Setiap makhluk yang hidup menginginkan kebahagiaan. Tidak ada makhluk yang mengharapkan penderitaan dan kesedihan dalam hidupnya. Kematian adalah momok yang (mungkin) paling ditakuti oleh semua makhluk; meskipun menurut sebuah survei ditemukan fakta bahwa sebagian besar orang yang tinggal di daerah dingin lebih takut pada laba-laba daripada kematian.
Kematian merupakan momok yang menakutkan, sebab hampir semua makhluk takut pada penderitaan yang akan terjadi pada momen itu. Salah satu cara kematian yang paling ditakuti adalah kematian lewat cara pembunuhan. Pembunuhan dinilai sebagai perbuatan tak bermartabat. Dalam Buddhisme, pembunuhan terhadap segala bentuk kehidupan dinilai sebagai bentuk perbuatan tak bermoral yang berat. Bahkan pada beberapa objek tertentu, seorang pembunuh bisa saja memetik buah perbuatannya dengan terlahir di Avici Niraya.
Suatu kasus layak untuk disebut sebagai "pembunuhan" apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Adanya subjek (calon pembunuh)
2) Adanya objek (calon yang akan dibunuh)
3) Adanya niat untuk membunuh objek
4) Langkah-langkah perbuatan
5) Kematian objek sebagai akibat dari langkah-langkah yang diambil
Aspek pembunuhan ini sangatlah luas. Pembunuhan bisa dibagi menjadi beberapa aspek, di antaranya menurut motivasi, cara, elemen kesengajaan maupun tidak, dan lain sebagainya. Di dalam dunia kedokteran, ada satu metode untuk mengakhiri hidup seseorang secara bermartabat yang dinamakan euthanasia. Euthanasia berasal dari istilah Bahasa Yunani, yaitu ευθανασία (εu artinya "baik"; θάνατος artinya "kematian"). Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup satu individu dengan mengusahakan penderitaan yang seminimal mungkin, dengan tujuan untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh individu tersebut. Secara garis besar, euthanasia dapat digolongkan menjadi 4 metode. Dan berdasarkan praktiknya, euthanasia juga bisa dibagi menjadi 2 tipe.
Euthanasia dilihat penting dalam dunia kedokteran ketika ada individu yang mengalami penderitaan atau penyakit yang berat; dimana hampir mustahil untuk dapat diselamatkan, namun jika dibiarkan saja malah bisa membuat individu itu semakin parah dan mungkin bisa merugikan pihak lainnya. Dengan mempertimbangkan hal ini, dunia kedokteran telah mencetus satu prinsip pembunuhan bermartabat yang dinamakan euthanasia ini. Euthanasia ini sendiri mengundang pro dan kontra yang begitu luas. Euthanasia tidak boleh dipandang secara ilmu biologi saja, namun juga harus dipandang dari segi ilmu etika.
Dewasa ini, euthanasia tidak hanya berlaku di dalam kedokteran manusia. Euthanasia juga bisa diterapkan pada hewan peliharaan, hewan ternak, maupun hewan liar. Setidaknya sampai saat ini manusia hanya bisa membunuh manusia dan hewan, oleh karena itu euthanasia turut mencakup keduanya. Menerapkan euthanasia pada manusia mungkin paling banyak ditentang. Namun menerapkan euthanasia pada hewan pun sebenarnya tidak boleh disepelekan. Seandainya Anda dihadapkan pada kasus dimana euthanasia perlu diterapkan pada seseorang yang Anda kenal ataupun hewan peliharaan Anda, dan "kebetulan" Anda adalah orang yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan "ya" atau "tidak"; apakah yang Anda pertimbangkan?
Bagaimana pandangan Anda mengenai euthanasia?
Hal ini menarik, apalagi jika kita mengingat kisah Bhikkhu Godhika Thera yang mengakhiri hidupnya karena penyakit akut; mungkinkah euthanasia juga bisa dinilai bermartabat dan bermanfaat untuk kebaikan?
Bhikkhu Godika Thera mengakhiri hidupnya karena dia sudah mencapai kekosongan yang sebenarnya dia matipun tidak akan terlahir kembali lagi.pertanyaannya yang mau euthanasia sudah mencapai apa yang dicapai bhikkhu Godhika atau belum?
kemana ia akan bertumimbal lahir bila ia mengakhir hidup yang belum masanya?
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:09:37 PM
Bhikkhu Godika Thera mengakhiri hidupnya karena dia sudah mencapai kekosongan yang sebenarnya dia matipun tidak akan terlahir kembali lagi.pertanyaannya yang mau euthanasia sudah mencapai apa yang dicapai bhikkhu Godhika atau belum?
kemana ia akan bertumimbal lahir bila ia mengakhir hidup yang belum masanya?
Dalam kasus Bhikkhu Godhika, yang menjadi subjek dan objek adalah dirinya sendiri. Mungkin memang tindakan mengakhiri hidup yang beliau lakukan tidak berbanding lurus dengan prinsip euthanasia.
Sekadar informasi, Bhikkhu Godhika saat itu belum mencapai tataran kesucian apapun. Tujuan utamanya mengakhiri hidup dengan pisau adalah untuk bertumimbal-lahir di Alam Brahma. Namun karena beliau berhasil menyelami realitas anicca, dukkha, dan anatta sesaat sebelum ajal, akhirnya beliau malah mencapai tataran Arahat.
ya setidaknya safe bisa masuk alam Brahma nah kalau tidak bukannya masuk alam niraya.pada saat akan meninggal menembus kesucian apakah orang yang mau euthanasia dengan keinginan dia sendiri bisa menyelami hal itu.no comment sih soal pikiran orang beda2 tapi apakah layak dijadikan pembanding.
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:23:49 PM
ya setidaknya safe bisa masuk alam Brahma nah kalau tidak bukannya masuk alam niraya.pada saat akan meninggal menembus kesucian apakah orang yang mau euthanasia dengan keinginan dia sendiri bisa menyelami hal itu.no comment sih soal pikiran orang beda2 tapi apakah layak dijadikan pembanding.
Menurut saya, sebaiknya pembahasan euthanasia ini dikaji dari segi ilmu biologi dan ilmu etika yang dipandang dari sisi Buddhisme. Jadi persoalan apakah seseorang yang diakhiri hidupnya itu menuju ke alam berbahagia atau tidak itu merupakan
term persoalan yang berbeda dari aspek bioetika ini. :) Jika mau dihubungkan dengan kelahiran berikut yang lebih baik, kita bisa saja punya pendapat bahwa orang yang menderita karena penyakit berat bisa saja meninggal dengan tidak tenang; makanya kita euthanasia saja supaya meninggal dengan mudah. Nah, hal seperti inilah yang menurut saya sudah spekulatif. Karena itu tidak saya bahas, setidaknya di awal diskusi ini. Lagipula Buddhisme bukanlah ajaran yang menghimbau "boleh membunuh orang lain ataupun bunuh diri sendiri asalkan selanjutnya terlahir ke alam yang lebih baik".
Menurut Anda, apakah euthanasia pantas diterapkan di bidang kedokteran dewasa ini?
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:17:11 PM
Dalam kasus Bhikkhu Godhika, yang menjadi subjek dan objek adalah dirinya sendiri. Mungkin memang tindakan mengakhiri hidup yang beliau lakukan tidak berbanding lurus dengan prinsip euthanasia.
Sekadar informasi, Bhikkhu Godhika saat itu belum mencapai tataran kesucian apapun. Tujuan utamanya mengakhiri hidup dengan pisau adalah untuk bertumimbal-lahir di Alam Brahma. Namun karena beliau berhasil menyelami realitas anicca, dukkha, dan anatta sesaat sebelum ajal, akhirnya beliau malah mencapai tataran Arahat.
Tapi Bhikkhu Godhika sedang dalam kondisi mempunyai pengetahuan analitis bahwa tindakan yang dilakukannya akan berakibat tercapainya magga dan phala.
