SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
Oleh: Hendrick
Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya,
Bagi kehidupan pasangan suami istri, seks dipandang sebagai suatu ungkapan cinta mereka. Tindakan seks yang benar dapat digunakan dalam mengharmoniskan kehidupan pernikahan seseorang. Namun sayangnya, pada zaman sekarang ini banyak remaja yang tidak sabar menunggu ataupun karena salah pengertian, bahwa seks sebagai ungkapan cinta ini boleh dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Pada malam Valentine, mereka bersedia melepaskan keperawanan mereka. Para gadis cenderung melepas keperawanan mereka disebabkan mereka takut kehilangan pria yang mereka cintai dan ingin mendapatkan cinta yang sepenuhnya dari sang pacar. Sedangkan para pria cenderung ingin memuaskan hasrat cinta seksual mereka pada sang gadis. Kecenderungan hidup yang bertentangan dengan norma susila itu terjadi akibat tidak ada landasan agama yang kuat. Hal ini sungguh amat memprihatinkan, yang memang merupakan kecenderungan pada masa akhir Dharma:
"Pada masa akhir Dharma... umur manusia akan berkurang, kegelapan akan menguasai... para pria akan menjadi penuh dengan nafsu seks dan tidak terkendali, para wanita akan berhubungan seks bebas dan tidak setia." (Legenda Stupa Maha Buddha oleh Guru Padmasambhava)
Banyak istilah-istilah untuk mendeksripsikan tindakan semacam itu mulai dari pergaulan bebas, seks bebas, seks pranikah, promiskuitas ataupun seks di luar nikah. Bahkan istilah-istilah tersebut sering terdengar bersamaan dengan kata-kata "aborsi" dan "hamil di luar nikah". Di masa modern ini, kerap kali kita mendengar perbincangan pun membaca wacana mengenai kata-kata di atas.
Mental para remaja tergolong masih labil, pada saat remaja dorongan seksual dan berkembangnya organ seksual mencapai puncak kematangannya. Didorong oleh rasa ingin tahu dan gairah seksual yang tinggi, maka akan besar kemungkinan terjadinya seks pranikah terutama di kalangan remaja. Apalagi mereka telah dipengaruhi budaya seks bebas dari film-film yang mereka tonton. Sebagai faktanya kita bisa melihat bahwa sebagian besar film-film bioskop yang hadir di tanah air kita ini hampir selalu mengandung unsur adegan seks bebas. Baru bertemu beberapa kali, sudah langsung nge-seks. Tayangan film tentu sangat mempengaruhi pola pikir remaja pun juga masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu kita juga sering menjumpai generasi tua yang melakukan seks bebas. Mereka menganggap seks pranikah adalah sangat wajar dan diterima oleh lingkungan. Kesadaran serta mental yang bersih dan sehat adalah poin penting untuk menghindarkan seseorang dari tindakan seks bebas yang tidak bertanggung jawab.
Lantas bagaimanakah tanggapan sang Buddha maupun agama Buddha sendiri terhadap tindakan seks bebas atau seks pranikah (seks sebelum menikah)? Sang Buddha berkata dalam Upasaka Sila Sutra: "Jika seorang pria berhubungan seksual di waktu yang tidak tepat (siang hari) atau di tempat yang tidak sesuai (tempat umum, tempat ibadah), atau melakukannya dengan bukan-perempuan (pria, hewan), atau melakukannya dengan perempuan yang bukan istrinya sendiri, atau melakukan masturbasi, tindakan tersebut termasuk tindakan seksual yang salah."
Hubungan seks pra nikah merupakan pelanggaran sila. Sang Buddha dengan sangat jelas berkata dalam Sutra Upasaka Sila bahwa hubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya, termasuk pelanggaran sila ke-3. Ini termasuk dengan pacar kita, karena pacar kita bukanlah suami / istri kita.
"Tipe ketiga dari karma negatif adalah tindakan seks yang menyimpang – yaitu berhubungan seksual dengan siapapun yang bukan pasangan yang telah engkau nikahi, dengan siapapun yang engkau sendiri tidak punya konsep yang jelas bahwa "orang ini adalah pasangan nikahku, istriku atau suamiku." Seseorang yang bukan pasangan nikahmu... tidak dianggap sebagai partner atau 'objek' seksual yang tepat. (Tiga Tingkat Persepsi Spiritual oleh Kunga Tenpay Nyima, Deshung Rinpoche)
Dan menurut komentar Gyudzhi (Empat Tantra Pengobatan yang diajarkan oleh Sang Buddha) yang ditulis oleh Sangye Gyamtso, juga dikatakan bahwa tindakan seksual yang salah meliputi hubungan seksual dengan wanita selain istrinya. Ini berarti bahwa berhubungan dengan pacar atau tunangan kita adalah hubungan seksual yang salah, karena mereka belum menjadi istri kita.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran sila ke-3 (kamesumicchaccara):
1. Alat kelamin pria masuk ke dalam tiga lubang yaitu mulut, anus dan alat kelamin wanita yang tidak patut disetubuhi
2. Tangan bersentuhan dengan alat kelamin pria maupun wanita [dengan tujuan membangkitkan gairah seksual atau masturbasi]
3. Terjadi orgasme ketika dilakukan tahap 1 dan 2 di atas
Untuk memperjelas objek yang tidak patut disetubuhi (yang melanggar sila) dapat dilihat pada kitab Anguttara Nikaya dan Majjhima Nikaya: "Dia berperilaku salah di dalam hal seks; dia berhubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu, saudara laki laki, saudara perempuan, sanak saudara atau suku, atau komunitas agamanya." [b](Anguttara Nikaya bab Dasaka)[/b]
Dalam naskah Theravada yaitu Saleyyaka Sutta, Majjhima Nikaya dengan sangat jelas juga disebutkan mengenai kriteria orang yang tidak pantas disetubuhi:
Bagaimana halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar itu? Di sini, seseorang adalah pembunuh makhluk-makhluk hidup........la pengambil apa yang tidak diberikan ...... ia menyerah pada perbuatan keliru dalam keinginan seksual; ia berzinah dengan wanita-wanita, seperti yang dilindungi oleh ibu, ayah (ibu dan ayah), saudara lelaki, saudara perempuan, sanak keluarga ... Itulah halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar.
Ucapan yang mirip ditemukan dalam naskah aliran Sarvastivada: "Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha menjauhi tindakan seksual yang menyimpang, mengakhiri perzinahan dan melindungi semua orang – yaitu mereka yang berada di bawah asuhan ayah, ibu, atau ayah ibu mereka, kakak perempuan atau kakak laki-laki mereka, mertua dan saudara ipar mereka,..... anak gadis orang lain,.. anak laki-laki orang lain. Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha mencabut niat melakukan penyimpangan seksual dari dalam diri mereka." (Upasaka Sutra, Madhyama Agama 128)
Uraian yang lebih lengkap mengenai mereka yang tidak patut disetubuhi ada dalam kitab Vinaya. Ada 20 macam wanita-wanita yang tidak patut disetubuhi (Agamaniya-vatthu), kelompok 1-8 di bawah ini adalah mereka yang belum menikah:
1. Dibawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Dibawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Dalam perlindungan ibu dan ayahnya (matapiturakkhita)
4. Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
6. Dalam perlindungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8. Dalam perlindungan dhamma (dhammarakkhita), mis: bhiksuni [perlindungan Vinaya]
Dari daftar di atas, nomor 1-8 adalah mereka yang masih berada di bawah perlindungan orang lain, dalam hal ini misalnya seorang perempuan berada dalam perlindungan orang tua maupun saudara dan orang sebangsa dan sebagainya. Seseorang yang masih belum menikah otomatis masih berada di bawah perlindungan orang lain, entah itu orang tua, saudara, sanak keluarga atau orang sebangsanya.
Maka dari itu perilaku seks bebas, yang didasari atas mau sama mau antara dua orang pasangan yang belum menikah adalah termasuk melakukan hubungan badan yang tidak pantas. Ini ditegaskan sendiri oleh sabda Guru agung tradisi Vajrayana:
"Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka." (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)
Ketatnya perlindungan orang tua menjaga keperawanan anak gadisnya terlihat dalam kisah Dhammapada Atthakatha dan Saddharmaratnavaliya. Dikisahkan Patacara adalah anak gadis dari pedagang kaya di Savatthi. Ayahnya berharga empat ratus juta dan Patacara sangatlah cantik. "Ketika ia berumur enam belas tahun, kedua orang tuanya memberikan tempat tinggal padanya di sebuah istana bertingkat tujuh dan di sanalah mereka menjaga Patacara, di lantai yang paling atas, dikelilingi oleh para penjaga". Kedua orang tuanya melakukan hal tersebut demi "menghindarkan terjadinya segala bentuk tindakan seksual yang salah (berzinah)" (Saddharmaratnavaliya). "Namun meskipun dijaga sedemikian rupa, Patacara tetap berzinah dan itu dilakukannya dengan pelayan prianya." (Dhammapada Atthakatha 53) Patacara jatuh cinta terhadap pelayan pria yang masih muda di rumahnya dan merelakan dirinya berhubungan seks pranikah dengannya. Ketika orang tuanya berniat menikahkannya dengan laki-laki muda lain dari keluarga yang status sosialnya sama, Patacara malah melarikan diri bersama dengan kekasihnya, sang pembantu pria itu. Sebagai akibat dari hubungan seks pranikahnya, maka kehidupan yang dijalaninya bersama pembantu muda tersebut tidaklah bahagia, tetapi malah menderita dan hidup serba susah. "Sang istri (yaitu Patacara) mengambil air dengan pot airnya, dan dengan tangannya sendiri menumbuk beras, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Maka Patacara memetik buah karma buruknya sendiri." (Dhammapada Atthakatha 53), Selain itu, "Sebagai seseorang yang sebelumnya memakan nasi, namun sekarang harus hidup dengan Amu grain, maka ia mulai mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan oleh karena tindakan ketidakbajikan yang dilakukannya di masa lampau." (Saddharmaratnavaliya). Disebabkan hubungan terlarang sebelum menikah dengan pelayan pria yang dicintainya itu, Patacara menuai karma buruknya. Tindakan orang tuanya yang menjaganya di istana tingkat ketujuh seharusnya dapat menjaga keperwanan sekaligus menghindarkannya dari karma buruk, namun apa daya nafsu cinta memabukkan dua insan muda yang masih belum dewasa untuk melakukan hal yang tidak senonoh.
