven yg di MN 123
Benar, itu cuma untuk menunjukkan bahwa spt komentar bro Sanjiva, setidaknya menurut sutta, moralitas yang sempurna seorang ibu Bodhisatta otomatis terjadi setelah pembuahan Bodhisatta. Jadi pembuahan Bodhisatta kemungkinan besar terjadi melalui hubungan seks orang tuanya, tidak seperti komentar yang menyatakan sebaliknya. Jadi, hanya menambah panjang masalah "ketidakcocokan" sutta vs komentar ;D
Quote from: xenocross on 06 September 2013, 11:47:18 PM
Demikian juga, lalitavistara sutra dari mahayana mengatakan bahwa Mayadevi sedang melakukan uposatha sila. Sehingga tidak ada hubungan seks pada saat Bodhisattva turun ke rahim. Ketika sedang uposatha sila itu Mayadevi kemudian bermimpi gajah putih memasuki perutnya.
Versi lalitavistara sutra lebih gemerlap lagi deh. Bodhisattva turun ke rahim dengan membawa serta kutagara. Kutagara itu bisa dibayangkan semacam kapsul 4 dimensi, dalemnya istana dan tahta beliau. Jadi di dalam rahim itu berubah jadi istana suci.
anyway, udah habis bahan kayaknya ya buat ngomongin antarabhava?
Yups, setidaknya saya masih belum menemukan kesimpulan baru dari diskusi ini selain dari post saya sebelumnya:
Quote from: ariyakumara on 27 July 2013, 02:40:53 PM
Jadi, sekarang kita sementara memiliki 3 kesimpulan:
1. Tidak ada antarabhava (pandangan Theravada)
2. Ada antarabhava, yaitu keadaan sebelum kematian dan belum terlahir kembali, jadi belum benar-benar mati secara Buddhis walaupun sudah dinyatakan mati secara medis (pendapat sdr. Kelana)
3. Ada antarabhava, yaitu keadaan setelah kematian dan sebelum terlahir kembali (pandangan Abhidharma aliran non-Theravada seperti yang dijelaskan sdr. KK)
Walaupun sutta-sutta awal menyiratkan ada antarabhava, tetapi tidak ada sutta yang secara detail menjelaskan proses kematian dan kelahiran kembali sehingga ini masih grey area kalo hanya mau merujuk pada sutta-sutta awal saja. Kalo mau mengacu pada teks-teks komentar dan Abhidhamma/Abhidharma ataupun teks-teks sutra Mahayana, maka terbentur masalah validitas teks-teks tsb. Akhirnya diskusi menjadi melebar ke topik-topik yang sudah sering didiskusikan di DC ini.
Saya hanya bisa menyampaikan kesimpulan Bhikkhu Sujato tentang keadaan antara ini walaupun tidak terlepas dari pandangan pribadi beliau juga:
Tampaknya bagi saya terdapat sesuatu yang lebih dalam yang dapat kita pelajari dari merenungkan tentang keadan antara. Perubahan adalah traumatis, dan kita membutuhkan suatu periode untuk penyesuaian. Perumpamaan yang diberikan Sang Buddha – berkelana dari rumah ke rumah, atau melayang bagaikan percikan api di udara – menangkap suatu perasaan kesendirian dan tidak menentu di alam semesta ini. Makhluk yang telah meninggalkan badan mereka dihempaskan ke dalam sesuatu yang tidak diketahui, di mana semua ketakutan dan harapan mereka dapat disadari. Perbuatan, pengalaman, keinginan, dan kebiasaan-kebiasaan dari kehidupan ini dan masa lampau membuat kesan pada arus kesadaran: kita mengetahui hal ini, kita merasakannya tiap waktu. Hal-hal demikian memakan waktu untuk dicerna diri sendiri dan mengkristal dalam suatu pola baru. Kita tidak memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan dengan sekejap. Masa kebingungan, yang telah meninggalkan satu hal dan belum mencapai hal yang lain, memberikan ruang bagi kesadaran untuk menyatukan pelajaran dari masa lampau dan mengarahkan dirinya sendiri ke masa depan.Terlepas dari semua yang telah kita katakan untuk mendukung keadaan "antara", saya masih akan membuat suatu keberatan penting. Gagasan "keadaan" menyatakan suatu modus keberadaan, tetapi sebaliknya, apa yang kita lihat menyatakan ketiadaan suatu keberadaan. Keadaan antara bukan suatu alam tersendiri yang entah bagaimana berdiri di ruang kosong di antara alam-alam lain. Kita mungkin membayangkan demikian, tetapi ini hanya sebuah perumpamaan untuk membantu kita memandang pengalaman ini secara masuk akal. Referensi-referensi tentang "keadaan antara" tidak berfokus pada keberadaan objektif atau kosmologis dari alam yang demikian, dan sejauh ini saya pikir keberatan Kathāvatthu atas keadaan antara dapat dibenarkan. Agaknya bacaan-bacaan itu berfokus pada pengalaman suatu individu tentang apa yang terjadi setelah kematian, tetapi sebelum kehidupan selanjutnya. Ini adalah suatu proses perubahan, pencarian, keinginan untuk menjadi ada. Untuk mengatakan ini sebagai "keadaan antara" sejujurnya adalah suatu aktualisasi dari konsep ini, yang telah melebarkan pernyataan sebenarnya dari mana istilah itu diturunkan. Namun demikian, mungkin tidak dapat disangkal bahwa kita tetap memakai istilah ini, yang akan baik-baik saja sepanjang kita mengingat bahwa ini hanya suatu cara yang sesuai untuk menyamaratakan tentang pengalaman individual, bukan suatu alam atau tempat kehidupan tertentu.
Quote from: ariyakumara on 07 September 2013, 07:25:11 AM
Walaupun sutta-sutta awal menyiratkan ada antarabhava, tetapi tidak ada sutta yang secara detail menjelaskan proses kematian dan kelahiran kembali sehingga ini masih grey area kalo hanya mau merujuk pada sutta-sutta awal saja. Kalo mau mengacu pada teks-teks komentar dan Abhidhamma/Abhidharma ataupun teks-teks sutra Mahayana, maka terbentur masalah validitas teks-teks tsb. Akhirnya diskusi menjadi melebar ke topik-topik yang sudah sering didiskusikan di DC ini.
ada kok teks awal yang secara eksplisit mengatakan ada antarabhava, yaitu pada kasus anagami, coba search "antaraparinibbayi"
Quote from: Indra on 07 September 2013, 09:17:22 AM
ada kok teks awal yang secara eksplisit mengatakan ada antarabhava, yaitu pada kasus anagami, coba search "antaraparinibbayi"
Yang ini kan: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451827.html#msg451827 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451827.html#msg451827)
IMO, itu termasuk tersirat juga karena tradisi Theravada tidak menganggapnya sebagai mencapai Parinibbana dalam keadaan antara. Kalimatnya sendiri hanya menyatakan "pada masa antara" (masa antara apa? masa antara usia ... dan ... [interpretasi komentar], masa antara kelahiran dan kematian [antarabhava], dst), jadi masih secara tersirat.
keknya..itu saat2 belum beneran mati... detik2 terakhir..muncul pengetahuan... dan mancapai nibanna
Quote from: xenocross on 24 July 2013, 12:01:34 PM
sehubungan dengan antaraparinibayyi
menariknya, di Tibetan book of the dead, juga dikatakan bahwa pencerahan bisa dialami di bardo.
Jika seseorang mampu melihat bahwa dia sudah mati, dia melihat cahaya sebagai proyeksi pikirannya sendiri, dia melihat ilusi sebagai ilusi, sepenuhnya sadar. Dia bisa "menyatu dengan tubuh Buddha dan pergi ke alam Buddha" alias pencerahan. Tapi rasanya gak mungkin orang biasa bisa, ini hanya untuk mereka yang selama hidupnya praktek.
Kalaupun gak tembus pencerahan, para praktisi tingkat tinggi mampu memilih kelahiran kembali selanjutnya. Mereka bisa memilih lahir di alam tinggi atau memilih alam manusia. Mereka bisa mencari keluarga yg tepat untuk kelahiran berikutnya. Contoh populernya adalah para tulku yg adalah kelahiran kembali dari Lama - Lama di tibet.
Tapi biasanya, makhluk biasa akan takut dan panik saat mati. Mereka melihat ilusi seperti kenyataan. Mereka "tidak sadar" selama proses itu.
Trus katanya akan ada beberapa cahaya. Cahaya yg menuju alam Buddha justru kelihatan paling menakutkan untuk makhluk yg belum tercerahkan. Cahaya yg menuju alam kelahiran akan terlihat nyaman, menarik, dll. Itu karena batin dipengaruhi kilesa. Dan karena batin dalam kondisi bingung, panik, batin akan mencari tempat bersembunyi di tempat yg kelihatannya nyaman itu, dan masuklah ke salah satu alam kelahiran.
btw, definisi kematian menurut mahayana
aku gak ada sumbernya, tapi menurut pemahamanku (yg entah dari baca atau denger)
kalau batin sudah melebur dengan sempurna menjadi kesadaran paling halus dan berpisah dengan tubuh. Ini juga biasanya dibarengi dengan meleburnya 4 unsur dalam tubuh.