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:31:10 PM
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:23:49 PM
ya setidaknya safe bisa masuk alam Brahma nah kalau tidak bukannya masuk alam niraya.pada saat akan meninggal menembus kesucian apakah orang yang mau euthanasia dengan keinginan dia sendiri bisa menyelami hal itu.no comment sih soal pikiran orang beda2 tapi apakah layak dijadikan pembanding.
Menurut saya, sebaiknya pembahasan euthanasia ini dikaji dari segi ilmu biologi dan ilmu etika yang dipandang dari sisi Buddhisme. Jadi persoalan apakah seseorang yang diakhiri hidupnya itu menuju ke alam berbahagia atau tidak itu merupakan term persoalan yang berbeda dari aspek bioetika ini. :) Jika mau dihubungkan dengan kelahiran berikut yang lebih baik, kita bisa saja punya pendapat bahwa orang yang menderita karena penyakit berat bisa saja meninggal dengan tidak tenang; makanya kita euthanasia saja supaya meninggal dengan mudah. Nah, hal seperti inilah yang menurut saya sudah spekulatif. Karena itu tidak saya bahas, setidaknya di awal diskusi ini. Lagipula Buddhisme bukanlah ajaran yang menghimbau "boleh membunuh orang lain ataupun bunuh diri sendiri asalkan selanjutnya terlahir ke alam yang lebih baik".
Menurut Anda, apakah euthanasia pantas diterapkan di bidang kedokteran dewasa ini?
apakah anda sendiri mendalami pikiran orang yang ketika akan euthanasia ... kita memang bisa menilai dari luar tapi sedalamnyua pikiran orang kita tidak akan pernah tahu dan bagi mereka yang belum mencapai pencerahan,kematian adalah hal yang menakutkan.baik seorang pemberani atau siapapun,kematian adalah ketakutan terbesar manusia,sekali algi apakah anda tahu bahwa orang yang akan di"euthanasia" itu pikirannya sangat tenang?dan apakah yakin pikiran yang tenang akan mencapai alam bahagia sementara beban kamma ia masih tanggung?
pernah saya tanya bhante, kalo ada orang meninggal dalam kondisi bahagia sementara dia berbuat kamma terburuk dimasa lampau apakah kamma itu hilang ?jawab bhante ,orang itu akan terlahir di alam berbahagia untuk sementara waktu dan tetap kamma buruk itu akan mendorongnya jatuh lagi.
Ikut komentar..
Sebelum kita menjadi pelaku Euthanasia..
Coba kita tanyakan pada diri sendiri,
Jika kita tekondisi sakit yg kronis apakah mau di Euthanasi??.
Lalu bagaimana kasus terhadap pasien yg Koma(medis) yg telah berbulan-bulan tidak kunjung sadar..
;D
keluarganya melakukan pembunuhan atas dasar cinta kasih?
Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 20 April 2010, 04:36:49 PM
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:17:11 PM
Dalam kasus Bhikkhu Godhika, yang menjadi subjek dan objek adalah dirinya sendiri. Mungkin memang tindakan mengakhiri hidup yang beliau lakukan tidak berbanding lurus dengan prinsip euthanasia.
Sekadar informasi, Bhikkhu Godhika saat itu belum mencapai tataran kesucian apapun. Tujuan utamanya mengakhiri hidup dengan pisau adalah untuk bertumimbal-lahir di Alam Brahma. Namun karena beliau berhasil menyelami realitas anicca, dukkha, dan anatta sesaat sebelum ajal, akhirnya beliau malah mencapai tataran Arahat.
Tapi Bhikkhu Godhika sedang dalam kondisi mempunyai pengetahuan analitis bahwa tindakan yang dilakukannya akan berakibat tercapainya magga dan phala.
Oh, ya? Ada referensinya, Bro?
Soalnya setahu saya beliau hanya mamiliki analisa jika meninggal dengan kesakitan penyakitnya, ia bisa terlahir ke alam rendah. Jika ia meninggal ketika pikirannya terpusat, maka ia akan menuju ke Alam Brahma...
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:37:54 PM
apakah anda sendiri mendalami pikiran orang yang ketika akan euthanasia ... kita memang bisa menilai dari luar tapi sedalamnyua pikiran orang kita tidak akan pernah tahu dan bagi mereka yang belum mencapai pencerahan,kematian adalah hal yang menakutkan.baik seorang pemberani atau siapapun,kematian adalah ketakutan terbesar manusia,sekali algi apakah anda tahu bahwa orang yang akan di"euthanasia" itu pikirannya sangat tenang?dan apakah yakin pikiran yang tenang akan mencapai alam bahagia sementara beban kamma ia masih tanggung?
pernah saya tanya bhante, kalo ada orang meninggal dalam kondisi bahagia sementara dia berbuat kamma terburuk dimasa lampau apakah kamma itu hilang ?jawab bhante ,orang itu akan terlahir di alam berbahagia untuk sementara waktu dan tetap kamma buruk itu akan mendorongnya jatuh lagi.
Dalam prinsip euthanasia, ada 4 metode yang perlu diperhatikan sebelum praktik dilakukan. 4 metode itu adalah:
- Euthanasia sukarela
- Euthanasia non-sukarela
- Euthanasia tidak sukarela
- Euthanasia dengan bantuan bunuh diri
Euthanasia sukarela dan euthanasia dengan bantuan bunuh diri jelas atas dasar keinginan dari individu yang menderita. Di luar apakah dia takut atau berani dalam menghadapi kematian, yang jelas individu yang tergolong sebagai objek dalam metode ini dengan sukarela ingin mengakhiri hidupnya.
Saya paham maksud Anda bahwa kematian tenang atau tidak tenang, mati natural atau mati secara euthanasia tidak menjamin berakhirnya penderitaan individu tersebut.Namun yang saya diskusikan di poin ini adalah bagaimana pandangan Buddhisme terhadap euthanasia? Sebab adakalanya suatu kasus dimana kita dihadapkan pada euthanasia ini? Ketika berada di titik ini, kondisi laksana buah simalakama. Maju salah mundur pun salah... Ada komentar?
bukankah kalau seseorang menderita penyakit berarti orang tersebut karma buruknya sedang berbuah?
Kalau lantas dipotong tiba-tiba karena melakukan euthanasia, so...bukankah seharusnya hukum karma masih berlaku baik di alam selanjutnya? (maksudnya masih bakal mengalami penderitaan di alam selanjutnya karena buah karma masih masak dan belum habis masa berlakunya)
Quote from: Mr.Jhonz on 20 April 2010, 04:38:06 PM
Ikut komentar..
Sebelum kita menjadi pelaku Euthanasia..
Coba kita tanyakan pada diri sendiri,
Jika kita tekondisi sakit yg kronis apakah mau di Euthanasi??.
Lalu bagaimana kasus terhadap pasien yg Koma(medis) yg telah berbulan-bulan tidak kunjung sadar..
;D
Entahlah, setiap orang punya pandangan berbeda. Misalnya saja: saya tetap tidak mau di-euthanasia meskipun sakit saya separah apapun. Tapi kalau orang lain mungkin saja berharap di-euthanasia ketika mendapat sakit itu. Karena itu diri kita sendiri tidak bisa jadi patokan... :)
Nah, itu contoh yang baik. Mari kita berandai-andai...
Keluarga A adalah keluarga miskin. Anak mereka yang bernama AA mengidap penyakit kronis dan harus dioperasi. Setelah dioperasi, keadaannya menjadi sedikit lebih baik. Tapi AA tidak sadar dan menjadi koma sampai bertahun-tahun. Jika AA tetap dipertahankan untuk terus diobati, maka keluarga A akan mengalami kebangkrutan karena mereka miskin. Dan itu pun belum ada jaminan bahwa AA akan sadar dari koma. Jika keluarga A tidak ingin melanjutkan pengobatan AA, maka keluarga A harus mengobatinya sendiri dan tetap merepotkan serta menguras finansial keluarga. Nah dokter menyarankan untuk melakukan tindakan euthanasia. Kalau Bro Mr.Johnz berada di posisi untuk mengambil keputusan, apa yang akan Anda lakukan?
