Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Diskusi Umum => Topic started by: Peacemind on 06 August 2010, 09:53:19 AM

Title: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 09:53:19 AM
Jika menilik keseluruhan Tipitaka, kita menemukan jarang sekali Sang BUddha berkhotbah kepada seorang bhikkhuni atau para bhikkhuni. Bahkan jika dihitung, sejauh khotbah-khotbah yang ada dalam Tipitaka, khotbah Sang Buddha terhadap para perumah-tangga terlihat lebih banyak dibandingkan dengan khotbah2 beliau terhadap bhikkhuni. Sebagai suatu contoh, keseluruhan isi Itivuttaka dipercaya merupakan khotbah2 Sang Buddha yang didengarkan oleh perumah-tangga wanita bernama Khujjutara. Berdasarkan pada fakta ini, timbul pertanyaan mengapa Sang BUddha terlihat tidak sering berkhotbah kepada bhikkhuni?

Yang mau berpendapat dipersilahkan.....
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 06 August 2010, 10:00:54 AM
tapi khan ada cerita wanita yang menjadi bhikhuni karena sang Buddha memberikan khotbahnya, seperti ratu khema contohnya.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Hendra Susanto on 06 August 2010, 10:04:53 AM
bagaimana dengan bhikkhunisamyutta?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 10:21:01 AM
Quote from: ryu on 06 August 2010, 10:00:54 AM
tapi khan ada cerita wanita yang menjadi bhikhuni karena sang Buddha memberikan khotbahnya, seperti ratu khema contohnya.

Yap...ketika ia belum menjadi bhikkhuni. Tapi setelah menjadi bhikkhuni, apakah Sang Buddha memberikan khotbah lagi, jika menilik isi Tipitaka?

Quote from: Hendra Susanto on 06 August 2010, 10:04:53 AM
bagaimana dengan bhikkhunisamyutta?

Bhikkhuni Samyutta tidak berisi khotbah Sang Buddha kepada bhikkuni, melainkan syair2 para bhikkhuni ketika mereka diganggu oleh mara.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 06 August 2010, 10:48:35 AM
 APAKAH GURU BUDDHA SEORANG SEKSIS ?
(OPINI)

Pertanyaan ini bukan dimaksudkan sebagai penghinaan terhadap Guru Buddha ataupun ajaran-ajaranNya, tetapi hal ini berhubungan dengan keberlangsungan dan kemajuan Buddhisme di dunia modern .

Bangkok, Thailand -- Menentukan sikap Guru Buddha terhadap kaum wanita, secara langsung berhubungan dengan sifat teralami dari Buddhisme itu sendiri dan berhubungan dengan apakah Buddhisme mendukung pergerakan hak azasi manusia untuk demokrasi dan persamaan atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini, seseorang akan selalu dapat berargumen bahwa tidak mungkin untuk memeriksa kebenaran atas jawabannya, karena Guru Buddha telah lama Parinirvana. Namun, bagian-bagian yang terdapat dalam Tripitaka, yang merupakan kumpulan terbesar dari suatu ajaran agama di dunia, menyajikan referensi yang baik dalam pertanyaan kita.

Dalam rangka menemukan apakah Sang Buddha melakukan diskriminasi terhadap kaum wanita atau tidak, Tripitaka adalah satu-satunya sumber historis yang tepat sebagai acuan. Meskipun demikian, caranya tidaklah sederhana.

Penafsiran teks-teks Buddhis sebagian besar tergantung pada cara penggunaannya dalam pembacaan, yaitu, mengambil kata-kata secara harafiah seperti yang dilakukan oleh banyak Buddhis tradisional, atau menggunakan suatu pendekatan yang lebih holistik di dalam memahaminya, seperti yang dilakukan oleh banyak sarjana modern.

Terakhir juga memerlukan analisis kritis dan seni dalam memahami hal yang tersirat. Seperti kebanyakan teks keagamaan yang diwariskan dari jaman dahulu, Tripitaka memberikan informasi yang bertentangan mengenai status kaum wanita.
Salah satu referensi kunci yang betul-betul mendiskriminasikan kaum wanita adalah legenda asal muasal para bhikkhuni, di mana Sang Buddha menunjukkan penolakan yang sangat terhadap penahbisan (umpasampada) kaum wanita seperti yang diminta oleh Prajapati Gautami, ibu tiri sekaligus bibiNya. Ananda, pelayan dekat Sang Buddha ikut serta dan merundingkannya atas nama Prajapati Gautami. Sebagai hasilnya, Sang Buddha meletakkan satu set peraturan khusus, atau yang disebut Delapan Kewajiban Berat (Garudhamma) yang ditetapkan sebagai kondisi-kondisi untuk penahbisan kaum wanita, dan para bhikkhuni diwajibkan untuk menaatinya sampai akhir hidup mereka.

Delapan Kewajiban Berat yaitu:

   1. Seorang bhikkhuni, walaupun sudah di-upasampada (ditahbiskan) selama 100 tahun, harus menghormati seorang bhikkhu, menyambutnya, bersujud dengan hormat, meskipun bhikkhu itu baru ditahbiskan hari itu. (Para bhikkhu memberikan hormat satu dengan yang lain berdasarkan kesenioran mereka, atau berdasarkan banyaknya tahun setelah mereka ditahbiskan.)

   2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani masa pengasingan diri (vassa) di tempat di mana tidak ada bhikkhu. (seorang bhikkhu boleh menempati tempat seorang diri)

   3. Seorang bhikkhuni menantikan dua kewajiban: setiap dua minggu seorang bhikkhuni harus meminta pertemuan Uposatha kepada Sangha Bhikkhuni dan menerima nasihat dari seorang bhikkhu setiap dua minggu. (Para bhikkhu tidak bergantung kepada para bhikkhuni untuk upacara wajib ini, dan juga tidak meminta untuk mendapatkan nasihat apapun.)

   4. Seorang bhikkhuni yang telah menyelesaikan masa vassa-nya harus mengajukan dirinya untuk menerima nasihat dari kedua Sangha, Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni (Upacara Pavarana) untuk menanyakan apakah melalui 3 cara penglihatan, pendengaran, atau kecurigaan suatu kesalahan telah dilakukan. (Para bhikkhu mengajukan diri mereka sendiri ke komunitas para bhikkhu)

   5. Seorang bhikkhuni yang dikenakan masa percobaan karena pelanggaran suatu peraturan kebhikkhunian, Sanghadisesa,  harus menjalani masa percobaan minimum 15 hari, untuk pemulihan kembali menuntut persetujuan dari kedua Sangha, Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni. (Untuk para bhikkhu minimum lima hari masa percobaan dengan tidak memerlukan persetujuan dari para bhikkhuni untuk pemulihan kembali.)

   6. Seorang wanita harus ditahbiskan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni dan hanya dapat ditahbiskan setelah dua tahun masa pencalonan, dan pelatihan pada enam pelatihan. (Seorang pria tidak memiliki masa pencalonan wajib dan pentahbisan mereka dilakukan oleh para bhikkhu saja).

   7. Seorang bhikkhuni tidak boleh memarahi seorang bhikkhu. (Seorang bhikkhu boleh memarahi  bhikkhu lain, dan semua bhikkhu boleh memarahi bhikkhuni.)

   8. Untuk selanjutnya, tak seorang bhikkhuni pun boleh sama sekali memberi pengajaran/teguran kepada para bhikkhu. Namun, para bhikkhu boleh memberikan pengajaran/teguran (Tidak ada batasan kepada siapa seorang bhikkhu boleh memberi pengajaran/teguran.)

Legenda tersebut mengingatkan kembali bahwa, setelah memberikan Delapan Kewajiban Berat, siswa Guru Buddha, Ananda,  kembali dan menginformasikan kepada Prajapati, sang bibi, akan perkataan Sang Buddha. Prajapati menerima semua delapan peraturan tanpa keberatan. Dengan suka cita, ia berkata:
"Saya menerima semua Delapan Kewajiban Berat, dan akan menaati tanpa melanggarnya sepanjang hidup saya, seperti seorang anak perempuan atau anak laki-laki yang menikmati kecantikannya, setelah mandi dan berkeramas, menerima kalung bunga melati atau lilac, menerimanya dengan tangannya dan meletakkannya di atas kepalanya."

Terlepas dari peraturan yang bersifat diskriminasi terhadap kaum wanita ini, lebih lanjut Sang Buddha menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang bahwa karena penahbisan kaum wanita maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan dari 1000 tahun menjadi 500 tahun. Hal ini dinyatakan pada bagian dalam Tripitaka berikut:

Pada saat itu, Y.M. Ananda pergi menemui Sang Bhagava. Setelah duduk disalah satu sisi, Ia berkata kepada Sang Bhagava, "Yang Mulia, Mahaprajapati Gautami menerima Delapan Kewajiban Berat. Sekarang bibi dari  Yang Mulia telah ditahbiskan." Sang Bhagava berkata kepada Ananda, " Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun. Ananda dalam agama manapun ketika kaum wanitanya ditahbiskan, maka agama tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama. Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka." (Vin. II, 256)

Tentu saja, Buddhis yang terlatih secara tradisional membenarkan bahwa pesan di atas tersebut merupakan kutipan aktual dari sabda Sang Buddha. Oleh karena itu, mereka menerima dan mengartikannya bahwa kaum wanita lebih rendah dari kaum pria, dan mereka adalah penyebab kehancuran agama.

Jika hal ini benar, maka hanya ada satu kesimpulan: Sang Buddha adalah seorang seksis (orang yang bersikap diskriminasi terhadap gender/jenis kelamin). Namun, kata "seksis" terlalu keras bagi sebagian besar umat Buddha. Tidak seorang Buddhis tradisional pun yang akan menerima prasangka terhadap Sang Buddha seperti itu. Sebaliknya, mereka pada umumnya menantang  untuk mempertahankan pesan dari  Delapan Kewajiban Berat, dengan mengklaim, "Demikianlah jalannya. Ini adalah Dharma Universal, dan tidak ada yang dapat kita lakukan selain menerimanya sebagai pesan asli Sang Buddha."

Penafsiran fundamentalis ini telah mengisolasi umat Buddha dari kepercayaan akan demokrasi yang berdasarkan pada hak azasi manusia dan persamaan gender. Buddhisme menjadi alat yang digunakan untuk memojokkan setengah dari populasi dunia. Orang-orang terpelajar sering berpaling dari Buddhisme karena tidak menyukainya setelah mereka melihat agama ini merupakan bagian dari masalah bukan sebagai solusi untuk kemajuan sosial.

Namun, cara lain untuk menjawab pertanyaan ini yaitu melalui pembacaan Tripitaka secara kritis. Inilah metodologi/cara dari para sarjana modern. Hal ini akan menunjukkan secara jelas penggambaran yang berbeda terhadap sikap Sang Buddha terhadap kaum wanita. Menurut bagian lain dari Tripitaka, Delapan Kewajiban Berat bertentangan dengan prinsip belas kasih dan sifat alami manusia. Menurut versi Sang Buddha mengenai Genesis (asal usul), karakteristik perempuan dan lelaki muncul sebagai akibat dari kemerosotan dunia fisik yang berkelanjutan, dimana, karakteristik itu bukanlah sifat alami sejati dari apa sesungguhnya kita. Karena jenis kelamin hanya merupakan penampilan luar dari sifat alami sejati kita, maka baik pria maupun wanita dengan kemampuan yang sama sanggup untuk mencapai Percerahan Sempurna.

Lebih lanjut, ketika bagian dari Tripitaka ini - legenda asal muasal Sangha Bhikkhuni dan Delapan Kewajiban Berat - dibandingkan dengan bagian lain dari Tripitaka, terdapat banyak perbedaan dan pertentangan. Sebagai contoh, di dalam  Buku Theragatha dan Therigatha ( syair yang disusun oleh para bhikkhu dan bhikkhuni yang tercerahkan) kita melihat sebuah situasi di mana seorang bhikkhu  menjadi tercerahkan oleh pengajaran dari seorang bhikkhuni, yang kemudian dihormati seperti ibunya. Hal ini bertentangan dengan peraturan terakhir dari Delapan Kewajiban Berat , dimana melarang seorang bhikkhuni untuk mengajar seorang bhikkhu.

Juga, perkataan "untuk selanjutnya" (dalam peraturan nomor 8 ) memberi kesan  bahwa sebelumnya telah terjadi dimana para bhikkhuni  memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, dan peraturan dikeluarkan untuk menghentikan kegiatan itu atas nama Sang Buddha. Hal ini didukung pula oleh perumpamaan "bendungan" yang digunakan di bagian akhir kisah itu. Bagian dari kisah ini menceritakan mengenai sebuah bendungan yang dibangun untuk menjaga ladang-ladang padi dan tebu di India ketika seorang petani menemukan ladang-ladang tersebut sedang diserang hama padi atau debu merah. Bendungan harus dibangun secepatnya setelah petani itu menemukan gangguan hama itu, tapi tidak lebih awal dari itu. Penggunaan perumpamaan tersebut bertentangan dengan logika terhadap kondisi yang ada, dimana peraturan tersebut dikeluarkan sebelum Sangha Bhikkhuni terbentuk. Seharusnya, Delapan Kewajiban Berat ini dikeluarkan beberapa waktu setelah pembentukan Sangha Bhikkhuni.  Hubungan kecil ini memberikan pesan bahwa legenda Delapan Kewajiban Berat telah disisipkan di dalam Tripitaka sebagai bagian dari ajaran Sang Buddha. Dan nampak Kewajiban tersebut merupakan pekerjaan para bhikkhu generasi lebih muda yang memiliki sikap negatif terhadap kaum wanita.

Di bagian lain dalam Tripitaka, kita tidak melihat adanya bukti tentang tindakan para bhikkhuni sebagai suatu penyebab dari kemunduran Buddhisme. Sebaliknya, beberapa sutra, pada masa sebelum wafatnya Sang Buddha,  tidak pernah menguraikan sebuah kunjungan seorang raja kepada seorang bhikkhu dalam rangka mempelajari Dharma. Namun, tiga referensi dalam Tripitaka menyebutkan kunjungan seorang raja untuk bertemu seorang bhikkhuni ketika Sang Buddha masih hidup. Dalam salah satu kisah, Raja Pasenadi dari Kosala memuji di depan Sang Buddha akan kemampuan mengajar Bhikkhuni Khema; ia mengklaim bahwa pengajarannya sebagus Guru Buddha sendiri!

Juga, di dalam Buku Theragatha dan Therigatha, kita melihat bahwa para bhikkhuni lebih aktif dibanding para bhikkhu dalam  menyebarkan Dharma. Sementara para bhikkhu cenderung untuk menikmati hidup menyendiri dibanding tinggal dalam komunitas, para bhikkhuni mempunyai ikatan komunitas yang kuat dimana mereka sangat disibukkan dengan mengajar dan belajar. Salah satu bagian bahkan menguraikan seorang bhikkhuni yang  menyatakan dengan berani kepada publik, datang dan dengarkan ajaranku! Ungkapan "evangelis" seperti itu tidak diuraikan dalam Tripitaka yang diarahkan kepada para bhikkhu manapun. Buku Therigatha adalah literatur keagamaan pertama yang dikenal dunia yang diketahui disusun oleh kaum wanita.  Buku itu memperlihatkan periode pada sejarah awal Buddhism ketika kaum wanita menikmati persamaan hak dengan rekan pria mereka.

Serpihan-serpihan kecil bukti ini yang tersebar dalam Tripitaka mengkonfirmasikan bahwa ajaran asli Sang Buddha tidak meninggikan kaum pria di atas kaum wanita. Malangnya, meskipun demikian, unsur-unsur seksisme menemukan jalan masuk ke dalam masyarakat Buddhis segera setelah wafatnya Guru Buddha dalam rangka memperkuat status superior kaum pria atas kaum wanita. Delapan Kewajiban Berat , seperti yang telah diformulasikan dalam legenda asal muasal Sangha Bhikkhuni, menjadi alat sosial untuk mendapatkan kendali atas para bhikkhuni yang banyak dari mereka merupakan guru-guru terkemuka dan cukup sukses mencerahkan beberapa bhikkhu.

Peraturan tersebut bukan hanya menjadi bagian dari kanon Buddhis, tetapi diwajibkan dalam Sangha Bhikkhuni melalui pernyataan dan pengulangan setiap dua minggu. Periode penindasan para bhikkhuni dicurigai memiliki sedikit generasi penerus terakhir sebelum akhirnya Sangha Bhikkhuni menghilang dari India. Tidak lama sebelum Buddhisme ikut menghilang. Hipotesa ini diperkuat ketika membandingkan Buddhisme dengan Jainisme, atau "saudari" dari Buddhisme, yang ditemukan oleh Mahavira, seorang pemimpin spiritual sejaman dengan Sang Buddha.

Seperti Buddhisme, Jainisme dipandang sebagai heterodoks (menyimpang) oleh orang Hindu dan kemudian oleh orang Muslim. Masyarakat Buddhis dan masyarakat Jain berbagi struktur yang sama, terdiri atas para biarawan, biarawati, umat awam pria dan wanita; umat Buddhis memuja patung Sang Buddha, sedangkan umat Jain memuja patung Mahavira.

Selagi Buddhisme menghilang dari India, Jainisme tidak menghilang. Banyak sejarahwan menyalahkan penindasan orang Muslim atas pemadaman Buddhisme di  tanah airnya sendiri, tetapi teori ini tidak bisa menjelaskan mengapa Jainisme juga tidak dibinasakan mengingat kedua agama tersebut memiliki posisi yang sama dihadapan orang Muslim. Perbedaan yang berarti terletak pada perlakuan terhadap para biarawati: dalam Jainisme, para biarawati tidak didiskriminasikan seperti di Buddhisme. Sekarangpun, biarawati dalam Jainisme menikmati kebebasan mereka dalam pengajaran yang sepadan dengan rekan pria mereka. Tidak ada peraturan Delapan Kewajiban Berat  di dalam ajaran Mahavira.

Dalam  penerangan analisa ini, bukti menunjuk kepada fakta bahwa seksisme dalam masyarakat Buddhis bertanggung jawab atas hancur dan padamnya  agama Buddha dari tanah airnya sendiri. Ini adalah hasil dari  karma yang dilakukan oleh para bhikkhu seksis dari generasi belakangan segera setelah Sang Buddha wafat.
Diskriminasi seksual atau seksisme sama sekali bukan bagian dari ajaran asli Sang Buddha, ajaran yang tidak akan menyingkirkan siapapun. Guru Buddha, dapat kita simpulkan, bukanlah seorang seksis.

Sangat disayangkan, sekarang ini karma seksisme masih kuat dan sehat di banyak negara-negara Buddhist seperti Srilanka, Myanmar, Thailand, Kamboja dan Laos. Hanya beberapa komunitas di Sri Lanka yang menahbiskan kaum wanita.

Di tempat lain di Asia Tenggara, penahbisan kaum wanita adalah ilegal. Sebagai contoh, Dewan Sangha Raja di Thailand, mengumumkan di depan publik bahwa bhikkhu manapun yang mendukung penahbisan kaum wanita akan dijatuhi hukuman yang berat.

Meskipun demikian, dalam tradisi Theravada secara keseluruhan, Delapan Kewajiban Berat  diikuti dengan penuh keyakinan sebagai sabda asli Guru Buddha.
Di negara-negara Theravada, agama Buddha belum pernah menjadi pendukung hak azasi manusia dan keadilan sosial. Sepanjang tidak ada reformasi sistem pendidikan agama dalam Buddhisme dan Tripitaka, agama akan tetap menjadi rintangan terbesar untuk pengembangan demokrasi dan keadilan sosial dalam negara-negara ini.



Keterangan :
Bhikkhu Mettanando adalah seorang bhikkhu Thailand yang sebelumnya adalah seorang  dokter. Ia belajar di Universitas Chulalongkorn, Oxford dan Harvard, dan mendapat gelar PhD dari Universitas Hamburg. Beliau adalah penasihat khusus urusan agama Buddha pada sekretaris-jenderal World Conference of Religions for Peace.




Sumber: Bangkok Post, 9 Mei 2006
Judul asli: Was the Lord Buddha a Sexist?
Oleh: Bhikkhu Mettanando
Diterjemahkan dan Online di : Bhagavant.com
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: morpheus on 06 August 2010, 12:48:12 PM
setuju dengan bhante mettanando...
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 06 August 2010, 01:05:31 PM
[at] Sam Peacemind

Di beberapa Sutta dalam teks Pali, Sang Buddha sering berkata: "... bhikkhave...". Apakah "bhikkhave" itu artinya adalah "para bhikkhu"? Apakah artinya tidak mencakup bhikkhu dan bhikkhuni? Kalau "para bhikkhuni", dalam teks Pali seharusnya ditulis apa yah?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 06 August 2010, 01:11:24 PM
QuoteJika menilik keseluruhan Tipitaka, kita menemukan jarang sekali Sang BUddha berkhotbah kepada seorang bhikkhuni atau para bhikkhuni. Bahkan jika dihitung, sejauh khotbah-khotbah yang ada dalam Tipitaka, khotbah Sang Buddha terhadap para perumah-tangga terlihat lebih banyak dibandingkan dengan khotbah2 beliau terhadap bhikkhuni. Sebagai suatu contoh, keseluruhan isi Itivuttaka dipercaya merupakan khotbah2 Sang Buddha yang didengarkan oleh perumah-tangga wanita bernama Khujjutara. Berdasarkan pada fakta ini, timbul pertanyaan mengapa Sang BUddha terlihat tidak sering berkhotbah kepada bhikkhuni?

Mungkin kita perlu ingat pada adanya fakta bahwa Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah kumpulan ajaran Buddha yang ditulis oleh siswa-siswa Buddha* setelah beliau wafat. Sebagaimana kita ketahui, sebelum ditulis di dalam konsili Buddhist ke-4 (menurut Theravāda) yang dilakukan di Sri Lanka pada abad ke-1 A.C., ajaran-ajaran tersebut diulang dan diingat secara lisan oleh para siswa Buddha tersebut. Sebelum Konsisli Buddhist ke-4 di Sri Lanka ini, telah ada tiga konsisli Buddhist di India. Hal yang menarik, semua peserta konsili adalah para bhikkhu. Sejauh ini saya belum menemukan bukti bahwa konsili-konsili itu dan proses penulisan Tipiṭaka itu, melibatkan bhikkhuni. Jadi,,,,,,MUNGKIN saja ada beberapa ajaran yang disampaikan kepada para bhikkhuni yang tidak diketahui oleh para bhikkhu perseta konsili dan sebagai hasilnya, menjadi tidak tertulis di dalam Tipiṭaka sebagaimana yang kita temui saat ini.

Lalu, mengapa justru banyak ajaran yang disampaikan kepada umat awam wanita di dalam Tipiṭaka? Hal ini  MUNGKIN adalah karena frekuensi bertemunya Buddha dengan umat awam wanita lebih sering dibandingkan dengan frekuensi pertemuan dengan para bhikkhuni.  Kita ambil contoh mudahnya saja tentang pemberian dana makanan. Saya pikir, di zaman kehidupan Buddha pun, pemberian dana juga melibatkan wanita. Dan dari peristiwa pemberian dana makanan inilah, kemungkinan Buddha memberikan Dhamma kepada para wanita yang juga didengar oleh bhikkhu yang lainnya.  Selain pemberian dana makanan, bisa juga pada saat Buddha berkeliling India Buddha lebih sering bertemu umat awam wanita daripada bhikkhuni. Apalagi jumlah populasi bhikkhuni yang mungkin belum sebanyak bhikkhu.  Dan pada saat berkeliling India ini, kemungkinan ada para bhikkhu yang bersama Buddha pada saat Buddha mengajarkan Dhamma kepada umat awam. Dan sebaliknya, jarang sekali ada bhikkhu yang pergi dengan Buddha pada saat membabarkan Dhamma kepada para bhikkhuni. Dengan demikian, pada saat Buddha membabarklan Dhamma kepada bhikkhuni, Dhamma-Dhamma tersebut tidak didengar oleh para bhikkhu, yang akhirnya tidak diulang di dalam konsili dan tidak tertuliskan didalam Tipiṭaka.

Mungkin begitu...........atau yang benar-benar "BENAR" bagaimana, saya juga masih bingung......


*Maaf...kata yang biasanya dituliskan sebagai Sang Buddha, hanya saya tulis sebagai Buddha. Saya akan buka thread lain ttg hal ini.

Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 03:28:42 PM
Quote from: ryu on 06 August 2010, 10:48:35 AM
APAKAH GURU BUDDHA SEORANG SEKSIS ?
(OPINI)


Legenda tersebut mengingatkan kembali bahwa, setelah memberikan Delapan Kewajiban Berat, siswa Guru Buddha, Ananda,  kembali dan menginformasikan kepada Prajapati, sang bibi, akan perkataan Sang Buddha. Prajapati menerima semua delapan peraturan tanpa keberatan. Dengan suka cita, ia berkata:
"Saya menerima semua Delapan Kewajiban Berat, dan akan menaati tanpa melanggarnya sepanjang hidup saya, seperti seorang anak perempuan atau anak laki-laki yang menikmati kecantikannya, setelah mandi dan berkeramas, menerima kalung bunga melati atau lilac, menerimanya dengan tangannya dan meletakkannya di atas kepalanya."

Terlepas dari peraturan yang bersifat diskriminasi terhadap kaum wanita ini, lebih lanjut Sang Buddha menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang bahwa karena penahbisan kaum wanita maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan dari 1000 tahun menjadi 500 tahun. Hal ini dinyatakan pada bagian dalam Tripitaka berikut:

Pada saat itu, Y.M. Ananda pergi menemui Sang Bhagava. Setelah duduk disalah satu sisi, Ia berkata kepada Sang Bhagava, "Yang Mulia, Mahaprajapati Gautami menerima Delapan Kewajiban Berat. Sekarang bibi dari  Yang Mulia telah ditahbiskan." Sang Bhagava berkata kepada Ananda, " Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun. Ananda dalam agama manapun ketika kaum wanitanya ditahbiskan, maka agama tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama. Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka." (Vin. II, 256)

Justru perumpamaan bendungan mengingikasikan bahwa dengan ditetapkan aṭṭhagarudhamma kepada para bhikkhuni bahaya2 yang tadinya bisa muncul termasuk berkurangnya umur Sāsana lenyap. Ini diperkuat dengan komentar yang ada dalam kitab komentar untuk Bhikkhunikkhandhaka.

Quote
Tentu saja, Buddhis yang terlatih secara tradisional membenarkan bahwa pesan di atas tersebut merupakan kutipan aktual dari sabda Sang Buddha. Oleh karena itu, mereka menerima dan mengartikannya bahwa kaum wanita lebih rendah dari kaum pria, dan mereka adalah penyebab kehancuran agama.

Jika kita melihat keseluruhan aṭṭhagarudhamma, tidak didapatkan peraturan yang merugikan. Justru semuanya menguntungkan para bhikkhuni dan Sangha. Apa salahnya para bhikkhuni meminta nasehat ke Bhikkhu sangha? Apa salahnya para bhikkhuni ditahbis baik oleh bhikkhusangha maupun bhikkhunisangha? Apa salahnya seorang bhikkhuni melatih peraturan sikkhamana sebelum menjadi bhikkhuni? Apa salahnya seorang bhikkhuni menghormat seorang bhikkhu? Semuanya masih berpijak pada latihan untuk menjadi baik. Saat ini banyak orang berpikir bahwa diskriminasi terhadap seorang bhikkhuni terletak pada peraturan bahwa seorang bhikkhuni harus menghormat bahkan kepada seorang bhikkhu yang baru ditahbis satu hari. Seandainya Sang Buddha menerima bahwa seorang bhikkhu atau bhikkhuni harus saling bersujud sesuai dengan jangka waktu di mana mereka ditahbis, saat itu justru akan terjadi chaos. Kita tahu bahwa kaum brahmana begitu merendahkan status seorang wanita. Sementara itu, banyak sekali murid2 Sang Buddha berasal dari keluarga brahmana. Jika mereka seorang arahat, meskipun bhikkhu tersebut berasal dari keluarga brahmana, ia tidak akan terpengaruh apakah seorang bhikkhu harus menghormat bhikkhuni yang sudah lama atau tidak. Sayangnya, banyak sekali para bhikkhu dari keluarga brahmana yang belum mencapai kesucian. Seandainya mereka tahu bahwa mereka harus menghormat wanita, karena ego mereka, mereka tidak akan menjadi bhikkhu. Dan yang belum menjadi bhikkhu pun tidak akan tertarik. Jangankan terhadap para wanita, dalam Catumasutta, diceritakan banyak bhikkhu yang berumur tua tidak suka ketika mereka mendapat wejangan dari sesama bhikkhu yang berumur muda namun secara senioritas lebih tua. Peraturan untuk menghormat sangat baik saat itu dan juga baik untuk melenyapkan rasa ego pula.

Quote
Jika hal ini benar, maka hanya ada satu kesimpulan: Sang Buddha adalah seorang seksis (orang yang bersikap diskriminasi terhadap gender/jenis kelamin). Namun, kata "seksis" terlalu keras bagi sebagian besar umat Buddha. Tidak seorang Buddhis tradisional pun yang akan menerima prasangka terhadap Sang Buddha seperti itu. Sebaliknya, mereka pada umumnya menantang  untuk mempertahankan pesan dari  Delapan Kewajiban Berat, dengan mengklaim, "Demikianlah jalannya. Ini adalah Dharma Universal, dan tidak ada yang dapat kita lakukan selain menerimanya sebagai pesan asli Sang Buddha."

JIka kita melihat dari sudut pandang lain, kita tidak melihat bahwa karena peraturan aṭṭhagarudhamma membuat kita berpandangn bahwa Sang Buddha seorang seksis.


Quote
Lebih lanjut, ketika bagian dari Tripitaka ini - legenda asal muasal Sangha Bhikkhuni dan Delapan Kewajiban Berat - dibandingkan dengan bagian lain dari Tripitaka, terdapat banyak perbedaan dan pertentangan. Sebagai contoh, di dalam  Buku Theragatha dan Therigatha ( syair yang disusun oleh para bhikkhu dan bhikkhuni yang tercerahkan) kita melihat sebuah situasi di mana seorang bhikkhu  menjadi tercerahkan oleh pengajaran dari seorang bhikkhuni, yang kemudian dihormati seperti ibunya. Hal ini bertentangan dengan peraturan terakhir dari Delapan Kewajiban Berat , dimana melarang seorang bhikkhuni untuk mengajar seorang bhikkhu.