Pada prinsipnya memang di India, seseorang yang belum bertunangan / menikah masih dilindungi orang tuanya ataupun dilindungi saudara-saudaranya. Kitab Mahavibhasa aliran Sarvastivada menyebutkan: "Berhubungan seks dengan gadis muda merupakan perzinahan karena sudah ada pria yang dengannya ia bertunangan, dan jika gadis muda itu tidak bertunangan, maka ia berada di bawah perlindungan pelindungnya." (Vibhasa TD 27, p585a20) Pelindung yang dimaksud adalah orang tua dan para saudara gadis muda tersebut.
Namun masih timbul pertanyaan, bagaimana kalau seseorang berhubungan seks dengan perempuan yang belum menikah namun tidak di bawah perlindungan orang lain (misalnya perempuan tersebut sudah tidak memiliki orang tua lagi, tidak memiliki saudara dan sanak keluarga) alias benar-benar sendiri? Jawabannya tentu saja: tetap melanggar sila. Di Asia, mereka yang benar-benar mandiri dan sendiri [tidak ada sanak keluarga sama sekali], tetap saja berada di bawah perlindungan norma / hukum dunia – dhammarakkhita*, dengan kata lain dilindungi oleh norma yang berlaku dalam masyarakat Asia. Di mata bangsa Asia, seks bebas adalah suatu bentuk perzinahan. Maka dari itu, di Asia, berhubungan seks dengan perempuan seperti itu juga termasuk melanggar sila. (* Dhamma bisa berarti kebenaran, ajaran, hukum, norma).
"Membahas mengenai sila menghindari perbuatan asusila / seksual yang menyimpang, jika seorang perempuan berada di bawah perlindungan ayah, ibu...., hukum dunia, atau hukum raja, jika seseorang berhubungan seksual dengan mereka, maka ini termasuk tindakan asusila / seksual yang menyimpang." (Mahaprajnaparamita Upadesha karya Nagarjuna)
Pendiri Dinasti Ming di Tiongkok yaitu raja Zhu Yuanzhang yang seorang Buddhis membuat satu set kode etik kenegaraan (Daming Lu – Kode Dinasti Ming) di mana pelaku seks bebas atau seks yang dilakukan di luar ikatan pernikahan akan dijatuhi hukuman. Pada masa Dinasti Yuan, terdapat sebuah "Tabel Bajik dan Tak Bajik" yang diterima oleh baik umat Buddhis, Taois maupun Konfusianis. Teks Buddhis yang berkenaan dengan itu diberi nama Shih-chieh Kung-kuo-ku dan Chingshih Kungkuo-ko. Di sana disebutkan tindakan seks yang menyimpang termasuk hubungan seksual pra nikah mau sama mau dengan seorang perawan wanita. Bersetubuh dengan seorang gadis perawan akan menjadi perawan tersebut tidak pantas menjadi seorang istri, maka dari itu tindakan seks pranikah dianggap tak bajik.
Di negara-negara Buddhis Asia seperti Kamboja dan Thailand, seks di luar nikah dianggap sebagai hal yang tabu. Sangat jarang terdengar kasus seks di luar nikah di negara Kamboja, namun apabila terjadi demikian, maka ini akan dianggap memalukan keluarga sang perempuan. Sedangkan di Thailand, apabila ada remaja yang melakukan seks di luar nikah, maka ia harus mengakui kesalahannya pada orang tuanya dan pada para leluhurnya. Kritikus sosial Sukanya Hantrakul berkata, "Di Thailand, perempuan dikehendaki untuk tetap perawan sampai akhirnya menikah dan secara monogami." Seks pranikah antara dua orang yang berpacaran seharusnya dihindari. Di desa-desa Thailand sangat jarang terjadi seks di luar nikah, namun di kota-kota besar jumlahnya cukup banyak disebabkan oleh pengaruh gaya hidup Barat.
Di negara-negara Barat seks bebas atau seks pra-nikah sudah diterima oleh umum, namun sebenarnya di negara Barat juga kalau seseorang terlalu bebas dalam hubungan seks, maka akan dianggap tak pantas. Baik dari segi kesehatan, psikologi (mental health), dan hubungan sosial, seks bebas telah membawa banyak kerugian. Meskipun menurut budaya barat diperbolehkan, namun agama Buddha tetap menganggap seks bebas / pra-nikah membawa pada kemerosotan batin dan merupakan pelanggaran sila. Menghindari potensi terjadinya seks pranikah seharusnya dilakukan oleh umat Buddhis baik yang berasal dari timur (Asia) maupun barat (Amerika/Eropa).
"Jika mereka (para Bodhisattva) memasuki rumah orang lain, ia tidak seharusnya berbicara [privat] dengan gadis-gadis muda, gadis yang belum menikah (perawan) ataupun janda." (Saddharmapundarika Sutra)
Di sini yang dimaksud "berbicara" adalah berbicara secara privat, sendirian, di mana tidak ada orang yang mendengar ataupun melihat. Seorang Bodhisattva pria hendaknya menghindari berbicara seperti itu dengan gadis yang belum menikah ataupun janda di rumah orang lain, misalnya seorang pria berbicara berduaan dengan pacarnya di kamarnya. Ini dilakukan untuk mencegah agar para Bodhisattva tidak melakukan perzinahan. Secara tidak langsung Saddharmapundarika Sutra juga menyatakan bahwa seks pra-nikah seperti berhubungan seks dengan mereka yang masih belum menikah ataupun janda, adalah suatu bentuk perzinahan atau tindakan seksual yang salah.
YM Asanga dalam karyanya Bodhisattva-bhumi Sastra menggolongkan seks pra nikah (seks dengan perempuan yang belum menikah) sebagai tindakan seksual yang tidak pantas. Tsongkhapa dalam komentarnya Byang-chub sems-dpa'i tshul-khrims-kyi rnam-bshad byang-chub gzhung-lam juga menambahkan dengan mengatakan bahwa apabila sang perempuan perawan yang belum menikah itu jomblo / belum mempunyai pasangan, maka berhubungan seks dengannya juga termasuk tindakan seksual yang tidak pantas. Baik masih jomblo ataupun tidak, berhubungan dengan perempuan / pria secara pranikah adalah pelanggaran sila ketiga. Santaraksita dan Bodhibhadra dalam komentarnya juga mengaitkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang tidak bajik.
Seks pra-nikah hanya dapat memancing emosi-emosi negatif lainnya, bahkan dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti aborsi yang kalau kita melakukannya, berarti kita juga melanggar sila jangan membunuh. Gunakanlah hubungan seksual di waktu yang tepat, yaitu pada saat kita telah berkomitmen dengan pasangan kita dalam ikatan pernikahan.
"Kebudayaan Buddhis tradisional dengan stigma sosialnya menentang seks pranikah dan seks di luar nikah yang dihubungkan atas kesadaran akan kemungkinan terjadinya kehamilan dan aborsi sebagai konsekuensinya." (Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo)
Beberapa suku di Himalaya cukup bebas pergaulannya. Seks pranikah di sana sudah menjadi kasus yang eksis dan umum sejak zaman dahulu. Namun beberapa suku Tibet sebaliknya, ada juga yang menentang seks pranikah. Karma Lekshe Tsomo berkata: "Kebiasaan tindakan seks yang liberal di masyarakat Himalaya (Tibet, Bhutan, Ladakh) sangat berbeda dengan mereka yang merupakan Hindu konservatif, yang menganggap insiden poligami dan poliandri sebagai hal yang menjijikkan.... Meskipun ada stigma menentang seks pranikah, terutama karena tindakan tersebut dapat mengakibatkan kehamilan dan menghambat pernikahan formal, kehamilan di luar nikah dianggap sebagai kesalahan daripada suatu tindakan yang amoral. Namun ideal keperawanan untuk para wanita tetap, sebagian karena seks di luar nikah bertentangan dengan sila-sila Buddhis dan sebagian karena hubungan seperti itu membahayakan keharmonisan dan integritas sebuah keluarga." (Buddhist Women Across Cultures oleh Ven. Karma Lekshe Tsomo)
_/\_
The Siddha Wanderer
Komara-Brahmacariya
"Syair 246 dari Dhammapada mengidentifikasikan pelanggaran sila ketiga sebagai tindakan berzinah atau paradiraca gacchati. Kitab-kitab komentar selalu menjelaskan kehidupan seks macam ini atau methuna-samacara, yaitu seks sebelum menikah ataupun seks di luar pernikahan. Kode etik Pancasila... tidak memberikan ruang bagi seks sebelum menikah dan seks di luar ikatan pernikahan. Kebajikan dari menjauhkan diri dari seks sebelum menikah disebut sebagai komara-brahmacariya.... Patut diketahui bahwa setidaknya ada kelompok-kelompok remaja gadis di Amerika yang telah sampai pada tahap dewasa dan memiliki kebijaksanaan untuk dapat berbicara dengan lantang di muka umum, dan pada pacar laki-laki mereka, mereka menganggap bahwa seks adalah sesuatu yang patut ditunggu. Kesadaran dan pengendalian diri ini muncul dan tumbuh berkembang sekarang, setidaknya di dunia barat. Mungkin seberkas harapan, meskipun hanya sedikit. Konsep ini tumbuh di India 2000 tahun yang lalu, khususnya di ajaran Buddhis, dan disebut sebagai 'kesucian muda-mudi' atau komara-brahmacariya. Ini menunjukkan pelarangan atau penolakan terhadap seks pranikah."
(Bhikkhu Professor Dhammavihari)
Menurut Kamus Pali-Inggris, arti dari komara-brahmacariya adalah "ikrar selibat semenjak lahir" atau "kehidupan mulia seorang muda-mudi". Seseorang baik dia pria maupun wanita berikrar untuk hidup selibat selama masa mudanya dan menghindari persetubuhan selama mereka belum menikah.