QuoteSaya paham maksud Anda bahwa kematian tenang atau tidak tenang, mati natural atau mati secara euthanasia tidak menjamin berakhirnya penderitaan individu tersebut.Namun yang saya diskusikan di poin ini adalah bagaimana pandangan Buddhisme terhadap euthanasia? Sebab adakalanya suatu kasus dimana kita dihadapkan pada euthanasia ini? Ketika berada di titik ini, kondisi laksana buah simalakama. Maju salah mundur pun salah... Ada komentar?
Bukankah udah jelas kaau hal ini sudah tergolong dalam pembunuhan..
QuoteSuatu kasus layak untuk disebut sebagai "pembunuhan" apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Adanya subjek (calon pembunuh)
2) Adanya objek (calon yang akan dibunuh)
3) Adanya niat untuk membunuh objek
4) Langkah-langkah perbuatan
5) Kematian objek sebagai akibat dari langkah-langkah yang diambil
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:45:44 PM
keluarganya melakukan pembunuhan atas dasar cinta kasih?
Wew..itu keluarganya sendiri yg tahu..
Tapi biasanya bukan cuma faktor cinta kasih aja,tapi ada faktor materi juga..
bayangin pasien yg koma tiap harinya bisa mengeluarkan uang sampai jutaan..kalo sampai 2bulan koma??
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:54:41 PM
Quote from: Mr.Jhonz on 20 April 2010, 04:38:06 PM
Ikut komentar..
Sebelum kita menjadi pelaku Euthanasia..
Coba kita tanyakan pada diri sendiri,
Jika kita tekondisi sakit yg kronis apakah mau di Euthanasi??.
Lalu bagaimana kasus terhadap pasien yg Koma(medis) yg telah berbulan-bulan tidak kunjung sadar..
;D
Entahlah, setiap orang punya pandangan berbeda. Misalnya saja: saya tetap tidak mau di-euthanasia meskipun sakit saya separah apapun. Tapi kalau orang lain mungkin saja berharap di-euthanasia ketika mendapat sakit itu. Karena itu diri kita sendiri tidak bisa jadi patokan... :)
Nah, itu contoh yang baik. Mari kita berandai-andai...
Keluarga A adalah keluarga miskin. Anak mereka yang bernama AA mengidap penyakit kronis dan harus dioperasi. Setelah dioperasi, keadaannya menjadi sedikit lebih baik. Tapi AA tidak sadar dan menjadi koma sampai bertahun-tahun. Jika AA tetap dipertahankan untuk terus diobati, maka keluarga A akan mengalami kebangkrutan karena mereka miskin. Dan itu pun belum ada jaminan bahwa AA akan sadar dari koma. Jika keluarga A tidak ingin melanjutkan pengobatan AA, maka keluarga A harus mengobatinya sendiri dan tetap merepotkan serta menguras finansial keluarga. Nah dokter menyarankan untuk melakukan tindakan euthanasia. Kalau Bro Mr.Johnz berada di posisi untuk mengambil keputusan, apa yang akan Anda lakukan?
bukankah keluarga itu punya hutang masa lampau kepada anak itu mungkin aja di masa lampau keluarga itu utang besar2an tapi ga mau bayar nah dibalasnya pada saat sekarang,bagaimana mengambil cerita moral diatas?
Quote from: Yuri-chan on 20 April 2010, 04:50:13 PM
bukankah kalau seseorang menderita penyakit berarti orang tersebut karma buruknya sedang berbuah?
Kalau lantas dipotong tiba-tiba karena melakukan euthanasia, so...bukankah seharusnya hukum karma masih berlaku baik di alam selanjutnya? (maksudnya masih bakal mengalami penderitaan di alam selanjutnya karena buah karma masih masak dan belum habis masa berlakunya)
Betul. Setiap orang mewarisi kamma masing-masing...
Tapi kadangkala euthanasia dilakukan atas dasar untuk mencegah hal-hal buruk yang bisa menimpa pihak lain. Misalnya mencegah penularan penyakit ke orang lain, mencegah terkurasnya kondisi finansial dari keluarga penderita, ataupun atas dasar kepedulian untuk menyetujui permintaan penderita untuk mengakhiri hidupnya.
Quote from: JW. Jinaraga on 20 April 2010, 04:55:59 PM
QuoteSaya paham maksud Anda bahwa kematian tenang atau tidak tenang, mati natural atau mati secara euthanasia tidak menjamin berakhirnya penderitaan individu tersebut.Namun yang saya diskusikan di poin ini adalah bagaimana pandangan Buddhisme terhadap euthanasia? Sebab adakalanya suatu kasus dimana kita dihadapkan pada euthanasia ini? Ketika berada di titik ini, kondisi laksana buah simalakama. Maju salah mundur pun salah... Ada komentar?
Bukankah udah jelas kaau hal ini sudah tergolong dalam pembunuhan..
QuoteSuatu kasus layak untuk disebut sebagai "pembunuhan" apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Adanya subjek (calon pembunuh)
2) Adanya objek (calon yang akan dibunuh)
3) Adanya niat untuk membunuh objek
4) Langkah-langkah perbuatan
5) Kematian objek sebagai akibat dari langkah-langkah yang diambil
Betul, itu termasuk pembunuhan.
Lalu apakah Buddhisme menentang segala praktik euthanasia apapun alasan dan apapun pertimbangannya?
Euthanasia ini jadi rumit karena pandangan umum orang terhadap hidup itu berbeda. Apalagi kalau sudah melibatkan agama. Kalau saya tertarik membahas dari sisi sebaliknya. Jika ada orang yang setengah mati, setengah hidup, memiliki penyakit yang tak tersembuhkan, setiap hari menjerit-jerit dan meringis kesakitan, lalu setiap hari dengan mengetahui bahwa ia tidak akan sembuh, memberikan penopang hidup dalam berbagai cara yang dengan kata lain
membuatnya setengah mati setengah hidup, menjerit dan meringis lebih lama dari seharusnya, apakah sebuah perbuatan yang etis atau tidak?
Quote from: Yuri-chan on 20 April 2010, 04:50:13 PM
bukankah kalau seseorang menderita penyakit berarti orang tersebut karma buruknya sedang berbuah?
Kalau lantas dipotong tiba-tiba karena melakukan euthanasia, so...bukankah seharusnya hukum karma masih berlaku baik di alam selanjutnya? (maksudnya masih bakal mengalami penderitaan di alam selanjutnya karena buah karma masih masak dan belum habis masa berlakunya)
Soal sisa kamma, tidak ada yang tahu, tetapi seseorang yang sedang menderita setengah mati tapi tidak mati-mati, jika bisa mendapatkan kesempatan euthanasia, saya pikir itu adalah sesuatu yang menyenangkan, yang tentu saja bagian dari kamma baik juga.
Kita tidak bisa katakan dengan euthanasia memotong kamma buruk yang nantinya akan dilanjutkan di alam selanjutnya, karena jika begitu, kita juga mengatakan kalau orang miskin adalah akibat kamma buruk, dan dana kita berarti memotong penderitaan kemiskinannya yang tetap harus dibayar lunas juga nantinya.
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:57:09 PM
bukankah keluarga itu punya hutang masa lampau kepada anak itu mungkin aja di masa lampau keluarga itu utang besar2an tapi ga mau bayar nah dibalasnya pada saat sekarang,bagaimana mengambil cerita moral diatas?
Kita tidak bisa membuktikan apakah benar keluarga itu punya banyak hutang pada anak itu pada kehidupan lampaunya. Saya tidak berani berpendapat lebih jauh mengani hal-hal spekulatif seperti ini...
Pesan moral yang saya tangkap adalah "keluarga itu menghadapi dilema". Jika tidak membunuh, maka semua anggota keluarga akan terbunuh. Jika diam saja dengan prinsip "memetik buah kamma buruk untuk membayar hutang pada anak itu", ini sudah perbuatan pesimis.
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 05:03:01 PM
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 04:57:09 PM
bukankah keluarga itu punya hutang masa lampau kepada anak itu mungkin aja di masa lampau keluarga itu utang besar2an tapi ga mau bayar nah dibalasnya pada saat sekarang,bagaimana mengambil cerita moral diatas?
