Untuk yang ingin menanyakan ajaran Zen, silahkan.
mohon kepada yg berwenang untuk split topik sebelah dan merge ke sini
ya, bbrp posting terakhir yg berkaitan Zen, dipindah kesini aja...
::
Quote from: sutarman on 17 January 2011, 08:49:18 AM
Bro William yang baik,
Apakah Master Zen Thich Nhat Hanh itu sendiri menyanyi dan menari? Menyanyi dan menari cenderung membuyarkan konsentrasi pikiran karena itu tidak diperbolehkan bagi bhiksu Zen.
Tapi kalau ada bhiksu ybs bisa tetap fokus walau menari dan menyanyi ya tidak ada yang melarang. Bisa atau tidaknya dia tetap fokus/konsentrasi yang tahu dirinya sendiri.
Kasusnya mungkin sama seperti TERIAKAN Master Zen Linji. Berteriak cenderung membuyarkan pikiran yang berteriak. Tapi kalau Master Zen Linji sudah bisa tetap fokus pikirannya walau berteriak, ya tidak ada yang bisa melarangnya. Di sinilah letak fleksibilitas Zen. Intinya apapun boleh asal tetap bisa konsentrasi pikiran dari waktu ke waktu. Yang tahu itu buyar atau fokus ya diri sendiri.
Jadi di sini diperlukan kejujuran diri kita sendiri. Sebab boleh saja kita membohongi semua orang di dunia mengenai kemajuan meditasi kita, namun diri kita sendiri tak dapat kita bohongi.
Intinya segala sesuatu yang membuyarkan konsentrasi pikiran tidak dianjurkan, misalnya seperti sila kelima ' tidak minum minuman memabukkan' di masa kini bisa diperluas menjadi 'rokok, ganja, morfin, ekstasi' dll.
Saya beri contoh lain: kisah dua orang Master Zen di Jepang. Yang satu minum sake/arak khas Jepang dan yang lain tidak. Padahal minuman keras jelas 'dilarang' dalam Pancasila Buddhist yang dipatuhi praktisi Zen sekalipun apalagi bhiksu/master Zen . Master/Guru Zen yang tidak minum arak menegur yang minum arak. Jawaban Guru Zen yang minum arak adalah: "Yang tidak minum arak BUKAN manusia.". Lalu Guru Zen yang tidak minum arak menjawab: "Oh ya, kalau bukan manusia lalu apa?". Guru Zen yang minum arak menjawab singkat: "Buddha".
Jadi, Anda bisa lihat sendiri, begitu fleksibel-nya sila/vinaya Zen sehingga tak aneh bila kemudian Zen sendiri terpecah-pecah menjadi entah berapa banyak aliran di masa kini. Termasuk yang MUNGKIN bhiksu-nya memainkan musik yang menjadi isu di sini.
Saya tidak menyalahkan atau membenarkan main musik. Semuanya kembali berpulang ke masing-masing individu praktisi Zen itu sendiri. Seberapa jauh pengaruh 'minum arak' 'main musik' terhadap ELING/ MINDFULNESS itu sendiri? Hanya diri 'mereka' sendiri yang tahu.
_/\_
Saya mau tanya, SEANDAINYA muncul kisah begini:
kisah dua orang Master Zen di Jepang. Yang satu mangkal di rumah bordil dan yang lain tidak. Padahal asusila 'dilarang' dalam Pancasila Buddhist yang dipatuhi praktisi Zen sekalipun apalagi bhiksu/master Zen . Master/Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menegur yang ke rumah bordil. Jawaban Guru Zen yang ke rumah bordil adalah: "Yang tidak ke rumah bordil BUKAN manusia.". Lalu Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menjawab: "Oh ya, kalau bukan manusia lalu apa?". Guru Zen yang ke rumah bordil menjawab singkat: "Buddha".
Bagaimana menurut Bro Sutarman?
Quote from: sutarman on 17 January 2011, 07:30:56 AM
Bro Adi Lim yang baik,
Di sinilah letak perbedaan tradisi Zen dan Theravada. Theravada membagi-bagi menjadi sotapana-sakadagami-anagami-arahat (cmiiw) sedangkan Zen tidak membagi-bagi serinci itu. Tapi MUNGKIN maksudnya menunjuk hal yang sama yaitu mengenai STATE of MIND.
Dalam tradisi Zen, seorang Master Zen jelas harus bisa MEMBEBASKAN PIKIRAN Beliau sendiri terlebih dulu (istilah kerennya ya jadi arahat) barulah bisa MEMBEBASKAN PIKIRAN orang lain (istilah kerennya ya jadi bodhisattva). Pencerahan yang dimaksud adalah KETERBEBASAN PIKIRAN.
Zen memang jauh lebih sederhana dalam terminologi/istilah dibandingkan Theravada ataupun Mahayana. Karena Zen langsung menunjuk pada PIKIRAN sesuai tradisi Master Zen Huineng.
Semoga penjelasan saya yang masih rendah dalam pencapaian meditasi / Zen ini dapat membantu Bro Adi Lim.
_/\_
jadi maksud bro sutarman, bahwa 'pencerahan mendadak/seketika' adalah pencerahan atau pencapaian menjadi mahluk Ariya(Sotapana s/d Arahant), karena kesederhanaan praktisi Zen :-?
begitu maksudnya ? ???
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 09:36:08 AM
Saya mau tanya, SEANDAINYA muncul kisah begini:
kisah dua orang Master Zen di Jepang. Yang satu mangkal di rumah bordil dan yang lain tidak. Padahal asusila 'dilarang' dalam Pancasila Buddhist yang dipatuhi praktisi Zen sekalipun apalagi bhiksu/master Zen . Master/Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menegur yang ke rumah bordil. Jawaban Guru Zen yang ke rumah bordil adalah: "Yang tidak ke rumah bordil BUKAN manusia.". Lalu Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menjawab: "Oh ya, kalau bukan manusia lalu apa?". Guru Zen yang ke rumah bordil menjawab singkat: "Buddha".
Bagaimana menurut Bro Sutarman?
ini Master ZEN beneran atau "Master-Master-an"... karena sudah ada modus-nya di aliran lain kalau senam-senam ataupun berendam di kolam renang (bareng wantia) juga termasuk di dalam salah satu ajaran/praktek ajaran... hahaha...
(Kali di ajaran itu juga "buddha-buddha-an")...
Ah... sulit la ngurus-in state of mind orang... ngurus-in state-of-mind sendiri aja susah...
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 09:36:08 AM
Saya mau tanya, SEANDAINYA muncul kisah begini:
kisah dua orang Master Zen di Jepang. Yang satu mangkal di rumah bordil dan yang lain tidak. Padahal asusila 'dilarang' dalam Pancasila Buddhist yang dipatuhi praktisi Zen sekalipun apalagi bhiksu/master Zen . Master/Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menegur yang ke rumah bordil. Jawaban Guru Zen yang ke rumah bordil adalah: "Yang tidak ke rumah bordil BUKAN manusia.". Lalu Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menjawab: "Oh ya, kalau bukan manusia lalu apa?". Guru Zen yang ke rumah bordil menjawab singkat: "Buddha".
Bagaimana menurut Bro Sutarman?
bantu jawab ya, walau saya bukan praktisi Zen.
memang pada dasarnya adalah Zen tidak terikat pada Pancasila. sebab utama orang minum arak & pergi rumah bordil adalah karena nafsu. jika seorang master Zen yg sudah tercerahkan, imo dia tidak terikat Pancasila lagi. dalam keadaan wajar ia akan otomatis tidak melanggar Pancasila, dalam keadaan khusus, ada sebab yg kita belum tercerahkan belum mengerti. tentunya pengakuan orang lain seseorang tercerahkan / belum itu tidak harus ditelan bulat2. makanya Zen termasuk Mahayana, ya pilih2 guru juga.
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 10:29:29 AM
ini Master ZEN beneran atau "Master-Master-an"... karena sudah ada modus-nya di aliran lain kalau senam-senam ataupun berendam di kolam renang (bareng wantia) juga termasuk di dalam salah satu ajaran/praktek ajaran... hahaha...
(Kali di ajaran itu juga "buddha-buddha-an")...
Ah... sulit la ngurus-in state of mind orang... ngurus-in state-of-mind sendiri aja susah...
Makanya menjadi pertanyaan menarik. Karena kalau gurunya saja begitu, bagaimana muridnya? Kalau gurunya begitu, sebetulnya apa sih yang diajarkan?
Quote from: tesla on 17 January 2011, 10:48:27 AM
bantu jawab ya, walau saya bukan praktisi Zen.
memang pada dasarnya adalah Zen tidak terikat pada Pancasila. sebab utama orang minum arak & pergi rumah bordil adalah karena nafsu. jika seorang master Zen yg sudah tercerahkan, imo dia tidak terikat Pancasila lagi. dalam keadaan wajar ia akan otomatis tidak melanggar Pancasila, dalam keadaan khusus, ada sebab yg kita belum tercerahkan belum mengerti. tentunya pengakuan orang lain seseorang tercerahkan / belum itu tidak harus ditelan bulat2. makanya Zen termasuk Mahayana, ya pilih2 guru juga.
Saya pikir bukan hanya praktisi Zen, tetapi semua orang yang telah memahami (apa pun agamanya), tidak lagi terikat pada pancasila atau aturan. Kalau misalnya dikatakan 'orang awam tidak mengerti', berarti sungguh menarik. Saya andaikan bayi yang mulai belajar berjalan. Ia bergerak merangkak, lalu berdiri, kadang-kadang jatuh lagi. Tapi lama-lama, ia sudah berjalan dengan baik, tidak jatuh lagi.
Seperti juga orang awam silanya 'bolong-bolong', kadang ditaati, kadang dilanggar. Tapi setelah latihan lama, idealnya silanya membaik dan tidak 'bolong-bolong' lagi.
Tapi dalam kasus "master" zen ini, seperti bayi belajar berdiri, setelah 'tercerahkan' maka merangkak lagi. Lalu apa sebetulnya yang dilatih? Apakah tujuannya?
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 10:02:10 AM
Itu akibat kesalahan MENELAN MENTAH-MENTAH kelakuan para Master Zen... Slogan ZEN kan langsung menuju ke pikiran... LAH, emang-nya tahu apa state of mind (pikiran) para Master Zen saat melakukan perilaku "nyeleneh" itu...
Maka-nya kan saya katakan kepada bro SUTARMAN... harus seperti LINJI (seorang master Zen) kalau mau ngomong MEET BUDDHA, KILL BUDDHA...
(Note : Koan (Gong-An) -- Ketemu Buddha, Bunuh Buddha -- adalah berasal dari Master LINJI)
Yang ini saya setuju. Bukan hanya seperti Linji saja, tetapi harus dalam keadaan yang sama, ditujukan pada pendengar yang sama, maka hal itu baru bisa cocok.
Dari komik zen juga saya baca tentang guru yang suka mengacungkan jempolnya ketika ditanya, "apa itu zen?" Lalu ketika sedang pergi, ada umat yang ingin bertanya dan seorang muridnya 'mewakili' gurunya mengacungkan jempol. Ketika guru itu pulang, ia marah pada kelakuan muridnya dan memotong jarinya. (Ini memang ekstrem.) Lalu gurunya bertanya, "apa itu zen?" Guru mengacungkan jempol, dan muridnya juga. Kemudian melihat perbedaan antara jempol si guru dan murid, maka si murid menjadi mengerti.
ternyata kebanyakan tahu zen dari komik, di antara segitu banyaknya buku2 zen, bahkan sudah banyak yg berbahasa indonesia...
Quote from: tesla on 17 January 2011, 10:48:27 AM
bantu jawab ya, walau saya bukan praktisi Zen.
memang pada dasarnya adalah Zen tidak terikat pada Pancasila. sebab utama orang minum arak & pergi rumah bordil adalah karena nafsu. jika seorang master Zen yg sudah tercerahkan, imo dia tidak terikat Pancasila lagi. dalam keadaan wajar ia akan otomatis tidak melanggar Pancasila, dalam keadaan khusus, ada sebab yg kita belum tercerahkan belum mengerti. tentunya pengakuan orang lain seseorang tercerahkan / belum itu tidak harus ditelan bulat2. makanya Zen termasuk Mahayana, ya pilih2 guru juga.
dalam kasus 'membelah kucing', maka kelihatan si Guru
tidak "otomatis menjaga sila", ia tetap melakukan pembunuhan. Padahal, jika bijak, ia mempunyai banyak cara lain untuk mengajarkan muridnya ketimbang membelah seekor kucing.
sy pribadi belum melihat manfaat-nya contoh kasus membelah kucing ini, tapi banyak murid2 zen yg senang dgn contoh2 ekstrim begini.
beberapa contoh zen, bisa sy pahami, tetapi bbrp lainnya, sy anggap terlalu ekstrim dan tidak akan sy anggap serius (tidak akan sy angkat untuk diceritakan ke org2 mewakili apa itu zen).
::
Quote from: morpheus on 17 January 2011, 11:48:55 AM
ternyata kebanyakan tahu zen dari komik, di antara segitu banyaknya buku2 zen, bahkan sudah banyak yg berbahasa indonesia...
betul, sy lebih senang membaca buku2 zen yg lbh 'masuk akal' (menurut sy yah...),
salah satunya buku2 D.T Suzuki.
::
Quote from: morpheus on 17 January 2011, 11:48:55 AM
ternyata kebanyakan tahu zen dari komik, di antara segitu banyaknya buku2 zen, bahkan sudah banyak yg berbahasa indonesia...
justru dari komik bisa berkembang ke buku ;D
kok beberapa kisah yang berbau zen, "sadis" atau ekstrem? kisah nyata atau rekaan tuh?
apakah ada masalah dengan komik zen? apakah komik zen menyesatkan?
tentu saja cerita yg dipilih untuk dijadikan komik satu halaman adalah cerita yg paling bernilai jual dan menarik.
ajaran yg dalam dan langsung menunjuk ke pikiran kadang2 memerlukan penjelasan dan konteks tertentu yg tidak dapat dimuat dalam komik satu halaman. dan jauh daripada itu, seperti yg dikatakan om sutarman, pelajaran zen memfokuskan pada meditasi dan pikiran. jadi kalo baca buku zen, isinya meditasi dan pikiran melulu... beda dengan image zen yg ada di komik2.
* bukan praktisi zen *
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 11:39:11 AM
Saya pikir bukan hanya praktisi Zen, tetapi semua orang yang telah memahami (apa pun agamanya), tidak lagi terikat pada pancasila atau aturan. Kalau misalnya dikatakan 'orang awam tidak mengerti', berarti sungguh menarik. Saya andaikan bayi yang mulai belajar berjalan. Ia bergerak merangkak, lalu berdiri, kadang-kadang jatuh lagi. Tapi lama-lama, ia sudah berjalan dengan baik, tidak jatuh lagi.
Seperti juga orang awam silanya 'bolong-bolong', kadang ditaati, kadang dilanggar. Tapi setelah latihan lama, idealnya silanya membaik dan tidak 'bolong-bolong' lagi.
Tapi dalam kasus "master" zen ini, seperti bayi belajar berdiri, setelah 'tercerahkan' maka merangkak lagi. Lalu apa sebetulnya yang dilatih? Apakah tujuannya?
kalau nafsunya sudah padam, tidak ada sila yg terlanggar lagi walau yg terlihat adalah pelanggaran sila. krn sebabnya sudah bukan nafsu.
sebenarnya masalahnya simpel saja, tolak ukurnya adalah padamnya LDM, masalahnya siapa yg bisa melihat perbuatan didasari LDM atau tidak tanpa kesaktian? umat theravada cenderung menilai tertawa, menangis, marah, dll (emosi yg ekspresif) didasari LDM, bagi praktisi Zen ya belum tentu. karena tolak ukurnya ini memang susah ya. dalam praktik Mahayana patokannya ya emg "guru". pada praktik Theravada patokannya "kitab". sama aja kan? salah pilih guru atau salah pilih kitab ya sama2 salah jalan ;D
Quote from: williamhalim on 17 January 2011, 11:54:27 AM
dalam kasus 'membelah kucing', maka kelihatan si Guru tidak "otomatis menjaga sila", ia tetap melakukan pembunuhan. Padahal, jika bijak, ia mempunyai banyak cara lain untuk mengajarkan muridnya ketimbang membelah seekor kucing.
saya pribadi pun tidak setuju dg pembunuhan kucing tsb, namun kita tidak bisa serta merta men-judge ini bijak ini tidak-bijak. saya kira ko willi melihat "nyawa" mahkluk hidup terlalu berharga utk dikorbankan, sedangkan master zen itu tidak. ini bukan membela, saya pun tidak akan mengikuti guru demikian. hanya mo share, sebenarnya apa yg kita lihat itu ada nilai2 tersendiri bagi kita & dalam hal ini pun saya melihat nyawa mahkluk hidup terlalu berharga :)
Quote
sy pribadi belum melihat manfaat-nya contoh kasus membelah kucing ini, tapi banyak murid2 zen yg senang dgn contoh2 ekstrim begini.
beberapa contoh zen, bisa sy pahami, tetapi bbrp lainnya, sy anggap terlalu ekstrim dan tidak akan sy anggap serius (tidak akan sy angkat untuk diceritakan ke org2 mewakili apa itu zen).
::
tinggalkan yg tidak bermanfaat, tinggalkan guru2 yg ekstrim... dalam Zen bahkan murid bisa jadi guru & guru bisa jadi murid. jadi Zen itu sulit diukur hehe..
Quote from: tesla on 17 January 2011, 01:03:25 PM
kalau nafsunya sudah padam, tidak ada sila yg terlanggar lagi walau yg terlihat adalah pelanggaran sila. krn sebabnya sudah bukan nafsu.
sebenarnya masalahnya simpel saja, tolak ukurnya adalah padamnya LDM, masalahnya siapa yg bisa melihat perbuatan didasari LDM atau tidak tanpa kesaktian? umat theravada cenderung menilai tertawa, menangis, marah, dll (emosi yg ekspresif) didasari LDM, bagi praktisi Zen ya belum tentu. karena tolak ukurnya ini memang susah ya. dalam praktik Mahayana patokannya ya emg "guru". pada praktik Theravada patokannya "kitab". sama aja kan? salah pilih guru atau salah pilih kitab ya sama2 salah jalan ;D
Secara sederhana, kalau alasannya hanya 'tanpa kesaktian tidak ada yang tahu padamnya LDM', saya juga bisa jadi seorang master. Toh kalau murid bertanya, "Master, kenapa dari tadi lihatin cewek sebelah itu?", tinggal saya jawab: "saya sedang mindful, meditasi subha jhana 1.5." Toh, siapa yang bisa buktikan juga padamnya LDM saya? ;D
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 01:57:45 PM
Secara sederhana, kalau alasannya hanya 'tanpa kesaktian tidak ada yang tahu padamnya LDM', saya juga bisa jadi seorang master. Toh kalau murid bertanya, "Master, kenapa dari tadi lihatin cewek sebelah itu?", tinggal saya jawab: "saya sedang mindful, meditasi subha jhana 1.5." Toh, siapa yang bisa buktikan juga padamnya LDM saya? ;D
benar bro, kalau mau membohongi orang lain tergantung skill bro utk membangun public image >:D kalau mau membohongi diri sendiri lebih sulit hehe
ini kayak perbedaan melihat gelas setengah kosong dan setengah isi.
theravadin melihatnya dari segi perlunya pegangan baku untuk sesuatu, mengorbankan fleksibilitas.
sedangkan non-theravadin melihatnya dari segi fleksibilitas, mengorbankan kebakuan dan penyalahgunaan oknum.
tidak ada yg lebih benar, tergantung mana yg penting dari sudut pandang masing2.
Quote from: morpheus on 17 January 2011, 11:48:55 AM
ternyata kebanyakan tahu zen dari komik, di antara segitu banyaknya buku2 zen, bahkan sudah banyak yg berbahasa indonesia...
Justru Zen yang menarik-nya yang di "komik-komik" itu... Dan konon mengapa sekarang kalau belajar ZEN itu yang banyak tata-cara-nya bla bla bla itu... karena sinkretisme dari Aliran Utara (Shen Xiu = Murid kepala dari Master Hong Ren) dan Aliran Selatan (Hui Neng).
Aliran Selatan (Hui Neng) fokus pada pencerahan langsung, sedangkan Aliran utara (Shen Xiu) dengan dukungan Ratu Wu Ze Tian fokus pada pencerahan bertahap (lebih menekankan pada ZaZen / Zuo Chan / Meditasi).
Quote from: morpheus on 17 January 2011, 02:08:46 PM
ini kayak perbedaan melihat gelas setengah kosong dan setengah isi.
theravadin melihatnya dari segi perlunya pegangan baku untuk sesuatu, mengorbankan fleksibilitas.
sedangkan non-theravadin melihatnya dari segi fleksibilitas, mengorbankan kebakuan dan penyalahgunaan oknum.
tidak ada yg lebih benar, tergantung mana yg penting dari sudut pandang masing2.
Menurut Logis, lebih banyak HOAX-nya dari aliran yang di-batas-i dengan vinaya (ketat) ataupun yang hanya mengandalkan pada fleksibilitas/state of mind/pencerahan secara normatif (tidak dibatasi dengan vinaya ketat) ?
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 03:55:00 PM
Justru Zen yang menarik-nya yang di "komik-komik" itu... Dan konon mengapa sekarang kalau belajar ZEN itu yang banyak tata-cara-nya bla bla bla itu... karena sinkretisme dari Aliran Utara (Shen Xiu = Murid kepala dari Master Hong Ren) dan Aliran Selatan (Hui Neng).
Aliran Selatan (Hui Neng) fokus pada pencerahan langsung, sedangkan Aliran utara (Shen Xiu) dengan dukungan Ratu Wu Ze Tian fokus pada pencerahan bertahap (lebih menekankan pada ZaZen / Zuo Chan / Meditasi).
thanks infonya...
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 03:57:01 PM
Menurut Logis, lebih banyak HOAX-nya dari aliran yang di-batas-i dengan vinaya (ketat) ataupun yang hanya mengandalkan pada fleksibilitas/state of mind/pencerahan secara normatif (tidak dibatasi dengan vinaya ketat) ?
saya tidak bisa menilai, om. menurut saya, saat ini keduanya dalam kondisi yg memprihatinkan...
Quote from: morpheus on 17 January 2011, 04:43:20 PM
thanks infonya...saya tidak bisa menilai, om. menurut saya, saat ini keduanya dalam kondisi yg memprihatinkan...
Ada contoh kasus pelanggaran dari orde (sekte) yang strict pada vinaya yang ketat (mungkin dalam hal ini : kita anggap saja Theravada) ?
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 05:03:35 PM
Ada contoh kasus pelanggaran dari orde (sekte) yang strict pada vinaya yang ketat (mungkin dalam hal ini : kita anggap saja Theravada) ?
Pasti ada. Ingat bhikkhu bergitar?
Bedanya, di vinaya strict = apati; di vinaya fleksibel = tercerahkan.
Silahkan pilih yang cocok.
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 05:03:35 PM
Ada contoh kasus pelanggaran dari orde (sekte) yang strict pada vinaya yang ketat (mungkin dalam hal ini : kita anggap saja Theravada) ?
ada kok yg saya tau bhikkhu Theravada yg punya rekening bank
atas namanya, punya kartu kredit
atas nama orang lain. bagi saya sih mereka ga salah, jadi saya ga akan kasih tau namanya di sini, cuma mo kasih tau. adaaa
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 05:03:35 PM
Ada contoh kasus pelanggaran dari orde (sekte) yang strict pada vinaya yang ketat (mungkin dalam hal ini : kita anggap saja Theravada) ?
aduh, berhubung saya bertahun2 mengamati di sana, tak terhitung om...
kita liat yg di luar tanah air saja lah biar enak. baca the broken buddha...
bhikkhu.. dalam tradisi mana pun pasti ada pelangaran vinaya.. bahkan yg hidup dimasa sang Buddha
tambahan : kecuali yg gak punya vinaya tentunya :P , maka tak ada yg di langgar
Apa bener guru ZEN masih sering memukulin kepala muridnya ?
dgn alat apa yg guru melakukan itu ? sakitkah ?
apakah akan membuat muridnya tambah bodoh ?