"Para brahmana mempraktekkan kehidupan selibat di masa muda [komara-brahmacariyam] sampai usia 48 tahun... Disatukan oleh kasih sayang untuk saling mencintai, mereka (brahmana dan istrinya) puas satu sama lain." (Brahmanadhammika Sutta, Sutta Nipata)
Sang Buddha dalam Sutta Nipata dan Anguttara Nikaya memuji praktek brahmana yang hidup selibat di usia muda (komara-brahmacariya) sampai akhirnya menikah. Selama hidup selibat tentu para brahmana tersebut tidak melakukan hubungan seksual sama sekali sehingga sebelum mereka menikah, para brahmana tersebut hidup dalam kesucian. Untuk mendapatkan pasangan hidup, mereka tidak membeli istri pun tidak merebut dengan istri orang lain. Mereka menikah dengan seorang istri yang saling mengasihi satu sama lain. Sang Buddha mengatakan bahwa brahmana yang menjalankan ikrar komara-brahmacariya adalah brahmana yang mirip dengan seorang deva. (Donabrahmana Sutta)
Maka dari itu praktek brahmana tersebut tentu seharusnya ditiru oleh kita. Beberapa orang mungkin akan bingung, bukankah itu peraturan bagi seorang dari kasta brahmana saja? Ya! Tapi ingat Sang Buddha mengatakan bahwa seseorang menjadi seorang brahmana bukan lewat kelahirannya, namun seorang brahmana menjadi brahmana karena apa yang dia lakukan (Vasettha Sutta). Mereka yang berkebajikan dan mampu mengendalikan keinginannya adalah seorang brahmana. Apabila kita ingin menjadi umat Buddhis yang baik, maka jalanilah ikrar kehidupan komara-brahmacariya sehingga apapun strata sosial kita, kita dapat menjadi seorang brahmana yang dipuji oleh Sang Buddha. Bahkan tak dipungkiri lagi, di masyarakat modern ini dan di agama apapun, mereka yang mampu untuk menahan diri dari seks sebelum menikah adalah mereka yang patut mendapat pujian, karena baik dalam norma agama maupun sosial seks di luar nikah adalah tindakan yang tidak pantas.
Namun yang paling memprihatinkan adalah kita sering mendengar ada umat Buddhis yang mengatakan bahwa seks pranikah atas dasar mau sama mau tidak melanggar sila. Bhikkhu Dhammavihari, Saghanayaka dari Amarapura Dhammarakshita Nikaya memberikan tanggapannya terhadap hal tersebut:
"Kegadisan dari wanita, baik sebelum menikah ataupun dalam pernikahan, sungguh-sungguh merupakan kebajikan yang dijaga dalam agama Buddha, baik dalam lingkungan umat awam Buddhis maupun agama Buddha itu sendiri. Namun beberapa murid dari bidang agama dan budaya, yang sangat kurang pengetahuannya dalam bidang akademis, menjadi liar dengan generalisasi mereka dengan menyatakan: 'Sebagai contoh, keperawanan dan kesucian para perempuan tidak berhubungan dengan etika atau ajaran Buddhis; akibatnya pernikahan dianggap sebagai masalah sekular di masyarakat Buddhis Srilanka, sedangkan pernikahan merupakan sakramen menurut nilai-nilai Brahmanisme.' Setiap orang Srilanka yang tidak menggunduli warisan budayanya dengan berbagai proses alienasi, harus menyadari fakta bahwa keperawanan dan kemurnian para perempuan, bersama-sama dengan kesetiaan pernikahan semuanya termasuk dalam lima aturan dasar moral atau Pancasila Buddhis. Maka (menjaga) keperawanan sangat banyak berhubungan, atau lebih tepatnya termasuk dalam etika dan ajaran Buddhis."
Menjaga keperawanan merupakan praktik komara-brahmacariya. Menurut hukum duniawi, menjaga keperawanan sampai akhirnya menikah adalah yang terbaik dalam sebuah pernikahan: Perawan adalah yang terbaik dari para istri (Samyutta Nikaya I.6) Sebagai kaum muda seharusnyalah dapat menjaga tindak tanduknya, dan menjaga ikrar komara-brahmacariya, demikianlah kehendak Guru Agung kita.
Berhubungan seks dengan wanita atau pria yang menjalankan ikrar komara-brahmacariya, berarti ini telah melanggar sila ke-3. Menurut teks-teks Buddhis, bersetubuh dengan mereka yang menjalankankan ikrar adalah pelanggaran sila. Demikian juga bagi para pemegang ikrar juga dikatakan melanggar ikrar komara-brahmacariya apabila mereka berhubungan seks di luar nikah. Melanggar komara-brahmacariya berarti melanggar sila kamesumicchacara.
....to be continued....
_/\_
The Siddha Wanderer
Seks Pra Nikah dan Karma Buruk
Di dalam kitab Asokarajavadana, terdapat kisah tentang karma buruk akibat seks pranikah. Pada suatu waktu, di selatan India, hiduplah seorang pria muda yang jatuh cinta pada seorang gadis dan melakukan hubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) dengan gadis itu. Ibu sang pria muda menegurnya, berkata padanya bahwa nafsu dan hubungan seks di luar ikatan pernikahan hanya akan membawa pada akibat ketidakberuntungan. Dengan marah dan frustasi, ia kemudian membunuh ibunya dan pergi ke keluarga sang gadis untuk meminangnya. Pria muda tersebut ditolak. Tertekan, ia memutuskan untuk menjadi seorang bhiksu Buddhis. Karena ia sangat cemerlang, ia dapat dengan cepat menghafalkan seluruh Tripitaka dan mendapatkan banyak murid.
Suatu hari, bersama-sama dengan para pengikutnya, ia pergi menemui (Arahat) Upagupta untuk meminta instruksi meditasi, namun Upagupta, melihat kejahatannya di masa lampau, menolak bahkan untuk berbicara dengannya. "Seseorang yang bersalah karena tindakan-tindakan membunuh ibunya serta berhubungan seks di luar ikatan pernikahan", jawabnya, "tidak dapat mencapai buah Srotapanna." (Asokarajavadana, Taisho Tripitaka 2042)
Dari kisah di atas kita dapat mengetahui bahwa tindakan seks pranikah dapat membawa pada perasaan tertekan, rasa takut, menyesal, kecewa dan khawatir serta berbagai efek psikologis negatif lainnya. Efek psikologis tersebut bahkan dapat menimbulkan gangguan biologis. Sehingga tak diragukan lagi gangguan-gangguan itu disebabkan oleh tindakan (karma) negatif yang dilakukan oleh pria dan wanita yang berhubungan badan di luar nikah karena telah melanggar sila ke-3. Tujuan dari sila adalah melatih diri, sehingga pikiran kita akan dengan mudah merealisasikan Dharma. Seks bebas telah banyak mendatangkan keresahan dan kekhawatiran, maka dari itu sepantasnya dihindari.
Dhammapada Atthakatha mengisahkan seorang pemuda (setthiputta) bernama Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita yang belum menikah ataupun yang telah menikah tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan seks pranikah dan perzinaan dengan para wanita itu tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap kepada Sang Buddha. Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila. Setelah mendengar syair pembabaran Dhamma, Khemaka kemudian menjadi seorang Sotapanna.
Dalam berpacaran, seseorang diharapkan dapat secara dewasa mengendalikan dirinya: "Jika kamu berkeinginan untuk mendapatkan persahabatan maka jangan berbicara secara privat dengan para wanita... Hindarilah istri yang suka berhubungan seks di luar nikah." (Pohon Kebijaksanaan oleh Arya Nagarjuna).
Di masa modern ini keburukan dari perbuatan asusila dapat kita lihat dengan jelas melalui penyebaran penyakit AIDS. Seks bebas dicatat sebagai faktor utama penyebab menyebarnya faktor mematikan ini, bahkan alat seperti kondom pun tak dapat menghentikan penyebarannya. Dengan menyadari bahwa penyebaran AIDS terjadi karena adanya perilaku manusia yang menyimpang dari sila, maka adalah hal yang urgent (mendesak) bagi umat manusia untuk kembali dalam kekehidupan yang bermoral dengan menjaga dan melaksanakan sila khususnya sila ke-3 dan ke-5.
Praktik seks bebas tak ubahnya seperti perilaku para binatang atau hewan, manusia yang memiliki cukup karma baik sehingga memiliki intelektualitas tentu harus dapat mengendalikan perilakunya: "Wahai para bhikkhu, dua prinsip yang terang ini melindungi dunia. Apakah dua hal itu? Malu (hiri) dan takut (otappa) berbuat salah. Seandainya saja dua prinsip yang terang ini tidak melindungi dunia maka tidak akan ada penghormatan yang selayaknya terhadap ibu dan saudara wanita ibu atau ipar wanita ibu, atau pada istri guru atau istri orang-orang terhormat lainnya. Maka dunia akan jatuh ke dalam kekacauan praktek seks bebas (promiskuitas), sama halnya seperti kambing, domba, ayam, anjing dan serigala." (Itivuttaka dan Anguttara Nikaya 2.9)
Kemerosotan seperti ini mulai dirasakan di lingkungan zaman modern ini. Bahkan menurut Cakkavatti Sihanada Sutta, di masa depan di mana umur manusia menjadi merosot hingga 10 tahun saja, maka dunia akan diisi oleh cara bersetubuh dengan siapa saja, bagaikan kambing, domba, burung, babi, anjing dan serigala. Maka dari itu Ven. Hsuan Hua, murid Mahaguru Xu Yun menegaskan:
"Di Amerika, banyak orang sadar pada fakta bahwa emosi cinta berhubungan dengan dibatasinya kebebasan. Namun, mereka tidak mengerti prinsip yang mendasarinya dan malah pergi ke sisi ekstrim yang berlawanan. Dalam misi mereka untuk mendapatkan kebebasan, mereka menjadi pelaku seks bebas. "Kebebasan" yang baru mereka temukan adalah kekeliruan di atas sebuah kekeliruan. Meskipun pernikahan membatasi kebebasan seseorang, namun pernikahan tetap berada dalam posisinya sebagai bentuk hubungan yang paling utama di antara manusia. Menolak untuk mengambil tanggung jawab pernikahan dan malah melakukan hubungan seks bebas, akan menghancurkan tubuh dan mempercepat kematian seseorang. Sebagai contohnya, di masa sekarang ada beberapa laki-laki muda dan wanita muda berambut panjang yang secara bebas melakukan berbagai hubungan seks di luar nikah. Aku tidak mengejek siapapun, namun perilaku semacam itu lebih buruk daripada perilaku babi maupun anjing. Setidaknya babi dan anjing memiliki musim kawin, namun orang-orang ini melakukan hubungan seks siang dan malam di rumah satu sama lainnya, bahkan di depan umum. Dunia menjadi semakin merosot moralnya hari demi hari." (Komentar Saddharmapundarika Sutra)
Ajaran Sang Buddha selalu mengajak dan menganjurkan kita untuk menjadi manusia manusia, bukan manusia hewan (manusso-tiracchano) yang sama sekali tidak mempertimbangkan moralitas yaitu suka melakukan persetubuhan secara bebas dan tidak bertanggung jawab. Seorang manusia yang benar-benar manusia (manussa-manusso) selalu menjalankan hubungan badan hanya dalam ikatan pernikahan dan tidak pernah melanggar sila ketiga.