Dalam Therigatha yang mana didukung oleh Theragatha, memang ada satu kisah di mana seorang bhikkhu memperoleh nasehat dari seorang bhikkhuni. Bhikkhuni ini memang ibu dari bhikkhu yang dimaksud. Bhikkhu yang dimaksud adlah Bhikkhu Vaḍḍha yang terdapat dalam Vaḍḍhatheragatha. Diceritakan dalam Atthakatha bahwa ibu Vaḍḍha menjadi seorang bhikkhuni dan mencapai kesucian arahat. Kemudian mengetahui anaknya sudah cukup dewasa, ia meminta anaknya untuk menjadi bhikkhu. Ia kemudian belajar Dhamma. Satu kali karena ia rindu dengan ibunya, ia pergi menemui ibunya di vihara. Sang ibu / bhikkhuni tersebut memberi wejangan (kata yang benar adalah codeti - mengecam) kepada anaknya untuk menjalankan kehidupan selibat dengan serius.

Quote
Juga, perkataan "untuk selanjutnya" (dalam peraturan nomor 8 ) memberi kesan  bahwa sebelumnya telah terjadi dimana para bhikkhuni  memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, dan peraturan dikeluarkan untuk menghentikan kegiatan itu atas nama Sang Buddha.

Seseorang bisa berinterprestasi demikian. Namun apa salahnya meskipun belum ada kejadian seorang bhikkhuni mengajar seorang bhikkhu, peraturan itu telah ditetapkan? Justru perumpamaan bendungan mengindikasikan bahwa peraturan memang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum hal2 yang tidak diinginkan terjadi - Sedia payung sebelum hujan.

Quote
Hal ini didukung pula oleh perumpamaan "bendungan" yang digunakan di bagian akhir kisah itu. Bagian dari kisah ini menceritakan mengenai sebuah bendungan yang dibangun untuk menjaga ladang-ladang padi dan tebu di India ketika seorang petani menemukan ladang-ladang tersebut sedang diserang hama padi atau debu merah. Bendungan harus dibangun secepatnya setelah petani itu menemukan gangguan hama itu, tapi tidak lebih awal dari itu. Penggunaan perumpamaan tersebut bertentangan dengan logika terhadap kondisi yang ada, dimana peraturan tersebut dikeluarkan sebelum Sangha Bhikkhuni terbentuk. Seharusnya, Delapan Kewajiban Berat ini dikeluarkan beberapa waktu setelah pembentukan Sangha Bhikkhuni. 

Perumpamaan bendungan berkaitan secara langsung dengan air yang meluap, bukan dengan hama padi atau penyakit tebu. Mungkin perlu dibaca lagi dan lagi.

Quote
Hubungan kecil ini memberikan pesan bahwa legenda Delapan Kewajiban Berat telah disisipkan di dalam Tripitaka sebagai bagian dari ajaran Sang Buddha. Dan nampak Kewajiban tersebut merupakan pekerjaan para bhikkhu generasi lebih muda yang memiliki sikap negatif terhadap kaum wanita.

Jika hal ini merupakan sisipan para generasi muda, namun mengapa semua sekte awal Buddhis baik Sarvastivada, Mahisasaka, Sutrantika, dll, juga membenarkan dan mencatat adanya peraturan delapan ini?

Quote
Di bagian lain dalam Tripitaka, kita tidak melihat adanya bukti tentang tindakan para bhikkhuni sebagai suatu penyebab dari kemunduran Buddhisme.

Bagaimana dengan sikap chabbagiya bhikkhuni? Para bhikkhuni penggoda? hehehe....

Quote
Sebaliknya, beberapa sutra, pada masa sebelum wafatnya Sang Buddha,  tidak pernah menguraikan sebuah kunjungan seorang raja kepada seorang bhikkhu dalam rangka mempelajari Dharma.
Sang Buddha juga bhikkhu lho. Banyak raja dan pangeran berkunjung kepadanya untuk mendengarkan Dhamma dan banyak di antara mereka yang tertarik menjadi bhikkhu pula. Ada pula sutta2 di mana seorang raja mengunjungi seorang bhikkhu, seperti Bāhitikasutta, Raṭṭhapālasutta, Madhurasutta, dll.

Quote
Namun, tiga referensi dalam Tripitaka menyebutkan kunjungan seorang raja untuk bertemu seorang bhikkhuni ketika Sang Buddha masih hidup. Dalam salah satu kisah, Raja Pasenadi dari Kosala memuji di depan Sang Buddha akan kemampuan mengajar Bhikkhuni Khema; ia mengklaim bahwa pengajarannya sebagus Guru Buddha sendiri!

Hanya tiga khan....

Quote
Juga, di dalam Buku Theragatha dan Therigatha, kita melihat bahwa para bhikkhuni lebih aktif dibanding para bhikkhu dalam  menyebarkan Dharma. Sementara para bhikkhu cenderung untuk menikmati hidup menyendiri dibanding tinggal dalam komunitas, para bhikkhuni mempunyai ikatan komunitas yang kuat dimana mereka sangat disibukkan dengan mengajar dan belajar.
Quote

Perlu dipelajari lagi terutama pernyataan bahwa sesuai dengan isi Therigatha para bhikkhuni SANGAT disibukkan dengan mengajar dan belajar. Saya melihat bahwa pernyataan ini justru bertentangan jika kita kembali kepada Therigatha.

Quote
Salah satu bagian bahkan menguraikan seorang bhikkhuni yang  menyatakan dengan berani kepada publik, datang dan dengarkan ajaranku! Ungkapan "evangelis" seperti itu tidak diuraikan dalam Tripitaka yang diarahkan kepada para bhikkhu manapun.

Ada yang tahu dimana tetapnya pernyataan ini? Thanks.


DI atas, hanya sekedar komen aja lho... :D
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 03:33:18 PM
Quote from: upasaka on 06 August 2010, 01:05:31 PM
[at] Sam Peacemind

Di beberapa Sutta dalam teks Pali, Sang Buddha sering berkata: "... bhikkhave...". Apakah "bhikkhave" itu artinya adalah "para bhikkhu"? Apakah artinya tidak mencakup bhikkhu dan bhikkhuni? Kalau "para bhikkhuni", dalam teks Pali seharusnya ditulis apa yah?

Biasanya dalam teks, kata bhikkhave hanya merujuk ke bhikkhu saja. Biasanya seorang bhikkhu memanggil para bhikkhuni dengan sebutan 'bhaginiyo' - sisters.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 06 August 2010, 03:40:13 PM
Quote from: Peacemind on 06 August 2010, 03:33:18 PM
Biasanya dalam teks, kata bhikkhave hanya merujuk ke bhikkhu saja. Biasanya seorang bhikkhu memanggil para bhikkhuni dengan sebutan 'bhaginiyo' - sisters.

Semestinya ada Sutta atau percakapan antara Sang Buddha dengan para bhikkhuni di Tipitaka. Dengan panggilan apa Sang Buddha biasa memanggil para bhikkhuni?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 03:57:08 PM
Quote from: NOYA on 06 August 2010, 01:11:24 PM

Mungkin kita perlu ingat pada adanya fakta bahwa Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah kumpulan ajaran Buddha yang ditulis oleh siswa-siswa Buddha* setelah beliau wafat. Sebagaimana kita ketahui, sebelum ditulis di dalam konsili Buddhist ke-4 (menurut Theravāda) yang dilakukan di Sri Lanka pada abad ke-1 A.C., ajaran-ajaran tersebut diulang dan diingat secara lisan oleh para siswa Buddha tersebut. Sebelum Konsisli Buddhist ke-4 di Sri Lanka ini, telah ada tiga konsisli Buddhist di India. Hal yang menarik, semua peserta konsili adalah para bhikkhu. Sejauh ini saya belum menemukan bukti bahwa konsili-konsili itu dan proses penulisan Tipiṭaka itu, melibatkan bhikkhuni. Jadi,,,,,,MUNGKIN saja ada beberapa ajaran yang disampaikan kepada para bhikkhuni yang tidak diketahui oleh para bhikkhu perseta konsili dan sebagai hasilnya, menjadi tidak tertulis di dalam Tipiṭaka sebagaimana yang kita temui saat ini.

Namanya kemungkian pasti ada. Tapi jika kita kembali kepada kisah permintaan Bhikkhu Ananda kepada Buddha jika beliau menjadi pembantu tetap Buddha, seharusnya khotbhah2 Sang Buddha kepada Bhikkhuni yang tidak didengar Bhikkhu Ananda diucapkan kembali kepada bhikkhu Ananda karena ini merupakn satu permintaan bhikkhu Ananda kepada Buddha jika harus menjadi pembantu tetap Buddha.

Quote
Lalu, mengapa justru banyak ajaran yang disampaikan kepada umat awam wanita di dalam Tipiṭaka? Hal ini  MUNGKIN adalah karena frekuensi bertemunya Buddha dengan umat awam wanita lebih sering dibandingkan dengan frekuensi pertemuan dengan para bhikkhuni.  Kita ambil contoh mudahnya saja tentang pemberian dana makanan. Saya pikir, di zaman kehidupan Buddha pun, pemberian dana juga melibatkan wanita. Dan dari peristiwa pemberian dana makanan inilah, kemungkinan Buddha memberikan Dhamma kepada para wanita yang juga didengar oleh bhikkhu yang lainnya. 

Saya setuju dengan pendapat bahwa tampaknya frekuensi pertemuan Sang Buddha kepada umat awam lebih banyak ketimbang pertemuaanya dengan para bhikkkhuni. Salah satunya adalah pada saat berdana umat awam wanita justru bertemu Sang BUddha dan mendapat kesempatan mendengarkan Dhamma. Justru saya berpendapat bahwa mengapa wejangan Buddha kepada para bhikkhuni sangat sedikit, karena sesuai dengan peraturan vinaya, para bhikkhuni akan mendapatkan nasehat dari bhikkhusangha setiap dua minggu sekali dihari uposatha. Dan umumnya yang terpilih untuk memberikan wejangan kepada para bhikkhuni bukan Sang BUddha sendiri, melainkan murid2 beliau. Oleh karena itu, kesempatan para bhikkhuni untuk mendengarkan wejangan Sang Buddha justru sedikit. Sang Buddha berdiam di vihara dikelilingi para bhikkhu, shingga hanya para bhikkhu memperoleh kesempatan banyak untuk mendengarkan Dhammanya. Sementara itu, mengapa umat awam justru memperoleh kesempatan lebih banyak mendengarkan Dhamma Sang Buddha? Karena pertama setiap kali Sang Buddha menerima undangan dana makanan, beliau tidak akan lupa memberikan anumodanakatha (khotbah2 sebagai ucapan terimakasih). Kedua, dalam kitab komentar, ada tradisi yang mengatakan bahwa setiap sore umat datang yang siangnya berdana kepada para bhikkhu akan datang ke vihara dan menemui Sang BUddha untuk memperoleh wejangan. Ketiga, Sang Buddha menggunakan keseluruhan waktunya kecuali masa vassa untuk mengembara dari satu tempat ke tempat lain,sehingga umat awampun berkesempatan mendengarkan Dhamma lebih banyak. Para bhikkhuni tidka mendapatkan kesempatan lebih banyak karena selain peraturan memperoleh nasehat dua minggu sekali, mereka tidak bebas berasosiasi dengan para bhikkhu termasuk Buddha. Mereka tidak bebas berkeluyuran di Vihara2 di mana Sang Buddha berdiam. Mereka juga tidak bisa mengikuti sang Buddha dalam pengembaraan.

Quote
Dan sebaliknya, jarang sekali ada bhikkhu yang pergi dengan Buddha pada saat membabarkan Dhamma kepada para bhikkhuni. Dengan demikian, pada saat Buddha membabarklan Dhamma kepada bhikkhuni, Dhamma-Dhamma tersebut tidak didengar oleh para bhikkhu, yang akhirnya tidak diulang di dalam konsili dan tidak tertuliskan didalam Tipiṭaka.

Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda. :D

Just my opinion.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 06 August 2010, 04:07:22 PM
QuoteMeskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 06 August 2010, 04:09:37 PM
Quote from: NOYA on 06 August 2010, 04:07:22 PM
QuoteMeskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

_/\_


menjawab "sama" sama mustahilnya dengan menjawab "tidak sama", tapi terlepas dari sama atau tidak sama, yg menjadi patokan kita tentu adalah Tipitaka yg masih ada sekarang, bukan yg tidak ada
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 04:14:47 PM
Quote from: upasaka on 06 August 2010, 03:40:13 PM
Quote from: Peacemind on 06 August 2010, 03:33:18 PM
Biasanya dalam teks, kata bhikkhave hanya merujuk ke bhikkhu saja. Biasanya seorang bhikkhu memanggil para bhikkhuni dengan sebutan 'bhaginiyo' - sisters.

Semestinya ada Sutta atau percakapan antara Sang Buddha dengan para bhikkhuni di Tipitaka. Dengan panggilan apa Sang Buddha biasa memanggil para bhikkhuni?

Terus terang saya belum menemukan adanya percakapan antara Sang Buddha dan para bhikkhuni, tapi kalau dengan seorang bhikkhuni, memang ada. Biasanya Sang Buddha cukup memanggil namanya bhikkhuni tersebut. Jika kita melihat bebrapa kisah, ada indikasi Sang Buddha juga memanggil para bhikhuni dengn sebutan 'bhaginiyo' atau bhagini jika hanya seorang saja. Sebagai contoh, ketika Sang Buddha menetapkan peraturan kepada para bhikkhu berhubungan dengan para bhikkhuni, dalam pernyataannya kepada mereka sang Buddha menggunakan ungkapan 'bhaginiyo' untuk para bhkkhuni .
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 06 August 2010, 04:31:47 PM
Quote from: NOYA on 06 August 2010, 04:07:22 PM
QuoteMeskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

_/\_


Yang dikutip di atas dengan pertanyaan, hubungannya apa ya? :D Tentu ada banyak indikasi bahwa TIpitaka yang diulang pada konsili pertama dengan sekarang tidak sama persis. Contoh yang paling nyata adalah, kathavatthu disusun pada konsili ketiga.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 06 August 2010, 04:39:08 PM
Quote from: Peacemind on 06 August 2010, 04:14:47 PM
Terus terang saya belum menemukan adanya percakapan antara Sang Buddha dan para bhikkhuni, tapi kalau dengan seorang bhikkhuni, memang ada. Biasanya Sang Buddha cukup memanggil namanya bhikkhuni tersebut. Jika kita melihat bebrapa kisah, ada indikasi Sang Buddha juga memanggil para bhikhuni dengn sebutan 'bhaginiyo' atau bhagini jika hanya seorang saja. Sebagai contoh, ketika Sang Buddha menetapkan peraturan kepada para bhikkhu berhubungan dengan para bhikkhuni, dalam pernyataannya kepada mereka sang Buddha menggunakan ungkapan 'bhaginiyo' untuk para bhkkhuni .

Sepertinya memang bhikkhuni tidak mendapat akses leluasa untuk berinteraksi dengan Sang Buddha. Beberapa momen penting misalnya momen kembalinya Sang Buddha dari Tavatimsa, momen Mahaparinibbana, momen Konsili I; di Tipitaka sepertinya tidak dikisahkan bahwa para bhikkhuni turut hadir dalam momen-momen itu.

Menilik beberapa hal ini, saya kurang lebih sependapat dengan opini Anda di halaman sebelumnya.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 06 August 2010, 04:45:50 PM
bukannya ada dikisahkan ketika ratu khema sudah menjadi bhikkhuni, kemudian mempunyai pengikut, dan ketika meninggal pada umur seratus lebih pengikutnya pun ikut meninggal semua.
Bisa jadi pengikutnya itu bhikkhuni juga.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: wen78 on 06 August 2010, 06:16:28 PM
Quote from: Peacemind on 06 August 2010, 09:53:19 AM
Jika menilik keseluruhan Tipitaka, kita menemukan jarang sekali Sang BUddha berkhotbah kepada seorang bhikkhuni atau para bhikkhuni. Bahkan jika dihitung, sejauh khotbah-khotbah yang ada dalam Tipitaka, khotbah Sang Buddha terhadap para perumah-tangga terlihat lebih banyak dibandingkan dengan khotbah2 beliau terhadap bhikkhuni. Sebagai suatu contoh, keseluruhan isi Itivuttaka dipercaya merupakan khotbah2 Sang Buddha yang didengarkan oleh perumah-tangga wanita bernama Khujjutara. Berdasarkan pada fakta ini, timbul pertanyaan mengapa Sang BUddha terlihat tidak sering berkhotbah kepada bhikkhuni?

Yang mau berpendapat dipersilahkan.....
IMO, saat itu lebih banyak pria(Bhikku) daripada wanita(Bhikkuni), sehingga terlihat seolah2 tidak pernah memberikan khotbah pada wanita(Bhikkuni). dan bisa jadi saat itu tidak ada wanita(Bhikkuni) atau belum banyak wanita yg mengikuti jalan sang Buddha. sang Buddha tidak pernah membedakan antara pria dan wanita.

ajaran Buddha sendiri bisa dijalankan oleh pria dan wanita maupun waria, walaupun belum pernah ada kisah sang Buddha memberikan khotbah kepada waria.
saya rasa inti dari ajaran sang Buddha yaitu jalan menuju pembebasan dari penderitaan untuk semua mahluk adalah yg terpenting, tanpa harus memilah2 apakah saat itu terjadi begini atau apakah saat itu terjadi begitu.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 06 August 2010, 06:32:14 PM
Quote from: wen78 on 06 August 2010, 06:16:28 PM
IMO, saat itu lebih banyak pria(Bhikku) daripada wanita(Bhikkuni), sehingga terlihat seolah2 tidak pernah memberikan khotbah pada wanita(Bhikkuni). dan bisa jadi saat itu tidak ada wanita(Bhikkuni) atau belum banyak wanita yg mengikuti jalan sang Buddha. sang Buddha tidak pernah membedakan antara pria dan wanita.

ajaran Buddha sendiri bisa dijalankan oleh pria dan wanita maupun waria, walaupun belum pernah ada kisah sang Buddha memberikan khotbah kepada waria.
saya rasa inti dari ajaran sang Buddha yaitu jalan menuju pembebasan dari penderitaan untuk semua mahluk adalah yg terpenting, tanpa harus memilah2 apakah saat itu terjadi begini atau apakah saat itu terjadi begitu.

Sangha Bhikkhuni didirikan oleh Sang Buddha pada tahun ke-5 setelah Pencerahan-Nya. Setelah itu Sang Buddha masih hidup selama 40 tahun ke depan untuk membabarkan Dhamma... Selama 40 tahun sejak Sangha Bhikkhuni didirkan, tapi sangat jarang kita temukan Sang Buddha membabarkan Dhamma ke para Bhikkhuni di Tipitaka. Ini jelas mengindikasikan Sang Buddha jarang berinteraksi secara langsung dengan Sangha Bhikkhuni. Setidaknya itulah yang dapat kita simpulkan dari Tipitaka.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: wen78 on 06 August 2010, 06:38:59 PM
thx koreksinya.

bagi saya tetap intinya adalah ajaraannya, bukan apakah saat itu ada begitu atau apakah saat itu ada begini.
tp ya.. kl mo menyimpulkan seperti itu, gpp juga sih..
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 06 August 2010, 06:44:20 PM
Quote from: wen78 on 06 August 2010, 06:38:59 PM
thx koreksinya.

bagi saya tetap intinya adalah ajaraannya, bukan apakah saat itu ada begitu atau apakah saat itu ada begini.
tp ya.. kl mo menyimpulkan seperti itu, gpp juga sih..

No need to thanks... :) Saya setuju dengan Anda kalau yang penting adalah Ajaran Sang Buddha bisa bermanfaat bagi pria maupun wanita. Tapi yang dibahas dalam topik ini memang seputar "Kenapa kok gak ada khotbah Sang Buddha ke bhikkhuni?".
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 06 August 2010, 07:30:32 PM
Berikut ini saya memposting artikel tentang pandangan agama Buddha terhadap posisi wanita, yang saya ambil dari buku The Mission Accomplished: A historical analysis of the Mahaparinibbana Sutta of the Digha Nikaya of the Pali Canon oleh Ven. Dr. Pategama Gnanarama, tepatnya dari bab 7 yang berjudul "The Dispensation and the Position of Women". Di sini pandangan Beliau terhadap permulaan Sangha Bhikkhuni sangatlah menarik dan mungkin agak provokatif bagi mereka yang berpandangan tradisional, tetapi bagi para feminist ini memberikan mereka sikap yang positif atas permasalahan posisi wanita dalam agama Buddha.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 06 August 2010, 07:34:38 PM
Agama Buddha dan Posisi Wanita[/b]

Dalam Mahaparinibbana Sutta terdapat percakapan yang sangat singkat antara Sang Buddha dan Ananda yang mengungkapkan sikap para bhikkhu terhadap kaum wanita. Percakapan ini muncul tiba-tiba tanpa ada hubungan dengan narasi yang mendahului atau mengikutinya, ditempatkan setelah daftar empat tempat suci yang harus dikunjungi oleh para pengikut yang berkeyakinan.

Ananda meminta nasehat dari Sang Buddha:
"Bagaimana kami bersikap, Yang Mulia, berkenaan dengan kaum wanita?"
"Jangan melihat mereka, Ananda."
"Tetapi jika kami harus melihat mereka, apakah yang harus kami lakukan?"
"Jangan berbicara [dengan mereka], Ananda."
"Tetapi jika mereka harus berbicara dengan kami, Yang Mulia, apakah yang harus kami lakukan?"
"Tetaplah waspada, Ananda." (D. Ii, 141)

Ketika kita melihat jawaban pertama dan kedua yang diberikan Sang Buddha, kesan yang kita dapatkan adalah Sang Buddha menginginkan para bhikkhu menghindari berbagai jenis komunikasi dengan kaum wanita dengan tidak melihat mereka. Namun, jawaban ketiga yang diberikan atas pertanyaan Ananda mengingatkan para bhikkhu untuk tetap waspada ketika berkomunikasi dengan wanita. Jawaban pertama dan kedua disusun sedemikian rupa untuk membuat kita memahami bahwa keinginan Sang Buddha adalah menghindari berbagai jenis komunikasi apa pun dengan wanita. Tetapi jawaban ketiga memberitahukan para bhikkhu agar waspada ketika berkomunikasi dengan wanita.

Adalah bermanfaat untuk menemukan sikap Sang Buddha terhadap wanita secara umum seperti yang diungkapkan dalam kitab suci, dan menganalisa percakapan di atas yang berasal dari Sang Buddha dan Ananda.

Sikap yang harus dikembangkan dalam menanggapi objek-objek visual dan pendengaran dikemukakan dalam Indriyabhavana Sutta dari Majjhima Nikaya. Di sini Sang Buddha bertanya kepada Uttara, pemuda brahmana, bagaimana gurunya, Parasariya, melatih para muridnya dalam hal pengembangan pancaindera. Menjawab pertanyaan Sang Buddha, pemuda itu berkata bahwa Parasariya mengajarkan para muridnya untuk mengembangkan pancaindera mereka dengan tidak melihat bentuk-bentuk material melalui mata dan dengan tidak mendengarkan suara-suara melalui telinga. Kemudian Sang Buddha berkata, "Jika demikian halnya, menurut Parasariya, karena tidak melihat dan tidak mendengar, orang tuli dan orang buta pasti memiliki pancaindera yang telah dikembangkan!" Sang Buddha lalu menjelaskan metode pelatihan Buddhis yang berkenaan dengan pancaindera, dengan mengatakan bahwa penilaian yang kritis atas objek-objek indera dan mempertahankan keseimbangan [batin] merupakan metode di mana pengembangan pancaindera yang tiada bandingnya dapat dicapai (M. iii, 298 ff).

Dalam Samannaphala Sutta juga Sang Buddha mengatakan kepada Raja Ajatasattu, dengan menjelaskan sikap seorang bhikkhu terhadap objek visual sebagai berikut: "Ketika, O Raja, ia melihat sebuah objek dengan matanya, ia tidak terpesona olehnya yang dapat memberi kesempatan bagi keadaan yang buruk, ketamakan, dan kekesalan yang mengalir dalam dirinya, jika ia berdiam tanpa terkendali indera penglihatannya. Ia terus mengamati indera penglihatannya dan ia dengan demikian mencapai penguasaan atas indera penglihatannya." (D. I, 70 dan juga D. iii, 225, S. iv, 104, A. I, 113)

Sikap yang dikembangkan oleh siswa yang bijaksana terhadap dunia fenomenal dirangkum dengan baik dalam Samyutta Nikaya: "Pikiran yang penuh nafsu dalam seseorang itu sendirilah nafsu, bukan hal-hal indah yang ditemukan di dunia luar. Biarkanlah hal-hal yang indah seperti apa adanya. Orang bijaksana mendisiplinkan keinginan yang berhubungan dengan ini."

Dalam dialog lainnya antara Sang Buddha dan Chitta, sang perumah tangga, Chitta menjelaskan bagaimana ia memahami belenggu (samyojana) dan hal-hal yang cenderung ke arah belenggu, dengan mengatakan: "Andaikan, Yang Mulia, lembu jantan hitam dan putih diikat bersama oleh satu tali atau kuk. Sekarang ia yang mengatakan bahwa lembu hitam adalah belenggu bagi lembu putih, atau lembu putih adalah belenggu bagi lembu hitam, apakah ia yang berkata demikian mengatakannya dengan benar?"

Sang Buddha menjawab: "Tidaklah demikian, perumah tangga. Lembu hitam bukan belenggu bagi lembu putih, ataupun lembu putih bukan belenggu bagi lembu hitam. Kenyataannya keduanya diikat dengan satu tali atau kuk,[tali atau kuk] itulah belenggunya (samyojana)."

Kemudian Chitta mengembangkan kesimpulannya: "Demikianlah, Yang Mulia, seperti mata bukan belenggu bagi objek-objek, ataupun objek-objek bukan belenggu bagi mata. Namun nafsu dan keinginan yang timbul karena keduanya, itulah belenggu. Telinga bukan belenggu bagi suara... hidung bukan belenggu bagi bebauan... atau lidah bukan belenggu bagi rasa, ataupun rasa bukan belenggu bagi lidah, tetapi nafsu dan keinginan yang timbul karena keduanya, itulah belenggu. Seperti juga pikiran bukan belenggu bagi keadaan mental, ataupun keadaan mental bukan belenggu bagi pikiran, tetapi nafsu dan keinginan yang muncul karena keduanya, itulah belenggu."

Sang Buddha lalu memuji Chitta atas pemahamannya yang mendalam: "Bagus, perumah tangga. Sangat baik dipahami olehmu, perumah tangga, sehingga mata kebijaksanaanmu sesuai ajaran yang mendalam dari Sang Buddha." (S. iv, p. 163)

Berdasarkan bukti-bukti kuat dari kutipan kitab suci di atas, kiranya dua jawaban pertama yang dikatakan telah diberikan oleh Sang Buddha atas pertanyaan Ananda merupakan pernyataan yang berlebihan atas persoalan ini. Tetapi seperti yang dinyatakan Sang Buddha di mana-mana [dalam berbagai sutta], seseorang harus waspada dalam persepsi [pancainderanya] dan tidak tergoda oleh penampakan umum dan detail dari objek. Namun, cara pandang Buddhis yang digambarkan dalam jawaban ketiga sekiranya benar-benar diberikan oleh Sang Buddha. Dua pertanyaan pertama dan jawabannya yang dikatakan telah diberikan oleh Sang Buddha membawa kita kembali ke masa tiga abad berikutnya setelah wafatnya Sang Buddha. Penyelidikan atas kisah legenda yang berkaitan dengan pendirian Sangha Bhikkhuni mungkin layak dilakukan dalam kaitannya dengan masalah ini.

Bagaimanakah sikap Sang Buddha terhadap kaum wanita? Apakah sama seperti sikap masyarakat brahmana yang sezaman dengan Beliau? Atau berbeda? Seperti yang kita ketahui terdapat banyak referensi terhadap wanita dalam kitab suci yang mengungkapkan pendirian yang berbeda atas posisi sosial wanita saat itu. Seperti yang tercatat dalam Cullavagga Pali, Sang Buddha mendirikan Sangha Bhikkhuni atas permintaan Ananda yang mewakili Mahapajapati Gotami. Jika Sang Buddha ragu-ragu dan keberatan seperti yang tercatat di sini, dengan menetapkan Delapan Aturan Keras (atthagaru dhamma) yang harus ditaati oleh para wanita yang memasuki Sangha, mungkin percakapan yang ditunjukkan di sana dapat diterima tanpa mempertanyakan keasliannya. Prof. J. Dhirasekera telah menunjukkan bahwa walaupun terdapat pandangan yang berbeda-beda tentang pendirian Sangha Bhikkhuni, tidak lama setelah didirikan ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Buddhis (Dhirasekera J - Buddhist Monastic Discipline, 142 ff). Lebih jauh lagi, para bhikkhu dan bhikkhuni, upasaka dan upasika dianggap sebagai komponen yang bersama-sama menerangi agama Buddha. Oleh karena itu ketika kita menganalisa catatan yang mengisahkan pendirian Sangha Bhikkhuni, beberapa ketidakcocokan dari catatan tersebut menjadi jelas.

Seperti yang diberikan dalam Bhikkhuni Khandaka dari Cullavagga Pali, Mahapajapati Gotami mendekati Sang Buddha di Nigrodharama di Kapilavatthu dan memohon penahbisan untuk wanita bahkan sampai tiga kali. Setelah itu, dengan menolak permohonan tersebut, Sang Buddha melanjutkan perjalanan ke Vesali. Gotami, setelah memotong rambutnya, mengenakan jubah kuning dan datang ke Vesali dengan beberapa wanita Sakya dan berdiri di beranda pintu gerbang. Ananda, yang melihat Pajapati Gotami, yang "kakinya bengkak, anggota tubuhnya ditutupi debu, dengan wajah yang menyedihkan dan menangis, sambil berdiri di luar beranda pintu gerbang" menanyakan maksud kedatangannya. Ketika diberitahukan tentang keinginannya untuk memasuki Sangha, Ananda mendekati Sang Buddha dan memohon penahbisan untuk Gotami. Di sini, Sang Buddha dikatakan menolak penahbisan untuk wanita bahkan sampai tiga kali. Kemudian Ananda memohon dengan cara yang berbeda dengan menanyakan kepada Sang Buddha apakah para wanita setelah memasuki Sangha dapat mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Sang Buddha menjawab hal tersebut dapat terjadi. Kisah dalam Cullavagga kemudian mencatat Delapan Aturan Keras untuk para wanita agar dipatuhi oleh mereka yang ingin memasuki Sangha. Aturan ini sendiri sudah cukup bagi Mahapajapati Gotami sebagai bhikkhuni yang pertama ditahbiskan dalam Sangha.

