POLIGAMI MENURUT BUDDHA DHARMA
Oleh: Hendrick
Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya,
Namo Sakyamuni Buddhaya,
Kesetiaan pada seorang pasangan adalah suatu kondisi ideal bagi seorang Buddhis. Agama Buddha sangat menganjurkan monogami dan tidak mendukung poligami, meskipun agama Buddha tidak melarangnya. Pernikahan adalah tempat di mana suami dan istri saling membahagiakan satu sama lainnya. Tidak ada pasangan yang ingin dimadu, karena bayangkan betapa sakit hati seseorang yang diduakan itu. Melakukan poligami secara langsung maupun tak langsung menyakiti perasaan pasangan hidup kita, sehingga perbuatan tersebut tentulah merupakan akusala karma [karma negatif].
Perbuatan poligami biasanya dimotivasi dengan rasa tidak puas terhadap satu istri dan lobha yang besar. Namun ada lagi alasan karena istri pertama tidak dapat mempunyai anak, lantas menikah lagi untuk mendapatkan anak. Kalau seperti itu, maka apa bedanya seseorang dengan hewan? Hakekat utama pernikahan adalah rasa cinta dan kesetiaan satu sama lain, komitmen untuk hidup bersama-sama berdua, bukan "produksi anak" saja.
Sebagai contoh adalah suku Shakya di mana Pangeran Siddharta dilahirkan memiliki kebudayaan di mana pernikahan dilangsungkan secara monogami baik di antara anggota keluarga kerajaan maupun masyarakat suku Shakya. Arya Maha-Maudgalyayana [Mogallana] menjelaskan bahwa tradisi monogami ini dimulai dari seorang putra yang terlahir dari istri kedua dari Raja Ikhsvaku [Okkaka] Virudhaka yang bernama Rajyananda Sakya:
"Hukuman yang telah menimpa kita disebabkan oleh karena diambilnya permaisuri kedua dari keluarga yang sederajat dalam status. Karenanya kita harus menghindari mengambil istri kedua dari keluarga yang sederajat, dan harus merasa puas hanya dengan seorang istri." (Mulasarvastivada Vinaya dan Catatan Sejarah Biru, ditulis oleh Go Lotsawa Zhonnu Pel pada tahun 1476 M)
Uniknya tradisi monogami ini terus berlanjut di kalangan masyarakat Newar di Nepal yang dikenali sebagai salah satu keturunan suku Shakya. Walaupun poligami dilegalkan di Nepal, namun pernikahan tetap paling banyak dilangsungkan secara monogami.
Di Thailand sekarang pernikahan kebanyakan monogami. Raja Rama VI, yang berperan besar dalam perkembangan Buddha Dhamma di Thailand juga melarang praktik poligami yang sudah mengakar dalam budaya turun temurun di Negeri Gajah tersebut. Ia sendiri menikah secara monogami. Literatur Buddhis Khun di Siam (Thailand) sendiri sebenarnya juga menekankan pada praktik monogami.
Demikian juga di Tibet sebagian besar masyarakat di sana menikah secara monogami, meskipun di negara salju tersebut cukup banyak pasangan yang berpoligami, khususnya poliandri.
Poligami = Gen di Dalam Tubuh?
Beberapa ahli biologis mengkritik pernikahan monogami sebagai tidak alami. Mereka meneliti bahwa sebagian besar mamalia dan manusia, memiliki gen poligami dalam diri mereka. Dari sekitar beribu-ribu hewan spesies mamalia, hanya 3 sampai 5 persen yang setia dengan satu pasangan saja. Bahkan sangat jarang ada hewan yang mampu bermonogami baik secara seksual maupun sosial, yang hanya dapat ditemukan dalam spesies burung bangkai dan berang-berang / tikus prairi.
Menurut para ahli, kebanyakan hewan melakukan poligami karena ingin menghasilkan keturunan yang banyak nan berkualitas. Bahkan spesies burung yang melakukan monogami secara sosial, ternyata berpoligami secara seksual. Namun apakah hanya karena ada gen poligami dalam diri kita maka kita dapat membenarkan poligami?
Penelitian menunjukkan bahwa anak akan mewarisi gen orang tuanya. Apabila orang tuanya suka mabuk-mabukkan, kekerasan dan mencuri, maka gen negatif dari orang tua itu akan menurun ke anak-anaknya, sehingga dengan kata lain anak itu mewarisi gen alkoholik, kekerasan dan pencurian. Namun apakah dengan demikian maka kita akan membenarkan tindakan sang anak apabila ia mulai mabuk-mabukkan dan mencuri seperti kedua orang tuanya? Tentu tidak bukan?
Pancasila dalam agama Buddha seharusnya dijalankan oleh semua umat Buddhis, baik yang memiliki gen alkoholik, gen mencuri maupun yang tidak memiliki satu atau dua gen tersebut. Demikian juga nasehat untuk bermonogami dalam ajaran Buddha seharusnya diterapkan dalam kehidupan kita meskipun mungkin sebagai manusia kita memiliki gen poligami. Manusia tidak sama dengan hewan. Kelahiran sebagai hewan diliputi oleh moha, maka tidak heran apabila mereka melakukan poligami. Sedangkan manusia memiliki kebijaksanaan dan akal budi untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, oleh karena itu sepantasnyalah umat manusia menjauhi poligami.
Bahkan penelitian juga menunjukkan bahwa ada juga hormon atau gen dalam tubuh manusia yang mendukung kesetiaan dan ikatan monogami yaitu oxytocin - RS3 334. Gen inilah yang turut berperan dalam kehidupan monogami sepasang manusia.
Kesetiaan Monogami
Tentang kesetiaan, Sang Buddha bersabda dalam Canda-Kinnara Jataka:
"Tidak heran, Maharaja! bahwa dalam kehidupanku yang terakhir Ia (Yasodhara) mencintai-Ku, dan setianya hanya kepada-Ku saja. Dalam kehidupan yang lampau, ketika terlahir sebagai Kinnara, ia setia hanya kepadaku seorang."
Ketika hendak Parinibbana, Bhaddakaccana Theri juga berkata: "Aku telah bertekad bahwa selama di samsara, aku mendevosikan diriku hanya padamu [Sang Buddha],... di berbagai kehidupan yang tak terhitung." (Yasodharapadanaya)
Ya, Yasodhara hanya setia pada satu orang saja, yaitu Pangeran Siddharta. Ketika Yasodhara ditinggalkan oleh Pangeran Siddharta, banyak raja dan pangeran yang ingin melamarnya, namun semuanya ditolak oleh Yasodhara. Ketika Pangeran Sudhana [kelahiran lampau Buddha] ditawari wanita-wanita cantik oleh ayahnya, ia menolaknya semua, karena hatinya tetap setia pada Manohara yang merupakan kelahiran lampau Yasodhara. Kecantikan wanita-wanita kerajaan tidak dapat mengubah hati Pangeran Sudhana terhadap Manohara.
Ketika dalam kehidupan lampau Yasodhara terlahir sebagai istri Kuddabodhi (kelahiran lampau Siddharta – Kuddabodhi Jataka), ia juga mengikuti jejak suaminya dalam meninggalkan keduniawian. Rambut pun dipotongnya dan pakaian yang indah ditanggalkannya. Sungguh agung kesetiaan dan kasih sayang antara Yasodhara dan Sang Bodhisattva, yang terjalin sejak pertemuan mereka di masa Buddha Dipamkara.