"Masa remaja-dewasa adalah periode stress dan ketegangan. Adalah di waktu inilah insting (hormon) seks menjadi aktif, dan orang tua yang peka harus menuntun dan membantu anak-anak mereka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Energi seksual ini dapat dialihkan tidak hanya pada permainan dan olahraga outdoor, namun juga pada tindakan-tindakan kreatif. Tidak mudah bagi orang dewasa yang belum menikah untuk mempraktekkan pembatasan diri akan seks sampai waktu dia menikah, Tidak diragukan bahwa ia hidup di masyarakat yang penuh dengan komersialisasi seks di mana seks secara sering dilihat, didengar, dirasakan dan dipikirkan, Namun idealnya seks yang hanya dilaksanakan dalam pernikahan adalah sesuatu yang berharga untuk dicapai. Tujuan paling sempurna dari seorang Buddhis, meskipun begitu, adalah untuk menjadi 'Manusia Sempurna' – bukan hewan yang sempurna." (Prinsip Buddhisme Umat Awam oleh R. Bogoda).
Chan Master Zhuhong yang hidup semasa Dinasti Ming bahkan mengatakan: "Berhubungan seks dengan janda yang masih belum kawin lagi dihitung sebagai lima puluh ketidakbajikan. Jika melihat seorang wanita muda dari keluarga baik-baik, seseorang bernafsu untuk bercinta dengannya, dihitung sebagai dua ketidakbajikan." (Zizhi Lu). Ucapan Zhuhong ini juga selaras dengan apa yang ada dalam Sutra Trapusa dan Bhallika. Seorang pria berhubungan dengan janda termasuk hubungan seks pranikah juga. Bahkan bernafsu saja terhadap wanita muda yang bukan kekasihnya dan belum menikahpun, dihitung sebagai ketidakbajikan, karena dalam pikiran sudah timbul niat (karma) untuk melakukan seks pranikah [walaupun belum dilakukan secara fisik].
_/\_
The Siddha Wanderer
Kalau Masturbasi, Oral atau Anal?
Mengetahui bahwa berhubungan seks pra nikah itu tidak baik, kaum muda mudi selalu mencari celah agar mereka dapat memuaskan nafsu seksual mereka. Berbagai macam cara digunakan agar mereka dapat mencapai kenikmatan seksual dengan pacar mereka tanpa melalui hubungan seks. Sebagai akibatnya, banyak pasangan masih pacaran memuaskan nafsu mereka dengan oral seks, masturbasi mutual (saling memasturbasi pasangan) maupun anal seks, mereka menganggap hal ini tidak apa-apa, namun dalam agama Buddha, tindakan-tindakan seperti ini sudah merupakan tindakan seksual yang menyimpang dan melanggar sila ketiga.
Dalam Lamrim Chenmo (vol I), karya dari Jey Tsongkhapa, pendiri Gelugpa yang juga sering dijuluki sebagai "Buddha kedua", disebutkan berbagai macam jenis perbuatan seksual yang menyimpang, yang seharusnya tidak dilakukan umat Buddhis, salah satunya disebutkan tentang bagian tubuh yang tidak pantas digunakan untuk aktivitas seksual di antaranya mulut [oral seks], anus [anal seks], tangan [masturbasi], paha, dan betis.
Pernyataan Jey Tsongkhapa tersebut juga bersesuaian dengan Ornamen Permata Kebebasan (Jewel Ornament of Liberation) karya Gampopa (1079-1153 M) – Guru Silsilah awal tradisi Kagyu, yang juga menyebutkan bahwa "Tindakan seksual yang menyimpang mencakup perilaku yang tidak pantas, mereka adalah mulut (oral seks) dan anus (anal seks)." Pandangan bahwa masturbasi juga melanggar sila juga diamini oleh Longchenpa, guru agung tradisi Nyingma: "Pelanggaran dalam hal seksual adalah [berhubungan seksual] ...termasuk hubungan seksual di bagian tubuh yang terlarang seperti kedua tangan." (The Great Chariot – Kereta Agung oleh Longchenpa)
Pun juga didasarkan atas sabda Sang Buddha sendiri:
Sang Buddha berkata pada Maitreya Bodhisattva: "... Maitreya, ada empat karma yang akan membuat seorang pria menjadi seorang yang hermaprhodit (berkelamin dua), yang lebih rendah daripada orang-orang, Apakah keempat tipe ini? Yang pertama....kedua: ..., ketiga: melakukan aktivitas seksual pada dirinya sendiri (masturbasi)" (Sutra Pahala Membuat Buddha Rupang, Taisho 0694)
Guru-guru agung tradisi Mahayana dan Vajrayana seperti Jamgon Kongtrul Lodro Thaye berkata: "Jangan berhubungan seksual dengan cara yang tidak tepat yaitu secara oral atau anal." (Torch of Certainty) dan "Tindakan seksual yang salah juga mencakup tindakan yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan tertentu: masturbasi, di dalam mulut (oral) ataupun anus (anal)." (Words of My Perfect Teacher oleh Patrul Rinpoche).
Nasehat yang paling tegas ditekankan oleh Master Hsuan Hua, patriarch Chan (Zen) kesembilan tradisi Guiyang: "Mereka yang [sering] melakukan masturbasi, meskipun mereka tidak melakukan bentuk penyimpangan seksual lainnya, akan terjatuh di neraka-neraka besar." (How Buddhism Changed My Life) dan "jika pria atau wanita melakukan masturbasi, di masa depan mereka akan menerima akibatnya terlahir kembali sebagai bukan pria pun bukan wanita (pandaka)." (Komentar Saddharmapundarika Sutra)
Pada zaman Sang Buddha ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Sebelum memulai kebiasaan masturbasi, wajahnya pucat dan kurus, namun setelah sering melakukan masturbasi ia tampak cerah dan sehat. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Kisah ini menampik pendapat bahwa masturbasi adalah hal yang normal bagi seorang umat Buddhis awam. Cita-cita umat Buddhis adalah untuk mencapai Nirvana, lantas bukankah seharusnya mereka tidak melakukan masturbasi yang dapat menghalangi tercapainya phala? Memang mungkin masturbasi dapat memuaskan nafsu seks kita sehingga kita sementara merasa segar, namun sebenarnya nafsu seks itu sendiri tidak pernah terpuaskan, seperti sabda Sang Buddha. Tindakan yang tidak bermanfaat seperti ini seharusnyalah dihindari.
_/\_
The Siddha Wanderer
Berciuman Saat Pacaran?
Dikisahkan ada empat puluh cara bagaimana seorang wanita dapat berdamai dengan pria, baik antara suami dan istri atau pasangan yang masih dalam tahap berpacaran atau bertunangan, salah satunya adalah: "Ia mencium dan membuatnya mencium dirinya... Sungguh, dengan ... cara ini ia berdamai kembali dengan seorang pria." (Kunala Jataka)
Berciuman pada saat pacaran adalah hal yang wajar dan tidak ada satupun kitab Buddhis yang melarangnya. Dalam Nalini Jataka [Mahavastu], Bodhisattva Ekasringa yang merupakan kelahiran lampau Siddharta dan Nalini yang adalah kelahiran lampau Yasodhara dikisahkan saling jatuh cinta, mereka beberapa kali saling berangkulan dan berciuman bibir padahal belum menikah. Dan sangat jelas pemuda Ekasringa tertarik oleh ciuman putri Nalini dan berciuman tidak dipandang sebagai tindakan seksual yang salah. Kitab Nalini Jataka dengan jelas membedakan antara berciuman dengan hubungan seksual.
Motivasi kita mencium pasangan kita, harus lebih didasari atas rasa cinta, untuk mengekspresikan rasa kasih lewat ciuman, usahakan agar motivasi kita tidak lebih banyak didasari oleh nafsu. Seperti kutipan Kunala Jataka di atas, ciuman dilakukan oleh wanita dengan tujuan berdamai dengan pria. Kondisi damai dapat kita wujudkan apabila kita mempraktekkan kesabaran dan cinta kasih, oleh karena itulah ciuman di sini dilakukan dengan kasih, bukan nafsu.
Kita harus juga senantiasa waspada jangan sampai tindakan berciuman ini kelewat batas sampai ke hubungan seksual pranikah (pelanggaran sila ketiga). Ciuman memang tidak melanggar sila ketiga, namun tindakan ciuman dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan pelanggaran sila. Contohlah tindakan Bodhisattva Ekasringa dan Nalini yang dapat mengendalikan diri mereka di kala mereka berciuman sehingga tidak sampai pada hubungan seksual yang keliru.
Mengenai metode berciuman, pada saat pacaran hendaknya bukan ciuman french kiss atau wet kiss yang menjurus pada nafsu. Ciuman pada saat pacaran seharusnya lebih diarahkan pada bibir yang hanya menempel pada bibir. Setiap kali ingin berciuman, kita harus mengecek motivasi kita, apakah lebih condong ke arah nafsu atau ke arah kasih sayang. Gaya berciuman seseorang mencerminkan motivasi orang tersebut. Kita juga harus memahami bahwa dalam paham Buddhis, mulut merupakan salah satu dari tiga lubang seksual, sehingga kita harus berhati-hati, jangan sampai menjurus pada pelanggaran sila ketiga. Bibir adalah salah satu dari sembilan tempat di tubuh yang dapat membangkitkan gairah seksual. Di dalam kitab Vinaya, dikisahkan ada seorang bhikkhu di Rajagaha yang ketahuan mencium bibir seorang wanita. Karena tindakannya itu, maka ia dikenakan pelanggaran Sanghadisesa. Apabila seseorang tidak dapat mengendalikan nafsunya saat berciuman, maka sepantasnyalah berciuman bibir dihindari. Bagi pasangan yang sudah menikah, maka gaya berciuman apapun boleh dilakukan.
Seks Hanya Digunakan Untuk Memiliki Anak sekaligus Ekspresi Cinta Suami Istri
Menurut paham etika Buddhis, seks antara pria dan wanita dimaksudkan untuk mengekspresikan rasa cinta dan untuk menghasilkan anak. Dua faktor di atas harus dipenuhi apabila seorang umat perumah tangga Buddhis ingin melakukan persetubuhan yang sesuai dengan Dharma. Dalai Lama ke-14 berkali-kali berkata, "Saya pikir, pada dasarnya, tujuan daripada seks adalah untuk memunculkan kelahiran anak [reproduksi]." (World Tibet News). Pernyataan beliaupun juga diamini oleh Lama Thubten Yeshe: "Saya telah mendengar bahwa anggapan mereka pada seks adalah untuk reproduksi, bukan untuk kenikmatan. Aku pikir itu ide yang bagus."