Kedelapan Aturan Keras tersebut adalah:
1. Seorang bhikkhuni yang telah ditahbiskan (bahkan) selama satu abad harus memberi salam dengan hormat, berdiri dari kursinya, memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan, melakukan penghormatan yang layak kepada seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan hari itu juga.
2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menghabiskan masa vassa di mana tidak ada bhikkhu.
3. Setiap setengah bulan seorang bhikkhuni harus meminta dua hal dari Sangha Bhikkhu: meminta penetapan hari Uposatha dan pemberian nasehat (ovada).
4. Setelah masa vassa, seorang bhikkhuni harus "mengundang" kedua Sangha atas tiga hal: apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dicurigai.
5. Seorang bhikkhuni yang melanggar salah satu aturan keras (garu dhamma) harus menjalani hukuman manatta selama setengah bulan di hadapan kedua Sangha.
6. Ketika sebagai bhikkhuni dalam masa percobaan, seorang bhikkhuni harus berlatih enam sila selama dua tahun dan mendapatkan penahbisan dari kedua Sangha.
7. Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci maki dalam cara apa pun oleh seorang bhikkhuni.
8. Sejak hari itu, seorang bhikkhuni tidak boleh menasehati para bhikkhu. Para bhikkhu boleh menasehati bhikkhuni. Semua peraturan ini harus dihormati dan tidak boleh dilanggar seumur hidup bhikkhuni tersebut (Vin. ii, 252 ff. dan juga A.I.V. 272 ff).

Pada kesempatan lain Gotami meminta izin dari Sang Buddha melalui Ananda untuk menetapkan pemberian salam dan penghormatan antara para bhikkhu dan bhikkhuni sesuai dengan senioritasnya, yang ditolak Sang Buddha dengan mengatakan bahwa pengikut agama lain juga tidak memiliki kebiasaan menghormati dan menyalami para wanita. Yang paling patut diperhatikan adalah Sang Buddha menetapkan sebuah aturan yang melarang para bhikkhu memberi salam dan penghormatan kepada wanita!

Sekarang pernyataan yang paling aneh dari catatan ini adalah perkataan Sang Buddha yang menyebutkan bahwa karena didirikannya Sangha Bhikkhuni, usia Saddhamma (Dhamma yang sejati) telah berkurang menjadi setengahnya. Yaitu, Saddhamma yang akan bertahan secara normal selama seribu tahun akan hanya bertahan selama lima ratus tahun karena diterimanya para wanita ke dalam Sangha! Di sini Sang Buddha mengungkapkan bahwa bahkan rumah tangga yang memiliki banyak wanita dan sedikit pria akan mudah menjadi sasaran para perampok, bagaikan seluruh sawah yang diserang oleh wabah cendawan tidak akan bertahan lama, bagaikan seluruh ladang tebu yang diserang oleh wabah karat merah tidak akan bertahan lama, demikian juga ajaran dan tata tertib mana pun di mana kaum wanita ditahbiskan tidak akan bertahan lama. Bagaikan seseorang yang melihat ke depan membangun tanggul untuk sebuah waduk agar air tidak meluap, demikian juga Delapan Aturan Keras ditetapkan oleh Sang Buddha agar tidak dilanggar seumur hidup oleh bhikkhuni yang bersangkutan (Vin. ii, 254 ff).

Ketika mengomentari kutipan ini, Buddhaghosa memberitahukan kita bahwa karena penetapan aturan keras tersebut yang bagaikan tanggul bagi sebuah waduk, Saddhamma akan bertahan sepenuhnya selama lima ribu tahun. Selama seribu tahun pertama, dunia akan diberkahi dengan para Arahat yang memiliki empat pengetahuan analitis (catupanisambhida). Kemudian dalam empat periode seribu tahun berikutnya masing-masing, para Arahat yang telah memusnahkan semua kekotoran (khinasava), para Anagami, para Sakadagami, dan para Sotapanna akan muncul di dunia. "Dengan cara ini," ia melanjutkan: "penembusan ajaran (pativedha sasana) bersama-sama dengan pembelajaran ajaran (pariyatti sasana) akan bertahan selama lima ribu tahun. Kehidupan suci akan bertahan selama waktu yang lama bahkan setelah penembusan ajaran." (Bhikkhuni Khandhaka Vannana - Vin A)

Nilai historis catatan mengenai pendirian Sangha Bhikkhuni dan penetapan Delapan Aturan Keras yang tercatat dalam Cullavagga dipertanyakan karena beberapa alasan.

Pertama, Buddhaghosa dengan menyesal mengatakan bahwa Sang Buddha telah menolak enam kali permintaan Gotami karena dengan demikian para wanita akan secara alamiah lebih berhati-hati ketika menerima penahbisan dengan kesulitan melalui permintaan yang berulang-ulang, sehingga mereka akan berusaha berperilaku dengan baik. Seberapa masuk akalkah untuk memakai pendekatan negatif yang demikian melalui langkah-langkah yang diambil secara singkat?

Kedua, dalam kisah yang belakangan mengapa Dhammavinaya (ajaran dan tata tertib) diubah menjadi Saddhamma (ajaran yang benar)?

Ketiga, apakah kekuatan aturan tersebut tidak ditiadakan oleh pernyataan bahwa agama Buddha akan bertahan hanya selama lima ratus tahun bahkan sebuah tindakan pencegahan yang diibaratkan bendungan dari sebuah waduk telah diambil ketika menetapkan peraturan tersebut?

Keempat, tidakkah penyataan yang ditemukan dalam Cullavagga menjadi tidak berarti ketika dibandingkan dengan perhitungan Buddhaghosa tentang usia agama Buddha sepanjang 5.000 tahun?

Kelima, ketika Mahapajapati Gotami ingin melonggarkan peraturan yang mengharuskan adanya penghormatan dan pemberian salam berdasarkan senioritas antara para bhikkhu dan bhikkhuni, mengapa kisah tersebut mengalihkan penekanan dari "para bhikkhuni" menjadi "para wanita" dengan mengatakan bahwa para pengikut agama lain juga tidak menghormati dan menyalami wanita?

Keenam, jika Sangha Bhikkhuni didirikan dengan menetapkan Delapan Aturan Keras sebagai tindakan pencegahan oleh Sang Buddha sendiri, seberapa masuk akalkah bagi para thera untuk mendesak Ananda untuk mengakui sebuah pelanggaran atas perbuatan salah (dukkhata) saat konsili pertama [karena memohon agar para wanita diterima ke dalam Sangha]?

Ketujuh, jika Sangha Bhikkhuni didirikan semata-mata didirikan atas bujukan Ananda, apakah ia tidak dipercayakan pada saat konsili atas inisiatif yang diambilnya dalam merintis jalan pencapaian bagi kaum wanita dari status sosial yang berbeda-beda?

Kedelapan, mengapa kisah Cullavagga menyebutkan bahwa Mahapajapati Gotami sendirilah yang mencapai Penahbisan yang Lebih Tinggi dengan menerima aturan-aturan tersebut?
Berdasarkan catatan Cullavagga, para wanita Sakya sisanya ditahbiskan oleh para bhikkhu, bukan oleh Sang Buddha; ataupun mereka tidak mengklaim ketaatan untuk mengikuti peraturan tersebut.

Kesembilan, seperti yang diberikan dalam aturan keenam, seorang wanita harus menerima penahbisan dari kedua Sangha. Apakah ini memungkinkan karena Sangha Bhikkhuni belum didirikan pada awalnya?
Berdasarkan catatan, terdapat tiga fase dalam evolusi Penahbisan yang Lebih Tinggi untuk para bhikkhuni. Dalam fase pertama para bhikkhu-lah yang menahbiskan mereka. Namun dalam fase ledua para bhikkhuni diberikan dua kali Penahbisan yang Lebih Tinggi oleh kedua Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni masing-masing. Dalam fase ketiga, para bhikkhuni sendiri, sebagai organisasi yang berdiri sendiri, memberikan Penahbisan yang Lebih Tinggi. Ini menunjukkan bahwa Sangha Bhikkhuni dibuat menjadi institusi yang berdiri sendiri setelah pelatihan yang mereka peroleh di bawah pengawasan institusi kebiaraan yang lebih senior.

Kesepuluh, apakah alasannya mengulangi lagi beberapa aturan ini sebagai aturan Patimokkha yang harus diikuti oleh para bhikkhuni sedangkan semua kedelapan aturan tersebut telah ditetapkan sebagai aturan yang tidak boleh dilanggar seumur hidup?
Aturan kedua berbunyi sama dengan pelanggaran yang ditemukan dalam aturan keenam dari Aramavagga dari Bhikkhuni Vibhanga. Aturan ketiga telah dikatakan dalam aturan kesembilan dari Vagga yang sama. Aturan ketujuh dan kedelapan dapat dianggap sebagai gema dari pertikaian antara kedua Sangha dan tidak ditetapkan atas dasar pelanggaran yang belum terjadi. Khususnya aturan ketujuh ditemukan sebagai sebuah peraturan dalam Aramavagga.

Keduabelas, apakah alasannya untuk menetapkan aturan-aturan ini kepada para bhikkhuni hanya berdasarkan pelanggaran yang belum pernah terjadi sebelumnya?
Peraturan disiplin baik dalam Bhikkhu Patimokkha dan Bhikkhuni Patimokkha telah ditetapkan sebagai hasil dari kasus nyata dari kelakuan buruk para anggota Sangha, bukan berdasarkan atas pelanggaran yang dibayangkan akan terjadi pada masa yang akan datang.

Ketigabelas, terdapat kontradiksi yang jelas dalam catatan atas sikap Mahapajapati Gotami. Jika ia pertama kali mau menerima aturan-aturan tersebut dengan mengakui untuk mematuhinya seumur hidupnya, kemudian mengapa ia belakangan meminta pengubahan atas aturan pertama?

Keempat belas, seberapa benar secara historis untuk meminta para bhikkhuni agar menanyakan hari uposatha dari para bhikkhu sedangkan peraturan Bhikkhuni Patimokkha belum ditetapkan?
Aturan Patimokkha harus dibacakan pada perkumpulan dua mingguan yang diadakan untuk uposatha atau pengakuan kesalahan antara satu bhikkhu dengan bhikkhu lainnya. Namun, pada awalnya tidak ada peraturan demikian yang ditetapkan Sang Buddha untuk para bhikkhuni. Oleh karena itu pertanyaan atas penyelenggaraan uposatha tidak akan muncul.

Kelimabelas, tidakkah pemberian Penahbisan yang Lebih Tinggi kepada para wanita Sakya yang tersisa merupakan pelanggaran atas aturan keenam yang menyatakan bahwa hanya setelah dua tahun pelatihan dalam enam sila seorang [calon] bhikkhuni dapat menerima Penahbisan yang Lebih Tinggi.
Penahbisan para wanita tersebut dilakukan oleh para bhikkhu setelah penahbisan Gotami.
Enam sila yang disebutkan disini adalah: menghindari pembunuhan, pencurian, hubungan seksual, berdusta, mengkonsumsi minuman keras, dan makan pada waktu yang salah. Jika mereka telah menerima delapan aturan, sehingga aturan itu sendiri telah menjadi Penahbisan yang Lebih Tinggi. Karena mereka belum menerima Penahbisan yang Lebih Tinggi, mereka mungkin telah ditahbiskan sesuai dengan ketentuan dalam aturan keenam.

Jika kedelapan aturan tersebut benar-benar terjadi dalam sejarah, kita akan menganggap bahwa Bhikkhuni Vinaya muncul lebih dulu dari Bhikkhu Vinaya, karena Sang Buddha mulai menetapkan aturan disiplin untuk para bhikkhu hanya setelah dua puluh tahun perjalanan karir Beliau, sedangkan berdasarkan bukti yang tidak langsung, Sangha Bhikkhuni didirikan kira-kira lima tahun setelah Pencerahan. Bagaimana pun kata-kata seperti upasampada, vassa, uposatha, pavarana, garudhamma, dan manatta yang ditemukan dalam aturan tersebut jelas sekali mengindikasikan masa sesudah penetapan Vinaya dari Sangha Bhikkhuni.

[bersambung]
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 06 August 2010, 07:36:41 PM
Prof. Dhammapala Kosambi menolak Delapan Aturan Keras dan ramalan dalam Cullvagga [tentang usia agama Buddha yang hanya lima ratus tahun] dan menyebut keduanya tidak otentik. "Bahkan sebelum pelanggaran terjadi," ia berkata, "bukan contoh yang baik untuk menetapkan aturan-aturan ini kepada para bhikkhuni." Ia berpendapat bahwa ini menyimpang dari cara yang biasanya dilakukan untuk menetapkan aturan Vinaya. Menurutnya, dari kata "saddhamma" dalam kisah tersebut, Theravada-lah yang dimaksud. Para bhikkhu mungkin telah menyusun aturan-aturan ini di suatu tempat pada abad ke-2 atau abad pertama SM ketika Mahayana berkembang dengan pesat dan telah menyisipkan [aturan-aturan baru ke dalam] Vinaya Pitaka dalam rangka membenarkan nama baik mereka dalam agama Buddha. Impor dari ramalan ini adalah bahwa Mahayana muncul dan terkemuka dalam lima ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Ia lebih lanjut menekankan, kenyataan bahwa Sangha Bhikkhuni telah didirikan oleh Sang Buddha, catatan ini layak mendapat perhatian kita. Tetapi seperti yang terungkap dalam sejarah agama-agama di India terdapat banyak jenis biarawati pra-Buddhis termasuk perkumpulan biarawati Jain.

Agaknya, keaslian dari laporan pendirian Sangha Bhikkhuni dipertanyaan dalam banyak hal. Anakronisme dalam catatan tersebut lebih nyata daripada kelihatannya (Kosambi Dhammanada-Bhagavan Buddha 166-8).

Setelah wafatnya Sang Buddha, para thera memiliki tanggung jawab mempertahankan aturan disiplin dengan rapi pada satu sisi, serta memperkuat dan menjaga ajaran dari polemik yang berbeda-beda pada sisi lain. Walaupun terdapat para bhikkhuni terkemuka yang ahli dalam Dhamma dan Vinaya, kita tidak memiliki catatan keikutsertaan mereka pada konsili pertama. Ataupun kita tidak memiliki laporan atas langkah-langkah yang mereka ambil setelah konsili. Karena pergaulan yang dekat antara para anggota kedua Sangha, banyak masalah pasti telah muncul yang mengakibatkan reaksi yang merugikan pada ajaran secara keseluruhan.

Dikatakan bahwa ketika para bhikkhu mengunjungi vihara para bhikkhuni untuk pembacaan Patimokkha yang telah diperintahkan Sang Buddha, orang-orang biasanya menyindir dengan tajam bahwa para bhikkhu merupakan para kekasih dan para bhikkhuni adalah para selir (Vin. ii, 256). Kecaman ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan yang baik dari kedua Sangha yang bergantung sepenuhnya kemurahan hati para umat awam. Di samping itu terdapat banyak contoh perilaku yang tidak layak antara para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhuni Khandaka memberikan kita banyak contoh demikian.

Beberapa aturan Patimokkha juga ditetapkan untuk mencegah situasi ini. Sebagai contoh: Nissaggiya keempat dan ketujuh telah ditetapkan pada saat kejadian para bhikkhu mendapatkan pelayanan dari para bhikkhuni. Pacittiya no.26 telah ditetapkan karena melayani wanita. Pacittiya 25, 29 dan Nissaggiya 5 berhubungan dengan pertukaran jubah oleh para bhikkhu dan bhikkhuni. Pacittiya 29 dan Patidesaniya 1 dan 2 berbicara tentang komunikasi yang intim atas perasaan seorang bhikkhuni kepada para bhikkhu. Pacittiya 27, 28, dan 30 telah ditetapkan untuk mencegah hubungan sosial yang tidak pantas dengan para bhikkhuni. Karena para umat awam tidak mentolerir pelanggaran atas kelakuan standar yang diharapkan dari para pertapa, mereka kelihatannya telah mengecam mereka dalam perkataan yang tajam.

Dalam kehidupan kebiaraan agama Jain para biarawati dianggap lebih rendah daripada para biarawan. Kebebasan gerak mereka juga lebih ketat daripada rekan pria mereka (Deo SB - History of Jain Monachism, 52). Bagaimana pun kecenderungan ini merupakan pencerminan dari sikap kuno para brahmana terhadap wanita. Para wanita dihilangkan haknya untuk mengikuti "upacara inisiasi" (upanayana) sehingga para pembuat hukum brahmana merendahkan para wanita ke posisi Sudra. Mereka tidak diizinkan melakukan upacara korban. Tidak ada ikrar religius ataupun aturan suci untuk mereka; kepatuhan kepada suami sudah cukup bagi mereka agar dapat terlahir di surga (Manusmrti, V, 155). Dalam Bhagavadgita juga, jejak pemikiran yang sama telah disebutkan dalam kata-kata Krishna yang mengatakan bahwa wanita seperti juga kasta Vaisya dan Sudra lahir dari kejahatan (Bhagavadgita, x 32). Manu menekankan kewajiban wanita terhadap suami mereka sedemikian sehingga mereka harus menghormati suami mereka seperti dewa walaupun suami tersebut tidak bermoral dan sama sekali tidak memiliki sifat baik yang dapat dipuji (Manusmrti, V, 154).

Para brahmana yang telah tumbuh dalam lingkungan budaya yang demikian pasti telah memiliki perasaan yang kuat terhadap para wanita walaupun mereka telah ditahbiskan [sebagai bhikkhu Buddhis]. Demikian banyak pandangan tradisional India terhadap wanita yang diwariskan oleh masyrakat India telah memiliki dampak pada Sangha secara umum. Oleh karena itu, daripada mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki ketegangan antara kedua institusi, para thera kelihatannya mengembangkan sikap yang negatif terhadap Sangha Bhikkhuni.

Sang Buddha menginginkan Sangha Bhikkhuni menjadi lebih maju dibawah bimbingan, pengawasan, dan perlindungan Sangha Bhikkhu, organisasi kebiaraan yang lebih senior. Suatu ketika, para bhikkhuni bertanya kepada Sang Buddha bagaimana mereka harus bersikap terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk para bhikkhu. Sang Buddha kemudian meminta mereka untuk memegang aturan tersebut sebagai aturan umum di mana pun dapat dijalankan dan [Sang Buddha] melanjutkan menetapkan aturan-aturan baru untuk para bhikkhuni. Seperti yang tercatat dalam Bhikkhuni Khandaka, secara perlahan-lahan Sangha Bhikkhuni dibuat menjadi unit yang berdiri sendiri dengan sendirinya dengan membuat ketentuan bagi mereka untuk melakukan semua aktivitas kebiaraan oleh mereka sendiri. Dengan berjalannya waktu, perilaku yang tidak menyenangkan antara anggota kedua Sangha telah memperumit hubungan antara kedua organisasi ini.

Dengan mempertimbangkan latar belakang ini kita dapat memahami percakapan yang dianggap berasal dari Sang Buddha dan Ananda dalam Mahaparinibbana Sutta. Para bhikkhuni merupakan wanita di mata para thera. Mereka kelihatannya berpikir bahwa dalam kondisi yang memungkinkan para wanita harus "dikucilkan" sepenuhnya. Apa yang tampaknya pesan asli Sang Buddha masih dipertahankan dalam jawaban ketiga yang diberikan kepada Ananda, tetapi dengan segala kemungkinan, percakapan yang direka-reka tersebut kelihatannya telah berbaur ke dalam teks [kitab suci] yang memperlebar jurang antara pria dan wanita, yang telah diperkecil oleh Sang Buddha dengan memberikan kesamaan status kepada para wanita secara sosial dan secara keagamaan dengan pendirian Sangha Bhikkhuni.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 06 August 2010, 11:50:35 PM
Quote
Quote from: NOYA on Today at 04:07:22 PM
Quote
Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

 

Yang dikutip di atas dengan pertanyaan, hubungannya apa ya? 

Hehe,,, gak ada hubungannya kaleee... ???.

Pertanyaan saya mungkin harus saya tambahi begini : Tadi disebutkan MENILIK TIPITAKA, yang saat ini kita pahami terdiri dari kelompok Dhamma (sutta dan Abhidhamma) dan Vinaya, pertanyaan saya, apakah 'Dhamma yang saat ini ada di Tipitaka' adalah sama persis dengan Dhamma yang diulang oleh Bhante Ananda pada konsili pertama?
Samanera Peacemind menyebutkan bahwa "Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni 'seharusnya' Sang Buddha mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda". Kalimat ini saya pahami bahwa, kemungkinan Dhamma yang disampaikan kepada bhikkhuni dan tidak diulang di dalam konsili pertama dengan alasan tidak ada bhikkhu yang mengikuti Sang Buddha ketika membabarkan Dhamma kepada bhikkhuni adalah sangat kecil, mengingat bahwa Buddha pasti mengulangnya kepada Bhikkhu Ananda.

Nah, kenapa saya menanyakan apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama adalah untuk mencari benang merah dengan pertanyaan awal dari thread ini bahwa 'apakah sedikitnya ajaran Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni sebagaimana yang kita temuai dalam Tipiṭaka saat ini merupakan diskriminasi terhadap bhikkhuni'?

Memang saya akui, walaupun saya bertanya, saya telah menyimpan sebuah asumsi tersendiri di dalam pikiran saya. Dalam hal ini, saya berasumsi bahwa, tidak ada diskriminasi dari Buddha kepada bhikkhuni. Jika memang ada semacam diskrimasi tentang sedikitnya ajaran Dhamma kepada para bhikkhuni sebagaimana yang terdapat di dalam Tipitaka saat ini, hal ini dilakukan oleh para bhikkhu peserta konsili. Kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu peserta konsili, kemungkinan hal ini terjadi karena factor alami atau suatu kewajaran mengingat peserta konsili adalah para bhikkhu saja.

Dengan demikian, pertanyaan saya tujukan untuk mensupport pendapat saya bahwa sedikitnya Dhamma yang diajarkan oleh Buddha kepada para bhikkhuni seperti yang kita temui saat ini di dalam Tipitaka adalah karena faktor 'pengulangan dan penulisannya' yang dilakukan oleh para bhikkhu saja. Selain itu, juga adanya factor 'pengembangan' Buddhist literature, yang berarti bahwa ada banyak literature yang ditulis belakangan, dan lagi-lagi, penulisannya juga dilakukan oleh para bhikkhu.

Quote
Tentu ada banyak indikasi bahwa Tipitaka yang diulang pada konsili pertama dengan sekarang tidak sama persis. Contoh yang paling nyata adalah, kathavatthu disusun pada konsili ketiga.

Benar sekali! Dan bukan hanya Kathavatthu sebagai bagian dari Abhidhamma Pitaka, ada beberapa literature dari Khuddaka Nikāya yang disinyalir sebagai "later literature". Sebut saja diantaranya adalah Vimanavatthu, Buddhavamsa, Cariyapitaka dan Niddesa. Banyak indikasi untuk mengkategorikan mereka sebagai 'later literature'. Salah satu indikasinya misalnya dengan menyelidiki nama-nama tempat dalam literature. Nidesa sebagai contohnya banyak menyebutkan nama-nama kota yang ada pada zaman pemerintahannya Raja Asoka dan kota-kota ini tidak diketahui pada canon yang disusun sebelumnya. Kota-kota tersebut seperti: Takkola, Takkasilā, Tambapanni, Tamalim, Bārukacca, Vanga, Suraṭtha, dan Suvannabhūmi. Dengan demikian, banyak orang yang menyimpulkan bahwa Niddesa disusun tidak lama sebelum Konsili ketiga.

Dengan demikian saya kok semakin kuat berasumsi bahwa tidak ada diskriminasi dari Buddha dalam hal ini.  Kalau memang hal ini dianggap diskriminasi, hal ini karena adanya tida factor tadi yaitu factor 'pengulangan, penulisan dan pengembangan' literature Buddhist yang dilakukan oleh para bhikkhu saja.

Mohon dikoreksi lagi jika ada yang salah. Semua koreksi sangat welcome.

Terima kasih.
_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 07 August 2010, 12:07:29 AM
 [at] Noya:
Takkasila emangnya belum ada pada jaman Sang Buddha? ???
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: wen78 on 07 August 2010, 01:25:00 AM
Quote from: upasaka on 06 August 2010, 06:44:20 PM
Quote from: wen78 on 06 August 2010, 06:38:59 PM
thx koreksinya.

bagi saya tetap intinya adalah ajaraannya, bukan apakah saat itu ada begitu atau apakah saat itu ada begini.
tp ya.. kl mo menyimpulkan seperti itu, gpp juga sih..

No need to thanks... :) Saya setuju dengan Anda kalau yang penting adalah Ajaran Sang Buddha bisa bermanfaat bagi pria maupun wanita. Tapi yang dibahas dalam topik ini memang seputar "Kenapa kok gak ada khotbah Sang Buddha ke bhikkhuni?".
yg di bold,
mending tanya langsung aja ke Buddha ... soalnya, khan pernah ada yg post sebuah topik dimana kita tidak boleh menalar Buddha.

btw, apakah semua khotbah Buddha selalu di catat?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 07 August 2010, 08:24:51 AM
Quote[at] Noya:
Takkasila emangnya belum ada pada jaman Sang Buddha?

Txs atas pertanyaan yang sekaligus menjadi koreksi.
Setelah saya check...ternyata ingatan saya banyak errornya. Takkasilā memang sudah disebutkan di dua Kanon, yaitu Vinaya Piṭaka. Mahavagga Pāli. I. 269 dan di Jataka 229. Palāyitajātaka sebagai contohnya.

Ada kota lain dalam Niddesa yang disinyalir sebagai kota yang tidak disebutkan dalam Kanon sebelumnya yaitu kota Yona.


Terima kasih.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 08:48:26 AM
Quote from: NOYA on 06 August 2010, 11:50:35 PM
Quote
Quote from: NOYA on Today at 04:07:22 PM
Quote
Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

 

Yang dikutip di atas dengan pertanyaan, hubungannya apa ya? 

Hehe,,, gak ada hubungannya kaleee... ???.

Pertanyaan saya mungkin harus saya tambahi begini : Tadi disebutkan MENILIK TIPITAKA, yang saat ini kita pahami terdiri dari kelompok Dhamma (sutta dan Abhidhamma) dan Vinaya, pertanyaan saya, apakah 'Dhamma yang saat ini ada di Tipitaka' adalah sama persis dengan Dhamma yang diulang oleh Bhante Ananda pada konsili pertama?
Samanera Peacemind menyebutkan bahwa "Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni 'seharusnya' Sang Buddha mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda". Kalimat ini saya pahami bahwa, kemungkinan Dhamma yang disampaikan kepada bhikkhuni dan tidak diulang di dalam konsili pertama dengan alasan tidak ada bhikkhu yang mengikuti Sang Buddha ketika membabarkan Dhamma kepada bhikkhuni adalah sangat kecil, mengingat bahwa Buddha pasti mengulangnya kepada Bhikkhu Ananda.

Nah, kenapa saya menanyakan apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama adalah untuk mencari benang merah dengan pertanyaan awal dari thread ini bahwa 'apakah sedikitnya ajaran Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni sebagaimana yang kita temuai dalam Tipiṭaka saat ini merupakan diskriminasi terhadap bhikkhuni'?

Memang saya akui, walaupun saya bertanya, saya telah menyimpan sebuah asumsi tersendiri di dalam pikiran saya. Dalam hal ini, saya berasumsi bahwa, tidak ada diskriminasi dari Buddha kepada bhikkhuni. Jika memang ada semacam diskrimasi tentang sedikitnya ajaran Dhamma kepada para bhikkhuni sebagaimana yang terdapat di dalam Tipitaka saat ini, hal ini dilakukan oleh para bhikkhu peserta konsili. Kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu peserta konsili, kemungkinan hal ini terjadi karena factor alami atau suatu kewajaran mengingat peserta konsili adalah para bhikkhu saja.

Dengan demikian, pertanyaan saya tujukan untuk mensupport pendapat saya bahwa sedikitnya Dhamma yang diajarkan oleh Buddha kepada para bhikkhuni seperti yang kita temui saat ini di dalam Tipitaka adalah karena faktor 'pengulangan dan penulisannya' yang dilakukan oleh para bhikkhu saja. Selain itu, juga adanya factor 'pengembangan' Buddhist literature, yang berarti bahwa ada banyak literature yang ditulis belakangan, dan lagi-lagi, penulisannya juga dilakukan oleh para bhikkhu.

Quote
Tentu ada banyak indikasi bahwa Tipitaka yang diulang pada konsili pertama dengan sekarang tidak sama persis. Contoh yang paling nyata adalah, kathavatthu disusun pada konsili ketiga.

Benar sekali! Dan bukan hanya Kathavatthu sebagai bagian dari Abhidhamma Pitaka, ada beberapa literature dari Khuddaka Nikāya yang disinyalir sebagai "later literature". Sebut saja diantaranya adalah Vimanavatthu, Buddhavamsa, Cariyapitaka dan Niddesa. Banyak indikasi untuk mengkategorikan mereka sebagai 'later literature'. Salah satu indikasinya misalnya dengan menyelidiki nama-nama tempat dalam literature. Nidesa sebagai contohnya banyak menyebutkan nama-nama kota yang ada pada zaman pemerintahannya Raja Asoka dan kota-kota ini tidak diketahui pada canon yang disusun sebelumnya. Kota-kota tersebut seperti: Takkola, Takkasilā, Tambapanni, Tamalim, Bārukacca, Vanga, Suraṭtha, dan Suvannabhūmi. Dengan demikian, banyak orang yang menyimpulkan bahwa Niddesa disusun tidak lama sebelum Konsili ketiga.

Dengan demikian saya kok semakin kuat berasumsi bahwa tidak ada diskriminasi dari Buddha dalam hal ini.  Kalau memang hal ini dianggap diskriminasi, hal ini karena adanya tida factor tadi yaitu factor 'pengulangan, penulisan dan pengembangan' literature Buddhist yang dilakukan oleh para bhikkhu saja.

Mohon dikoreksi lagi jika ada yang salah. Semua koreksi sangat welcome.