Kehidupan pernikahan perumah tangga Nakulapita dan Nakulamata yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna juga merupakan contoh kesetiaan pasangan sampai akhir hayat mereka. Nakulamata berkata pada suaminya. "Mungkin anda cemas bahwa saya akan menikah lagi setelah kematian anda. Mohon jangan berpikiran demikian. Kita berdua menjalani kehidupan suci menurut peraturan mulia perumah tangga. Maka jangan cemaskan hal ini." (Anguttara Nikaya III:295). Bila Nakulamata sendiri tidak akan menikah lagi setelah suaminya meninggal, maka ketika suaminya masih hidup, lebih tidak mungkin lagi bagi Nakulamata untuk menikah lagi. Oleh karena itu poligami merupakan suatu bentuk pernikahan yang tidak mengikuti peraturan mulia perumah tangga.
Dalam Dasaratha Jataka, dikisahkan pada masa lampau Sang Bodhisattva Siddharta terlahir sebagai Rama dan Yasodhara sebagai Sita. Kisah romantis dan kesetiaan antara Rama dan Sita telah tersebar di seluruh dunia melalui kisah Ramayana dan tetap popular hingga sekarang. Di naskah-naskah India kuno, Rama dikenal sebagai pribadi yang menjalankan pernikahan monogami [ekapatnivratadhara] dengan Sita. Bahkan semua pria di kerajaan yang diperintah oleh Rama turut mengambil ikrar monogami [ekanarivrata].
Poligami Membawa Penderitaan
Dalam kitab Therigatha, dikisahkan Kisagotami yang telah mencapai tingkatan Arahat mengatakan bahwa tinggal bersama dengan istri-istri lain adalah penderitaan: "Menyedihkan ketika tinggal bersama istri lain(co-wives) milik suaminya" (sapattikam pi dukkham), karena dapat menimbulkan kecemburuan antar istri. Ini bisa dilihat pada berbagai kisah dalam kitab-kitab Buddhis seperti Petavatthu dan Dhammapada Atthakata di mana istri pertama berusaha menggugurkan kandungan istri kedua atau berusaha mencelakai istri yang lain karena cemburu. "Yang terburuk dari semua kebencian adalah kebencian di antara seorang istri dan seorang selir (istri kedua), dan sang ibu tiri tentu akan mencari cara untuk membunuh anak (dari istri saingannya)." (Kangyur)
Uppalavanna, murid Sang Buddha juga pernah mengalami penderitaan kehidupan poligami yang tragis karena ternyata istri kedua suaminya adalah anaknya sendiri: Penderitaan dalam kenikmatan indrawi, yang tidak murni, berbau busuk, dengan banyak masalah, di mana kami, ibu dan anak sama-sama adalah istri [dari seorang suami] (ubho mata ca dhita ca mayam asum sapattiyo) (Therigatha 225)
Menuruti biografi seorang Mahasiddha Buddhis Tibetan tertulis: "Istri membenci istri muda suaminya." Poligami atau mendua akan menyebabkan suatu keluarga penuh dengan kebencian dan kesedihan. Dan juga tidak ada seorang pria/ wanita yang ingin dimadu (diduakan), seperti sabda Sang Buddha: "Seorang pria, O brahmana, adalah tujuan seorang wanita, yang dicari adalah perhiasan, penopangnya adalah putra-putra, keinginannya adalah tidak dimadu, dan cita-citanya adalah mendominasi." (Anguttara Nikaya VI, 52)
"Ambillah contoh kisah tentang istri yang menderita karena putra dari istri lainnya dirawat dengan sangat baik. Istri pertama dari dua istri telah memiliki anak namun sudah meninggal. Istri lainnya masih memiliki anak. Sekarang perempuan yang anaknya meninggal melihat istri yang lain dengan lembut merawat anaknya dan ia sangat menderita. Ia ditanyai, "Apakah kamu menangis karena putramu yang tercinta meninggal?" "Aku tidak menangisinya." Jawabnya, "Aku menangis karena putranya masih hidup." Sesudah itu, ketika putra dari istri kedua sakit, istri pertama tersebut pergi ke desa lain. Setelah beberapa hari berlalu, ia kembali ke desanya dan melihat sesosok mayat digotong keluar. Ia mengimajinasikan bahwa mayat itu adalah putra istri kedua yang mati." (Catuhsataka-tika oleh Candrakirti)
Sang Buddha menjelaskan bahwa ada tujuh macam harapan yang dihasilkan oleh rasa benci seorang istri yang dimadu [dipoligami] terhadap istri lain suaminya: "Di sini bhikkhu, seorang istri lain berharap musuhnya (istri lainnya lagi): "O, ia seharusnya menjadi jelek...tidak dapat tidur...tidak berkelimpahan....tidak memiliki kekayaan... tidak menjadi terkenal... tidak punya teman...masuk ke neraka setelah kematian! Apa alasannya? Para bhikkhu, seorang istri lain tidak menyukai [kalau] istri yang lainnya cantik... tidur nyenyak...berkelimpahan...kaya raya...terkenal...banyak teman... maupun masuk ke surga." (Kodhana Sutta, Anguttara Nikaya)
Dalam kisah Suruci Jataka, ketika Raja Brahmadatta yang merupakan raja Benares hendak menikahkan putrinya dengan Pangeran Suruci, ia bertanya terlebih dahulu pada istrinya. "Ratu, apa penderitaan yang paling menyedihkan bagi seorang wanita?" "Bertengkar dengan sesama istri." Setelah mendengar jawabannya, Raja Brahmadatta lalu berkata:
"Kalau begitu, ratuku, untuk menyelamatkan putri kita satu-satunya, putri Sumedha, dari penderitaan ini, kita akan menikahkannya dengan orang yang hanya akan memiliki satu istri."
Layaknya seorang ayah yang mengasihi anaknya dan tidak ingin anaknya menderita karena suaminya berpoligami, maka seorang suami hendaknya juga berperilaku demikian, ia harus sadar bahwa apabila dirinya memiliki istri kedua, ketiga, keempat; ini hanya akan membawa kesedihan bagi para istrinya sendiri. Kalau memang seorang suami benar-benar mencintai dan mengasihi istrinya sendiri, tidak mungkin ia melakukan poligami.
Arya Candrakirti, salah satu tokoh penting dalam Prasangika Madhyamika, menggunakan perumpamaan rumah tangga seorang pria poligamis yang diisi dengan pertengkaran dan perbedaan pendapat antar istri untuk menggambarkan elemen-elemen tubuh manusia yang saling bertentangan: "Satu dari istri-istri yang saling bertentangan selalu bertindak dengan cara yang arogan. Yang kedua selalu menangis. Yang ketiga selalu marah dan yang keempat selalu bertindak gila. Mereka tidak dapat sepakat bagaimana memberikan perhatian yang sesuai pada tubuh suami mereka ketika suami mereka itu meminta pelayanan mereka. Karena pertentangan mutual mereka, mereka tidak dapat melayani suami mereka dengan tepat. Mereka juga melakukan tindakan lain dengan tidak benar." (Catuhsataka-tika).
Bahkan di dunia modern ini, kita tahu bahwa multiple sex partner dapat meningkatkan potensi menularnya penyakit-penyakit seksual seperti HIV atau AIDS. Praktik poligami termasuk dalam kategori multiple sex partner. Apabila sang suami melakukan hubungan dengan istrinya yang terkena HIV, maka otomatis ia akan tertular dan ketika ia berhubungan dengan istri-istrinya yang lain, maka mereka akan tertular juga. Pemerintah Uganda pernah menggalakkan pernikahan monogami (single sex partner) dan menekan praktik multiple sex partner seperti poligami, prostitusi dan promiskuitas, dan sebagai hasilnya penderita penyakit AIDS di sana menurun drastis.
