dulu, saya pernah berkata kepada sahabatku, "Sobat, sesungguhnya kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan dan juga oleh orang yang kekurangan makan. Tidak pula bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak tidur maupun oleh orang yang kurang tidur. Sebagaimana yang saya fahami dari ajaran sang Buddha."
sahabatku berkata, "Ah masa sih? Ada referensinya? Jika belum jelas referensinya, aku belum percaya bahwa sang Buddha mengatakan hal seperti itu."
dalam hati saya bertanya, "mengapa orang tidak berusaha melihat substansi, tetapi justru lebih mengurusi bentuk? Mengapa referensi itu yang harus dia selidiki dan pertanyakan, mengapa tidak ia berusaha untuk melihat dan membuktikan sendiri, apakah benar kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan. Seakan-akan kebenaran hanyalah suatu referensi. Apakah segala pernyataan tidak akan dipercayai sebagai suatu bentuk kebenaran hanya karena tidak dikemukakan referensinya? Apakah orang tidak dapat membedakan mana ajaran sang Guru dan mana yang bukan tanpa melalui referensi? Apakah kita harus menjadi orang yang sibuk menghapalkan referensi-referensi agar apa yang kita sampaikan bisa diterima sebagai kebenaran?"
apakah sahabat tidak pernah membaca bait ini di dalam sutta :
Quote
Dengan cara bagaimana, O para bhikkhu, Nanda menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna jika tidak dengan menjaga pintu-pintu indera, dengan makan secukupnya saja, dengan mengembangkan kesadaran penuh dan dengan membangun kewaspadaan dan pemahamannya yang jernih?
Gk jelas banget neh thread..=_="
Quote from: Sol Capoeira on 04 December 2010, 10:31:10 PM
Gk jelas banget neh thread..=_="
perlu diterjemahkan ya?
perhatikan teks ini :
Quote
Dengan cara bagaimana, O para bhikkhu, Nanda menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna jika tidak dengan menjaga pintu-pintu indera, dengan makan secukupnya saja, dengan mengembangkan kesadaran penuh dan dengan membangun kewaspadaan dan pemahamannya yang jernih?
saya tanya kepada siapa saja yang baca thread ini: "Apakah anda pernah membaca biat / kalimat tersebut di dalam sutta?"
Pernah...
:hammer:
(Samyutta Nikaya, Kosala Samyutta, Dutiya vagga) Donapaka Sutta (Seporsi Makanan)
Di Sàvatthi. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah memakan seporsi nasi dan kari. Kemudian, selagi masih kenyang, terengah-engah, Raja menghadap Sang Bhagavà, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavà, memahami bahwa Raja Pasenadi kenyang dan terengah-engah, pada kesempatan itu mengucapkan syair berikut:
"Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian,
Mengetahui kecukupan makanan yang ia makan,
Penyakitnya berkurang: Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya."
Pada saat itu, brahmana muda Sudassana sedang berdiri di belakang Raja Pasenadi dari Kosala. Raja kemudian berkata kepadanya: "Marilah, Sudassana, pelajarilah syair dari Sang Bhagavà ini dan ucapkan kepadaku ketika aku makan. Aku akan menganugerahkan seratus kahàpaõa kepadamu setiap hari secara terus-menerus."
"Baiklah, Baginda," Brahmana muda Sudassana menjawab.
Setelah mempelajari syair ini dari Sang Bhagavà, kapan saja Raja Pasenadi sedang makan, brahmana muda Sudassana melantunkan:. "Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian ...
Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya."
Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala setahap demi setahap mengurangi konsumsi makanan hingga semangkuk kecil nasi. Pada kesempatan lain, ketika tubuhnya telah menjadi cukup langsing, Raja Pasenadi dari Kosala menepuk badannya dengan tangannya dan pada kesempatan itu, ia mengucapkan ungkapan inspiratif ini: "Sang Bhagavà menunjukan kasih sayang kepadaku sehubungan dengan kedua jenis kebaikan—kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan berikut."
ada enggak sutta yang membabarkan tentang "tidak boleh kurang tidur dan tidak boleh terlalu banyak tidur" ?