(mengingat otak ada bagian tubuh yg rawan goncangan)
itu dulu ya....
Quote from: johan3000 on 17 January 2011, 06:09:02 PM
Apa bener guru ZEN masih sering memukulin kepala muridnya ?
dgn alat apa yg guru melakukan itu ? sakitkah ?
apakah akan membuat muridnya tambah bodoh ?
(mengingat otak ada bagian tubuh yg rawan goncangan)
itu dulu ya....
Guru ZEN yang suka mukul-in kepala murid-nya = mungkiin Copy Cat tanpa tahu apa esensi-nya...
Quote from: The Ronald on 17 January 2011, 06:03:49 PM
bhikkhu.. dalam tradisi mana pun pasti ada pelangaran vinaya.. bahkan yg hidup dimasa sang Buddha
tambahan : kecuali yg gak punya vinaya tentunya :P , maka tak ada yg di langgar
Yang pinter berkelit ?
Namo Buddhaya,
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 05:27:23 PM
Pasti ada. Ingat bhikkhu bergitar?
Bedanya, di vinaya strict = apati; di vinaya fleksibel = tercerahkan.
Silahkan pilih yang cocok.
Kalo seorang Bhante menyanyikan lagu Buddhist bagaimana itu bro melanggar Vinaya apa tidak?
_/\_
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 06:23:46 PM
Namo Buddhaya,
Kalo seorang Bhante menyanyikan lagu Buddhist bagaimana itu bro melanggar Vinaya apa tidak?
_/\_
bro triyana, kita liat aturanya dulu, boleh atau tidak untuk memainkan alat musik dan menyanyi ? klo menurut bro triyana, apakah boleh seorang bhikkhu memainkan alat musik dan bernyanyi ?
klo dalam pandangan aa'tono, aturan tetap lah aturan, aturan dibuat pasti lah ada alasan nya, aturan yg benar dan tegas adalah aturan yg tanpa adanya kebijakkan khusus apa pun alasan nya...
nurut aa, seorang bhikkhu tidak lah layak memainkan alat musik dan bernyanyi, karena dapat menyebabkan seorang bhikkhu sibuk ngurus kegiatan itu daripada belajar dhamma dan melatih meditasi, belum lagi dapat mempengaruhi perasaan si bhikkhu dan bs menyebabkan bhikkhu terlibat dalam kegiatan perumah tangga...
klo aturan itu telah jelas bahwa tidak dibenarkan seorang bhikkhu untuk memainkan alat musik dan bernyanyi, maka mau alat musik tipe apa pun, lagu jenis apa pun tetap tidak dibenarkan. klo seseorang yg pandai berkelit, maka akan mencari2 peluang untuk memuaskan keinginan dirinya dengan menggunakan berbagai alasan dan meminta pemakluman/kebijakkan khusus, contohnya : ini lagu buddhist kan ga masalah, kan masih ada hubungan dengan dhamma... klo dah gini, cape deh...
kalau mengetuk diatas "ikan kayu" apakah juga termasuk alat musik ?
Quote from: johan3000 on 17 January 2011, 06:59:29 PM
kalau mengetuk diatas "ikan kayu" apakah juga termasuk alat musik ?
tergantung apakah dimainkan untuk tujuan menimbulkan bunyi2 tertentu dan menikmati ragam bunyi yg di hasilkan. terlebih lagi, niat nya apa tuh mengetuk diatas "ikan kayu" ?
aa tulis2 yg agak kontra gini, malah di kasih reputasi buruk ma oknum yg tersindir dengan tulisan aa... nasib... nasib... hahahaha...
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 06:15:52 PM
Guru ZEN yang suka mukul-in kepala murid-nya = mungkiin Copy Cat tanpa tahu apa esensi-nya...
uweee lihat guru ZEN dlm kelas meditasi mengeluarkan kayu yg cukup besar utk...
"memukul" muridnya bila postur dlm meditasi gak bener... sekali "memijat" gitu ya...
gw juga suka pukul2 punggung kalau lagi capek... tapi pakai penggaris besi lhoooo :)) :))
Quote from: dilbert on 17 January 2011, 06:15:52 PM
Guru ZEN yang suka mukul-in kepala murid-nya = mungkiin Copy Cat tanpa tahu apa esensi-nya...
Quote from: johan3000 on 17 January 2011, 07:07:40 PM
uweee lihat guru ZEN dlm kelas meditasi mengeluarkan kayu yg cukup besar utk...
"memukul" muridnya bila postur dlm meditasi gak bener... sekali "memijat" gitu ya...
gw juga suka pukul2 punggung kalau lagi capek... tapi pakai penggaris besi lhoooo :)) :))
aa jd inget, jaman dulu orang tua suka mukul anak nya klo nakal menggunakan potongan dahan rotan, karena turun menurun, muncul nilai histori sendiri, bahwa rotan itu bisa menyadarkan anak yg nakal... nah loh, klo dah gini apa ga repot tuh... kira2 mirip gini lah ZEN tentang memukul kepala murid yg mungkin waktu dulu digunakan untuk memberikan hukuman kepada murid karena males/nakal...
hal sederhana kadang bs membuat kita masuk dalam kedangkalan berpikir...
Pada buku 'Xu-yun,awan kosong'
Seorang master zen yg terkenal seantero tiongkok pernah menyelamatkan seorang gadis yg berniat bunuh diri dgn cara menenggelamkan diri ke sungai..
Tanya;
*apakah bhikkhu zen memiliki vinaya?
*berapa jumlah vinayanya?
*apakah memegang wanita melanggar vinaya?
Namo Buddhaya,
Quote from: johan3000 on 17 January 2011, 07:07:40 PM
uweee lihat guru ZEN dlm kelas meditasi mengeluarkan kayu yg cukup besar utk...
"memukul" muridnya bila postur dlm meditasi gak bener... sekali "memijat" gitu ya...
gw juga suka pukul2 punggung kalau lagi capek... tapi pakai penggaris besi lhoooo :)) :))
Kapan dan di Vihara mana?
No Info = Hoax
_/\_
Namo Buddhaya,
Quote from: dhanuttono on 17 January 2011, 07:14:44 PM
aa jd inget, jaman dulu orang tua suka mukul anak nya klo nakal menggunakan potongan dahan rotan, karena turun menurun, muncul nilai histori sendiri, bahwa rotan itu bisa menyadarkan anak yg nakal... nah loh, klo dah gini apa ga repot tuh... kira2 mirip gini lah ZEN tentang memukul kepala murid yg mungkin waktu dulu digunakan untuk memberikan hukuman kepada murid karena males/nakal...
hal sederhana kadang bs membuat kita masuk dalam kedangkalan berpikir...
:)) Maksudmu Kyosaku, ini stik kayu digunakan sama Zen Master kalo dilihat orang itu mulai mengantuk atau melamun. Dipukulkan dibagian bahu hanya untuk membangunkan orang itu dari ngantuk dan lamunan agar kembali kemasa kini. Ini tongkat bentuknya datar dan kalo dipukulkan bisa menimbulkan bunyi yang nyaring. Jadi ini tongkat bukan buat melukai siswa Zen tapi buat "menyadarkan" saja.
_/\_
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 08:10:35 PM
Namo Buddhaya,
:)) Maksudmu Kyosaku, ini stik kayu digunakan sama Zen Master kalo dilihat orang itu mulai mengantuk atau melamun. Dipukulkan dibagian bahu hanya untuk membangunkan orang itu dari ngantuk dan lamunan agar kembali kemasa kini. Ini tongkat bentuknya datar dan kalo dipukulkan bisa menimbulkan bunyi yang nyaring. Jadi ini tongkat bukan buat melukai siswa Zen tapi buat "menyadarkan" saja.
_/\_
kasar amat ya ? buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha...
=)) =))
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 05:27:23 PM
Pasti ada. Ingat bhikkhu bergitar?
Bedanya, di vinaya strict = apati; di vinaya fleksibel = tercerahkan.
Silahkan pilih yang cocok.
Menurut saya Bhikkhu bergitar Theravada nggak pas, Mahayana bukan...
Namo Buddhaya,
Quote from: dhanuttono on 17 January 2011, 08:33:12 PM
kasar amat ya ? buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha...
=)) =))
Kok anda bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Kalo semua Kisah Sang Buddha harus termaktub dalam Kitab anda tentu tidak cukup buat menuliskanya, tidak tertulis dalam Kitab anda bukan berarti hal tersebut tidak ada.
_/\_
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 09:02:55 PM
Namo Buddhaya,
Kok anda bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Kalo semua Kisah Sang Buddha harus termaktub dalam Kitab anda tentu tidak cukup buat menuliskanya, tidak tertulis dalam Kitab anda bukan berarti hal tersebut tidak ada.
_/\_
Tidak tertulis dalam kitab, kok anda bisa tau, Bro? apakah anda pernah terlahir di masa itu dan memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau?
Namo Buddhaya,
Quote from: Indra on 17 January 2011, 09:10:18 PM
Tidak tertulis dalam kitab, kok anda bisa tau, Bro? apakah anda pernah terlahir di masa itu dan memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau?
"kasar amat ya ?
buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha..."
Ya karena Kitab terbatas tidak mungkin memuat seluruh Kisah Sang Buddha jadi tidak dapat dikatakan Buddha tidak mengajarkan hal tersebut, mungkin saja Beliau mengajarkan tetapi tidak tercatat atau mungkin juga tidak mengajarkan hal tersebut, tetapi kemungkinan Beliau mengajarkan hal tersebut tetap ada.
_/\_
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 09:23:16 PM
Namo Buddhaya,
"kasar amat ya ? buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha..."
Ya karena Kitab terbatas tidak mungkin memuat seluruh Kisah Sang Buddha jadi tidak dapat dikatakan Buddha tidak mengajarkan hal tersebut, mungkin saja Beliau mengajarkan tetapi tidak tercatat atau mungkin juga tidak mengajarkan hal tersebut, tetapi kemungkinan Beliau mengajarkan hal tersebut tetap ada.
_/\_
kalau begitu scorenya masih 50:50, sama2 berspekulasi
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 09:23:16 PM
Namo Buddhaya,
"kasar amat ya ? buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha..."
Ya karena Kitab terbatas tidak mungkin memuat seluruh Kisah Sang Buddha jadi tidak dapat dikatakan Buddha tidak mengajarkan hal tersebut, mungkin saja Beliau mengajarkan tetapi tidak tercatat atau mungkin juga tidak mengajarkan hal tersebut, tetapi kemungkinan Beliau mengajarkan hal tersebut tetap ada.
_/\_
Setuju Bro... mungkin saja Sang Buddha mengajarkan agar jangan parkir mobil sembarangan, mengajarkan bagaimana membuat pupuk kompos, mengajarkan agar jangan melanggar rambu lalu lintas, mengajarkan agar jangan terlalu banyak makan makanan yang mengandung kolesterol dsbnya.
Tetapi
karena kitab terbatas tidak mungkin memuat semua kisah Sang Buddha, jadi tidak dapat dikatakan Sang Buddha tidak mengajarkan hal tersebut, mungkin saja Beliau mengajarkan tetapi tidak tercatat atau mungkin juga tidak mengajarkan hal tersebut, tetapi kemungkinan Beliau mengajarkan hal tersebut tetap ada.Mettacittena,
ini diskusi utak atik gatuk... hahaha... tp aa suka model gini, pinter2 main2 kalimat aja, muter sana... muter sini...
walau tidak tertulis dalam kitab suci, aa yakin buddha "tidak mengajar meditasi dengan cara" yg tidak etis dan kasar seperti yg dilakukan guru ZEN dengan memukul pundak/kepala murid, sedang kan tindakan buddha yg tertulis saja tidak kasar apalagi tindakan yg tidak tertulis...
meditasi adalah untuk melatih pikiran dan kesadaran, jika seorang murid ngantuk/malas bukan dengan cara memukul, tp mengatasi masalah ngantuk/malas iu terlebih dulu jauh lebih bermanfaat dr pd memukul pundak/kepala si murid, dr sisi psikologi saja aa yakin hal ini tidak membantu dalam proses latihan...
walau kitab terbatas, tp tindakan buddha secara garis besar dapat disimpulkan dari catatan yg ada yaitu penuh dengan cinta kasih... tentunya tindakan buddha tidak mungkin bertentangan dengan kesimpulan dari catatan yg ada yaitu memukul pundak/kepala murid (bhikkhu)
mukul pake tongkat kayu itu bagian dari tradisi dan teknik zen. kata praktisinya, sekali kena pukul di bahu (karena ngantuk2, dan tidak sakit), jadinya balik konsentrasi dan segar kembali karena takut kena pukul lagi. ini sama seperti teknik meditasi ajaran theravada yg kalo ngantuk dianjurkan agar meditasi didekat tempat yg bisa jatuh (jurang? pinggir aer?) agar ada rasa takut jatuh sehingga gak ngantuk lagi.
Quote from: dhanuttono on 17 January 2011, 08:33:12 PM
kasar amat ya ? buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha...
tidak semua teknik harus diajarkan Buddha secara mendetil, karena memang catatannya (tipitaka) tidak mendetil juga.
toh banyak guru2 meditasi theravada mengajarkan teknik yg gak ada di tipitaka seperti body scanning, rileksasi, dll. adanya metode goenka dan mahasi maupun pa auk sendiri menyatakan banyaknya perbedaan teknik dan gak semuanya ada di tipitaka. esensinya yg penting.
jangan asal ngeliat teknik non-theravada lalu buru2 buka mulut mengkritik.. pahamilah alasannya terlebih dulu. kalo udah paham tapi gak setuju, nyatakanlah dengan baik...
QuoteIni menjadi diketahui bahwa Maezumi [Roshi / guru dari Pusat Zen di Los Angeles] punya sejumlah urusan dengan siswa perempuan dan juga memasuki klinik kering-out untuk alkoholik (Rawlinson, 1997).
Pada tahun 1975, 1979 serta tahun 1982, Studi Zen Masyarakat sudah diguncang oleh rumor penghubung dugaan Eido Roshi Teman-seks dengan siswa perempuan ...
Apakah berita diatas bener ?
Benarkan tidak semua guru ZEN adalah baik ?
adakah yg mengenal Maezumi ?
apa dia melakukan hal tsb dgn siswa perempuannya ?
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 12:48:52 AM
Apakah berita diatas bener ?
Benarkan tidak semua guru ZEN adalah baik ?
adakah yg mengenal Maezumi ?
apa dia melakukan hal tsb dgn siswa perempuannya ?
bold hitam
tidak kenal
lebih terkenal Miyabi ? =)) =))
maaf !
:backtotopic:
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 09:23:16 PM
Ya karena Kitab terbatas tidak mungkin memuat seluruh Kisah Sang Buddha jadi tidak dapat dikatakan Buddha tidak mengajarkan hal tersebut, mungkin saja Beliau mengajarkan tetapi tidak tercatat atau mungkin juga tidak mengajarkan hal tersebut, tetapi kemungkinan Beliau mengajarkan hal tersebut tetap ada.
spekulasi atau berkilah ! :))
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 06:23:46 PM
Namo Buddhaya,
Kalo seorang Bhante menyanyikan lagu Buddhist bagaimana itu bro melanggar Vinaya apa tidak?
_/\_
Ini sudah dibahas. Dalam vinaya Theravada, tidak menyanyikan lagu itu mencakup semua lagu, termasuk lagu dhamma/duniawi. Dalam mengajar juga tidak diperkenankan 'menyanyikan' dhamma karena 5 kerugian: si bhikkhu terikat keindahan suara, orang lain terikat keindahan suara, konsentrasinya melemah, orang lain akan mengecilkan bhikkhu tersebut, dan terakhir, memberi contoh jelek sehingga orang lain akan ikutan melakukannya.
Quote from: fabian c on 17 January 2011, 08:55:15 PM
Menurut saya Bhikkhu bergitar Theravada nggak pas, Mahayana bukan...
'Biku' campur aduk, barangkali. Bukan mobil saja yang hybrid, 'biku' juga bisa hybrid.
Quote from: morpheus on 17 January 2011, 11:32:52 PM
mukul pake tongkat kayu itu bagian dari tradisi dan teknik zen. kata praktisinya, sekali kena pukul di bahu (karena ngantuk2, dan tidak sakit), jadinya balik konsentrasi dan segar kembali karena takut kena pukul lagi. ini sama seperti teknik meditasi ajaran theravada yg kalo ngantuk dianjurkan agar meditasi didekat tempat yg bisa jatuh (jurang? pinggir aer?) agar ada rasa takut jatuh sehingga gak ngantuk lagi.
tidak semua teknik harus diajarkan Buddha secara mendetil, karena memang catatannya (tipitaka) tidak mendetil juga.
toh banyak guru2 meditasi theravada mengajarkan teknik yg gak ada di tipitaka seperti body scanning, rileksasi, dll. adanya metode goenka dan mahasi maupun pa auk sendiri menyatakan banyaknya perbedaan teknik dan gak semuanya ada di tipitaka. esensinya yg penting.
jangan asal ngeliat teknik non-theravada lalu buru2 buka mulut mengkritik.. pahamilah alasannya terlebih dulu. kalo udah paham tapi gak setuju, nyatakanlah dengan baik...
dengan perkembangan teknologi, ntar latihan meditasi klo murid lg ngantuk/malas, di strum listrik tegangan rendah, biar terkejut dan punya rasa takut... keren juga...
tp efek jera ini berlaku untuk mereka yg benar2 menyukai meditasi, cilaka nya tuk orang yg tidak terlalu menyukai meditasi dan umat agama lain, trus pengen nyoba latihan meditasi trus dipukul pundak/bahu/kepala nya... aa rasa bsok ga bakal balik...
disekolah umum aja, klo anak suka tidur/nakal trus dipukul oleh guru dengan tujuan memberikan rasa jera/kapok/peringatan bisa menimbulkan efek psikologi lain, anak jd minder/takut ma guru/ga mau turun sekolah... apakah masih layak mengajar dengan "cara efek jera" seperti itu ?
walau tidak tertulis di tipitika theravada, aa yakin buddha tidak akan mengajar dengan cara2 yg kurang pantas layak/pantas untuk dilakukan terlebih oleh seorang guru yg bijaksana. alasan aa'tono buka mulut, ya untuk mengkritisi si praktisi ZEN yg kontra di thread ini, bukan praktisi ZEN secara umum...
pahami konsep pengajaran meditasi di ZEN ? uda paham, makanya aa tidak tertarik. sampaikan dengan baik ? itu udah sangat baik... sy hanya mengikuti tulisan dan gaya bicara si praktisi ZEN yg kontra di thread ini...
santai aja bro...
Quote from: Triyana2009 on 17 January 2011, 09:23:16 PM
Namo Buddhaya,
"kasar amat ya ? buddha aja tidak mengajarkan meditasi dengan cara seperti itu... dan tentunya buddha tidak mencontek teknik meditasi ZEN dan harus di inget ZEN itu turunan dari buddha..."
Ya karena Kitab terbatas tidak mungkin memuat seluruh Kisah Sang Buddha jadi tidak dapat dikatakan Buddha tidak mengajarkan hal tersebut, mungkin saja Beliau mengajarkan tetapi tidak tercatat atau mungkin juga tidak mengajarkan hal tersebut, tetapi kemungkinan Beliau mengajarkan hal tersebut tetap ada.
_/\_
Nah, ini sungguh menarik.
Tahukah anda bahwa Buddha pernah mengatakan, "di masa depan, ada yang melencengkan ajaranku dan menamakan diri aliran zen"?
Di manakah rujukannya? Tidak ada. Tapi karena kitab tidak dapat memuat seluruhnya, bukan berarti Buddha tidak mengatakannya.
Quote from: dhanuttono on 18 January 2011, 08:26:11 AM
dengan perkembangan teknologi, ntar latihan meditasi klo murid lg ngantuk/malas, di strum listrik tegangan rendah, biar terkejut dan punya rasa takut... keren juga...
tp efek jera ini berlaku untuk mereka yg benar2 menyukai meditasi, cilaka nya tuk orang yg tidak terlalu menyukai meditasi dan umat agama lain, trus pengen nyoba latihan meditasi trus dipukul pundak/bahu/kepala nya... aa rasa bsok ga bakal balik...
disekolah umum aja, klo anak suka tidur/nakal trus dipukul oleh guru dengan tujuan memberikan rasa jera/kapok/peringatan bisa menimbulkan efek psikologi lain, anak jd minder/takut ma guru/ga mau turun sekolah... apakah masih layak mengajar dengan "cara efek jera" seperti itu ?
temen saya yg praktisi zen, justru pernah bilang kalo dia pengen sekali merasakan dipukul pake kayu itu dan karena dia meditasinya kagak ngantuk, gak kebagian deh...
dari reply anda, sya menyimpulkan anda sama sekali gak tertarik untuk berdiskusi, melainkan hanya ingin berdebat.
sampai di sini aja untuk percakapan dengan anda ditopik ini.
Quote from: dhanuttono on 18 January 2011, 08:26:11 AM
walau tidak tertulis di tipitika theravada, aa yakin buddha tidak akan mengajar dengan cara2 yg kurang pantas layak/pantas untuk dilakukan terlebih oleh seorang guru yg bijaksana. alasan aa'tono buka mulut, ya untuk mengkritisi si praktisi ZEN yg kontra di thread ini, bukan praktisi ZEN secara umum...
pahami konsep pengajaran meditasi di ZEN ? uda paham, makanya aa tidak tertarik. sampaikan dengan baik ? itu udah sangat baik... sy hanya mengikuti tulisan dan gaya bicara si praktisi ZEN yg kontra di thread ini...
sayang sekali, post2 anda justru telah mengkritisi praktik zen secara umum dengan membabi buta.
dan sekali lagi saya melihat di forum ini pemikiran: "dia salah, saya balas salah".
salah dibalas salah tidak menjadikan salah satunya benar.
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fitisnotreal.com%2Fimages%2FMaezumi%2520Roshi.jpg&hash=15d862f76eb3a05d0c98e43f38a398b505e302bd)
Hakuyū Taizan Maezumi (February 24, 1931—May 15, 1995) was a Japanese Zen rōshi and lineage holder in the Sōtō, Rinzai and Harada-Yasutani lineages—an unusual background for any Zen teacher. He combined the Rinzai use of koans and the Sōtō emphasis on shikantaza in his teachings, influenced by his years studying under Hakuun Yasutani in the Harada-Yasutani school. Through his decades of teaching he founded or co-founded several institutions and practice centers, among them being the Zen Center of Los Angeles, White Plum Asanga, Yokoji Zen Mountain Center and the Zen Mountain Monastery.
Maezumi secara pulik mengakui bahwa ia seorang alkoholik di tahun 1983. Pada tahuntsb ia dikirim ke Betty Ford Clinic untuk pengobatan. Hal ini bertepatan dengan diketahuinya ia telah memiliki hubungan seksual dengan beberapa pengikut perempuan di Pusat Zen di Los Angeles. Meskipun menikah dengan istrinya Martha Ekyo Maezumi (Maezumi mulai minum alkohol, merokok sewaktu menjadi tentara AS selama Perang Dunia II). Dia dgn tegar datang mengakui kesalahannya dan tidak upaya menutupin hal tsb. Hal ini menyebabkan banyak kekacauan di sekolahnya, dan banyak siswa pergi..........