_/\_
The Siddha Wanderer
Satu Suami Untuk Satu Istri
Walaupun Pangeran Suruci tidak memiliki anak dengan ratu Sumedha, dan ketika para penduduknya meminta sang Pangeran yang telah naik takhta untuk memperistri orang lain sehingga meneruskan garis keturunan, Pangeran Suruci berkata, "Saya telah berjanji untuk tidak beristri lebih dari satu orang, dan karena janji saya inilah saya mendapatkannya [putri Sumedha] sebagai istri. Saya tidak boleh mengingkari janji, tidak boleh ada kerumunan wanita bagiku." Sama ketika kita berjanji bahwa akan setia pada pasangan hidup kita dan mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya yang dicintainya, ini adalah janji yang harus kita pegang. Apabila kita berpoligami, maka kita telah melanggar janji dan kata-kata tersebut dan otomatis, kita melanggar sila ke-4, karena mengatakan kebohongan. Dan kisah Suruci Jataka diakhiri dengan hamilnya putri Sumedha karena pertolongan dari Dewa Sakka, anak yang lahir dari Sumedha dan Suruci diberi nama Mahapanada yang kelak menjadi raja yang bijak.
Kesetiaan terhadap pasangan kita adalah yang terpenting, seperti Nakulapita dan Nakulamata. Puaslah dengan satu istri kita, janganlah mencari yang lain lagi, seperti disebutkan dalam kitab Khuddaka Nikaya: "Setelah menikah, kami tidak melirik kepada istri yang lainnya lagi, tetapi kami setia dengan janji pernikahan kami; dan istri kami juga setia kepada kami: Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda." (Maha Dhammapala Jataka). Maha Dhammapala Jataka mengisahkan tentang Dhammapala (kelahiran lampau pangeran Siddharta) yang disangka telah mati, namun ternyata belum, karena tidak mungkin bagi Dhammapala untuk mati muda sebab ia setia pada istrinya. Ketidaksetiaan akan membuahkan akusala karma, kesetiaan akan membuahkan kebahagiaan.
Contohlah tindakan Sang Bodhisatta ketika suatu ketika beliau terlahir sebagai Raja Kusa (Kusa Jataka): "Demikian Kusa Raja bersuara singa memberikan putri-putri Raja Madda, satu gadis kepada satu raja, gadis-gadis cantik dengan kesatria-kesatria pemberani." Demikianlah Sang Bodhisatta menikahkan satu gadis pada satu kesatria pemberani, satu istri bagi satu suami dan tentu juga, satu suami bagi satu istri.
Oleh karena itu poligami atau "mendua" hanya membawa penderitaan pada mereka yang "diduakan". Agama Buddha adalah sebuah ajaran yang mengusahakan kebahagiaan semua makhluk, oleh karena itulah kebiasaan "mendua" ataupun poligami seharusnyalah dihindari. Terhadap poligami, Sang Buddha berkata pada Ananda di Hutan Jeta:
"Seorang laki-laki yang memiliki banyak istri (poligini) akan terjatuh ke dalam neraka batu gerinda besi ; seorang perempuan yang memiliki banyak suami (poliandri) akan terjatuh ke dalam neraka ular ganas." (Sutra Sebab dan Akibat dari Tindakan dalam bahasa Sogdian)
Pandangan Buddhis Pada Mereka Yang Berpoligami
"Seorang perempuan yang berhubungan dengan tiga lelaki...dikenal berhati palsu." (Satagatha oleh Acarya Vararuci).
Poligami disebabkan oleh rasa haus (lobha) sehingga seseorang akan selalu merasa kurang dan ingin memiliki pasangan hidup sebanyak-banyaknya. Kitab Jataka mengkritik tindakan poliandri yang dilakukan oleh putri Kanha (Draupadi) bersama dengan lima putra Pandu (Pandava):
"Seorang wanita mungkin saja memiliki delapan suami, yang menuruti keinginannya... meskipun demikian, ia masih memberikan cintanya kepada suami yang kesembilan, karena ia tetap merasa ada sesuatu yang kurang." (Kunala Jataka).
Puaslah dengan satu istri kita, janganlah berpoligami ataupun selingkuh dengan wanita lain. "Para brahmana tidak hidup bersama istri orang lain, dan mereka tidak pula membeli istri. Disatukan oleh kasih sayang untuk saling mencintai, mereka puas satu sama lain." (Brahmanadhammika Sutta).
Bahkan Sang Buddha dalam Samugga Jataka mengatakan bahwa wanita yang tidak dapat menjadi setia pada satu laki-laki saja, meskipun sudah dilindungi dan dijaga, adalah "seorang yang kejam dan tidak tahu berterima kasih".
Meskipun begitu, mereka yang berpoligami tetap memiliki kesempatan untuk mencapai pencerahan atau Nirvana dalam kehidupan ini maupun yang selanjutnya apabila mereka memiliki karma baik yang cukup dan usaha untuk mengamalkan Dharma. Contohnya perumah tangga Ugga yang berpoligami, namun akhirnya merealisasikan Dharma berkat usahanya dan ia tidak lagi melekat pada keempat istrinya.
Menurut terma Uluka-mukha Dakini Upadesha Sutra (Ug mDong Kha' 'gro sNying thig mDo) yang dikaitkan dengan praktik Khandro Pawo Nyi-da Melong Gyud, hubungan antara dua tantrika [laki-laki dan perempuan] secara Vajrayanis (tralam-me) sebaiknya dilakukan secara monogami. Bagi mereka yang belum merealisasi shunyata, praktik poligami [multiple partner] dapat mengaburkan 'refleksi pawo-khandro' dan seseorang akan menggerus energi kehidupannya sendiri (srog) serta akan berdampak pula pada pasangannya. Maka dari itu sangat dianjurkan praktik monogami. Praktisinya pada zaman modern ini adalah Ngakchang Rinpoche dan istrinya Khandro Dechen.
Tekad Bermonogami
Dalam kitab Buddhis Lokaneyyapakaranam bagian Kalyanikandapanho dikisahkan bahwa Sang Bodhisatta bertekad hanya memiliki satu istri saja. Dikisahkan seorang raja menghadiahkan Sang Bodhisatta dengan seribu sapi, kuda, gajah dan sebuah istana. Sang Bodhisatta menerima itu semua namun menolak wanita-wanita pemberian raja. Tak ayal sang raja menjadi terkejut dan heran. Ketika ditanay alasannyam Sang Bodhisatta menjawab bahwa ia sudah memiliki seorang istri dan tidak membutuhkan perempuan lain lagi. Sang raja mendorongnya untuk mengambil para perempuan tersebut sebagai istri muda atau selir-selir, namun sang bodhisatta menyatakan bahwa ia telah berjanji pada pasangannya bahwa ia hanya akan memiliki satu istri yaitu Kalyani dan tidak dengan yang lain.
Sang raja kemudian berkeinginan untuk menemui istrinya dan Sang Bodhisattva mengadakan pertemuan bagi Kalyani dengan membawanya ke istana. Dalam sebuah resepsi publik, sang raja bertanya pada Kalyani mengapa ia melarang suaminya untuk mengambil istri kedua. Ia menjawab, "Oh Raja! Aku tidak pernah melarangnya memiliki istri kedua. Namun ia juga adalah suamiku di kehidupan sebelumnya ketika aku sangat menderita di tangan istri pesaing [istri lain]."