Quote from: Satria on 04 December 2010, 10:11:17 PM
dulu, saya pernah berkata kepada sahabatku, "Sobat, sesungguhnya kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan dan juga oleh orang yang kekurangan makan. Tidak pula bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak tidur maupun oleh orang yang kurang tidur. Sebagaimana yang saya fahami dari ajaran sang Buddha."
sahabatku berkata, "Ah masa sih? Ada referensinya? Jika belum jelas referensinya, aku belum percaya bahwa sang Buddha mengatakan hal seperti itu."
dalam hati saya bertanya, "mengapa orang tidak berusaha melihat substansi, tetapi justru lebih mengurusi bentuk? Mengapa referensi itu yang harus dia selidiki dan pertanyakan, mengapa tidak ia berusaha untuk melihat dan membuktikan sendiri, apakah benar kesucian tidak bisa diraih oleh orang yang terlalu banyak makan. Seakan-akan kebenaran hanyalah suatu referensi. Apakah segala pernyataan tidak akan dipercayai sebagai suatu bentuk kebenaran hanya karena tidak dikemukakan referensinya? Apakah orang tidak dapat membedakan mana ajaran sang Guru dan mana yang bukan tanpa melalui referensi? Apakah kita harus menjadi orang yang sibuk menghapalkan referensi-referensi agar apa yang kita sampaikan bisa diterima sebagai kebenaran?"
apakah sahabat tidak pernah membaca bait ini di dalam sutta :
Memang idealnya, sesuatu itu harus dibuktikan sendiri. Tapi
terkadang, kebijaksanaan kita belum cukup untuk membuktikannya sehingga kita perlu tahu referensi-nya.
Misalnya ketika seorang bhante mengatakan, "ayo lanjutkan terus meditasimu, ini rintangannya, begini solusinya". Bukankah untuk mendedikasikan waktu dan tenaga dalam mengikuti petunjuk (yang tidak mudah) itu, kita perlu tahu bahwa bhante tersebut cukup capable ?
Jadi menurut saya, referensi kadang diperlukan, kadang tidak.
Dalam Ovadapatimokkha, mengetahui ukuran makan (mataññuta bhattasmiṃ) merupakan salah satu praktik penting dlm ajaran Buddha. Selain sutta di atas, manfaat mengetahui ukuran makan bisa dibaca di Bhaddali Sutta dan Laṭukikopama Sutta. Keduanya ada di dalam Majjhimanikāya.
saya heran. di sini tampaknya umat budhis menerima dan setuju, kalau kesucian tidak dapat dicapai oleh orang yang berlebihan dalam makan. mengapakah waktu itu, semua kawan budhisku menyangkal habis-habisan dan menyakitiku dengan kata-katanya, hanya karena kunyatakan "kesucian tak bisa diperole oleh orang yang kelebihan makan".
kesucian memang tidak diperoleh dengan makan berlebihan juga tidak dengan mengurangi makan. makan sedikit (secukupnya) hanya faktor pendukung, tapi yg menjadi penentu adalah latihan.
Quote from: Indra on 09 December 2010, 09:56:33 PM
kesucian memang tidak diperoleh dengan makan berlebihan juga tidak dengan mengurangi makan. makan sedikit (secukupnya) hanya faktor pendukung, tapi yg menjadi penentu adalah latihan.
pertanyaan saya begini : "orang yang tekun berlatih, mungkinkan ia tetap sebagai orang yang berlebihan dalam makan?"
porsi "secukupnya" berbeda untuk tiap-tiap orang, seorang yg tekun berlatih mungkin saja makan dalam jumlah yg menurut kita berlebihan tetapi itu adalah porsi g dibutuhkan oleh tubuhnya.
contoh: asterix cukup memakan sepotong paha babi, dan sudah merasa cukup, tetapi obelix harus menghabiskan 3 ekor babi baru cukup
[at] Indra
terima kasih atas penjelasannya.
tapi hal yang ingin saya tanyakan adalah tentang "efek makan berlebihan" yang ada hubungannya dengan "pengertian porsi secukupnya" tersebut. bukan pula tentang arti "makan berlebihan".
ada perbedaan antara :
makan berlebihan dengan efek makan berlebihan
makan berlebihan dengan porsi makan secukupnya
apakah anda bisa melihat perbedaan itu?
[at] Satria,
ya sekarang saya melihat perbedaan itu, tapi bukan itu yg anda tanyakan pada postingan2 anda sebelumnya, bahkan kata "efek" baru muncul pada postingan terakhir anda. Maaf kalau saya terlalu lancang nimbrung tanpa memahami apa yg anda maksudkan, sampai sekarang pun saya masih tidak paham. silahkan lanjut, saya minggir dulu
Ada kisah lain lagi. Sangha Buddha Gotama sangat terkenal di masanya sehingga sangat mudah memperoleh dana makanan yang baik. Pindola Bharadvaja bergabung dengan Sangha Buddha demi mendapat makanan tersebut. Ia punya mangkuk khusus dari labu dengan porsi ekstra. Mangkuk itu diletakkan di bawah ranjang dan saat tidur, terjadi gesekan yang menimbulkan suara. Buddha Gotama menyuruhnya tetap demikian hingga labu itu mengecil karena gesekan, sehingga otomatis porsi makannya juga makin berkurang. Dengan begitu, kemelekatannya juga makin mereda, dan akhirnya ia mencapai Arahatta-phala. Ia menyatakan di depan Buddha bahwa bhikkhu manapun yang memiliki keraguan akan Ajaran Buddha, ia siap menjawabnya. Ia dinyatakan yang terunggul dalam "raungan singa" (Sīhanādikānaṃ).