Terima kasih.
_/\_

Dari apa yang saya tangkap setelah membaca pendapat sdr Noya, sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap bhikkkhuni dari Sang Buddha. Ini juga merupakan indikasi bahwa Sang Buddha memberikan banyak khotbah kepada para bhikkhuni. Namun karena pada konsili pertama, mereka yang menjadi anggota konsili kesemuanya bhikkhu maka khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dan dicatat dalam konsili pertama. Jadi jika memang ada diskriminasi, hal ini dilakukan pertama-tama oleh para bhikkhu pada konsili pertama. Jika memang demikian adanya, timbul beberapa pertanyaan: 1. Bhikkhu2 yang menjadi anggota konsili pertama adalah para arahat, mungkinkah mereka melakukan diskriminasi terhadap bhikkhuni dengan mennghapus khotbah2 Sang Buddha terhadap mereka? Jika para arahat ini menghapus khotbah2 Sang BUddha terhadap bhikkhuni, mengapa ada satu khotbah dari seorang bhikkhuni yakni Culavedallasutta diulang dalam konsili pertama? Apakah khotbah Cullavedallasutta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya yang kemungkinan tidk diulang dalam konsili pertama? Kemudian juga, kenapa para bhikkhu pada konsili pertama tidak menghapus beberapa khotbah dalam bhikkhunisamyutta yang mana khotbah2 itu tidak ada kaitannya dengan Buddha? Apakah khotbah2 dalam Bhikkhunisamyuttta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya yang sengaja tidak diulang dalam konsili pertama? Kemudian bagaimana dengan Therigatha? Pertanyaan lainnya adlaah, jika para members konsili pertama menghapus khotbah2 Sang Buddha kepada bhikkhuni, kemudian mengapa khotbah2 Sang Buddha kepada umat awam seperti yang tampak dalam Brahmanavagga, rajavagga, gahapativagga dari majjhimanikaya, atau kosalasamyutta dari samyuttanikaya, dll, diulang pada konsili pertama? Apakah khotbah2 Sang Buddha terhadap umat awam ini lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang tidak diulang pada konsili pertama? Anyway, sdr Noya di atas juga mengatakan bahwa kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu, itu pun wajar karena peserta konsili adalah para bhikkhu saja. Meskipun ini dikatakn wajar / alami, tetapi pertanyaan2 di atas masih muncul, yakni 'mengapa mereka menghapus khotbah2 itu'?

Alasan lain yang diungkapkan oleh sdr Noya adlh karena pengembangan literatur. Setahu saya, yang namanya pengembangan literatur bersifat menambah, dan bukan mengurangi. Jik pengembangan literatur berdifat menambah, justru khotbah2 atau cerita2 yang tidak ditulis dalam konsili pertama atau konsili2 selanjutnya akan dibuka lagi. Dan sangat mungkin melalui pengembangan literatur,seharusnya khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang kemungkinan tidak dicatat dalam konsili pertama, akan diungkap kembali. Tapi nyatanya tidak........
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 07 August 2010, 09:34:40 AM
QuoteDari apa yang saya tangkap setelah membaca pendapat sdr Noya, sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap bhikkkhuni dari Sang Buddha. Ini juga merupakan indikasi bahwa Sang Buddha memberikan banyak khotbah kepada para bhikkhuni.

Iya, saya pikir begitu. Sang Buddha pun banyak memberikan banyak ajaran kepada para bhikkhuni, walaupun jumlahnya tidak sama persis tidak sebanyak dengan kotbah yang diberikan kepada bhikkhu. Apalagi kan Sangha bhikkhuni muncul belakangan.

QuoteNamun karena pada konsili pertama, mereka yang menjadi anggota konsili kesemuanya bhikkhu maka khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni 'tidak diulang dan dicatat dalam konsili pertama.

Bukan berarti tidak diulang dan dicatat sama sekali lho ya. Saya berasumsi bahwa ada beberapa saja dan itupun mungkin karena memang 'tidak tahu'.

QuoteJadi jika memang ada diskriminasi, hal ini dilakukan pertama-tama oleh para bhikkhu pada konsili pertama. Jika memang demikian adanya, timbul beberapa pertanyaan: 1. Bhikkhu2 yang menjadi anggota konsili pertama adalah para arahat, mungkinkah mereka melakukan diskriminasi terhadap bhikkhuni dengan mennghapus khotbah2 Sang Buddha terhadap mereka? Jika para arahat ini menghapus khotbah2 Sang BUddha terhadap bhikkhuni, mengapa ada satu khotbah dari seorang bhikkhuni yakni Culavedallasutta diulang dalam konsili pertama? Apakah khotbah Cullavedallasutta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya? Kemudian juga, kenapa para bhikkhu pada konsili pertama tidak menghapus beberapa khotbah dalam bhikkhunisamyutta yang mana khotbah2 itu tidak ada kaitannya dengan Buddha? Apakah khotbah2 dalam Bhikkhunisamyuttta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya yang sengaja tidak diulang dalam konsili pertama? Kemudian bagaimana dengan Therigatha? Pertanyaan lainnya adlaah, jika para members konsili pertama menghapus khotbah2 Sang Buddha kepada bhikkhuni, kemudian mengapa khotbah2 Sang Buddha kepada umat awam seperti yang tampak dalam Brahmanavagga, rajavagga, gahapativagga dari majjhimanikaya, atau kosalasamyutta dari samyuttanikaya, dll, diulang pada konsili pertama? Apakah khotbah2 Sang Buddha terhadap umat awam ini lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang tidak diulang pada konsili pertama? Anyway, sdr Noya di atas juga mengatakan bahwa kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu, itu pun wajar karena peserta konsili adalah para bhikkhu saja. Meskipun ini dikatakn wajar / alami, tetapi pertanyaan2 di atas masih muncul, yakni 'mengapa mereka menghapus khotbah2 itu'?

Saya pernah menyebutkan bahwa "Kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu peserta konsili, kemungkinan hal ini terjadi karena factor alami atau suatu kewajaran mengingat peserta konsili adalah para bhikkhu saja". Dalam hal ini saya 'tidak' berpendapat bahwa para bhikkhu peserta konsili (apalagi beliau-beliau adalah para Arahat) sengaja menghapus, atau sengaja mengikut sertakan ajaran ini dan itu dan sengaja pula tidak mengikutsertakan ajaran ini dan itu. Tetapi saya katakan sebagai factor alami /kewajaran adalah karena, kemungkinan mereka tidak tahu bahwa ada ajaran sang Buddha kepada para bhikkhuni. Ya kalau tidak tahu mau apa lagi? Jadi tidak tahu, berarti tidak ada istilah menghapus atau mengurangi. Saya tidak tahu sih, apakah para Arahat peserta konsili mempunyai kemampuan batin untuk mengecheck semua ajaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha termasuk ajaran yang diajarkan oleh para bhikkhuni atau tidak. Jika, peserta konsili mempunyainya, berarti asumsi saya memang harus GUGUR.

Jadi sebetulnya saya mempermasalhkan keikutsertaan bhikkhuni sebagai peserta konsili saja. JIka ada bhikkhuni yang menjadi peserta konsili mungkin saya tidak akan berasumsi demikian. Walaupun oleh beberapa orang2, pertanyaan saya ini selalu dijawab dengan alasan pandangan social dan alasan ketersediaan t4 tinggal pada saat konsili apalagi konsili berlangsung berbulan-bulan dan tidak memungkinkan para bhikkhu dan bhikkhuni tinggal bersama. Apalagi, kan konsilinya berlangsung di Gua.

Lagi-lagi, kalau ada kesimpulan bahwa "kan semua ajaran Buddha telah diulang di depan Bhante Ananda dan seharusnya juga telah diulang di dalam Konsili pertama" sehingga mungkin premis saya bahwa adanya ajaran kepada Bhikkhuni yang tidak diajarkan oleh Sang Buddha tidak terekam didalam konsili ini sangat lemah, saya telah mempertanyakan bahwa, seperti yang dinyatakan di awal thread ini "menilik Tipitaka" pertanyaan saya kan "apakah semua ajaran didalam Tipiṭaka saat ini merupakan apa yang diulang oleh Bhante Ananda?". Dan itulah mengapa, akhirnya saya berasumsi bahwa lebih sedikitnya ajaran kepada para bhikkhuni yang terdapat didalam Tipitaka saat ini adalah karena dipengaruhi 'pengembangan' Tipitaka. Dan pengembangan ini dilakukan oleh para bhikkhu.


QuoteAlasan lain yang diungkapkan oleh sdr Noya adlh karena pengembangan literatur. Setahu saya, yang namanya pengembangan literatur bersifat menambah, dan bukan mengurangi. Jik pengembangan literatur berdifat menambah, justru khotbah2 atau cerita2 yang tidak ditulis dalam konsili pertama atau konsili2 selanjutnya akan dibuka lagi. Dan sangat mungkin melalui pengembangan literatur,seharusnya khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang kemungkinan tidak dicatat dalam konsili pertama, akan diungkap kembali. Tapi nyatanya tidak........

Sekali lagi, saya berpikir bahwa para bhikkhu mungkin tidak mengetahui 'semua' ajaran yang Sang Buddha ajarkan kepada para bhikkhuni. Jadi 'tidak' ada istilah mengurangi ataupun sengaja tidak memasukkan ajaran2 Sang Buddha ke dalam Tipitaka, karena MEMANG TIDAK TAHU.

Pengembangan literature saya ungkapkan adalah untuk menunjukkan kenapa ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni lebih sedikit dan ajaran kepada para bhikkhu menjadi lebih banyak. Hal yang perlu diingat, pengembangan atau penambahan literature ini dilakukan oleh para bhikkhu dan menggunakan perspective para bhikkhu dan juga memasukkan cerita-cerita yang berkaitan dengan bhikkhu. Sehingga, wajarlah jika ajaran Sang Buddha kepada para bhikkhu menjadi lebih banyak dibanding ajaran yang disampaikan kepada para bhikkhuni seperti yang kita temui didalam Tipitaka saat ini, karena Tipitaka saat ini memang memuat beberapa texts yang dikembangkan dan ditambahi oleh para bhikkhu.

Koreksi selalu welcome.
Terima kasih
_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 07 August 2010, 09:49:00 AM
Quote from: wen78 on 07 August 2010, 01:25:00 AM
yg di bold,
mending tanya langsung aja ke Buddha ... soalnya, khan pernah ada yg post sebuah topik dimana kita tidak boleh menalar Buddha.

btw, apakah semua khotbah Buddha selalu di catat?

Buddha sudah tidak ada, jadi kita tidak bisa bertanya pada Beliau. Tidak boleh menalar Buddha? Apakah jika kita menalar Buddha adalah orang bijaksana pun sebenarnya tidak boleh? :D Thread ini kan untuk sharing opini, Bro...

Menurut kepercayaan Theravada, semua khotbah Sang Buddha harusnya tercatat dan diulangi di Konsili I.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 10:04:22 AM
 [at] Noya:

Membaca komen terakhir anda, anda menyimpulkan bahwa beberapa khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dalam konsili pertama dimungkinkan karena para bhikkhu tidak mengetahui adanya khotbah2 Sang BUddha terhadap para bhikkhuni. Hal itu mungkin, tapi kemungkinannya sangat kecil. Pertama, setelah bhikkhu  Ananda menjadi pembantu tetap Sang Buddha, beliau mengakui bahwa beliau hampir tidak pernah meninggalkan Sang Buddha layaknya bayangan dari bendanya (lihat Theragathā) dan khotbah yang tidak didengar oleh Ananda diminta untuk diulang lagi. Kedua, Sang BUddha selalu dikelilingi oleh murid2nya saat pergi perpindapata, keluar vihara atau dalam pengembaraan. Ketiga, secara vinaya, seorang bhikkhu termasuk Buddha tidak layak berbicara dengan wanita tanpa ditemani orang lain. Keempat, anggota konsili pertama terdiri dari 500 arahat. Apakah jumlah besar arahat ini sama sekali tidak tahu jika Sang Buddha banyak berkhotbah kepada para bhikkhuni sehingga tidak mengulangnya dalam konsili pertama? Mungkinkah? Mengapa mereka hanya mampu mengingat SATU khotbah Sang BUddha kepada bhikkhuni Mahāpājapati gotami dari keseluruhan empat nikaya pertama?

Anda mengatakan bahwa karena anggota konsili pertama semuanya para bhikkhu, maka wajar jika mereka tidak mengulang bebrapa / bahkan banyak khotbah2 Sang Buddha terhadap para bhikkhuni dengan alasan mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Seperti yang saya katakan di komen sebelumnya, kalau pun ini wajar dan alami, pertanyaan2 yang saya cantumkan di komen sebelumnya juga masih akan muncul.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 10:09:05 AM
Tidak online seharian kemarin udah ketinggalan ratusan posting, termasuk ketinggalan masalah ini, numpang ikutan sharing boleh ya....

Saya pernah membaca buku dari seorang dosen wanita kebangsaan Thailand, beliau menulis disertasi utk PhDnya ttg hal ini. Ada beberapa hal yg sy ingat (yg lain lupa, musti nyari dulu bukunya):
1.   Sang Buddha menasehati Ven.Ananda ttg jangan melihat, berbicara, dekat2 dg wanita karena beliau dg "mata buddha" nya melihat Ven.Ananda sangat dicintai para wanita dan para bhikkhuni. Bahkan para bhikkhuni terang2an selalu membela Ven.Ananda, dimana  ada tercatat suatu saat Ven.Ananda dimarahi oleh Ven.Mahakassapa lalu dibela oleh para bhikkhuni (yg tdk tahu bhw beliau berhadapan dg Ven.Mahakassapa).
Tentang beliau dicintai para wanita, dosen sy pernah memberikan cerita ini yaitu pd wkt beliau memberikan dhamma desana di istana raja Bimbisara utk para istri raja, saat itu yg hadir 300 istri, karena saking jatuh cintanya (atau apalah kurang tahu) semua istri raja ini menjadi hamil dan melahirkan anak yg mukanya mirip Ven.Ananda, saya wkt itu langsung tanya ke dosen sy apakah nama sutta yg menceritakan hal ini, beliau tidak ingat, sy disuruh mencari sendiri di library, saya paling angkat tangan kalau mencari di library, diantara jutaan buku.
2.   Sang Buddha tidak memandang rendah dengan wanita/bhikkhuni dg terbukti beliau memberikan ijin wanita memasuki sasana, mendirikan Bhikkhuni sasana serta dalam paritta yg notabene juga Buddha's words selalu penyebutan utk wanita dimuka, spt yg tercermin dlm mettasutta, mahamangalasutta, penyebutan "matapita" mencerminkan beliau menghormati wanita.
3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

Kalau saya pribadi saya tidak mempermasalahkan mau diskriminasi atau tidak karena yang penting kita mencapai kesucian, setelah kita berhasil mengikis kekotoran bathin kita, setelah kita berhasil mencapai kesucian, maka kita mengakhiri samsara, toh ini tujuan kita semua, tidak ada lagi wanita atau pria karena telah berakhir, habis.  Tetapi kalau sy baca2 kisah kehidupan monastic Mahayana yang ada di internet salah satunya ada yg menceritakan kehidupan didalam vihara amat kekeluargaan tidak ada diskriminasi, semua murid duduk sejajar, semua murid diperlakukan setara, murid Nun pun diberi kesempatan berbicara didepan kelas yg terdiri para monk pula, sungguh indah kehidupan mereka penuh dg welas asih, cinta kasih dan kasih sayang.

Mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Hendra Susanto on 07 August 2010, 10:45:41 AM
Quote3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 07 August 2010, 10:54:44 AM
Quote
[at] Noya:

Membaca komen terakhir anda, anda menyimpulkan bahwa beberapa khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dalam konsili pertama dimungkinkan karena para bhikkhu tidak mengetahui adanya khotbah2 Sang BUddha terhadap para bhikkhuni. Hal itu mungkin, tapi kemungkinannya sangat kecil...."

Anda mengatakan bahwa karena anggota konsili pertama semuanya para bhikkhu, maka wajar jika mereka tidak mengulang bebrapa / bahkan banyak khotbah2 Sang Buddha terhadap para bhikkhuni dengan alasan mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Seperti yang saya katakan di komen sebelumnya, kalau pun ini wajar dan alami, pertanyaan2 yang saya cantumkan di komen sebelumnya juga masih akan muncul.


Karena ada kata "menilik Tipitaka", sekarang kita mencoba melihat bagian Tipitaka lain, yaitu Vinaya Pitaka.  Apakah peserta konsili pertama juga mengetahui semua Vinaya Bhikkhuni sebagaimana Vinaya Pitaka yang kita temuai saat ini? Sebagai contohnya saja, ada pernyataan bahwa Tattha ubhayāni pātimokkhāni dve vibhaṅgā dvāvīsati khandhakā soḷasa parivārāti idaṃ vinayapiṭakaṃ nāma. Kita ambil contohnya saja, kata 'dve vibhanga'. Hal ini menunjukkan adanya dua vibhanga yaitu: bhikkhu dan bhikkhuni vibhanga. Pertanyaan saya juga, dimana sebetulnya letak dua vibhanga ini di dalam present Vinaya Pitaka, vinaya pitaka yang ada saat ini? Sedangkan kita tahu bahwa dalam present Vinaya Pitaka ada lima kelompok buku yaitu parajika pali, pacittiya pali, mahavagga pali, cullavagga pali and parivara pali yang dikelompokkan dalam tiga kelompok besar sebagai vibhanga, khandhaka, and parivara. Dan, apabila kita melihat Vibhanga yang ada saat ini, kita mendapatkan Parajika dan Pacittiya Pali. Apakah Parajika dan Pacittiya Pali merupakan representasi dari apa yang disebut 'dve vibhanga' tadi?

Maaf kalau OOT ya. Jujur saya juga malah jadi bingung nih.  :o :o :ohehe

Terima kasih.
_/\_

Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 11:04:12 AM
Quote from: Hendra Susanto on 07 August 2010, 10:45:41 AM
Quote3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas

om haa yg baik,
thanks atas pertanyaan nya, hal ini terjadi pada saat kehidupan beliau sebagai pangeran Siddhatta (Bodhisattva) bukan sebagai Buddha Gotama, saya tahu kok maksud anda....bahwa jangan sampai pernyataan ini dipelintir oleh pihak lain.
jadi anda menanyakan hal ini, pdhal andapun tahu kehidupan beliau amat detail, sedang pihak lain belum tentu jadi jangan sampai disalah artikan.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 07 August 2010, 11:15:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
Quote from: upasaka on 06 August 2010, 06:32:14 PM
Quote from: wen78 on 06 August 2010, 06:16:28 PM
IMO, saat itu lebih banyak pria(Bhikku) daripada wanita(Bhikkuni), sehingga terlihat seolah2 tidak pernah memberikan khotbah pada wanita(Bhikkuni). dan bisa jadi saat itu tidak ada wanita(Bhikkuni) atau belum banyak wanita yg mengikuti jalan sang Buddha. sang Buddha tidak pernah membedakan antara pria dan wanita.

ajaran Buddha sendiri bisa dijalankan oleh pria dan wanita maupun waria, walaupun belum pernah ada kisah sang Buddha memberikan khotbah kepada waria.
saya rasa inti dari ajaran sang Buddha yaitu jalan menuju pembebasan dari penderitaan untuk semua mahluk adalah yg terpenting, tanpa harus memilah2 apakah saat itu terjadi begini atau apakah saat itu terjadi begitu.

Sangha Bhikkhuni didirikan oleh Sang Buddha pada tahun ke-5 setelah Pencerahan-Nya. Setelah itu Sang Buddha masih hidup selama 40 tahun ke depan untuk membabarkan Dhamma... Selama 40 tahun sejak Sangha Bhikkhuni didirkan, tapi sangat jarang kita temukan Sang Buddha membabarkan Dhamma ke para Bhikkhuni di Tipitaka. Ini jelas mengindikasikan Sang Buddha jarang berinteraksi secara langsung dengan Sangha Bhikkhuni. Setidaknya itulah yang dapat kita simpulkan dari Tipitaka.

bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: fabian c on 07 August 2010, 11:34:35 AM
Quote from: ryu on 07 August 2010, 11:15:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 07 August 2010, 11:44:41 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:04:12 AM
Quote from: Hendra Susanto on 07 August 2010, 10:45:41 AM
Quote3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas

om haa yg baik,
thanks atas pertanyaan nya, hal ini terjadi pada saat kehidupan beliau sebagai pangeran Siddhatta (Bodhisattva) bukan sebagai Buddha Gotama, saya tahu kok maksud anda....bahwa jangan sampai pernyataan ini dipelintir oleh pihak lain.
jadi anda menanyakan hal ini, pdhal andapun tahu kehidupan beliau amat detail, sedang pihak lain belum tentu jadi jangan sampai disalah artikan.

mettacittena,

Setahu saya, Siddhattha Gotama dahulu hanya punya 3 istana untuk 3 musim saja.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 12:09:55 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

bro upasaka yg baik,
memang berdasarkan ingatan sy juga demikian, setelah raja wafat maka Mahapajapati Gotami memohon kepada sang Buddha untuk diperkenankan bergabung dlm ajaran Dhamma dan Vinaya yg diajarkan oleh sang Buddha, sehingga rentang wkt sekitar 5 tahun, memang benar, hal ini pula yg dulu sy ajukan ke dosen sy, tp beliau tersenyum sy disuruh cek sendiri ke vinayapitaka, dalam cullavaggapali, krn disana cerita detail ttg hal ini, jadi yg menurut pitaka demikian, maka berarti setelah 20 thn beliau mencapai penerangan sempurna. Hal ini ttg 5thn stlh pencapaian penerangan sempurna pernah ada dimuat oleh bro NPNG kalo ga salah, tp wkt itu sy masih sibuk mengetik tugas PR maka sy ga posting komentar, hanya baca dan sy pikir pasti ada yg komentar, rupanya tidak ada yg pernah komentar ttg hal ini, maka sy menanggapi anda pas anda menulis 5 thn ini krn sekalian sy ingin sharing info kpd member yg lain juga.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 12:13:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 12:09:55 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

bro upasaka yg baik,
memang berdasarkan ingatan sy juga demikian, setelah raja wafat maka Mahapajapati Gotami memohon kepada sang Buddha untuk diperkenankan bergabung dlm ajaran Dhamma dan Vinaya yg diajarkan oleh sang Buddha, sehingga rentang wkt sekitar 5 tahun, memang benar, hal ini pula yg dulu sy ajukan ke dosen sy, tp beliau tersenyum sy disuruh cek sendiri ke vinayapitaka, dalam cullavaggapali, krn disana cerita detail ttg hal ini, jadi yg menurut pitaka demikian, maka berarti setelah 20 thn beliau mencapai penerangan sempurna. Hal ini ttg 5thn stlh pencapaian penerangan sempurna pernah ada dimuat oleh bro NPNG kalo ga salah, tp wkt itu sy masih sibuk mengetik tugas PR maka sy ga posting komentar, hanya baca dan sy pikir pasti ada yg komentar, rupanya tidak ada yg pernah komentar ttg hal ini, maka sy menanggapi anda pas anda menulis 5 thn ini krn sekalian sy ingin sharing info kpd member yg lain juga.

mettacittena,

Ananda diangkat menjadi pelayan tetap memang setelah 20 tahun pertama, tapi sebelum itu Sang Buddha juga punya pelayan2 tidak tetap, mungkin saja pada masa pelayan tidak tetap ini, salah satunya adalah Ananda, kebetulan
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 12:15:10 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:44:41 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:04:12 AM
Quote from: Hendra Susanto on 07 August 2010, 10:45:41 AM
Quote3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas

om haa yg baik,
thanks atas pertanyaan nya, hal ini terjadi pada saat kehidupan beliau sebagai pangeran Siddhatta (Bodhisattva) bukan sebagai Buddha Gotama, saya tahu kok maksud anda....bahwa jangan sampai pernyataan ini dipelintir oleh pihak lain.
jadi anda menanyakan hal ini, pdhal andapun tahu kehidupan beliau amat detail, sedang pihak lain belum tentu jadi jangan sampai disalah artikan.

mettacittena,

Setahu saya, Siddhattha Gotama dahulu hanya punya 3 istana untuk 3 musim saja.


bener sih, memang tertulis raja membangun 3 istana utk pangeran Siddhattha Gotama untuk 3 musim, berarti dg istana yg telah ada jadi 4, apabila ini salah, silahkan siapa saja memberikan koreksinya, sy amat berterima kasih.

metacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 12:23:45 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:13:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 12:09:55 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

bro upasaka yg baik,
memang berdasarkan ingatan sy juga demikian, setelah raja wafat maka Mahapajapati Gotami memohon kepada sang Buddha untuk diperkenankan bergabung dlm ajaran Dhamma dan Vinaya yg diajarkan oleh sang Buddha, sehingga rentang wkt sekitar 5 tahun, memang benar, hal ini pula yg dulu sy ajukan ke dosen sy, tp beliau tersenyum sy disuruh cek sendiri ke vinayapitaka, dalam cullavaggapali, krn disana cerita detail ttg hal ini, jadi yg menurut pitaka demikian, maka berarti setelah 20 thn beliau mencapai penerangan sempurna. Hal ini ttg 5thn stlh pencapaian penerangan sempurna pernah ada dimuat oleh bro NPNG kalo ga salah, tp wkt itu sy masih sibuk mengetik tugas PR maka sy ga posting komentar, hanya baca dan sy pikir pasti ada yg komentar, rupanya tidak ada yg pernah komentar ttg hal ini, maka sy menanggapi anda pas anda menulis 5 thn ini krn sekalian sy ingin sharing info kpd member yg lain juga.

mettacittena,

Ananda diangkat menjadi pelayan tetap memang setelah 20 tahun pertama, tapi sebelum itu Sang Buddha juga punya pelayan2 tidak tetap, mungkin saja pada masa pelayan tidak tetap ini, salah satunya adalah Ananda, kebetulan

bro Indra yg baik,
memang masuk diakal juga, sapa tahu beliau telah menjadi pembantu tidak tetap.
perlu kita tanyakan yg lebih ahli....kebetulan TS nya sendiri dosen sy dan pasti beliau pernah mengajar materi ini...

Rev.Peacemind yg sy hormati,
mohon dpt diberi penjelasan agar membantu kita semua, karena sy sendiri selama ini memang hanya memendam pertanyaan tsb, sewaktu menulis jawaban ujian maka sy pun menulis bahwa mengingat raja wafat stlh 5 thn sang Buddha mencapai keBuddhaan nya, seharusnya 5 thn kmdn bhikkhuni sasana established sedang dari vinayapitaka dlm cullavaggapali terlihat yg membela adalah Ven.Ananda selaku pembantu tetap agar Mahapajapati Gotami dpt ditasbihkan maka berarti bhikkhuni sasana established 20 thn setelah beliau menjadi Buddha.
seblm dan sessdhnya diucapkan terima kasih.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 12:28:48 PM
Quote from: NOYA on 07 August 2010, 10:54:44 AM
Quote
[at] Noya:

Membaca komen terakhir anda, anda menyimpulkan bahwa beberapa khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dalam konsili pertama dimungkinkan karena para bhikkhu tidak mengetahui adanya khotbah2 Sang BUddha terhadap para bhikkhuni. Hal itu mungkin, tapi kemungkinannya sangat kecil...."

Anda mengatakan bahwa karena anggota konsili pertama semuanya para bhikkhu, maka wajar jika mereka tidak mengulang bebrapa / bahkan banyak khotbah2 Sang Buddha terhadap para bhikkhuni dengan alasan mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Seperti yang saya katakan di komen sebelumnya, kalau pun ini wajar dan alami, pertanyaan2 yang saya cantumkan di komen sebelumnya juga masih akan muncul.


Karena ada kata "menilik Tipitaka", sekarang kita mencoba melihat bagian Tipitaka lain, yaitu Vinaya Pitaka.  Apakah peserta konsili pertama juga mengetahui semua Vinaya Bhikkhuni sebagaimana Vinaya Pitaka yang kita temuai saat ini? Sebagai contohnya saja, ada pernyataan bahwa Tattha ubhayāni pātimokkhāni dve vibhaṅgā dvāvīsati khandhakā soḷasa parivārāti idaṃ vinayapiṭakaṃ nāma. Kita ambil contohnya saja, kata 'dve vibhanga'. Hal ini menunjukkan adanya dua vibhanga yaitu: bhikkhu dan bhikkhuni vibhanga. Pertanyaan saya juga, dimana sebetulnya letak dua vibhanga ini di dalam present Vinaya Pitaka, vinaya pitaka yang ada saat ini? Sedangkan kita tahu bahwa dalam present Vinaya Pitaka ada lima kelompok buku yaitu parajika pali, pacittiya pali, mahavagga pali, cullavagga pali and parivara pali yang dikelompokkan dalam tiga kelompok besar sebagai vibhanga, khandhaka, and parivara. Dan, apabila kita melihat Vibhanga yang ada saat ini, kita mendapatkan Parajika dan Pacittiya Pali. Apakah Parajika dan Pacittiya Pali merupakan representasi dari apa yang disebut 'dve vibhanga' tadi?

Maaf kalau OOT ya. Jujur saya juga malah jadi bingung nih.  :o :o :ohehe

Terima kasih.
_/\_



Pertama harus ditekankan lagi bahwa pernyataan saya 'menilik Tipitaka' dimaksudkan untuk melihat kenapa dalam Tipitaka jarang sekali ada khotbah Sang BUddha terhadap seorang bhikkhuni dan para bhikkhuni. Itu adalah perntayaan awal! Kemudian anda mencoba mengatakan bahwa sesungguhnya Sang Buddha memberikan khotbah kepada para bhikkhuni hanya saja para bhikkhu pada konsili pertama kemungkinan tidak tahu bahwa ada khotbah2 Sang Buddha kepada para bhikkhuni. Kemudian, saya menyangkal bagaimana mungkin mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Di atas saya memberikan beberapa alasan (please baca lagi) dan juga beberapa pertanyaan yang bisa muncul (please baca lagi di atas). Selanjutnya, tanpa mengomentari alasan2 dan pertanyaan2 saya di atas, untuk membuktikan anda benar, anda mencoba menelusuri sejarah Tipitaka dengan melihat bahwa ada hal2 yang hilang termasuk 'dve vibhaṅga'. Tampaknya anda ingin membuktikan bahwa hilangnya beberapa catatan membuktikan kemungkinan hilangnya khotbah2 Sang Buddha kepada para bhikkhuni (just my assumption).

Saya melihat bahwa dve vibaṅgha sudah tercakup dalam vibaṅgā yang mana saat ini ada dalam Pārājikapāli dan pacittiyapāli. Ada Dalam dua bagian vinaya ini, ada dua hal yang didiskusikan yakni peraturan2 vinaya2 para bhikkhu dan bhikkhuni danjuga kasus2 yang muncul dan keterangan lebih lanjut mengenai masing2 peraturan dan kasus2 tersebut. Dalam Vinaya Atthakatha, V, 1153, dua vibhaṅgā telah merujuk kepada 'penjelasan lebih lanjut mengenai peraturan-peraturan / kasus2 dan juga cara penyelesaiannya. Jika kita mengacu kepada fakta ini, patimokkhabhikkhu dan bhikkhuni menerangkan peraturan2 bhikkhu dan bhikkhuni saja, sedangkan dve vibhaṅgā adalah penjelasan lebih lanjut mengenai peraturan2 tersebut. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa patimokkha bhikkhu dan bhikkhuni serta dve vibhaṅgā sudah ada di dalam pārājikapāli dan pacittiyapāli saat ini. Karena sebab itu juga, saat ini pun, pārājikapāli dan pacittiyapāli sering disebut sebagai vibhaṅgā. Jadi kalau melihat secara isi, tidak ada isi yang hilang, namun hanya berganti nama aja. Dn perlu diingat pula bahwa kata dve vibhaṅgā beserta komentarnya berasal dari kitab komentar.