Contoh paling nyata, menurut tradisi tibet, jika seorang praktisi dharma meninggal, tubuhnya dibiarkan dulu selama beberapa hari. Sampai ada tanda bahwa pikirannya sudah meninggalkan tubuh. Misalnya kalau mati dalam posisi duduk bersila, tubuh sang guru akan tegak selama beberapa hari, lalu tiba2 kepalanya menunduk. Itu tandanya pikiran sudah pergi. Atau ada setetes cairan merah keluar dari kepala.
Selama pikiran masih belum keluar dari tubuh, pikiran itu masih berproses dalam melebur dan akan mengalami banyak sensasi. Ini adalah masa paling kritis untuk praktisi tantra karena mereka akan berusaha mengenali sensasi itu dan menentukan kelahiran berikutnya.
Kalau selama periode ini tubuh diganggu, ya kemungkinan akan menggagalkan usaha
Dan yg bukan praktisi juga, ya kalau diganggu mungkin akan masuk alam rendah? Makanya banyak tradisi negara buddhis melarang kita menyentuh tubuh seseorang yg meninggal selama beberapa hari.
Termasuk kremasi juga, dilakukan setelah beberapa hari. Bayangkan kalau pikiran lagi melebur dan belum meninggalkan tubuh sepenuhnya, tiba-tiba dikremasi. Ada satu buku petunjuk kematian versi Buddhisme Tiongkok yang mengatakan "Jangan membakar tubuh almarhum dengan segera, karena kesadarannya mungkin masih disitu dan kalau dibakar maka dia akan merasakan panas terbakar". Saya rasa "merasakan dibakar" mungkin terlalu berlebihan tapi kalau pikiran belum lepas sepenuhnya dari tubuh pasti ada suatu penderitaan disana
tertarik buat koment yg ini.. Ingat ya.. Yg disutta itu.. Semuanya udah anagami semasa masih hidup.. Klo di mahayana..tampaknya bahkan tidak mencapai kesucian apa pun. 6 di atas..ttg bagaimana anagami.. Menjadi Arahat, 1 terakhir yah..tetap anagami saat kematiaannya.
Quote from: ariyakumara on 07 September 2013, 11:27:56 AM
Yang ini kan: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451827.html#msg451827 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg451827.html#msg451827)
IMO, itu termasuk tersirat juga karena tradisi Theravada tidak menganggapnya sebagai mencapai Parinibbana dalam keadaan antara. Kalimatnya sendiri hanya menyatakan "pada masa antara" (masa antara apa? masa antara usia ... dan ... [interpretasi komentar], masa antara kelahiran dan kematian [antarabhava], dst), jadi masih secara tersirat.
perhatikan perumpamaan yg diberikan, jika tidak ada antarabhava, lalu apa yg membedakan percikan api yg padam ketika masih di udara dan percikan api yg padam ketika mendarat di tanah?
Menurutku bedanya ttg moment2 pikiran saat kematian.. Adakah di sutta lebih detail membahas moment2 pikiran yg terjadi saat seseorg mati?
Quote from: The Ronald on 07 September 2013, 07:41:44 PM
Menurutku bedanya ttg moment2 pikiran saat kematian.. Adakah di sutta lebih detail membahas moment2 pikiran yg terjadi saat seseorg mati?
momen pikiran adalah produk abhidhamma, yg ada milyaran selama sedetik. dari sutta gue gak ingat pernah baca Sang Buddha menjelaskan soal momen2 pikiran saat kematian.
Quote from: Indra on 07 September 2013, 08:44:41 PM
momen pikiran adalah produk abhidhamma, yg ada milyaran selama sedetik. dari sutta gue gak ingat pernah baca Sang Buddha menjelaskan soal momen2 pikiran saat kematian.
bro Indra memang jeli & bijak
Quote from: Indra on 07 September 2013, 07:24:37 PM
perhatikan perumpamaan yg diberikan, jika tidak ada antarabhava, lalu apa yg membedakan percikan api yg padam ketika masih di udara dan percikan api yg padam ketika mendarat di tanah?
Perumpamaan tsb pun bisa diinterpretasikan bermacam-macam. Kalo menurut komentar yang menolak antarabhava, itu menyatakan perbedaan seorang Anagami yang mencapai Parinibbana ketika masa pertengahan kehidupannya belum habis dan sudah habis di alam Suddhavasa:
QuoteSince the Puggalapaññatti says that the antarāparinibbāyī anāgāmin is of apparitional (opapātika) birth, he cannot be an antarābhava being according to the view of antarābhava that is refuted in the Kathāvatthu. Apparitionally-born beings comprise the denizens of hell, petas, asuras, devas and Brahmās. Being an Ariyan the antarāparinibbāyī cannot be reborn in the lower realms; being free of the five lower fetters he cannot be reborn as a deva in the sensual sphere; so that leaves only rebirth as a Brahmā deity. It is therefore no surprise that the Theravāda holds that the antarāparinibbāyī will be reborn as a Brahmā deity in the Pure Abodes (Suddhāvāsa) and attain final nibbāna there. As for the antarā- part of his name, this is not taken as referring to the antarābhava but to the fact that he attains final nibbāna before he has completed half his life-span in the Suddhāvāsa. Buddhaghosa:
'antarāparinibbāyī' ti yattha katthaci suddhāvāsabhave upapajjitvā āyuvemajjhaṃ appatvāva parinibbāyati
"Herein, an antarāparinibbāyī ("one who attains nibbāna early in his next existence") attains nibbāna after reappearing anywhere in a Pure Abode existence but without having reached the middle of his life-span there."
Of course you are not obliged to accept this, but you should at least acknowledge that sutta texts offer scarcely a clue as to the meaning of the five kinds of non-returner, while commentarial texts from the different Indian schools tend to just report the received opinion of the school in question but offer no grounds for why that opinion should be preferred over the others.
http://www.abhidhamma.org/forums/index.php?showtopic=148&mode=threaded&pid=708
Repost paragraf penting ini:
Of course you are not obliged to accept this, but you should at least acknowledge that sutta texts offer scarcely a clue as to the meaning of the five kinds of non-returner, while commentarial texts from the different Indian schools tend to just report the received opinion of the school in question but offer no grounds for why that opinion should be preferred over the others.
Klo gitu adakah sutta..yg menjelaskan .bagaimana seseorg dpt "terlahir" atau "muncul" atau berada .. Di alam antara tsb, berapa usia mahluk2 di alam tersebut? Kondisi apa yg di alami oleh mahluk2 di alam tsb? Termasuk alam kelahiran rendah atau tidak?
SN 45:3 menjelaskan hal ini dengan lebih eksplisit dengan kalimat "Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau pada saat kematiannya, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah ia akan menjadi seorang pencapai Nibbàna dalam masa interval."
baca juga catatan kakinya
aku masih melihatnya sebagai moment pikiran org yg akan mati... selain sutta itu adakah sutta lain yg menjelaskan hal yg aku tanyakan di atas?
Kurasa .. Sebaiknya ada point2 jelas.. Apa itu yg disebut kelahiran kembali, suatu mahluk dinyatakan telah terlahir kembali atas dasar apa? Setauku ada 3 jenis penjelmaan yaitu penjelmaan di alam indria, alam bentuk, alam tampa bentuk. Nah.. Apakah cocok klo disebut alam antara atau alam bardo.. Tp blm mengalami kelahiran kembali.. Yg membedakannya apa? Semisal di alam indria.. Ada punya indria, punya tubuh.., apakah di alam bardo..blm terbentuk indria dan tubuh (ini contoh... Krn alam bardo yg dimaksud telah memiliki tubuh, juga memiliki indria) ,jd kriterianya apa? Klo definisi kelahiran dan kematian .. Salah satunya ada di SN di nidana samyutta
Quote from: The Ronald on 08 September 2013, 04:14:11 PM
aku masih melihatnya sebagai moment pikiran org yg akan mati... selain sutta itu adakah sutta lain yg menjelaskan hal yg aku tanyakan di atas?
Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau pada saat kematiannya, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah ia akan menjadi seorang pencapai Nibbàna dalam masa interval."
[/]
Sebenarnya kalimat di atas sudah cukup jelas, bahwa jika tidak mencapai pengetahuan akhir (arahat) dalam kehidupan ini atau pada saat kematian, maka alternatif yg tersisa hanyalah "setelah" kematian, artinya "sudah matek", bagaimana caranya bisa diartikan sebagai momen pikiran orang yang akan mati? tapi kalau tetap menggenggam makna demikian, ya saya pikir end of discussion.
Quote from: The Ronald on 06 September 2013, 06:44:50 PM
6. "Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: 'Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibunya.' Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.
7. "Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: 'Ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibunya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya – cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana. Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: "Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!" Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa.' Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.
Itu kutipan dari mn 123....
Dari sana kurasa ga ada jeda antara meninggal di alam tusita dan masuk kerahim...krn bukan suatu "perjalanan" fisik..dari surga tusina ..trus jalan ke alam manusia..baru kemudian masuk ke rahim....tp berupa pikiran.
Kalo soal fisik, itu memang jelas bukan. Tapi kalau dari Pali, memang diterjemahkan 'setelah meninggalkan tubuh Tusita, memasuki rahim ibu", jadi terlepas dari itu kesadaran, antarabhava, atau apapun juga, tetap ada momen di mana telah meninggal namun belum terlahir kembali.