Quote from: adi lim on 18 January 2011, 06:14:03 AM
bold hitam
tidak kenal
lebih terkenal Miyabi ? =)) =))
maaf !
:backtotopic:
Nah kenapa guru ZEN sekaliber Maezumi juga bisa melakukan kesalahan/penyimpangan Sexual dgn siswinya ?
adakah guideline utk pencegahan ? adakah tanda2 penyimpangan akan terjadi ?
Ataukah siswinya yg memberikan "kebaikan" (baca services) yg tidak benar ?
silahkan dijawab lengkap....
utk bro Triyana... kayu pukul yg digunakan dlm Meditasi gak perlu fotonya lagi... karna member2 mengaku memangnya begitu.... apakah bro Triyana pernah mengikutin meditasi Zen ?
_/\_ ;D
kalo kita ingin membandingkan kecap abc dengan kecap bango, tentu kita harus membandingkan kecap abc yg perfect dengan kecap bango yg perfect pula. masa mau membandingkan kecap abc yg perfect dengan kecap bango yg busuk, trus kasih testimoni "kecap bango payah, baunya busuk! kecap abc nomor satu!".
kalo begitu perbandingannya, ntar forum jadi perang banyak2an kecap abc busuk dengan kecap bango busuk...
gak objektif dan gak cerdas.
bukankah seharusnya ada rasa persaudaraan "sesama penggemar kecap" dan saling mengerti "rasa khas kecap bango dan abc"?
dari judul thread udah jelas koq, "pertanyaan kritis mengenai zen menurut pandangan yg berbeda" klo tulisan sy yg telah mengkritisi praktisi zen, dianggap melukai praktisi zen, tutup aja thread ini bro... sy ga pernah ngajak diskus seseorang apa lg pake acara mengatakan tulisan saya debat bkn diskusi, itu terlalu childish bagi sy seperti yg dilakukan oleh pakar mmd, jd kenapa anda ngambek dan mengatakan ngakhiri diskusi dgn sy ? sy tidak pernah mengajak anda tuk berdiskusi secara langsung koq...
seingat sy di dunia maya, klo ga suka tulisan orang lain, di skip aja/ga usah ditanggapi... paling gampang lg report to moderator untuk ban sy, tu ada link nya dibawa tulisan sy, itu jauh lebih seru... dr pd mengatakan sy ini itu...
Quote from: morpheus on 18 January 2011, 09:51:27 AM
kalo kita ingin membandingkan kecap abc dengan kecap bango, tentu kita harus membandingkan kecap abc yg perfect dengan kecap bango yg perfect pula. masa mau membandingkan kecap abc yg perfect dengan kecap bango yg busuk, trus kasih testimoni "kecap bango payah, baunya busuk! kecap abc nomor satu!".
kalo begitu perbandingannya, ntar forum jadi perang banyak2an kecap abc busuk dengan kecap bango busuk...
gak objektif dan gak cerdas.
bukankah seharusnya ada rasa persaudaraan "sesama penggemar kecap" dan saling mengerti "rasa khas kecap bango dan abc"?
iya bro morpheus ,
gw lebih tertarik kenapa kecap tsb bisa menjadi busuk.
dan apa solusinya...
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 10:02:08 AM
iya bro morpheus ,
gw lebih tertarik kenapa kecap tsb bisa menjadi busuk.
dan apa solusinya...
solusi nya, jangan dilakukan hal yg emang tidak perlu dilakukan, esensi meditasi bukan untuk membuat orang semakin jera/kapok dengan meditasi itu... oh hal buruk klo di hilangkan bs melukai ZEN... ya silakan klo mau terus memelihara kejelekan itu, maka hasil yg didapat tidak akan maksimal...
dr literatur yg ada, ada murid yg tidak dapat berkonsentrasi dalam meditasi, buddha hanya meminta murid tersebut untuk meletakkan kain putih didapan wajahnya ketika bermeditasi, apa yg bs ditangkap dr literatur ini ?
oh ini tradisi yg uda ratusan taon... ya silaken... itu hak anda... tanggapan sy tetap sama seperti awal, anak sekolah saja klo dipukul, pasti malu/takut/ngeri efek negatif nya besar sekali... klo mau diterapkan di meditasi, ya silaken aja, dr pd sy di kata ngajak debat... cape de...
Setahu saya pukulan waktu meditasi Zen itu hanya suaranya besar, tapi tidak mungkin melukai (kecuali memang sengaja dipukulkan sekencang-kencangnya, kurang tahu juga). Tujuannya bukan untuk bikin kapok atau malu, tapi sekadar menyadarkan saja. Sama seperti kita tampar pipi kalau ngantuk supaya lebih sadar.
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 10:02:08 AM
dan apa solusinya...
solusinya: cerdaskan umat.
Quote from: dhanuttono on 18 January 2011, 10:09:22 AM
solusi nya, jangan dilakukan hal yg emang tidak perlu dilakukan, esensi meditasi bukan untuk membuat orang semakin jera/kapok dengan meditasi itu... oh hal buruk klo di hilangkan bs melukai ZEN... ya silakan klo mau terus memelihara kejelekan itu, maka hasil yg didapat tidak akan maksimal...
oh ini tradisi yg uda ratusan taon... ya silaken... itu hak anda... tanggapan sy tetap sama seperti awal, anak sekolah saja klo dipukul, pasti malu/takut/ngeri efek negatif nya besar sekali... klo mau diterapkan di meditasi, ya silaken aja, dr pd sy di kata ngajak debat... cape de...
ciri2 orang yg hanya tertarik untuk berdebat: tidak membaca reply lawan diskusinya.
dutiyampi: pukulan di zen itu bukan hukuman, tidak sakit dan merupakan pertolongan. praktisi zen teman saya itu justru ingin kebagian tepokan tongkat karena itu bisa membantunya mengusir kantuk, sama seperti teknik meditasi theravada yg juga memakai rasa takut jatuh untuk mengusir kantuk....
Quote from: morpheus on 18 January 2011, 10:19:26 AM
solusinya: cerdaskan umat.
ciri2 orang yg hanya tertarik untuk berdebat: tidak membaca reply lawan diskusinya.
dutiyampi: pukulan di zen itu bukan hukuman, tidak sakit dan merupakan pertolongan. praktisi zen teman saya itu justru ingin kebagian tepokan tongkat karena itu bisa membantunya mengusir kantuk, sama seperti teknik meditasi theravada yg juga memakai rasa takut jatuh untuk mengusir kantuk....
Bagi saya, yang suka mukul-mukul di ZEN itu ikut-ikutan mukul ala KOAN Master ZEN yang mempopulerkan pukulan ataupun yang Teriakan keras... MEM-BEO...
Quote from: dilbert on 18 January 2011, 12:17:14 PM
Bagi saya, yang suka mukul-mukul di ZEN itu ikut-ikutan mukul ala KOAN Master ZEN yang mempopulerkan pukulan ataupun yang Teriakan keras... MEM-BEO...
betul, saya setuju secara parsial pada kata2 anda.
Quote from: dhanuttono on 18 January 2011, 10:09:22 AM
solusi nya, jangan dilakukan hal yg emang tidak perlu dilakukan, esensi meditasi bukan untuk membuat orang semakin jera/kapok dengan meditasi itu... oh hal buruk klo di hilangkan bs melukai ZEN... ya silakan klo mau terus memelihara kejelekan itu, maka hasil yg didapat tidak akan maksimal...
dr literatur yg ada, ada murid yg tidak dapat berkonsentrasi dalam meditasi, buddha hanya meminta murid tersebut untuk meletakkan kain putih didapan wajahnya ketika bermeditasi, apa yg bs ditangkap dr literatur ini ?
oh ini tradisi yg uda ratusan taon... ya silaken... itu hak anda... tanggapan sy tetap sama seperti awal, anak sekolah saja klo dipukul, pasti malu/takut/ngeri efek negatif nya besar sekali... klo mau diterapkan di meditasi, ya silaken aja, dr pd sy di kata ngajak debat... cape de...
Quote from: morpheus on 18 January 2011, 12:33:43 PM
betul, saya setuju secara parsial pada kata2 anda.
Mau-nya, sekali-kali Murid yang diketok kepala-nya itu balas ketok-in kepala guru-nya ? wakakakakakka
Quote from: dilbert on 18 January 2011, 12:47:01 PM
Mau-nya, sekali-kali Murid yang diketok kepala-nya itu balas ketok-in kepala guru-nya ? wakakakakakka
saya blom pernah denger cerita ada guru zen yg beneran main hantam dan ketok kepala muridnya...
gak tau kalo om sutarman.
Quote from: morpheus on 18 January 2011, 12:58:42 PM
saya blom pernah denger cerita ada guru zen yg beneran main hantam dan ketok kepala muridnya...
gak tau kalo om sutarman.
Kalau di komik sih ada. Tapi saya setuju dengan guru itu (bukan dari sisi kekerasannya). Kisahnya si murid sedang berceramah tentang kekosongan, semua sunyata. Lalu kepalanya digetok dan murid itu marah ribut2. Gurunya tanya, "kalau semuanya kosong, terus marah itu asalnya dari mana?"
Quote from: Kainyn_Kutho on 18 January 2011, 01:33:52 PM
Kalau di komik sih ada. Tapi saya setuju dengan guru itu (bukan dari sisi kekerasannya). Kisahnya si murid sedang berceramah tentang kekosongan, semua sunyata. Lalu kepalanya digetok dan murid itu marah ribut2. Gurunya tanya, "kalau semuanya kosong, terus marah itu asalnya dari mana?"
eh... btw soal koan ini, ada pertanyaan senada (tp lagu lama lagi)
kalau tidak ada diri, lantas dari mana penderitaan berasal atau siapa yg menderita? hehehe...
jawaban bro Kainyn bisa juga bisa menjadi argument utk si master lho
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 10:02:08 AM
iya bro morpheus ,
gw lebih tertarik kenapa kecap tsb bisa menjadi busuk.
dan apa solusinya...
solusinya gampang bro saceng
tambah 'zat pengawet' (natrium benzoat) banyakkan =)) =))
:backtotopic:
Quote from: tesla on 18 January 2011, 01:36:53 PM
eh... btw soal koan ini, ada pertanyaan senada (tp lagu lama lagi)
kalau tidak ada diri, lantas dari mana penderitaan berasal atau siapa yg menderita? hehehe...
jawaban bro Kainyn bisa juga bisa menjadi argument utk si master lho
Beda sih. :) Yang ini kisahnya si murid seperti menyatakan dirinya telah 'tercerahkan', tapi ternyata digetok masih marah juga.
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 January 2011, 09:36:08 AM
Saya mau tanya, SEANDAINYA muncul kisah begini:
kisah dua orang Master Zen di Jepang. Yang satu mangkal di rumah bordil dan yang lain tidak. Padahal asusila 'dilarang' dalam Pancasila Buddhist yang dipatuhi praktisi Zen sekalipun apalagi bhiksu/master Zen . Master/Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menegur yang ke rumah bordil. Jawaban Guru Zen yang ke rumah bordil adalah: "Yang tidak ke rumah bordil BUKAN manusia.". Lalu Guru Zen yang tidak ke rumah bordil menjawab: "Oh ya, kalau bukan manusia lalu apa?". Guru Zen yang ke rumah bordil menjawab singkat: "Buddha".
Bagaimana menurut Bro Sutarman?
Bro Kainyn yang baik,
Pertama-tama saya bukan Guru Zen Tanzan yang minum sake tersebut, jadi saya tak tahu persis apa yang ada dalam pikiran Beliau. Tanzan ini juga Guru yang sama yang menggendong wanita menyebrangi sungai kalau saya tak salah ingat (maklum saya baca kisah Zen ini sudah lama sekali).
Saya hanya bisa menebak-nebak saja bahwa di Jepang, sake adalah hal yang terkait dengan tradisi setempat. Aslinya di China, bhiksu Chan khan minum teh.
Sake kalau dikonsumsi dalam jumlah kecil tak membuat mabuk. Mabuk sudah pasti nggak bisa konsentrasi pikiran. Ini mungkin yang ingin ditunjukkan Guru Zen Tanzan itu.
IMHO, hubungan seksual kemungkinan membuat konsentrasi pikiran buyar jauh lebih besar daripada minum sake. Gak tahu juga sih kalau ada yang bisa 'gak bocor'. Istilah 'miring' ini pernah saya dengar dalam diskusi mengenai Tantrayana. Tapi saya yakin dalam Tantrayana sekarang tidak ada lagi yang kayak gituan.
Sekali lagi, saya bukan Guru Zen Tanzan. Saya terpaksa menebak-nebak saja. Maafkan kalau saya ada kesalahan.
Tapi yang saya ingin tekankan adalah MINDFULNESS erat hubungannya dengan Sila dan Vinaya dalam tradisi Zen. Semua Sila dan Vinaya dibuat untuk mendukung Mindfulness dan bukan justru untuk memperlemah Mindfulness.
_/\_
Quote from: morpheus on 18 January 2011, 12:58:42 PM
saya blom pernah denger cerita ada guru zen yg beneran main hantam dan ketok kepala muridnya...
gak tau kalo om sutarman.
Bro Morpheus yang baik,
Benar nggak ada tabokan, ketokan di kepala atau teriakan yang bikin telinga sakit, minimal itu yang saya alami sendiri. Sekali lagi, beda Guru beda metode, tapi esensinya dari dulu sampai kini tetap sama: MINDFULNESS.
_/\_
Quote from: sutarman on 18 January 2011, 02:20:22 PM
Bro Kainyn yang baik,
Pertama-tama saya bukan Guru Zen Tanzan yang minum sake tersebut, jadi saya tak tahu persis apa yang ada dalam pikiran Beliau. Tanzan ini juga Guru yang sama yang menggendong wanita menyebrangi sungai kalau saya tak salah ingat (maklum saya baca kisah Zen ini sudah lama sekali).
Saya hanya bisa menebak-nebak saja bahwa di Jepang, sake adalah hal yang terkait dengan tradisi setempat. Aslinya di China, bhiksu Chan khan minum teh.
Sake kalau dikonsumsi dalam jumlah kecil tak membuat mabuk. Mabuk sudah pasti nggak bisa konsentrasi pikiran. Ini mungkin yang ingin ditunjukkan Guru Zen Tanzan itu.
IMHO, hubungan seksual kemungkinan membuat konsentrasi pikiran buyar jauh lebih besar daripada minum sake. Gak tahu juga sih kalau ada yang bisa 'gak bocor'. Istilah 'miring' ini pernah saya dengar dalam diskusi mengenai Tantrayana. Tapi saya yakin dalam Tantrayana sekarang tidak ada lagi yang kayak gituan.
Sekali lagi, saya bukan Guru Zen Tanzan. Saya terpaksa menebak-nebak saja. Maafkan kalau saya ada kesalahan.
Tapi yang saya ingin tekankan adalah MINDFULNESS erat hubungannya dengan Sila dan Vinaya dalam tradisi Zen. Semua Sila dan Vinaya dibuat untuk mendukung Mindfulness dan bukan justru untuk memperlemah Mindfulness.
_/\_
Menarik sekali pernyataan anda yang saya bold. Anda katakan mindfulness erat hubungannya dengan sila dan vinaya, tapi pernyataan ini
kontradiktif dengan pendapat anda sendiri yang tidak memperdulikan Vinaya. (Bhiksu Zen hanya perlu menjalankan 5 sila. Sedangkan 5 sila tidak disebut vinaya).
Quote from: Kainyn_Kutho on 18 January 2011, 01:33:52 PM
Kalau di komik sih ada. Tapi saya setuju dengan guru itu (bukan dari sisi kekerasannya). Kisahnya si murid sedang berceramah tentang kekosongan, semua sunyata. Lalu kepalanya digetok dan murid itu marah ribut2. Gurunya tanya, "kalau semuanya kosong, terus marah itu asalnya dari mana?"
mengenai masalah di komik yg mengangkat crita ZEN teman sy orang nasrani pernah membaca komik tersebut dan bertanya, apa pantas seorang guru mengetok kepala murid nya ? image yg ada bahwa guru itu seharusnya tidak lah melakukan tindakan yg identik dengan kekerasan, walau memukul nya tidak keras/bukan bertujuan menyakiti atau apapun alasan, tetap saja image itu menjadi cacat...
klo ntar ada yg baca tulisan sy trus mengatakan, tujuan tulisan sy cm tuk berdebat, ya silakan saja ubah pandangan orang nasrani yg jumlah nya jutaan orang, baru bertindak sebagai pahlawan bertopeng.... sy rasa di kalangan umat buddha pun ada yg bertanya, kenapa harus mengetok kepala murid/memukul pundak ? yg nama nya memukul tetap lah identik dengan tindakan kekerasan. apapun alasan, tetap saja itu adalah memukul/mengetok...
nb. yg merasa ternodai oleh tulisan sy ga perlu mengomentari, silakan pm saja.
Quote from: sutarman on 18 January 2011, 02:20:22 PM
Bro Kainyn yang baik,
Pertama-tama saya bukan Guru Zen Tanzan yang minum sake tersebut, jadi saya tak tahu persis apa yang ada dalam pikiran Beliau. Tanzan ini juga Guru yang sama yang menggendong wanita menyebrangi sungai kalau saya tak salah ingat (maklum saya baca kisah Zen ini sudah lama sekali).
Saya hanya bisa menebak-nebak saja bahwa di Jepang, sake adalah hal yang terkait dengan tradisi setempat. Aslinya di China, bhiksu Chan khan minum teh.
Sake kalau dikonsumsi dalam jumlah kecil tak membuat mabuk. Mabuk sudah pasti nggak bisa konsentrasi pikiran. Ini mungkin yang ingin ditunjukkan Guru Zen Tanzan itu.
IMHO, hubungan seksual kemungkinan membuat konsentrasi pikiran buyar jauh lebih besar daripada minum sake. Gak tahu juga sih kalau ada yang bisa 'gak bocor'. Istilah 'miring' ini pernah saya dengar dalam diskusi mengenai Tantrayana. Tapi saya yakin dalam Tantrayana sekarang tidak ada lagi yang kayak gituan.
Sekali lagi, saya bukan Guru Zen Tanzan. Saya terpaksa menebak-nebak saja. Maafkan kalau saya ada kesalahan.
Tapi yang saya ingin tekankan adalah MINDFULNESS erat hubungannya dengan Sila dan Vinaya dalam tradisi Zen. Semua Sila dan Vinaya dibuat untuk mendukung Mindfulness dan bukan justru untuk memperlemah Mindfulness.
_/\_
Baiklah, kalau begitu dari berhubungan seksual, saya ganti jadi mencuri dan background-nya di masyarakat Gypsy yang telah membudaya untuk curi-mencuri. Bagaimana tanggapan anda?
Quote from: fabian c on 18 January 2011, 02:44:42 PM
Menarik sekali pernyataan anda yang saya bold. Anda katakan mindfulness erat hubungannya dengan sila dan vinaya, tapi pernyataan ini kontradiktif dengan pendapat anda sendiri yang tidak memperdulikan Vinaya. (Bhiksu Zen hanya perlu menjalankan 5 sila. Sedangkan 5 sila tidak disebut vinaya).
Bro Fabian yang baik,
Mungkin selama ini Anda salah menangkap maksud saya dengan benar. Saya bisa pahami itu karena kita berbeda tradisi.
Kisah-kisah Zen itu nampaknya memang membuat orang menyimpulkan bahwa Zen tidak mempedulikan Vinaya, padahal maksudnya bukan demikian.
Adalah tidak mungkin tidak ada vinaya/sila sama sekali, ini adalah ekstremitas.
Namun bila vinaya/sila bersifat kaku dan tidak fleksibel, sehingga tak bisa mengikuti perkembangan zaman, juga ekstremitas.
Pada akhirnya adalah berusaha mencari jalan tengah, vinaya ada namun bisa berubah sesuai konteks zaman, dengan mempertimbangkan mindfulness. Kira-kira itu rumusannya, sepanjang yang saya tahu.
Ada juga sila yang tak berubah dalam Zen sejak zaman dulu.
Saya beri contoh: dalam pola makan yang dikaitkan sila pertama, Zen dari dulu sampai kini vegan (bagi bhiksunya) dan vegetarian (bagi praktisinya).
Yang sering berubah definisinya adalah sila kelima mengikuti perkembangan zaman.
Saya beri contoh: bila dulu hanya arak/sake/dsj sekarang termasuk rokok, ganja, morfin, ekstasi, dsj.
_/\_
Quote from: sutarman on 18 January 2011, 02:20:22 PM
Sake kalau dikonsumsi dalam jumlah kecil tak membuat mabuk. Mabuk sudah pasti nggak bisa konsentrasi pikiran. Ini mungkin yang ingin ditunjukkan Guru Zen Tanzan itu.
apakah sila ke-5 Zen berbunyi "saya bertekad untuk melatih diri menghindari minuman keras KECUALI dalam dosis kecil"?
Quote from: sutarman on 18 January 2011, 03:01:52 PM
Bro Fabian yang baik,
Mungkin selama ini Anda salah menangkap maksud saya dengan benar. Saya bisa pahami itu karena kita berbeda tradisi.
Kisah-kisah Zen itu nampaknya memang membuat orang menyimpulkan bahwa Zen tidak mempedulikan Vinaya, padahal maksudnya bukan demikian.
Adalah tidak mungkin tidak ada vinaya/sila sama sekali, ini adalah ekstremitas.
Namun bila vinaya/sila bersifat kaku dan tidak fleksibel, sehingga tak bisa mengikuti perkembangan zaman, juga ekstremitas.
Pada akhirnya adalah berusaha mencari jalan tengah, vinaya ada namun bisa berubah sesuai konteks zaman, dengan mempertimbangkan mindfulness. Kira-kira itu rumusannya, sepanjang yang saya tahu.
Ada juga sila yang tak berubah dalam Zen sejak zaman dulu.
Saya beri contoh: dalam pola makan yang dikaitkan sila pertama, Zen dari dulu sampai kini vegan (bagi bhiksunya) dan vegetarian (bagi praktisinya).
Yang sering berubah definisinya adalah sila kelima mengikuti perkembangan zaman.
Saya beri contoh: bila dulu hanya arak/sake/dsj sekarang termasuk rokok, ganja, morfin, ekstasi, dsj.
_/\_
dalam Theravada, terdapat suatu renungan Dhamma, yg bunyinya kira2, "Dhamma telah sempurna dibabarkan ...", apakah ini juga ada dalam Zen? kalau ada kenapa Zen merasa perlu mengubah Dhamma Vinaya?
Quote from: dhanuttono on 18 January 2011, 02:54:05 PM
mengenai masalah di komik yg mengangkat crita ZEN teman sy orang nasrani pernah membaca komik tersebut dan bertanya, apa pantas seorang guru mengetok kepala murid nya ? image yg ada bahwa guru itu seharusnya tidak lah melakukan tindakan yg identik dengan kekerasan, walau memukul nya tidak keras/bukan bertujuan menyakiti atau apapun alasan, tetap saja image itu menjadi cacat...
klo ntar ada yg baca tulisan sy trus mengatakan, tujuan tulisan sy cm tuk berdebat, ya silakan saja ubah pandangan orang nasrani yg jumlah nya jutaan orang, baru bertindak sebagai pahlawan bertopeng.... sy rasa di kalangan umat buddha pun ada yg bertanya, kenapa harus mengetok kepala murid/memukul pundak ? yg nama nya memukul tetap lah identik dengan tindakan kekerasan. apapun alasan, tetap saja itu adalah memukul/mengetok...
nb. yg merasa ternodai oleh tulisan sy ga perlu mengomentari, silakan pm saja.