Kalyani kemudian menceritakan sebuah kisah pada msa lalu. Pada saat iru raja Dhananjaya berkuasa di Baranasi dan dikenal dengan nama Kasikaraja. Permiasurinya adalah Kali, yang memimpin harem yang terdiri dari 500 orang istri lainnya [selir] Pada waktu itu Kalyani adalah putrid dari kepala desa dan dikenal dengan nama Pankajadevi. Suatu hari, ia pergi memetik bunga teratai bersama dengan beberapa gadis yang lain. Raja Kasikaraja kebetulan juga mengunjungi danau itu pada hari tersebut dan melihat gadis yang sangat cantik, sang raja langsung jatuh cinta padanya. Ia membawa Kalyani ke istananya dengan kudanya dan membuatnya menjadi permaisuri utama,
Sejak saat itu, ia dimusuhi oleh mantan permaisuri Kali dan selir-selir lainnya. Pesaing-pesaingnya berusaha mencari kesempatan untuk mencelakai Kalyani, namun mereka gagal menemukan satu kesalahan pun di dalam tindakannya. Namun akhirnya mereka menemukan satu cara. Para selir tersebut menyuruh satu orang pelayan wanita untuk mengundang dua orang penipu, yang dibayar untuk menyamar menjadi sepasang petapa berambut simpul, satu sebagai guru dan yang lain sebagai muridnya. Ketika mereka berkeliling kota meminta dana makanan, dua petapa tersebut menjadi cukup terkenal dan mengumpulkan dana yang banyak sekali sehingga bahkan sang rajapun menjadi tahu tentang mereka. Di dalam istana, saat Pankajadevi tidur, Kali memerintahkan pelayan Pankajadevi untuk mengambil cincin hadiah sang raja pada majikannya dari jarinya dan memotong seikat rambut majikannya itu. Baik cincin dan rambut berhasil diberikan pada Kali dan segera mengirimkannya pada dua petapa itu. Ketika sang guru tetap duduk di tanah kremasi memegang seikat rambutnya, sang murid pergi ke pasar untuk menukarkan cincin itu dengan berbagai kebutuhan. Para penjual di pasar diberitahu bahwa apabila ada orang yang bertanya tentang cincin itu, mereka harus berkata bahwa itu adalah milik yakkhini yang memakan mayat di malam hari di tanah kremasi. Gurunya berhasil menangkapnya dengan memegang rambutnya namun ia akhirnya kabur setelah memberi sang murid cincin. Pagi itu, ketika Pankajadevi bangun, ia menemukan bahwa seikat rambutnya menghilang dan cincin kerajaannya hilang. Sangat malu, ia tetap tinggal di kamarnya, terus menutupi kepala. Para pelayan wanitanya memberitahu sang raja tentang hilangnya cincin Pankajadevi, dan raja memerintahkan untuk mencari di seluruh pasar. Pencarian tersebut akhirnya sampai pada petapa di tanah kremasi yang memberitahu raja keseluruhan kisahnya bertemu dengan yakkhini. Takut kalau-kalau permaisurinya ternyata adalah yakkhini, sang raja memerintahkannya untuk diasingkan dari kota.
Seorang perempuan tua merasa kasihan pada Pankajadevi dan memberikan tempat tinggal baginya. Dua orang penipu itu kemuidan mendapat bayaran dari Kali dan melarikan diri. Setelah ebberapa hari tidak melihat kedua petapa itu di kota, sang raja menjadi curiga dan pergi sendiri untuk memastikannya dengan cara menyamarkan diri. Ia menemukan kedua petapa tersebut mabuk, dan mendengar cerita tentang bagaimana mereka dipekerjakan oleh Kali untuk mencelakai permaisuri Pankajadevi. Sang raja kemudian menangkap mereka, dan menemukan kembali Pankajadevi yang diizinkannya kembali untuk tinggal di istana. Raja memerintahkan Kali dan para pihak yang terlibat dalam penipuan itu untuk diinjak oleh para gajah, namun karena metta-nya pada semua makhluk, Pankajadevi meminta agar hukuman mereka itu dibatalkan. Raja merasa takjub akan kebesaran hatinya dan akhirnya memerintahkan para penipu untuk dihukum lebih ringan yaitu dengan menjadikan mereka budaknya. Pankajadevi ternyata juga menolaknya dan meminta agar mereka dikembalikan ke posisi mereka masing-masing. Namun sang raja tetap bersikeras dan bersumpah bahwa karena penderitaan yang dialaminya di tangan istri-sitri pesaing dan selir-selir, ia hanya akan memiliki Pankajadevi seorang sebagai istri satu-satunya sejak saat itu.
Ketika mendegar ini, Bodhisatta mengingat kisah yang sama di kehidupannya yang lampau sebagai Raja Manoja dan Kalyani adalah istrinya, Sasidevi. Ya, Raja Dhananjaya adalah Bodhisatta sendiri dan Kalyani adalah kelahiran lampau Yasodhara.
Dalam kitab Yasodhara-padanaya, Bhadakaccana Theri memuji Sang Buddha: "Dengan tujuan agar aku tidak pernah menjadi istri dari laki-laki lain, Engkau memberikanku cermin tilakunu [anicca, dukkha, anatta]." Ketika dulu ketika masih sebagai Bodhisattva menyimpang dari kebenaran, Yasodhara dengan kasih sayang meluruskannya kembali. "Sang Buddha, ketika terjebak di dalam ikatan Mara di dalam samsara ini, Engkau meninggalkanku dan pergi bersama dengan wanita lain dan sebagai hasilnya engkau dikenai berbagai macam penyiksaan dan penjara. Aku, ketika aku mengetahuinya, tanpa rasa marah sedikitpun, bagaikan seorang ibu, yang juga sakit oleh karena penderitaan putranya, dengan tangisan yang keras melawan mereka, memberikan mereka sutra dan permata milikku sebagai bayaran [tebusan] dan menyelamatkan-Mu, di berbagai kehidupan yang tak terhitung, aku tidak tahu." (Yasodharapadanaya)
Baik Bodhisatta dan istrinya, selalu menjaga satu sama lain agar tidak memiliki wanita atau pria idaman lain. Keduanya tetap menjaga agar hubungan mereka tetap terjaga dalam ikatan monogamy dan penuh dengan kasih saling setia satu sama lain.
_/\_
The Siddha Wanderer
Maksimal Empat atau Lima Istri
"Walaupun Sang Buddha tidak menyebutkan apapun berkaitan dengan jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang pria, beliau secara jelas menyatakan dalam ajaran-ajarannya bahwa saat seorang pria yang telah menikah pergi ke wanita lainnya yang tidak berada dalam ikatan pernikahan, hal tersebut dapat menjadi sebab bagi keruntuhannya sendiri dan ia akan menghadapi berbagai permasalahan dan rintangan lainnya. Ajaran Sang Buddha hanyalah untuk menjelaskan suatu kondisi dan akibat-akibatnya. Orang-orang dapat berpikir sendiri mana yang baik dan mana yang buruk."
(Rumah Tangga Bahagia oleh Ven. K Sri Dhammananda)
Teks Manu Dharma Shastra, yaitu sebuah naskah Hindu kuno, menyebutkan bahwa seorang dari kasta Brahmana dapat menikahi empat istri, Ksatriya dapat menikahi tiga istri, kasta Vaisya dua istri dan Sudra hanya boleh menikahi satu istri saja. Dari sini kita dapat melihat bahwa dalam kultur India, poligami diizinkan maksimal dengan empat orang saja. Ini juga terlihat dalam kitab-kitab Buddhis di mana mereka yang berpoligami kebanyakan maksimal hanya memiliki empat orang istri, kecuali para raja-raja, di aman seorang raja boleh memiliki istri sebanyak apapun yang mereka kehendaki.
Batasan empat istri ini juga ditemukan dalam naskah Hindu berjudul Slokantara. Sedikitnya ada tiga tipe brahmacari menurut teks tersebut yaitu sukla brahmacari [selibat], sewala brahmacari [monogami] dan krsna brahmacari [poligami dengan maksimal empat orang istri]. Praktek krsna brahmacari ini didasarkan atas keempat Shakti (istri) dari Dewa Shiva yaitu Dewi Uma, Gangga, Gauri dan Durga. Dewa-dewa Hindu memang sering dikisahkan memiliki beberapa istri, yang jumlahnya kebanyakan tidak lebih dari empat Dewi. Bahkan dalam kitab-kitab Hindu, konon Krishna yang merupakan titisan (avatar) Vishnu yang kedelapan, memiliki 16.008 istri.