Quote from: Satria on 09 December 2010, 10:30:44 PM
[at] Indra
terima kasih atas penjelasannya.
tapi hal yang ingin saya tanyakan adalah tentang "efek makan berlebihan" yang ada hubungannya dengan "pengertian porsi secukupnya" tersebut. bukan pula tentang arti "makan berlebihan".
ada perbedaan antara :
makan berlebihan dengan efek makan berlebihan
makan berlebihan dengan porsi makan secukupnya
apakah anda bisa melihat perbedaan itu?
Yang namanya berlebihan berarti sudah diluar batas kemampuan/kebutuhan.Kalau menurut pikiran saya,segala sesuatu itu pasti ada efeknya.Baik dalam makan,tidur maupun yang lainnya.
Jika makan kurang, efeknya kita akan merasakan lapar,tubuh menjadi lemas dan tidak bertenaga. Jika makan kekenyangan,nafas menjadi sesak,perut terasa sakit dan mau melakukan apa saja juga malas bergerak.Bagaimana kita bisa berkonsentrasi jika dalam kondisi seperti itu?
Dan berhubung tubuh ini yang menjadi penyangga hidup,maka tubuh ini harus dijaga dalam keadaan seimbang.Asupan yang masuk sangat berarti.
Jika kelebihan gula,maka kita akan diabetes.Yang berarti gula dalam darah kita jumlahnya berlebih.Sehingga peredaran darah menjadi lebih lambat dari pada biasanya.Yang salah satu efeknya asupan oksigen kurang ke otak dan bisa mengakibatkan stroke.Jika sudah stroke apakah kita masih bisa melakukan latihan?Jika tidak latihan apa bisa mencapai kesucian?
Biasanya makan berlebihan terjadi karena kita makan bukan dengan kesadaran bahwa makanan ini untuk tubuh yang menyangga hidup.Tapi karena kita makan dengan nafsu.Untuk memuaskan indera pengecap kita.
Quote from: Asia on 08 December 2010, 02:14:40 PM
Memang idealnya, sesuatu itu harus dibuktikan sendiri. Tapi terkadang, kebijaksanaan kita belum cukup untuk membuktikannya sehingga kita perlu tahu referensi-nya.
Misalnya ketika seorang bhante mengatakan, "ayo lanjutkan terus meditasimu, ini rintangannya, begini solusinya". Bukankah untuk mendedikasikan waktu dan tenaga dalam mengikuti petunjuk (yang tidak mudah) itu, kita perlu tahu bahwa bhante tersebut cukup capable ?
Jadi menurut saya, referensi kadang diperlukan, kadang tidak.
spt halnya menyebrang jalan dan ditabrak sepeda ANGIN akan terasa sakit lho.... silahkan dibuktikan...
dan kalau punya nyali yg lebih besar, coba di tabrak sCUTEERR,
lantas
BAJAJ
mini BUS
truck gandengan....
ada hal2 yg gak perlu dibuktikan, cukup nalar pengetahuan aja... =))
percobaan di LAB, tikus yg makannya pas2an lebih panjang umur....
Kondisi utk munculnya nafsu indra yg baru dan utk muncul dan berkembangnya nafsu indra yg telah ada adalah karena seringnya melakukan perenungan yg salah tentang suatu objek yg secara sensual menjanjikan dan menguntungkan (kamacchanda). Bila kita sering melakukan perenungan yg benar tentang objek tsb, maka nafsu indra pun dipukul, ini mrpkn kondisi utk menjaga agar tdk ada lagi nafsu indra yg baru dan utk membuang nafsu indra yg lama. Dalam sutta, objek yang dijadikan sebagai sarana perenungan adalah empat kebutuhan pokok (catupaccaya: pakaian, obat, makanan, dan tempat tinggal) yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus menyadari manfaat dari empat kebutuhan pokok tersebut. Intinya, kita harus mempunyai kesadaran terhadap apa yang kita pergunakan dlm aktivitas sehari-hari. Perenungan yg benar terhadap penggunaan kebutuhan makanan:
(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGGUNAKAN)
... "Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kesenangan juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan: 'Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.'
~MN 1, Sabbāsava Sutta~
Nafsu indra juga akan dibuang oleh org yg mengetahui banyaknya makanan utk menopang kehidupan. Tentang org itu dikatakan:
"Cukup sudah kenyamanan pengumpul dana makanan,
Yang telah menyisihkan semua pemikiran tubuh dan kehidupan,
Yang buah-pikirnya terikat pada berkurangnya nafsu keinginan,
Untuk berhenti makan
Ketika dia sebenarnya masih bisa makan empat
Atau lima gumpal lagi yg bisa tertampung di rongga perut.