Kalau teman anda seorang nasrani, tentu tahu bahwa Rasul Paulus mengatakan, "karena engkau saudaraku, maka engkau kutampar", maksudnya jika melakukan kesalahan. Ini sebetulnya sama, maksudnya bukan pukulan yang berdasarkan kebencian, tetapi untuk mengajarkan. Memang sebaiknya ini dihindari karena kurang sopan, tapi kalau menurut saya masih bisa diterima karena tidak sampai terluka atau menyebabkan dendam, justru menyadarkan.
Quote from: Kainyn_Kutho on 18 January 2011, 02:57:35 PM
Baiklah, kalau begitu dari berhubungan seksual, saya ganti jadi mencuri dan background-nya di masyarakat Gypsy yang telah membudaya untuk curi-mencuri. Bagaimana tanggapan anda?
Bro Kainyn yang baik,
Mungkin yang perlu dipikirkan adalah mengapa tidak mencuri termasuk sila? Menurut saya pribadi, karena ada rasa bersalah yang bisa mengganggu konsentrasi pikiran dalam meditasi. Celakanya ya kalau curi mencuri itu sudah jadi budaya suatu masyarakat sehingga rasa bersalah itu sudah hilang.
Sama seperti di Indonesia dimana korupsi (termasuk dalam mencuri) sudah menjadi budaya.
Jawaban saya mungkin terdengar sederhana, Zen sulit berkembang di dalam masyarakat seperti itu, karena masyarakat semacam itu MIND-nya secara mayoritas sudah ancur-ancuran. Perlu upaya ekstra keras mengubah MIND-SET masyarakat itu. Atau menunggu timimg yang tepat.
Saya tidak yakin, misalnya, masyarakat Indonesia terus korup. Saya yakin, suatu saat pasti tercipta masyarakat Indonesia yang relatif bersih dari korupsi. Perlu upaya perlu waktu.
_/\_
Quote from: sutarman on 18 January 2011, 03:17:03 PM
Bro Kainyn yang baik,
Mungkin yang perlu dipikirkan adalah mengapa tidak mencuri termasuk sila? Menurut saya pribadi, karena ada rasa bersalah yang bisa mengganggu konsentrasi pikiran dalam meditasi. Celakanya ya kalau curi mencuri itu sudah jadi budaya suatu masyarakat sehingga rasa bersalah itu sudah hilang.
Sama seperti di Indonesia dimana korupsi (termasuk dalam mencuri) sudah menjadi budaya.
Jawaban saya mungkin terdengar sederhana, Zen sulit berkembang di dalam masyarakat seperti itu, karena masyarakat semacam itu MIND-nya secara mayoritas sudah ancur-ancuran. Perlu upaya ekstra keras mengubah MIND-SET masyarakat itu. Atau menunggu timimg yang tepat.
Saya tidak yakin, misalnya, masyarakat Indonesia terus korup. Saya yakin, suatu saat pasti tercipta masyarakat Indonesia yang relatif bersih dari korupsi. Perlu upaya perlu waktu.
_/\_
Jika demikian, apakah berarti Zen tidak cocok untuk diajarkan di masyarakat dengan mental jahat?
[at] Sutarman: menurut sy sih, melanggar sila tetaplah melanggar sila, terlepas dari mindfull ato tidaknya.
Jadi IMHO, katakan saja sebuah pelanggaran sebagai sebuah pelanggaran, daripada berbicara tentang fleksibilitas vinaya (yang kemungkinan besar akan rancu) :)
[at] bro sutarman, boleh tahu bro belajar ZEN dari siapa (maksudnya guru-nya) ?
Quote from: Mayvise on 18 January 2011, 04:53:35 PM
[at] Sutarman: menurut sy sih, melanggar sila tetaplah melanggar sila, terlepas dari mindfull ato tidaknya.
Jadi IMHO, katakan saja sebuah pelanggaran sebagai sebuah pelanggaran, daripada berbicara tentang fleksibilitas vinaya (yang kemungkinan besar akan rancu) :)
bantuin om sutarman, copy paste dari warung sebelah karena relevan:
Quote
pola pikir mahayanis:
peraturan dibikin dengan suatu alasan. dalam hal ini, alasan lebih penting ketimbang peraturannya. peraturan itu sesuatu yg mati, sedangkan hidup ini penuh dinamika. kalo suatu saat ditemukan alasan yg kuat (dengan kecerdasan dewasa tentunya), peraturan bisa saja mengalah.
peraturan itu sendiri bukanlah senjata paling dasyat. karena peraturan itu mati, maka lobang2nya masih bisa terus dipergunakan oleh manusia. contohnya: vinaya gak boleh pegang duit, emas dan perak. oooo, berarti pegang credit card dan rekening digital boleh dong... sila gak boleh minum yg memabukkan. ooo, kalo gitu rokok atau pil ekstasi boleh dong...
ini bukan guyon lho. melainkan sudah terjadi....
peraturan itu mati, namun alasan dan kecerdasan itu hidup.
bahkan Sang Buddha sendiri pernah berpesan, peraturan yg gak gitu penting boleh dihapuskan.
ps: ini hanya untuk mencoba melihat dari sudut pandang mahayana. dua2nya mungkin benar dari sudut pandang masing2.
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi52.tinypic.com%2F50iq87.jpg&hash=d22d2de9cca0abbcea824eba0351c48c0a999c1d)
Kayu pemukulnya bukan yg kecil, ringan dan tipis...
tapi besar n juga berat lhoooo
bro Triyana udah pernah nyoba di pukul kayu tsb ?
taukah berapa kali kena pukulnya dlm meditasi ZEN ?
Quotelatihan konsentrasi pikiran pada satu titik
menghasilkan aktualisasi diri dan pencerahan
maksudnya apa kalimat tsb diatas dlm meditasi ZEN ?
bagaimana mencapai pencerahan tsb ? :)) :))
Quote from: sutarman on 18 January 2011, 03:01:52 PM
Bro Fabian yang baik,
Mungkin selama ini Anda salah menangkap maksud saya dengan benar. Saya bisa pahami itu karena kita berbeda tradisi.
Kisah-kisah Zen itu nampaknya memang membuat orang menyimpulkan bahwa Zen tidak mempedulikan Vinaya, padahal maksudnya bukan demikian.
Adalah tidak mungkin tidak ada vinaya/sila sama sekali, ini adalah ekstremitas.
Namun bila vinaya/sila bersifat kaku dan tidak fleksibel, sehingga tak bisa mengikuti perkembangan zaman, juga ekstremitas.
Pada akhirnya adalah berusaha mencari jalan tengah, vinaya ada namun bisa berubah sesuai konteks zaman, dengan mempertimbangkan mindfulness. Kira-kira itu rumusannya, sepanjang yang saya tahu.
Ada juga sila yang tak berubah dalam Zen sejak zaman dulu.
Saya beri contoh: dalam pola makan yang dikaitkan sila pertama, Zen dari dulu sampai kini vegan (bagi bhiksunya) dan vegetarian (bagi praktisinya).
Yang sering berubah definisinya adalah sila kelima mengikuti perkembangan zaman.
Saya beri contoh: bila dulu hanya arak/sake/dsj sekarang termasuk rokok, ganja, morfin, ekstasi, dsj.
_/\_
yang tebal
IMO punya pandangan demikian penyebab Dhamma sejati lebih cepat dilupakan. 8)
_/\_
permisi numpang lewat sebentar,
untuk meditasi zen yg menggunakan "xiang ban"[istilah untuk kayu gede itu >.<] untuk mengetuk pundak atau kepala murid yg sedang ngantuk atau tidak konsen dalam meditasi, untuk saya pribadi rasa nya mungkin kurang nyaman.. malah jadi takut kali yah hehehe, tapi mungkin ada siswa2 buddha disini yang cocok atau malah membantu meditasi nya, ya gak tau deh, karena itu back 2 personel masing2.
tapi untuk mengusir rasa ngantuk, saya suka pakai cara yang pernah di ajarkan Buddha kepada Mogallana [ tapi saya gak tau rujukan sutta nya muup :(, soal nya gak di tulis di buku nya ] sedikit share aj yah....
kira2 seperti ini :
1. kalau lagi ngantuk.. segera sadar akan rasa kantuk tersebut, sadar akan pencerapan tersebut
2. kalau ms ngantuk, pusatkan pikiran pada dharma yang pernah kita pelajari
3. kalau ms ngantuk, lafalkan dharma dgn lantang, yang pernah di pelajari
4. kalau ms ngantuk, usap2 tubuh dengan telapak tangan dan kuping
5. kl ms ngantuk, bangun sebentar kemudian cuci muka dan pradaksina bentar [ di buku si di tulis mogallan disuruh memangdang sekeliling dan menatap langit]
6. kl ms ngantuk pusatkan pikiran pada pencerapan cahaya terang, dan pikiran akan selalu membayangkan cahaya siang hari
7. kl ms ngantuk berbaringlah sengan "sikap seekor singa" dengan badan miring ke kanan, dan kaki kiri di atas kaki kanan
di buku tersebut penjelasan tiap2 cara dari 1 -7 panjang dah, jadi skali lagi maap saya singkat2.. nah kl saya sendiri biasa pakai cara 1,2,4,5,6 no 3 tidak bisa karena nanti ganggu orang sekitar hehehhe, no 7 gak tll ngerti posisi nya gimana.
tapi kl semua gagal saya ambil kesimpulan saya memang butuh tidur jadi saya segera istirahat ;D., krn saya biasa meditasi jem 9 malem keatas. ahahahhah
tapi point yang saya petik yaitu, ada kok beberapa cara lain untuk mengatasi rasa kantuk selain dgn pukulan, meskipun saya yakin ada bbrp siswa yang lebih cocok ke arah itu.. skali lagi ini pendapat pribadi saja ^:)^ ^:)^ ^:)^
NB: point2 di atas itu saya singkat2 sendiri, so plizz jgn jadiin rujukan baku, dan di contek dari buku " Riwayat hidup Buddha Gotama" karangan Pandita.S.Widyadharma, cetakan tahun 1979 (buku jadul yah eheheheh)
terus berjuang para siswa Buddha...
_/\_
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 07:59:05 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi52.tinypic.com%2F50iq87.jpg&hash=d22d2de9cca0abbcea824eba0351c48c0a999c1d)
Kayu pemukulnya bukan yg kecil, ringan dan tipis...
tapi besar n juga berat lhoooo
bro Triyana udah pernah nyoba di pukul kayu tsb ?
taukah berapa kali kena pukulnya dlm meditasi ZEN ?
maksudnya apa kalimat tsb diatas dlm meditasi ZEN ?
bagaimana mencapai pencerahan tsb ? :)) :))
jangan posting yg kayak gini bro.. entar dikata menodai para praktisi ZEN... ntar sampean dikomplain n dikata ngajak debat... cari dulu bukti2 baru buka suara... ati2 loh... wkwkwkwk...
Namo Buddhaya,
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 12:48:52 AM
Apakah berita diatas bener ?
Benarkan tidak semua guru ZEN adalah baik ?
adakah yg mengenal Maezumi ?
apa dia melakukan hal tsb dgn siswa perempuannya ?
Sumbernya ?
NO INFO = HOAX
_/\_
kalau vinaya memukul ada gak yak =))
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 07:59:05 PM
Quote
latihan konsentrasi pikiran pada satu titik
menghasilkan aktualisasi diri dan pencerahan.
maksudnya apa kalimat tsb diatas dlm meditasi ZEN ?
bagaimana mencapai pencerahan tsb ? :)) :))
Apakah maksudnya mendadak wuuuzzz... mencapai pencerahan deh....
Atau mungkin bro Sutarman atau bro Triyana bisa mengklarifikasi ini?
Quote from: Triyana2009 on 18 January 2011, 08:53:22 PM
Namo Buddhaya,
Sumbernya ?
NO INFO = HOAX
_/\_
mohon yg lebih berpengetahuan tentang ZEN.... buka bicara (posting)....
apakah bro Triyana berpengetahuan tentang ZEN ? pernah ikut meditasinya gak ?
Quote from: ryu on 18 January 2011, 08:54:49 PM
kalau vinaya memukul ada gak yak =))
MUNGKIN menurut ZEN itu melonggarkan urat saraf.... bukan MEMUKUL bro....
kalau soal kepala di PENTUNG... gw gak tau melonggarkan urat saraf yg mana.....
KELOMPOK KE DELAPAN : SAHADHAMMIKAVAGGA - Mengenai hal yang sesuai dengan Dhamma
1. Jika seorang Bhikkhu mempunyai tingkah laku yang salah dan seorang Bhikkhu lain mengingatkannya tetapi ia tak mau menerima peringatan dengan menunda-nunda, dengan mengatakan bahwa ia harus lebih dahulu menanya seseorang lain yang ahli dalam Vinaya sebelum dia menerima peringatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
Biasanya seorang bhikkhu yang masih di bawah bimbingan, bila menemukan sesuatu yang tidak diketahui, padahal harus diketahuinya, dia harus segera menanyakan hal tersebut kepada Bhikkhu yang lain yang ahli Vinaya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang terlalu berat dan tidak ada gunanya peraturan-peraturan yang dalam Patimokha pada saat Bhikkhu lain sedang membacakan peraturan-peraturan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu terbukti melakukan apatti; tetapi pada saat membacakan Patimokha pura-pura berkata: "baru sekarang ini saya mengetahui apa bila ada peraturan sedemikian itu dalam Patimokha" dan jika Bhikkhu yang lain mengetahui peraturan tersebut, maka ia segera mengumumkan ini, ternyata ia masih pura-pura tidak tahu lagi, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah, lalu memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu yang merasa seolah-olah mau memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu tidak berdasarkan bukti yang kuat menuduh seorang Bhikkhu lain melakukan Sanghadisesa, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu dengan sengaja menimbulkan kekuatiran/kecemasan pada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika sekelompok Bhikkhu sedang bertengkar, lalu seorang Bhikkhu pergi mendengarnya dengan diam-diam apa yang sedang mereka perdebatkan dengan maksud untuk mengetahui apa yang mereka katakan, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu telah menyetujui dan bersedia memegang peranan dalam suatu pengumuman resmi Sangha yang sesuai dengan Dhamma, tapi kemudian berbalik dan malahan mengkritik dan mencela Sangha yang menginginkan pengumuman resmi tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Bila Sangha mengadakan pertemuan membicarakan suatu pokok persoalan dan jika seorang Bhikkhu yang hadir dalam pertemuan tersebut meninggalkan pertemuan sebelum pokok persoalan itu diselesaikan, atau pula tanpa memberikan pendapat (suaranya) sebelum meninggalkan pertemuan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
11. Jika seorang Bhikkhu bersama-sama Bhikkhu yang lain, membentuk suatu kelompok yang menyetujui akan memberikan sebuah jubah sebagai hadiah Bhikkhu yang lain dan kemudian berbalik mencela dan mengkritik Bhikkhu-bhikkhu lain dalam kelompok itu dengan mengatakan: "mereka memberikan jubah dengan suatu maksud", maka ia melakukan suatu Pacittiya.
12. Jika seorang Bhikkhu sengaja mengatur pemberian hadiah kepada seorang yang lain, sedang dayaka tersebut akan memberikan hadiah itu untuk Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
Bro Kainyn yang baik,
Dalam meditasi Zen/Mindfulness diperlukan kejujuran hati (terkait dengan sila tidak berbohong). Korupsi secara langsung menghantam nilai KEJUJURAN ini.
Kita bisa saja membohongi semua orang mengenai kemajuan meditasi kita tapi kita tak bisa membohongi diri kita sendiri.
Contoh yang ekstrem diberikan oleh Johan3000 mengenai 'Master' Zen Hakuyu Taizan Maezumi yang ternyata suka berhubungan seks dan alkoholik. Maezumi lalu secara JUJUR mengakuinya walau berhadapan dengan resiko ditinggalkan sebagian besar muridnya.
(Arak/sake dan tradisi khas Jepang mengenai hubungan seks dalam kasus Hakuyu Taizan Maezumi ini menunjukkan bahwa dua tradisi lokal Jepang ini menjadi semacam batu sandungan dalam meditasi Zen/Mindfulness)
Karena tanpa kejujuran hati tak akan ada kemajuan dalam meditasi kita. Setidaknya Hakuyu Taizan Maezumi masih gentleman karena JUJUR mengakui tindakan bejatnya.
Sebenarnya semua sila saling kait mengkait. Misalnya, seperti yang saya jelaskan di sini, sila tidak mencuri - dalam hal kemajuan meditasi - terkait dengan sila tidak berbohong. Begitulah cara Zen memandang hubungan antar sila dalam Pancasila Buddhist.
Sekali lagi, semua sila itu untuk memperkuat Zen/ Meditasi Mindfulness.
Sila yang dilakukan dengan baik adalah semacam pondasi bagi kemajuan meditasi. Sila terkait dengan tindakan dan ucapan sedangkan meditasi Zen / Mindfulness terkait dengan pikiran sumber segala ucapan dan tindakan.
Sila ibarat memangkas rumput (tindakan dan ucapan yang buruk/jahat) agar tidak tumbuh tinggi, sedangkan meditasi Mindfulness/Zen ibarat mencabut rumput itu hingga ke akar (pikiran buruk/jahat).
Sekali lagi, Zen menunjuk langsung ke PIKIRAN. Sangat sederhana dan fleksibel (selentur/sefleksibel PIKIRAN manusia itu sendiri yang selalu BERUBAH dan berkembang mengikuti zaman).
Sederhana dan fleksibel, dua tradisi inilah yang membuat Zen berbeda dengan Theravada yang TERKESAN rumit/njelimet (contoh: Abhidhamma) dan kaku/ tak boleh berubah (contoh: 227 Vinaya).
Selain perbedaan di Abhidhamma dan Vinaya dengan Theravada tersebut, Zen tetap memelihara sikap KRITIS dan SKEPTIS terhadap segala macam kitab suci termasuk Sutta/Sutra (seperti yang disarankan Buddha sendiri) dan di sisi lain Theravada skeptis dan kritis terhadap semua kitab suci agama/aliran lain KECUALI Sutta/Tipitaka itu sendiri.
Zen adalah Buddha Dharma di luar kitab, kata, dan bahasa, yang ditransmisikan/ diturunkan dari PIKIRAN Buddha itu sendiri.
Zen berusaha membaui keharuman bunga PIKIRAN Buddha itu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata itu namun dapat dialami secara langsung dalam MEDITASI dan HIDUP itu sendiri.
Zen/Chan walau sederhana dan fleksibel namun sesungguhnya berusaha menjaga spirit/semangat dan ESENSI Buddha Dharma mengenai Sila (tindakan & ucapan), Samadhi (pikiran) dan Prajna (keterbebasan/ketidakmelekatan/non dualisme/jalan tengah).
Semoga penjelasan saya yang masih rendah dalam pencapaian meditasi ini dapat membantu pemahamam Bro Kainyn mengenai prinsip dasar Zen/Chan yang seutuhnya dan sebenarnya.
_/\_
pada brahmajala sutta :
'Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk, menyebabkan semua orang memuji Sang Tathagata.'
Rekan-rekan sekalian yang baik,
Di dalam tradisi Jepang sejak dulu dibedakan antara 'istri' dan 'simpanan'. Hubungan seksual dengan istri adalah untuk punya keturunan (creation) sedangkan hubungan seksual dengan simpanan adalah untuk kenikmatan/kesenangan (re-creation).
Pernikahan di Jepang seringkali dijodohkan bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Jadi pernikahan di Jepang seringkali tidak melibatkan 'cinta' di dalamnya, tujuannya hanya untuk memperoleh keturunan. Believe it or not, angka perceraian di Jepang adalah yang paling rendah di dunia (hanya 1%). Perceraian adalah aib besar bagi masyarakat Jepang.
Dalam kasus ini, ada semacam trend tradisi yang diikuti mayoritas pria Jepang masa kini bahwa setelah istri melahirkan seorang anak maka istri itu tidak boleh lagi digauli. Istri itu sudah jadi 'ibu', yang dalam tradisi Jepang adalah 'suci'. Karena itu tak aneh trend anak tunggal semakin marak di Jepang.
Lalu bagaimana para suami Jepang memenuhi kebutuhan seksualnya? Ya dengan 'simpanan' atau pelacur atau wanita siapa saja. Ini bisa menjelaskan mengapa pelecehan seksual di transportasi massal di Jepang sering terjadi sampai-sampai ada gerbong khusus wanita dalam kereta api Jepang dan polisi khusus dalam angkutan umum.
Ini juga bisa menjelaskan mengapa kasus pelacuran gadis di bawah umur marak terjadi di Jepang, selain industri pornografi yang juga marak di Jepang.
Pemerintah Jepang gencar memerangi pelacuran di bawah umur namun seperti sama sekali tak berdaya menghadapi industri pornografi yang mulai mucul pada dasawarsa 1980-an.
Mengapa? Karena industri pornografi di Jepang konon adalah yang terbesar di dunia dalam hal perputaran uang maupun kuantitas produksinya.
Bahkan pornografi di Jepang memiliki keunikan tersendiri yaitu adanya genre 'siswi sekolah/schoolgirl' atau 'perawat/nurse'. Ini semua adalah fantasi seksual mayoritas pria Jepang yang merupakan 'desperado' dalam hubungan seksual.
Mayoritas pria Jepang memang menyedihkan (desperate) kalau tidak mau dikatakan putus asa (despair), atau lebih tepatnya sengsara-frustrasi-bengal-nekat (desperado) dalam kehidupan seksualnya.
Ini berbanding terbalik dengan suasana kehidupan seksual yang begitu bebas dan permisif di Jepang yang ditandai dengan maraknya pornografi sehingga anak umur 6 tahun pun sudah tahu mengenai hubungan seksual karena seringkali para ayah di kota-kota besar di Jepang memutar film porno di depan anak mereka tanpa malu-malu lagi.
Aneh tapi nyata, semakin tenggelam dalam mengkonsumsi pornografi maupun meniduri pelacur bukannya makin membahagiakan malah makin menyengsarakan.
Saya harap kita semua bisa mengambil pelajaran yang positif dari tradisi Jepang kontemporer ini bahwa segala seuatu yang BERLEBIHAN/EKSTREM, dalam kasus ini adalah pemanjaan indra melalui hubungan seksual yang belebihan, tidak akan memberikan kebahagiaan.
Saya tahu semua hal ini karena saya pernah studi mengenai tradisi Jepang. Mengapa? Karena ketika saya belajar Chan/Zen, mau tak mau saya juga sedikit banyak belajar mengenai tradisi Chinese dan tradisi Jepang, baik yang dulu maupun sekarang.
Zen di Jepang sedang mengalami KEHANCURAN. Itulah fakta yang menyedihkan ketika mayoritas orang Jepang mulai meninggalkan budaya Zen (yang langsung tak langsung membuat mereka inovatif-kreatif dan suka bekerja keras/workaholic) dan merangkul budaya Barat (yang sangat bebas dalam kehidupan seksualnya).
Ini makin membuat saya yakin dengan keampuhan Pancasila Buddhist bahwa untuk menjadi manusia yang modern dan beradab ada lima syarat (dalam kalimat positif dan kalimat negatif):
1) Penuh welas asih atau tidak berbuat kekerasan terhadap sesama MANUSIA dan hewan termasuk tidak membunuh atau mengkonsumsi HEWAN - dan penuh welas asih terhadap alam/TUMBUHAN atau tidak menggunduli hutan dan tindak kekerasan lain terhadap alam.
2) TRANSPARAN/TERBUKA dalam hal keuangan atau tidak korupsi - dan membatasi keinginan agar dapat puas dalam kehidupan yang hemat dan sederhana atau tidak terjerumus dalam pola hidup konsumtif dan materialistis (yang dapat mendorong tindak perampokan dan pencurian oleh mereka yang terpinggirkan).