Dalam Anguttara Nikaya dikatakan bahwa seorang brahmana yang seperti dewa akan melakukan tindakan "mencari seorang istri dengan cara yang benar". Apakah cara yang benar itu? "Ia menikah dengan seorang wanita brahmana tidak untuk kenikmatan seksual, tidak untuk main-main dan tidak untuk nafsu, namun demi kemanusiaan. Ia melakukan hubungan seksual dan membangkitkan kelahiran [bayi], mencukur kepala dan janggutnya dan memakai pakaian kuning meninggalkan rumah menjadi petapa." Demikian juga brahmana yang berada dalam batasan juga mencari seorang istri dengan cara yang benar. "Ia menikah dengan seorang wanita brahmana tidak untuk kenikmatan seksual, tidak untuk main-main dan tidak untuk nafsu, namun demi kemanusiaan. Ia melakukan hubungan seksual dan membangkitkan kelahiran [bayi], berbahagia dengan istrinya dan hidupnya sebagai seorang suami, tidak meninggalkan rumah dan tidak menjadi petapa." (Donabrahmana Sutta)
Kemanusiaan di sini berarti hubungan seks yang didasari atas cinta kasih untuk membangkitkan kelahiran seorang anak.
Bahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
"Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara...., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara" Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil." (Mulasarvastivada Vinaya)
Menyadari bahwa seks ditujukan oleh dua hal tersebut, maka tentu tidak ada alasan untuk melakukan hubungan seks pra nikah / seks bebas. Apa ada hubungan seks bebas yang ditujukan untuk menghasilkan anak? Mungkin ada, Tapi itupun masih bisa dihitung jari. Kebanyakan orang melakukan seks bebas karena mereka dikuasai oleh nafsu birahi mereka dan ketidakmampuan untuk menahan diri mereka, sehingga kehamilan malah dianggap sebagai suatu hal yang sangat tidak diinginkan oleh pelaku seks bebas. Akibat terburuk yang dapat terjadi adalah dihalalkannya praktek aborsi oleh pasangan yang melakukan hubungan seks bebas.
_/\_
The Siddha Wanderer
Quotewajahnya pucat dan kurus, namun setelah sering melakukan masturbasi ia tampak cerah dan sehat.
kata org sih setelah melakukan, malah cape dan loyo...
bro GandalfTheElder.... apakah ada salah ketik atau gimana ya?
mungkin yg bagian kesehatan bisa beri masukan...!
trims sebelumnya..
Seks Pranikah menurut Bhante Uttamo Mahathera dan Dalai Lama
Bhante Uttamo, seorang anak bangsa dan pembimbing umat Buddhis yang luar biasa, di mana tulisan-tulisannya menginspirasi penulis untuk pertama kalinya memasuki jalan Buddha Dharma. YM. Uttamo Mahathera selalu mengingatkan akan seks pranikah sebagai pelanggaran sila ketiga. Hal ini seharusnya juga menjadi penekanan bahwa seks parnikah adalah melanggar sila, khususnya di negara-negara Asia.
Beliau berargumen, sila yang ketiga adalah tidak melakukan pelanggaran kesusilaan. Di zaman yang serba canggih dan modern ini, orang seringkali ingin melangsungkan segala sesuatunya dengan serba cepat dan singkat. Bahkan hal tersebut sudah terkenal di kalangan generasi muda. Hubungan seks pranikah dan kehamilan usia remaja bukanlah suatu hal yang asing dan tabu lagi di zaman yang serba cepat ini. Kalau para generasi muda yang mempelajari sila di dalam agama Buddha masih bertingkah-laku demikian maka sesungguhnya sila ketiga ini baru sampai taraf ilmu pengetahuan saja, belum sampai pada pelaksanaan. Tetapi kalau kita mau melaksanakan sila, tentu kita akan berusaha untuk bersabar. Dan sila ini akan menjadi rem otomatis sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap kesusilaan. Ini adalah melatih kesabaran.
Dalam kriteria pelanggaran sila ketiga, permasalahannya bukan mau sama mau, tapi ada kriteria yang diluar hal itu. Kriteria pelanggaran tersebut adalah jika salah satu pelakunya adalah saudara kandung sendiri (kakak atau adik kandung), anak dibawah umur (belum dewasa), anak dibawah perlindungan (masih tergantung pada orangtua atau wali), suami atau istri orang lain, mereka yang sedang menjalankan sila (samanera atau Bhikkhu). Dengan pelaku salah satu dari kriteria di atas, maka dia telah melanggar sila ketiga, walau perbuatan itu dilakukan mau sama mau.
Meskipun dewasa ini kegiatan seksual pranikah hampir menjadi hal yang wajar, bukan berarti perbuatan ini diperbolehkan dan aman dilakukan, apalagi oleh para remaja. Ada beberapa konsekuensi logis yang mungkin diperoleh si pelaku. Konsekuensi pertama yaitu adanya perubahan yang dirasakan si pelaku pada dirinya sendiri. Perubahan ini meliputi perubahan secara fisik maupun mental. Secara fisik, si pelaku mungkin dapat terkena beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan kegiatan seksual. Bahkan ada kemungkinan kejangkitan penyakit AIDS yang hingga saat ini masih belum dapat diketemukan obat penyembuhnya. Atau, untuk remaja putri, resiko kehamilan sering harus ditanggung sendiri karena ditinggal si pacar setelah mengetahui kehamilannya. Sedangkan secara mental, si pelaku akan sering dibayangi dengan rasa bersalah, malu dan juga rendah diri karena merasa dirinya telah ternoda. Perasaan ini akan muncul dalam diri seseorang yang memang memiliki sedikit kemoralan. Bila tidak memiliki kemoralan sama sekali, mungkin mereka malah bangga dengan "prestasi" penyakit kelamin yang dimilikinya ataupun kehamilan semasa usia remaja ini. Sedangkan untuk mereka yang bermoral, jelas perbuatan yang melanggar sila ke tiga dalam Pancasila Buddhis ini tidak akan ada di dalam kamus kehidupannya.
Selain berpengaruh untuk si pelaku, hubungan seksual pra nikah juga dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan tempat si pelaku berada. Lingkungan pertama adalah orangtua dan keluarga. Mereka, paling tidak, akan malu mempunyai anak yang dipandang kurang bermoral tersebut. Lingkungan yang lain adalah para teman yang mungkin akan mencemoohnya dan bahkan, mengucilkannya. Demikian menurut Bhante Uttamo Mahathera.
Sedangkan menurut Dalai Lama XIV Tenzin Gyatso, seorang Bhiksu yang sudah lama menjadi "wajah" agama Buddha di dunia, mengatakan dalam wawancaranya dengan Vir Sanghvi, editor Hindustan Times ketika ditanya soal seks pranikah: "Di dalam agama Buddha dan banyak agama lainnya, mereka menganggap seks hanya sebagai cara untuk memiliki anak [reproduksi]. Saya tidak mempercayai seks pranikah. Seorang berkebangsaan Amerika bertanya pada saya, "apakah tidak apa-apa apabila melakukannya dengan [pacar saya] menggunakan mulut, dengan tangan, di lubang yang salah...." Saya selalu berkata hal yang sama. Jika hubungan seks tersebut mencakup rasa welas asih, jika aman dan ada persetujuan antar kedua belah pihak, maka tidak ada yang salah.
Apakah rasa welas asih itu? Yaitu berhubungan seks atas dasar cinta dan komitmen, bukan sekadar nafsu dan keintiman saja. Apakah aman itu? Yaitu seseorang harus menjamin bahwa pasangannya tidak tertular penyakit seksual ataupun siksaan-siksaan mental lainnya, oral, anal, dan keseringan masturbasi dapat menyebabkan bahaya kesehatan. Lalu apakah persetujuan itu? Yaitu seks dilakukan tanpa paksaan. Ini semua hanya dapat ditemukan dalam seks yang berada dalam ikatan pernikahan yang sejati.
Dalam bukunya, Power of Compassion, Dalai Lama mengatakan bahwa hanya hubungan seksual bertempat dalam ikatan pernikahan. Bahkan Dalai Lama menunjukkan keprihatinan pada perilaku "kumpul kebo" orang Barat (hidup bersama dan berhubungan seks sebelum nikah): "Terlalu banyak orang di Barat yang telah meninggalkan tradisi pernikahan. Mereka tidak mengerti bahwa pernikahan adalah tentang saling mengembangkan rasa menghargai pada seseorang, respek yang sangat dalam dan kepercayaan serta kesadaran akan kebutuhan sesosok manusia. Suatu jenis hubungan baru yang 'gampang- datang, gampang pergi' memberikan kebebasan yang lebih, namun mengurangi contentment." (Daily Telegraph, 2006), dan lebih lanjut beliau mengatakan, "Terkadang kehidupan seks menjadi sedikit ekstrim atau melenceng, khususnya di Barat, dengan begitu banyak "kebebasan seksual." Namun seseorang tidak dapat mengatakan bahwa "kebebasan seksual" membuat kita sangat bebas. Apakah engkau menemukan bahwa beberapa aspek dari gaya hidup barat sebenarnya mempromosikan seks? Di dalam sifatnya sendiri, seks bukanlah sesuatu yang keliru, namun saya pikir hal tersebut seperti minum-minum, hal itu akan menjadi masalah apabila berlebihan." (Mengimajinasikan Semua Orang oleh Tenzin Gyatso)
_/\_
The Siddha Wanderer
Quotekata org sih setelah melakukan, malah cape dan loyo...
bro GandalfTheElder.... apakah ada salah ketik atau gimana ya?
mungkin yg bagian kesehatan bisa beri masukan...!
trims sebelumnya..
Itu saya dapat dari Dhammapada Atthakatha. Jujur dulu waktu SMP - SMA pun saya pernah melakukan masturbasi, capek sih capek, tapi pikiran sementara terasa fresh dan segar gt. Ini pengalaman pribadi. Sekarang saya sudah tidak lagi melakukan hal tersebut karena tidak ada faedahnya sama sekali, hanya nambah lobha.
_/\_
The Siddha Wanderer
Seks Pra-Nikah itu Tanpa Komitmen
"Sadarilah penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan seksual yang salah, aku akan mengambil tanggung jawab dan mempelajari cara-cara untuk melindungi keamanan dan integritas dari para individu, pasangan kekasih, keluarga dan masyarakat. Aku bertekad untuk tidak berkecimpung dalam hubungan seksual [yang] tanpa cinta dan komitmen dalam jangka panjang. Untuk memelihara kebahagiaan diriku sendiri dan orang lain, aku bertekad untuk menghormati komitmenku dan komitmen orang lain. Aku akan melakukan segalanya dengan kekuatanku untuk melindungi anak-anak dari pelecehan seksual dan untuk mencegah pasangan kekasih dan keluarga dari perpecahan akibat tindakan seksual yang menyimpang." (Thich Nhat Hanh)
Seringkali umat Buddhis memandang pernikahan sebagai masalah duniawi (sekular) saja, sekedar produk dari kebudayaan saja, sehingga apabila ada pasangan yang belum menikah namun dianggap sudah berkomitmen satu sama lain melakukan persetubuhan, maka tindakan mereka itu sah-sah saja. Sikap umat Buddhis yang kurang menghargai hakikat pernikahan ini sungguh memprihatinkan. Bayangkan saja, pernikahan dipandang sebagai masalah sekular saja namun seks di luar nikah diperbolehkan! Seorang umat Buddhis yang sadar akan hati nuraninya tidak akan mungkin berpendapat seperti demikian.