Dan setelah minum air, berakhirlah acara makan makanan yg dikumpulkannya."
~Samyutta Nikaya~
_/\_
"Makan sesuai kebutuhan utk kelangsungan hidup"
Semoga kita semua dapat menjadi vegetarian _/\_
_/\_ SSBS
Quote from: PIKOCHAN RAPTOR on 06 May 2011, 08:47:05 PM
"Makan sesuai kebutuhan utk kelangsungan hidup"
Semoga kita semua dapat menjadi vegetarian _/\_
_/\_ SSBS
sekedar share aja....
kalo aku sih tidak terlalu suka makan daging. dalam setahun, paling 2 atau 3 kali saja makan daging. tapi aku juga tidak ingin menjadi vegetarian.
makan kebanyakan (kekenyangan) perut juga sakit, makan terlalu kurang juga perut sakit selalu berasa lapar , jadi ya secukupnya aja.. gak lebih ...gak kurang _/\_
Ayo Sis/Bro jadialah Vegi ^:)^
_/\_ SSBS _/\_
Quote from: Satria on 09 December 2010, 10:11:47 PM
pertanyaan saya begini : "orang yang tekun berlatih, mungkinkan ia tetap sebagai orang yang berlebihan dalam makan?"
Jika tekun latihan yg dimaksud adalah meditasi entah Samattha ataupun Vipassana; ketika sedang berlatih dengan intens, keinginan makan bisa berkurang dengan drastis, karena tidak merasa lapar, bahkan acara makan terasa mengganggu kelangsungan latihan.
Lain halnya kalau posisi duduknya adalah meditasi sempurna, tapi pikirannya berkelana ke ayam goreng, sate kambing, babi panggang dll, selesai latihan ya bosa makan banyak. ;D
Quote from: dtgvajra on 08 May 2011, 09:56:25 AM
Jika tekun latihan yg dimaksud adalah meditasi entah Samattha ataupun Vipassana; ketika sedang berlatih dengan intens, keinginan makan bisa berkurang dengan drastis, karena tidak merasa lapar, bahkan acara makan terasa mengganggu kelangsungan latihan.
Lain halnya kalau posisi duduknya adalah meditasi sempurna, tapi pikirannya berkelana ke ayam goreng, sate kambing, babi panggang dll, selesai latihan ya bosa makan banyak. ;D
Maaf, Bro. bisakah anda lebih hormat kepada BABI PANGGANG?
Quote from: Indra on 08 May 2011, 10:34:45 AM
Maaf, Bro. bisakah anda lebih hormat kepada BABI PANGGANG?
Bisa, dengan menikmatinya sepenuh hati. :)) =)) =))
Semoga hewan ternak berbahagia _/\_
_/\_ SSBS
makan sehari sekali. tdk makan setelah tengah hari. ini sudah pernah kupraktekkan waktu latihan meditasi di panti semedhi.
coba lihat di blog-ku tentang buddha boy. dia malah gak makan berbulan-bulan.
Quote from: icykalimu on 13 May 2011, 10:02:15 PM
makan sehari sekali. tdk makan setelah tengah hari. ini sudah pernah kupraktekkan waktu latihan meditasi di panti semedhi.
coba lihat di blog-ku tentang buddha boy. dia malah gak makan berbulan-bulan.
apa sang buddha mengajarkan meditasi seperti itu? bukankah meditasi seperti itu sama juga dengan meditasi menyiksa diri?
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya . Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magada untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi sungai Nairanjana yang mengalir dekat hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut. mohon di koreksi jika salah _/\_
Quote from: wang ai lie on 13 May 2011, 10:08:30 PM
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan, " Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu." Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya[/b][/i][/size]
mohon di koreksi jika salah _/\_
ini salah satu versi, versi lainnya adalah
rombongan pengamen yg sedang melintas di tempat itu dan menyanyikan syair spt di atas itu. mengapa ada banyak versi kisah ini? karena kisah ini sama sekali tidak ada dalam Tipitaka, melainkan murni rekayasa dari generasi belakangan.
Quote from: Indra on 13 May 2011, 10:15:14 PM
ini salah satu versi, versi lainnya adalah rombongan pengamen yg sedang melintas di tempat itu dan menyanyikan syair spt di atas itu. mengapa ada banyak versi kisah ini? karena kisah ini sama sekali tidak ada dalam Tipitaka, melainkan murni rekayasa dari generasi belakangan.
itu salah ya bro, maaf2 terima kasih atas koreksinya . sudah saya delete . jadi timbul pertanyaan ini bro ^:)^ ^:)^ ^:)^