QuoteKemudian muncul juga pertanyaan..jika memang saat sperma bertemu ovum... maka langsung ada mahluk yg terkandung....berarti...gempa bumi itu terjadi pada saat malam melakukan hub seks? ( soalnya aku berpikir ada kemungkinan..terjadi pembuahan..tunggu sampe kondisi embrionya cocok...baru ada mahluk yg menempati embrio tsb)
Ya, itu juga mirip topik yang saya singgung sebelumnya, kalau tidak ada antarabhava, berarti bodhisatta harus mampu melihat perjalanan sperma menuju ovum, lalu mati di saat tepat pembuahan. Bagaimanapun juga penjelasannya yang benar, menurut saya pribadi tidak penting karena tidak bisa dibuktikan juga. Apalagi dengan perkembangan sains, akhirnya interpretasi begini juga akan terus berubah ataupun dicocologi.
-------
Mengenai antaraparinibbayi, ini tidak menyinggung 'antarabhava' juga, ini hanyalah kondisi 'kedekatan' seseorang dengan pencerahan akhir pada saat kematian. Anagami dibagi menjadi 5, yang pertama inilah 'antaraparinibbayi' di mana waktu kematian ia belum menghilangkan noda, tapi begitu terlahir kembali, ia langsung mencapai Arahatta. Momen kematian sesaat itu yang menjadi jarak antara anagami & arahatta.
Empat berikutnya adalah yang 'memotong waktu', yaitu yang mencapai arahatta pada masa awal kehidupan, lalu ada 'tanpa pengerahan' dan 'dengan pengerahan', dan terakhir yang memang harus terlahir berkali-kali di Suddhavasa dan naik sampai tingkat Akanittha.
Quote from: ariyakumara on 08 September 2013, 08:07:40 AM
Perumpamaan tsb pun bisa diinterpretasikan bermacam-macam. Kalo menurut komentar yang menolak antarabhava, itu menyatakan perbedaan seorang Anagami yang mencapai Parinibbana ketika masa pertengahan kehidupannya belum habis dan sudah habis di alam Suddhavasa:
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 September 2013, 11:17:48 AM
Mengenai antaraparinibbayi, ini tidak menyinggung 'antarabhava' juga, ini hanyalah kondisi 'kedekatan' seseorang dengan pencerahan akhir pada saat kematian. Anagami dibagi menjadi 5, yang pertama inilah 'antaraparinibbayi' di mana waktu kematian ia belum menghilangkan noda, tapi begitu terlahir kembali, ia langsung mencapai Arahatta. Momen kematian sesaat itu yang menjadi jarak antara anagami & arahatta.
Empat berikutnya adalah yang 'memotong waktu', yaitu yang mencapai arahatta pada masa awal kehidupan, lalu ada 'tanpa pengerahan' dan 'dengan pengerahan', dan terakhir yang memang harus terlahir berkali-kali di Suddhavasa dan naik sampai tingkat Akanittha.
Gw setuju dengan pendapat di atas dan kitab komentar. Kalau ada senior DC yg mengembangkan teorinya sendiri (antarabhava) dari sutta tersebut, yg berbeda dari Theravada orthodox dan mainstream yah silahkan saja.
Toh sudah ada 'yurisprudensi' sebelumnya, contohnya seperti MMD yg dikembangkan seorang senior Terawada bersumber dari satu sutta yg ditafsirkan berbeda dengan penafsiran pada umumnya. :D
Senior DC tidak berkehendak untuk mengubah pandangan junior, maka jika junior DC memilih untuk lebih meyakini komentator daripada Sang Buddha, bahkan walaupun komentarnya bertentangan dengan ajaran Sang Buddha, yah silakan saja.
Bagaimana dengan SN 44.9 ini (mengutip dari Bhikkhu Sujato):
"Vaccha, Aku menyatakan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seseorang dengan bahan bakar [dengan kemelekatan],[24] bukan bagi seseorang tanpa bahan bakar [tanpa kemelekatan]. Vaccha, seperti halnya api yang membakar dengan bahan bakar, bukan tanpa bahan bakar, demikian juga, Vaccha, Aku menyatakan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seseorang dengan bahan bakar [dengan kemelekatan], bukan bagi seseorang tanpa bahan bakar [tanpa kemelekatan]."
"Tetapi, Guru Gotama, ketika suatu nyala api tertiup oleh angin dan telah berjalan jauh, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?"
"Vaccha, ketika suatu nyala api tertiup oleh angin dan telah berjalan jauh, Aku menyatakan bahwa ia diberi bahan bakar oleh udara. Karena, Vaccha, pada saat itu, udara adalah bahan bakarnya."
"Dan lebih jauh, Guru Gotama, ketika suatu makhluk telah meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?"
"Vaccha, ketika suatu makhluk meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, Ku-katakan ia diberi bahan bakar oleh keinginan.[25] Karena, Vaccha, pada saat itu, keinginan adalah bahan bakarnya."[26]
Namun lagi-lagi tradisi Theravada menolak ini menyatakan adanya antarabhava sesuai kutipan pernyataan Sam Peacemind melalui oma Shasika pada http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg452083.html#msg452083 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24398.msg452083.html#msg452083)
:
QuoteMenurut kitab komentar Tipitaka, pernyataan, "Ketika seseorang meletakkan tubuh ini|" artinya "Seseorang meletakkan cuticitta (pikiran terakhir sebelum terlahir lagi)", dan pertanyaan 'belum muncul ke tubuh lain" artinya, "bahwa pikiran cuticitta itu belum berlanjut ke patisandhicitta /pikiran pertama setelah dilahirkan".
Btw ini sumber lain dari sutta yg sama versi dc AN 7.55 ...yg menurut ku beda ( dgn kemampuan bahasa inggris seadanya)
2. Purisagatisuttaü Ý Courses of action of Great Men
006.02. Bhikkhus, I will teach the seven courses of action of Great Men and extinction without seizures, listen carefully. Those bhikkhus agreed and The Blessed One said: Bhikkhus, what are the seven courses of action of Great Men?
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks arouse and fade. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner.
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks rise jump up and fade. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner.
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks rise, jump up, not falling on the ground fade. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the latent tendencies of the craving to be, nor all the latent tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner.
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me, what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks rise spoiling the ground fade. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and it will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all latent tendencies of the craving to be, nor all latent tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner.
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks rise, jump up and a little fall on a bunch of grass or a bundle of sticks. Then fire is lighted and smoke comes up and burning that bunch of grass or bundle of sticks it extinguishes without fuel. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he extinguishes without substratum
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks rise and fall on a large bunch of grass or a huge bundle of sticks. A fire rises, smoke rises and burning that same bunch of grass or bundle of sticks it extinguishes without fuel. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he extinguishes with substratum
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he becomes a non-returner
Like an iron pot heated throughout the day when struck sparks rise and fall on a huge bunch of grass or a huge bundle of sticks. A fire and smoke rises burns the bunch of grass or the bundle of sticks and burns the brushwood and the parklands, coming to the end of a path way, to the edge of a rock, or to the edge of some water or to a pleasant surrounding extinguishes in want of fuel. In the same manner the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me what I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state too he has not realized completely. Of that state he has not dispelled all latent tendencies of measuring, all the tendencies of the craving to be, nor all the tendencies to ignorance. Destroying the five lower bonds binding him to the sensual world he goes up stream as far a the highest world of Brahma.
Bhikkhus, these are the seven courses of action of Great Men
Bhikkhus, what is non-seizing extinction?
Here, bhikkhus, the bhikkhu follows this course- I did not have and do not have. There will not be and will not be to me. What I had and produced I give up and gain equanimity. Not attached to being or producing, with right wisdom he envisages some noble peaceful state. That state he has realized completely. Of that state he has dispelled all latent tendencies of measuring, all tendencies of the craving to be, all latent tendencies to ignorance. Destroying desires, ... re ... by himself realizing he abides. Bhikkhus, this is non-seizing extinction Bhikkhus, these are the seven courses of action of Great Men and non-seizing extinction.
metta.lk/tipitaka/2Sutta-Pitaka/4Anguttara-Nikaya/Anguttara4/7-sattakanipata/006-abyakatavaggo-e.html
Supaya jangan ada salah paham, harap diperhatikan bahwa:
1. Dalam sutta, tidak ada pernyataan bahwa antarabhava ada atau tidak ada
2. Dalam sutta, ada hal-hal yang merujuk pada adanya momen antara kematian dan kelahiran
3. Penolakan/penerimaan antarabhava berbeda-beda dalam tiap sekte dan dijelaskan dalam literatur tambahan masing-masing, dalam hal Theravada adalah kitab komentar
Jadi penerimaan atau penolakan antarabhava sebetulnya tidak bisa ditentukan apakah sesuai dengan Ajaran Buddha atau tidak karena tidak ada pernyataan jelas dalam sutta/vinaya; jadi hanya bisa dirujuk ke doktrin karya belakangan masing-masing sekte.
Antarabhava ini juga bukan produk member DC apakah junior atau senior, tapi memang merupakan bagian dari aneka interpretasi Ajaran Buddha yang beragam. Bagi member DC alangkah baiknya kalau mulai memahami bahwa Ajaran Buddha memang terdiri dari berbagai sekte dengan doktrinnya masing-masing, jadi jangan meminta agar DC mengistimewakan doktrin satu aliran sebagai otoritas yang lebih benar. DC tidak menganut sekte manapun dan otoritas literatur yang dianggap paling otentik adalah yang paling tua dan diterima oleh semua aliran, yaitu sutta/sutra dan vinaya.