Namun kita seringkali lupa bahwa sebenarnya pernikahan itu, meskipun merupakan masalah duniawi, merupakan wujud dari totalitas komitmen dan tanggung jawab itu sendiri. Seks pranikha kebanyakan hanya mengandalkan emosi atau keintiman saja.
"........Sila ketiga, tidak berbuat asusila, adalah penting. Orang yang tidak memegang sila ini dapat menciptakan kepedihan dan prahara di dalam keluarga dan masyarakat. Saya mendesak semua praktisi awam Buddhis untuk mengambil sila ini. Menurut standar India Kuno, tindakan berikut ini termasuk ke dalam pelanggaran berat: hubungan seks diantara pasangan yang tidak menikah, berzina, dan seks tidak normal. Menurut adat, seks harus dilakukan pada malam hari, dalam kamar pribadi, dan dengan cara yang normal, yakni: seks dengan alat genital (kelamin)-lain dari itu dianggap tidak normal.
Jaman sudah berubah, dan kode moral barat itu berbeda. Banyak pasangan hidup bersama tanpa menikah. Dalam masyarakat dewasa ini, perilaku demikian tak selalu dianggap sebagai tindakan asusila. Walau begitu, saya anjurkan orang-orang ini untuk menikah. Kalau anda tidak menikah dan melahirkan anak-anak, itu akan menciptakan masalah bagi mereka. Bahkan andai kalian belum punya anak sekalipun, lebih baik menikahlah, karena hal itu menunjukkan bahwa kalian bersungguh hati (committed) terhadap pasangan kalian. Pernikahan adalah tanda tanggung jawab dan kedewasaan (dalam hubungan tersebut), dan itu bagus. (Zen Wisdom oleh Master Sheng-yen, Patriark Chan tradisi Linji dan Caodong)
Beberapa orang berdalih bahwa hubungan yang berkomitmen pun dapat dilakukan bersama dengan pacar. Maka dari itu hubungan seks dengan pacar tidaklah melanggar sila. Namun sesuai dengan perkataan Master Shengyen, hanya pernikahanlah yang dapat menunjukkan bahwa komitmen kita itu memang jelas, sungguh-sungguh dan benar. Kita bisa merasa berkomitmen pada pacar kita, namun apabila putus, kita mencari pacar lain yang dengannya kita juga merasa berkomitmen. Lantas sebenarnya dengan siapakah kita berkomitmen? Pada pacar A, B atau C? Maka dari itu komitmen dalam masa pacaran hendaknya tidak dijadikan pembenaran untuk melakukan hubungan seks karena sifatnya tidak jelas, sangat labil dan mudah berubah disebabkan oleh tanpa adanya ikatan pernikahan.
"Pada hari-hari ini, salah satu dari alasan-alasan utama seorang pria dan wanita menjadi teman (berpacaran) adalah alasan seksual. Mereka bergumul bersama-sama untuk kepentingan kenikmatan seksual. Di zaman yang lebih awal, pernikahan memiliki kualitas agung – sepasang pria dan wanita datang bersama dengan penghormatan, dengan tujuan untuk menciptakan suatu keutuhan (totalitas). Hal tersebut memberikan arti pada pernikahan, dan pernikahan yang dilangsungkan dengan tujuan tersebut akan menjadi pernikahan yang baik." (Lama Thubten Yeshe).
Melakukan persetubuhan setelah menikah adalah salah satu wujud penghormatan pada pasangan hidup kita. Di negara Asia kebanyakan, seks pranikah yang menimbukan kehamilan tentu akan mempermalukan kedua orang tua para pelakunya. Mereka yang melakukan seks pranikah, khususnya pihak wanita, akan dicela dan dipergunjingkan oleh masyarakat banyak. Integritasnya sebagai wanita telah direnggut apabila ia ketahuan melakukan seks sebelum menikah. Apabila seseorang memang mencintai seseorang, maka tentu ia akan memperlakukan pasangannya dengan hormat sehingga tidak akan dengan sengaja menyebabkan kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang mungkin akan diterima oleh orang yang dicintainya itu.
Cinta antara pria dan wanita, menurut ahli psikologi Robert Sternberg. Memiliki tiga komponen:
1. Keintiman yaitu perasaan kedekatan dan keterikatan satu sama lain
2. Nafsu yang berkiatan dengan seksualitas
3. Komitmen yaitu keputusan untuk bersama dalam jangka yang panjang, segala dilakukan bersama-sama dan saling memenuhi
Dari ketiga komponen di atas, aspek terpenting dalam pertimbangan melakukan persetubuhan adalah komitmen. Banyak para remaja yang berpacaran merasa mereka sudah berkomitmen pada pacar mereka dan akhirnya membenarkan tindakan seks pranikah mereka. Karena bagi mereka yang terpenting adalah esensinya, ketimbang melakukan pernikahan yang hanya merupakan formalitas, lembaran catatan pengesahan saja. Esensi lebih penting daripada bungkus luarnya. Argumen yang sepintas tampak jitu ini tentu saja sangat keliru, mengapa? Ada beberapa alasan untuk itu:
1. Pernikahan tidaklah sulit untuk diadakan, lantas mengapa seseorang harus berhubungan seks di luar nikah? Bukankah apabila disalurkan lewat pernikahan maka semuanya menjadi aman, nyaman, dan sehat? Mengapa harus menempuh jalan yang berbahaya dan sembunyi-sembunyi karena takut dan malu?
2. Menurut penelitian, kebanyakan komitmen yang dirasakan oleh orang yang berpacaran sebenarnya bukanlah komitmen, namun merupakan perasaan keintiman yang sangat dekat sehingga seolah-olah menjadikannya seperti sebuah komitmen. Totalitas komitmen hanya dapat diwujudkan melalui pernikahan saja. Selain itu komitmen sendiri hanya dapat dimiliki oleh individu yang dewasa, sepenuhnya matang dan sadar.
3. Pernikahan bersifat mengikat, baik dari segi hukum, budaya maupun keluarga serta berbagai norma-norma yang ada di masyarakat. Hal ini adalah hal yang positif. Melakukan persetubuhan di luar nikah akan mengakibatkan orang-orang dengan mudah melanggar 'komitmen' mereka (yang katanya esensi!) karena tidak harus mengurus berbagai urusan formalitas seperti surat cerai dan sebagainya ketika mereka berkehendak meninggalkan pasangan yang sudah digaulinya itu. Esensi dan kualitas tmemang lebih utama ketimbang bungkus luarnya. Tapi apakah itu berarti, formalitas tidak bernilai sama sekali? Kenyataan menunjukkan, walaupun formalitas bukanlah segala-galanya, tapi orang-orang membutuhkannya. Sebuah "kontrak kerja", misalnya, memang tidak menjamin adanya komitmen yang tulus dari kedua belah pihak. Tapi paling sedikit ia memberikan sebuah "pegangan". Orang bisa melakukan tindakan hukum bila itu dilanggar. Orang yang mengatakan bahwa "komitmen, bukan formalitas yang penting", sebenarnya bisa saja adalah orang yang menolak komitmen. Orang yang mengatakan bahwa formalitas pernikahan tidak penting -- sebab hanya cinta kasih, relasi dan komitmen-lah yang penting, sering adalah orang yang menolak untuk memberi komitmen "resmi". Mereka masuk dari pintu depan, tapi secara diam-diam menyiapkan "pintu darurat" di belakang. Agar sewaktu-waktu mereka dapat melarikan diri dari komitmen dan relasi, yang selalu mereka katakan paling utama itu.
4. Pernikahan bukanlah sekedar masalah kelembagaan atau surat-surat, namun pernikahan adalah suatu wadah / institusi di mana pria dan wanita datang dengan saling menghormati, saling mengasihi dan setia satu sama lain dengan komitmen yang total, yaitu hidup bersama sepanjang hidup dalam cinta kasih, tanggung jawab, dan perlindungan. Dietrich Bonhoeffer berkata pada para calon pengantin pria dan wanita: "Bukanlah cinta kalian yang akan mempertahankan pernikahan, tetapi mulai sekarang, pernikahan itu sendiri akan mempertahankan cinta kalian."
5. Budaya barat yang tidak suka diikat-ikat, sehingga banyak melakukan seks pranikah dan seks bebas, tentunya merupakan kegagalan pendidikan di sana. Zaman dulu di Asia meskipun tidak ada lembaga pernikahan, sepasang pria dan wanita yang akan menikah terlebih dahulu akan melakukan ritual-ritual untuk meresmikan pernikahan mereka sebagai wujud dari komitmen mereka untuk tinggal bersama. Ini adalah kesadaran yang patut dicontoh oleh banyak orang, bukannya budaya barat yang dianggap modern tetapi malah bersifat merusak. Aspek seksual kita apabila disalurkan di dalam pernikahan akan menghasilkan tanggung jawab dan kestabilan.
6. Seks pranikah juga dapat memancing kecurigaan. Seseorang mungkin akan berpikir: apabila seks menyimbolkan komitmen, maka dulu ketika pacarku bersetubuh dengan mantan pacarnya bukankah ia tidak sepenuhnya berkomitmen? Buktinya setelah melakukan hubungan seks dia putus sama pacarnya? Mungkin saja bukan ia juga tidak sepenuhnya berkomitmen pada aku yang pacarnya sekarang? Jika ia dapat tidur denganku sebelum menikah, apakah ia juga melakukannya dengan wanita lain?
7. Setiap tindakan seks pranikah akan memberikan pengaruh pada psikologis seseorang sehingga ia akan sulit memegang kesetiaan dan komitmennya secara total dalam pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang melakukan seks pranikah akan banyak berujung pada perceraian nantinya.