Walaupun latar belakang India pada zaman dahulu diwarnai dengan kehidupan poligami, Sang Buddha tidak pernah menganjurkan poligami, ajaran Beliau selalu menganjurkan praktik monogami, namun kenyataannya ada beberapa kisah orang bajik yang memiliki beberapa istri di sepanjang sejarah agama Buddha. Tapi apakah praktik tersebut didukung oleh ajaran Dharma, inilah yang akan kita bahas.
Dalam teks Kulavaka Jataka, dikisahkan Sang Bodhisatta yang terlahir sebagai pria bernama Magha yang memiliki empat orang istri. Setelah ia meninggal dan terlahir sebagai Dewa Sakka, tiga dari empat orang istrinya yang penuh kebajikan terlahir kembali sebagai pelayan-pelayan wanitanya di Surga Tavatimsa, sedangkan satu istrinya lagi terlahir sebagai putri dari raja Asura Vepacitti yang kelak akan menjadi permaisurinya. Kisah ini mendeskiripsikan bagaimana pernikahan poligami akhirnya berubah menjadi pernikahan monogami yang dianjurkan dalam ajaran Buddhis.
Di dalam kitab Sadhusila Jataka, dikisahkan seorang brahmana bertanya pada Sang Buddha, kepada lelaki manakah ia harus menikahkan keempat putrinya, mengingat ada empat orang pemuda yang melamar empat putrinya. Sang Buddha lalu mengisahkan sebuah kisah Jataka di mana Sang Bodhisatta pada kehidupan lampau pernah menasehati brahmana tersebut bahwa seorang lelaki yang penuh dengan kebajikan adalah laki-laki yang terbaik sebagai suami. Segera setelah sang brahmana mendengar cerita tersebut, ia menikahkan keempat putrinya pada lelaki yang bajik itu. Namun tentu, pernikahan poligami ini adalah inisiatif dan ide sang brahmana sendiri, bukan anjuran Sang Bodhisatta maupun Sang Buddha.
Perumah tangga Ugga dipuji oleh Sang Buddha karena memiliki delapan kualitas yaitu salah satunya ia mampu untuk tidak melekat dan melepaskan keempat orang istrinya.
Para Raja Dharma Buddhis diketahui maksimal memiliki 5 orang istri. Raja Ashoka memiliki lima orang istri bernama Devi, Karuvaki, Padmavati, Asandhimitra dan Tisyaraksita. Raja Udena dari Kosambi memiliki tiga istri yaitu Vasuladatta, Magandiya dan Samavati. Raja Bimbisara memiliki lima orang istri bernama Kosaladevi [Vaidehi], Khema, Chellana, Silava dan Jayasena. Raja Prasenajit (Pasenadi) dari Kosala juga mempunyai 5 orang istri (Mallika, Vasabha, Ubbiri, Soma, Sakula), demikian juga dengan raja-raja Dharma Tibetan seperti Trisong Detsen, Ralpachen dan Srongtsan Gampo juga masing-masing memiliki 5 orang istri. Tampaknya 5 orang istri ini merupakan batasan jumlah istri bagi para raja-raja Buddhis. Walaupun praktek poligami masih dilaksanakan oleh raja-raja tersebut, namun ini sudah merupakan perkembangan yang luar biasa, karena pada masa lampau raja-raja India yang tidak mengenal Dharma bahkan bisa memiliki ratusan sampai puluhan ribu istri.
Adapun alasan poligami di kalangan kerajaan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempertahankan garis keturunan (apabila ada anak yang meninggal atau istri yang tidak dapat punya anak, maka dapat digantikan yang lain)
2. Untuk dapat memilih lebih dari satu istana sebagai tempat tinggal, masing-masing tinggal seorang istri, sehingga mengurangi kemungkinan sang pangeran diserang oleh musuh.
3. Untuk mencegah adanya pengaruh yang berlebihan oleh seorang istri terhadap pemerintahan
4. Untuk menunjukkan ciri dan harga diri seorang bangsawan
Guru Padmasambhava sendiri ketika masih sebagai pangeran, selain menikahi Putri Basadhara, ia juga menikahi 499 wanita lainnya, karena sudah merupakan tradisi kerajaan Uddiyana bahwa seorang raja harus memiliki 500 istri, seperti raja Indrabhuti (Indrabodhi), ayahnya. Raja Arshadara (ayah Mandarava) di kota Zahor dekat Uddiyana memiliki 360 orang istri.
Melihat berbagai kenyataan seperti yang telah disebutkan di atas, Guru Padmasambhava mengkritik perilaku raja-raja yang memiliki banyak istri:
"Jika dengan nafsu tak terkendali untuk mendapatkan istri-istri dan perempuan-perempuan, engkau tumbuh terlalu menyayang dan melekat, engkau akan dikuasai oleh emosi-emosimu dan lepas kendali." (Riwayat Guru Padmasambhava oleh Yeshe Tsogyel)
Suatu ketika Buddha Sakyamuni diundang ke istana oleh Raja Indrabhuti (Indrabodhi) yang memiliki 500 istri (versi lain: 108 istri). Sang raja dikenal suka bersenang-senang dengan istri-istrinya tersebut. Melihat hal itu, Sang Buddha kemudian membabarkan ajaran bahwa semua nafsu kemelekatan harus ditinggalkan, karena hal tersebut mengikat seseorang dalam samsara.
Arya Candrakirti dalam Catuhsataka-tika, juga mengisahkan seorang raja yang mempunyai banyak istri dan ia tidak tahu harus berbuat apa pada istri-istrinya tersebut. Namun kemudian ada seorang bhiksu yang membabarkan Dharma sehingga mampu membuat sang raja melepaskan istri-istrinya yang kebanyakan itu.
"Juga, seorang raja memiliki ratusan istri yang tinggal di istananya. Sang raja tidak melakukan aktivitas apapun dengan mereka dan ia tidak memberikan mereka pada orang lain. Suatu hari seorang bhiksu bertanya pada raja, "Apakah baginda akan melakukan sesuatu dengan semua wanita ini?" "Tidak", jawab sang raja. Kemudian sang bhiksu memberikan pembabaran tentang tindakan bajik pada sang raja sehingga ia akan melepaskan wanita-wanita ini. Sang raja melepaskan mereka (istri-istrinya) karena sebab ini." (Catuhsataka-tika oleh Candrakirti)
Maka dari itu hendaknya kita tidak meniru perilaku raja-raja Buddhis yang melakukan praktek poligami. Walaupun beberapa dari para raja tersebut pada akhirnya adalah para suciwan dalam agama Buddha, namun pernikahan poligami yang mereka lakukan dilangsungkan sebelum mereka merealisasikan Dharma.
Dan patut diketahui bahwa para raja Buddhis India yang berpoligami itu, sebenarnya hanya memiliki seorang istri yang paling dicintai oleh mereka. Samavati adalah yang paling dicintai oleh Raja Udena (Udayana), Mallika oleh Raja Prasenajit dan Vaidehi oleh Raja Bimbisara. Mereka semuanya diangkat menjadi permaisuri utama raja dan sebaliknya mereka juga sangat sayang dan setia pada sang raja. Terbukti bahwa rasa cinta itu tidak dapat dibagi-bagi sejatinya. Namun oleh karena nafsu keinginan mereka yang besar akhirnya para raja tersebut menikahi wanita-wanita lain. Sayang sekali bahwa para raja-raja tersebut dahulu tidak menyadari arti cinta kasih dan malah tertipu oleh cinta nafsu seksual. Apalagi tidak semua raja Buddhis berpoligami, contohnya Raja Ajatashatru (Ajatasattu) yang hanya memiliki seorang istri bernama Vajira.