[at] Ronald
terjemahan di atas jauh dari akurat, Pali jelas menuliskan "antarāparinibbāyī" yg dalam terjemahan di atas hanya disebutkan sebagai "non-returner"
Oh..tp palinya "antarà parinibbàyã" tp di inggris tulis non retuner... jd aku cari kata antarà parinibbàyã di goggle... via gtab dpt kamusnya..tp ga bisa buka.... butuh download flash...yg bisa bantu copas ke sini artinya tolong dunk
content.yudu.com/Library/A1nnib/PaliBuddhistDictiona/resources/29.htm
Dan aku dpt dari buku komentar...
Katanya dari rapb...
Sehubungan dengan Yang Tak Kembali atau Anàgàmã Puggala, terdapat lima jenis yaitu, (i) Antarà Parinibbàyã Anàgàmã, (ii) Upahacca Parinibbàyã Anàgàmã, (iii) Sasaïkhàra Parinibbàyã Anàgàmã, (iv) Asaïkhàra Parinibbàyã Anàgàmã, dan (v) Uddhaÿsota Akaniññhagàmã Anàgàmã. Para Anàgàmã Ariya berdiam di dalam lima alam suci atau Alam Brahmà Suddhàvàsa. Di antaranya, lima kelompok Anàgàmã berdiam di dalam Alam Avihà, lima di dalam Alam Atappà, lima di dalam Alam Sudassà, lima di dalam Alam Sudassã, dan empat (yaitu, selain dari Uddhaÿsota Akaniññhagàmã Anàgàmã) di dalam Alam Akaniññha, dengan demikian seluruhnya menjadi dua puluh empat Anàgàmã Puggala.
Cuplikan dari google search...
Pali Buddhist Dictionary - Yudu
content.yudu.com/Library/A1nnib/.../29.htm - Terjemahkan laman ini
Such a being is called 'one who reaches Nibbàna within the first half of the life' ( antarà- parinibbàyã). (2) "Or, whilst living beyond half of the lifetime, or
Anda telah mengunjungi laman ini 2 kali. Kunjungan terakhir: 13/09/08
Klo lihat sekilas seh...sepertinya yg dimaksud itu anagami tsb tidak menghabiskan masa hidupnya di alam brahma...kek baru terlahir di alam brahma...kemudian dah capai nibanna.
kebanyakan penjelasan mengenai kata ini (antaraparinibbayi) tampaknya dipaksakan agar sesuai dengan Abhidhamma (dalam hal ini "Puggalapaññatti "), padahal jika diartikan secara literal seharusnya tidak serumit itu.
Sebetulnya pugalagatisutta ini menarik. Sebelumnya dari Saupadisesasutta hanya bisa dipahami antaraparinibbayi ini sebagai: "mati sebagai anagami, lahir sudah arahant." Jadi hanya menjelaskan proses penembusan arahattanya ada pada saat antara kematian dan kelahiran. Tapi di pugalagatisutta dijelaskan bahkan ada 3 jenis seperti ini dan memberi detail masa antara tersebut.
Bara adalah perumpamaan bagi kekotoran batin, mangkok besi adalah kehidupan yang ditinggalkan, lalu tanah atau jerami/bahan bakar lainnya adalah kehidupan yang dituju. Dari perumpamaan ini kita bisa lihat kepadaman terjadi ketika:
(1) persis saat meninggalkan kehidupan lama, digambarkan percikan api keluar dari bara dan padam.
(2) pada saat telah meninggalkan kehidupan lama, digambarkan percikan yang melayang lalu padam.
(3) pada saat akan memasuki kelahiran baru, digambarkan percikan yang terbang dan padam pada saat hampir menyentuh tanah.
Ketiga ini menggambarkan mati sebagai anagami, namun sebelum terlahir, nodanya telah padam dan menjadi arahant dan tidak terlahir lagi.
Juga menjadi jelas untuk berikutnya:
(4) noda batin masih ada pada saat kelahiran kembali, namun langsung padam. Ini berarti dari anagami meninggal, lahir kembali sebagai anagami juga, tapi sesaat langsung capai arahant.
(5 & 6) terlahir tetap anagami tapi nodanya akan habis pada kehidupan itu, 5 & 6 hanya beda kecepatan saja.
(7) terlahir sebagai anagami, dan akan meninggal dari sana belum mencapai arahant, terlahir lagi sampai akhirnya padam, digambarkan setelah jerami habis, masih akan pindah lagi ke hutan sampai mencapai tepian, baru padam.
Nampaknya agak sulit untuk mengabaikan momen antara itu dengan doktrin 'tanpa jeda'. Abhidhamma Theravada sendiri menganut bhavangasota yang tanpa jeda, setelah cuti muncul dan tenggelam, langsung patisandhi muncul dan tenggelam, berlanjutlah kehidupan dan muncul bhavanga dst.
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 September 2013, 04:38:04 PM
Supaya jangan ada salah paham, harap diperhatikan bahwa:
1. Dalam sutta, tidak ada pernyataan bahwa antarabhava ada atau tidak ada
2. Dalam sutta, ada hal-hal yang merujuk pada adanya momen antara kematian dan kelahiran
3. Penolakan/penerimaan antarabhava berbeda-beda dalam tiap sekte dan dijelaskan dalam literatur tambahan masing-masing, dalam hal Theravada adalah kitab komentar
Jadi penerimaan atau penolakan antarabhava sebetulnya tidak bisa ditentukan apakah sesuai dengan Ajaran Buddha atau tidak karena tidak ada pernyataan jelas dalam sutta/vinaya; jadi hanya bisa dirujuk ke doktrin karya belakangan masing-masing sekte.
Antarabhava ini juga bukan produk member DC apakah junior atau senior, tapi memang merupakan bagian dari aneka interpretasi Ajaran Buddha yang beragam. Bagi member DC alangkah baiknya kalau mulai memahami bahwa Ajaran Buddha memang terdiri dari berbagai sekte dengan doktrinnya masing-masing, jadi jangan meminta agar DC mengistimewakan doktrin satu aliran sebagai otoritas yang lebih benar. DC tidak menganut sekte manapun dan otoritas literatur yang dianggap paling otentik adalah yang paling tua dan diterima oleh semua aliran, yaitu sutta/sutra dan vinaya.
Setuju :jempol: :jempol: :jempol:
Quote from: sanjiva on 09 September 2013, 01:36:42 PM
Gw setuju dengan pendapat di atas dan kitab komentar. Kalau ada senior DC yg mengembangkan teorinya sendiri (antarabhava) dari sutta tersebut, yg berbeda dari Theravada orthodox dan mainstream yah silahkan saja.
sepertinya tidak ada senior DC yang mengembangkan teorinya sendiri, yang ada hanya pembahasan sesuai dengan kondisi nikaya atau sutta yang ada, jika memang ada member tidak setuju, sebenarnya tidak masalah kok.
Quote
Toh sudah ada 'yurisprudensi' sebelumnya, contohnya seperti MMD yg dikembangkan seorang senior Terawada bersumber dari satu sutta yg ditafsirkan berbeda dengan penafsiran pada umumnya. :D
lain pula untuk MMD, mengembangkan dengan teori sendiri dan digabungkan 'guru meditasi' masa kini.
Hmm.. Lum selesai seh.. Jika memang ada jeda.. Apakah itu termasuk suatu alam lain (yg lasim di sebut alam bardo, alam anatara) atau ga? Apakah itu berarti terbentuknya jasmani di alam tsb dan indria2nya? Atau?
Quote from: The Ronald on 10 September 2013, 02:29:22 PM
Hmm.. Lum selesai seh.. Jika memang ada jeda.. Apakah itu termasuk suatu alam lain (yg lasim di sebut alam bardo, alam anatara) atau ga? Apakah itu berarti terbentuknya jasmani di alam tsb dan indria2nya? Atau?
untuk menjelaskan hal ini, mau gak mau harus merujuk ke literatur aliran yang mengakui ada jeda.
Dan yang mewarisi tradisi dan kitab2 tersebut adanya di Mahayana Chinese dan Buddhisme Tibetan. Dan pastinya kitab komentar belakangan.
Apa bisa diterima? Atau mending disudahi saja sampai disini karena kalau hanya dari sutta, sudah mentok
Quote from: xenocross on 13 September 2013, 12:46:18 AM
untuk menjelaskan hal ini, mau gak mau harus merujuk ke literatur aliran yang mengakui ada jeda.
Dan yang mewarisi tradisi dan kitab2 tersebut adanya di Mahayana Chinese dan Buddhisme Tibetan. Dan pastinya kitab komentar belakangan.
Apa bisa diterima? Atau mending disudahi saja sampai disini karena kalau hanya dari sutta, sudah mentok
bisa lebih panjang lagi
Quote from: xenocross on 13 September 2013, 12:46:18 AM
untuk menjelaskan hal ini, mau gak mau harus merujuk ke literatur aliran yang mengakui ada jeda.
Dan yang mewarisi tradisi dan kitab2 tersebut adanya di Mahayana Chinese dan Buddhisme Tibetan. Dan pastinya kitab komentar belakangan.
Apa bisa diterima? Atau mending disudahi saja sampai disini karena kalau hanya dari sutta, sudah mentok
Perdebatan ini sudah ada pada masa jauh sebelum munculnya Mahayana. Kathavatthu-nya Theravada (abad 3 BCE) sendiri membantah antarabhava dari Sammitiya. Yang saya singgung di sini berdasarkan sub-aliran Sarvastivada, bukan mahayana juga.
Quote from: The Ronald on 10 September 2013, 02:29:22 PM
Hmm.. Lum selesai seh.. Jika memang ada jeda.. Apakah itu termasuk suatu alam lain (yg lasim di sebut alam bardo, alam anatara) atau ga? Apakah itu berarti terbentuknya jasmani di alam tsb dan indria2nya? Atau?