Kita tidak bisa membuktikan apakah benar keluarga itu punya banyak hutang pada anak itu pada kehidupan lampaunya. Saya tidak berani berpendapat lebih jauh mengani hal-hal spekulatif seperti ini...
Pesan moral yang saya tangkap adalah "keluarga itu menghadapi dilema". Jika tidak membunuh, maka semua anggota keluarga akan terbunuh. Jika diam saja dengan prinsip "memetik buah kamma buruk untuk membayar hutang pada anak itu", ini sudah perbuatan pesimis.
paling ujung2nya menjadi dualisme pro dan kontra lagi.mungkin orang yang koma tadi bisa sembuh suatu hari tapi biasanya semakin berada di rumah sakit malah dikasih obat2an tidak2,makin lama komanya ya makin berduit rumah sakitnya.tergantung bagaimana anda memandang dan keputusan anda mungkin bisa jadi terbaik atau terburuk.entahlah.
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:54:41 PM
Quote from: Mr.Jhonz on 20 April 2010, 04:38:06 PM
Ikut komentar..
Sebelum kita menjadi pelaku Euthanasia..
Coba kita tanyakan pada diri sendiri,
Jika kita tekondisi sakit yg kronis apakah mau di Euthanasi??.
Lalu bagaimana kasus terhadap pasien yg Koma(medis) yg telah berbulan-bulan tidak kunjung sadar..
;D
Entahlah, setiap orang punya pandangan berbeda. Misalnya saja: saya tetap tidak mau di-euthanasia meskipun sakit saya separah apapun. Tapi kalau orang lain mungkin saja berharap di-euthanasia ketika mendapat sakit itu. Karena itu diri kita sendiri tidak bisa jadi patokan... :)
Nah menarik ni om..
Kalo pandangan buddhis sendiri keknya tidak membenrkan euthanasia..
Nah,misalkan om [maaf] andai kata terkondisi dikeluarga miskin,dan mengalami sakit kronis apakah om tetap tidak mau di euthanasia?? *maaf sebelumnya
Kalo sy pribadi walaupun sesakit apa sy,yg penting tidak membuat keluarga susah/menderita :)
QuoteNah, itu contoh yang baik. Mari kita berandai-andai...
Keluarga A adalah keluarga miskin. Anak mereka yang bernama AA mengidap penyakit kronis dan harus dioperasi. Setelah dioperasi, keadaannya menjadi sedikit lebih baik. Tapi AA tidak sadar dan menjadi koma sampai bertahun-tahun. Jika AA tetap dipertahankan untuk terus diobati, maka keluarga A akan mengalami kebangkrutan karena mereka miskin. Dan itu pun belum ada jaminan bahwa AA akan sadar dari koma. Jika keluarga A tidak ingin melanjutkan pengobatan AA, maka keluarga A harus mengobatinya sendiri dan tetap merepotkan serta menguras finansial keluarga. Nah dokter menyarankan untuk melakukan tindakan euthanasia. Kalau Bro Mr.Johnz berada di posisi untuk mengambil keputusan, apa yang akan Anda lakukan?
idealnya menurut ajaran buddha si.cmiiw
Kalo tidak merugikan pihak lain(anak,istri)Tetap merawat anggota keluarga yg sakit apalagi orangtua kita..
Anggap aja kesempatan berbuat baik..
*tapi itu juga perlu kesepaktan bersama :)
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 05:09:05 PM
paling ujung2nya menjadi dualisme pro dan kontra lagi.mungkin orang yang koma tadi bisa sembuh suatu hari tapi biasanya semakin berada di rumah sakit malah dikasih obat2an tidak2,makin lama komanya ya makin berduit rumah sakitnya.tergantung bagaimana anda memandang dan keputusan anda mungkin bisa jadi terbaik atau terburuk.entahlah.
Betul. Ini merupakan dilema... Mungkin bisa sembuh, mungkin juga tidak. Segala sesuatu di dunia ini tidak pasti, yang sudah pasti adalah "mati". :)
Seandainya euthanasia pada AA bisa menyelamatkan banyak orang (termasuk juga keluarga A), apakah menurut Anda euthanasia ini sebaiknya dilakukan?
Quote from: Mr.Jhonz
Nah menarik ni om..
Kalo pandangan buddhis sendiri keknya tidak membenrkan euthanasia..
Nah,misalkan om [maaf] andai kata terkondisi dikeluarga miskin,dan mengalami sakit kronis apakah om tetap tidak mau di euthanasia?? *maaf sebelumnya
Kalo sy pribadi walaupun sesakit apa sy,yg penting tidak membuat keluarga susah/menderita :)
Kalau menurut pemahaman saya, Buddhisme hanya menganjurkan untuk melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. Euthanasia memang merupakan pembunuhan. Tapi euthanasia bukanlah pembunuhan seperti yang kita lihat di berita kriminal. Euthanasia adalah tindakan pembunuhan untuk mengakhiri penderitaan satu individu dengan cara meminimalisasi penderitaan saat prosesi pembunuhan itu. Pembunuhan ini pun dilakukan atas pertimbangan untuk mencegah kerugian yang bisa didapatkan dari pihak lain. Karena itulah euthanasia disebut sebagai "pembunuhan bermartabat".
Seandainya saya berada di posisi itu, saya menyerahkan keputusan kepada keluarga saya. Karena saya harus mengutamakan kepentingan banyak orang daripada kepentingan diri sendiri. :)
Quote from: Mr.Johnzidealnya menurut ajaran buddha si.cmiiw
Kalo tidak merugikan pihak lain(anak,istri)Tetap merawat anggota keluarga yg sakit apalagi orangtua kita..
Anggap aja kesempatan berbuat baik..
*tapi itu juga perlu kesepaktan bersama :)
Betul. Siapa yang merawat orang sakit berarti "merawat" Buddha. :)
Tapi kita sebaiknya menjadi orang yang tegas dalam berprinsip namun fleksibel dalam bertindak. Sekali lagi kalau saya yang mendapat posisi itu, saya akan mencari kesepakatan bersama keluarga. Jika jalan euthanasia yang dipilih, maka saya siap memetik buah dari perbuatan yang saya ambil. Hanya itu saja: "berani mengambil tindakan sesuai konsekuensi yang ada".
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2010, 05:00:24 PM
Euthanasia ini jadi rumit karena pandangan umum orang terhadap hidup itu berbeda. Apalagi kalau sudah melibatkan agama. Kalau saya tertarik membahas dari sisi sebaliknya. Jika ada orang yang setengah mati, setengah hidup, memiliki penyakit yang tak tersembuhkan, setiap hari menjerit-jerit dan meringis kesakitan, lalu setiap hari dengan mengetahui bahwa ia tidak akan sembuh, memberikan penopang hidup dalam berbagai cara yang dengan kata lain membuatnya setengah mati setengah hidup, menjerit dan meringis lebih lama dari seharusnya, apakah sebuah perbuatan yang etis atau tidak?
Pandangan dari sisi sebaliknya ini pun ada benarnya. Makanya saya menilai bahwa euthanasia adalah pembunuhan, tapi tidak seluruh euthanasia adalah hal buruk.
Bagaimana pendapat Anda?
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 05:19:10 PM
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 05:09:05 PM
paling ujung2nya menjadi dualisme pro dan kontra lagi.mungkin orang yang koma tadi bisa sembuh suatu hari tapi biasanya semakin berada di rumah sakit malah dikasih obat2an tidak2,makin lama komanya ya makin berduit rumah sakitnya.tergantung bagaimana anda memandang dan keputusan anda mungkin bisa jadi terbaik atau terburuk.entahlah.
Betul. Ini merupakan dilema... Mungkin bisa sembuh, mungkin juga tidak. Segala sesuatu di dunia ini tidak pasti, yang sudah pasti adalah "mati". :)
Seandainya euthanasia pada AA bisa menyelamatkan banyak orang (termasuk juga keluarga A), apakah menurut Anda euthanasia ini sebaiknya dilakukan?
dirimu adalah penolong untuk dirimu sendiri.dirimu adalah guru untuk dirimu sendiri.buat saya sendiri sebisa mungkin pada masa muda kita bisa menjaga kondisi kesehatan,dan sebisa mungkin menghindar dari rumah sakit karena namanya rumah sakit makin kesana ya makin sakit kalo kesana sehat dan sembuh mah rumah sakit tutup aja.