Poligami Menurut Para Tokoh Buddhis Modern
Intelektual Buddhis Tibetan Gendun Choepel yang dikenali sebagai emanasi Manjusri pernah menulis:
"Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita berkaitan dengan perzinahan. Jika seseorang memperhatikan dengan seksama, maka para pria lebih buruk. Seorang raja yang memiliki 1000 ratu masih dianggap sebagai gaya kelas atas. Jika seorang wanita mempunyai seratus pria, ia diolok-olok seperti bila tidak ada yang dapat diperbandingkan lagi."
Gendun Choepel menganggap poligami sebagai sebuah bentuk perzinahan yang dilakukan melalui sebuah pembenaran, yaitu lewat pernikahan. Pernikahan yang suci dipakai sebagai alat untuk membenarkan perzinahan. Pernikahan poligami tidak lain adalah sebuah perzinahan terselubung, wujud dari ketidakpuasan nafsu seksual dan ketidaksetiaan seseorang
"Jika seorang raja melakukan seks dengan seribu perempuan, di manakah ada bentuk perzinahan! Karena berhubungan seks dengan seorang istri bukanlah tindakan perzinahan, bagaimana mungkin seorang yang kaya bisa melakukan perzinahan! Seorang pria tua yang kaya dengan rambut seputih salju memilih dan membeli seorang gadis muda. Hanya menjadi barang yang dijual, ia diberi harga. Karena itu, perempuan tidak mempunyai pelindung!"
Kalimat di atas menunjukkan bahwa para pria menghalalkan ketidaksetiaan mereka dengan menikahi wanita yang ingin dizinahi oleh mereka. Mereka berpikir tidak ada salahnya untuk berhubungan seks dengan istri sendiri, oleh karena itu mereka mengambil istri sebanyak-banyaknya. Mereka berpikir lebih baik poligami, daripada berzinah. Tapi tentu, agama Buddha memandang poligami dan perzinahan sebagai hal yang tidak jauh berbeda, karena sama-sama merupakan suatu bentuk ketidaksetiaan pada pasangan.
"Di negara Persia, setiap pria tua mengambil kira-kira 10 istri muda, namun jika satu istri melakukan perzinahan, ia langsung dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup. Meskipun satu pria dipuaskan oleh lima perempuan muda, bagaimana bisa lima perempuan muda dipuaskan oleh satu pria tua? Dengan cara itu, banyak tempat di dunia di mana mereka yang kaya memiliki banyak peraturan dan kebiasaan menuruti keinginan mereka."
Kalimat di atas menandakan tidak mungkin untuk seorang pria berlaku adil pada istri-istrinya, maka dari itu bagaimana mungkin lima istri dipuaskan oleh satu suami? Poligami membawa ketidakadilan dan ketertindasan bagi kaum wanita. Riset yang membuktikan tindakan kaum laki-laki berpoligami berakibat pada penderitaan kaum perempuan secara psikologis, biologis, ekonomis. Bahkan si anak memiliki kemungkinan untuk menghadapi trauma psikologis dan problem relasi sosial jika sang ayah berpoligami. Maka dari itu penting untuk mengindari poligami yang berarti mengumbar banyak keinginan:
"Sedangkan untuk umat awam, prinsip 'sedikitnya keinginan' ini berarti: merasa puas dengan keluarganya sendiri. Suami seharusnya punya hanya satu istri saja. Istri seharusnya punya hanya satu suami saja. Suami seharusnya punya hanya satu istri – bukan dua atau tiga, yang akan menjadi api yang menyebar dan membakar dirinya sendiri dan keluarganya. Begitulah arti 'memiliki sedikit keinginan' – tidak menjadi tamak akan keasyikan yang nantinya akan menyalakan api dalam keluarga...... Satu suami, satu istri." (Ajahn Maha Boowa Nanasampanno)
"Praktek terbaik dalam seksualitas adalah monogami seksual." (Ajahn Sumano)
Para master Mahayana di zaman modern ini juga turut menyampaikan kritikan mereka terhadap poligami. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ven. Hsuan Hua dalam komentarnya tentang Shurangama Sutra::
"Nafsu seks adalah adalah sesuatu yang dapat engkau mengerti tanpa aku mengatakannya. Nafsu seks merujuk pada keinginan akan kecantikan. Hal itu juga, tidak dapat terpuaskan. Satu istri tidak cukup, ia harus memiliki dua. Kemudian dua tidak cukup, ia butuh tiga. Beberapa pria memiliki 10 atau 20 istri. Bagaimana engkau dapat mengira satu orang dapat merespon kepada sebegitu banyak [wanita]? Raja-raja memiliki ratusan atau ribuan wanita berkumpul di istana. Bukankah kamu akan mengatakan bahwa hal tersebut sangat tidak adil? Sekarang di negara-negara demokratis laki-laki hanya dibolehkan memiliki satu istri. Praktek poligami dilarang, namun masih banyak orang yang sembunyi-sembunyi melanggar dan melakukan hubungan perzinahan."
Tidak hanya Ven. Hsuan Hua, pendiri Fo Guangshan yaitu Ven. Hsingyun juga mengkritik poligami: "Penyakit hubungan percintaan menunjuk pada... poligami," beliau menambahkan, "Mereka yang melakukan poligami... telah melanggar sila kamesumicchacara." Poligami sungguh merupakan perbuatan yang tidak terpuji, sehingga bahkan tokoh reformis Buddhis B.R. Ambedkar pernah mengatakan, "Tidak ada kata-kata yang dapat mengekspresikan banyak dan besarnya kejahatan dari poligami."
Pada akhirnya amanat-amanat Sang Buddha dan para Bodhisattva di atas sebenarnya dapat dicakup dalam satu kalimat inti yang ingin disampaikan pada Anguttara Nikaya IV: 55 yaitu: "Pertapaan adalah kondisi pengembangan batin sempurna amatlah terpuji; namun perkawinan dengan seorang wanita ( pria ) dan setia kepadanya adalah salah satu bentuk pertapaan juga. Poligami dikritik Sang Buddha sebagai kegelapan batin dan menambah ketamakan."
Ikutilah teladan Guru Agung kita, di mana ketika masih sebagai Pangeran Siddharta, beliau menikah hanya dengan satu orang istri saja yaitu Putri Yasodhara [Gopa]. Monogami adalah bentuk pernikahan yang dianjurkan dalam agama Buddha, tidak ada ruang bagi poligami. Pernikahan Monogami yang tak lupa disertai oleh 4 Brahmavihara (maitri, karuna, mudita, upeksha) merupakan satu-satunya pola hubungan antara pria dan wanita yang luhur, sehat, dan bahagia.
Sarva Manggalam,
Upasaka Vimala Dhammo
Kalo 1 wanita dengan 1 laki2 dipasangkan. Kasian dong wanita lain ga dapet jodoh.. Pan secara statistik wanita lebih banyak dr laki2. :D
QuoteKalo 1 wanita dengan 1 laki2 dipasangkan. Kasian dong wanita lain ga dapet jodoh.. Pan secara statistik wanita lebih banyak dr laki2. Cheesy
Emang karmanya... :P :P
_/\_
The Siddha Wanderer
tenang, problem ini sudah dikompensasi oleh agama lain yg menghalalkan poligami
berbagi suami juga sesuatu yg baik lho
Quote from: Indra on 20 December 2009, 04:05:38 PM
tenang, problem ini sudah dikompensasi oleh agama lain yg menghalalkan poligami
seharusnya kita kaum laki2 buddhis juga beremansipasi.. demi kemaslahatan laki2 dan wanita >:D
Quote from: exam on 20 December 2009, 04:12:53 PM
berbagi suami juga sesuatu yg baik lho
asal jangan berbagi istri ya .. ;D
raja-raja jaman dulu selirnya ratusan, terus selirnya juga suka main gila sama kalangan istana,
kira-kira raja pada kena penyakit kelamin gak ya ?
belum tentu, tergantung slir yg mana yg maen gila, biasany raja punya kesukaan sendiri2, ada yg fav.. ada yg cuma buat pelengkap doank, gak semua di sentuh, mungkin cuma di buat pertama kali , setelah itu buat hiasan di istana :P
yg sering di pake yg fav :P
tabib istana juga selalu siap sedia
Quote from: Jerry on 20 December 2009, 04:17:47 PM
Quote from: exam on 20 December 2009, 04:12:53 PM
berbagi suami juga sesuatu yg baik lho
asal jangan berbagi istri ya .. ;D
ckckck.... Nih komentar yg egois..