Bukan "alam" karena belum terlahir, tidak ada perasaan, tidak ada 'perbuatan', hanya sebuah kondisi antara kematian dan kelahiran saja.
Maaf baru bisa menanggapi.
Quote from: xenocross on 25 August 2013, 04:02:45 PM
jadi menurut pendapat anda, bahkan setelah 2 minggu sesudah kremasi, orang itu belum dikatakan mati secara batin?
Ya.
JIKA memang batin seseorang itu padamnya (matinya) selama 2 minggu.
Masalahnya kita tidak tahu berapa lama batin seseorang padam. Saya pikir, mengingat sifat muncul-lenyapnya batin bisa sangat cepat, maka padamnya batin juga cepat.
QuoteJadi anda menganggap antarabhava itu termasuk proses peleburan batin, yang bisa saja terjadi bahkan setelah kesadaran berpisah dari tubuh? Dan bisa berlangsung lumayan lama?
Sdr. Xenocross, berdasarkan definisi khusus (bukan dalam istilah umum) mengenai mati, saya lebih menganggapnya sebagai momen menjelang mati. Momen menjelang mati ini kemungkinan disalahartikan oleh satu pihak sebagai momen antara mati dan lahir. Hal ini karena pihak tersebut menggunakan istilah umum mengenai mati yaitu seseorang yang hanya baru mati fisik sudah langsung dianggap mati. Dan saat pihak tersebut "melihat" masih adanya sekelibat "gerakan" batin pada orang yang fisiknya mati, maka ia menganggapnya batin itu ada di antara mati dan lahir, antara-bhava.
Quote
tapi yang seperti ini kan normalnya disebut "jeda".
Sudah meninggalkan tubuh tapi belum masuk ke tubuh baru, jadi ada jeda waktu
dan jeda inilah yang kemudian disebut antarabhava
Meninggalkan tubuh bukan berarti mati. Ingat mati berarti padamnya tubuh dan batin. Jadi dalam kasus Bodhisatta tersebut Ia belum benar-benar mati, meskipun secara umum fisiknya dikatakan mati. Ia masih hidup. Jika benar-benar mati (fisik maupun batin), bagaimana Ia bisa sadar penuh perhatian seperti yang dikisahkan dalam teks?
Nah, saat sadar penuh perhatian inilah proses matinya batin dan munculnya batin dalam kehidupan baru. Teks menjabarkannya proses ini sehingga berkesan pelan-pelan. Jadi tidak ada jeda.
Quote
...... apakah perdebatan antarabhava atau tidak hanya karena perbedaan persepsi dan definisi?
definisi mati di mahayana sepertinya adalah "berpisahnya kesadaran dari tubuh jasmani secara permanen"
Bisa kedua-duanya, perbedaan persepsi dan definisi jika melihat definisi mati di Mahayana seperti yang anda sampaikan. Jika definisi mati seperti yang anda sampaikan bukankah akan memberikan indikasi adanya batin dan fisik yang kekal, mereka hanya berpisah selamanya?
Quote from: Kelana on 31 October 2013, 01:03:25 PM
Bisa kedua-duanya, perbedaan persepsi dan definisi jika melihat definisi mati di Mahayana seperti yang anda sampaikan. Jika definisi mati seperti yang anda sampaikan bukankah akan memberikan indikasi adanya batin dan fisik yang kekal, mereka hanya berpisah selamanya?
tidak, karena mahayana juga menganut anatta
yg saya tangkap, batin ketika berpisah dengan jasmani, juga mengalami proses peleburan.
ok, jadi sementara ini kesimpulan saya, theravada menganggap proses antarabhava hanyalah bagian dari proses kematian.
Sementara mahayana menganggap antarabhava sebagai proses yg terpisah dari proses kematian
Quote from: xenocross on 14 November 2013, 10:45:26 PM
tidak, karena mahayana juga menganut anatta
yg saya tangkap, batin ketika berpisah dengan jasmani, juga mengalami proses peleburan.
ok, jadi sementara ini kesimpulan saya, theravada menganggap proses antarabhava hanyalah bagian dari proses kematian.
Sementara mahayana menganggap antarabhava sebagai proses yg terpisah dari proses kematian
ntah siapa yang benar ? ???
buat nambah bacaan
https://www.academia.edu/6315793/R%C5%ABpa_and_the_Antar%C4%81bhava
http://books.google.co.id/books?id=BNIdOsp3KIgC&pg=PA251&lpg=PA251&dq=intermediate+state+buddhism&source=bl&ots=MDKIhqLA4G&sig=N7noSnkYKNcqIYoSUuYDpksn11k&hl=en&sa=X&ei=UQ1PVIzAM4PLmAXS1YDYAw&redir_esc=y#v=onepage&q=intermediate%20state%20buddhism&f=false
Terlepas dari semua itu.
Pendekatan model air
Yang paling mendekati
U menjelaskan hal ini
Air di teko akan menjadi airteko
Air di galon menjadi air galon
Sifatnya yg tidak kekal
Yang membuat samsara
Menjadi menakutkan.
Menjadi dukka.
THE QUESTION OF AN INTERMEDIARY
EXISTENCE (ANTARA-BHAVA)
(6.17) It has been argued above that early Buddhism accepted a
kind of spirit-like life-principle whose primary process is discernment.
This life-principle is not identical with the mortal body, nor
wholly different from it; though it is 'supported' by and 'bound' to
it, it leaves it at death. It has also been seen that discernment is the
'seed' of rebirth, with its nature conducing to specific kinds of rebirth.
It links lives and goes through the phases of 'becoming'. It is thus
appropriate to ask about the 'early Sutta' view of what happens when
the mortal body ends: is death immediately followed by conception
at the start of a new life, ~r is there a time interval between rebirths?
Does 'becoming' occur in a time after death but before conception?
On this question of an 'intennediary existence' (antarii-bhava), the
early schools of Buddhism were more or less equally divided. It was
accepted by the Sarvastivadins, Sammitiyas (a Personalist subschool),
Piirva8ailas, the later MahiSasak:as, and Dir$tantikas, but
denied by the Mahismghikas, early Mahisisak:as, Dhannaguptakas,
Vibhajyavidins and (practically identical) Theravadins (Bareau,
1955: 291).
(6.18) The Theravida position, argued for at Kvu.361-66, is not
the only possible conclusion that can be drawn from the rest of the
Theravidin Abhidhamma. Patthiina I. 312-13 (CR.338-39) asserts
that arising-citta immediately follows falling-away-citta, but this may
mean no more than that in the last phase of 'becoming', 'falling away
and arising', there is an immediate transition from becoming to
'arising' in a new rebirth.8 0.11.63-4 talks of the conditions under
which one might 'grow old, or die, or fall away, or arise', so 'falling
away' is not the same thing, as such, as death.
(6.19) There are, indeed, a number of positive indications that a
between-lives state was included in the world-view of the 'early
Suttas'. An important passage is found at S.IV.399-400, where the
Buddha says:
At a time when a flame, Vaccha, flung by the wind, goes a
very long way, I declare that flame to be fuelled by the wind
(vato). At the time, Vaccha, wind is the fuel (upiidii1Ulf!1)9 • ••
At the time, Vaccha., when a being lays aside this body and is
not arisen (anuppanno) in another body, for this I say craving
is the fueL Indeed, Vaccha, craving is the fuel at that time.
In Kindred Sayings IV., F.L.Woodward translates 'anuppanno'
as 'rises up'. Here he must be following Leon Feer, the editor of
S.IV., who says that 'The true reading ought to be anuppatto'
(my emphasis), thus making the word into the past participle
of 'anuptipu{Uitr, 'attains', rather than the negative past participle of
'uppajjati', 'arises'. The only actual variant reading at S.IV.399-400
is 'anupapanno', but this means practically the same as 'anuppanno',
which reading is also found in the commentary (S.A.III.114).10 Peer's
'ought', therefore, can only be based on a wish to defend Theravadin
orthodoxy on the question of an intennediary existence. This is hardly
a good reason for changing a reading, especially on such a contentious
issue! The text as it stands clearly refers to a time between the 'laying
aside' of the body, at death, and the 'arising' in a new one, and
likens this to a time when a flame is carried by the wind across a
gap.
(6.20) The time period before 'arising' cannot be construed as
that of gestation in the womb. • Arising' is an aspect of the third
phase of 'becoming', 'falling away and arising', and 'becoming' is
the condition for 'birth (jiiti)' in the Conditioned Arising sequence.
Such 'birth', though, refers to conception (or perhaps implantation),
as shown by its definition at 8.11.3: 'birth (jati), generation, descent
(okkanti), production, appearance (patubhavo) of personality-factors,
gaining of sense-spheres'. Here 'okkanti' is linguistically equivalent
to 'avakkanti', the word used for the 'descent' of discernment into
the womb at the start of an organism's development in the womb
(Para.6.9), and for the 'descent' of the 'embryo' which takes place
when there is sexual intercourse at the right time in a woman's
monthly cycle (M.I.265-66). The "gaining ofsense-spheres', i.e. the
development of sense-organs is seen, by the different schools of
Buddhism, as taking place from conception onwards. In the
Theravadin Abhidhamma, the mind-organ and body-organ (of sensitivity
to touch) are said to be present from the beginning of
pregnancy, while the others develop later; an opposing Buddhist view
which it refers to is that all the sense-organs are present from the
beginning (Kvu.493-94). It can thus be seen that 'birth' refers to
the process beginning at conception or at implantation, and that the
'falling away and arising' which conditions it must thus be prior to
conception/implantation; though probably immediately leading up to
it, with 'arising' actually equivalent to 'birth'. A period between the
'laying aside' of one's body in death, and conception in a new life
is thus clearly referred to.