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 05:32:48 PM
dirimu adalah penolong untuk dirimu sendiri.dirimu adalah guru untuk dirimu sendiri.buat saya sendiri sebisa mungkin pada masa muda kita bisa menjaga kondisi kesehatan,dan sebisa mungkin menghindar dari rumah sakit karena namanya rumah sakit makin kesana ya makin sakit kalo kesana sehat dan sembuh mah rumah sakit tutup aja.
Nasihat Anda sangat baik. Saya juga mengharapkan kita semua bisa menjaga kondisi tubuh kita, karena dengan tubuh kita inilah kita bisa melakukan banyak perbuatan baik.
Tapi kembali lagi pada pokok permasalahan... Ketika ada orang yang menghadapi dilema ini, nasihat di atas tidak cukup efektif untuk menanggulangi masalah. Dilema seperti ini harus diselesaikan dengan keberanian untuk mengambil keputusan. Untuk memiliki keberanian ini, kita harus mempunyai pandangan yang jelas terhadap permasalahan, jalan keluar, dan konsekuensinya. Nah, bagaimana menurut Anda?
dalihnya ya poin poin dalam pembunuhan tidak terpenuhi karena disana tidka terdapat pikiran yang buruk namun apa yang kita jalani sebagai manusia seharusnya bisa disadari sebagai proses.buat dia yang dikasih euthanasia mungkin dia berpikir saya tidak berguna lagi,hanya membawa kesusahan untuk keluarga saya ,dan di sisi keluarga,kasian dianya harus menanggung derita penyakitnya. ke dua belah pihak tetap akan merasakan dukha.
bahkan dalam koma sebetulnya orang sakit masih mendengar hanya saja tubuhnya tidak menterjemahkan keluar apa yang ia pikirkan.kematian adalah dilema setiap orang,menyadari kematian adalah ujian terbesar setiap orang.
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 05:32:14 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2010, 05:00:24 PM
Euthanasia ini jadi rumit karena pandangan umum orang terhadap hidup itu berbeda. Apalagi kalau sudah melibatkan agama. Kalau saya tertarik membahas dari sisi sebaliknya. Jika ada orang yang setengah mati, setengah hidup, memiliki penyakit yang tak tersembuhkan, setiap hari menjerit-jerit dan meringis kesakitan, lalu setiap hari dengan mengetahui bahwa ia tidak akan sembuh, memberikan penopang hidup dalam berbagai cara yang dengan kata lain membuatnya setengah mati setengah hidup, menjerit dan meringis lebih lama dari seharusnya, apakah sebuah perbuatan yang etis atau tidak?
Pandangan dari sisi sebaliknya ini pun ada benarnya. Makanya saya menilai bahwa euthanasia adalah pembunuhan, tapi tidak seluruh euthanasia adalah hal buruk.
Bagaimana pendapat Anda?
Saya juga berpendapat begitu. Euthanasia adalah pelanggaran sila, tapi dalam keadaan tertentu, bukanlah hal yang sepenuhnya tercela.
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 05:45:36 PM
dalihnya ya poin poin dalam pembunuhan tidak terpenuhi karena disana tidka terdapat pikiran yang buruk namun apa yang kita jalani sebagai manusia seharusnya bisa disadari sebagai proses.buat dia yang dikasih euthanasia mungkin dia berpikir saya tidak berguna lagi,hanya membawa kesusahan untuk keluarga saya ,dan di sisi keluarga,kasian dianya harus menanggung derita penyakitnya. ke dua belah pihak tetap akan merasakan dukha.
bahkan dalam koma sebetulnya orang sakit masih mendengar hanya saja tubuhnya tidak menterjemahkan keluar apa yang ia pikirkan.kematian adalah dilema setiap orang,menyadari kematian adalah ujian terbesar setiap orang.
Dalam kasus euthanasia, sepertinya tidak ada niat untuk mencelakai si penderita; meskipun pada akhirnya si penderita pun meninggal. Tapi saya pikir saat melakukan eksekusi, pasti ada pikiran untuk menolak (dosa) ataupun tertarik (lobha). Lagipula salah satu syarat pembunuhan adalah "adanya niat untuk membunuh". Niat baik dan niat buruk tetap merupakan niat. Oleh karena itu dalam pandangan Buddhisme, suatu kasus tidak bisa disebut sebagai pembunuhan apabila terjadi secara tidak sengaja (subjek tidak tahu ada objek; dan atau tidak ada niat untuk mengakhiri hidup orang lain).
Segala hal yang disebut sebagai dilema tentu saja merupakan dukkha bagi pihak yang mengalaminya.
Setahu saya, tidak semua orang koma bisa "mendengar" pembicaraan di sekitarnya.
Saya menangkap maksud Anda bahwa euthanasia sebaiknya tidak dilakukan. Yang penting bagi si penderita adalah menghadapi keadaannya saat ini; sedangkan yang penting bagi keluarga dan orang lain adalah menyadari bahwa inilah dukkha. Apakah benar maksud Anda seperti ini?
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2010, 05:55:47 PM
Saya juga berpendapat begitu. Euthanasia adalah pelanggaran sila, tapi dalam keadaan tertentu, bukanlah hal yang sepenuhnya tercela.
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi448.photobucket.com%2Falbums%2Fqq202%2Fnotalunas%2Fshakehand.gif&hash=122fede9886cfb7c4d818631ccc6c5ec1fcfdef8)
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 05:56:56 PM
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 05:45:36 PM
dalihnya ya poin poin dalam pembunuhan tidak terpenuhi karena disana tidka terdapat pikiran yang buruk namun apa yang kita jalani sebagai manusia seharusnya bisa disadari sebagai proses.buat dia yang dikasih euthanasia mungkin dia berpikir saya tidak berguna lagi,hanya membawa kesusahan untuk keluarga saya ,dan di sisi keluarga,kasian dianya harus menanggung derita penyakitnya. ke dua belah pihak tetap akan merasakan dukha.
bahkan dalam koma sebetulnya orang sakit masih mendengar hanya saja tubuhnya tidak menterjemahkan keluar apa yang ia pikirkan.kematian adalah dilema setiap orang,menyadari kematian adalah ujian terbesar setiap orang.
Dalam kasus euthanasia, sepertinya tidak ada niat untuk mencelakai si penderita; meskipun pada akhirnya si penderita pun meninggal. Tapi saya pikir saat melakukan eksekusi, pasti ada pikiran untuk menolak (dosa) ataupun tertarik (lobha). Lagipula salah satu syarat pembunuhan adalah "adanya niat untuk membunuh". Niat baik dan niat buruk tetap merupakan niat. Oleh karena itu dalam pandangan Buddhisme, suatu kasus tidak bisa disebut sebagai pembunuhan apabila terjadi secara tidak sengaja (subjek tidak tahu ada objek; dan atau tidak ada niat untuk mengakhiri hidup orang lain).
Segala hal yang disebut sebagai dilema tentu saja merupakan dukkha bagi pihak yang mengalaminya.
Setahu saya, tidak semua orang koma bisa "mendengar" pembicaraan di sekitarnya.
Saya menangkap maksud Anda bahwa euthanasia sebaiknya tidak dilakukan. Yang penting bagi si penderita adalah menghadapi keadaannya saat ini; sedangkan yang penting bagi keluarga dan orang lain adalah menyadari bahwa inilah dukkha. Apakah benar maksud Anda seperti ini?
ya.
[at] nyanadhana
Kalau begitu, jika seandainya keluarga A sudah tidak punya uang lagi dan jadi "gembel; sebaiknya apa yang harus mereka lakukan (mengingat mereka masih punya AA yang harus diobati terus)?