Btw, saya pribadi tidak berpendapt bahwa Sang Buddha mendiskriminasikan bhikkhuni. Saya berpendapat bahwa khotbah2 Sang BUddha kepada bhikkhuni sangat jarang karena memang akses untuk bertemu bhikkhuni juga tidak sering. Alasanya sudah saya sebut2 di atas. Pertama, bhikkhunisangha mendapat wejangan Dhamma dari seorang bhikkhu yang dipilih Sangha setiap dua minggu sekali di hari Uposatha, dan yang memberikan wejangan umumnya bukan Sang Buddha (lihat juga khotbah Puṇṇovādasutta, Majjhimanikaya). Kedua, jika menilik keseharian time table Sang Buddha, tidak dicantumkan Sang Buddha berkhotbah ke para bhikkhuni. Ketiga, selama setahun, sang Buddha selalu hidup mengembara kecuali di musim hujan. Keempat, alasan vinaya, para bhikkhu termasuk Sang Buddha tidak bisa berasosiasi dengan bhikkhuni secara bebas (lihat beberapa vinaya yang menunjukkan bagaimana umat awam mengkritik para bhikkhu karena kasusnya dengan para bhikkhuni).
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 12:15:10 PM
bener sih, memang tertulis raja membangun 3 istana utk pangeran Siddhattha Gotama untuk 3 musim, berarti dg istana yg telah ada jadi 4, apabila ini salah, silahkan siapa saja memberikan koreksinya, sy amat berterima kasih.

metacittena,

Totalnya ada 4 istana. Tapi Siddhattha Gotama cuma kebagian 3 istana saja. Dan di India setahu saya cuma ada 3 musim, bukan 4 musim...
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw

Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Nevada on 07 August 2010, 01:22:32 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw

::)
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 01:55:28 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw



:( :( :( Berarti kejadian percekcokan antara suku Koliya dan Sakya terjadi semasa atau setidaknya tidak lama setleah raja suddhodana meninggal dong? 
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 02:27:38 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 01:55:28 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw



:( :( :( Berarti kejadian percekcokan antara suku Koliya dan Sakya terjadi semasa atau setidaknya tidak lama setleah raja suddhodana meninggal dong? 

percekcokan ini terjadi sebelum atau menjelang masa vassa ke lima, pada masa yg kurang lebih sama dengan pembabaran Maha Samaya Sutta.
Diceritakan bahwa lima ratus bhikkhu yg berasal dari kedua kubu itu akhirnya mencapai Arahat, dan ini melatar-belakangi pembabarah Maha Samaya Sutta.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 02:28:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.

kerajaan Sakya kan musnah dibasmi oleh Vitutabha
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 02:29:15 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 01:22:32 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw

::)
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 01:55:28 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw



:( :( :( Berarti kejadian percekcokan antara suku Koliya dan Sakya terjadi semasa atau setidaknya tidak lama setleah raja suddhodana meninggal dong? 

Rev.Peacemind n bro Upasaka.....kasihan tuh sang penerjemah.... :( :( _/\_
tadi keputus lunch time, sekarang pengin lanjutin dikit....

bro Indra yg baik,
menurut urutan hirarki, sources manakah yg teratas, Pali canon ataukah RAPB (upss...sory bro jgn salah paham dlu ya...)
begini, dlm vinayapitaka, dibuku cullavaggapali diceritakan detailnya bhw penasbihan beliau karena ada nya pembelaan Ven.Ananda yg saat itu tlh menjabat sbg pembantu tetap, serta waktu itu telah ada vinaya, sedangkan vinaya sendiri baru ada 20 thn setelah sang Buddha mencapai penerangan....jadi....(mohon tanggapan bro Indra)

hehehe....mumpung sedang diskusi ttg bhikkhuni....sekalian aja dikupas masalah ini, bagi yg memiliki info lain mohon melengkapi sekalian aja...

mettcittena,

Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 02:35:38 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 02:29:15 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 01:22:32 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw

::)
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 01:55:28 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 12:59:19 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 11:43:29 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 11:16:05 AM
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

sedih hatiku anda semua tidak membaca RAPB.

"Buddha melewatkan masa vassa ke lima di Vihara Kutagara di Hutan Mahavana di dekat Vesali. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai Kearahatan di bawah payung putih kerajaan di istana Kapilavatthu dan meninggal dunia pada hari yg sama. kemudian Ratu mahapajapati Gotami berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhuni. kemudian lima ratus istri dari lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu .......... Mereka memohon kepada Yang Mulia Ananda agar mendukung penahbisan mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan ...." (RAPB, Buku 3, hal 3026).

Kalau ada yg bilang salah silahkan protes ke Mingun Sayadaw



:( :( :( Berarti kejadian percekcokan antara suku Koliya dan Sakya terjadi semasa atau setidaknya tidak lama setleah raja suddhodana meninggal dong? 

Rev.Peacemind n bro Upasaka.....kasihan tuh sang penerjemah.... :( :( _/\_
tadi keputus lunch time, sekarang pengin lanjutin dikit....

bro Indra yg baik,
menurut urutan hirarki, sources manakah yg teratas, Pali canon ataukah RAPB (upss...sory bro jgn salah paham dlu ya...)
begini, dlm vinayapitaka, dibuku cullavaggapali diceritakan detailnya bhw penasbihan beliau karena ada nya pembelaan Ven.Ananda yg saat itu tlh menjabat sbg pembantu tetap, serta waktu itu telah ada vinaya, sedangkan vinaya sendiri baru ada 20 thn setelah sang Buddha mencapai penerangan....jadi....(mohon tanggapan bro Indra)

hehehe....mumpung sedang diskusi ttg bhikkhuni....sekalian aja dikupas masalah ini, bagi yg memiliki info lain mohon melengkapi sekalian aja...

mettcittena,



saya tidak punya akses ke sumber itu, mohon kesediaan Samaneri untuk mempostingkan bagian itu.

sbg informasi: RAPB dalam judul aslinya The Great Chronicle of the Buddhas adalah suatu usaha Mingun Sayadaw menyusun Ringkasan Tipitaka secara kronologis. sumbernya adalah hanya Tipitaka dan Komentarnya
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 02:38:02 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:28:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.

kerajaan Sakya kan musnah dibasmi oleh Vitutabha

bro Indra yg baik,
di Kosalasamyutta dari Samyutta Nikaya, kita bisa membaca saat2 akhir King Pasenadi sebelum digulingkan anaknya sendiri, beliau berpamitan bhw hari ini mereka berdua sama2 berumur 80 thn, sambil mencium kaki sang Buddha seolah2 beliau berpamitan utk terakhir kalinya, yang ternyata memang benar2 adalah hari terakhirnya karena malam itu beliau meninggal kedinginan tanpa siapa2 diluar benteng kerajaan. Jadi kerayaan Sakya dimusnahkan setelah sang Buddha mahaparinibbana, karena beliaupun berumur 80 thn ketika mahaparinibbana.

apabila bro Indra ada data dari Tipitaka yg mendukung ttg Kerajaan Sakya dimusnahkan dlm wkt 5 thn itu, mohon dpt di quotekan...thanks sblmnya.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 02:49:08 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 02:38:02 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:28:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.

kerajaan Sakya kan musnah dibasmi oleh Vitutabha

bro Indra yg baik,
di Kosalasamyutta dari Samyutta Nikaya, kita bisa membaca saat2 akhir King Pasenadi sebelum digulingkan anaknya sendiri, beliau berpamitan bhw hari ini mereka berdua sama2 berumur 80 thn, sambil mencium kaki sang Buddha seolah2 beliau berpamitan utk terakhir kalinya, yang ternyata memang benar2 adalah hari terakhirnya karena malam itu beliau meninggal kedinginan tanpa siapa2 diluar benteng kerajaan. Jadi kerayaan Sakya dimusnahkan setelah sang Buddha mahaparinibbana, karena beliaupun berumur 80 thn ketika mahaparinibbana.

apabila bro Indra ada data dari Tipitaka yg mendukung ttg Kerajaan Sakya dimusnahkan dlm wkt 5 thn itu, mohon dpt di quotekan...thanks sblmnya.

mettacittena,

mungkin saja demikian saya tidak mengatakan waktu kapan pembasmian itu terjadi. penyerangan Vitutabha memang terjadi tidak lama setelah ia naik tahta setelah kematian Raja Pasenadi (sumber tidak valid->RAPB)
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 03:02:25 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:49:08 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 02:38:02 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:28:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.

kerajaan Sakya kan musnah dibasmi oleh Vitutabha

bro Indra yg baik,
di Kosalasamyutta dari Samyutta Nikaya, kita bisa membaca saat2 akhir King Pasenadi sebelum digulingkan anaknya sendiri, beliau berpamitan bhw hari ini mereka berdua sama2 berumur 80 thn, sambil mencium kaki sang Buddha seolah2 beliau berpamitan utk terakhir kalinya, yang ternyata memang benar2 adalah hari terakhirnya karena malam itu beliau meninggal kedinginan tanpa siapa2 diluar benteng kerajaan. Jadi kerayaan Sakya dimusnahkan setelah sang Buddha mahaparinibbana, karena beliaupun berumur 80 thn ketika mahaparinibbana.

apabila bro Indra ada data dari Tipitaka yg mendukung ttg Kerajaan Sakya dimusnahkan dlm wkt 5 thn itu, mohon dpt di quotekan...thanks sblmnya.

mettacittena,

mungkin saja demikian saya tidak mengatakan waktu kapan pembasmian itu terjadi. penyerangan Vitutabha memang terjadi tidak lama setelah ia naik tahta setelah kematian Raja Pasenadi (sumber tidak valid->RAPB)

berarti selama kerajaan belum dibasmi, setelah king Suddhodana lantas siapa yg memerintah? (pertanyaan bro Upasaka)

jawaban anda bukankah kerajaan sudah dibasmi (padahal setelah sang Buddha Mahaparinibbana)
sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa yg memerintah kerajaan adalah keluarga besar suku Sakya, karena suku Sakya terkenal amat sombong jadi tidak mungkin diperintah oleh seorang wanita dlm hal ini ratu sekalipun (Mahapajapati Gotami). mohon masukan info yg lain menambahkan, silahkan. ttg ratu tdk mgk memerintah ini baru pandangan pribadi sy lo.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 03:10:44 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 03:02:25 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:49:08 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 02:38:02 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:28:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.

kerajaan Sakya kan musnah dibasmi oleh Vitutabha

bro Indra yg baik,
di Kosalasamyutta dari Samyutta Nikaya, kita bisa membaca saat2 akhir King Pasenadi sebelum digulingkan anaknya sendiri, beliau berpamitan bhw hari ini mereka berdua sama2 berumur 80 thn, sambil mencium kaki sang Buddha seolah2 beliau berpamitan utk terakhir kalinya, yang ternyata memang benar2 adalah hari terakhirnya karena malam itu beliau meninggal kedinginan tanpa siapa2 diluar benteng kerajaan. Jadi kerayaan Sakya dimusnahkan setelah sang Buddha mahaparinibbana, karena beliaupun berumur 80 thn ketika mahaparinibbana.

apabila bro Indra ada data dari Tipitaka yg mendukung ttg Kerajaan Sakya dimusnahkan dlm wkt 5 thn itu, mohon dpt di quotekan...thanks sblmnya.

mettacittena,

mungkin saja demikian saya tidak mengatakan waktu kapan pembasmian itu terjadi. penyerangan Vitutabha memang terjadi tidak lama setelah ia naik tahta setelah kematian Raja Pasenadi (sumber tidak valid->RAPB)

berarti selama kerajaan belum dibasmi, setelah king Suddhodana lantas siapa yg memerintah? (pertanyaan bro Upasaka)

jawaban anda bukankah kerajaan sudah dibasmi (padahal setelah sang Buddha Mahaparinibbana)
sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa yg memerintah kerajaan adalah keluarga besar suku Sakya, karena suku Sakya terkenal amat sombong jadi tidak mungkin diperintah oleh seorang wanita dlm hal ini ratu sekalipun (Mahapajapati Gotami). mohon masukan info yg lain menambahkan, silahkan. ttg ratu tdk mgk memerintah ini baru pandangan pribadi sy lo.

mettacittena,

IMO,Tipitaka bukanlah buku sejarah, jadi peristiwa2 yg tidak berkaitan dengan ajaran cukup wajar untuk tidak dimasukkan ke dalam Tipitaka. siapa yg menjadi raja menurut saya tidaklah penting.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 03:02:25 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:49:08 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 02:38:02 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 02:28:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 02:00:09 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?


Lah..baru kepikir nih.

kerajaan Sakya kan musnah dibasmi oleh Vitutabha

bro Indra yg baik,
di Kosalasamyutta dari Samyutta Nikaya, kita bisa membaca saat2 akhir King Pasenadi sebelum digulingkan anaknya sendiri, beliau berpamitan bhw hari ini mereka berdua sama2 berumur 80 thn, sambil mencium kaki sang Buddha seolah2 beliau berpamitan utk terakhir kalinya, yang ternyata memang benar2 adalah hari terakhirnya karena malam itu beliau meninggal kedinginan tanpa siapa2 diluar benteng kerajaan. Jadi kerayaan Sakya dimusnahkan setelah sang Buddha mahaparinibbana, karena beliaupun berumur 80 thn ketika mahaparinibbana.

apabila bro Indra ada data dari Tipitaka yg mendukung ttg Kerajaan Sakya dimusnahkan dlm wkt 5 thn itu, mohon dpt di quotekan...thanks sblmnya.

mettacittena,

mungkin saja demikian saya tidak mengatakan waktu kapan pembasmian itu terjadi. penyerangan Vitutabha memang terjadi tidak lama setelah ia naik tahta setelah kematian Raja Pasenadi (sumber tidak valid->RAPB)

berarti selama kerajaan belum dibasmi, setelah king Suddhodana lantas siapa yg memerintah? (pertanyaan bro Upasaka)

jawaban anda bukankah kerajaan sudah dibasmi (padahal setelah sang Buddha Mahaparinibbana)
sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa yg memerintah kerajaan adalah keluarga besar suku Sakya, karena suku Sakya terkenal amat sombong jadi tidak mungkin diperintah oleh seorang wanita dlm hal ini ratu sekalipun (Mahapajapati Gotami). mohon masukan info yg lain menambahkan, silahkan. ttg ratu tdk mgk memerintah ini baru pandangan pribadi sy lo.

mettacittena,

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: NOYA on 07 August 2010, 05:16:07 PM
at Samanera Peacemind

QuotePertama harus ditekankan lagi bahwa pernyataan saya 'menilik Tipitaka' dimaksudkan untuk melihat kenapa dalam Tipitaka jarang sekali ada khotbah Sang Buddha terhadap seorang bhikkhuni dan para bhikkhuni. Itu adalah perntayaan awal! Kemudian anda mencoba mengatakan bahwa sesungguhnya Sang Buddha memberikan khotbah kepada para bhikkhuni hanya saja para bhikkhu pada konsili pertama kemungkinan tidak tahu bahwa ada khotbah2 Sang Buddha kepada para bhikkhuni. Kemudian, saya menyangkal bagaimana mungkin mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Di atas saya memberikan beberapa alasan (please baca lagi) dan juga beberapa pertanyaan yang bisa muncul (please baca lagi di atas). Selanjutnya, tanpa mengomentari alasan2 dan pertanyaan2 saya di atas, untuk membuktikan anda benar, anda mencoba menelusuri sejarah Tipitaka dengan melihat bahwa ada hal2 yang hilang termasuk 'dve vibhaṅga'.
Memang dari pertama kali membaca 'menilik tipitaka' pikiran saya sudah langsung mengarah pada adanya kenyataan bahwa Tiptitaka yang ada saat ini adalah hasil dari konsili-konsili dan peserta konsili-konsili tersebut adalah para bhikkhu saja serta adanya beberapa pengembangan literature di dalam Tipitaka saat ini. Dan kenapa saya lari ke Vinaya Pitaka juga, karena Tipitaka kan terdiri dari Sutta, Vinaya dan Abhidhamma.
Inilah apa yang disebut ngeyel demi melegitimasi bahwa saya benar. Hehe. Lagi-lagi, mungkin saya sudha terjebak pada penggunaan kata 'menilik Tipitaka' tadi.

QuoteTampaknya anda ingin membuktikan bahwa hilangnya beberapa catatan membuktikan kemungkinan hilangnya khotbah2 Sang Buddha kepada para bhikkhuni (just my assumption).

Memang saya berasumsi begitu TANPA memandang bahwa konsili tidak valid lho ya. Dan juga TANPA melupakan kenyataan bahwa Dhamma yang diberikan Sang Buddha kepada para bhikkhuni tidak sebanyak Dhamma yang diberikan kepada para bhikkhuni. (saya juga sudah menyebutnya di awal).


QuoteBtw, saya pribadi tidak berpendapt bahwa Sang Buddha mendiskriminasikan bhikkhuni. Saya berpendapat bahwa khotbah2 Sang BUddha kepada bhikkhuni sangat jarang karena memang akses untuk bertemu bhikkhuni juga tidak sering. Alasanya sudah saya sebut2 di atas. Pertama, bhikkhunisangha mendapat wejangan Dhamma dari seorang bhikkhu yang dipilih Sangha setiap dua minggu sekali di hari Uposatha, dan yang memberikan wejangan umumnya bukan Sang Buddha (lihat juga khotbah Puṇṇovādasutta, Majjhimanikaya). Kedua, jika menilik keseharian time table Sang Buddha, tidak dicantumkan Sang Buddha berkhotbah ke para bhikkhuni. Ketiga, selama setahun, sang Buddha selalu hidup mengembara kecuali di musim hujan. Keempat, alasan vinaya, para bhikkhu termasuk Sang Buddha tidak bisa berasosiasi dengan bhikkhuni secara bebas (lihat beberapa vinaya yang menunjukkan bagaimana umat awam mengkritik para bhikkhu karena kasusnya dengan para bhikkhuni).

OK, Samenera Peacemind berasumsi seperti di atas. Saya juga setuju dengan apa yang samanera ungkapkan bahwa Buddha tidak diskriminatif namun karena beberapa alasan tersebutlah, Dhamma kepada para bhikkhuni menjadi lebih sedikit. NAMUN saya masih belum nenemui jawaban yang meyakinkan hati saya tentang absentnya para bhikkhuni dalam konsili-konsili dan juga tentang penulisan Tipitaka dan literature-literature tambahan yang semuanya dilakukan oleh para bhikkhu saja.

Terima kasih _/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 05:45:50 PM
 [at] Indra, Neri Pannadewi dan Upasaka:

Saya baru mengecek lagi kitab sub-komentar (ṭīka) untuk Bhikkhunikkhandhaka, Vinayapiṭaka. Ternyata apa yang disebutkan oleh sdr Indra benar. Mahāpajapati dan 500 wanita meminta ijin untuk ditahbiskan tidak lama setelah Raja Sudhodana parinibbāna. Dikatakan bahwa setelah pertengkaran memperebutkan sungai Rohini antara suku Sakya dan suku Koliya, sebagai rasa terimakasih kedua suku ini terhadap Sang BUddha yang telah melerai mereka, kedua suku ini mengirimkan 500 pemuda untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. 500 istri mereka selalu mengirimkan pesan kepada bhikkhu2 muda ini untuk kembali ke kehidupan rumah tangga. Akibatnya muncul ketidak puasan di hari para bhikkhu ini. Melihat demikian, Sang BUddha membawa mereka ke danau Kunala di Himalaya dan memberikan khotbah Kunalajātaka. Di akhir khotbah, 500 bhikkhu ini mencapai kesucian arahat. Akhirnya, karena 500 istri ini tidak mampu membuat mereka kembali kehidupan perumah tangga, mereka mendatangi Mahapajapati Gotami dan memutuskan untuk masuk kedalam kehidupan monastik. Dikatakan mereka menemui ijin kepada Sang BUddha untuk ditahbis menjadi bhikkhuni setelah raja suddhodana meninggal di saat payung putih masih berdiri. Jadi memang benar bahwa Bhikkhunisangha didirikan di vassa ke lima. Sebelumnya saya berasumsi bahwa bhikkhuni sangha didirikan 20 tahun setelah Sang BUddha mencapai penerangan sempurna karena pertama saya pikir Ananda saat itu sudah menjadi pembantu tetap Sang BUddha. Kedua, dalam bhikkhunikkhandhaka, suatu saat Bhikkhuni mahapajapati gotami bertanya kepada Sang BUddha apa yang harus dilakukan dengan peraturan2 kebhikkhuan yang cocok untuk para bhikkhuni. Sang BUddha menjawab bahwa apapun peraturan2 tersebut pun harus dipraktikkan para bhikkhuni. Karena cerita didirikanya Bhikkhunisangha dan pertanyaan bhikkhuni mahapati gotami ini tercatat di dalam bhikkhunikkhandhaka, saya berpikir bahwa pada saat pendirian bhikkhunisangha vinaya sudah ada. Ini memperkuat pendapt saya bahwa bhikkhunisangha didirikan 20 tahun setelah penerangan agung Sang BUddha. Tetapi jika kita menimbang cerita pertengkaran dua suku di atas, maka kemungkinannya adalah bahwa pertanyaan bhikkhuni Mahapajapati gotami tentang vinaya terjadi setelah bhikkhunisangha didirikan lama. Dan, bhikkhu Ananda saat itu belum menjadi pembantu tetap Sang BUddha.

Berkaitan dengan hancurnya kerajaan Sakya setelah dibasmi oleh Vidhudaba, peristiwa ini terjadi ketika Sang Buddha masih hidup. Cerita ini bisa dilihat dalam Dhammacetiyasutta, Majjhimanikaya secara sekilas dan secara detil ada di kitab komentar dari sutta yang sama. Kitab komentar mengatakan bahwa ketika Vidhudaba mau menghancurkan suku sakya, Sang Buddha berusaha mencegah raja ini tiga kali, namun pada akhirnya ketika percobaan yang ke empat kalinya, Sang BUddha diam dan akhirnya suku sakya dibasmi.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 07 August 2010, 06:07:03 PM
Wah2,thread2 yg dimulai oleh samanera pasti berujung seru dan panjang.... Mgkn krn TS-nya seorg samanera.... :)

Btw bgmn pendpt samanera ttg artikel "Agama Buddha & Posisi Wanita" dr buku Mission Accomplished pd hal awal thread ini,terutama ttg kejanggalan seputar kisah pendirian Sangha Bhikkhuni & penetapan 10 aturan keras. Thx
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 06:39:15 PM
Rev.Peacemind yg sy hormati,
penjelasan ini sangat bermanfaat sekali, tidak hanya saya saja yg membutuhkan tp bagi semua pembaca, mungkin baru kali ini dibahas masalah ini, selama ini saya menyimpan dlm hati keraguan antara 5 thn dan 20 thn. sbg ucapan thanks GRP nyusul deh krn udah kirim kemarin, ga bisa krm double dlm sebulan, nunggu bulan depan...hehehe

btw, sy udah cek ke Dhammacetiya, kok ga ada ya yg menyebutkan ttg penyerbuan pangeran Vidudabha sampai 4 kali ke suku Sakya, mohon tambahan penjelasan, krn ini amat bermanfaat juga buat saya, kalo ada keluar ujian (hehehe....), ternyata yg saya sampaikan ke bro Indra ttg Raja Pasenadi pamitan dg sang Buddha terakhir kalinya malah saya baca di sutta ini, jadi sekalian aja koreksi, maaf bro Indra, sutta yg bener adalah dhammacetiya (terlampir)

quote dhammacetiyasutta (Pali) :
[spoiler]

Suttantapiñake
Majjhimanikàyo
Majjhimapaõõàsako
4. Ràjavaggo
Namo tassa bhagavato arahato sammàsambuddhassa.
2.4.9.
89 Dhammacetiya suttaü

Evaü me sutaü: eka samayaü bhagavà sakkesu viharati medataëumpaü1 nàma sakyànaü nigamo. Tena kho pana samayena ràjà pasenadi kosalo nagarakaü2 anuppatto hoti kenacideva karaõãyena. Atha kho ràjà pasenadi kosalo dãghaü kàràyanaü àmantesi: ' yojehi samma kàràyana, bhadràni bhadràni yànàni, uyyànabhåmiü gacchàma subhumiü dassanàyà'ti. Evaü devàti kho dãgho kàràyano ra¤¤o pasenadissa kosalassa pañissutvà bhadràni bhadràni yànàni yojàpetvà ra¤¤o pasenadissa kosalassa pañivedesi: 'yuttàni kho deva bhadràni bhadràni yànàni, yassadàni kàlaü ma¤¤asã'ti. Atha kho ràjà pasenadi kosalo bhadraü yànaü abhiruhitvà bhadrehi bhadrehi yànehi nagaramhà niyyàsi mahacca3 ràjànubhàvena yena àràmo tena pàyàsi. Yàvatikà yànassa bhåmi yànena gantvà yànà paccorohitvà pattikova àràmaü pàvisi.
Addasà kho ràjà pasenadi kosalo àràme jaïghàvihàraü anucaïkamamàno anuvicaramàno rukkhamålàni pàsàdikàni pasàdanã yàni appasaddàni appanigghosàni vijanavàtàni manussaràhaseyyakàni pañisallànasàruppàni. Disvàna bhagavantaüyeva àrabbha sati udapàdi: 'imàni kho tàni4 rukkhamålàni pàsàdikàni pasàdanãyàni appasaddàni appanigghosàni vijanavàtàni manussaràhaseyyakàni pañisallànasàruppàni, yattha sudaü mayaü taü bhagavantaü payirupàsàma arahantaü sammàsambuddhanti.
Atha kho ràjà pasenadi kosalo dighaü kàràyanaü àmantesi: imàni kho samma kàràyana, tàni rukkhamålàni pàsàdàni pasàdanãyàni appasaddàni appanigghosàni vijanavàtàni manussaràhaseyyakàni pañisallànasàruppàni. Yattha sudaü5 mayaü taü bhagavanataü payirupàsàma arahantaü sammàsambuddhaü. Kahaü nu kho samma kàràyana, etarahi [PTS Page 119] [\q 119/] so bhagavà viharati arahaü sammàsambuddho'ti.?
Atthi mahàràja, medataëumpaü1 nàma sakyànaü nigamo. Tattha so bhagavà etarahi arahaü sammàsambuddho viharatã'ti. Kãva dåro pana samma kàràyana, nagarakamhà6 medataëumpaü1 nàma sakyànaü nigamo hotãti? Na dåre mahàràja, tãõi yojanàni. Sakkà divasàvasesena gantunti. Tena hi samma kàràyana, yojehi bhadràni bhadràni yànàni gamissàma mayaü taü bhagavantaü dassanàya arahantaü sammàsambuddha'nti.
--------------------------
1. Medàëupaü- machasaü,syà, medaëumpaü-[PTS] metalupaü-sãmu. 2. Naïgarakaü-[PTS] 3. Mahaccà-sãmu,machasaü 4. Imàni khodàni-sãmu. 5. Yatthassudaü-[PTS] 6. Naïgaramhà- [PTS]

++++sorry dihapus dikit, krn kepenuhan, ga muat utk posting+++++
--------------------------
1. Te bhindantà - syà, machasaü 2. Kutassa-syà 3. A¤¤adatthuü-syà.
[BJT Page 558] [\x 558/]
Pabbàjeti. Te tathà pabbajità samànà ekà våpakaññhà appamattà àtàpino pahitattà viharantà na cirasseva yassatthàya kulaputtà sammadeva agàrasmà anagàriyaü pabbajanti. Tadanuttaraü brahmacariyapariyosànaü diññheva dhamme sayaü abhi¤¤à sacchikatvà upasampajja viharanti. Te evamàhaüsu: 'manaü 1 vata bho anassàma, manaü1 vata bho panassàma. Mayaü hi pubbe assamaõàva samànà samaõamhàti pañijànimhà, abràhmaõàva samànà bràhmaõamhàti pañijànimhà, anarahantova samànà arahantomhàti pañijànimhà. Idàni khomhà samaõà, idàni khomhà bràhmaõà, idàni khomhà arahanto'ti. Ayampi kho me bhante, bhagavati dhammanvayo hoti: 'sammàsambuddho bhagavà, svàkkhàto bhagavatà dhammo, supañipanno saïgho'ti.
Puna ca paraü bhante, ime isidattapuràõà thapatayo mamabhattà mamayànà ahaü nesaü jãvitassa padàtà2 yasassa àhattà atha ca pana no tathà mayi [PTS Page 124] [\q 124/] nipaccàkàraü karonti yathà bhagavati. Bhåtapubbàhaü bhante senaü abbhåyyàno samàno imeva isidattapuràõà thapatayo vimaüsamàno a¤¤atarasmiü sambàdhe àvasathe vàsaü upaga¤chiü. Atha kho bhante, ime isidattapuràõà thapatayo bahudeva rattiü dhammiyà kathàya vãtinàmetvà yato ahosi bhagavà tato sãsaü katvà maü pàdato karitvà nipajjiüsu. Tassa mayhaü bhante, etadahosi: 'acchariyaü vata bho, abbhåtaü vata bho,ime isidattapuràõà thapatayo mamabhattà mamayànà, ahaü tesaü jãvitassa padàtà, yasassa àhattà. Atha ca pana no tathà mayi nipaccàkàraü karonti yathà bhagavati. Addhà ime àyasmanto tassa bhagavato sàsane uëàraü pubbenàparaü visesaü sa¤jànantã'ti. Ayampi kho me bhante, bhagavati dhammanvayo hoti: 'sammàsambuddho bhagavà, svàkkhàto bhagavatà dhammo supañipanno saïgho'ti.
Puna ca paraü bhante, bhagavàpi khattiyo, ahampi khattiyo, bhagavàpi kosalako, ahampi kosalako, bhagavàpi àsãtiko, ahampi àsitiko yampi bhante, bhagavàpi khattiyo, ahampi khattiyo, bhagavàpi kosalako, ahampi kosalako, bhagavàpi àsãtiko, ahamipi àsãtiko, iminàvàrahàmevàhaü bhante, bhagavati paramanipaccàkàraü kattuü. Cittåpavàraü upadaüsetuü. Handa ca dàni mayaü bhante, gacchàma. Bahukiccà mayaü bahukaraõiyà'ti. Yassadàni tvaü mahàràja, kàlaü ma¤¤asãti:atha kho ràjà pasenadi kosalo uññhàyàsanà bhagavantaü abhivàdetvà padakkhiõaü katvà pakkàmi.
-------------------------
1. Mayaü-syà 2. Jivikàya,dàtà-machasaü ,jãvitaü dàtà- [PTS]
[BJT Page 560] [\x 560/]
Atha kho bhagavà acirapakkantassa ra¤¤o pasenadissa kosalassa bhikkhå àmantesi: 'eso bhikkhave, ràjà pasenadi kosalo dhammacetiyàni bhàsitvà uññhàyàsanà pakkanto. Uggaõhàtha1 bhikkhave, dhammacetiyàni. Pariyàpuõàtha [PTS Page 125] [\q 125/] bhikkhave, dhammacetiyàni. Dhàretha bhikkhave, dhammacetiyàni. Atthasaühitàni bhikkhave, dhammacetiyàni àdibrahmacariyakànã'ti.
Idamavoca bhagavà attamanà te bhikkhu bhagavato bhàsitaü abhinandunti.
Dhammacetiyasuttaü navamaü.
--------------------------
1. Uggaõhatha -machasaü,syà.