Mau menduakan cinta tapi gak mau cinta nya di-duakan... :P
Quote from: Elin on 20 December 2009, 06:21:28 PM
Quote from: Jerry on 20 December 2009, 04:17:47 PM
Quote from: exam on 20 December 2009, 04:12:53 PM
berbagi suami juga sesuatu yg baik lho
asal jangan berbagi istri ya .. ;D
ckckck.... Nih komentar yg egois..
Mau menduakan cinta tapi gak mau cinta nya di-duakan... :P
Manusia memang egois. Kalo ngga egois dah arahat >:D
Mungkinkah ada poligami yang tidak dilandasi oleh LOBHA MULA CITTA ?
atas dasar kasihan....
kasihan kepada janda muda yang cakep... ? ? ? hahahahhahaha
biar gak bosan, makan nasi aja bosan, makanya lauknya ganti-ganti.
kecuali gak punya pilihan.
Quote from: dilbert on 20 December 2009, 10:35:27 PM
Mungkinkah ada poligami yang tidak dilandasi oleh LOBHA MULA CITTA ?
selama masih putthujana, bukan hanya poligami saja, bahkan semua bentuk keinginan tentu saja tetap dilandasi lobha mula citta, bukan begitu?
Quoteselama masih putthujana, bukan hanya poligami saja, bahkan semua bentuk keinginan tentu saja tetap dilandasi lobha mula citta, bukan begitu?
Seharusnya begitu.
Poligami saya kira masih wajar ketika memang ada alasan yang logis pada saat itu dan benar-benar terpaksa, tak ada jalan lain lagi, misal tidak ada jalan lain lagi untuk meningkatkan derajat / kondisi hidup seseorang sehingga kemudian dipoligami, dsb
Tapi yang terjadi malah pembenaran poligami dengan alasan meningkatkan status, dsb.... padahal motifnya ya hanya ketidaksetiaan dan nafsu seksual saja.... Ini sangat disayangkan.
Tapi poligami jenis apapun tentu tetap ada konsekuensi menyakiti perasaan istri pertama, maka dari itu berdasarkan ajaran Buddhis, sepantasnya dihindari poligami itu, toh kalau memang tulus membantu lebih baik kita carikan saja orang lain untuk ngawini dia, kenapa mesti kita yang ngawini?
Usaha2 agama I yang menyerukan monogami, patut didukung pula. :)
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: GandalfTheElder on 21 December 2009, 06:43:19 AM
Quoteselama masih putthujana, bukan hanya poligami saja, bahkan semua bentuk keinginan tentu saja tetap dilandasi lobha mula citta, bukan begitu?
Seharusnya begitu.
Poligami saya kira masih wajar ketika memang ada alasan yang logis pada saat itu dan benar-benar terpaksa, tak ada jalan lain lagi, misal tidak ada jalan lain lagi untuk meningkatkan derajat / kondisi hidup seseorang sehingga kemudian dipoligami, dsb
Tapi yang terjadi malah pembenaran poligami dengan alasan meningkatkan status, dsb.... padahal motifnya ya hanya ketidaksetiaan dan nafsu seksual saja.... Ini sangat disayangkan.
Tapi poligami jenis apapun tentu tetap ada konsekuensi menyakiti perasaan istri pertama, maka dari itu berdasarkan ajaran Buddhis, sepantasnya dihindari poligami itu, toh kalau memang tulus membantu lebih baik kita carikan saja orang lain untuk ngawini dia, kenapa mesti kita yang ngawini?
Usaha2 agama I yang menyerukan monogami, patut didukung pula. :)
_/\_
The Siddha Wanderer
Poligami saya kira masih wajar ketika memang ada alasan yang logis pada saat itu dan benar-benar terpaksa.............
maksudnya emergency Exit gitu ? karna isteri pertama halangan melayani seterusnya ?
Quotemaksudnya emergency Exit gitu ? karna isteri pertama halangan melayani seterusnya ?
Lah ini kan motifnya sudah nafsu, gak wajar la.....
_/\_
The Siddha Wanderer
Bagaimana jika mengambil alasan untuk memiliki keturunan karena istri pertama tak dapat memberikan keturunan masih ada orang tua yang menuntut anaknya harus memiliki anak (laki2) untuk penerus marga
QuoteBagaimana jika mengambil alasan untuk memiliki keturunan karena istri pertama tak dapat memberikan keturunan masih ada orang tua yang menuntut anaknya harus memiliki anak (laki2) untuk penerus marga
Alasan orang menikah kan bukan untuk punya anak, tetapi memutuskan hidup bersama karena cocok, saling mencintai dan tulus satu sama lain, bisa saling mengerti dan saling bahu membahu.
Anak adalah konsekuensi logis dari sebuah pernikahan, tetapi tujuan utama menikah ya bukan punya anak. Anak hanyalah tujuan sampingan saja.
Jadi kalau ada keinginan ortu yang tidak logis, maka ya jangan dituruti, coba beri pengertian yg benar pada ortu. Bila orang-orang dengan alasan agar punya anak mengambil istri kedua, maka patut dipertanyakan seberapa besar ia menghargai dan memaknai suatu pernikahan.
Kalau di agama tetangga, pendirinya lahir dari istri kedua sang ayah karena istri pertama punya anak cewek semua, maka kepengen anak laki-laki, diambillah istri kedua, dari istri kedua lahirlah seorang pendiri agama yang dianggap suatu berkah. Kalau bagi saya, saya kurang dapat menerima motivasi pernikahan semacam ini, terlepas apakah anaknya itu akan jadi nabi atau orang suci.
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: kamala on 21 December 2009, 08:37:21 AM
Bagaimana jika mengambil alasan untuk memiliki keturunan karena istri pertama tak dapat memberikan keturunan masih ada orang tua yang menuntut anaknya harus memiliki anak (laki2) untuk penerus marga
adopsi
Quoteadopsi
:jempol:
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: kamala on 21 December 2009, 08:37:21 AM
Bagaimana jika mengambil alasan untuk memiliki keturunan karena istri pertama tak dapat memberikan keturunan masih ada orang tua yang menuntut anaknya harus memiliki anak (laki2) untuk penerus marga
come on.. zaman sudah maju.. budaya yang baik dari zaman dulu ya kita ikuti.. kalau budaya yang kurang baik seperti wanita no.2 dll layaknya ditinggalkan..
zaman dulu, masyarakat saat itu berpandangan kalau gak ada anak gara2 istri gak bisa memberikan, padahal zaman sekarang sudah jelas, masalahnya juga bisa ada pada pria.. tidak hanya semata2 salahkan pihak wanita saja..
lagian perlu dipertanyakan menikah itu buat saling melengkapi / buat mau dapat anak aja ?
weleh2, mending pindah agama nih =))
Quote from: GandalfTheElder on 21 December 2009, 07:20:35 AM
Quotemaksudnya emergency Exit gitu ? karna isteri pertama halangan melayani seterusnya ?
Lah ini kan motifnya sudah nafsu, gak wajar la.....
_/\_
The Siddha Wanderer
bro The Siddha Wanderer
adakah perbedaan KEBUTUHAN BIOLOGIS, dan nafsu ?