3) Bertutur kata yang LEMBUT dan SOPAN atau tidak berkata-kata kasar yang menyakiti hati orang lain - dan JUJUR mengakui kesalahan dan bukan mencari kambing hitam atas kesalahan sendiri yang mengakibatkan fitnah, kebohongan, dll
4) SETIA kepada pasangan atau tidak terjerumus dalam seks bebas, pelacuran ataupun pornografi (yang semuanya itu hanya membawa kesenangan sesaat dan penderitaan abadi).
5) Selalu menjaga agar PIKIRAN dapat SELALU fokus, jernih dan tenang agar tindakan dan ucapan kita selalu membawa kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain atau menghindari segala sesuatu yang dapat MENGACAUKAN pikiran seperti mabuk dan madat serta kecanduan lainnya (mulai dari rokok, ganja sampai ekstasi, shabu, morfin).
Ini adalah salah satu contoh fleksibilitas Zen yang dapat saya berikan (walau tidak sempurna dan tidak terlalu detail) dalam menafsirkan Pancasila Buddhist agar sesuai dengan kemajuan/perkembangan zaman. Kata-katanya berbeda namun esensinya tetap terjaga.
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 06:57:36 AM
.....
Saya harap kita semua bisa mengambil pelajaran yang positif dari tradisi Jepang kontemporer ini bahwa segala seuatu yang BERLEBIHAN/EKSTREM, dalam kasus ini adalah pemanjaan indra melalui hubungan seksual yang belebihan, tidak akan memberikan kebahagiaan.
....
indra kok di manja =))
Quote from: dilbert on 18 January 2011, 05:30:31 PM
[at] bro sutarman, boleh tahu bro belajar ZEN dari siapa (maksudnya guru-nya) ?
Bro Dilbert yang baik,
saya sudah pernah menyampaikan di salah satu postingan bahwa beribu maaf saya tidak bisa mengungkapkannya di sini karena Beliau sendiri enggan disebut Guru apalagi Master. Beliau termasuk Guru Zen yang berkelana/mengembara / 'wandering' dan tersembunyi / 'hidden'.
_/\_
Rekan-rekan sekalian yang baik,
Mengenai Vinaya, Zen memandang Vinaya yang harus dijaga bhiksu Zen berangkat dari Sila yang dijaga umat/praktisi namun dengan pengamalan yang lebih ketat.
Misal
Sila pertama: -- Dalam hal makan -- Praktisi/Umat/Murid vegetarian , Master/Bhiksu/Guru vegan.
Sila kedua: -- Dalam hal harta -- Praktisi boleh simpan uang, Bhiksu tidak boleh simpan uang dalam bentuk apapun dengan catatan Bhiksu/Guru pengelana/pengembara masih boleh simpan uang asal tidak berlebihan (misal setara dengan kebutuhan hidup wajar selama setahun).
Praktisi/Umat/Murid boleh memakai perhiasan emas dan berlian baik di jari (cincin), leher (kalung) tangan/ kaki (gelang) atau di kepala (topi yang mahal/mahkota).
Master/Guru/Bhiksu tidak memakai perhiasan emas atau berlian baik di jari (cincin), leher (kalung) tangan/ kaki (gelang) atau di kepala (topi yang mahal/mahkota).
Bagaimanapun juga kita harus mencegah penampilan berlebihan yang mengundang perampokan, penodongan, pencurian.
Sila ketiga : -- Dalam hal bertutur kata -- Praktisi/Umat/Murid masih boleh berdebat asal tidak menyerang secara personal, Master/Guru/Bhiksu lebih berat lagi: sedikit bicara banyak memberi contoh.
Sila keempat: -- Dalam hal seks -- Praktisi/Umat/Murid boleh asal dengan pasangan alias tidak selingkuh, Master/Bhiksu/Guru sama sekali tidak boleh.
Sila kelima: -- Dalam hal tidak kecanduan / kemelekatan -- Praktisi/Umat/Murid mungkin boleh saja 'kecanduan' rasa enak dalam makan dan minum, Master/Bhiksu/Guru diharapkan makan sealamiah mungkin misalnya buah-buahan dan air minum biasa.
Intinya Master/Bhiksu/Guru Zen harus selibat dan sederhana serta giat/rajin/tekun. Tidur kalau perlu di kasur single yang terbuat dari papan keras atau matras yang sederhana. Tidak tergantung dengan AC. Dan yang paling penting lebih giat/rajin/tekun dalam bermeditasi.
Bagaimana dengan internet? Praktisi seperti saya boleh saja 'melekat' atau 'mencandu' internet asal untuk hal positif. Sedangkan Master/Bhiksu/Guru bisa saja memakai fasilitas modern ini asal semua itu dalam rangka penyebaran Dharma bukan untuk hal lain.
Karena itu Zen kritis terhadap Vinaya ditetapkan sedemikian kakunya seperti Theravada yang tidak boleh menambahkan atau mengurangi. Padahal zaman terus BERUBAH karena manusia juga selalu BERUBAH. Tiada yang kekal, semua selalu berubah. Satu-satunya hal yang tak berubah di dunia ini adalah PERUBAHAN itu sendiri. Ini sesuai dengan ANITYA/ANICCA. Hukum yang berlaku di dunia ini.
Tapi saya akui, dalam Zen sendiri juga ada aliran Zen yang kaku, yang mempertahankan metode pukulan dengan tongkat misalnya, yang menurut saya sama sekali tidak memahami semangat awal lahirnya Chan/Zen itu sendiri.
Dan ada juga Zen yang cukup fleksibel seperti yang dipimpin Master Zen Thich Nhat Hanh yang cukup berkembang di negara-negara Barat.
_/\_
Quotesutarman :
Mengenai Vinaya, Zen memandang Vinaya yang harus dijaga bhiksu Zen berangkat dari Sila yang dijaga umat/praktisi namun dengan pengamalan yang lebih ketat.
kalau guru ZEN punya 1 isteri,
gimana siswa/siswi nya ? apa boleh 2 ? (kalau 1.5 kan gak mungkin)
apakah guru ZEN boleh punya isteri di jaman sekarang (barat) ?
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 08:11:52 AM
Rekan-rekan sekalian yang baik,
Mengenai Vinaya, Zen memandang Vinaya yang harus dijaga bhiksu Zen berangkat dari Sila yang dijaga umat/praktisi namun dengan pengamalan yang lebih ketat.
Misal
Sila pertama: -- Dalam hal makan -- Praktisi/Umat/Murid vegetarian , Master/Bhiksu/Guru vegan.
Sila kedua: -- Dalam hal harta -- Praktisi boleh simpan uang, Bhiksu tidak boleh simpan uang dalam bentuk apapun dengan catatan Bhiksu/Guru pengelana/pengembara masih boleh simpan uang asal tidak berlebihan (misal setara dengan kebutuhan hidup wajar selama setahun).
Praktisi/Umat/Murid boleh memakai perhiasan emas dan berlian baik di jari (cincin), leher (kalung) tangan/ kaki (gelang) atau di kepala (topi yang mahal/mahkota).
Master/Guru/Bhiksu tidak memakai perhiasan emas atau berlian baik di jari (cincin), leher (kalung) tangan/ kaki (gelang) atau di kepala (topi yang mahal/mahkota).
Bagaimanapun juga kita harus mencegah penampilan berlebihan yang mengundang perampokan, penodongan, pencurian.
Sila ketiga : -- Dalam hal bertutur kata -- Praktisi/Umat/Murid masih boleh berdebat asal tidak menyerang secara personal, Master/Guru/Bhiksu lebih berat lagi: sedikit bicara banyak memberi contoh.
Sila keempat: -- Dalam hal seks -- Praktisi/Umat/Murid boleh asal dengan pasangan alias tidak selingkuh, Master/Bhiksu/Guru sama sekali tidak boleh.
Sila kelima: -- Dalam hal tidak kecanduan / kemelekatan -- Praktisi/Umat/Murid mungkin boleh saja 'kecanduan' rasa enak dalam makan dan minum, Master/Bhiksu/Guru diharapkan makan sealamiah mungkin misalnya buah-buahan dan air minum biasa.
Intinya Master/Bhiksu/Guru Zen harus selibat dan sederhana serta giat/rajin/tekun. Tidur kalau perlu di kasur single yang terbuat dari papan keras atau matras yang sederhana. Tidak tergantung dengan AC. Dan yang paling penting lebih giat/rajin/tekun dalam bermeditasi.
Bagaimana dengan internet? Praktisi seperti saya boleh saja 'melekat' atau 'mencandu' internet asal untuk hal positif. Sedangkan Master/Bhiksu/Guru bisa saja memakai fasilitas modern ini asal semua itu dalam rangka penyebaran Dharma bukan untuk hal lain.
Karena itu Zen kritis terhadap Vinaya ditetapkan sedemikian kakunya seperti Theravada yang tidak boleh menambahkan atau mengurangi. Padahal zaman terus BERUBAH karena manusia juga selalu BERUBAH. Tiada yang kekal, semua selalu berubah. Satu-satunya hal yang tak berubah di dunia ini adalah PERUBAHAN itu sendiri. Ini sesuai dengan ANITYA/ANICCA. Hukum yang berlaku di dunia ini.
Tapi saya akui, dalam Zen sendiri juga ada aliran Zen yang kaku, yang mempertahankan metode pukulan dengan tongkat misalnya, yang menurut saya sama sekali tidak memahami semangat awal lahirnya Chan/Zen itu sendiri.
Dan ada juga Zen yang cukup fleksibel seperti yang dipimpin Master Zen Thich Nhat Hanh yang cukup berkembang di negara-negara Barat.
_/\_
cuma inikah vinaya dalam Zen? saya tebak Zen pasti tidak percaya sutta2 Tipitaka sama sekali, bagaimana menurut anda jika dikatakan bahwa Sang Buddha sendiri sering melakukan perdebatan dengan para brahmana/petapa lain seperti tercantum dalam sutta2?
Bro Sutarman, apakah menurut anda Dharma telah sempurna dibabarkan?
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 09:44:13 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fitisnotreal.com%2Fimages%2FMaezumi%2520Roshi.jpg&hash=15d862f76eb3a05d0c98e43f38a398b505e302bd)
Hakuyū Taizan Maezumi
(February 24, 1931—May 15, 1995) was a Japanese Zen rōshi and lineage holder in the Sōtō, Rinzai and Harada-Yasutani lineages—an unusual background for any Zen teacher. He combined the Rinzai use of koans and the Sōtō emphasis on shikantaza in his teachings, influenced by his years studying under Hakuun Yasutani in the Harada-Yasutani school. Through his decades of teaching he founded or co-founded several institutions and practice centers, among them being the Zen Center of Los Angeles, White Plum Asanga, Yokoji Zen Mountain Center and the Zen Mountain Monastery.
Maezumi secara pulik mengakui bahwa ia seorang alkoholik di tahun 1983. Pada tahuntsb ia dikirim ke Betty Ford Clinic untuk pengobatan. Hal ini bertepatan dengan diketahuinya ia telah memiliki hubungan seksual dengan beberapa pengikut perempuan di Pusat Zen di Los Angeles. Meskipun menikah dengan istrinya Martha Ekyo Maezumi (Maezumi mulai minum alkohol, merokok sewaktu menjadi tentara AS selama Perang Dunia II). Dia dgn tegar datang mengakui kesalahannya dan tidak upaya menutupin hal tsb. Hal ini menyebabkan banyak kekacauan di sekolahnya, dan banyak siswa pergi..........
Nah kenapa guru ZEN sekaliber Maezumi juga bisa melakukan kesalahan/penyimpangan Sexual dgn siswinya ?
adakah guideline utk pencegahan ? adakah tanda2 penyimpangan akan terjadi ?
Ataukah siswinya yg memberikan "kebaikan" (baca services) yg tidak benar ?
silahkan dijawab lengkap....
utk bro Triyana... kayu pukul yg digunakan dlm Meditasi gak perlu fotonya lagi... karna member2 mengaku memangnya begitu.... apakah bro Triyana pernah mengikutin meditasi Zen ?
_/\_ ;D
Ini menarik dibahas lagi, apakah Bhiksu Zen Jepang boleh menikah...?
Inikah sebabnya Bhiksu Zen hanya menjalankan 5 sila sudah cukup...?
Apakah hanya bermodalkan 5 sila sudah pantas disebut Bhiksu...?
Quote from: johan3000 on 18 January 2011, 07:59:05 PM
Kayu pemukulnya bukan yg kecil, ringan dan tipis...
tapi besar n juga berat lhoooo
http://en.wikipedia.org/wiki/Keisaku
In Zen Buddhism, the keisaku (Japanese: 警策; kyôsaku in the Soto school) is a flat wooden stick or slat used during periods of meditation to remedy sleepiness or lapses of concentration. This is accomplished through a strike or series of strikes, usually administered on the meditator's back and shoulders in the muscular area between the shoulder blades and the spine. The keisaku itself is
thin and somewhat flexible; strikes with it, though they may cause momentary sting if performed vigorously, are not injurious.
The word "Keisaku" may be translated as "warning stick", and is wielded by the jikijitsu. "Encouragement stick" is a common translation for "kyosaku". In Soto Zen, the Kyosaku is always
administered at the request of the meditator, by way of bowing one's head and putting the palms together in gassho, and then exposing each shoulder to be struck in turn. In Rinzai Zen, the stick is requested in the same manner, but may also be used at the discretion of the Ino, the one in charge of the meditation hall. Even in such cases,
it is not considered a punishment, but
a compassionate means to reinvigorate and awaken the meditator who may be tired from many sessions of zazen.
Quote from: ryu on 19 January 2011, 06:54:59 AM
pada brahmajala sutta :
'Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk, menyebabkan semua orang memuji Sang Tathagata.'
cara membaca sutta dengan cerdas:
esensi sutta itu adalah menyakiti dan melukai mahluk lain. praktik meditasi zen dengan tongkat adalah untuk membantu si praktisi.
cara membaca sutta yg kurang cerdas dan kaku:
di sutta ada kata "alat pemukul", di zen ada pake "tongkat". wah, samaaaaaaa!!!!
Quote from: fabian c on 19 January 2011, 08:45:26 AM
Ini menarik dibahas lagi, apakah Bhiksu Zen Jepang boleh menikah...?
Inikah sebabnya Bhiksu Zen hanya menjalankan 5 sila sudah cukup...?
Apakah hanya bermodalkan 5 sila sudah pantas disebut Bhiksu...?
klo ada bhikkhu zen di jepang mempunyai istri mah udah brita lama, apa lagi sampe bisa terlibat dalam kasus hubungan seksual ma pengikutnya. klo aa ga salah dapat info, jubah bhikkhu zen di jepang bisa dilepas dan mereka dapat melakukan aktifitas sehari-hari layaknya umat perumahtangga, jika melakukan ritual/upacara baru menggunakan jubah kebhikkhuan nya. mengapa sampai hal ini terjadi ?
untuk kasus seperti ini, kebhikkhuan dianggap cuma sebagai profesi/hobi (mungkin)/hal yg menyenangkan (kegiatan sosial)/identitas orang baik atau suci/tingkatan sosial tertentu. tentunya ada yg mengatakan (kilah) bahwa hal ini seiring dengan perkembangan jaman, klo ga gini bhikkhu ga bisa idup..
ingat, esensi jd bhikkhu itu apa ? hidup sederhana dan melalukan latihan sebagai seorang samana, jauh dari kegiatan perumahtangga. bahkan ada pepatah, banyak jalan menuju roma dan menurut aa lebih baik buddha dhamma sangha hilang dr pd di nodai seperti itu... sebagai contoh di india, tempat asal buddhism sendiri.
klo orang "ndeso" mengatakan bhikkhu zen yg menjalankan 5 sila dengan bhikkhu lain yg menjalankan vinaya, oh sama... tp bagi orang pandai, mungkin akan terlihat beda, status bhikkhu bkn dilihat dr jubah, tp dilihat dr prilaku dan tingkat moralitasnya....
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fhistory.cultural-china.com%2FchinaWH%2Fupload%2Fupfiles%2F2010-04%2F02%2Fmoredc895ac7d3269ea6a6fe.jpg&hash=7da0f65a01d767b1ad4277e5919fa64435fdacb0)
Dahui Zonggao (Ta Hui)QuoteHe is also well known in Zen history as the Zen master who attempted to destroy all the copies of his master's (Yuanwu) great work, the Blue Cliff Record, believing students were becoming too attached to the Zen literature, and avoiding their own experiences.
Nah bagaimana tanggapan anda tentang murid (Dahui) yg mencoba menghancurkan semua buku gurunya (Yuanwu) ?
Kalau bro yg menjadi guru, tindakan apa yg akan diambil ?
kalau Dahui bisa internet/jago hack hari ini dan masih hidup... server nya DC pasti dalam keadaan bahaya =))
:P
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 06:51:59 AM
Bro Kainyn yang baik,
Dalam meditasi Zen/Mindfulness diperlukan kejujuran hati (terkait dengan sila tidak berbohong). Korupsi secara langsung menghantam nilai KEJUJURAN ini.
Kita bisa saja membohongi semua orang mengenai kemajuan meditasi kita tapi kita tak bisa membohongi diri kita sendiri.
Contoh yang ekstrem diberikan oleh Johan3000 mengenai 'Master' Zen Hakuyu Taizan Maezumi yang ternyata suka berhubungan seks dan alkoholik. Maezumi lalu secara JUJUR mengakuinya walau berhadapan dengan resiko ditinggalkan sebagian besar muridnya.
(Arak/sake dan tradisi khas Jepang mengenai hubungan seks dalam kasus Hakuyu Taizan Maezumi ini menunjukkan bahwa dua tradisi lokal Jepang ini menjadi semacam batu sandungan dalam meditasi Zen/Mindfulness)
Karena tanpa kejujuran hati tak akan ada kemajuan dalam meditasi kita. Setidaknya Hakuyu Taizan Maezumi masih gentleman karena JUJUR mengakui tindakan bejatnya.
Sebenarnya semua sila saling kait mengkait. Misalnya, seperti yang saya jelaskan di sini, sila tidak mencuri - dalam hal kemajuan meditasi - terkait dengan sila tidak berbohong. Begitulah cara Zen memandang hubungan antar sila dalam Pancasila Buddhist.
Sekali lagi, semua sila itu untuk memperkuat Zen/ Meditasi Mindfulness.
Memang betul kejujuran pada diri sendiri adalah penting. Tetapi apakah hubungannya dengan penjagaan vinaya? Di sini saya lihat orang jujur bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar. Sebaliknya orang tidak jujur juga bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar.
Saya melihat orang jujur sekaligus menjaga vinaya adalah yang terbaik di antara 4 jenis itu.
QuoteSila yang dilakukan dengan baik adalah semacam pondasi bagi kemajuan meditasi. Sila terkait dengan tindakan dan ucapan sedangkan meditasi Zen / Mindfulness terkait dengan pikiran sumber segala ucapan dan tindakan.
Sila ibarat memangkas rumput (tindakan dan ucapan yang buruk/jahat) agar tidak tumbuh tinggi, sedangkan meditasi Mindfulness/Zen ibarat mencabut rumput itu hingga ke akar (pikiran buruk/jahat).
Sekali lagi, Zen menunjuk langsung ke PIKIRAN. Sangat sederhana dan fleksibel (selentur/sefleksibel PIKIRAN manusia itu sendiri yang selalu BERUBAH dan berkembang mengikuti zaman).
Sederhana dan fleksibel, dua tradisi inilah yang membuat Zen berbeda dengan Theravada yang TERKESAN rumit/njelimet (contoh: Abhidhamma) dan kaku/ tak boleh berubah (contoh: 227 Vinaya).
Perumpamaan yang baik sekali. Saya mau tanya balik.
Seandainya seseorang tinggal dikelilingi rumput yang tinggi dan rimbun, banyak binatang berbahaya tersembunyi di balik rumput tersebut. Sekarang orang tersebut belum mampu mencabut akar, hanya mampu memangkasnya. Tetapi dia berpikir a la Zen bahwa memangkas tidak ada gunanya, lebih baik nanti saja kalau saya mampu mencabut, baru saya cabut sampai ke akarnya.
Sekarang saya mau tanya bro Sutarman, apakah dengan cara demikian, dia bisa melihat bahaya tersembunyi di balik rumput tinggi itu dan menghindarinya sebelum bahaya itu menyerang?
QuoteSelain perbedaan di Abhidhamma dan Vinaya dengan Theravada tersebut, Zen tetap memelihara sikap KRITIS dan SKEPTIS terhadap segala macam kitab suci termasuk Sutta/Sutra (seperti yang disarankan Buddha sendiri) dan di sisi lain Theravada skeptis dan kritis terhadap semua kitab suci agama/aliran lain KECUALI Sutta/Tipitaka itu sendiri.
Nah, ini menarik sekali. Bro Sutarman punya kesimpulan demikian berdasarkan apa? Pengamatan terhadap pribadi tertentu atau langsung pada ajarannya?
QuoteZen adalah Buddha Dharma di luar kitab, kata, dan bahasa, yang ditransmisikan/ diturunkan dari PIKIRAN Buddha itu sendiri.
Ini hanyalah propaganda. Dalam semua aliran Buddha-dharma (dan sepertinya hampir semua aliran spiritual lain), yang ditransmisikan memang adalah pikiran. Namun pikiran tidak bisa begitu saja ditransmisikan tanpa media, maka digunakanlah kitab, kata, dan bahasa sebagai media. Menarik sekali sementara di zen ada istilah "jari menunjuk ke bulan" di mana jari adalah media dan bulan adalah kebenaran itu sendiri, sementara anda mengatakan tidak ada jari.
QuoteZen berusaha membaui keharuman bunga PIKIRAN Buddha itu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata itu namun dapat dialami secara langsung dalam MEDITASI dan HIDUP itu sendiri.
Zen/Chan walau sederhana dan fleksibel namun sesungguhnya berusaha menjaga spirit/semangat dan ESENSI Buddha Dharma mengenai Sila (tindakan & ucapan), Samadhi (pikiran) dan Prajna (keterbebasan/ketidakmelekatan/non dualisme/jalan tengah).
Saya tahu bahwa tujuan dari Zen tetap adalah esensi Buddha-dharma. Saya hanya ingin membahas masalah manfaat dari sila/vinaya.
Quote from: morpheus on 19 January 2011, 08:58:52 AM
cara membaca sutta dengan cerdas:
esensi sutta itu adalah menyakiti dan melukai mahluk lain. praktik meditasi zen dengan tongkat adalah untuk membantu si praktisi.
cara membaca sutta yg kurang cerdas dan kaku:
di sutta ada kata "alat pemukul", di zen ada pake "tongkat". wah, samaaaaaaa!!!!
cara berkelit dengan cerdas:
esensi sutta itu adalah menyakiti dan melukai mahluk lain. praktik meditasi zen dengan tongkat adalah untuk memukul dengan cinta kasih.
cara berkelit yg kurang cerdas dan kaku:
di sutta ada kata "alat pemukul", di zen ada pake "tongkat". wah, upaya kausalya!!!! =))
Quote from: ryu on 19 January 2011, 09:49:56 AM
cara berkelit dengan cerdas:
esensi sutta itu adalah menyakiti dan melukai mahluk lain. praktik meditasi zen dengan tongkat adalah untuk memukul dengan cinta kasih.
cara berkelit yg kurang cerdas dan kaku:
di sutta ada kata "alat pemukul", di zen ada pake "tongkat". wah, upaya kausalya!!!! =))
jaka sembung. saya simpulkan anda tidak tertarik untuk berdiskusi pada topik ini.
selamat melucu dan bersenang2...
Quote from: dhanuttono on 19 January 2011, 09:30:46 AM
[...]
klo orang "ndeso" mengatakan bhikkhu zen yg menjalankan 5 sila dengan bhikkhu lain yg menjalankan vinaya, oh sama... tp bagi orang pandai, mungkin akan terlihat beda, status bhikkhu bkn dilihat dr jubah, tp dilihat dr prilaku dan tingkat moralitasnya....