8. Cinta seharusnya diwujudkan dalam pengendalian diri sebelum menikah, bukan dengan hubungan seks. Seseorang menghindari seks pranikah dengan tujuan untuk menghormati pernikahan yang sejati itu sendiri. Pernikahan (marriage) adalah suatu kondisi di mana laki-laki dan wanita yang saling mencintai bersatu. Namun ini adalah sebuah "persatuan terbuka" di mana hubungan ini terbuka pada hidup, keluarga, teman dan masyarakat. Pernikahan adalah urusan antara dua orang yang saling mencintai pun juga sekaligus merupakan hal yang menjadi perhatian sosial. Keluarga adalah komponen dasar dalam suatu masyarakat. Pernikahan tetap memliki akibat yang sangat dalam dan menawartkan kedamaian dan keseriusan yang tidak dapat ditemukan di bentuk hubungan manusia lainnya. Perniakhan adalah titik di mana hubungan yang intim dan privat disahkan di depan publik. Seseorang mengucapkan ikrar pernikahan di depan umum. Pernikahan mengaitkan dua keluarga dan dengan demikian memperkuat jaringan sosial yang lebih besar. Ini adalah suatu keberanian, karena seseorang secara publik berjanji untuk setia pada pasangannya. Tangisan di acara pernikahan adalah karena harapan untuk itu.
9. Syarat dari hubungan seksual yang tidak melanggar sila adalah kita harus memberikan rasa aman pada pasangan kita. Rasa aman itu hanya dapat dicapai melalui pernikahan saja, karena pernikahan adalah sebuah institusi di aman seseorang dapat jujur satu sama lain, penuh dengan komitmen sehingga seseorang merasa aman dalam hubungan tersebut. Komitmen secara privat saja seperti "kumpul kebo" sangat mudah untuk dilanggar, sehingga tidak aman.
10. Pernikahan (marriage) adalah pengalaman yang sangat kaya, tempat yang aman, tempat di mana komitmen dibangun. Ia adalah benteng di mana suami istri mempertahankan kebahagiaan mereka. Bahkan dalam pernikahan, seseorang dapat tumbuh menjadi lebih dewasa. Sudah umum bagi masyarakat bahwa seseorang yang telah menikah dipandang lebih dewasa dari mereka yang belum. Menyebut seseorang sebagai pacarku atau partnerku tidaklah dapat dibandingkan ketika seseorang menyebutkan bahwa ia adalah suamiku atau istriku. Sebutan "suamiku" atau istriku" memberikan sebuah rasa ikatan komitmen, kepercayaan satu sama lain dan rasa aman dalam pernikahan. Sebutan seperti "pacarku" tidak akan pernah memberikan hal-hal tersebut. Tujuan dari pernikahan (marriage) adalah membangun pernikahan dengan tujuan. Pernikahan dengan tujuan bukanlah seperti pernikahan kecelakaan. Pernikahan dengan tujuan adalah tentang komitmen cinta, yaitu keputusan untuk memberikan waktu, untuk mendengar, berkomunikasi, cinta dan rasa saling memaafkan.
"The marriage is not about the wedding. Instead, the wedding is about the marriage. It isn't the piece of paper that matters. It's how getting married changes how you see yourself, how you see your partner and the way other people see and treat you."
Christi Rudolph menulis: "Perkawinan (wedding) adalah "selembar kertas" namun pernikahan (marriage) tidak seperti itu. Pernikahan (marriage) adalah komitmen antara dua orang memasuki sebuah kondisi di mana mereka akan menghormati, mencintai dan mengorbankan apapun yang mereka punyai terhadap pasangan mereka."
_/\_
The Siddha Wanderer
Master Hsuan Hua berkata bahwa seks harus menunggu sampai pernikahan dilangsungkan. (In Memory of The Venerable Master Hsuan Hua, p 251). "Sebelum pernikahan yang sebenarnya dilangsungkan, kalian seharusnya tidak berpacaran dengan cara seperti yang orang-orang duniawi lakukan, semuanya kacau dan menyimpang, sehingga engkau akan lupa tentang Buddhadharma dan hanya berpikir tentang menuruti kenikmatan nafsu-nafsumu." (Komentar Avatamsaka Sutra bab 39)
Di dunia barat, di mana seks pranikah telah banyak dilakukan, mungkin ajaran Buddhis tentang bagaimana seks hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan adalah sesuatu yang sangat mengekang pun bisa dianggap ajaran yang ketinggalan zaman. Mereka menyerukan bahwa umat Buddhis tidak harus melakukan seks dalam ikatan pernikahan, dalam masa pacaran pun, apabila keduanya memiliki komitmen yang jelas maka persetubuhan tidaklah dilarang. Menanggapi ini mari kiita lihat tanggapan Ajahn Amaro:
"Untuk menggunakan standar klasik, yaitu berkata bahwa orang-orang tidak seharusnya melakukan hubungan seks sebelum menikah – adalah sepenuhnya menyimpang dengan jalan hidup dunia barat pada masa sekarang, sehingga jika aku mempromosikan standar seperti itu, maka kemungkinan pesat akan sangat banyak bermunculan kelompok orang yang lebih kecil untuk menaruh kepercayaan pada hal-hal yang aku katakan!... Maka seseorang seharusnya memiliki suatu standar objektif, di mana seksualitas tidak hanya digunakan sebagai selingan saja, tidak dengan tujuan untuk suatu hal yang egois, atau tidak hanya untuk memaksimalkan kenikmatan untuk diri sendiri, namun seks seharusnya digunakan lebih banyak dengan kualitas tanggung jawab dan komitmen. Sebuah standar yang mana aku sarankan (dan ini untuk semua orang renungkan...) adalah untuk menghindari hubungan seks dengan siapapun yang mana engkau belum siap untuk menghabiskan sepanjang sisa waktu hidupmu dengannya." (Ajahn Amaro)
Ya. Memang standar di barat dan timur pada zaman sekarang sudah berbeda. Standar timur adalah pernikahan sekaligus totalitas komitmen sedangkan standar barat hanya mementingkan totalitas komitmen saja. Sebenarnya antara totalitas komitmen dan pernikahan memiliki hubungan yang sangat erat dan bahkan tidak terpisahkan. Namun sekarang zaman sudah berubah dan tidak menutup kemungkinan ada kelompok masyarakat yang sudah dewasa dan matang yang benar-benar sudah bisa berkomitmen secara utuh walau belum menikah.
Lalu lantas apakah semua orang barat yang melakukan seks pranikah semuanya memiliki komitmen yang utuh? Sayangnya, kebanyakan tidak. Komitmen untuk hidup bersama sepanjang hidup adalah syarat utama dalam melakukan hubungan seks, meskipun sepasang manusia belum menikah. Hanya saja yang dapat melakukannya cuma sedikit, karena sifat manusia yang cenderung berperilaku seenaknya tanpa didasari atas kesadaran. Maka dari itu tidak jarang kita jumpai banyak orang barat yang sering gonta ganti pacar dan berhubungan seks pula dengan semua pacarnya itu. Bahkan menurut penelitian banyak laki-laki dan perempuan di barat sana yang sudah berhubungan seks dengan lebih dari sepuluh orang selama mereka belum menikah. Bila sudah begini, di mana lagi seks yang didasari atas komitmen yang benar-benar total? Maka dari itu, seks dalam ikatan pernikahan tetap merupakan hal yang sangat baik untuk dilakukan.
"Ketika kalian melihat masyarakat Buddhis mereka sangat mencela seks pranikah, namun Sang Buddha sendiri tidak pernah berbicara secara spesifik tentang hal tersebut. Buddha memang pernah berkata bahwa berhubungan seks dengan seseorang yang berada di bawah kontrol orang lain, dengan kata lain seorang anak yang masih berada di bawah perlindungan keluarga, maka anak itu adalah objek (seksual) yang tidak sesuai, orang yang tidak sesuai. Maka aku menyarankan bahwa remaja harus berpikir, "Apakah aku berada di bawah kontrol orang tuaku? Apakah orang yang dengannya aku berhubungan seks berada di bawah perlindungan orang tuanya? Khususnya yang termasuk dalam tindakan seksual yang tidak bijaksana adalah segala kontak seksual yang akan menimbulkan kerusakan / luka, yang akan menyebarkan penyakit. Meskipun Buddha tidak secara spesifik menyebutkannya disebabkan mungkin hal itu bukanlah isu di India kuno, tindakan seksual yang tidak bijak termasuk segala perilaku seks yang tidak bertanggung jawab, yang menyakiti perasaan orang-orang lain." (Ven. Thubten Chodron)
Meskipun Sang Buddha tidak pernah menyentuh topik seks pranikah secara mendalam, namun sabda-sabda beliau menunjukkan bahwa tindakan seks pranikah adalah tindakan yang kurang bijaksana. Efek negatif dari seks pra nikah seperti kehamilan, penularan AIDS, penyakit kelamin, trauma psikologis semuanya mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang. Agama Buddha adalah agama yang mengusahakan kebahagiaan semua makhluk, lantas akankah Sang Buddha membolehkan praktik seks pranikah / bebas? Tentunya anda sudah tahu sendiri jawabannya.
Seorang petinggi aliran Jodo Shinshu (True Sukhavati), berkata: Seks remaja dengan sangat tegas tidak dianjurkan, disebabkan oleh karena ketidakdewasaan, para remaja tidak mengambil tanggung jawab penuh dan precaution terhadap akibat-akibat yang mungkin terjadi seperti kehamilan dan penyakit (kelamin). Seks pra-nikah dengan sangat tegas tidak dianjurkan karena beberapa alasan yang sama seperti sebelumnya (kehamilan dan penyakit). Para orang dewasa, di lain sisi, dianjurkan untuk sadar atas tiga prinsip dasar [berkesadaran, tidak menyebabkan penderitaan pada pihak lain, tidak menghakimi orang lain karena diri sendiripun belum sempurna] (Rev. Ken Tanaka - Metta)
Lama Gendun Choepel, seorang intelektual Buddhis Tibetan pada awalnya sering melakukan praktek seks di luar nikah dengan wanita-wanita Tibet, India maupun Nepal, namun beberapa waktu kemudian ia menyesali perbuatannya: "Dengan rasa malu akan diriku yang sedikit dan keyakinanku yang kuat pada wanita, aku adalah jenis orang yang memilih kejahatan dan meninggalkan kebaikan. Untuk beberapa waktu aku tidak memiliki ikrar-ikrar sila di kepalaku. Namun sekarang aku memberhentikan kepura-puraan di isi perutku." Dari kesadarannya akan kesalahan tersebut, ia kemudian membuat nasehat pada banyak orang tentang pentingnya untuk menjaga hubungan seks: "Hidup dengan pekerjaan sendiri yang sesuai dengan Dharma, selalu melakukan hubungan seks hanya dengan istrinya sendiri, mengontrol indra-indranya, dan memiliki cukup waktu dengan teman-teman yang akan datang. Seorang makhluk [manusia] yang luar biasa mendapatkan pembebasan di rumah."