[/spoiler]

quote dhammacetiyasutta (English) :
[spoiler]



MAJJHIMA NIKâYA II
II. 4. 9 Dhammacetiyasuttaü
(89) Monuments to the Teaching
ßI heard thus. At one time the Blessed One was living with the Sàkyas in a hamlet of the Sàkyas named Medhalumpa. At that time king Pasenadi of Kosala, had come to Nangaraka for some purpose, and he said to Dãgha Kàràyana, `Friend Kàràyana, yoke good carriages we like to tour the parklands and see the good soil,' He agreed, and yoking suitable carriages, informed king Pasenadi of Kosala. `Great king the carriages are yoked, it is time to do what is fit,' King Pasenadi of Kosala ascended a suitable carriage and left Nangaraka in great splendour, going as far as the carriages could go, descended from the carriages and entered the parklands. King Pasenadi of Kosala walking about in the parklands, saw the roots of trees that were pleasing, noiseless, away from humans, and suitable for seclusion and thought of the Blessed One. He thought, on account of these roots of trees that are pleasing, noiseless, away from humans and suitable for seclusion, I should associate the Blessed One, perfect and rightfully enlightened. Then King Pasenadi of Kosala addressed Digha Kàràyana. `Friend Kàràyana, these roots of trees, that are pleasing, noiseless, away from humans, and suitable for seclusion recall to me the Blessed One, perfect and rightfully enlightened. Friend where does he abide now?' `Great king, there is a hamlet of the Sakyas, Medalumpa, the Blessed One, perfect and rightfully enlightened lives there now,' `Friend, Kàràyana, how far is Medalumpa from Nangaraka? ` `It isn't very far about one and twenty miles from here,' `Could we reach there by night fall?' `Then friend, Kàràyana yoke suitable carriages, I want to see that Blessed One, perfect, rightfully enlightened,' Then Dãgha Kàràyana agreeing yoked suitable carriages and informed the king. `Great king, the carriages are yoked, it is the time to do the suitable,' Then king Pasenadi of Kosala, ascended the well yoked carriages and left Nangaraka, to reach the hamlet Medalumpa of the Sakyas. When it was dark, they reached Medalumpa. Going in the carriage as far as it could reach, descending from the carriages came to the monastery grounds. At that time many bhikkhus, were doing the walking meditation in the open and king Pasenadi of Kosala approached them and asked. `Venerable sirs, where is the Blessed One at this time, we like to see that Blessed One perfect and rightfully enlightened?' `Great king the door of the living house is closed, approach it quietly, without intruding, step up to the terrace cough and knock on the cross bar. The Blessed One will open the door. At that point the king of Kosala, gave the sword and crown to Dãgha Kàràyana, and it occurred to him, the king wishes to be alone. I should not proceed. King Pasenadi of Kosala quietly approached the closed door of the living house without intruding stepped on the terrace, coughed and knocked on the cross bar. The Blessed One opened the door. King Pasenadi of Kosala, entered the living house, placed his head at the feet of the Blessed One kissed the feet and stroked them with his hands. Then he announced, venerable sir, I'm king pasenadi of Kosala.'
ßGreat king, seeing what good, do you show highest reverence and make these friendly offerings to this body?'
ßVenerable sir, I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path. Venerable sir, I see recluses and Brahmins, who lead the holy life for ten, twenty, thirty or even forty years. Later I see them having bathed and decorated themselves, with hair and beard shortened, partaking of sensual pleasures, well provided. Here I see bhikkhus leading the holy life complete and pure until the end of life, until they breathe their last breath. Venerable sir, on account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again venerable sir, kings dispute with kings, warriors with warriors, Brahmins with Brahmins, householders with householders, the mother with the son, the son with the mother, the father with the son, the son with the father, brother with brother, brother with sister, the sister with the brother, friend with friend. Here, venerable sir, I see bhikkhus united and friendly, without a dispute, mixing like milk and water, abide seeing each other with friendly eyes. Venerable sir, on account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again, venerable sir, I wander from one monastery to the other, from one park to the other, there I see certain recluses and Brahmins wasted, unpleasant, discoloured with jaundice, with protruding veins, not attractive to the eyes. Then it occurs to me. Indeed these venerable ones live the holy life not attached to it. Or they have some undisclosed demerit. On account of which they are wasting, unpleasant, discoloured with jaundice, are with protruded veins, not attractive to the eyes.
I approach them and ask. `Why are the venerable ones wasting, unpleasant, discoloured with jaundice, with protruding veins, not attractive to the eyes' They tell me. `Great king, we suffer from jaundice,' `Venerable sir, here we see bhikkhus, pleased, in good spirits, pleasant to the sight with satisfied mental faculties, leading a carefree life, without fear and ready to help, abiding with the mind of a wild animal. Venerable sir, it occurs to me'Indeed these venerable ones, see some gradual distinction in themselves, that they are pleased, in good spirits, pleasant to the sight, are with satisfied mental faculties, leading a carefree life, without fear are ready to help, abide with minds like those of wild animals. Venerable sir, on account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again venerable sir, as a head anointed warrior king, I have power in my kingdom, to kill, destroy or banish, those who need to be killed, destroyed or banished. Yet when I sit for jurisdiction, I find it impossible to do justice as various interruptions come to me. I even tell them, good sirs, do not interrupt me, wait till I finish, my talk. Venerable sir, when the Blessed One is teaching various hundreds of bhikkhus, even the sound of a sneeze or a cough is not heard. Once it happened, that the Blessed One was teaching a gathering of some hundreds. Then a certain disciple of the Blessed One coughed and another disciple of the Blessed One nudged him on the knee, to say, make no noise, the Blessed One is teaching. Venerable sir, then it occurred to me, it is amazing the gathering is well behaved, without, stick or weapon. Venerable sir, I have not seen a disciplined gathering like this anywhere else. On account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again venerable sir, I see a certain wise, clever, warrior disputant, going about thinking to pull down wise ones and their views. Hearing that the recluse Gotama has visited a certain village or hamlet, they concoct a question. We will approach the recluse Gotama and ask this question when he explains it, we will draw him to a dispute. When they approach, the Blessed One advises them, incites them and makes their hearts light. Advised, incited and made the hearts light, they do not even ask the question, how is a dispute to come up? They become all round disciples of the Blessed One On account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again venerable sir, I see a certain wise, clever Brahmin, .... re... a householder, ...re.... arecluse, disputant going about thinking to pull down wise ones and their views. Hearing that the recluse Gotama has visited a certain village or hamlet, they concoct a question. We will approach the recluse Gotama and ask this question. He will explain it thus and we will draw him to a dispute. When they approach, the Blessed One advises them, incites them and makes their hearts light. Advised, incited and made the hearts light, they do not even ask the question, how is a dispute to come up? They become all round disciples of the Blessed One On account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again, venerable sir, the master builders, Isãdatta and Puràna, were brought up by me, given life by me, raisedto that state by me. Yet these two do not show that same reverence to me, that they give to the Blessed One. Venerable sir, in the past, when the army was marching against me, it happened that I went to a difficult dwelling of the master builders Isãdatta and Puràna, they advised me late into the night. They toldthat they sleep, placing their heads towards where the Blessed One was, and their feet towards me. Then it occurred to me. It is wonderful and surprising, the master builders Isãdatta and puràna were brought up by me, given life by me, raised to that state by me. Yet these two do not show that same reverence to me, that they give to the Blessed One. Indeed these venerable ones see some gradual distinction in themselves. On account of this too I have come to the main drift of the Blessed One's Teaching. The Blessed One is rightfully enlightened, the Teaching of the Blessed One is well proclaimed. The disciples of the Blessed One have come to the right path.
Again, venerable sir, I'm a warrior, a man of Kosala eighty years old, the Blessed One too is a warrior, of Kosala and is eighty years of age. On account of this, too I show highest reverence and make these friendly offerings to this body. Venerable sir, now we go, there is much work to be done.
ßGreat king do, as you think fit.'
King Pasenadi of Kosala got up from his seat, worshipped and circumambulated the Blessed One and went away.
Soon after king Pasenadi of Kosala had gone, the Blessed One addressed the bhikkhus. `Bhikkhus, kingPasenadi of Kosala made monuments of the Teaching. Bhikkhus, learn those monuments to the Teaching. They are conducive to good and belong to the fundamentals of the holy life.'
The Blessed One said that and those bhikkhus delighted in the words of the Blessed One.

[/spoiler]

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 08:51:37 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 05:45:50 PM
[at] Indra, Neri Pannadewi dan Upasaka:

Saya baru mengecek lagi kitab sub-komentar (ṭīka) untuk Bhikkhunikkhandhaka, Vinayapiṭaka. Ternyata apa yang disebutkan oleh sdr Indra benar. Mahāpajapati dan 500 wanita meminta ijin untuk ditahbiskan tidak lama setelah Raja Sudhodana parinibbāna. Dikatakan bahwa setelah pertengkaran memperebutkan sungai Rohini antara suku Sakya dan suku Koliya, sebagai rasa terimakasih kedua suku ini terhadap Sang BUddha yang telah melerai mereka, kedua suku ini mengirimkan 500 pemuda untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. 500 istri mereka selalu mengirimkan pesan kepada bhikkhu2 muda ini untuk kembali ke kehidupan rumah tangga. Akibatnya muncul ketidak puasan di hari para bhikkhu ini. Melihat demikian, Sang BUddha membawa mereka ke danau Kunala di Himalaya dan memberikan khotbah Kunalajātaka. Di akhir khotbah, 500 bhikkhu ini mencapai kesucian arahat. Akhirnya, karena 500 istri ini tidak mampu membuat mereka kembali kehidupan perumah tangga, mereka mendatangi Mahapajapati Gotami dan memutuskan untuk masuk kedalam kehidupan monastik. Dikatakan mereka menemui ijin kepada Sang BUddha untuk ditahbis menjadi bhikkhuni setelah raja suddhodana meninggal di saat payung putih masih berdiri. Jadi memang benar bahwa Bhikkhunisangha didirikan di vassa ke lima. Sebelumnya saya berasumsi bahwa bhikkhuni sangha didirikan 20 tahun setelah Sang BUddha mencapai penerangan sempurna karena pertama saya pikir Ananda saat itu sudah menjadi pembantu tetap Sang BUddha. Kedua, dalam bhikkhunikkhandhaka, suatu saat Bhikkhuni mahapajapati gotami bertanya kepada Sang BUddha apa yang harus dilakukan dengan peraturan2 kebhikkhuan yang cocok untuk para bhikkhuni. Sang BUddha menjawab bahwa apapun peraturan2 tersebut pun harus dipraktikkan para bhikkhuni. Karena cerita didirikanya Bhikkhunisangha dan pertanyaan bhikkhuni mahapati gotami ini tercatat di dalam bhikkhunikkhandhaka, saya berpikir bahwa pada saat pendirian bhikkhunisangha vinaya sudah ada. Ini memperkuat pendapt saya bahwa bhikkhunisangha didirikan 20 tahun setelah penerangan agung Sang BUddha. Tetapi jika kita menimbang cerita pertengkaran dua suku di atas, maka kemungkinannya adalah bahwa pertanyaan bhikkhuni Mahapajapati gotami tentang vinaya terjadi setelah bhikkhunisangha didirikan lama. Dan, bhikkhu Ananda saat itu belum menjadi pembantu tetap Sang BUddha.

Berkaitan dengan hancurnya kerajaan Sakya setelah dibasmi oleh Vidhudaba, peristiwa ini terjadi ketika Sang Buddha masih hidup. Cerita ini bisa dilihat dalam Dhammacetiyasutta, Majjhimanikaya secara sekilas dan secara detil ada di kitab komentar dari sutta yang sama. Kitab komentar mengatakan bahwa ketika Vidhudaba mau menghancurkan suku sakya, Sang Buddha berusaha mencegah raja ini tiga kali, namun pada akhirnya ketika percobaan yang ke empat kalinya, Sang BUddha diam dan akhirnya suku sakya dibasmi.

Maaf ada sedikit kesalahan dalam pernyataan yang dibold di atas. Yang benar adalah bahwa setelah mendengarkan khotbah dalam Kunalajātaka, 500 bhikkhu mencapai kesucian sotapanna, dan setelah kembali ke Mahavana dan mempraktikkn vipassana mereka semua mencapai kesucian arahat - sumber kitab komentar untuk Mahāsamayasutta.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 07 August 2010, 09:10:15 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:34:35 AM
Quote from: ryu on 07 August 2010, 11:15:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

_/\_
ko fabian yang baik, itu ada di catatan kaki dalam MN III.123 Acchariyabbhutadhamma Sutta, cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 09:18:43 PM
Quote from: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...

saya membaca kisah ttg sejarah Sangha di Indonesia, disitu beliau menceritakan ttg bagaimana sejarah berdirinya Vihara Dhammacakka, ternyata dulu beliau termasuk salah satu samanera yg bersama Bhikkhu Sombhat, jadi saya panggil beliau Romo, krn saya menghormati beliau sbg seseorang yg pernah menjadi anggota sangha, pernah menjalani kehidupan suci, bahkan ikut berjuang dikala Buddha Dhamma belum dikenal seluruh rakyat Indonesia, walau sekarang beliau memilih jalur lain, tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang umat perumah tanggapun bisa mencapai kesucian.
semoga bro NPNG bisa menerima penjelasan saya, thanks.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 09:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 09:18:43 PM
Quote from: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...

saya membaca kisah ttg sejarah Sangha di Indonesia, disitu beliau menceritakan ttg bagaimana sejarah berdirinya Vihara Dhammacakka, ternyata dulu beliau termasuk salah satu samanera yg bersama Bhikkhu Sombhat, jadi saya panggil beliau Romo, krn saya menghormati beliau sbg seseorang yg pernah menjadi anggota sangha, pernah menjalani kehidupan suci, bahkan ikut berjuang dikala Buddha Dhamma belum dikenal seluruh rakyat Indonesia, walau sekarang beliau memilih jalur lain, tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang umat perumah tanggapun bisa mencapai kesucian.
semoga bro NPNG bisa menerima penjelasan saya, thanks.

mettacittena,

apa hubungannya sebutan ROMO dengan mencapai kesucian?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 07 August 2010, 09:25:31 PM
Quote from: seniya on 07 August 2010, 06:07:03 PM

Btw bgmn pendpt samanera ttg artikel "Agama Buddha & Posisi Wanita" dr buku Mission Accomplished pd hal awal thread ini,terutama ttg kejanggalan seputar kisah pendirian Sangha Bhikkhuni & penetapan 10 aturan keras. Thx

Sebenarnya artikel ini memberikan pengetahuan baru bagi saya. Saya tidak berpikir sejauh apa yang ada dalam artikel tertulis di atas karena selama ini saya berpikir bahwa bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah sang Buddha mencapai penerangan sempurna di mana peraturan2 kebhikkuan sudah mulai ditetapkan. JIka bhikkhunisangha didirikan 20 tahun setelah penerangan agung Sang BUddha, isitilah2 seperti vassa, uposatha, manatta, garudhamma, pavarana tidak menjadi masalah karena memang kemungkinan istilah2 tersebut yang mana ada kaintanya dengan peraturan2 kebhikkhuan sudah ditetapkan. Tetapi jika bhikkhunisangha didirikan 5 tahun setelah sang Buddha mencapai penerangan sempurna, memang ada semacam kontradiksi terutama yang paling jelas berkaitan dengan 'manatta'. Manatta adalah hukuman bagi seorang bhikkhuni dan bhikkhu yang telah melanggar sanghadisesa. Ini menjadi pertanyaan terutama apabila manatta ini berkaitan dengan peraturan sanghadisesa yang mana ditetapkan setidaknya setelah masa ke 20 bagi Sang BUddha. Mungkin harus ditelusuri lebih lamjut apakah manatta ini berkaitan dengan sanghadisesa atau tidak. Penyelidikan lebih lanjut juga harus diberikan untuk peraturan2 yang mengkaitkan tentang masa vassa, pavarana, uposatha, dan upasampada. Berkaitan dengan masa vassa, saya melihat bahwa peraturan ini tampaknya sudah ada sebelum sang BUddha menetapkan peraturan2 yang diawali dengan parajika. Ini terlihat dengan kisah yang ada dalam Veranjakandaka di mana diceritakan sang Buddha dan 500 muridnya diundang oleh seorang pedagang untuk bervassa di Veranja. Saat itu peraturan kebhikkhuan belum ditetapkan Sang BUddha karena di saat dan tempat itulah Bhikkhu Sariputta baru meminta Sang Buddha untuk menetapkan peraturan2 vinaya kepada para bhikkhu. Sang Buddha menjawab bahwa beliau akan menetapkan peraturan2 vinaya ketika tepat waktunya. Jika masa vassa sudah ada, berarti acara pavarana yang biasanya dilaksanakan di akhir masa vassa telah ada pula. Mengenai uposatha dan upasampada juga perlu ditelusuri lagi apakah keduanya ada 20 tahun setelah penerangn agung Sang Buddha atau ada sebelum bhikkhunisangha didirikan. Untuk peraturan penahbisan upasampada, saya merasa bahwa peraturan ini ada sebelum Sang BUddha memasuki vassa ke 20. Mungkin bisa dilihat dalam Uposatthakkandhaka ceritanya. Berkaitan dengan uposatha, saya tidak tahu persis kapan peraturan kebhikkhuan untuk berkumpul di setiap hari uposatha ditetapkan. Adakah kemungkinan bahwa kebiasaan ini sudah ada sebelum bhikkhunisangha didirikan atau memang setelah didirikan?

Berkaitan dengan pernyataan Sang Buddha dalam Mahaparinibbanasutta yang mengatakan bahwa seorang bhikkhu sebisa mungkin untuk tidak berbicara atau melihat wanita, saya rasa bukan hal yang harus dipertentangkan. Memang pada dasarnya, mata adalh sekedar mata, dan bentuk2 adalah sekedar bentuk2. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa bagi pikiran yang belum terbersihkan, bentuk2, bebauan, rasa, dll masih sangat mempengaruhi pikiran. Ini mengapa dalam Anguttaranikaya satu, hal, satu, Sang Buddha menjelaskan bahwa bagi seorang pria, bentuk2, suara, bebauan, rasa, sentuhan dan pikiran2 tentang wanita merupakn obyek2 yang sangat menggiurkan. JIka demikian halnya, tidak ada salahnya Sang Buddha menasehati para bhikkhu untuk tidak melihat dan berbicara dengan seorang wanita JIKA memang memungkinkan. Istilahnya, 'lebih baik memberikan imunisasi sebelum terkena penyakit'. Karena obyek2 luar juga mempengaruhi pikiran manusia yang masih terkotori, Sang Buddha juga menasehati para bhikkhu untuk menjaga dan mengendalikan indriyanya (guttadvara, indriyasamvara). Oleh karena itu, pernyataan Sang Buddha dalam Mahaparinibbanasutta tidak menjadi permasalahan. Tetapi untuk Aṭṭhagarudhamma memang harus diselidiki lebih lanjut.

Mettacittena.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 07 August 2010, 10:30:04 PM
Setuju Sam.. Sang Buddha mengajarkan dhamma yang realistis dan membumi bukannya mengawang-awang.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 10:30:33 PM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 09:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 09:18:43 PM
Quote from: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...

saya membaca kisah ttg sejarah Sangha di Indonesia, disitu beliau menceritakan ttg bagaimana sejarah berdirinya Vihara Dhammacakka, ternyata dulu beliau termasuk salah satu samanera yg bersama Bhikkhu Sombhat, jadi saya panggil beliau Romo, krn saya menghormati beliau sbg seseorang yg pernah menjadi anggota sangha, pernah menjalani kehidupan suci, bahkan ikut berjuang dikala Buddha Dhamma belum dikenal seluruh rakyat Indonesia, walau sekarang beliau memilih jalur lain, tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang umat perumah tanggapun bisa mencapai kesucian.
semoga bro NPNG bisa menerima penjelasan saya, thanks.

mettacittena,

apa hubungannya sebutan ROMO dengan mencapai kesucian?

ga ada hubungannya .....  ;D  ;D  ;D

sebenarnya beliau melalui PM udah minta untuk tidak dipanggil Romo, tapi saya jelaskan sama dengan apa yg udah sy sampaikan ke bro NPNG, jadi beliaupun juga tidak ingin timbul hal2 seperti ini, pasti kalian akan ngerjain beliau, peace....

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 07 August 2010, 10:33:04 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?
Kalau tidak salah ada Mahanama kan? Dan Mahanama tidak menjadi bhikkhu bukan?
Selain yang telah ditambahkan Samaneri, Ko Indra, Samanera dan yang lain.. Saya pernah membaca dari beberapa sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Sakya dipimpin oleh Raja Suddhodhana bukan sebuah monarki absolut, dalam hal ini bentuknya ada sebuah bentuk dewan senat yang sederhana dengan Suddhodhana sebagai pemimpin. Mungkin dalam bayangan saya, seperti Julius Caesar dengan Dewan Senatnya. Jika memang demikian halnya, maka tidak aneh bila ada pengganti lain setelah Raja Suddhodhana dan Mahanama yang karena satu dan lain hal tidak disebutkan dalam literatur. CMIIW.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 07 August 2010, 10:38:26 PM
Quote from: Jerry on 07 August 2010, 10:33:04 PM
Quote from: upasaka on 07 August 2010, 12:56:12 PM
Quote from: Peacemind on 07 August 2010, 12:38:36 PM
Saya sependapt dengan samaneri bahwa Bhikkhunisangha didirikan setidaknya 20 tahun setelah penerangan sempurna Sang Buddha. Bhikkhunisangha tidak didirikan setelah Suddhodana wafat, melainkan setelah adanya kasus bentrok antara suku sakya dan koliya yang mempertentangkan air rohini. Sang Buddha menasehati dua suku ini untuk tidak berperang hanya karena air, dan karena terimakasihnya kepada Sang Buddha, 250 pemuda dari suku sakya dan 250 pemuda dari suku koliya menjadi bhikkhu. Kemudian istri2 mereka datang kepada Mahāpājapati gotami dan dengan beliau, mereka minta ijin ke Sang Buddha untuk memperbolehkan wanita memasuki Sangha. Peristiwa ini terjadi setidaknya setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Alasannya, saat didirikannya Bhikkhunisangha, beberapa peraturan vinaya untuk para bhikkhu sudah ada, padahal peraturan2 vinaya untuk para bhikkhu mulai ditetapkan juga setelah 20 tahun sejak penerangan agung Sang Buddha. Kedua, bhikkhu Ananda juga sudah menjadi pembantu tetap Sang Buddha yang mana penetapan Ananda sebagai pembantu tetap juga terjadi setelah 20 tahun penerangan agung Sang Buddha.

OOT: Selama 15 tahun itu, siapa yah yang memerintah Suku Sakya? Apakah Mahapajapati Gotami selaku Ratu?
Kalau tidak salah ada Mahanama kan? Dan Mahanama tidak menjadi bhikkhu bukan?
Selain yang telah ditambahkan Samaneri, Ko Indra, Samanera dan yang lain.. Saya pernah membaca dari beberapa sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Sakya dipimpin oleh Raja Suddhodhana bukan sebuah monarki absolut, dalam hal ini bentuknya ada sebuah bentuk dewan senat yang sederhana dengan Suddhodhana sebagai pemimpin. Mungkin dalam bayangan saya, seperti Julius Caesar dengan Dewan Senatnya. Jika memang demikian halnya, maka tidak aneh bila ada pengganti lain setelah Raja Suddhodhana dan Mahanama yang karena satu dan lain hal tidak disebutkan dalam literatur. CMIIW.

sepertinya Vesali deh yg kek gitu, dipimpin oleh para Licchavi
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 07 August 2010, 10:47:11 PM
Quote from: seniya on 07 August 2010, 06:07:03 PM
Wah2,thread2 yg dimulai oleh samanera pasti berujung seru dan panjang.... Mgkn krn TS-nya seorg samanera.... :)

Btw bgmn pendpt samanera ttg artikel "Agama Buddha & Posisi Wanita" dr buku Mission Accomplished pd hal awal thread ini,terutama ttg kejanggalan seputar kisah pendirian Sangha Bhikkhuni & penetapan 10 aturan keras. Thx

bro postingan anda di page awal amat bermanfaat buat saya, sangat lengkap, bisa minta linknya? saya ingin mengopy yg asli utk tambahan data saya (melengkapi materi kuliah sy). thanks before...

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 07 August 2010, 11:03:05 PM
 [at] Ko Indra
Tar kapan-kapan kalo lagi rajin saya coba cari sumber mana yang saya dapat itu Ko.. ;D
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: fabian c on 08 August 2010, 07:49:15 AM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 09:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 09:18:43 PM
Quote from: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...

saya membaca kisah ttg sejarah Sangha di Indonesia, disitu beliau menceritakan ttg bagaimana sejarah berdirinya Vihara Dhammacakka, ternyata dulu beliau termasuk salah satu samanera yg bersama Bhikkhu Sombhat, jadi saya panggil beliau Romo, krn saya menghormati beliau sbg seseorang yg pernah menjadi anggota sangha, pernah menjalani kehidupan suci, bahkan ikut berjuang dikala Buddha Dhamma belum dikenal seluruh rakyat Indonesia, walau sekarang beliau memilih jalur lain, tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang umat perumah tanggapun bisa mencapai kesucian.
semoga bro NPNG bisa menerima penjelasan saya, thanks.

mettacittena,

apa hubungannya sebutan ROMO dengan mencapai kesucian?

Bro Indra yang baik,

Hubungan romo dengan kesucian adalah:
- Romo bisa jadi suci bila berlatih Vipassana
- Romo tidak jadi suci bila tidak berlatih Vipassana.

Saya kira hanya di Indonesia bekas Bhikkhu dipanggil romo, di negara lain bekas Bhikkhu kembali menjadi umat awam biasa, tidak dipanggil romo atau sejenisnya. Saya hanya pernah menjadi Samanera, tapi saya sekarang umat awam biasa dan bukan Samanera, oleh karena itu saya lebih suka dipanggil sebagai umat awam biasa.

_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: fabian c on 08 August 2010, 08:10:52 AM
Quote from: ryu on 07 August 2010, 09:10:15 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:34:35 AM
Quote from: ryu on 07 August 2010, 11:15:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

_/\_
ko fabian yang baik, itu ada di catatan kaki dalam MN III.123 Acchariyabbhutadhamma Sutta, cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha

Bro Ryu yang baik,

Saya rasa itu adalah tafsiran terhadap sutta, yang jelas melangkah tujuh kali tertulis di Sutta, mengenai benar tidak nya tentu kita tidak tahu karena kita tidak hadir disana ketika itu terjadi.

Sejauh belum ada argumentasi yang lebih sahih, Sutta tersebut adalah penggambaran yang dianggap paling mewakili.

_/\_


Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 08 August 2010, 08:28:42 AM
Quote from: fabian c on 08 August 2010, 08:10:52 AM
Quote from: ryu on 07 August 2010, 09:10:15 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:34:35 AM
Quote from: ryu on 07 August 2010, 11:15:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

_/\_
ko fabian yang baik, itu ada di catatan kaki dalam MN III.123 Acchariyabbhutadhamma Sutta, cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha

Bro Ryu yang baik,

Saya rasa itu adalah tafsiran terhadap sutta, yang jelas melangkah tujuh kali tertulis di Sutta, mengenai benar tidak nya tentu kita tidak tahu karena kita tidak hadir disana ketika itu terjadi.

Sejauh belum ada argumentasi yang lebih sahih, Sutta tersebut adalah penggambaran yang dianggap paling mewakili.

_/\_



ko Fabian yang baik,

di sutta itu hanyalah menggambarkan tanda2 kelahiran Boddhisatva, bukan menceritakan kelahiran Sidharta Gautama, sama seperti dalam Digha Nikaya 14 yang menceritakan Buddha Vipassi, mungkin apabila disebutkan semua bodhisatva ketika dilahirkan berjalan tujuh langkah termasuk pangeran Sidharta aye tidak tahu, kalau boleh minta apa ada sutta yang menceritakan riwayat pangeran Sidharta yang mengenai itu tolong dong kasih link nya thanks. BTW ini OOT kalau mau lanjut mungkin harus bikin thread baru, eh ada kok threadnya di :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,7167.msg138394.html#msg138394 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,7167.msg138394.html#msg138394)
;D
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 08 August 2010, 08:50:12 AM
Quote from: fabian c on 08 August 2010, 07:49:15 AM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 09:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 09:18:43 PM
Quote from: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...

saya membaca kisah ttg sejarah Sangha di Indonesia, disitu beliau menceritakan ttg bagaimana sejarah berdirinya Vihara Dhammacakka, ternyata dulu beliau termasuk salah satu samanera yg bersama Bhikkhu Sombhat, jadi saya panggil beliau Romo, krn saya menghormati beliau sbg seseorang yg pernah menjadi anggota sangha, pernah menjalani kehidupan suci, bahkan ikut berjuang dikala Buddha Dhamma belum dikenal seluruh rakyat Indonesia, walau sekarang beliau memilih jalur lain, tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang umat perumah tanggapun bisa mencapai kesucian.
semoga bro NPNG bisa menerima penjelasan saya, thanks.

mettacittena,

apa hubungannya sebutan ROMO dengan mencapai kesucian?

Bro Indra yang baik,

Hubungan romo dengan kesucian adalah:
- Romo bisa jadi suci bila berlatih Vipassana
- Romo tidak jadi suci bila tidak berlatih Vipassana.

Saya kira hanya di Indonesia bekas Bhikkhu dipanggil romo, di negara lain bekas Bhikkhu kembali menjadi umat awam biasa, tidak dipanggil romo atau sejenisnya. Saya hanya pernah menjadi Samanera, tapi saya sekarang umat awam biasa dan bukan Samanera, oleh karena itu saya lebih suka dipanggil sebagai umat awam biasa.