Untuk bagian ini saya kurang setuju. Perilaku seseorang tidaklah selalu tergantung pada jumlah sila yang diembannya. Misalnya kalau di Theravada, awal berdirinya Sangha tidak memiliki Vinaya, tetapi bhikkhunya memiliki perilaku yang sempurna. Belakangan sila makin banyak, pelanggaran tambah banyak pula (sampai akhirnya jadi 227).
Hal ini disebabkan karena jika kebijaksanaan baik, otomatis moralitasnya baik. Seperti orang dewasa tidak usah dilarang, namun mengetahui apa yang baik dan tidak baik.
Yang jadi pertanyaan saya, apakah benar SEMUA yang ikut Zen pasti sudah bijaksana sehingga tidak perlu sila? (Lalu kok bisa ada bhikshu berselingkuh?)
Quote from: morpheus on 19 January 2011, 09:54:49 AM
jaka sembung. saya simpulkan anda tidak tertarik untuk berdiskusi pada topik ini.
selamat melucu dan bersenang2...
yeah, berarti menurut anda biksu2 zen itu lebih hebat dari buddha dengan mengajar pakai cara memukul dengan tongkat =))
Quote from: johan3000 on 19 January 2011, 06:27:55 AM
mohon yg lebih berpengetahuan tentang ZEN.... buka bicara (posting)....
apakah bro Triyana berpengetahuan tentang ZEN ? pernah ikut meditasinya gak ?
pernah donk ! ^-^
kalau ndak pernah mana mungkin bro Triyana bisa jawab pertanyaan ttg Zen ! :whistle:
:))
_/\_
Quote from: morpheus on 19 January 2011, 08:58:52 AM
cara membaca sutta dengan cerdas:
esensi sutta itu adalah menyakiti dan melukai mahluk lain. praktik meditasi zen dengan tongkat adalah untuk membantu si praktisi.
cara membaca sutta yg kurang cerdas dan kaku:
di sutta ada kata "alat pemukul", di zen ada pake "tongkat". wah, samaaaaaaa!!!!
yang dimaksud melepas alat pemukul dan pedang, biasanya yang pegang tongkat atau pedang, siapa saja ya ?
semoga bermanfaat !
Quote from: ryu on 19 January 2011, 10:31:02 AM
yeah, berarti menurut anda biksu2 zen itu lebih hebat dari buddha dengan mengajar pakai cara memukul dengan tongkat =))
rasanya tanpa bro ryu, sepi deh !
chia you ...... ^:)^
:)) :))
Quote from: ryu on 19 January 2011, 10:31:02 AM
yeah, berarti menurut anda biksu2 zen itu lebih hebat dari buddha dengan mengajar pakai cara memukul dengan tongkat =))
oh ya? di mana saya yg bilang demikian?
[at] bro sutarman...
yang anda baca itu bahwa ZEN itu mengarah langsung ke PIKIRAN, Skeptis terhadap kitab, tidak tergantung kepada kata-kata, tidak tergantung kepada bahasa... BAGAIMANA-pun itu juga adalah kata-kata / bahasa / pendengaran yang kamu baca/lihat/dengar saja...
GET IT ? :)
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 07:19:52 AM
Bro Dilbert yang baik,
saya sudah pernah menyampaikan di salah satu postingan bahwa beribu maaf saya tidak bisa mengungkapkannya di sini karena Beliau sendiri enggan disebut Guru apalagi Master. Beliau termasuk Guru Zen yang berkelana/mengembara / 'wandering' dan tersembunyi / 'hidden'.
_/\_
Kalau saya belajar ZEN dari "Komik" dan kelihatannya dari postingan kamu soal koan-koan, Feeling saya, guru kita itu buku komik-nya...
Note : untuk segar-kan ingatan bro sutarman dan tidak bersombong diri, dulu saya melamar jadi Moderator subforum Zen di Dhammacitta, dan diterima... hahahaha...
Quote from: dilbert on 19 January 2011, 11:52:31 AM
Note : untuk segar-kan ingatan bro sutarman dan tidak bersombong diri, dulu saya melamar jadi Moderator subforum Zen di Dhammacitta, dan diterima... hahahaha...
dan itu hanya dengan modal komik?
Quote from: Indra on 19 January 2011, 11:57:51 AM
dan itu hanya dengan modal komik?
modal dasar-nya komik... tapi kan bertambah terus asset-nya... di-kembang-kan... Jadi guru pertama saya buku komik...
:)
Saya pernah ikut retreat Guru Chan Ven Guo Jun, pernah ikut simposium dari Master Zen Seung Sahn dari Korea. Tapi tetap saya rasa buku komik lebih memberikan pengertian soal Zen kepada saya... ^-^
Bro Kainyn yang baik,
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 09:46:37 AM
Memang betul kejujuran pada diri sendiri adalah penting. Tetapi apakah hubungannya dengan penjagaan vinaya? Di sini saya lihat orang jujur bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar. Sebaliknya orang tidak jujur juga bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar.
Saya melihat orang jujur sekaligus menjaga vinaya adalah yang terbaik di antara 4 jenis itu.
Saya memilih yang terakhir itu.
Quote
Perumpamaan yang baik sekali. Saya mau tanya balik.
Seandainya seseorang tinggal dikelilingi rumput yang tinggi dan rimbun, banyak binatang berbahaya tersembunyi di balik rumput tersebut. Sekarang orang tersebut belum mampu mencabut akar, hanya mampu memangkasnya. Tetapi dia berpikir a la Zen bahwa memangkas tidak ada gunanya, lebih baik nanti saja kalau saya mampu mencabut, baru saya cabut sampai ke akarnya.
Sekarang saya mau tanya bro Sutarman, apakah dengan cara demikian, dia bisa melihat bahaya tersembunyi di balik rumput tinggi itu dan menghindarinya sebelum bahaya itu menyerang?
Saya tidak melihat sesuatu yang tersembunyi di balik rumput tinggi karena (maaf bercanda khas Zen) rumput itu sendiri tidak ada.
Quote
Nah, ini menarik sekali. Bro Sutarman punya kesimpulan demikian berdasarkan apa? Pengamatan terhadap pribadi tertentu atau langsung pada ajarannya?
Ajarannya memang skeptis dan kritis dari sono-nya.
Quote
Ini hanyalah propaganda. Dalam semua aliran Buddha-dharma (dan sepertinya hampir semua aliran spiritual lain), yang ditransmisikan memang adalah pikiran. Namun pikiran tidak bisa begitu saja ditransmisikan tanpa media, maka digunakanlah kitab, kata, dan bahasa sebagai media. Menarik sekali sementara di zen ada istilah "jari menunjuk ke bulan" di mana jari adalah media dan bulan adalah kebenaran itu sendiri, sementara anda mengatakan tidak ada jari.
Jarinya ya kata, bahasa, kitab.
Quote
Saya tahu bahwa tujuan dari Zen tetap adalah esensi Buddha-dharma. Saya hanya ingin membahas masalah manfaat dari sila/vinaya.
Saya coba bahas manfaat walau mungkin tak sempurna, yah namanya saja saya masih rendah dalam pencapaian Zen. Sekali lagi, tujuan sila dan vinaya menurut Zen adalah untuk mengendalikan (bahkan kalau bisa menghentikan) tindakan dan ucapan buruk/jahat (alias karma buruk/jahat). Apakah konsep 'manfaat' sila/vinaya yang sangat sederhana dan to the point ini terlalu sulit untuk dimengerti Bro Kainyn?
_/\_
Quote from: dilbert on 19 January 2011, 11:49:45 AM
[at] bro sutarman...
yang anda baca itu bahwa ZEN itu mengarah langsung ke PIKIRAN, Skeptis terhadap kitab, tidak tergantung kepada kata-kata, tidak tergantung kepada bahasa... BAGAIMANA-pun itu juga adalah kata-kata / bahasa / pendengaran yang kamu baca/lihat/dengar saja...
GET IT ? :)
Bro Dilbert yang baik,
Good point! Anda sudah berpikir secara Zen-nya Zen.
_/\_
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 09:57:55 AM
Untuk bagian ini saya kurang setuju. Perilaku seseorang tidaklah selalu tergantung pada jumlah sila yang diembannya. Misalnya kalau di Theravada, awal berdirinya Sangha tidak memiliki Vinaya, tetapi bhikkhunya memiliki perilaku yang sempurna. Belakangan sila makin banyak, pelanggaran tambah banyak pula (sampai akhirnya jadi 227).
Hal ini disebabkan karena jika kebijaksanaan baik, otomatis moralitasnya baik. Seperti orang dewasa tidak usah dilarang, namun mengetahui apa yang baik dan tidak baik.
Yang jadi pertanyaan saya, apakah benar SEMUA yang ikut Zen pasti sudah bijaksana sehingga tidak perlu sila? (Lalu kok bisa ada bhikshu berselingkuh?)
saya pernah diskus masalah ini. jaman dulu sila memang sedikit, sila yg pasti adalah 5 sila dasar. namun pada saat itu para bhikkhu langsung di dibimbing oleh buddha dan mereka rata2 mencapai kesucian, seiring waktu, muncul berbagai bhikkhu baru yg kekotoran bathin nya (belum mencapai kesucian) masih besar dan bermalas2an, sehingga mereka banyak melakukan pelanggaran demi pelanggaran untuk itu buddha menetapkan peraturan demi peraturan (sila) untuk bhikkhu sampai jumlah nya 227 (vinaya).
permasalahan muncul ketika ada yg mempersoalkan jumlah sila bukan patokan perbuatan bajik, emang benar dengan catatan kondisi bhikkhu tersebut telah mencapai tingkat kesuciaan, dimana mereka tidak melakukan kamma baru. jika dibandingkan kondisi saat ini, buddha telah tiada dan perkembangan zaman seperti sekarang apakah memungkinkan jumlah sila 5 masih relevan untuk para bhikkhu dalam menjalankan kebhikkhuannya, sementara mereka saja belum mencapai kesucian, kecuali dianggap suci sepihak atau merasa suci sendiri seperti LSY.
karena lemahnya peraturan yg ada untuk membatasi tindakan dan prilaku bhikkhu, menyebabkan hal2 yg buruk terjadi, seperti perselingkuhan, bermain judi, ikut politik, ketika malam melepas jubah dan berjalan2 ditempat keramaian seperti hal nya umat perumahtangga, meminum minuman keras dengan alasan kesehatan/suhu dingin (ini ga perlu dibahas udah terlalu sering dibahas)
ini menurut pandangan aa yg sempit
Quote from: dilbert on 19 January 2011, 11:52:31 AM
Kalau saya belajar ZEN dari "Komik" dan kelihatannya dari postingan kamu soal koan-koan, Feeling saya, guru kita itu buku komik-nya...
Note : untuk segar-kan ingatan bro sutarman dan tidak bersombong diri, dulu saya melamar jadi Moderator subforum Zen di Dhammacitta, dan diterima... hahahaha...
Bro Dilbert yang baik,
saya malah awalnya tahu Zen dari meditasi Zen yang diajarkan Guru saya. Selebihnya saya juga baca artikel/ungkapan/kisah Zen. Kalo nggak tahu mengenai suatu hal atau istilah teknis dalam sutta/sutra, baru saya tanya Guru.
Bisa jadi Bro Dilbert lebih banyak tahu tentang Zen daripada saya yang masih rendah ini.
Btw, saya pernah lihat cuplikan komik Zen di forum Buddhist tertentu, makanya saya penasaran cari komik Zen di Gramedia. Tapi kata Gramedia sudah nggak dicetak lagi. Untung tahun ini Gramedia ada program book on demand, jadi saya booking dulu komik Zen itu, walau gak tahu kapan bisa dicetak ulang.
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 12:10:15 PM
Saya tidak melihat sesuatu yang tersembunyi di balik rumput tinggi karena (maaf bercanda khas Zen) rumput itu sendiri tidak ada.
Dengan kata lain, Zen tidak melihat bahaya dari pembunuhan, pencurian, asusila, kebohongan dan ketidaksadaran, karena toh semua juga tidak ada. Begitukah? ;D
QuoteAjarannya memang skeptis dan kritis dari sono-nya.
"Dari sono-nya" ini yang seperti apa? Tolong diberi contoh ajaran dari Theravada yang menyuruh kritis terhadap ajaran lain tapi tidak kritis terhadap ajarannya sendiri.
QuoteJarinya ya kata, bahasa, kitab.
Berarti tetap menggunakan "jari" juga, bukan?
Hanya perbandingan saja, dalam Tradisi Theravada, Buddha mengumpamakan tujuan dari Ajaranya sebagai
'pantai seberang'. Apa yang diajarkan Buddha itu BUKAN pantai seberang, melainkan hanya rakit. Pantai seberang itu TIDAK DAPAT diwariskan, tetapi hanya dapat dicapai oleh mereka yang berlatih.
Demikian jari bukan bulan, rakit bukan pantai seberang. Maka saya katakan yang anda bilang itu hanya propaganda yang mengagungkan zen.
QuoteSaya coba bahas manfaat walau mungkin tak sempurna, yah namanya saja saya masih rendah dalam pencapaian Zen. Sekali lagi, tujuan sila dan vinaya menurut Zen adalah untuk mengendalikan (bahkan kalau bisa menghentikan) tindakan dan ucapan buruk/jahat (alias karma buruk/jahat). Apakah konsep 'manfaat' sila/vinaya yang sangat sederhana dan to the point ini terlalu sulit untuk dimengerti Bro Kainyn?
Nah, bro sutarman sendiri mengerti bahwa itulah gunanya sila/vinaya.
Yang sulit saya mengerti adalah bagi bro sutarman, konsep yang begitu mudah dimengerti dan sederhana, bisa memiliki atribut kaku kalau dikemukakan oleh 'non-zen' (katakanlah Theravada), namun adalah fleksibel dan tepat guna kalau dikatakan dalam koridor Zen. Padahal saya melihat baik Zen (fleksibel) ataupun Theravada (kaku), sebagian menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan, sebagian lagi tidak menjaganya.
Jadi (maaf), sejujurnya saya melihat bro sutarman seperti umat tertentu yang mengatakan agamanya paling baik, membawa orang pasti lebih baik, padahal faktnya, umat agama tersebut juga sama saja seperti umat lain, sebagian baik, sebagian juga tidak baik.
Quote from: Indra on 19 January 2011, 08:44:51 AM
cuma inikah vinaya dalam Zen? saya tebak Zen pasti tidak percaya sutta2 Tipitaka sama sekali, bagaimana menurut anda jika dikatakan bahwa Sang Buddha sendiri sering melakukan perdebatan dengan para brahmana/petapa lain seperti tercantum dalam sutta2?
Bro Sutarman, apakah menurut anda Dharma telah sempurna dibabarkan?
Bro Indra yang baik,
Menurut Theravada dan mungkin juga Mahayana pada umumnya pasti jawabannya SUDAH. Namun maafkan saya kalau tetap skeptis dan kritis.
Menurut saya pribadi, Buddha memang memiliki Dhamma yang sempurna namun masalahnya ketika Beliau menyampaikannya apakah para pendengar Dharma telah memahaminya dengan sempurna? Ini seperti permainan kalimat berantai.
Bro Indra pasti tahu maksud saya, yang saya selalu ulang-ulang, sampai saya bosan sendiri: KETERBATASAN kata, bahasa, dan kitab dalam rangka membabarkan Dharma.
Bukan berarti Theravada salah 100% atau benar 100%. Juga bukan berarti Mahayana salah 100% atau benar 100%. Zen sebenarnya tidak mempermasalahkan SALAH atau BENAR suatu sutta/sutra karena kalau demikian Zen juga jatuh dalam DUALISME salah-benar yang ujung-ujungnya debat kusir.
Zen hanya berusaha menangkap maksud sebenarnya dari sutta/sutra itu yang ingin disampaikan Buddha kepada kita. Pastilah ada penambahan atau pengurangan yang kadang terpaksa dilakukan penulis sutta/sutra untuk memperjelas maksudnya. Saya tidak mempermasalahkan penambahan atau pengurangan itu, saya hanya ingin menangkap esensi dari rangkaian kata-kata dalam sutta/sutra, dan kemudian esensi itu saya analisis lagi apakah berguna bagi meditasi mindfulness saya. Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat. Jadi dengan kata lain saya melihat esensi dari sebuah sutta/sutra untuk memusnahkan pikiran buruk/jahat saya pribadi. Jadi sutta/sutra itu untuk memperbaiki diri saya sendiri. Bukan orang lain. Itulah Zen. Zen/Mindfulness terutama dan pertama adalah untuk diri sendiri bukan orang lain.
_/\_
Quote from: dhanuttono on 19 January 2011, 12:56:45 PM
saya pernah diskus masalah ini. jaman dulu sila memang sedikit, sila yg pasti adalah 5 sila dasar. namun pada saat itu para bhikkhu langsung di dibimbing oleh buddha dan mereka rata2 mencapai kesucian, seiring waktu, muncul berbagai bhikkhu baru yg kekotoran bathin nya (belum mencapai kesucian) masih besar dan bermalas2an, sehingga mereka banyak melakukan pelanggaran demi pelanggaran untuk itu buddha menetapkan peraturan demi peraturan (sila) untuk bhikkhu sampai jumlah nya 227 (vinaya).
permasalahan muncul ketika ada yg mempersoalkan jumlah sila bukan patokan perbuatan bajik, emang benar dengan catatan kondisi bhikkhu tersebut telah mencapai tingkat kesuciaan, dimana mereka tidak melakukan kamma baru. jika dibandingkan kondisi saat ini, buddha telah tiada dan perkembangan zaman seperti sekarang apakah memungkinkan jumlah sila 5 masih relevan untuk para bhikkhu dalam menjalankan kebhikkhuannya, sementara mereka saja belum mencapai kesucian, kecuali dianggap suci sepihak atau merasa suci sendiri seperti LSY.
karena lemahnya peraturan yg ada untuk membatasi tindakan dan prilaku bhikkhu, menyebabkan hal2 yg buruk terjadi, seperti perselingkuhan, bermain judi, ikut politik, ketika malam melepas jubah dan berjalan2 ditempat keramaian seperti hal nya umat perumahtangga, meminum minuman keras dengan alasan kesehatan/suhu dingin (ini ga perlu dibahas udah terlalu sering dibahas)
ini menurut pandangan aa yg sempit
Betul, aa. Memang secara kasar, kenyataan pada umumnya adalah: "dikasih larangan saja masih melanggar, apalagi kalau tidak dilarang?" Ini adalah satu sudut pandang.
Yang saya bahas adalah dari sisi kematangan bathin seseorang. Walaupun diberi 1000 sila, kalau bathin masih terlalu banyak kebodohan, tetap saja melanggar dan melakukan kesalahan-kesalahan baru yang perlu dibuatkan sila ke 1001. Sebaliknya kalau bathin sudah matang, tanpa diberi sila pun ia tahu apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 01:31:21 PM
Dengan kata lain, Zen tidak melihat bahaya dari pembunuhan, pencurian, asusila, kebohongan dan ketidaksadaran, karena toh semua juga tidak ada. Begitukah? ;D
Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.
Quote
"Dari sono-nya" ini yang seperti apa? Tolong diberi contoh ajaran dari Theravada yang menyuruh kritis terhadap ajaran lain tapi tidak kritis terhadap ajarannya sendiri.
Berarti tetap menggunakan "jari" juga, bukan?
Hanya perbandingan saja, dalam Tradisi Theravada, Buddha mengumpamakan tujuan dari Ajaranya sebagai
'pantai seberang'. Apa yang diajarkan Buddha itu BUKAN pantai seberang, melainkan hanya rakit. Pantai seberang itu TIDAK DAPAT diwariskan, tetapi hanya dapat dicapai oleh mereka yang berlatih.
Demikian jari bukan bulan, rakit bukan pantai seberang. Maka saya katakan yang anda bilang itu hanya propaganda yang mengagungkan zen.
Nah, bro sutarman sendiri mengerti bahwa itulah gunanya sila/vinaya.
Yang sulit saya mengerti adalah bagi bro sutarman, konsep yang begitu mudah dimengerti dan sederhana, bisa memiliki atribut kaku kalau dikemukakan oleh 'non-zen' (katakanlah Theravada), namun adalah fleksibel dan tepat guna kalau dikatakan dalam koridor Zen. Padahal saya melihat baik Zen (fleksibel) ataupun Theravada (kaku), sebagian menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan, sebagian lagi tidak menjaganya.
Jadi (maaf), sejujurnya saya melihat bro sutarman seperti umat tertentu yang mengatakan agamanya paling baik, membawa orang pasti lebih baik, padahal faktnya, umat agama tersebut juga sama saja seperti umat lain, sebagian baik, sebagian juga tidak baik.
Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.
Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:35:05 PM
Bro Indra yang baik,
Menurut Theravada dan mungkin juga Mahayana pada umumnya pasti jawabannya SUDAH. Namun maafkan saya kalau tetap skeptis dan kritis.
Menurut saya pribadi, Buddha memang memiliki Dhamma yang sempurna namun masalahnya ketika Beliau menyampaikannya apakah para pendengar Dharma telah memahaminya dengan sempurna? Ini seperti permainan kalimat berantai.
Bro Indra pasti tahu maksud saya, yang saya selalu ulang-ulang, sampai saya bosan sendiri: KETERBATASAN kata, bahasa, dan kitab dalam rangka membabarkan Dharma.
secara singkat saya simpulkan bahwa menurut Bro Sutarman,
Dhamma masih tidak dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, entah itu tidak sempurna dalam kata, bahasa, ataupun kitab. benarkah demikian?
Quote
Bukan berarti Theravada salah 100% atau benar 100%. Juga bukan berarti Mahayana salah 100% atau benar 100%. Zen sebenarnya tidak mempermasalahkan SALAH atau BENAR suatu sutta/sutra karena kalau demikian Zen juga jatuh dalam DUALISME salah-benar yang ujung-ujungnya debat kusir.
cara anda menyampaikan pikiran anda dengan hanya menyebutkan Theravada dan Mahayana tanpa memasukkan Zen, bermakna bahwa hanya Zen yg 100% (benar atau salah, saya tebak "benar").
Quote
Zen hanya berusaha menangkap maksud sebenarnya dari sutta/sutra itu yang ingin disampaikan Buddha kepada kita. Pastilah ada penambahan atau pengurangan yang kadang terpaksa dilakukan penulis sutta/sutra untuk memperjelas maksudnya. Saya tidak mempermasalahkan penambahan atau pengurangan itu, saya hanya ingin menangkap esensi dari rangkaian kata-kata dalam sutta/sutra, dan kemudian esensi itu saya analisis lagi apakah berguna bagi meditasi mindfulness saya. Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat. Jadi dengan kata lain saya melihat esensi dari sebuah sutta/sutra untuk memusnahkan pikiran buruk/jahat saya pribadi. Jadi sutta/sutra itu untuk memperbaiki diri saya sendiri. Bukan orang lain. Itulah Zen. Zen/Mindfulness terutama dan pertama adalah untuk diri sendiri bukan orang lain.
jadi tujuan Zen adalah agar praktisinya menjadi orang yg baik? kalau begitu mungkin saya agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa Zen sama sekali berbeda secara mendasar dengan Buddhism. sepemahaman saya Buddhisme bertujuan jauh melampaui kebaikan, menjadi orang baik bukan tujuan Buddhist.