(6.ll) A passage cited by the Sammitiyas, 11 Piirva§ailas 12 and
Sarvistividins (L' AK.II.37) in support of the intermediary existence
is one concerning 'NotHetumers': the type of saints who will not
'return' to rebirth in the sense--desire realm of humans etc., as they
are almost Arahats (those who have experienced nibbt'Jna). The
passage is found at D.lll.237:
Five classes of persons who become Non-returners: those who
attain nibbiina inbetween (antarti-parinibbt'Jyi); those who attain
nibbt'Jna cutting short (upahacca- ); those who attain it without
(further) activity (asalithtira-); those who attain it with (further)
activity (sasa~ra-); 'those going up-stream to Akanittha [the
highest of the 'five pure abodes', where only Non-returners are
reborn (also at 0.111.237)].
On its own, however, this passage does not prove that an intennediary
existence was accepted in the early Suttas. It does do so, though,
when supplemented by similar passages.
(6.ll) S.V.69-70 discusses the five types of Non-returners, in the
same order as at D.lll.237, listing them after someone who has
become an Arahat 'at the time of dying': clearly this implies that
the order represents a decreasing speed of spiritual attainment.
This would certainly make it likely that that the first of the five
types of Non-returners attains nibbt'Jna 'inbetween' death and
rebirth. The Interpretation given in the Theravidin Abhidhamma
and commentaries, though, is that this Non-returner attains nibbtina
immediately after 'arising' in a new rebirth, or at some time
before the middle of the life-span there (Pug.16 and A.A.IV.7). Less
contentiously, the next of the Non-returners is seen as one who
comes to attain nibbtina between the mid-point of his life span
and his death; the fifth type Is one who is reborn in each of the
five •pure abodes • until he attains nibbiina in the last of these
(Pug.l7).
(6.13) The above Theravidin interpretation of one who 'attains
nibbana inbetween', however, can be seen from A.IV.70-4. to be a
rather weak and strained one. 13 This passage discusses the five kinds
of Non-returners, and compares them, respectively, to:
Ia. a bit which comes off from a hot, beaten iron slab, and then
cools down;
I b. a bit which comes off, flies up and then cools down;
lc. a bit which comes off, flies up, and then cools down before
cutting into the ground (anupahacca-talaf{'l).
2. a bit which cools after cutting into the ground.
3. a bit which flies up and falls on a little fuel, igniting it, then
cools down after the fuel gets used up.
4. a bit which falls on a large heap of fuel, but cools down after it
is used up.
5. a bit which flies up and falls on a heap of fuel such that a frre
spreads, but then goes out when it reaches e.g. water or rock.
The Theravidin interpretation of the antarii-parinibbayr Nonreturner
hardly fits this illustration. Not to 'cut into the ground'
means, surely, not to begin a new rebirth. In the case of Nonreturners,
there is not even any question of whether this might
mean conception or leaving the womb: they are of immediate 'spontaneous
arising (opapiitiko)' (M.I.465), rather than being born from
a womb or egg (M.I.73). Thus to 'cut into the ground' alludes to
the very start of a rebirth. For the 'frre' to spread and then go out
(illustration 5, above) means to go through several rebirths before
the Non-returner 'cools (nibbayatt)' by attaining nibbiina. As the
Theravadin interpretation of the antarii-parinibbiiyi (la-c.) is that
he attains nibbiina at some time between the start and middle of
the next life, and the 'cutting-short (upahacca-)' Non-returner (2)
attains it after this, then the 'cutting into the ground (upahaccatalatp)'
of the simile would have to represent the middle of this life,
which seems most artificial. Even the commentary (A.A.IV.39) sees
similes la-c. as involving a 'bit' which is still in 'space', 'not having
reached the earth'; reaching the earth would most naturally apply to
the very start of a life. The antarii-parinibbiiyi must thus be one who
attains nibbiina after death and before any rebirth.
(6.24) A.II.l34 shows that the between-lives period in which the
antarii-parinibbiiyi Non-returner attains nibbiina is in fact called 'becoming'
(bhava). The passage refers to three kinds of spiritual fetters:
i) those binding to the lower shore (i.e. to the sense-desire world:
a Non-returner is defined as one who is free of these fetters);
ii) those 'of a kind to take up arising';
iii) those 'of a kind to take up becoming'.
The fust fetters are abandoned by one 'going up-stream to Akanittha',
i.e. by the least advanced Non-returner; the fust two fetters are abandoned
by the antard-parinibbllyi Non-returner, and all three are
abandoned by the Arahat. The above distinction between 'becoming'
and 'arising' is most instructive. The 'up-stream' Non-returner is
clearly not beyond 'arising' in a rebirth, for he has ahead of him
several rebirths in the 'pure abodes', ending in Akani!tha. Only the
highest kind of Non-returner is beyond such 'arising' (uppatti-). He
is not an Arahat, though: one who has destroyed fetters leading to
'becoming'. As an Arahat is one who has attained nibbllna in his
present life, even up to the moment of death (Para.6.22), the highest
Non-returner must attain nibbdna after his death but before 'arising'
in any rebirth, this period being called 'becoming'.l4
(6.25) It can thus be seen that the 'early Suttas' did accept a
between-lives state, known as 'becoming',1s in which it is possible
for a Non-returner to attain nibbllna. An Arahat, though, attains
nibbdna in life, so as not to enter 'becoming', while most beings
pass through it and go on to arise in a rebirth.
THE NATURE OF THE INTERMEDIARY
EXISTENCE
( 6.26) It can be seen that an intermediary existence would act as
a transition between often disparate forms of rebirth. It would thus
be both a vehicle for transferring the continuity of character and
also a time for the necessary re-adjustment. 16 The similes la-c. in
Para 6.23 indicate that it consists of three successive phases, and
Para.6.15 provides terms which must be seen as names for these
phases: 'inclination', 'coming and going' and 'falling away and
arising'.
(6.27) Among the powers attributed to the Buddha and some
Arahats is that of the knowledge of how living beings are reborn:
knowledge of their 'coming and going and falling away and arising'
(0.1.162). At 0.1.83, knowledge of 'falling away and arising' is
likened to a man seeing that 'these men enter (pavisanti) a house,
these men leave (nikkhamanll) it, these men wander the carriage-road
track, and these are sat in the midst where four roads meet'. Here,
of course, the language of 'entering' and 'leaving' is reminiscent of
0.11.334 (Para 6.7), on the 'life-principle' of a dead person. The
simile shows that the three phases of 'becoming' are seen as like
leaving a house, wandering about on a road, and then sitting down
'in the midst where four roads meet'. It is worth noting, here, that
S.IV.194-95 likens a person's body to a border-town and his discernment
to the 'Lord' of such a town, he being sat 'in the midst, where
four roads meet' (representing the four physical elements). The
becoming seated 'in the midst ... • of 0.1.83, then, represents discernment
coming to be established in a new personality, after wandering
in search of 'it'. Another simile for knowledge of beings' rebirths
likens it to the knowledge of a man standing between two houses,
who would 'see men entering a house and leaving it, and going back
and forth and wandering across' (M.I.279). This simile emphasizes
the mid-stage of becoming as one of wandering and wavering, indeed
one of coming and going. Similarly M.l.261 (Para 6.13) refers to
beings 'seeking to be (sambhavesinatp)', who must clearly be those
in the intermediary existence.17
(6.28) It would thus seem reasonable to see the three stages of
this existence as:
i) 'inclination': leaving the body with a desire for a further rebirth,
like a man leaving a house, or a bit flying off a hot, beaten piece
of iron;
ii) 'coming and going': wandering back and forth seeking a rebirth,
like a man wandering on a road or between houses, or a hot iron
bit that flies up in the air;
iii) 'falling away and arising': falling from one's previous state, one's
previous identity, into a new rebirth, like a man settling down
in square or entering a house; or a hot iron bit falling and cutting
into the earth.
As shown in Para 6.19, the whole between-lives state is likened to
that of a leaping flame driven and fuelled by the wind, representing
craving. That is, craving provides the impetus and energy to seek
another rebirth, and the intermediary existence is flavoured by such
craving. As in Para 6.16, craving is the 'moisture' for becoming, and
discernment is its 'seed', so that discernment, will and aspiration
come to be 'supported' in another rebirth.
(6.29) The between-lives state need not be seen as a what we
call a 'fully conscious' state. 0.11.334 (Para 6.7) talks of the lifeprinciple
as leaving a person either in dreaming or death. Other
passages show that the 'early Suttas' talked of going to sleep and
dying in similar ways:
i) 0.1.333-34 uses the expression 'gone to one's day-bed (divaseyya'(
l)' for taking a siesta, while Sn.29 says 'I go no more to
a womb-bed (gabbha-seyyaT(l)' in the sense of 'I will not be
reborn'.
ii) 'Okkamati' is used both of the 'descent' of discernment into the
womb at conception (Para 6.9) and also of 'falling' into sleep
(Vin.I.I5).
(6.30) As will be argued in chapter 10, the discernment found in
(deep) sleep and at the death-moment is seen, in the Theravada
school, as of a kind which is radiantly 'brightly shining' (pabhassara).