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 06:12:02 PM
[at] nyanadhana
Kalau begitu, jika seandainya keluarga A sudah tidak punya uang lagi dan jadi "gembel; sebaiknya apa yang harus mereka lakukan (mengingat mereka masih punya AA yang harus diobati terus)?
sebaiknya mereka membeli asuransi dari awal.
di jalan yang berliku pasti ada kesempatan yang lebih baik pula,kematian seharusnya datang dengan alami dan bukan campur tangan.boleh bertanya/bagaimana sebuah keluarga yang dulunya kaya dalam satu malam menjadi gembel karena kebakaran yang tidak menyisakan satu harta sedikitpun?
duh gampang sekali yah bilang tinggal beli asuransi, coba orang macam saya ini yang tidak tercakup dalam asuransi jiwa ( lah wong untuk makan dan simpan duit saja sulit) lagi tempat kerja ku tidak ada jamsostek nya.
tidak boleh berpikir bahwa semua orang sama rata, ada juga yang tidak mampu untuk membayar asuransi setelah mempertimbangkan banyak faktor.
memang nya negri kita dah maju seperti eropa atau canada, bahkan amrika serikat(usa) saja tuh urusan asuransi sampai panas gitu.
Quote from: daimond on 20 April 2010, 06:34:33 PM
duh gampang sekali yah bilang tinggal beli asuransi, coba orang macam saya ini yang tidak tercakup dalam asuransi jiwa ( lah wong untuk makan dan simpan duit saja sulit) lagi tempat kerja ku tidak ada jamsostek nya.
tidak boleh berpikir bahwa semua orang sama rata, ada juga yang tidak mampu untuk membayar asuransi setelah mempertimbangkan banyak faktor.
memang nya negri kita dah maju seperti eropa atau canada, bahkan amrika serikat(usa) saja tuh urusan asuransi sampai panas gitu.
mungkin saya tidak perlu banyak berkomentar,banyak sekali cara untuk menghadapi hidup dan tidak satupun yang pasti sebelum dijalankan,kita berbicara seperti ini hanya akan berspekulasi namun ini juga baik karena nantinya bisa menghadirkan alternatif pengertian.ya dan tidak,baik dan salah,kenapa selalu terpaut dengan hal begitu.
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 06:21:15 PM
sebaiknya mereka membeli asuransi dari awal.
di jalan yang berliku pasti ada kesempatan yang lebih baik pula,kematian seharusnya datang dengan alami dan bukan campur tangan.boleh bertanya/bagaimana sebuah keluarga yang dulunya kaya dalam satu malam menjadi gembel karena kebakaran yang tidak menyisakan satu harta sedikitpun?
Mungkin asuransi memang pilihan baik, tetapi bagaimana jika memang terlanjur tidak punya asuransi, atau asuransinya tidak mencakup tanggungan penyakit yang dideritanya? Bagaimana jika dalam keadaan mereka, euthanasia adalah pilihan yang terbaik bagi semua orang?
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:17:11 PM
...
Sekadar informasi, Bhikkhu Godhika saat itu belum mencapai tataran kesucian apapun. Tujuan utamanya mengakhiri hidup dengan pisau adalah untuk bertumimbal-lahir di Alam Brahma. Namun karena beliau berhasil menyelami realitas anicca, dukkha, dan anatta sesaat sebelum ajal, akhirnya beliau malah mencapai tataran Arahat.
Bro, informasinya dari mana ya? Boleh berbagi?
ini memang persoalan yang pelik.. jadi IMO seh tergantung kasus..
ada kasus di mana seseorang yang seharusnya mati.. tapi dipaksa "hidup" dengan bantuan alat2 kedokteran.. sampai seseorang itu pun memohon, agar dilepas saja alat2 tersebut agar dia bisa pergi.. untuk kasus ini, gw pribadi setuju akan euthanasia.
namun bila keadaan berbalik, adanya penderitaan yang luar biasa katakanlah mengidap kanker dll, setidaknya dari pihak keluarga berusaha untuk mendukung agar melawan kanker itu.. bukan mendukung euthanasia atau pun penggunaan morfin.. karena sebenarnya penggunaan morfin juga memberi efek mempercepat kematian..
dalam hal ini, gw kurang setuju dengan euthanasia..
yang ketiga, euthanasia pada hewan, paling sering adalah pada hewan liar, misal anjing / kucing.. sebenarnya IMO hanya bentuk keegoisan manusia yang menginginkan lingkungan bersih dari rabies tanpa memperhatikan nyawa hewan tersebut..
Tentang euthanasia dalam hubungannya dengan Buddhism,
salah satu yang harus perhatikan adalah
salah satu garukka kamma, yaitu :
* membunuh orang tua.*
~o)
Kalau saya melihat kondisi yang dialami.
- Jika sakit yang dialami dalam bentuk keadaan koma berkepanjangan dan organ-organ tubuhnya masih
berfungsi hanya karena bantuan mesin. Dan jika dicabut maka semuanya organnya langsung berhenti.
Saya akan melakukan euthanasia.Baik itu untuk diri sendiri maupun keluarga.Dengan pertimbangan
bahwa itu bukanlah suatu bentuk kehidupan lagi.Karena kesadarannya sudah tidak ada.
- Jika sakit yang dialami dalam bentuk keadaan koma berkepanjangan dan organ-organ tubuhnya masih
berfungsi secara normal.Saya tidak akan melakukan euthanasia. Dengan pertimbangan,mungkin
kesadarannya masih ada didalam diri si sakit.Tapi jika buat diri sendiri saya lebih senang dilakukan
euthanasia.Dengan pertimbangan saya tidak ingin membuat orang lain susah.
-Jika sakit yang dialami seperti HIV,kanker stadium akhir dll. Saya tidak akan melakukan euthanasia.Lakukan
pengobatan sebisa mungkin.Pertahankan sebisa mungkin.Jika memang kemampuan telah habis.Berarti
memang disitu lah perjuangan berakhir.Berarti faktornya sudah lengkap untul berpindah alam.Itu berlaku
buat diri saya dan keluarga.Dengan pertimbangan,melakukan euthanasia hanyalah tindakan lari dari
kenyataan.Tidak ingin menerima perubahan yang terjadi dalam diri kita dan mengakui bahwa kita sakit dan
waktu kita tidak lama lagi.
-Jika sakit yang dialami,anggap saja seperti virus yang sangat menular,berbahaya dan dapat membunuh
banyak orang dalam waktu singkat.Contoh:Penduduk 1 kampung bisa mati dalam waktu 1x24 jam.Karena
virus itu menular melalui udara. Jika kasus seperti itu,saya akan melakukan euthanasia baik untuk diri sendiri
maupun keluarga.Dengan pertimbangan,jika dibiarkan itu sungguh karma buruk bagi si sakit dan orang yang
harus mengambil keputusan. Kenapa?karena itu sama saja menghilangkan nyawa orang lain walaupun tidak
secara kontak fisik.Jika tindakan euthanasia diambil,kalau menurut saya sama saja dengan berdana anggota
tubuh.Cuma dalam bentuk kematian.Banyak orang yang diselamatkan dengan pengorbanan seperti itu.
Jika dilakukan dengan kesadaran penuh dan niat baik untuk menyelamatkan orang lain,saya rasa itu akan
berbalik menjadi karma baik.
TIDAK SETUJU. yang namanya membunuh mau dihaluskan bagaimanapun tetap membunuh. pembenaran bagaimanapun semua itu tetap di sebut pembunuhan.
Quote from: daimond on 20 April 2010, 06:34:33 PM
duh gampang sekali yah bilang tinggal beli asuransi, coba orang macam saya ini yang tidak tercakup dalam asuransi jiwa ( lah wong untuk makan dan simpan duit saja sulit) lagi tempat kerja ku tidak ada jamsostek nya.
tidak boleh berpikir bahwa semua orang sama rata, ada juga yang tidak mampu untuk membayar asuransi setelah mempertimbangkan banyak faktor.
memang nya negri kita dah maju seperti eropa atau canada, bahkan amrika serikat(usa) saja tuh urusan asuransi sampai panas gitu.