_/\_


Halo Mat....
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 08 August 2010, 10:47:39 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 10:47:11 PM
Quote from: seniya on 07 August 2010, 06:07:03 PM
Wah2,thread2 yg dimulai oleh samanera pasti berujung seru dan panjang.... Mgkn krn TS-nya seorg samanera.... :)

Btw bgmn pendpt samanera ttg artikel "Agama Buddha & Posisi Wanita" dr buku Mission Accomplished pd hal awal thread ini,terutama ttg kejanggalan seputar kisah pendirian Sangha Bhikkhuni & penetapan 10 aturan keras. Thx

bro postingan anda di page awal amat bermanfaat buat saya, sangat lengkap, bisa minta linknya? saya ingin mengopy yg asli utk tambahan data saya (melengkapi materi kuliah sy). thanks before...

mettacittena,

Itu dr Buddhanet.net,judul lengkapnya adalah Mission Accomplished: The Historical Analysis of Mahaparinibbana Sutta of Digha Nikaya of Pali Canon yg mrpk hsl penelitian Ven. Pategama Gnanarama. Linknya di sini: http://www.buddhanet.net/pdf_file/mission-accomplished.pdf

Dr kata pengantar/pendahuluannya,sptnya beliau seorg bhikkhu sarjana dr Srilanka. Mgkn samaneri mengenal beliau?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 08 August 2010, 10:48:20 AM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 10:47:11 PM
Quote from: seniya on 07 August 2010, 06:07:03 PM
Wah2,thread2 yg dimulai oleh samanera pasti berujung seru dan panjang.... Mgkn krn TS-nya seorg samanera.... :)

Btw bgmn pendpt samanera ttg artikel "Agama Buddha & Posisi Wanita" dr buku Mission Accomplished pd hal awal thread ini,terutama ttg kejanggalan seputar kisah pendirian Sangha Bhikkhuni & penetapan 10 aturan keras. Thx

bro postingan anda di page awal amat bermanfaat buat saya, sangat lengkap, bisa minta linknya? saya ingin mengopy yg asli utk tambahan data saya (melengkapi materi kuliah sy). thanks before...

mettacittena,

Itu dr Buddhanet.net,judul lengkapnya adalah Mission Accomplished: The Historical Analysis of Mahaparinibbana Sutta of Digha Nikaya of Pali Canon yg mrpk hsl penelitian Ven. Pategama Gnanarama. Linknya di sini: http://www.buddhanet.net/pdf_file/mission-accomplished.pdf

Dr kata pengantar/pendahuluannya,sptnya beliau seorg bhikkhu sarjana dr Srilanka. Mgkn samaneri mengenal beliau?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: seniya on 08 August 2010, 10:49:45 AM
 [at] peacemind:

Jd kesimpulannya apakah Sangha bhikkhuni didirikan 5 th setelah penerangan atau 20 th?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 08 August 2010, 10:55:16 AM
lho kok posting yg sama 3 kali?
td saya lihat baru 1, langsung klik thanks, sekarang kok jadi 3 ya?

wahh....ini kerjaan Tuhan yg bisa merobah program, spt nya stlh spoiler dirubah jadi rada aneh, banyak postingan double (malah bukan double lagi krn muncul postingan sama hingga 6 kali yg bro deva kemarin dan yg anda kali ini 3 kali).

btw...thanks bro seniya, tp sy hanya sebutir pasir yg tdk ada artinya, jadi tdk mgk mengenal buddhist scholar yg tingkat international....hehehe....klo disrilanka hampir seluruh sarjana buddhist sll menerbitkan buku2nya....

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 08 August 2010, 11:02:11 AM
Quote from: Indra on 08 August 2010, 08:50:12 AM
Quote from: fabian c on 08 August 2010, 07:49:15 AM
Quote from: Indra on 07 August 2010, 09:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 09:18:43 PM
Quote from: No Pain No Gain on 07 August 2010, 07:28:03 PM
Quote from: pannadevi on 07 August 2010, 06:55:08 PM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 03:28:38 PM

Samaneri yang saya hormati,

Setahu saya yang menggantikan raja sudodhana sebagai raja adalah pangeran Mahanama, pangeran Mahanama adalah kakak pangeran Anuruddha, beliau adalah seorang Ariya (sakadagami).
Dalam Dhammapada attakatha dikatakan bahwa ibu dari pangeran Vidudabha/Vitutabha adalah keturunan pelayan di rumah pangeran Mahanama.

^:)^


Romo Fabian yg baik,
thanks romo, langsung saya cari di DC ketemu di link ini :    
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5875.300.html

sedang kisah pangeran Vidudabha yg saya dapatkan dari mata kuliah sy, ibu beliau adalah seorang gadis budak yg dikirim suku Sakya sbg ejekan kepada Raja yg sdh tua tapi masih sll mencari wanita, mereka jengkel tapi tidak bisa apa2 krn memenuhi permintaan Raja Pasenadi. Pangeran Vidudabha tdk bisa menerima ejekan ketika mendengar dia diejek dg cara mencuci kursinya yg habis di duduki dg susu krn dia adalah anak budak, karena dia selama ini tidak tahu, sehingga menjadi sakit hati dan bersumpah akan membalas penghinaan tsb dg membasmi suku Sakya hingga habis tuntas.

wah jadi keinget ttg relik sang Buddha yg bisa sampai ke negera Naga, mau tanya sekalian ah ke TS nya....

Rev.Peacemind masih berkaitan dg penumpasan suku Sakya, setelah kembali mereka bermalam di suatu tempat yg dekat dg sungai, malam hari sungai meluap dan mereka semua terseret hanyut tanpa sisa, meninggal semua. sehingga relik yang mereka bawa masuk ke negara Naga di negeri bawah dunia. ini cerita bener ga ya? atau mungkin saya yg ga jelas. (mohon tanggapan)

mettacittena,

bro fabian itu romo yakk? ;D

br tau saya...

saya membaca kisah ttg sejarah Sangha di Indonesia, disitu beliau menceritakan ttg bagaimana sejarah berdirinya Vihara Dhammacakka, ternyata dulu beliau termasuk salah satu samanera yg bersama Bhikkhu Sombhat, jadi saya panggil beliau Romo, krn saya menghormati beliau sbg seseorang yg pernah menjadi anggota sangha, pernah menjalani kehidupan suci, bahkan ikut berjuang dikala Buddha Dhamma belum dikenal seluruh rakyat Indonesia, walau sekarang beliau memilih jalur lain, tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang umat perumah tanggapun bisa mencapai kesucian.
semoga bro NPNG bisa menerima penjelasan saya, thanks.

mettacittena,

apa hubungannya sebutan ROMO dengan mencapai kesucian?

Bro Indra yang baik,

Hubungan romo dengan kesucian adalah:
- Romo bisa jadi suci bila berlatih Vipassana
- Romo tidak jadi suci bila tidak berlatih Vipassana.

Saya kira hanya di Indonesia bekas Bhikkhu dipanggil romo, di negara lain bekas Bhikkhu kembali menjadi umat awam biasa, tidak dipanggil romo atau sejenisnya. Saya hanya pernah menjadi Samanera, tapi saya sekarang umat awam biasa dan bukan Samanera, oleh karena itu saya lebih suka dipanggil sebagai umat awam biasa.

_/\_


Halo Mat....

;D  ;D  ;D  :P nahhh...bener khan...dikerjain....

bro Indra yg baik,
saya punya teman yg dlu nya samanera, stlh 2 thn beliau lepas jubah dan mengajar di sekolah Buddhist International (lupa namanya) di Jakarta, beliau masih mengajar sekolah minggu juga, hingga kini beliau tetap dipanggil Romo, wkt sy pabbajja 2005 beliau juga, sekarang beliau udah jadi umat awam tp tetap dipanggil Romo. Sehingga bagi saya bukan hal aneh dan sudah semestinya kita menghormati mereka.

btw, dari kemarin siang hingga malam saya terus search utk pertanyaan anda yg minta link Cullavaggapali dari Vinayapitaka, namun sy gagal menemukan nya, gagal disini maksudya link yg english version shg memudahkan kalian membaca, sy angkat tangan krn search selama itu, dari siang hingga malam, akhirnya pagi ini sy ambilkan dari buku, tp ternyata 20 lbr, tdk mungkin sy krm lwt sini, ini yg english version belum yg palinya (pali biasanya lebih panjang dari english). Jadi sy krm lewat email aja ya bro....

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 08 August 2010, 11:06:37 AM
Quote from: seniya on 08 August 2010, 10:49:45 AM
[at] peacemind:

Jd kesimpulannya apakah Sangha bhikkhuni didirikan 5 th setelah penerangan atau 20 th?

iya sama, saya juga menyimpan pertanyaan itu dlm hati selama ini, krn keterbatasan sy, maklum kuliah agama Buddha juga barusan aja, tapi di Srilanka seluruh dosen sll mengajarkan setelah 20 thn, nahh...kita mesti selidiki dulu lebih mendalam, tidak mungkin mereka keliru karena mereka asli Theravadin Buddhist sejak abad 3SM, bagus juga materi ini, sangat bermanfaat, karena kita jadi tahu....

mettacittena
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 08 August 2010, 12:20:56 PM
Quote from: seniya on 08 August 2010, 10:49:45 AM
[at] peacemind:

Jd kesimpulannya apakah Sangha bhikkhuni didirikan 5 th setelah penerangan atau 20 th?

Sesuai dengan kitab komentar dari Mahāsamayasutta dan sub-komentar dari Bhikkhunikkhandhaka, dan jika memang Raja Suddhodana meninggal pada saat Sang BUddha memasuki vassa ke lima, berarti Bhikkkhunisangha didirikan pada tahun ke lima setelah penerangan agung.

Btw, saya pernah bertemu dengan ven, Pategama Gnanarama.Beliau bhikkhu dari Sri Lanka.  Kebetulan kita bertemu di toko buku di Sri Lanka dan bercakap-cakap singkat. Saat ini beliau adalah the principle of the Buddhist and Pali College, Singapore.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 09 August 2010, 11:14:43 AM
 [at] mat  Fabian kalau mau dilanjutkan di thread ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17611.25/topicseen.html
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: adi lim on 09 August 2010, 11:35:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kalau begitu B.Mettanando ada masalah !
jelas ada di Sutta tapi mengeluarkan pernyataan tidak ada di Tipitaka !
pengetahuan tentang Tipitaka tidak valid alias ASBUN
_/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 09 August 2010, 12:26:59 PM
Quote from: adi lim on 09 August 2010, 11:35:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kalau begitu B.Mettanando ada masalah !
jelas ada di Sutta tapi mengeluarkan pernyataan tidak ada di Tipitaka !
pengetahuan tentang Tipitaka tidak valid alias ASBUN
_/\_
keknya belum salah, belum ada di sutta yang menceritakan ratu maha maya yang melahirkan siddharta.
OOT kalau mau ikut nyambung ke sini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17611.msg283770
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 09 August 2010, 10:59:14 PM
Quote from: ryu on 09 August 2010, 12:26:59 PM
Quote from: adi lim on 09 August 2010, 11:35:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kalau begitu B.Mettanando ada masalah !
jelas ada di Sutta tapi mengeluarkan pernyataan tidak ada di Tipitaka !
pengetahuan tentang Tipitaka tidak valid alias ASBUN
_/\_
keknya belum salah, belum ada di sutta yang menceritakan ratu maha maya yang melahirkan siddharta.
OOT kalau mau ikut nyambung ke sini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17611.msg283770

Lho kan tertulis dalam Mahāpādanasutta, Dīghanikāya, bahwa ibu Buddha Gotama adalah ratu Maya.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 09 August 2010, 11:02:29 PM
Quote from: Peacemind on 09 August 2010, 10:59:14 PM
Quote from: ryu on 09 August 2010, 12:26:59 PM
Quote from: adi lim on 09 August 2010, 11:35:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kalau begitu B.Mettanando ada masalah !
jelas ada di Sutta tapi mengeluarkan pernyataan tidak ada di Tipitaka !
pengetahuan tentang Tipitaka tidak valid alias ASBUN
_/\_
keknya belum salah, belum ada di sutta yang menceritakan ratu maha maya yang melahirkan siddharta.
OOT kalau mau ikut nyambung ke sini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17611.msg283770

Lho kan tertulis dalam Mahāpādanasutta, Dīghanikāya, bahwa ibu Buddha Gotama adalah ratu Maya.
maksud saya, menceritakan ratu maya mimpi gajah, trus ke taman lumbini, trus melahirkan siddharta.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 09 August 2010, 11:23:50 PM
Quote from: ryu on 09 August 2010, 11:02:29 PM
Quote from: Peacemind on 09 August 2010, 10:59:14 PM
Quote from: ryu on 09 August 2010, 12:26:59 PM
Quote from: adi lim on 09 August 2010, 11:35:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kalau begitu B.Mettanando ada masalah !
jelas ada di Sutta tapi mengeluarkan pernyataan tidak ada di Tipitaka !
pengetahuan tentang Tipitaka tidak valid alias ASBUN
_/\_
keknya belum salah, belum ada di sutta yang menceritakan ratu maha maya yang melahirkan siddharta.
OOT kalau mau ikut nyambung ke sini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17611.msg283770

Lho kan tertulis dalam Mahāpādanasutta, Dīghanikāya, bahwa ibu Buddha Gotama adalah ratu Maya.
maksud saya, menceritakan ratu maya mimpi gajah, trus ke taman lumbini, trus melahirkan siddharta.

Oh begitu. :)
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: ryu on 09 August 2010, 11:26:11 PM
Quote from: Peacemind on 09 August 2010, 11:23:50 PM
Quote from: ryu on 09 August 2010, 11:02:29 PM
Quote from: Peacemind on 09 August 2010, 10:59:14 PM
Quote from: ryu on 09 August 2010, 12:26:59 PM
Quote from: adi lim on 09 August 2010, 11:35:10 AM
Quote from: fabian c on 07 August 2010, 11:05:24 AM
Quote from: Indra on 06 August 2010, 03:32:09 PM
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

_/\_
kalau begitu B.Mettanando ada masalah !
jelas ada di Sutta tapi mengeluarkan pernyataan tidak ada di Tipitaka !
pengetahuan tentang Tipitaka tidak valid alias ASBUN
_/\_
keknya belum salah, belum ada di sutta yang menceritakan ratu maha maya yang melahirkan siddharta.
OOT kalau mau ikut nyambung ke sini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17611.msg283770

Lho kan tertulis dalam Mahāpādanasutta, Dīghanikāya, bahwa ibu Buddha Gotama adalah ratu Maya.
maksud saya, menceritakan ratu maya mimpi gajah, trus ke taman lumbini, trus melahirkan siddharta.

Oh begitu. :)
maaf sam threadnya jadi agak OOT ;D
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Adhitthana on 10 August 2010, 01:21:59 AM
Quote from: Peacemind on 08 August 2010, 12:20:56 PM
Quote from: seniya on 08 August 2010, 10:49:45 AM
[at] peacemind:

Jd kesimpulannya apakah Sangha bhikkhuni didirikan 5 th setelah penerangan atau 20 th?

Sesuai dengan kitab komentar dari Mahāsamayasutta dan sub-komentar dari Bhikkhunikkhandhaka, dan jika memang Raja Suddhodana meninggal pada saat Sang BUddha memasuki vassa ke lima, berarti Bhikkkhunisangha didirikan pada tahun ke lima setelah penerangan agung.

Btw, saya pernah bertemu dengan ven, Pategama Gnanarama.Beliau bhikkhu dari Sri Lanka.  Kebetulan kita bertemu di toko buku di Sri Lanka dan bercakap-cakap singkat. Saat ini beliau adalah the principle of the Buddhist and Pali College, Singapore.
tanya juga  ;D

Vinaya utk para Bhikkhu ... diterapkan pada vassa brapa?

Setelah Raja Suddhodana meninggal  .... apa ada kemungkinan Pangeran Rahula yg mengantikan?
mirip kisah kerajaan terakhir Tiongkok ..... Kaisar terakhir Pu yii yg di angkat pada usia muda, tapi kendali/kekuasaan kerajan tetap di pegang Ibunda ratu .....
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 10 August 2010, 01:31:47 AM
Quote from: Virya on 10 August 2010, 01:21:59 AM
Quote from: Peacemind on 08 August 2010, 12:20:56 PM
Quote from: seniya on 08 August 2010, 10:49:45 AM
[at] peacemind:

Jd kesimpulannya apakah Sangha bhikkhuni didirikan 5 th setelah penerangan atau 20 th?

Sesuai dengan kitab komentar dari Mahāsamayasutta dan sub-komentar dari Bhikkhunikkhandhaka, dan jika memang Raja Suddhodana meninggal pada saat Sang BUddha memasuki vassa ke lima, berarti Bhikkkhunisangha didirikan pada tahun ke lima setelah penerangan agung.

Btw, saya pernah bertemu dengan ven, Pategama Gnanarama.Beliau bhikkhu dari Sri Lanka.  Kebetulan kita bertemu di toko buku di Sri Lanka dan bercakap-cakap singkat. Saat ini beliau adalah the principle of the Buddhist and Pali College, Singapore.
tanya juga  ;D

Vinaya utk para Bhikkhu ... diterapkan pada vassa brapa?

Setelah Raja Suddhodana meninggal  .... apa ada kemungkinan Pangeran Rahula yg mengantikan?
mirip kisah kerajaan terakhir Tiongkok ..... Kaisar terakhir Pu yii yg di angkat pada usia muda, tapi kendali/kekuasaan kerajan tetap di pegang Ibunda ratu .....
Vinaya bukan langsung secara lengkap, melainkan ditambahkan dari waktu ke waktu. Peraturan dibuat ketika ada pelanggaran. Bukannya peraturan dibuat untuk dilanggar. ;)
Dari vassa 1 pastinya telah ada hanya saja dalam bentuk lebih sederhana.

Rahula menjadi samanera ketika Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, setelah Rahula oleh Ibunya Yasodhara diminta untuk meminta warisan pada Sang Buddha. Tidak lama kemudian oleh Sang Buddha, Rahula ditabhiskan menjadi samanera. Saat itu penabhisan tidak perlu persetujuan dari orang tua, wali yang bertanggungjawab terhadap calon samanera/i atau bhikkhu/ni. Karena ditabhiskan tanpa persetujuan Raja Suddhodhana, Raja Suddhodhana menjadi sangat bersedih hati melihat satu per satu pewaris tahta sah meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa. Kemudian atas permintaan Raja Suddhodhana inilah Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa untuk menjadi samanera/i atau bhikkhu/ni harus mendapat persetujuan dari orang tua atau wali.
Kesimpulan: Rahula bahkan telah meninggalkan istana sebelum Raja Suddhodhana meninggal.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 10 August 2010, 05:42:38 PM
 [at] Ryu : It's ok, OOT.
[at] Viriya: Sdr Jerry sudah menjawab pertanyaan dengan sangat baik.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 11 August 2010, 09:56:50 PM
Quote from: Jerry on 10 August 2010, 01:31:47 AM
Quote from: Virya on 10 August 2010, 01:21:59 AM
Quote from: Peacemind on 08 August 2010, 12:20:56 PM
Quote from: seniya on 08 August 2010, 10:49:45 AM
[at] peacemind:

Jd kesimpulannya apakah Sangha bhikkhuni didirikan 5 th setelah penerangan atau 20 th?

Sesuai dengan kitab komentar dari Mahāsamayasutta dan sub-komentar dari Bhikkhunikkhandhaka, dan jika memang Raja Suddhodana meninggal pada saat Sang BUddha memasuki vassa ke lima, berarti Bhikkkhunisangha didirikan pada tahun ke lima setelah penerangan agung.

Btw, saya pernah bertemu dengan ven, Pategama Gnanarama.Beliau bhikkhu dari Sri Lanka.  Kebetulan kita bertemu di toko buku di Sri Lanka dan bercakap-cakap singkat. Saat ini beliau adalah the principle of the Buddhist and Pali College, Singapore.
tanya juga  ;D

Vinaya utk para Bhikkhu ... diterapkan pada vassa brapa?

Setelah Raja Suddhodana meninggal  .... apa ada kemungkinan Pangeran Rahula yg mengantikan?
mirip kisah kerajaan terakhir Tiongkok ..... Kaisar terakhir Pu yii yg di angkat pada usia muda, tapi kendali/kekuasaan kerajan tetap di pegang Ibunda ratu .....
Vinaya bukan langsung secara lengkap, melainkan ditambahkan dari waktu ke waktu. Peraturan dibuat ketika ada pelanggaran. Bukannya peraturan dibuat untuk dilanggar. ;)
Dari vassa 1 pastinya telah ada hanya saja dalam bentuk lebih sederhana.

Rahula menjadi samanera ketika Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, setelah Rahula oleh Ibunya Yasodhara diminta untuk meminta warisan pada Sang Buddha. Tidak lama kemudian oleh Sang Buddha, Rahula ditabhiskan menjadi samanera. Saat itu penabhisan tidak perlu persetujuan dari orang tua, wali yang bertanggungjawab terhadap calon samanera/i atau bhikkhu/ni. Karena ditabhiskan tanpa persetujuan Raja Suddhodhana, Raja Suddhodhana menjadi sangat bersedih hati melihat satu per satu pewaris tahta sah meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa. Kemudian atas permintaan Raja Suddhodhana inilah Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa untuk menjadi samanera/i atau bhikkhu/ni harus mendapat persetujuan dari orang tua atau wali.
Kesimpulan: Rahula bahkan telah meninggalkan istana sebelum Raja Suddhodhana meninggal.

Quote from: Peacemind on 10 August 2010, 05:42:38 PM
[at] Ryu : It's ok, OOT.
[at] Viriya: Sdr Jerry sudah menjawab pertanyaan dengan sangat baik.

Bro Jerry yg baik,
maaf, yg saya beri tanda bold sepertinya terlewat ya...?

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 11 August 2010, 10:32:10 PM
Namaste Neri

Tergantung definisi vinaya yang bagaimana? Seketika Sangha terbentuk pasti perlu disiplin atau rambu-rambu atau peraturan (vinaya). Dalam bentuk paling sederhana, pancasila pun termasuk vinaya kan? Hanya saja yang awalnya 6 orang anggota Sangha yaitu Sang Buddha dan pancavaggiya bhikkhu, kemudian sasana semakin berkembang. Begitu pula semakin banyak pula pelanggaran di luar vinaya yang ada, sehingga mengharuskan Sang Buddha untuk menambahkan rambu-rambu dalam mendisiplinkan dan mengarahkan tindak tanduk anggota Sangha dalam menjalani kehidupan suci. Demikian yang saya pahami.

be happy
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 12 August 2010, 08:11:13 AM
Quote from: Jerry on 11 August 2010, 10:32:10 PM
Namaste Neri

Tergantung definisi vinaya yang bagaimana? Seketika Sangha terbentuk pasti perlu disiplin atau rambu-rambu atau peraturan (vinaya). Dalam bentuk paling sederhana, pancasila pun termasuk vinaya kan? Hanya saja yang awalnya 6 orang anggota Sangha yaitu Sang Buddha dan pancavaggiya bhikkhu, kemudian sasana semakin berkembang. Begitu pula semakin banyak pula pelanggaran di luar vinaya yang ada, sehingga mengharuskan Sang Buddha untuk menambahkan rambu-rambu dalam mendisiplinkan dan mengarahkan tindak tanduk anggota Sangha dalam menjalani kehidupan suci. Demikian yang saya pahami.

be happy

Betul sekali. Pada umumnya, dipecaya bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan 20 tahun setelah penerangan agung Sang Buddha. Namun ada beberapa peraturan yang sangat jelas ditetapkan Sang Buddha sebelum masa Vassa ke 20. Sebagai contoh, peraturan mengenai tempat tinggal yang bisa diterima oleh seorang bhikkhu, peraturan mengenai ijin orangtua yang harus didapat seseorang yang ingin menjadi seorang samanera atau bhikkhu, dan juga peraturan cara penahbisan. Peraturan2 ini muncul sebelum masa vassa ke 20 Sang Buddha.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 12 August 2010, 07:24:40 PM
Quote from: Peacemind on 12 August 2010, 08:11:13 AM
Betul sekali. Pada umumnya, dipecaya bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan 20 tahun setelah penerangan agung Sang Buddha. Namun ada beberapa peraturan yang sangat jelas ditetapkan Sang Buddha sebelum masa Vassa ke 20. Sebagai contoh, peraturan mengenai tempat tinggal yang bisa diterima oleh seorang bhikkhu, peraturan mengenai ijin orangtua yang harus didapat seseorang yang ingin menjadi seorang samanera atau bhikkhu, dan juga peraturan cara penahbisan. Peraturan2 ini muncul sebelum masa vassa ke 20 Sang Buddha.
Kalau peraturan bahwa petapa dari golongan lain yang hendak ditabhiskan dalam dhamma-vinaya ariya harus menunggu 2 tahun? Itu vinaya bukan ya Sam?

be happy,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 12 August 2010, 07:29:30 PM
Quote from: Jerry on 12 August 2010, 07:24:40 PM
Quote from: Peacemind on 12 August 2010, 08:11:13 AM
Betul sekali. Pada umumnya, dipecaya bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan 20 tahun setelah penerangan agung Sang Buddha. Namun ada beberapa peraturan yang sangat jelas ditetapkan Sang Buddha sebelum masa Vassa ke 20. Sebagai contoh, peraturan mengenai tempat tinggal yang bisa diterima oleh seorang bhikkhu, peraturan mengenai ijin orangtua yang harus didapat seseorang yang ingin menjadi seorang samanera atau bhikkhu, dan juga peraturan cara penahbisan. Peraturan2 ini muncul sebelum masa vassa ke 20 Sang Buddha.
Kalau peraturan bahwa petapa dari golongan lain yang hendak ditabhiskan dalam dhamma-vinaya ariya harus menunggu 2 tahun? Itu vinaya bukan ya Sam?

be happy,

2 tahun? bukannya "harus menjalani masa percobaan selama empat bulan"?
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 12 August 2010, 07:36:27 PM
4 bulan ya? Kurang ingat. Thanks Bang Kum yang baik untuk koreksinya. _/\_
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 12 August 2010, 11:44:37 PM
Quote from: Jerry on 12 August 2010, 07:24:40 PM
Quote from: Peacemind on 12 August 2010, 08:11:13 AM
Betul sekali. Pada umumnya, dipecaya bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan 20 tahun setelah penerangan agung Sang Buddha. Namun ada beberapa peraturan yang sangat jelas ditetapkan Sang Buddha sebelum masa Vassa ke 20. Sebagai contoh, peraturan mengenai tempat tinggal yang bisa diterima oleh seorang bhikkhu, peraturan mengenai ijin orangtua yang harus didapat seseorang yang ingin menjadi seorang samanera atau bhikkhu, dan juga peraturan cara penahbisan. Peraturan2 ini muncul sebelum masa vassa ke 20 Sang Buddha.
Kalau peraturan bahwa petapa dari golongan lain yang hendak ditabhiskan dalam dhamma-vinaya ariya harus menunggu 2 tahun? Itu vinaya bukan ya Sam?

be happy,

Betul kata Sdr Indra. Penganut ajaran lain harus menjalani masa probation selama empat bulan sebelum ditahbis menjadi bhikkhu. Peraturan ini memang tidak ada di antara 227 peraturan kebhikkhuan, tetapi karena sifatnya peraturan, maka harus dikategorikan ke dalam vinaya (kedisiplinan).
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 10:52:25 PM
Quote from: Peacemind on 12 August 2010, 08:11:13 AM
Betul sekali. Pada umumnya, dipecaya bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan 20 tahun setelah penerangan agung Sang Buddha. Namun ada beberapa peraturan yang sangat jelas ditetapkan Sang Buddha sebelum masa Vassa ke 20. Sebagai contoh, peraturan mengenai tempat tinggal yang bisa diterima oleh seorang bhikkhu, peraturan mengenai ijin orangtua yang harus didapat seseorang yang ingin menjadi seorang samanera atau bhikkhu, dan juga peraturan cara penahbisan. Peraturan2 ini muncul sebelum masa vassa ke 20 Sang Buddha.

Rev.Peacemind yg sy hormati,
kita satu almamater otomatis pengetahuan kita bersumber dari satu sumber (dosen kita), tetapi ada yg menjadi pertanyaan dalam hati saya, jika Vinaya diterapkan setelah 20 thn, lalu kejadian Kosambi yang mengakibatkan sang Buddha menjalankan masa vassa sendirian di hutan Parileyya, itu bagaimana? bagaimana mungkin mereka bisa menyebut diri mereka sbg Vinayadhara dan Dhammadhara, sedangkan vinaya aja belum diterapkan (kejadian Kosambi adalah 10 thn setelah sang Buddha mencapai penerangan).