This makes sense, from the Theravada perspective, of the
experience of a radiant light which the 'Near-death Experience' literature
says is reported by many people after they are resuscitated after
nearly dying. It also makes sense of the reference in the Bardo ThOtrol
('Tibetan Book of the Dead') to people confronting a pure white light
in the intermediary existence: in the fmt of the three stages of this,
the mind is said to be in an unconscious and luminous state which
is somehow equated with Amitabha, 'Infinite Radiance', Buddha
(Freemantle and Trungpa, 1978: 37). Such ideas also seem to connect
with the idea, in other Mahayana Buddhist texts, that this Buddha
will come to meet his devotees at death.
(6.31) Returning to the 'early Suttas', then, they see the betweenlives
state of becoming as entered when, fuelled by craving for
rebirth, discernment, the main process comprising the life-principle,
leaves the body. In a dream-like existence, it then wanders about
seeking a new life, kept going by craving and accompanied by will
and aspiration. On finding a new life, it falls into the womb (in the
case of rebirths involving this), and sets off the production of a new
mind-and-body, which had been craved for. This all takes place, of
course, within the parameters set by karma, the 'field' in which the
'seed' of discernment grows (Para 6.16). As for the duration of such
an intermediary existence, the opinions cited in later texts is that of
a week or more (K vu.A.l 06-07) or: as long as it takes to unite the
conditions for a new birth; seven days, seven weeks; very quickly
(L' AK.II.48-9).
THE GANDHABBA: SPIRIT-BEING OF THE
INTERMEDIARY EXISTENCE
(6.32) Further light is shed on the intennediary existence by examining
the nature and role of the gandhabba. This is referred to at
M.I.26~. which is cited by Sammityas and Sarvastivadins in
support of the intennediary existence: for they equate the gandharva
(Sanskrit equivalent of Pali gandhabba) with this. 18 In other contexts,
the gandhabbas are seen as the lowest kind of god (D.ll.212), as
'going through the air' (A.II.39), and as living on the odour (gandha)
of roots, heart-wood, pith, sap, leaves and flowers (S.ID.250).19 At
the M.l.265-66 passage, the following is said:
Monks, it is on the conjunction of three things that there is
descent of the embryo (gabbhass-iivakkanll) ... if, monks, there
is, here, a coitus of the parents, and it is the mother's season,
and a gandhabba is present, it is on the conjunction of these
things that there is descent of the embryo. 20
This passage clearly deals with how conception takes place. The
Theraviidin commentary on it says: ' "Gandhabba" is the being going
there. "Is present" it is not that he remains in the proximity observing
the coitus of the parents, but what is implied is that a certain being
is having rebirth in that situation, being driven by the mechanism of
karma' (M.A.TI.310). This, though, does little to lessen the text's
impression of a fully-fledged (between-lives) being as needing to be
present for conception to take place. In a Freudian-sounding passage,
Vasubandhu gives the Sarvastivadin view, which does see a being
as observing the coitus of his future parents: a male is sexually
attracted to his future mother, and jealous of the father, while a female
is attracted to the father, and jealous of the mother (L'AK.TI.50-l).
(6.33) It is notable that discemment-tenninology is not used in the
M.I.26~ passage, as it is in the 0.11.62-3 passage on the 'descent'
of discernment into the womb (Para.6.9). M.l.265-66 is a continuation
from the Buddha's rebuke of Sati's ideas on discernment (Para
6.13), and follows the rejection of speculations on an unchanging 'I'
linking past, present and future. This suggests that the passage was
phrased in such a way as to avoid any impression that discernment,
alone and unaided, links different lives together. The between-lives
discernment is not an independent entity, a Self, but part of a kind of
being, a gandhabba. When this discernment descends into a womb,
it does not do so alone, but as part of an 'embryo'. This terminology
of "gandhabba' and 'embryo' must be seen as both exact and deliiJ..
erate: a passage on a misconception about discernment and rebirth is
hardly the place for 'loose' or inexact language. As part of a gandhabba
or of an 'embryo', the between-lives discernment must, clearly,
be dependent on other factors which compose these, and not be a Self
which depends only on itself. The Sarvastivadins, in fact, saw the
intermediary existence. i.e. gandhabba, as having the five personality-
factors (L 'AK..11.32), which clearly follows from a statement at
s.m.ss. that one cannot 'show forth the coming or going or falling
away and arising •.• of discernment' apart from the the four other personality-
factors.
(6.34) The statement that the four nutriments are for 'the assistance
of those seeking to be' (M.I.261) also shows that the
between-lives gandhabba must have some sort of body; for otherwise
it would need no 'material/food-nutriment'. Now this nutriment
can be 'gross' or 'subtle (sukhumo)' (M.I.261). For an 'odour' eating
gandhabba. it will surely be of a subtle kind 21: thus its 'body' will
be a 'subtle' one. Indeed, the Sarvistividins (L'AK.11.122) and
Sammitiyas saw a being in the intennediary existence as having a
'mind-made' body, with the latter saying that this was 'so subtle and
delicate that when it is on the ground, it would not (appear) different
from that' (SNS.200).22 As it has been seen that the mind-made body
and discernment are regarded as key aspects of the lifeprinciple,
and that the life-principle leaves the body at death
(Paras.6.5-7), such an idea seems plausible.
(US) Just as the life-principle has been seen as a kind of 'spirit'
(Pam.6.11), so may the between-lives gandhabba. This is because
of:
i) the subtle nature of the gandhabba;
ii) its being the cany-over from a dead person, after the discernment
life-principle has 'left' the body;
iii) its feeding on odour, i.e. on that which is known through the
nose: through which one also breathes in and out, in-spires and
ex-pires (dies!);
iv) its moving through the air (viha-);
v) the parallel of the between-lives state to the w;nd (vata)-blown
fire;
vi) the parallel of discernment, the main component of the betweenlives
state and the life-principle, to air or wind (Para.6.11 );
The English word 'spirit', meaning the life-breath of a person, neatly
encompasses these various notions.
(6.36) While it has been seen that the later Theravadin orthodox
view does not accept an intennediary existence in which the gandhabba-
spirit exists, it is notable that such an idea is present in
'popular' Buddhism of Theravada lands. As reported by Melford
Spiro, the Bunnese believe that a 'butterfly spirit (leikpya)' leaves
the body at death and needs the broken-off branch of a tree (gandhabbas
live on the odour of such things!) on which to rest for a
week. 21
(6.37) The gandhabba-spirit, of course, is not-Self: not an eternal
Self or eternal soul. Scepticism on the notion of a gandhabba as notSelf,
however, has been expressed by John Garrett Jones. He feels
that the Buddha wanted to 'both have his cake and eat it' in accepting
rebirth which necessitates some 'pseudo-self' to be reborn and
his saying that there is 'no atman to be rebom'(l979: 150 & lSI).
The gandhabba is, for him, such a 'pseudo-self', on which he says:
'I can see no way, however, of reconciling the belief in a surviving
gandhabba with the much more rigorous doctrine of the khandhas'
(i.e. of the personality-factors as not-Self; p. 202). As has been seen,
though, the gandhabba is also composed of personality-factors, and
this implies the mutual dependence of such components, and thus
their not being a Self. The gandhabba is not a 'pseudo-self', but can
be seen as a genuine empirical 'self', as found between-lives. It is,
though, no metaphysical Self: all its components are inevitably impermanent,
dukkha and not-Self.
(6.38) Karel Werner is thus right to criticize the popular contrast
which sees Hinduism as teaching a 'transmigrating personality', taken
as the eternal iitman or Self, and Buddhism as denying this (1988:
94). Even for Hinduism, the 'transmigrating personality' is of a
changeable, composite nature, the 'subtle (su/qma-)' or 'characteristic
(linga-)' body (sarira), and is not the eternal Self, which only
underlies it (1988: 84). For Buddhism, there is a kind of 'transmigrating
personality' (or, rather, a transmigrating process-duster),
the life-principle or gandhabba-spirit; but it has nothing to do with
a supposed unchanging Self, for which Buddhism fmds no evidence.
Werner's suggestion that it is an empty 'personality structure'
also seems inappropriate (Para.4.17). Theravada wariness against
accepting a between-lives state, and a being existing in it, may well
have been because such a being might be construed as the 'person'
of the Personalists (Para 1.36). As the Personalists seem to have
equated such a 'person' with the life-principle, which was also easily
mistaken for a Self, the Theravadins were also very wary about this
term. The life-principle of the 'early Suttas', however, is not-Self,
and, though it is not the same as or totally different from the 'mortal
body', it is the same as processes such as discernment, vitality, heat
and the mind-made body. It thus is unlike the Personalists' 'person',
which was seen as 'not the same as or different from' the
personality-factors, both bodily and mental. For the 'early Suttas', a
'person' is a web of interacting processes, both in life and between
lives; it is not something 'neither the same as or different from' these
that owns them and acts through them. It is notable, though, that the
best evidence for acceptance of a between-Jives state is in the
Aliguttara Nikiiya, and that the term 'person' (puggala) occurs
frequently in this. It is possible that the Personalist view grew up
among monks specialising in reciting this Nikiiya (or its close parallel,
the Ekottara Agama), partly because they misconstrued the nature of
the between-lives state.