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:46:38 PM
Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
apakah anda untuk ke dua kalinya meninggalkan forum ini agar menjadi jujur dan cerdas? tapi sepertinya anda tidak jujur walaupun mungkin anda akan menjadi cerdas. (selama ini anda masih belum cerdas) ;D
QuoteOnce there was a well known philosopher and scholar who devoted himself to the study of Zen for many years. On the day that he finally attained enlightenment, he took all of his books out into the yard, and burned them all.
apakah master2 ZEN memiliki kebiasaan menghanguskan buku2 ?
apakah tindakan membakar buku juga bisa digolongkan egois...karna orang berikutnya gak bisa lagi membacanya!
apakah membakar buku di keluarga ZEN pernah terjadi ?
bagaimana master ZEN tsb begitu yakin... dan tidak pelupa setelah waktu berjalan.... sehingga berani membakar buku2 tsb ?
thx... :-[
Quote from: Indra on 19 January 2011, 02:02:12 PM
secara singkat saya simpulkan bahwa menurut Bro Sutarman, Dhamma masih tidak dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, entah itu tidak sempurna dalam kata, bahasa, ataupun kitab. benarkah demikian?
Dhamma sempurna. Proses penyampaianya tidak.
Quote
cara anda menyampaikan pikiran anda dengan hanya menyebutkan Theravada dan Mahayana tanpa memasukkan Zen, bermakna bahwa hanya Zen yg 100% (benar atau salah, saya tebak "benar").
Zen termasuk yang TIDAK BENAR ketika Zen berusaha menjelaskannya dalam kata, bahasa, teori, konsep.
Quote
jadi tujuan Zen adalah agar praktisinya menjadi orang yg baik? kalau begitu mungkin saya agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa Zen sama sekali berbeda secara mendasar dengan Buddhism. sepemahaman saya Buddhisme bertujuan jauh melampaui kebaikan, menjadi orang baik bukan tujuan Buddhist.
Tujuan Buddha Dharma adalah mencabut semua karma. Tapi awalnya ya harus dari sila (tindakan & ucapan) kemudian berlanjut ke samadhi (pikiran/zen) dan terakhir menggunakan panna (keterbebasan, ketidakmelekatan, jalan tengah). Semua itu demi tujuan tertinggi dalam agama Buddha yaitu ..... (Anda yang cerdas pasti sudah tahu sendiri).
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:46:38 PM
Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.
Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.
Baiklah, kalau begitu saya tidak melanjutkan.
QuoteAda pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Setahu saya:
Perkataan jujur, tidak enak didengar bagi yang tidak menyadari kenyataan, namun adalah enak didengar bagi yang menyadari kenyataan.
Perkataan tidak jujur, tidak enak didengar bagi yang menyadari kenyataan, namun enak didengar bagi yang tidak menyadari kenyataan.
Saya baru tahu jujur/tidak jujur dinilai dari enak atau tidak enak didengar. ;D
QuoteOrang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
Demikianlah orang bisu adalah yang paling cerdas di dunia.
Quote from: johan3000 on 19 January 2011, 02:17:06 PM
apakah master2 ZEN memiliki kebiasaan menghanguskan buku2 ?
apakah tindakan membakar buku juga bisa digolongkan egois...karna orang berikutnya gak bisa lagi membacanya!
apakah membakar buku di keluarga ZEN pernah terjadi ?
bagaimana master ZEN tsb begitu yakin... dan tidak pelupa setelah waktu berjalan.... sehingga berani membakar buku2 tsb ?
thx... :-[
Bro Johan3000 yang baik,
Mungkin yang Bro tidak tahu adalah kisah Zen mengenai bakar membakar buku itu hanya 'komik' saja.
Aslinya adalah yang membakar buku itu kemudian diminta Gurunya menuliskan ulang semua kata dalam buku yang dibakar itu. Dan dia menulis ulang semuanya dengan tepat, tidak kurang satu huruf pun!
_/\_
Quote from: Indra on 19 January 2011, 02:09:12 PM
apakah anda untuk ke dua kalinya meninggalkan forum ini agar menjadi jujur dan cerdas? tapi sepertinya anda tidak jujur walaupun mungkin anda akan menjadi cerdas. (selama ini anda masih belum cerdas) ;D
tadinya memang sudah niat tapi kata tidak jujur enak didengar :))
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 02:19:26 PM
Dhamma sempurna. Proses penyampaianya tidak.
pertanyaannya "Apakah Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna" dengan kalimat lain mungkin "apakah Dhamma telah ditransmisikan dengan sempurna"?
Quote
Zen termasuk yang TIDAK BENAR ketika Zen berusaha menjelaskannya dalam kata, bahasa, teori, konsep.
Tujuan Buddha Dharma adalah mencabut semua karma. Tapi awalnya ya harus dari sila (tindakan & ucapan) kemudian berlanjut ke samadhi (pikiran/zen) dan terakhir menggunakan panna (keterbebasan, ketidakmelekatan, jalan tengah). Semua itu demi tujuan tertinggi dalam agama Buddha yaitu ..... (Anda yang cerdas pasti sudah tahu sendiri).
_/\_
bukankah ini adalah tulisan anda, "Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat".
lihat jumlah postingan saya, sudah pasti saya tidak cerdas
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 02:22:54 PM
Bro Johan3000 yang baik,
Mungkin yang Bro tidak tahu adalah kisah Zen mengenai bakar membakar buku itu hanya 'komik' saja.
Aslinya adalah yang membakar buku itu kemudian diminta Gurunya menuliskan ulang semua kata dalam buku yang dibakar itu. Dan dia menulis ulang semuanya dengan tepat, tidak kurang satu huruf pun!
_/\_
lebih cocok propaganda !
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 02:22:54 PM
Bro Johan3000 yang baik,
Mungkin yang Bro tidak tahu adalah kisah Zen mengenai bakar membakar buku itu hanya 'komik' saja.
Aslinya adalah yang membakar buku itu kemudian diminta Gurunya menuliskan ulang semua kata dalam buku yang dibakar itu. Dan dia menulis ulang semuanya dengan tepat, tidak kurang satu huruf pun!
_/\_
darimana tau "tidak kurang satu huruf pun"? apakah masih ada copy lainnya sebagai pembanding? kalau ada berarti cuma menyalin (fotokopi), wajar kalo tidak ada salah.
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 02:22:54 PM
Bro Johan3000 yang baik,
Mungkin yang Bro tidak tahu adalah kisah Zen mengenai bakar membakar buku itu hanya 'komik' saja.
Aslinya adalah yang membakar buku itu kemudian diminta Gurunya menuliskan ulang semua kata dalam buku yang dibakar itu. Dan dia menulis ulang semuanya dengan tepat, tidak kurang satu huruf pun!
_/\_
apakah jawabannya juga "komik"an bro ? =))
ada satu Universitas,... peraturan tertulis...
kalau merusak barang milik sekolah, harus menggantinya minimum 10X
jadi apakah murid ZEN tsb disuruh menulis minimal 10 buku ?
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:46:38 PM
Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.
Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.
Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
_/\_
Kata jujur mungkin enak didengar, mungkin juga tak enak didengar
Kata enak didengar mungkin tidak jujur, mungkin juga jujur
Orang cerdas ada yang tidak berbicara, ada juga yang berbicara
Orang berbicara ada yang tidak cerdas, ada juga yang cerdas.Renungkan dulu suatu kata-kata walaupun merupakan tradisi atau sudah diturunkan selama banyak generasi, karena suatu kata-kata indah belum tentu benar atau belum tentu mencakup kebenaran keseluruhan.
Saran untuk anda bro... jangan ikut-ikutan me-stereotype orang seperti para pendahulu kita...
Mettacittena,
QuoteSetahu saya:
Perkataan jujur, tidak enak didengar bagi yang tidak menyadari kenyataan, namun adalah enak didengar bagi yang menyadari kenyataan.
Perkataan tidak jujur, tidak enak didengar bagi yang menyadari kenyataan, namun enak didengar bagi yang tidak menyadari kenyataan.
Saya baru tahu jujur/tidak jujur dinilai dari enak atau tidak enak didengar.
jawaban bro Kainyn sangat tercerahkan, apakah bro juga belajar ZEN ? :))
Quote from: johan3000 on 19 January 2011, 02:28:41 PM
jawaban bro Kainyn sangat tercerahkan, apakah bro juga belajar ZEN ? :))
pasti dari komik ! =)) =))
QuoteIt should be remembered that the mind of the master is ever pure... and even if the master tells lies, steals, and chases women..., he is still to be considered a true master as long as he scolds his disciples for their transgressions.[1]
apakah ini juga statement yg keluar dari master ZEN ?
siapakah master ZEN yg menulis statement diatas ? (QUIZ utk menguji pengetahuan anda ttg ZEN)
chases women=ngejar cewek
transgressions=pelanggaran
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fupload.wikimedia.org%2Fwikipedia%2Fcommons%2Fthumb%2F5%2F56%2FZentatsu_Richard_Baker_in_2008.jpg%2F220px-Zentatsu_Richard_Baker_in_2008.jpg&hash=5fc39d41f843e2e4c5d1f2559251d3bf5d7eeb97)
Zentatsu Richard Baker (born March 30, 1936), born Richard Dudley Baker, is an American Soto Zen roshi, the founder and guiding teacher of Dharma Sangha—which consists of Crestone Mountain Zen Center located in Crestone, Colorado and the Buddhistisches Studienzentrum[1]
(Johanneshof) in Germany's Black Forest.[2] As the American Dharma heir to Shunryu Suzuki, Baker assumed abbottship of the San Francisco Zen Center (SFZC) shortly before Suzuki's death in 1971. He remained abbot there until 1984, the year he resigned his position after it was disclosed in the previous year that he and the wife of one of SFZC's benefactors had been having an ongoing affair. Despite the controversy connected with his resignation, Baker was instrumental in helping the San Francisco Zen Center to become one of the most successful Zen institutions in the United States.
Guru Zen dari negara manakah yg lebih berhasil menjalankan sila ?
apakah cerita Zentatsu RB yg ada main dgn isteri teman baiknya itu benar ?
Bagaimana mengetahui guru ZEN yg bener2 baik dari yg tidak ?
_/\_ ^-^
QuoteSince 1965, Eido Shimano, now 77, has been the abbot, or head spiritual teacher, of the Zen Studies Society, a Japanese Buddhist community with headquarters on East 67th Street in Manhattan and a 1,400-acre monastery in the Catskills. For much of that time, there have been rumors about the married abbot's sexual liaisons, with his students and with other women. Such rumors could no longer be ignored when, in 2008, the University of Hawaii at Manoa unsealed some papers donated by Robert Aitken, a leading American Buddhist and founder of the Buddhist Peace Fellowship.
New York Times
By MARK OPPENHEIMER
Published: August 20, 2010
bagaimana dgn master Eido Shimano ? apakah dia juga guru ZEN yg baik ?
Quote from: johan3000 on 19 January 2011, 02:28:41 PM
jawaban bro Kainyn sangat tercerahkan, apakah bro juga belajar ZEN ? :))
Quote from: adi lim on 19 January 2011, 02:35:23 PM
pasti dari komik ! =)) =))
Bukan, itu adalah kenyataan sederhana tanpa perlu belajar filosofi apa pun. Contoh super sederhana: saya pernah diberitahu hal yang enak didengar, "ada kue buat kamu di atas!" Lalu saya pergi ke atas, dan memang benar ada kue untuk saya. Ternyata enak didengar dan jujur.
Lain waktu, pernah ada juga yang bohong mengatakan kue saya adalah 'bukan kue saya'. Sudah bohong, tidak enak didengar pula. ;D Jadi kalau orang menganggap yang jujur = tidak enak didengar, yang tidak jujur = enak didengar, saya pikir cukup aneh.
Quote from: Indra on 19 January 2011, 02:24:17 PM
pertanyaannya "Apakah Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna" dengan kalimat lain mungkin "apakah Dhamma telah ditransmisikan dengan sempurna"?
Nah, itu pula yang harus dipertanyakan dalam meditasi kita.
Quote
bukankah ini adalah tulisan anda, "Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat".
saya telah gagal menyampaikan maksud saya. mungkin Bro boleh lagi cermati postingan saya yang terceraiberai di beberapa thread.
Quote from: Indra on 19 January 2011, 02:25:51 PM
darimana tau "tidak kurang satu huruf pun"? apakah masih ada copy lainnya sebagai pembanding? kalau ada berarti cuma menyalin (fotokopi), wajar kalo tidak ada salah.
Bro Indra yang baik,
saya lupa nama tepat dari pembakar kitab itu, seingat saya sih dari Jepang. Nanti saya cari lagi di pustaka saya.
_/\_
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 03:27:46 PM
Bukan, itu adalah kenyataan sederhana tanpa perlu belajar filosofi apa pun. Contoh super sederhana: saya pernah diberitahu hal yang enak didengar, "ada kue buat kamu di atas!" Lalu saya pergi ke atas, dan memang benar ada kue untuk saya. Ternyata enak didengar dan jujur.
Lain waktu, pernah ada juga yang bohong mengatakan kue saya adalah 'bukan kue saya'. Sudah bohong, tidak enak didengar pula. ;D Jadi kalau orang menganggap yang jujur = tidak enak didengar, yang tidak jujur = enak didengar, saya pikir cukup aneh.
Kainyn,
You are the Master. I don't want to comment anymore.
Keep you good work in here.
Although I had said billion words people still do not know what I really mean. Should I speak?
For moderator, please lock all of threads I have made.
And for this thread (Zen) and other thread (Theravada), I will let other Brothers like Dilbert or Morpheus to explain Zen.
They will explain Zen better than me.
I had said all I want to say. I hope people will know the Zen better.
Zen is mind and mind is Zen.
Buddha is mind and mind is Buddha.
Zen is meditation and meditation is Zen.
Let me meditate.
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 03:50:18 PM
Bro Kainyn yang baik,
You are the Master! I don't want to comment anymore.
_/\_
Silahkan berkomentar ataupun tidak. Tapi yang jelas saya bukan master, hanya orang biasa se-biasa-biasa-nya. ;D
_/\_
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:46:38 PM
Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.
Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.
Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
_/\_
[at] bro sutarman, jangan terjebak pada "kepemilikan" bahwa bro sutarman mewakili aliran ZEN (Chan) di sini... karena disini semua pada belajar, sharing saja... Seperti saya sendiri, kalau saya review semua posting saya sejak awal di Dhammacitta, akan keliatan "betapa sok pintar-nya" saya awal-awal join... Bahkan sering salah ngutip, salah pandangan, salah kesimpulan dsbnya...
Tapi untung-nya saya tidak "CABUT" / say goodbye dari forum ini. Karena memang yang saya cari adalah esensi dari kebenaran (dhamma) itu sendiri. Makin lama makin saya belajar... dan moga-moga makin bijaksana... AMIN/ALHAMDULILLAH...
So... Jangan merasa "ditekan"/"diteror"/"disudutkan" oleh siapapun di sini, karena SUTARMAN mana sih yang disudutkan ? LANJUT terus... hehehehehe
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 03:42:27 PM
Nah, itu pula yang harus dipertanyakan dalam meditasi kita.
kita? saya tidak bertanya2 dalam meditasi, Bro.
Quote
saya telah gagal menyampaikan maksud saya. mungkin Bro boleh lagi cermati postingan saya yang terceraiberai di beberapa thread.
anda berhak untuk menyampaikan ulang maksud anda. saya tidak sedang memeriksa anda di sini, jadi saya hanya memperhatikan postingan pada topik yg saya minati.
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 03:46:34 PM
Bro Indra yang baik,
saya lupa nama tepat dari pembakar kitab itu, seingat saya sih dari Jepang. Nanti saya cari lagi di pustaka saya.
_/\_
siapa pun nama si pembakar tidak mengubah pertanyaan saya di atas
mau bilang dulu ahhhh, KENTUTTTT!!!!!
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 03:27:46 PM
Bukan, itu adalah kenyataan sederhana tanpa perlu belajar filosofi apa pun. Contoh super sederhana: saya pernah diberitahu hal yang enak didengar, "ada kue buat kamu di atas!" Lalu saya pergi ke atas, dan memang benar ada kue untuk saya. Ternyata enak didengar dan jujur.
Lain waktu, pernah ada juga yang bohong mengatakan kue saya adalah 'bukan kue saya'. Sudah bohong, tidak enak didengar pula. ;D Jadi kalau orang menganggap yang jujur = tidak enak didengar, yang tidak jujur = enak didengar, saya pikir cukup aneh.
om kainyn, tentu kata2 dao de jing itu ada konteksnya tersendiri, janganlah di-joey-naylor-kan...
namanya juga bentuk puisi, bukan prosa. tentu gak bisa menuliskan dengan elaborate.
seperti syair mangala sutta, bahusaccanca sipanca. kalo di-joey-naylor-kan lalu muncul pertanyaan: "lah kalo dalem konteks ketrampilan berjudi dan menipu gimana? berarti mangala sutta gak tepat dong". gak bisa gitu kan? mangala sutta ada konteks dan elaborate explanationnya...
Quote from: Indra on 19 January 2011, 04:08:33 PM
siapa pun nama si pembakar tidak mengubah pertanyaan saya di atas
Yang saya tahu sekarang yang suka bakar kitab kitab Buddhis = TALIBAN AFGHANISTAN...
Quote from: morpheus on 19 January 2011, 04:22:40 PM
om kainyn, tentu kata2 dao de jing itu ada konteksnya tersendiri, janganlah di-joey-naylor-kan...
namanya juga bentuk puisi, bukan prosa. tentu gak bisa menuliskan dengan elaborate.
seperti syair mangala sutta, bahusaccanca sipanca. kalo di-joey-naylor-kan lalu muncul pertanyaan: "lah kalo dalem konteks ketrampilan berjudi dan menipu gimana? berarti mangala sutta gak tepat dong". gak bisa gitu kan? mangala sutta ada konteks dan elaborate explanationnya...
Saya meminta bukti bahwa Theravada mengajarkan untuk kritis terhadap ajaran lain, namun tidak kritis terhadap ajaran sendiri. Lalu di-nick-naylor-kan dengan 'puisi' itu, entah apa relevansinya. Maka saya saya nick-naylor-kan lebih jauh untuk menunjukkan bahwa saya sadar dia sedang main nick-naylor, dan kalau dipakai seenak perut untuk mengacau relevansi diskusi, saya juga bisa.
haihhh, semua smurf dari smurf2 itu, hanya dengan smurf satu jadinya smurf semua, makanya smurf lah dengan smurf yang ada dan juga smurf itu =))
Quote from: ryu on 19 January 2011, 05:58:40 PM
haihhh, semua smurf dari smurf2 itu, hanya dengan smurf satu jadinya smurf semua, makanya smurf lah dengan smurf yang ada dan juga smurf itu =))
ngomong2 smurf gue jadi pengen beli yg kemaren
Quote from: Indra on 19 January 2011, 06:21:55 PM
ngomong2 smurf gue jadi pengen beli yg kemaren
yang mana? senopati?
Quote from: dilbert on 19 January 2011, 04:31:39 PM
Yang saya tahu sekarang yang suka bakar kitab kitab Buddhis = TALIBAN AFGHANISTAN...
buka hanya bakar kitab :(
patung Buddha raksasa juga dirubuhkan :'(
_/\_
Quote from: ryu on 19 January 2011, 06:44:08 PM
"TRINGGGG" dapet pencerahan =))
ikut2an praktisi Zen nih pakai 'pencerahan seketika' ^-^
kembali ke topik
icicic...
Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 04:42:48 PM
Saya meminta bukti bahwa Theravada mengajarkan untuk kritis terhadap ajaran lain, namun tidak kritis terhadap ajaran sendiri.
mungkin maksudnya "oknum2". entahlah, seharusnya justru om sutarman bisa menjelaskannya dengan sabar dan sistematis sehingga banyak yg bisa dimengerti dari zen. mungkin dia terlalu terpengaruh tekanan one liner oot dan copy paste kecap bango busuk.
buat om sutarman, pertimbangkan lagi. anda justru bisa bermeditasi di sini...
Quote from: morpheus on 19 January 2011, 08:57:56 PM
icicic... mungkin maksudnya "oknum2". entahlah, seharusnya justru om sutarman bisa menjelaskannya dengan sabar dan sistematis sehingga banyak yg bisa dimengerti dari zen. mungkin dia terlalu terpengaruh tekanan one liner oot dan copy paste kecap bango busuk.
buat om sutarman, pertimbangkan lagi. anda justru bisa bermeditasi di sini...
Ketika Buddha Gautama Bertanya.....
Maha Kassapa tidak menjawab, dan hanya "TERSENYUM".....
wahhh kepilih jadi ZEN yg pertama....
apakah begitu ? bro Sutarman, senyum dikit dunng =))
jawaban yg bener adalah dari bro Dilbert
[spoiler=nih posting bro Dilbert]Ketika Buddha Gotama berada di gunung Girdhakutha dan sedang membabarkan ajaran. Tiba-tiba Sang Buddha menampilkan sekumtum bunga di tangan-nya. Semua murid Buddha terdiam dan menantikan apa yang hendak disampaikan oleh Buddha. Hanya Maha Kassapa yang memberikan respon dengan tersenyum.
Sang Buddha kemudian berkata
Buddha : Kassapa telah mengerti.
(Dalam hal ini, dikatakan bahwa Buddha Gotama telah mentransmisikan pikiran zen / chan kepada Maha Kassapa, dan dikatakan bahwa Maha Kassapa menjadi sesepuh zen India yang pertama)[/spoiler]
di indonesia ada "pakar zen" jg, coba ikuti acara "mario teguh golden way" itu zen banget... hehehehe...
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 03:50:18 PM
Although I had said billion words people still do not know what I really mean. Should I speak?
maybe 2 billion words will make them understand.
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 03:50:18 PM
And for this thread (Zen) and other thread (Theravada), I will let other Brothers like Dilbert or Morpheus to explain Zen.
They will explain Zen better than me.
wong saya bukan praktisi zen, pigimana?
Quote from: sutarman on 19 January 2011, 03:50:18 PM
Let me meditate.
how about meditate by being mindful posting in this forum?
another KENTUTTTT!!!! =))
Quote from: morpheus on 19 January 2011, 08:57:56 PM
icicic... mungkin maksudnya "oknum2". entahlah, seharusnya justru om sutarman bisa menjelaskannya dengan sabar dan sistematis sehingga banyak yg bisa dimengerti dari zen. mungkin dia terlalu terpengaruh tekanan one liner oot dan copy paste kecap bango busuk.
buat om sutarman, pertimbangkan lagi. anda justru bisa bermeditasi di sini...
Ya, saya rasa juga maksudnya oknum-oknum, maka perkataan bahwa 'dari sononya' yang mengacu pada 'Ajaran Theravada mengajarkan kritis hanya ke ajaran lain tapi tidak untuk ajaran sendiri' adalah keliru. Kalau bisa dengan berani menghadapi pertanyaan (dan mengakui kesalahan kalau memang ada), saya justru sangat menghargai. Beda kalau berkelit dari diskusi menggunakan syair-syair yang tidak nyambung.
[spoiler]NB: ya, saya tahu konteks syair tersebut. Tao Te Ching adalah kitab suci pertama saya di luar Alkitab.[/spoiler]
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 January 2011, 09:17:07 AM
Ya, saya rasa juga maksudnya oknum-oknum, maka perkataan bahwa 'dari sononya' yang mengacu pada 'Ajaran Theravada mengajarkan kritis hanya ke ajaran lain tapi tidak untuk ajaran sendiri' adalah keliru. Kalau bisa dengan berani menghadapi pertanyaan (dan mengakui kesalahan kalau memang ada), saya justru sangat menghargai. Beda kalau berkelit dari diskusi menggunakan syair-syair yang tidak nyambung.
[spoiler]NB: ya, saya tahu konteks syair tersebut. Tao Te Ching adalah kitab suci pertama saya di luar Alkitab.[/spoiler]
Tapi aneh-nya... dari 82 BAB Tao Te Ching, tidak ada bahas membahas soal dewa-dewa, malah Tao Te Ching menjadi kitab suci utama aliran Taoisme yang suka soal dewa-dewa...