Memang benar, Bro. Tidak semua orang bisa membeli asuransi, dan tidak semua asuransi bisa menjadi jalan keluar dari segala permasalahan. Karena itulah menurut saya dunia memang dukkha. Tidak punya asuransi, kalau kena masalah bisa jadi rumit. Kalau punya asuransi, masalah juga belum tentu selesai. Mau punya asuransi, tapi sumber daya tidak mencukupi. Tidak mau punya asuransi, nanti rugi sendiri kalau ada masalah. Tapi ketika semua hal ini terjadi, tidaklah cocok jika kita hanya menjawab "terima dan sadarilah". Kalau mau begitu ketika jadi bhikkhu, itu tidak masalah. Tapi yang sangat disayangkan banyak umat Buddha yang memberi nasihat kepada seorang perumah tangga, seperti perumah tangga itu adalah seorang bhikkhu saja...
Quote from: nyanadhana on 20 April 2010, 06:21:15 PM
sebaiknya mereka membeli asuransi dari awal.
di jalan yang berliku pasti ada kesempatan yang lebih baik pula,kematian seharusnya datang dengan alami dan bukan campur tangan.boleh bertanya/bagaimana sebuah keluarga yang dulunya kaya dalam satu malam menjadi gembel karena kebakaran yang tidak menyisakan satu harta sedikitpun?
Nasihat untuk membeli asuransi juga kurang efektif diberikan kepada keluarga yang sudah terkena dilema. Namun paling tidak ada manfaat yang bisa dipetik dari nasihat Anda ini...
Permasalahan bukan ada di "berani atau tidak berani" menghadapi kenyataan jadi gembel. Tapi menyelesaikan masalah daripada menciptakan masalah baru yang lebih berat. Bagi teman-teman yang belum pernah merasakan hidup dalam dilema mungkin akan sangat mudah mengeluarkan kalimat-kalimat bijaksana. Namun bukan berarti kalimat motivasi seperti ini tidak berguna... Sebab kadang ada orang / keluarga yang membutuhkan jawaban langsung berupa kepastian tindakan.
Seperti halnya ada seorang ibu yang terpaksa dihadapkan pada jalan keluar berupa aborsi, demikian pula ada halnya sebuah keluarga yang terpaksa dihadapkan pada jalan keluar berupa euthanasia. Apakah cocok jika seorang ibu itu diberi nasihat: "Pertahankanlah bayi itu meskipun Anda dan bayi itu akan mati bersama. Hidup ini memang dukkha, Anda tabah yah menghadapinya..."
Demikian pula, apakah cocok jika sebuah keluarga itu diberi nasihat: "Pertahankanlah A meskipun kalian semua dipenjara, dihajar oleh massa, ataupun mati kelaparan di jalanan. Hidup ini memang dukkha, Anda semua harus tabah menghadapi ujian ini. Kamma Anda harus dibalas, terima dan sadarilah hal ini. Pergilah bermeditasi..."
Apakah cocok? Silakan direnungkan sendiri...
Quote from: Jerry on 20 April 2010, 07:09:49 PM
Quote from: upasaka on 20 April 2010, 04:17:11 PM
...
Sekadar informasi, Bhikkhu Godhika saat itu belum mencapai tataran kesucian apapun. Tujuan utamanya mengakhiri hidup dengan pisau adalah untuk bertumimbal-lahir di Alam Brahma. Namun karena beliau berhasil menyelami realitas anicca, dukkha, dan anatta sesaat sebelum ajal, akhirnya beliau malah mencapai tataran Arahat.
Bro, informasinya dari mana ya? Boleh berbagi?
Informasinya ada di Godhika Sutta dan Dhammapada Atthakatha. Sekadar referensi silakan kunjungi link ini => http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,7699.msg128221.html#msg128221 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,7699.msg128221.html#msg128221)
Quote from: Forte on 20 April 2010, 07:27:34 PM
ini memang persoalan yang pelik.. jadi IMO seh tergantung kasus..
ada kasus di mana seseorang yang seharusnya mati.. tapi dipaksa "hidup" dengan bantuan alat2 kedokteran.. sampai seseorang itu pun memohon, agar dilepas saja alat2 tersebut agar dia bisa pergi.. untuk kasus ini, gw pribadi setuju akan euthanasia.
namun bila keadaan berbalik, adanya penderitaan yang luar biasa katakanlah mengidap kanker dll, setidaknya dari pihak keluarga berusaha untuk mendukung agar melawan kanker itu.. bukan mendukung euthanasia atau pun penggunaan morfin.. karena sebenarnya penggunaan morfin juga memberi efek mempercepat kematian..
dalam hal ini, gw kurang setuju dengan euthanasia..
yang ketiga, euthanasia pada hewan, paling sering adalah pada hewan liar, misal anjing / kucing.. sebenarnya IMO hanya bentuk keegoisan manusia yang menginginkan lingkungan bersih dari rabies tanpa memperhatikan nyawa hewan tersebut..
Betul. Saya sependapat dengan Anda.
Untuk euthanasia pada hewan liar, mungkin juga atas pertimbangan bahwa penyakit rabies sangat berbahaya. Daripada mengambil resiko adanya orang yang bisa terluka karena serangan anjing / kucing di tempat rehabilitasi, lebih baik menerapkan euthanasia pada mereka. Meskipun saya melihat adanya indikasi "tidak ingin repot" dalam menghadapi kasus ini, setidaknya euthanasia yang dilakukan pun atas dasar keselamatan banyak pihak.
Namun saya pikir euthanasia pada mamalia / hewan darat bisa lebih manusiawi. Sedangkan euthanasia pada unggas maupun ikan terkadang cukup kejam.
Quote from: hendrako on 20 April 2010, 08:45:00 PM
Tentang euthanasia dalam hubungannya dengan Buddhism,
salah satu yang harus perhatikan adalah
salah satu garukka kamma, yaitu :
* membunuh orang tua.*
~o)
Benar. Jika berani melakukan euthanasia, harus siap dengan segala konsekuensinya.
Quote from: sriyeklina on 21 April 2010, 04:04:12 AM
Kalau saya melihat kondisi yang dialami.
- Jika sakit yang dialami dalam bentuk keadaan koma berkepanjangan dan organ-organ tubuhnya masih
berfungsi hanya karena bantuan mesin. Dan jika dicabut maka semuanya organnya langsung berhenti.
Saya akan melakukan euthanasia.Baik itu untuk diri sendiri maupun keluarga.Dengan pertimbangan
bahwa itu bukanlah suatu bentuk kehidupan lagi.Karena kesadarannya sudah tidak ada.
- Jika sakit yang dialami dalam bentuk keadaan koma berkepanjangan dan organ-organ tubuhnya masih
berfungsi secara normal.Saya tidak akan melakukan euthanasia. Dengan pertimbangan,mungkin
kesadarannya masih ada didalam diri si sakit.Tapi jika buat diri sendiri saya lebih senang dilakukan
euthanasia.Dengan pertimbangan saya tidak ingin membuat orang lain susah.
-Jika sakit yang dialami seperti HIV,kanker stadium akhir dll. Saya tidak akan melakukan euthanasia.Lakukan
pengobatan sebisa mungkin.Pertahankan sebisa mungkin.Jika memang kemampuan telah habis.Berarti
memang disitu lah perjuangan berakhir.Berarti faktornya sudah lengkap untul berpindah alam.Itu berlaku
buat diri saya dan keluarga.Dengan pertimbangan,melakukan euthanasia hanyalah tindakan lari dari
kenyataan.Tidak ingin menerima perubahan yang terjadi dalam diri kita dan mengakui bahwa kita sakit dan
waktu kita tidak lama lagi.
-Jika sakit yang dialami,anggap saja seperti virus yang sangat menular,berbahaya dan dapat membunuh
banyak orang dalam waktu singkat.Contoh:Penduduk 1 kampung bisa mati dalam waktu 1x24 jam.Karena
virus itu menular melalui udara. Jika kasus seperti itu,saya akan melakukan euthanasia baik untuk diri sendiri
maupun keluarga.Dengan pertimbangan,jika dibiarkan itu sungguh karma buruk bagi si sakit dan orang yang
harus mengambil keputusan. Kenapa?karena itu sama saja menghilangkan nyawa orang lain walaupun tidak
secara kontak fisik.Jika tindakan euthanasia diambil,kalau menurut saya sama saja dengan berdana anggota
tubuh.Cuma dalam bentuk kematian.Banyak orang yang diselamatkan dengan pengorbanan seperti itu.