THE SELFLESS MIND
Personality, Consciousness and Nirvana
in Early Buddhism
Peter Harvey
Pertanyaannya sekarang, dari mana konsep antarabhava (intermediate state) dalam Buddhisme awal ini berasal? Sedangkan Brahmanisme sebelum masa Sang Buddha sendiri tidak mengajarkan konsep ini (AFAIK, CMIIW). Dalam artikel Wiki tentang intermediate state (http://en.wikipedia.org/wiki/Intermediate_state) kita hanya menemukan agama-agama Timur Tengah (Yahudi, kr****n, Islam) selain Buddhisme yang mengajarkan demikian [walaupun konsep keadaan antara setelah kematian dalam agama-agama ini sedikit berbeda dengan Buddhisme, namun pada intinya ini adalah keadaan antara sebelum benar-benar terlahir kembali atau masuk surga/neraka abadi pada hari penghakiman]. Hmmm... :-?
Quote from: Shinichi on 31 October 2014, 07:42:47 AM
Pertanyaannya sekarang, dari mana konsep antarabhava (intermediate state) dalam Buddhisme awal ini berasal? Sedangkan Brahmanisme sebelum masa Sang Buddha sendiri tidak mengajarkan konsep ini (AFAIK, CMIIW). Dalam artikel Wiki tentang intermediate state (http://en.wikipedia.org/wiki/Intermediate_state) kita hanya menemukan agama-agama Timur Tengah (Yahudi, kr****n, Islam) selain Buddhisme yang mengajarkan demikian [walaupun konsep keadaan antara setelah kematian dalam agama-agama ini sedikit berbeda dengan Buddhisme, namun pada intinya ini adalah keadaan antara sebelum benar-benar terlahir kembali atau masuk surga/neraka abadi pada hari penghakiman]. Hmmm... :-?
Apa dasarnya Sdr. Shinichi menyatakan konsep antarabhava (intermediate state) ada dalam Buddhisme awal ?
Quote from: Kelana on 31 October 2014, 10:36:34 AM
Apa dasarnya Sdr. Shinichi menyatakan konsep antarabhava (intermediate state) ada dalam Buddhisme awal ?
http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_(Sujato)
Namun tentu saja konsep keadaan antara dalam Buddhisme awal ini bersifat samar-samar karena masih bersifat embrio, sedangkan aliran-aliran awal yang mendukungnya mengembangkannya lebih lanjut, namun aliran-aliran awal lainnya menolak konsep ini karena kesamaran konsep itu sendiri dalam Buddhisme awal.
Quote from: Shinichi on 31 October 2014, 11:31:34 AM
http://dhammacitta.org/dcpedia/Kelahiran_Kembali_dan_Keadaan_Antara_Dalam_Buddhisme_Awal_(Sujato)
Namun tentu saja konsep keadaan antara dalam Buddhisme awal ini bersifat samar-samar karena masih bersifat embrio, sedangkan aliran-aliran awal yang mendukungnya mengembangkannya lebih lanjut, namun aliran-aliran awal lainnya menolak konsep ini karena kesamaran konsep itu sendiri dalam Buddhisme awal.
IC.
Tapi bagi saya menjadi embrio pun belum, dan artikel Bhikkhu Sujato masih bisa diperdebatkan karena alasannya masih sangat lemah, bahkan sudah saya sangkal di topik ini juga, seperti misalnya cuplikan Kutuhalasāla Sutta tentang meletakkan tubuh yang dianggap yg bersangkutan sudah mati. Karenanya saya mendahului dengan menyodorkan kesepakatan mengenai apa itu mati dalam pengertian Buddhis. Bhikkhu Sujato tidak membahas mengenai hal ini sehingga konsep pemikiran akan kematian yang digunakan adalah konsep umum, yaitu tubuh mati berarti mati, atau tubuh diletakkan berarti mati. Dengan demikian apapun yang dikatakan dalam sutta yang berkaitan dengan peletakkan tubuh atau meninggalkan tubuh, melepaskan tubuh akan diartikan sebagai sudah mati. Dan konsep ini diakui atau tidak, sedikit atau banyak, sudah dibawa di alam bawah sadar dari mereka yang pernah berada pada lingkungan dan pendidikan yang mengusung konsep mati seperti ini.
Sayangnya pendapat Bhikkhu Sujato ini sering tidak ditelaah lagi oleh banyak di antara dari kita. Kita langsung copy paste dan menganggapnya 100% pasti benar dan menjadikannya rujukan karena ia seorang bhikkhu, lebih parahnya lagi jika alasan karena ia adalah orang barat.
Begitu juga dengan artikel lainnya dari Sdr. Xenocross, sama intinya, yaitu konsep kematian yang menggunakan konsep non-Buddhis, dan juga istilah-istilah teknis lain yang disalahartikan.
Jadi kalau dikatakan Buddhisme awal mengusung antarabhava sebagai suatu alam, sampai sekarang saya belum sependapat.
Thanks
Quote from: Kelana on 03 November 2014, 08:06:08 PM
IC.
Tapi bagi saya menjadi embrio pun belum, dan artikel Bhikkhu Sujato masih bisa diperdebatkan karena alasannya masih sangat lemah, bahkan sudah saya sangkal di topik ini juga, seperti misalnya cuplikan Kutuhalasāla Sutta tentang meletakkan tubuh yang dianggap yg bersangkutan sudah mati. Karenanya saya mendahului dengan menyodorkan kesepakatan mengenai apa itu mati dalam pengertian Buddhis. Bhikkhu Sujato tidak membahas mengenai hal ini sehingga konsep pemikiran akan kematian yang digunakan adalah konsep umum, yaitu tubuh mati berarti mati, atau tubuh diletakkan berarti mati. Dengan demikian apapun yang dikatakan dalam sutta yang berkaitan dengan peletakkan tubuh atau meninggalkan tubuh, melepaskan tubuh akan diartikan sebagai sudah mati. Dan konsep ini diakui atau tidak, sedikit atau banyak, sudah dibawa di alam bawah sadar dari mereka yang pernah berada pada lingkungan dan pendidikan yang mengusung konsep mati seperti ini.
Sayangnya pendapat Bhikkhu Sujato ini sering tidak ditelaah lagi oleh banyak di antara dari kita. Kita langsung copy paste dan menganggapnya 100% pasti benar dan menjadikannya rujukan karena ia seorang bhikkhu, lebih parahnya lagi jika alasan karena ia adalah orang barat.
Begitu juga dengan artikel lainnya dari Sdr. Xenocross, sama intinya, yaitu konsep kematian yang menggunakan konsep non-Buddhis, dan juga istilah-istilah teknis lain yang disalahartikan.
Jadi kalau dikatakan Buddhisme awal mengusung antarabhava sebagai suatu alam, sampai sekarang saya belum sependapat.
Thanks
Ok, then we agree to disagree ;D
Bisa dilihat misalnya di Kathavatthu terdapat argumentasi menentang Sammitiya berkenaan dengan antarabhava. Jadi sejak awal memang sudah ada perbedaan mengenai antarabhava. Argumen sebaliknya sepertinya ada di dalam Sammitiyanikayasastra.
Menurut komentar Prakaranapada (salah satu Abhidharma Sarvastivada), Pancavastuvibhasa, sekte-sekte awal yang menolak antarabhava adalah Mahasangika, Mahisasaka, dan Vibhajjavada.
Basha mengemukakan dua sutra tentang antarabhava:
1. Asvalayanasutra (Assalayanasutta), di mana Buddha khotbah tentang kasta dan bertanya ketika Gandharva siap memasuki rahim, apakah orang lain tahu datangnya dari kasta apa, dari arah mana. Ini menunjukkan suatu kondisi antara kelahiran.
2. Satpurusagatisutra (satta purisagati sutta), tentang antaraparinirvana yang sudah dibahas di atas, lengkap dengan perumpamaan serpihan api.
Pendukung argumen ini memprotes bahwa penentang antarabhava seperti sengaja mengabaikan kedua sutra ini.
Belakangan, konsep Antarabhava ini berkembang lebih jauh dan membahas misalnya tujuan alam mana saja yang bisa melalui antarabhava, dan mana yang benar-benar langsung; dan lain-lain.
Jadi memang pembahasan antarabhava ini sudah ada sejak era Buddhisme Awal.
menurut ku perlu di bedakan antara-bhava buddhistme awal... dan yg di anut oleh mahayana sekarang, menurut ku ada perbedaan yg cukup besar...jd idealnya cuma kesamaan nama..tp beda jauh dlm penjelasan maupun konsep, kurang lebih kek definisi dhammakaya dlm sutta, dgn dhammakaya yg di anut oleh aliran dhammakaya yg skrg.. walau mungkin mereka bisa menguatkan statmentnya dgn berkata dhammakaya pun di setujui sejak jaman dulu...
Quote from: The Ronald on 04 November 2014, 10:29:45 AM
menurut ku perlu di bedakan antara-bhava buddhistme awal... dan yg di anut oleh mahayana sekarang, menurut ku ada perbedaan yg cukup besar...jd idealnya cuma kesamaan nama..tp beda jauh dlm penjelasan maupun konsep, kurang lebih kek definisi dhammakaya dlm sutta, dgn dhammakaya yg di anut oleh aliran dhammakaya yg skrg.. walau mungkin mereka bisa menguatkan statmentnya dgn berkata dhammakaya pun di setujui sejak jaman dulu...
Benar, krn dlm BA konsepnya masih mentah alias embrio, sedangkan aliran2 mengembangkannya lbh jauh. Sama spt konsep Bodhisatta dlm BA tdk sama dg konsep Bodhisatta yg dianut aliran2 saat ini....