Quote from: johan3000 on 19 January 2011, 09:01:47 PM
Ketika Buddha Gautama Bertanya.....
Maha Kassapa tidak menjawab, dan hanya "TERSENYUM".....
wahhh kepilih jadi ZEN yg pertama....
apakah begitu ? bro Sutarman, senyum dikit dunng =))
jawaban yg bener adalah dari bro Dilbert
[spoiler=nih posting bro Dilbert]Ketika Buddha Gotama berada di gunung Girdhakutha dan sedang membabarkan ajaran. Tiba-tiba Sang Buddha menampilkan sekumtum bunga di tangan-nya. Semua murid Buddha terdiam dan menantikan apa yang hendak disampaikan oleh Buddha. Hanya Maha Kassapa yang memberikan respon dengan tersenyum.
Sang Buddha kemudian berkata
Buddha : Kassapa telah mengerti.
(Dalam hal ini, dikatakan bahwa Buddha Gotama telah mentransmisikan pikiran zen / chan kepada Maha Kassapa, dan dikatakan bahwa Maha Kassapa menjadi sesepuh zen India yang pertama)[/spoiler]
ini kisah Transmisi Zen ke Mahakassapa versi lain...Di kutip dari buku Jalur Tua Awan Putih (Jilid 2) karya Y.A.Thicht Nhat Hanh. Bab 51, hal 221.
...
Suatu hari di bulan purnama, Putri Vajiri (putri Raja Pasenadi dari Kosala) meminta anak anak (dari kelas dharma) membawa bunga untuk dipersembahkan kepada Buddha. Anak-anak tiba dengan aneka bunga yang dipetika dari kebun mereka dan dari ladang ladang di sepanjang jalan menuju vihara. Putri Vajiri membawa serangkul bunga teratai yang dikumpulkannya dari kolam teratai istana. Ketika dia bersama anak anak pergi menemui bhagava di gubuk-Nya, mereka dengar Beliau ada di aula Dharma dan sedang bersiap siap memberikan ceramah untuk para bhikkhu dan siswa awam. Tanpa bersuara tuan putri menuntun anak anak menuju aula. Orang dewasa menyingkir untuk memberikan jalan bagi anak anak. Mereka menaruh bunga ke atas meja kecil dihadapan Buddha lalu membungkuk hormat. Bhagava tersenyum dan balas membungkuk hormat. Beliau mengundang anak anak untuk duduk tepat di hadapan-Nya.
Ceramah Dharma Bhagava hari ini adalah yang paling spesial. Beliau menunggu hingga anak anak duduk dengan hening lalu bangkit berdiri dengan perlahan. Buddha mengambil setangkai teratai dan mengacungkannya ke hadapan komunitas. Beliau tidak mengatakan apa apa. Setiap orang duduk tanpa suara. Buddha mengacungkan bunga itu tanpa mengatakan apa apa untuk jangka waktu yang lama. Hadirin tertegun dan bertanya tanya apa maksud Beliau melakukan hal itu. Lalu Bhagava memandang seluruh komunitas dan tersenyum.
Beliau berkata, " Aku memiliki mata Dharma sejati, harta karun insight yang menakjubkan dan baru saja kuwariskan kepada MahaKassapa."
Semua orang berpaling kepada Y.A. MahaKassapa dan melihat dia sedang tersenyum. Matanya tidak berpindah dari Buddha dan bunga teratai yang dipegang-Nya. Ketika hadirin berpaling kepada Bhagava, mereka melihat Bhagava juga sedang menatap teratai itu dan tersenyum.
Kendati merasa tertegun, Svasti (seorang bhikkhu muda yang menjadi sentral cerita dalam Buku Jalur Tua Awan Putih) tahu hal terpenting adalah mempertahankan perhatian penuh. Mulailah dia mengamati nafasnya sambil melihat Buddha. Teratai putih di tangan Bhagava baru saja mekar. Beliau memegang bunga itu dengan sikap paling lembut dan mulia. Ibu jari dan telunjuk Beliau memegang tangkai teratai yang mengikuti lekuk lengan-Nya. Tangan Bhagava seindah tangkai itu sendiri, murni dan menakjubkan. Tiba tiba, svasti benar benar melihat kemurnian dan keindahan mulia bunga itu. Tiada sesuatu untuk dipikirkan. Alami sekali, senyum pun muncul di wajahnya.
Buddha mulai bicara, "Sahabat sekalian, bunga ini adalah sebuah realitas yang sangat menakjubkan. Ketika kuacungkan bunga ini dihadapan kalian, kalian semua berpeluang untuk mengalaminya. Berkontak dengan bunga ini adalah berkontak dengan realitas yang sangat menakjubkan. Kontak dengan bunga ini adalah berkontak dengan kehidupan itu sendiri."
"MahaKassapa tersenyum lebih dahulu dari yang lain karena ia mampu berkontak dengan bunga ini. Selama rintangan masih ada di pikiran kalian, kalian tak akan dapat berkontak dengan bunga ini. Beberapa di antara kalian ada yang bertanya kepada diri sendiri, "Mengapa Gotama mengacungkan bunga itu ke atas ? Apa gerangan makna gerakannya ?" Jika pikiran kalian dipenuhi pemikiran semacam itu, kalian tak akan benar benar dapat mengalami bunga ini."
"Sahabat sekalian, hilang di belantara pemikiran merupakan salah satu hal yang mencegah kita untuk benar benar kontak dengan kehidupan. Jika kalian dipimpin oleh kecemasan, frustasi, kegelisahan, kemarahan, ataupun kecemburuan, kalian akan kehilangan kesempatan untuk benar benar kontak dengan semua mujizat kehidupan."
"Sahabat sekalian, teratai di tanganku ini hanya nyata bagi mereka yang berdiam dalam kekinian secara penuh kesadaran. Jika kalian tidak kembali ke saat ini juga, maka [bagi kalian] bunga ini tidak benar benar eksis. Ada orang orang yang bisa melintasi hutan cendana tanpa benar benar melihat sebatang pohon pun. Kehidupan memang dipenuhi penderitaan, tetapi kehidupan juga mengandung banyak keajaiban. Eling dan waspadalah agar mampu melihat keduanya, penderitaan maupun hal hal yang sangat menakjubkan dalam kehidupan."
"Bersentuhan dengan penderitaan tidaklah berarti harus lenyap tenggelam di dalamnya. Bersentuhan dengan keajaiban hidup juga tidak mengartikan kita harus kehilangan diri kita di dalamnya. Bersentuhan adalah benar benar menjumpai kehidupan, melihatnya secara mendalam. Jika kita menjumpai kehidupan secara langsung, kita akan memahami sifat dasar saling ketergantungan dan ketidakkekalannya. Berkat itu, kita tidak akan lagi lenyap tenggelam dalam nafsu, kemarahan, maupun kemelekatan. Kita akan berdiam dalam kebebasan dan pembebasan."
Svasti merasa bahagia, Ia senang dirinya tersenyum dan paham sebelum Buddha bicara. Y.A. MahaKAssapa lebih dahulu tersenyum. Dia adalah salah seorang guru svasti dan siswa senior yang telah menempuh jarak yang sangat jauh di jalur pencerahan. Svasti tahu ia tidak bisa membandingkan dirinya dengan MahaKAssapa dan para sesepuh lainnya seperti Sariputra, Moggalana dan Assaji. LAgipula, ia sendiri baru berusia dua puluh empat tahun pada saat itu
makanya banyak yang salah kaprah, sekarang ini banyak praktisi yang ikutan dengan cara hanya tersenyum.
kebetulan ada umat atau praktisi lainnya melihat seorang praktisi baru habis meditasi kemudian sedang senyum langsung dikira sudah dapat 'pencerahan seketika' atau 'sudah mengerti'
=)) =))
Quote from: morpheus on 18 January 2011, 05:58:59 PM
bantuin om sutarman, copy paste dari warung sebelah karena relevan:
Quotepola pikir mahayanis:
peraturan dibikin dengan suatu alasan. dalam hal ini, alasan lebih penting ketimbang peraturannya. peraturan itu sesuatu yg mati, sedangkan hidup ini penuh dinamika. kalo suatu saat ditemukan alasan yg kuat (dengan kecerdasan dewasa tentunya), peraturan bisa saja mengalah.
peraturan itu sendiri bukanlah senjata paling dasyat. karena peraturan itu mati, maka lobang2nya masih bisa terus dipergunakan oleh manusia. contohnya: vinaya gak boleh pegang duit, emas dan perak. oooo, berarti pegang credit card dan rekening digital boleh dong... sila gak boleh minum yg memabukkan. ooo, kalo gitu rokok atau pil ekstasi boleh dong...
ini bukan guyon lho. melainkan sudah terjadi....
peraturan itu mati, namun alasan dan kecerdasan itu hidup.
bahkan Sang Buddha sendiri pernah berpesan, peraturan yg gak gitu penting boleh dihapuskan.
ps: ini hanya untuk mencoba melihat dari sudut pandang mahayana. dua2nya mungkin benar dari sudut pandang masing2.
[spoiler]karena sudah kelamaan, mungkin komen sy gak relevan lagi (krn mungkin sudah dibahas di page2 sebelum ini).[/spoiler]
[at] Sutarman: saya setuju kalo seperti itu (uang dan credit card mempunyai fungsi yang sama, jadi pada dasarnya sama).
Awalnya sy kira "fleksibel" yang Sutarman maksudkan itu, adalah boleh minum minuman keras (dalam dosis kecil), atau sah-sah saja (tapi mindful). Kalo seperti itu, sy tidak setuju.
Quote from: Mayvise on 20 January 2011, 12:08:20 PM
[at] Sutarman: saya setuju kalo seperti itu (uang dan credit card mempunyai fungsi yang sama, jadi pada dasarnya sama).
Awalnya sy kira "fleksibel" yang Sutarman maksudkan itu, adalah boleh minum minuman keras (dalam dosis kecil), atau sah-sah saja (tapi mindful). Kalo seperti itu, sy tidak setuju.
alhamdulbuddha, anda mengerti pola pikir mahayana... sukurlah :)
btw, itu tulisan saya, bukan om sutarman...
Quote from: adi lim on 20 January 2011, 11:55:31 AM
hus, bau !
diskusi thread ini masih berlanjut kah ? keliatan nya tidak bermanfaat banget... kan topic thread ini jelas cm "pertanyaan kritis... bla... bla... " tp ga bole keras kritisnya, ya alon alon wae... mending liat acara mario teguh, tuh ajaran ZEN banget, ga perlu pake tongkat lg... intinya, sama2 membuat bingung dulu baru di paksa cerna, baru dapat esensinya, walau ga seberapa ok banget, tp proses mencerna membuat kagum sebagaian orang...
hampa adalah isi, isi adalah hampa... tiada apa2 yg perlu dibahas, karena semua adalah hampa... :D
[at] morpheus: Oo... saya kira tulisannya [om] Sutarman...
Quoteini kisah Transmisi Zen ke Mahakassapa versi lain..
.
semoga bro Dilbert tersenyum kecil sedikit.
Karna +1 udah diberikan atas cerita yg sungguh menarik.
:P :P
Quote from: dhanuttono on 20 January 2011, 01:03:31 PM
hampa adalah isi, isi adalah hampa... tiada apa2 yg perlu dibahas, karena semua adalah hampa... :D
aa, kata2 diatas terlalu mendalam la tuh ???
batin saya belum bisa nembus ^-^ yang gampang aja, batin saya hanya bisa melihat 'apa adanya' :))
Quote from: dhanuttono on 19 January 2011, 09:06:17 PM
di indonesia ada "pakar zen" jg, coba ikuti acara "mario teguh golden way" itu zen banget... hehehehe...
Sumbernya dari mana nih, mario teguh bukannya muslim?
NO INFO = HOAX
Quote from: adi lim on 19 January 2011, 02:35:23 PM
pasti dari komik ! =)) =))
Emangnya belajar Zen dari komik kagak boleh, kagak pernah baca komik Buddhis yak ;D
Quote from: fabian c on 19 January 2011, 08:45:26 AM
Ini menarik dibahas lagi, apakah Bhiksu Zen Jepang boleh menikah...?
Inikah sebabnya Bhiksu Zen hanya menjalankan 5 sila sudah cukup...?
Apakah hanya bermodalkan 5 sila sudah pantas disebut Bhiksu...?
Quote from: dhanuttono on 19 January 2011, 09:30:46 AM
klo ada bhikkhu zen di jepang mempunyai istri mah udah brita lama, apa lagi sampe bisa terlibat dalam kasus hubungan seksual ma pengikutnya. klo aa ga salah dapat info, jubah bhikkhu zen di jepang bisa dilepas dan mereka dapat melakukan aktifitas sehari-hari layaknya umat perumahtangga, jika melakukan ritual/upacara baru menggunakan jubah kebhikkhuan nya. mengapa sampai hal ini terjadi ?
untuk kasus seperti ini, kebhikkhuan dianggap cuma sebagai profesi/hobi (mungkin)/hal yg menyenangkan (kegiatan sosial)/identitas orang baik atau suci/tingkatan sosial tertentu. tentunya ada yg mengatakan (kilah) bahwa hal ini seiring dengan perkembangan jaman, klo ga gini bhikkhu ga bisa idup..
ingat, esensi jd bhikkhu itu apa ? hidup sederhana dan melalukan latihan sebagai seorang samana, jauh dari kegiatan perumahtangga. bahkan ada pepatah, banyak jalan menuju roma dan menurut aa lebih baik buddha dhamma sangha hilang dr pd di nodai seperti itu... sebagai contoh di india, tempat asal buddhism sendiri.
klo orang "ndeso" mengatakan bhikkhu zen yg menjalankan 5 sila dengan bhikkhu lain yg menjalankan vinaya, oh sama... tp bagi orang pandai, mungkin akan terlihat beda, status bhikkhu bkn dilihat dr jubah, tp dilihat dr prilaku dan tingkat moralitasnya....
Saya juga baca katanya di Thailand
boleh pakai jubah lalu lepas buat menikah lalu pakai jubah lagi lalu lepas lagi sampai tak terbatas apa benar demikian ?
Quote from: Triyana2009 on 21 January 2011, 01:23:23 PM
Saya juga baca katanya di Thailand boleh pakai jubah lalu lepas buat menikah lalu pakai jubah lagi lalu lepas lagi sampai tak terbatas apa benar demikian ?
Vinaya tidak membatasi berapa kali seseorang masuk keluar jadi bhikkhu.
Quote from: Triyana2009 on 21 January 2011, 01:11:13 PM
Emangnya belajar Zen dari komik kagak boleh, kagak pernah baca komik Buddhis yak ;D
boleh jeng Tiyana, tidak ada larangan, bebas hambatan, silahkan belajar dari kitab manapun !
cuma lucu aja, kalau kitab praktisi Zen dari komik, hasilnya praktisi ntar orang2nya juga kayak Komik :))
jangan kabur dulu diskusi belum selesai :))
=))
Quote from: adi lim on 21 January 2011, 01:35:58 PM
boleh jeng Tiyana, tidak ada larangan, bebas hambatan, silahkan belajar dari kitab manapun !
cuma lucu aja, kalau kitab praktisi Zen dari komik, hasilnya praktisi ntar orang2nya juga kayak Komik :))
jangan kabur dulu diskusi belum selesai :))
=))
Jangan gitu ah... gw juga belajar ZEN dari komik... dan menurut wa lebih paten dari belajar dari guru-guru yang ngaku ZEN... ** No Offense
Quote from: Triyana2009 on 21 January 2011, 01:03:15 PM
Sumbernya dari mana nih, mario teguh bukannya muslim?
NO INFO = HOAX
emang zen harus membatasi oh itu muslim brarti bukan zen, oh ini buddhist brarti zen... bukankah zen itu seharusnya bersifat universal, sapa pun bs jd zen selama ia mempunya pemikiran layaknya zen...
bandingkan aja ajaran zen dr guru anda dengan uraian dr mario teguh... mirip, singkat nya awal yg memusingkan... :D
Quote from: Triyana2009 on 21 January 2011, 01:23:23 PM
Saya juga baca katanya di Thailand boleh pakai jubah lalu lepas buat menikah lalu pakai jubah lagi lalu lepas lagi sampai tak terbatas apa benar demikian ?
NO INFO = HOAX
hahaha.. tenang aa ga seperti anak kcil gtu... gini bro, sampean coba bedakan ya...
bhikkhu zen dengan status dirinya adalah seorang bhikkhu, dia boleh memiliki istri/pacar, boleh melepas jubahnya (bukan berarti melepas kebhikkhuannya) dan memakai baju seperti umat perumahtangga lainnya, boleh beraktifitas dan bekerja layaknya umat perumahtangga, intinya... kebhikkhuannya hanya simbol/status/profesi...
bedakan dengan bhikkhu theravada, jika ia ingin memiliki istri/pacar, seorang bhikkhu harus melepas jubahnya yg berarti melepas kebhikkhuannya, dengan kata lain orang itu bukan lah seorang bhikkhu lagi, jd apa pun tindakan nya yg kurang baik tidak akan melukai sangha, karena statusnya orang tersebut bukan lah seorang bhikkhu. Tapi jika ia ingin menjadi seorang bhikkhu lg, ia harus meninggalkan istri (tentunya harus di ijinkan oleh istri) dan kegiatan sehari-hari sebagai perumahtangga...
bisa liat beda nya ? hampa adalah isi, isi adalah hampa, anda terlalu banyak isi jd nya hampa... by master zen aa'tono
Quote from: dilbert on 21 January 2011, 03:28:52 PM
Jangan gitu ah... gw juga belajar ZEN dari komik... dan menurut wa lebih paten dari belajar dari guru-guru yang ngaku ZEN... ** No Offense
ya pantes aja, kemampuan yg dimiliki hanya sebatas zen komik... brarti kita harus memaklumi kengototan dan kemampuan zen yg dimiliki bro triyana...
contoh ZEN .... langsung mengena ke hati :
tidak kerja
tidak makan
=))
;D
gimana ada koreksi ?
Quote from: Indra on 21 January 2011, 01:26:41 PM
Vinaya tidak membatasi berapa kali seseorang masuk keluar jadi bhikkhu.
em... kayanya ada batas lepas jubah max 7 x dalam 1 kelahiran. tapi sumbernya gw lupa...
Quote from: tesla on 21 January 2011, 05:43:43 PM
em... kayanya ada batas lepas jubah max 7 x dalam 1 kelahiran. tapi sumbernya gw lupa...
itu adalah peraturan organisasi Sangha setempat, bukan dari Vinaya
Quote from: johan3000 on 21 January 2011, 05:41:59 PM
contoh ZEN .... langsung mengena ke hati :
tidak kerja
tidak makan
=))
;D
gimana ada koreksi ?
SALAH TUH...
yang benar...
Ketika Lapar, saya makan.
Ketika Ngantuk, saya tidur.
Ketika lagi birahi , ............................... (isi sendiri)
Quote from: dilbert on 22 January 2011, 11:04:17 AM
SALAH TUH...
yang benar...
Ketika Lapar, saya makan.
Ketika Ngantuk, saya tidur.
Ketika lagi birahi , ............................... (isi sendiri)
ketika lapar, makan............. nah kalau makannya rumput ya bisa dehhh
selain itu harus kerja dulu.....
ketika birahi............. nah ada film ZEN ... 3 seri utk menemanin anda =))
duo post !... koq bisa begtu ya?
Quote from: Indra on 21 January 2011, 05:49:18 PM
itu adalah peraturan organisasi Sangha setempat, bukan dari Vinaya
Mungkin berdasarkan Sutta, kasus yang paling banyak hanya 7x, yaitu bhikkhu Citta Hatthirohaputta.
[spoiler]Awalnya ia masuk karena melihat bhikkhu bisa mendapatkan makanan enak. Setelah masuk, ia merindukan kehidupan perumah-tangga. Lalu bolak-balik sampai 6x. Sampai akhirnya suatu kali ia melihat istrinya yang hamil sedang tidur, mendengkur, dengan air liur menetes, ia menyadari ketidak-kekalan. Lalu ia mengambil jubah kuning dan sambil berjalan menuju vihara, ia mengulang-ulang dan merenungkan kata 'tidak kekal' dan 'dukkha' dan menjadi Sotapanna. Sesampai di vihara, para bhikkhu tidak mau mentahbiskan dan mengatakan kepalanya sudah seperti batu pengasah pisau cukur, tapi setelah diminta terus menerus, akhirnya ditahbiskan juga. Semenjak itu ia berlatih dan mencapai Arahatta-phala, tidak pernah kembali lagi ke kehidupan perumahtangga. [/spoiler]
amazing, bisa tersadarkan dg hanya ini:
Sampai akhirnya suatu kali ia melihat istrinya yang hamil sedang tidur, mendengkur, dengan air liur menetes, ia menyadari ketidak-kekalan.
dhamma memang ada di mana2
Quote from: dilbert on 22 January 2011, 11:04:17 AM
SALAH TUH...
yang benar...
Ketika Lapar, saya makan.
Ketika Ngantuk, saya tidur.
Ketika lagi birahi , ............................... (isi sendiri)
"Aku lapar maka aku makan. Aku lelah maka aku tidur. Si pandir menertawakanku tapi si bijak memahami."Kalimat ini diucapkan oleh Rinzai Gigen (demikianlah yang kubaca, dan tidak ditambah-tambahi).
Kalimat ini memang terkesan sederhana, tapi berapa banyak di antara kita yang benar-benar merasakan, menghargai, dan mencerna makanan yang kita makan? sebagian orang makan ketika stress, saat lapar justru berdiet atau menyantap makanan yang salah. Saat lelah, tidak bisa istirahat/tidur dengan baik karena gelisah.
Quote from: johan3000 on 21 January 2011, 05:41:59 PM
contoh ZEN .... langsung mengena ke hati :
tidak kerja
tidak makan
=))
;D
gimana ada koreksi ?
Ini kan sudah pernah diposting Sutarman, di sini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=19164.0
[...]
Selain itu Master Baizhang memperkenalkan sebuah ajaran revoluisoner yaitu tidak tergantung pada sumbangan dari masyarakat / umat Buddha.
"Seorang bhiksu Zen yang memiliki pikiran jernih dan jasmani sehat mengapa harus menggantungkan hidup pada orang lain?"
Master Baizhang bersama-sama dengan semua bhiksu Zen yang dipimpinnya bercocoktanam untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan komunitas vihara itu sendiri.
Master Baizhang berumur panjang (sesuai namanya Bai yang artinya seratus) dan hidup hingga usia 94 tahun. Di usianya yang sudah sangat tua, ia masih bekerja di ladang bersama murid-muridnya.
Suatu hari murid-muridnya menyembunyikan peralatan kerjanya agar ia bisa beristirahat. Namun yang terjadi kemudian adalah Baizhang mogok makan selama tiga hari.
Murid-muridnya menjadi khawatir atas respon Master Baizhang yang tak terduga itu. Mereka akhirnya sadar bahwa Master Baizhang adalah orang yang konsisten dengan peraturan yang ia buat sendiri.
Murid-muridnya kemudian mengembalikan peralatan kerjanya, dan Master Baizhang kemudian langsung kembali bekerja di ladang. Dan kemudian mulai makan kembali makanan yang disediakan baginya.
Master Baizhang kemudian berkata: "Sehari tidak kerja, sehari tidak makan". 一日不做一日不食 (Yi Re Bu Zuo, Yi Re Bu Shi)
Dan motto itulah yang kemudian menjadikan vihara Zen terkenal akan kemandirian hidupnya sekaligus menjawab tudingan miring sebagian masyarakat China non Buddhis bahwa bhiksu hanyalah parasit bagi masyarakat sekitarnya.
[...]