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 13 August 2010, 11:02:04 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 10:52:25 PM
Rev.Peacemind yg sy hormati,
kita satu almamater otomatis pengetahuan kita bersumber dari satu sumber (dosen kita), tetapi ada yg menjadi pertanyaan dalam hati saya, jika Vinaya diterapkan setelah 20 thn, lalu kejadian Kosambi yang mengakibatkan sang Buddha menjalankan masa vassa sendirian di hutan Parileyya, itu bagaimana? bagaimana mungkin mereka bisa menyebut diri mereka sbg Vinayadhara dan Dhammadhara, sedangkan vinaya aja belum diterapkan (kejadian Kosambi adalah 10 thn setelah sang Buddha mencapai penerangan).

mettacittena,
Bullseye! :jempol:

Kalau begitu ada hal mendasar yang lebih perlu diketahui terlebih dulu oleh umat awam seperti saya ini..
Dari mana adanya informasi dan keyakinan bahwa vinaya mulai ditetapkan pada masa vassa ke-20? Berasal dari sumber mana pernyataan ini? Thanks untuk Samanera & Samaneri atas jawabannya. GRP sent. :)

be happy
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 11:14:46 PM
Quote from: Jerry on 13 August 2010, 11:02:04 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 10:52:25 PM
Rev.Peacemind yg sy hormati,
kita satu almamater otomatis pengetahuan kita bersumber dari satu sumber (dosen kita), tetapi ada yg menjadi pertanyaan dalam hati saya, jika Vinaya diterapkan setelah 20 thn, lalu kejadian Kosambi yang mengakibatkan sang Buddha menjalankan masa vassa sendirian di hutan Parileyya, itu bagaimana? bagaimana mungkin mereka bisa menyebut diri mereka sbg Vinayadhara dan Dhammadhara, sedangkan vinaya aja belum diterapkan (kejadian Kosambi adalah 10 thn setelah sang Buddha mencapai penerangan).

mettacittena,
Bullseye! :jempol:

Kalau begitu ada hal mendasar yang lebih perlu diketahui terlebih dulu oleh umat awam seperti saya ini..
Dari mana adanya informasi dan keyakinan bahwa vinaya mulai ditetapkan pada masa vassa ke-20? Berasal dari sumber mana pernyataan ini? Thanks untuk Samanera & Samaneri atas jawabannya. GRP sent. :)

be happy

thanks GRP nya bro, saya malah nanya lo ini, bukan menjawab pertanyaan, khan saya nanya kok aneh adanya pertikaian Vinayadhara dan Dhammadhara yg tidak bisa dilerai oleh sang Buddha sehingga beliau memilih mengasingkan diri ke hutan parileyya....pdhal itu masa 10 thn berarti sebelum vinaya diterapkan....kok mereka bisa mengangkat diri sendiri menjadi seorang vinayadhara.....pdhal guru mereka aja belum menerapkan....hehehe....

btw, bullseye itu artinya apa bro?


mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 11:19:08 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

sumber tidak resmi?

kasus Ven.Sudinna ada di Veranjanasutta, Vinayapitaka dalam Parajikapali.
didlm sutta itu dijelaskan kasus beliau. apakah ini bukan sumber tidak resmi? vinayapitaka lo bro.... ;D
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 13 August 2010, 11:22:01 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:19:08 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

sumber tidak resmi?

kasus Ven.Sudinna ada di Veranjanasutta, Vinayapitaka dalam Parajikapali.
didlm sutta itu dijelaskan kasus beliau. apakah ini bukan sumber tidak resmi? vinayapitaka lo bro.... ;D

Vinaya Pitaka tentu saja sumber resmi tapi sumber yg saya gunakan adalah sumber tidak resmi karena saya tidak punya akses ke Vinaya Pitaka
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 13 August 2010, 11:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:14:46 PM
thanks GRP nya bro, saya malah nanya lo ini, bukan menjawab pertanyaan, khan saya nanya kok aneh adanya pertikaian Vinayadhara dan Dhammadhara yg tidak bisa dilerai oleh sang Buddha sehingga beliau memilih mengasingkan diri ke hutan parileyya....pdhal itu masa 10 thn berarti sebelum vinaya diterapkan....kok mereka bisa mengangkat diri sendiri menjadi seorang vinayadhara.....pdhal guru mereka aja belum menerapkan....hehehe....

btw, bullseye itu artinya apa bro?
mettacittena,
Justru itu Neri, saya bertanya darimana informasi yang selama ini didapat tentang vinaya ditetapkan pada masa vassa ke-20 Sang Buddha? :)

Bullseye = tepat sasaran.

be happy
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 11:35:01 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:22:01 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:19:08 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

sumber tidak resmi?

kasus Ven.Sudinna ada di Veranjanasutta, Vinayapitaka dalam Parajikapali.
didlm sutta itu dijelaskan kasus beliau. apakah ini bukan sumber tidak resmi? vinayapitaka lo bro.... ;D

Vinaya Pitaka tentu saja sumber resmi tapi sumber yg saya gunakan adalah sumber tidak resmi karena saya tidak punya akses ke Vinaya Pitaka

ohh...begitu....
ok, klo itu yg dimaksudkan, bahwa anda tidak bisa akses ke sumber resmi, jadi ada sumber lain yg digunakan, kalo boleh tahu bro, sumber dari mana? sehingga dpt kita gunakan bersama jika ada linknya....tolong donk bagi linknya....

barusan tadi sy nyoba posting pathamaparajika dari parajikapali tp mental terus karena saking panjangnya, udah sy potong menjadi beberapa bagian, tetap mental masih kepanjangan, sampai 3 kali mencoba masih kepanjangan, walau udah sy potong menjadi lebih pendek, akhirnya ga jadi sy posting. saya kirim lewat email aja ya...

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: gajeboh angek on 13 August 2010, 11:36:59 PM
kalo pali sih aye yakin batara indra udah punya
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 11:40:17 PM
Quote from: Jerry on 13 August 2010, 11:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:14:46 PM
thanks GRP nya bro, saya malah nanya lo ini, bukan menjawab pertanyaan, khan saya nanya kok aneh adanya pertikaian Vinayadhara dan Dhammadhara yg tidak bisa dilerai oleh sang Buddha sehingga beliau memilih mengasingkan diri ke hutan parileyya....pdhal itu masa 10 thn berarti sebelum vinaya diterapkan....kok mereka bisa mengangkat diri sendiri menjadi seorang vinayadhara.....pdhal guru mereka aja belum menerapkan....hehehe....

btw, bullseye itu artinya apa bro?
mettacittena,
Justru itu Neri, saya bertanya darimana informasi yang selama ini didapat tentang vinaya ditetapkan pada masa vassa ke-20 Sang Buddha? :)

Bullseye = tepat sasaran.

be happy

ya memang saya juga pengin tahu, maka nya nanya TS nya mumpung masih jadi bahan diskusi.
karena selama kuliah saya juga dapat demikian dari dosen saya, beliau pun tentu juga sama. jadi dg adanya diskusi ini bisa dipelajari bersama.

oh bullseye itu tepat sasaran ya? kirain plesetan....

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 13 August 2010, 11:41:23 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:35:01 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:22:01 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:19:08 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

sumber tidak resmi?

kasus Ven.Sudinna ada di Veranjanasutta, Vinayapitaka dalam Parajikapali.
didlm sutta itu dijelaskan kasus beliau. apakah ini bukan sumber tidak resmi? vinayapitaka lo bro.... ;D

Vinaya Pitaka tentu saja sumber resmi tapi sumber yg saya gunakan adalah sumber tidak resmi karena saya tidak punya akses ke Vinaya Pitaka

ohh...begitu....
ok, klo itu yg dimaksudkan, bahwa anda tidak bisa akses ke sumber resmi, jadi ada sumber lain yg digunakan, kalo boleh tahu bro, sumber dari mana? sehingga dpt kita gunakan bersama jika ada linknya....tolong donk bagi linknya....

barusan tadi sy nyoba posting pathamaparajika dari parajikapali tp mental terus karena saking panjangnya, udah sy potong menjadi beberapa bagian, tetap mental masih kepanjangan, sampai 3 kali mencoba masih kepanjangan, walau udah sy potong menjadi lebih pendek, akhirnya ga jadi sy posting. saya kirim lewat email aja ya...

mettacittena,

RAPB, you have it already, so please help yourself
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 13 August 2010, 11:41:56 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:40:17 PM
Quote from: Jerry on 13 August 2010, 11:24:26 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:14:46 PM
thanks GRP nya bro, saya malah nanya lo ini, bukan menjawab pertanyaan, khan saya nanya kok aneh adanya pertikaian Vinayadhara dan Dhammadhara yg tidak bisa dilerai oleh sang Buddha sehingga beliau memilih mengasingkan diri ke hutan parileyya....pdhal itu masa 10 thn berarti sebelum vinaya diterapkan....kok mereka bisa mengangkat diri sendiri menjadi seorang vinayadhara.....pdhal guru mereka aja belum menerapkan....hehehe....

btw, bullseye itu artinya apa bro?
mettacittena,
Justru itu Neri, saya bertanya darimana informasi yang selama ini didapat tentang vinaya ditetapkan pada masa vassa ke-20 Sang Buddha? :)

Bullseye = tepat sasaran.

be happy

ya memang saya juga pengin tahu, maka nya nanya TS nya mumpung masih jadi bahan diskusi.
karena selama kuliah saya juga dapat demikian dari dosen saya, beliau pun tentu juga sama. jadi dg adanya diskusi ini bisa dipelajari bersama.

oh bullseye itu tepat sasaran ya? kirain plesetan....

mettacittena,

bullseye=telor
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 11:42:32 PM
Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 13 August 2010, 11:36:59 PM
kalo pali sih aye yakin batara indra udah punya

jika udah ada pali, berarti udah lengkap donk, karena bro Indra juga punya english version nya....ga jadi kirim deh klo gtu...hehehe...
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 13 August 2010, 11:45:13 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:41:23 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:35:01 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:22:01 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:19:08 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

sumber tidak resmi?

kasus Ven.Sudinna ada di Veranjanasutta, Vinayapitaka dalam Parajikapali.
didlm sutta itu dijelaskan kasus beliau. apakah ini bukan sumber tidak resmi? vinayapitaka lo bro.... ;D

Vinaya Pitaka tentu saja sumber resmi tapi sumber yg saya gunakan adalah sumber tidak resmi karena saya tidak punya akses ke Vinaya Pitaka

ohh...begitu....
ok, klo itu yg dimaksudkan, bahwa anda tidak bisa akses ke sumber resmi, jadi ada sumber lain yg digunakan, kalo boleh tahu bro, sumber dari mana? sehingga dpt kita gunakan bersama jika ada linknya....tolong donk bagi linknya....

barusan tadi sy nyoba posting pathamaparajika dari parajikapali tp mental terus karena saking panjangnya, udah sy potong menjadi beberapa bagian, tetap mental masih kepanjangan, sampai 3 kali mencoba masih kepanjangan, walau udah sy potong menjadi lebih pendek, akhirnya ga jadi sy posting. saya kirim lewat email aja ya...

mettacittena,

RAPB, you have it already, so please help yourself

ohhh....RAPB....hehehe....ok deh....sekalian info donk, buku brp, hal brp...jadi langsung
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 13 August 2010, 11:47:51 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:45:13 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:41:23 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:35:01 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:22:01 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 11:19:08 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

sumber tidak resmi?

kasus Ven.Sudinna ada di Veranjanasutta, Vinayapitaka dalam Parajikapali.
didlm sutta itu dijelaskan kasus beliau. apakah ini bukan sumber tidak resmi? vinayapitaka lo bro.... ;D

Vinaya Pitaka tentu saja sumber resmi tapi sumber yg saya gunakan adalah sumber tidak resmi karena saya tidak punya akses ke Vinaya Pitaka

ohh...begitu....
ok, klo itu yg dimaksudkan, bahwa anda tidak bisa akses ke sumber resmi, jadi ada sumber lain yg digunakan, kalo boleh tahu bro, sumber dari mana? sehingga dpt kita gunakan bersama jika ada linknya....tolong donk bagi linknya....

barusan tadi sy nyoba posting pathamaparajika dari parajikapali tp mental terus karena saking panjangnya, udah sy potong menjadi beberapa bagian, tetap mental masih kepanjangan, sampai 3 kali mencoba masih kepanjangan, walau udah sy potong menjadi lebih pendek, akhirnya ga jadi sy posting. saya kirim lewat email aja ya...

mettacittena,

RAPB, you have it already, so please help yourself

ohhh....RAPB....hehehe....ok deh....sekalian info donk, buku brp, hal brp...jadi langsung

baca daftar isi, "Bhikkhu Sudinna"
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 14 August 2010, 12:45:05 AM
Quote from: Jerry on 13 August 2010, 11:02:04 PM
Quote from: pannadevi on 13 August 2010, 10:52:25 PM
Rev.Peacemind yg sy hormati,
kita satu almamater otomatis pengetahuan kita bersumber dari satu sumber (dosen kita), tetapi ada yg menjadi pertanyaan dalam hati saya, jika Vinaya diterapkan setelah 20 thn, lalu kejadian Kosambi yang mengakibatkan sang Buddha menjalankan masa vassa sendirian di hutan Parileyya, itu bagaimana? bagaimana mungkin mereka bisa menyebut diri mereka sbg Vinayadhara dan Dhammadhara, sedangkan vinaya aja belum diterapkan (kejadian Kosambi adalah 10 thn setelah sang Buddha mencapai penerangan).

mettacittena,
Bullseye! :jempol:

Kalau begitu ada hal mendasar yang lebih perlu diketahui terlebih dulu oleh umat awam seperti saya ini..
Dari mana adanya informasi dan keyakinan bahwa vinaya mulai ditetapkan pada masa vassa ke-20? Berasal dari sumber mana pernyataan ini? Thanks untuk Samanera & Samaneri atas jawabannya. GRP sent. :)

be happy

Dalam kasus Parajika pertama yang dilatar belakangi oleh kisah bhikkhu Sudinna, dikatakan peraturan parajika pertama belum ditetapkan (Apaññatte sikkhāpade). Istilah ini telah dijelaskan dalam kitab komentar sebagai berikut:

"Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ''ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta''nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ''apaññatte sikkhāpade''ti."

Kira2 artinya begini:

"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'.

Pernyataan di atas dengan jelas mengatakan bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Namun demikian, kitab sub komentar (ṭika) menjelaskan bahwa ada beberapa Buddhis (keci= bisa juga bebrapa bhikkhu atau sekte Buddhis) yang menerangkan bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18. Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 14 August 2010, 01:12:44 AM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 12:45:05 AM
Dalam kasus Parajika pertama yang dilatar belakangi oleh kisah bhikkhu Sudinna, dikatakan peraturan parajika pertama belum ditetapkan (Apaññatte sikkhāpade). Istilah ini telah dijelaskan dalam kitab komentar sebagai berikut:

[spoiler]"Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ''ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta''nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ''apaññatte sikkhāpade''ti."[/spoiler]

Kira2 artinya begini:

"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'.

Pernyataan di atas dengan jelas mengatakan bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Namun demikian, kitab sub komentar (ṭika) menjelaskan bahwa ada beberapa Buddhis (keci= bisa juga bebrapa bhikkhu atau sekte Buddhis) yang menerangkan bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18. Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda.
Namaste Sam _/\_

Thanks udah jawab disertai kutipan dan komentar pribadi. Jadinya timbul banyak pertanyaan, mohon dijawab. :)

Terkait tulisan dari kitab komentar:
1. Apa arti dari "Apaññatte sikkhāpade"? Apakah artinya ini "when the training rules have not been made known"?
2. Siapa narasumber/penulis komentar yang dikutip di atas?
3. "When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences."
Tanya: Apa yang dimaksud dengan lima kelompok peraturan minor?

Kemudian dari komentar Sam:
1. Kalimat "bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18."
Tanya: Sang Buddha berdiam di Veranja vassa ke-12. Terus apa dan bagaimana kemudian bisa dikatakan 5 klp peraturan minor ditetapkan sekitar antara masa vassa ke-18? Korelasinya & penjelasannya? :)

2. Kalimat "Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda."
Tanya: Kenapa ditolak? Alasannya? Dan bagaimana yang diyakini oleh Theravada?

be happy
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 14 August 2010, 07:54:29 AM
Quote from: Jerry on 14 August 2010, 01:12:44 AM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 12:45:05 AM
Dalam kasus Parajika pertama yang dilatar belakangi oleh kisah bhikkhu Sudinna, dikatakan peraturan parajika pertama belum ditetapkan (Apaññatte sikkhāpade). Istilah ini telah dijelaskan dalam kitab komentar sebagai berikut:

[spoiler]"Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ''ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta''nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ''apaññatte sikkhāpade''ti."[/spoiler]

Kira2 artinya begini:

"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'.

Pernyataan di atas dengan jelas mengatakan bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Namun demikian, kitab sub komentar (ṭika) menjelaskan bahwa ada beberapa Buddhis (keci= bisa juga bebrapa bhikkhu atau sekte Buddhis) yang menerangkan bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18. Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda.
Namaste Sam _/\_

Thanks udah jawab disertai kutipan dan komentar pribadi. Jadinya timbul banyak pertanyaan, mohon dijawab. :)

Terkait tulisan dari kitab komentar:
1. Apa arti dari "Apaññatte sikkhāpade"? Apakah artinya ini "when the training rules have not been made known"?
2. Siapa narasumber/penulis komentar yang dikutip di atas?
3. "When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences."
Tanya: Apa yang dimaksud dengan lima kelompok peraturan minor?

Kemudian dari komentar Sam:
1. Kalimat "bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18."
Tanya: Sang Buddha berdiam di Veranja vassa ke-12. Terus apa dan bagaimana kemudian bisa dikatakan 5 klp peraturan minor ditetapkan sekitar antara masa vassa ke-18? Korelasinya & penjelasannya? :)

2. Kalimat "Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda."
Tanya: Kenapa ditolak? Alasannya? Dan bagaimana yang diyakini oleh Theravada?

be happy

karena kemampuan beliau dlm membaca atthakatha (yg semua msh dlm bhs asli blm ada terjemahan nya) saya ikutan menyimak ya...

sekalian menambahin dari pertanyaan saya dan pernyataan beliau jadi kalo kosambi terjadi perselisihan antara Vinayadhara dan dhammadhara berarti dg kata lain telah ada vinaya yg dicanangkan shg para Arahat yg memegang teguh Vinaya (dhara berarti : bearing, holding, wearing) menamakan diri sbg Vinayadhara. toh kasus Ven.Sudinna pun berkisar 12 thn masa vassa sang Buddha yg tidak terlalu jauh dari kosambi yg 10 thn masa vassa, berarti ada kemungkinan sebenarnya 10 thn masa vassa ya...(bukan bermaksud membantah, justru mencari jawaban....). kira2 yg benar bagaimana krn selama ini dinyatakan Vinaya diterapkan setelah 20 thn masa vassa.

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Peacemind on 14 August 2010, 09:29:10 PM
Quote from: Jerry on 14 August 2010, 01:12:44 AM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 12:45:05 AM
Dalam kasus Parajika pertama yang dilatar belakangi oleh kisah bhikkhu Sudinna, dikatakan peraturan parajika pertama belum ditetapkan (Apaññatte sikkhāpade). Istilah ini telah dijelaskan dalam kitab komentar sebagai berikut:

[spoiler]"Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ''ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta''nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ''apaññatte sikkhāpade''ti."[/spoiler]

Kira2 artinya begini:

"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'.

Pernyataan di atas dengan jelas mengatakan bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Namun demikian, kitab sub komentar (ṭika) menjelaskan bahwa ada beberapa Buddhis (keci= bisa juga bebrapa bhikkhu atau sekte Buddhis) yang menerangkan bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18. Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda.
Namaste Sam _/\_

Thanks udah jawab disertai kutipan dan komentar pribadi. Jadinya timbul banyak pertanyaan, mohon dijawab. :)

Terkait tulisan dari kitab komentar:
1. Apa arti dari "Apaññatte sikkhāpade"? Apakah artinya ini "when the training rules have not been made known"?
2. Siapa narasumber/penulis komentar yang dikutip di atas?
3. "When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences."
Tanya: Apa yang dimaksud dengan lima kelompok peraturan minor?

Kemudian dari komentar Sam:
1. Kalimat "bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18."
Tanya: Sang Buddha berdiam di Veranja vassa ke-12. Terus apa dan bagaimana kemudian bisa dikatakan 5 klp peraturan minor ditetapkan sekitar antara masa vassa ke-18? Korelasinya & penjelasannya? :)

2. Kalimat "Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda."
Tanya: Kenapa ditolak? Alasannya? Dan bagaimana yang diyakini oleh Theravada?

be happy

Perlu dibetulkan pernyataan saya yang dibold di atas. Saya telah mencek kembali sumbernya. Yang benar bukan di antara vassa ke 18, tapi lima kelompok peraturan minor ditetapkan di antara 8 tahun setelah vassa di Veranja. Kata aṭṭhavassabbhantara ( interval / between 8 years), salah lihat menjadi aṭṭharāsabbhantara (18 tahun).

1. Betul arti apaññatte sikhapāde.
2. Penulisnya adalah Bhikkhu Buddhaghosa.
3. Lima kelompok peraturan minor, menurut Bhikkhu Dhammapala, penulis Kitab Sub Komentar, adalah thullaccāya, dll. Lima ini berarti Thullaccāya / grave offence, pacittiya / expiation, paṭidesaniya / confession, dukkata / wrong doing dan dubhāsita / ill spoken.

Untuk pertanyaan selanjutnya, perlu dijelaskan kembali bahwa Sang BUddha bervassa di Veranja pada tahun ke 12 adalah menurut sekte lain. Dan mereka percaya bahwa lima kelompok peraturan ditetapkan di antara 8 tahun setelah itu. Mungkin, kalau kebetulan saya bertemu dengan ahli vinaya, ini perlu ditanyakan kembali. Penolakn Theravada terhadap pernyataan sekte lain tidak jelas alasannyaa. Di sana dikatakan 'na sundaraṃ' / tidak benar. Terkadang alasan dijelaskan ditempat lain, tapi saya belum menemukannya.
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: pannadevi on 14 August 2010, 10:19:20 PM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 09:29:10 PM
Quote from: Jerry on 14 August 2010, 01:12:44 AM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 12:45:05 AM
Dalam kasus Parajika pertama yang dilatar belakangi oleh kisah bhikkhu Sudinna, dikatakan peraturan parajika pertama belum ditetapkan (Apaññatte sikkhāpade). Istilah ini telah dijelaskan dalam kitab komentar sebagai berikut:

[spoiler]"Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ''ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta''nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ''apaññatte sikkhāpade''ti."[/spoiler]

Kira2 artinya begini:

"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'.

Pernyataan di atas dengan jelas mengatakan bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Namun demikian, kitab sub komentar (ṭika) menjelaskan bahwa ada beberapa Buddhis (keci= bisa juga bebrapa bhikkhu atau sekte Buddhis) yang menerangkan bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18. Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda.
Namaste Sam _/\_

Thanks udah jawab disertai kutipan dan komentar pribadi. Jadinya timbul banyak pertanyaan, mohon dijawab. :)

Terkait tulisan dari kitab komentar:
1. Apa arti dari "Apaññatte sikkhāpade"? Apakah artinya ini "when the training rules have not been made known"?
2. Siapa narasumber/penulis komentar yang dikutip di atas?
3. "When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences."
Tanya: Apa yang dimaksud dengan lima kelompok peraturan minor?

Kemudian dari komentar Sam:
1. Kalimat "bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18."
Tanya: Sang Buddha berdiam di Veranja vassa ke-12. Terus apa dan bagaimana kemudian bisa dikatakan 5 klp peraturan minor ditetapkan sekitar antara masa vassa ke-18? Korelasinya & penjelasannya? :)

2. Kalimat "Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda."
Tanya: Kenapa ditolak? Alasannya? Dan bagaimana yang diyakini oleh Theravada?

be happy

Perlu dibetulkan pernyataan saya yang dibold di atas. Saya telah mencek kembali sumbernya. Yang benar bukan di antara vassa ke 18, tapi lima kelompok peraturan minor ditetapkan di antara 8 tahun setelah vassa di Veranja. Kata aṭṭhavassabbhantara ( interval / between 8 years), salah lihat menjadi aṭṭharāsabbhantara (18 tahun).

1. Betul arti apaññatte sikhapāde.
2. Penulisnya adalah Bhikkhu Buddhaghosa.
3. Lima kelompok peraturan minor, menurut Bhikkhu Dhammapala, penulis Kitab Sub Komentar, adalah thullaccāya, dll. Lima ini berarti Thullaccāya / grave offence, pacittiya / expiation, paṭidesaniya / confession, dukkata / wrong doing dan dubhāsita / ill spoken.

Untuk pertanyaan selanjutnya, perlu dijelaskan kembali bahwa Sang BUddha bervassa di Veranja pada tahun ke 12 adalah menurut sekte lain. Dan mereka percaya bahwa lima kelompok peraturan ditetapkan di antara 8 tahun setelah itu. Mungkin, kalau kebetulan saya bertemu dengan ahli vinaya, ini perlu ditanyakan kembali. Penolakn Theravada terhadap pernyataan sekte lain tidak jelas alasannyaa. Di sana dikatakan 'na sundaraṃ' / tidak benar. Terkadang alasan dijelaskan ditempat lain, tapi saya belum menemukannya.

nahh....terjawab sudah....jadi adanya Vinayadhara karena hal 5 kelompok peraturan sudah ditetapkan pada diantara thn ke-8, sehingga mereka bersikukuh pd peristiwa Kosambi. thanks Rev. (sayang GRP ga bs double)

mettacittena,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Jerry on 14 August 2010, 11:02:31 PM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 09:29:10 PM
[spoiler]
Quote from: Jerry on 14 August 2010, 01:12:44 AM
Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 12:45:05 AM
Dalam kasus Parajika pertama yang dilatar belakangi oleh kisah bhikkhu Sudinna, dikatakan peraturan parajika pertama belum ditetapkan (Apaññatte sikkhāpade). Istilah ini telah dijelaskan dalam kitab komentar sebagai berikut:

[spoiler]"Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ''ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta''nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ''apaññatte sikkhāpade''ti."[/spoiler]

Kira2 artinya begini:

"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'.

Pernyataan di atas dengan jelas mengatakan bahwa peraturan kebhikkhuan mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Namun demikian, kitab sub komentar (ṭika) menjelaskan bahwa ada beberapa Buddhis (keci= bisa juga bebrapa bhikkhu atau sekte Buddhis) yang menerangkan bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18. Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda.
Namaste Sam _/\_

Thanks udah jawab disertai kutipan dan komentar pribadi. Jadinya timbul banyak pertanyaan, mohon dijawab. :)

Terkait tulisan dari kitab komentar:
1. Apa arti dari "Apaññatte sikkhāpade"? Apakah artinya ini "when the training rules have not been made known"?
2. Siapa narasumber/penulis komentar yang dikutip di atas?
3. "When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences."
Tanya: Apa yang dimaksud dengan lima kelompok peraturan minor?

Kemudian dari komentar Sam:
1. Kalimat "bahwa Sang Buddha berdiam di Veranja pada masa vassa ke 12 sehingga lima kelompok peraturan minor ditetapkan sekitar di antara masa vassa ke 18."
Tanya: Sang Buddha berdiam di Veranja vassa ke-12. Terus apa dan bagaimana kemudian bisa dikatakan 5 klp peraturan minor ditetapkan sekitar antara masa vassa ke-18? Korelasinya & penjelasannya? :)

2. Kalimat "Pernyataan ini juga menyiratkan bahwa peraturan2 berat yakni Pārājika dan Sanghadisesa ditetapkan pada masa vassa ke 12 atau ke 13. Tapi pertanyaan ini ditolak oleh Theravāda."
Tanya: Kenapa ditolak? Alasannya? Dan bagaimana yang diyakini oleh Theravada?

be happy
[/spoiler]

Perlu dibetulkan pernyataan saya yang dibold di atas. Saya telah mencek kembali sumbernya. Yang benar bukan di antara vassa ke 18, tapi lima kelompok peraturan minor ditetapkan di antara 8 tahun setelah vassa di Veranja. Kata aṭṭhavassabbhantara ( interval / between 8 years), salah lihat menjadi aṭṭharāsabbhantara (18 tahun).

1. Betul arti apaññatte sikhapāde.
2. Penulisnya adalah Bhikkhu Buddhaghosa.
3. Lima kelompok peraturan minor, menurut Bhikkhu Dhammapala, penulis Kitab Sub Komentar, adalah thullaccāya, dll. Lima ini berarti Thullaccāya / grave offence, pacittiya / expiation, paṭidesaniya / confession, dukkata / wrong doing dan dubhāsita / ill spoken.

Namaste Sam,  _/\_

Thanks untuk clarifynya, kalau begitu kembali ke:
"Apaññatte sikkhāpade (when the training rules have not been made known) means this first parajika has not been established. During twenty years since the fully enlightenment of the Buddha, monks satisfied the mind of the Buddha. They did not  commit such fault. On account of this, the discourse said, 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'. The Buddha, while not seeing any fault, did not make known pārājika or Sanghadisesa. When cases appeared, he made known the remain five categories of minor offences. With that, it is said, 'apaññatte sikkhāpade'."

Yang ingin saya tanyakan kembali, dari mana datangnya kesimpulan bahwa peraturan kebhikkhuan (Vinaya) mulai ditetapkan setelah 20 tahun Sang Buddha mencapai penerangan sempurna??
Ini saya tanyakan karena sejauh dari kalimat yang saya baca, saya hanya melihat artinya bahwa selama masa 20 tahun pertama, Sang Buddha tidak menetapkan peraturan di atas [parajika pertama] karena para bhikkhu tidak/belum melakukan pelanggaran demikian [parajika pertama]. Kemudian ketika kasus-kasus bermunculan [yang mungkin merujuk pada parajika atau Sanghadisesa], beliau mengenalkan lima kelompok peraturan minor.

Kemudian, dari kalimat yang Sang Buddha katakan: 'There was, O , monks, an occasion monks satisfied my mind'.
Saya mengartikan demikian: 'Ada, O, para bhikkhu, sebuah kejadian/peristiwa [dimana] para bhikkhu [bertingkah laku] memuaskan [bagi] saya'.
Di sini bagi saya terasa aneh jika penulis komentar mengutip kalimat Sang Buddha di atas untuk menguatkan pembenaran pendapat bahwa Vinaya diturunkan pada vassa ke-20. Jelas 20 tahun adalah sebuah rentang waktu yang panjang, kumpulan berbagai peristiwa. Masa pula disamakan dengan 'sebuah peristiwa'???
Tidak tepat rasanya untuk, lagi-lagi, mengambil kesimpulan Vinaya diturunkan setelah vassa ke-20 hanya berdasarkan kalimat Sang Buddha demikian.

Quote from: Peacemind on 14 August 2010, 09:29:10 PM
Untuk pertanyaan selanjutnya, perlu dijelaskan kembali bahwa Sang BUddha bervassa di Veranja pada tahun ke 12 adalah menurut sekte lain. Dan mereka percaya bahwa lima kelompok peraturan ditetapkan di antara 8 tahun setelah itu. Mungkin, kalau kebetulan saya bertemu dengan ahli vinaya, ini perlu ditanyakan kembali. Penolakn Theravada terhadap pernyataan sekte lain tidak jelas alasannyaa. Di sana dikatakan 'na sundaraṃ' / tidak benar. Terkadang alasan dijelaskan ditempat lain, tapi saya belum menemukannya.
Kalau demikian, menurut tradisi Theravada pada masa vassa ke-12 Sang Buddha melewatka vassa di mana?

Sukhi hotu,
Title: Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
Post by: Indra on 23 August 2010, 09:48:45 PM
Quote from: Indra on 13 August 2010, 11:05:00 PM
ada sumber tidak resmi yang mengatakan bahwa Vinaya ditetapkan dengan dilatarbelakangi kasus Bhikkhu Sudinna yang melakukan hubungan seksual dengan mantan istrinya. peristiwa ini terjadi pada tahun ke-8 setelah penahbisan Sudinna, yaitu sekitar akhir vassa 12 hingga menjelang vassa 13

saya mau meralat ini, ternyata ada komentar penulis yg terlewat oleh saya dalam RAPB sbb:

Quote
(N.B: peristiwa kembalinya ia dari negeri Vajji terjadi saat ia memasuki tahun kedelapan menjadi bhikkhu (Tahun kedua puluh Sang Buddha mengajarkan Dhamma), Kisah Sudinna secara lengkap dimasukkan ke dalam bab Vassa ke dua belas ini demi keutuhan kisah agar memberikan gambaran yang lengkap dan tidak terputus)