Jika dilakukan dengan kesadaran penuh dan niat baik untuk menyelamatkan orang lain,saya rasa itu akan
berbalik menjadi karma baik.
Untuk poin pertama dan poin kedua di atas adalah euthanasia non-sukarela. Sebab si penderita tidak mengatakan "ya" atau "tidak" tentang rencana praktik euthanasia ini. Contoh euthanasia ini adalah yang terjadi pada Saudara Chandra yang menjadi korban Bom Malam Natal 2000.
Untuk poin ketiga, memang sebaiknya tidak dilakukan euthanasia. Namun jika si penderita yang meminta, dan semua faktor mendukung; bukan tidak mungkin juga untuk dilakukan euthanasia.
Untuk poin keempat, menolong orang lain agar terhindar dari virus mematikan adalah perbuatan baik. Tetapi euthanasia (membunuh) adalah perbuatan buruk yang lain. Tidak ada pembunuhan yang baik. Tetapi ada pembunuhan yang bisa memberi manfaat bagi pihak lain, dan salah satu contohnya adalah euthanasia.
Quote from: ryu on 21 April 2010, 11:03:46 AM
TIDAK SETUJU. yang namanya membunuh mau dihaluskan bagaimanapun tetap membunuh. pembenaran bagaimanapun semua itu tetap di sebut pembunuhan.
Betul. Euthanasia tetap pembunuhan. Saya setuju sekali dengan Anda. Tapi apakah menurut Anda euthanasia sama sekali tercela?
ya tercela. orang bunuh diri atau suntik mati itu orang tidak bisa menerima keadaan dirinya (penolakan terhadap suatu kondisi menyakitkan) dan orang yang menyuntik mati pun menolak keadaan dengan pembenaran tidak ada uang atau apapun alasan2 itu pembenaran sepihak.
Quote from: ryu on 21 April 2010, 12:50:20 PM
ya tercela. orang bunuh diri atau suntik mati itu orang tidak bisa menerima keadaan dirinya (penolakan terhadap suatu kondisi menyakitkan) dan orang yang menyuntik mati pun menolak keadaan dengan pembenaran tidak ada uang atau apapun alasan2 itu pembenaran sepihak.
Menurut Anda hal itu tercela, sehingga euthanasia seharusnya tidak mendapat tempat di dunia ini. Jadi menurut Anda lebih baik orang lain ikut "mati" daripada euthanasia dijalankan. Apa benar demikian?
Quote from: upasaka on 21 April 2010, 12:55:57 PM
Quote from: ryu on 21 April 2010, 12:50:20 PM
ya tercela. orang bunuh diri atau suntik mati itu orang tidak bisa menerima keadaan dirinya (penolakan terhadap suatu kondisi menyakitkan) dan orang yang menyuntik mati pun menolak keadaan dengan pembenaran tidak ada uang atau apapun alasan2 itu pembenaran sepihak.
Menurut Anda hal itu tercela, sehingga euthanasia seharusnya tidak mendapat tempat di dunia ini. Jadi menurut Anda lebih baik orang lain ikut "mati" daripada euthanasia dijalankan. Apa benar demikian?
apakah yakin orang lain ikut mati? setiap manusia berhak untuk hidup bahagia, apabila ada kondisi seseorang yang ibarat kata tidak dapat ditolong lagi kita harus bisa memberikan suport dengan merawat sebisa kita dan "berdoa" semoga kamma buruknya bisa terbayar bukannya kita malah membuat suatu kamma buruk baru.
pernah ada berita anak yang kena penyakit hati kalau gak salah ya yang banyak orang bersimpati untuk menyumbang koin peduli, itu merupakan contoh jalan yang bisa diambil. toh orang tua anak itu tidak punya biaya, toh dengan ada biaya pun anak itu tidak terselamatkan tetapi setidaknya usaha orangtua dan orang2 yang menyumbang patut kita hargai iya khan? bukannya malah dengan alasan uang pasti habis lah atau apaun itu merupakan pembenaran dari suatu pembunuhan.
ini ada artikel yang membahas moralitas dalam buddhist :
www.samaggi-phala.or.id/download/vidyasena/moralitas.pdf
perihal orang yang bunuh diri baca Kodhana Sutta: An Angry Person
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an07/an07.060.than.html
Quote from: ryu on 21 April 2010, 01:05:27 PM
apakah yakin orang lain ikut mati? setiap manusia berhak untuk hidup bahagia, apabila ada kondisi seseorang yang ibarat kata tidak dapat ditolong lagi kita harus bisa memberikan suport dengan merawat sebisa kita dan "berdoa" semoga kamma buruknya bisa terbayar bukannya kita malah membuat suatu kamma buruk baru.
pernah ada berita anak yang kena penyakit hati kalau gak salah ya yang banyak orang bersimpati untuk menyumbang koin peduli, itu merupakan contoh jalan yang bisa diambil. toh orang tua anak itu tidak punya biaya, toh dengan ada biaya pun anak itu tidak terselamatkan tetapi setidaknya usaha orangtua dan orang2 yang menyumbang patut kita hargai iya khan? bukannya malah dengan alasan uang pasti habis lah atau apaun itu merupakan pembenaran dari suatu pembunuhan.
Belum tentu mati, tapi mungkin kehidupan mereka jadi lebih buruk. Pun euthanasia dilakukan bukan atas dasar pertimbangan finansial saja. Ada kalanya euthanasia dilakukan atas dasar mencegah penularan penyakit ke orang lain, maupun mengakhiri rasa sakit berkepanjangan yang dialami penderita.
Contoh ide koin peduli itu mungkin baik. Yah, semoga saja makin banyak ide seperti itu yang diwujudkan. Tapi apakah semua keluarga bisa mendapatkan keberuntungan seperti itu. Sekarang mari kita berbicara dalam kondisi terburuk, dimana hanya euthanasia-lah jalan keluar satu-satunya. Menurut Anda, apakah sebaiknya euthanasia dilakukan?
*Tambahan: Saya tidak membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan benar. Tetapi saya melihat bahwa euthanasia ada kalanya tidak sepenuhnya tercela.
upaya kausalya? =))
yang perlu digarisbawahi ada sebab ada akibat, bukan soal boleh dan tidak tapi lebih kepada akibat dari membunuh itu. ketika kelahiran dulu buddha pernahkah membunuh dan apakah akibatnya. ajartan buddha bukan kepada boleh dan tidak tapi lebih kepada sanggup atau tidak menerima akibat dari perbuatannya.
Kadang jika terlalu kembali ke "buku", pola pikir orang cenderung terkekang. Sekarang kita lihat ada niat, melakukan, dan nyawa hilang, lantas kita anggap perbuatan tercela. Sekarang jika seseorang mengalami komplikasi ketika melahirkan, dokter harus memilih antara ibu atau anak, atau jika didiamkan, keduanya akan meninggal, haruskan si dokter "tidak melakukan apa-apa" dengan alasan tidak ingin membunuh? Dan kalau nanti diminta pertanggungjawaban, tinggal bilang, "nasib mereka 'kan tergantung kamma mereka sendiri, saya tidak berhak menentukan hidup makhluk lain." Buat saya dokter itu bukannya matang dalam sila, tapi semata-mata dungu.
seperti yang bro kainyn pernah bilang, kalau masih membunuh jangan jadi bhikhu tapi jadi prajurit, kalau mau menjauhi pembunuhan jadilah bhikhu. lupa lagi kalau ga salah ngomong gitu ;)
Quote from: ryu on 21 April 2010, 05:49:55 PM
seperti yang bro kainyn pernah bilang, kalau masih membunuh jangan jadi bhikhu tapi jadi prajurit, kalau mau menjauhi pembunuhan jadilah bhikhu. lupa lagi kalau ga salah ngomong gitu ;)
Ya, betul. :) Kalau benar mau jalankan dengan ideal, harus menempuh hidup petapa. Sepertinya itu sebabnya mengapa petapa tidak lagi mencampuri urusan duniawi.