Hal lain adalah nambah isteri ke2 adalah untuk MERINGANKAN KEGIATAN isteri pertama!
meringankan = membantu kesibukan rumah tangga (cuci, bersih2, dsb)
Jaman dulu kalau jadi raja polygami sih ok2 aja. Kalau sekarang sudah tidak relevan lagi, bisa diprotes para istri
Makanya kalau mau jadi raja jaman dulu ^-^
g jg ga setuju,
post yang bagus bro gandalf!!
manusia punya perasaan,
kalau kita benar2 mencintai seseorang,
kita tidak akan menyakitinya,
ga bener pake alesan ini itu untuk benerin cari bini lagi,
itu mah nafsu belaka aja
apapun alasanya poligami, q g s7....
Quote from: ryu on 21 December 2009, 12:08:28 PM
weleh2, mending pindah agama nih =))
Kacau nih sarannya.. :-?
Saya ingin bertanya tentang cerita Yasodhara yang selama berbagai macam kehidupannya selalu setia dengan Siddharta..
Apakah dalam agama Buddha itu di kenal juga istilah 'Soul Mate' ?
Atau apakah benar ada pasangan sejati kita selama mengarungi lautan Samsara ?
Dalam Jataka Bodhisatta jg pernah berpasangan dengan selain Yasodhara, dalam 1 cerita Bodhisatta berpasangan dengan kelahiran terdahulu dari Cinca Manavika.
Soul itu aja ngga ada, giman ada "mate" nya lagi? hehehe..
Hmm,pada kehidupan masa lampau, bhodhisatta tidak selalu memiliki istri, dan pada saat memiliki istri bhodhisatta tidak selalu beristrikan yashodara
Quote from: The Ronald on 21 December 2009, 10:59:22 PM
Hmm,pada kehidupan masa lampau, bhodhisatta tidak selalu memiliki istri, dan pada saat memiliki istri bhodhisatta tidak selalu beristrikan yashodara
memang anda benar bro, dlm 550 kelahiran, bisa dibaca di jataka story, putri yasodhara menemani sebagai istri selama 450 kali kelahiran, sehingga yg 100 kali tentu bukan putri yasodhara. tp sy agak kurang jelas dari sejak kelahiran yg mana ya putri yasodhara sll menemani bodhisattva? krn dlm "janji teratai" dihadapan Buddha Dipankara itupun Buddha Dipankara menyebut bhw putri yasodhara telah sll menemani bodhisattva kelahiran demi kelahiran, jadi sy jg kurang jelas dimulai dr kelahiran yang mana utk pertama kalinya, apakah sbg burung kinara? itupun ditutup dg cerita bhw dikelahiran lampau jg tlh menemani bodhisattva dg penuh setia, adakah yg tahu, pertama kali putri yasodhara menemani bodhisattva sbg istri? thanks sblmnya.
mettacittena,
kalo gw pribadi sih, ndak bakalan rela berbagi suami
hiksss....
Quote from: wiithink on 21 December 2009, 11:14:59 PM
kalo gw pribadi sih, ndak bakalan rela berbagi suami
hiksss....
itu namanya stingy.. :))
Quote from: Peacemind on 21 December 2009, 11:26:39 PM
Quote from: wiithink on 21 December 2009, 11:14:59 PM
kalo gw pribadi sih, ndak bakalan rela berbagi suami
hiksss....
itu namanya stingy.. :))
udah mo matiin komp tiba2 baca ini, jadi tergelitik nanggapi...
yg sy beri penebalan mohon dijelaskan kriterianya...
(**cepetan kabur ahh...jadi off beneran sekarang, besok pagi jadwal beliau ngajar, bisa distrap nihh...**)
ga usah jauh jauh nengok saja selir dari kaisar china...bushet...
Quote from: Peacemind on 21 December 2009, 11:26:39 PM
itu namanya stingy.. :))
kalo ndak, gw pasti buat surat kontrak ama suami gw aja..
kalo dia mo nikah lagi, dia juga musti ijinin gw nikah lagi juga
jadi, gw di poligami dan dia di poliandri huakakakakaa
Quote from: ryu on 21 December 2009, 12:08:28 PM
weleh2, mending pindah agama nih =))
jangan pindah lah tu bro !
adopsi aja ajarannya, jadi multi agama :))
_/\_
Quote from: wiithink on 21 December 2009, 11:57:56 PM
Quote from: Peacemind on 21 December 2009, 11:26:39 PM
itu namanya stingy.. :))
kalo ndak, gw pasti buat surat kontrak ama suami gw aja..
kalo dia mo nikah lagi, dia juga musti ijinin gw nikah lagi juga
jadi, gw di poligami dan dia di poliandri huakakakakaa
Intermezzo yah...
- Poligami => sistem pernikahan yang mengikat seseorang dengan beberapa orang lain sebagai pasangannya
- Poligini => sistem pernikahan yang mengikat seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan
- Poliandri => sistem pernikahan yang mengikat seorang wanita dengan beberapa pria sebagai suaminya dalam waktu yang bersamaan
jadi ada hubungan toh antara andry dengan giny...
Quote from: gachapin on 22 December 2009, 09:31:07 AM
jadi ada hubungan toh antara andry dengan giny...
:whistle:
Quote from: pannadevi on 21 December 2009, 11:40:04 PM
Quote from: Peacemind on 21 December 2009, 11:26:39 PM
Quote from: wiithink on 21 December 2009, 11:14:59 PM
kalo gw pribadi sih, ndak bakalan rela berbagi suami
hiksss....
itu namanya stingy.. :))
udah mo matiin komp tiba2 baca ini, jadi tergelitik nanggapi...
yg sy beri penebalan mohon dijelaskan kriterianya...
(**cepetan kabur ahh...jadi off beneran sekarang, besok pagi jadwal beliau ngajar, bisa distrap nihh...**)
Don't take it seriously lah..
QuoteDalam Jataka Bodhisatta jg pernah berpasangan dengan selain Yasodhara, dalam 1 cerita Bodhisatta berpasangan dengan kelahiran terdahulu dari Cinca Manavika.
Soul itu aja ngga ada, giman ada "mate" nya lagi? hehehe..
Haha...... dalam istilah awam bisa aja lah kita nyebut Yasodhara dan Siddharta itu soulmate sejak di hadapan Buddha Dipamkara atau bahkan pada masa-masa sebelumnya.
Lagipula mmg kadang Sang Bodhisattva tampak "nyeleweng" tapi Yasodhara sebagai istri dan kalyanamitra kemudian meluruskannya kembali, maka dari itu Yasodhara pernah berkata:
"Sang Buddha, ketika terjebak di dalam ikatan Mara di dalam samsara ini, Engkau meninggalkanku dan pergi bersama dengan wanita lain dan sebagai hasilnya engkau dikenai berbagai macam penyiksaan dan penjara. Aku, ketika aku mengetahuinya, tanpa rasa marah sedikitpun, bagaikan seorang ibu, yang juga sakit oleh karena penderitaan putranya, dengan tangisan yang keras melawan mereka, memberikan mereka sutra dan permata milikku sebagai bayaran [tebusan] dan menyelamatkan-Mu, di berbagai kehidupan yang tak terhitung, aku tidak tahu." (Yasodharapadanaya)Quote
memang anda benar bro, dlm 550 kelahiran, bisa dibaca di jataka story, putri yasodhara menemani sebagai istri selama 450 kali kelahiran, sehingga yg 100 kali tentu bukan putri yasodhara.
Kalau misalnya Sang Bodhisattva waktu itu terlahir jadi Brahma, kan memang gak punya istri... :)) :))
_/\_
The Siddha Wanderer
ya asal dia mampu ngatur aja bro,no problem...yg mungkin jd masalah kan klo dia nga bs atur jatah mungkin...haha
ini kita nga ngomong dr sudut pandang dr kitab suci ato apapun itu, cm pendapat pribadi aj...