Melihat kutipan sutra di atas, maka seorang yang bajik, tidak akan berhubungan seks oleh karena semata-mata nafsunya, namun ia berhubungan seks demi cinta dan kemanusiaan [hanya untuk mempunyai anak], yang mana dilakukan oleh suami istri (dalam ikatan dan komitmen pernikahan). Dengan demikian kita melihat bahwa hubungan seks yang disertai kebijaksanaan dan sesuai dengan Dharma dapat menjadi sebuah kendaraan untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang berbahagia.
Guru dari Master Cheng-yen (pendiri Tzu Chi) secara tegas menulis: "Jangan melakukan tindakan seksual yang menyimpang," Jika seorang pria dan seorang wanita setuju menjadi suami dan istri dengan cara upacara yang diakui publik, dengan persetujuan para pelindung [orang tua, keluarga] dan tidak melanggar hukum-hukum sekular, baru hubungan seksual antara suami dan istri dianggap benar dan tidak menghasilkan karma negatif. Meskipun dalam kasus-kasus di mana pasangan kekasihnya setuju [melakukan hubungan seks], tindakan seks dianggap menyimpang bagi umat awam apabila tidak diizinkan oleh Buddha Dharma, tidak diizinkan oleh hukum sekular, atau tidak disetujui oleh relasi-relasinya yang merupakan para pelindungnya." (Jalan Menuju Ke-Buddhaan oleh Master Yinshun)
Ajaran Buddhis menganjurkan kita untuk berusaha mengurangi nafsu dan kebencian di dalam diri kita serta berusaha mengurangi dan melenyapkan segala penderitaan yang dialami umat manusia. Seks bebas maupun seks pranikah terbukti lebih banyak menimbulkan penderitaan serta cenderung mendorong nafsu untuk muncul. Melihat hal itu seks pranikah tentu sangat bertentangan dengan ajaran Sang Bhagava. Maka kurang pantas bila seseorang mengatakan bahwa agama Buddha memperbolehkan hubungan seks bebas / pranikah, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Sang Buddha mengajarkan pada kita tentang akibat buruk dari persetubuhan yang menyimpang, untuk membimbing kita para makhluk agar dapat mencapai kebahagiaan agung seperti diri-Nya.
Sarva Manggalam,
Upasaka Vimala Dhammo
panjang bener nih 6 post nya.. :|
Elin baca pelan2 deh, gak bs terburu2..
Biar selalu ingat gituuu..
Thanks GandalfTheElder.. Ini sangat berguna sekali agar kita dapat mengetahui batasan2 nya..
_/\_
GRP sent daaaahh.. :)
Quotepanjang bener nih 6 post nya.. Straightface
Elin baca pelan2 deh, gak bs terburu2..
Biar selalu ingat gituuu..
Thanks GandalfTheElder.. Ini sangat berguna sekali agar kita dapat mengetahui batasan2 nya..
Namaste
GRP sent daaaahh.. Smiley
Thx ya ce Elin..... :) :)
Nggak papa pelan2 aja, soalnya waktu nulis ini saya juga pelan-pelan mengumpulkan materi hingga akhirnya tak terasa menjadi sangat panjang..hehe.....
Motivasi pertama saya menulis ini adalah jangan sampai agama Buddha berkontribusi pada kebobrokan moral para remaja saat ini, dengan mengatakan seks pranikah itu ok2 dan sah2 aja. Ini jelas2 pengaruh Barat yang tidak memikirkan etika lagi.
Dulu saya pernah mendapat pertanyaan dari teman yang beragama Islam yang kurang lebih: "Eh, katanya koko2 A itu agama Buddha memperbolehkan ngeseks sama PSK dan before married juga boleh, kok bisa?" Saya kaget dan malu sekali.
Semoga bermanfaat.
_/\_
The Siddha Wanderer
:jempol:
Mantap. Semoga yang mempelajari tulisan ini tidak lagi melakukan pelanggaran.
Amat disayangkan ada yang demi pemuasan nafsu keinginan berusaha melalukan penafsiran sempit dengan meminimalisasi wilayah pelanggaran hanya berpatokan pd 3 faktor penyebab pelanggaran Sila.
QuoteBahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
"Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara...., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara" Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil." (Mulasarvastivada Vinaya)
loh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?
Quote from: ryu on 15 December 2009, 04:03:46 PM
QuoteBahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
"Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara...., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara" Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil." (Mulasarvastivada Vinaya)
loh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?
Serius ? Setau aku sih perawan Ma**a, dan bukan Yasodara, emang ada sumbernya bro ?
Quoteloh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?
Loh??? Itu menurut Mulasarvastivada, Mahayana beda lagi. Benar yang mana bukan persoalan di sini. Tapi yang saya ambil adalah pesan-pesannya, yaitu menurut Buddhis hubungan seks antar suami istri itu terutama harus dilandasi oleh cinta kasih, bukan semata2 nafsu seks belaka.
Jangan bahas Yasodhara lagi lah... OOT... ;D ;D
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: Lokkhitacaro on 15 December 2009, 04:07:58 PM
Quote from: ryu on 15 December 2009, 04:03:46 PM
QuoteBahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
"Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara...., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara" Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil." (Mulasarvastivada Vinaya)
loh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?
Serius ? Setau aku sih perawan Ma**a, dan bukan Yasodara, emang ada sumbernya bro ?
Yang jelas ini versi Mulasarvastivada vinaya. Kita tidak punya kapasitas menilai mana versi yg benar, tapi esensi dari tulisan bro Gandalf adalah menasihati orang menjaga kesusilaan yang bermanfaat buat semua orang.
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 01:21:45 PM
Quotepanjang bener nih 6 post nya.. Straightface
Elin baca pelan2 deh, gak bs terburu2..
Biar selalu ingat gituuu..
Thanks GandalfTheElder.. Ini sangat berguna sekali agar kita dapat mengetahui batasan2 nya..
Namaste
GRP sent daaaahh.. Smiley
Thx ya ce Elin..... :) :)
Nggak papa pelan2 aja, soalnya waktu nulis ini saya juga pelan-pelan mengumpulkan materi hingga akhirnya tak terasa menjadi sangat panjang..hehe.....
Motivasi pertama saya menulis ini adalah jangan sampai agama Buddha berkontribusi pada kebobrokan moral para remaja saat ini, dengan mengatakan seks pranikah itu ok2 dan sah2 aja. Ini jelas2 pengaruh Barat yang tidak memikirkan etika lagi.
Dulu saya pernah mendapat pertanyaan dari teman yang beragama Islam yang kurang lebih: "Eh, katanya koko2 A itu agama Buddha memperbolehkan ngeseks sama PSK dan before married juga boleh, kok bisa?" Saya kaget dan malu sekali.
Semoga bermanfaat.
_/\_
The Siddha Wanderer
Kira-kira Bro Gandalf tahu gak kenapa Koko2 A itu berpendapat demikian?
sebenernya memang boleh khan ngesex sama PSK dan before married juga boleh, cuma akibatnya ya tanggung sendiri =))
Koko A siapa ya? banyak amat orang2 misterius ;D
Jadi ingat kisah didalam sutta(lupa) yg menceritakan seorang istri memberikan ijin suaminya bersama PSK agar sang istri mendapat ijin sang suami berdana makanan kepada Sang Buddha. Pada kisah akhirnya sang PSK juga menjadi sotapanna. Ada yang ingat?
QuoteKira-kira Bro Gandalf tahu gak kenapa Koko2 A itu berpendapat demikian?
Tentu saja saya tahu. Mereka jelas2 kurang membaca kitab-kitab Buddhis. Kebanyakan orang menginterpretasikan sendiri syarat2 pelanggaran sila ketiga. Menurut mereka, kalau sudah dewasa dan mandiri, [tp belum married] dianggap tidak apa2 kalau mau nge-seks sama PSK atau pacar, yang pasti nambah kemerosotan aja, nama baik tercemar kalau ketahuan, tapi tidak melanggar sila krn tidak termasuk objek yang tidak pantas... bla bla bla...
Apalagi mereka mengganggap pernikahan sebagai a piece of paper.....konyol sekali!!... bagi saya pernikahan papa dan mama saya bukan a piece of paper... pliss deh. ... ^-^ ^-^
Padahal kalau ingin melihat kitab2 Buddhis secara holistik, termasuk Mahayana, maka pergi ke PSK itu pelanggaran sila ketiga, seperti yang dibilang Arya Nagarjuna dan Sang Buddha dalam Upasaka Sutra. Bahkan di India dulu, yang dimaksud seseorang masih di bawah perlindungan keluarga itu maksudnya ya belum berumah tangga, seperti yang dikatakan oleh Guru Padmasambhava dan kisah Patacara.
Tapi orang2 menginterpretasikan seenaknya sendiri dengan mengatakan bahwa kalau kita sudah mandiri, meskipun orang tua kita masih hidup, ini dikategorikan 'sudah tidak di bawah perlindungan ortu'. Interpretasi semacam ini sangat picik sekali. Apakah perlindungan ortu itu menandakan kita belum mandiri? Bukankah ortu dalam pikiran dan hatinya selalu ingin melindungi kehormatan anak perempuannya, walaupun mungkin anaknya itu sudah bisa mandiri, punya pekerjaan sendiri, melalang buana ke mana-mana. Kalau saya sebagai ortu, walaupun anak saya sudah mandiri, dalam hati saya tetap berpikir bahwa dia masih dalam perlindungan saya dan istri saya, sepanjang ia belum married. Ini adalah etika bangsa Asia yang patut dijunjung tinggi, bukan etika kumpul kebo...
Bayangkan,
misalnya kalau ayah kita dulu ternyata pernah pergi ke PSK atau berhubungan dengan pacar sebelum married (bukan ibu kita), jujur kalau saya sebagai anak mengetahui kenyataanya seperti, menurut saya itu sangat memalukan dan Horrible, apalagi dipandang dari norma bangsa Asia.
Ingat juga bahwa Sang Buddha lahir di Asia, maka sangat wajar kalau beliau juga berpikir secara bangsa Asia yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan sebelum pernikahan dan bakti kepada ortu!
_/\_
The Siddha Wanderer
QuoteJadi ingat kisah didalam sutta(lupa) yg menceritakan seorang istri memberikan ijin suaminya bersama PSK agar sang istri mendapat ijin sang suami berdana makanan kepada Sang Buddha. Pada kisah akhirnya sang PSK juga menjadi sotapanna. Ada yang ingat?
Oh yeah..... Sirima itu...... tetapi tetap saja itu bukan tindakan yang benar... 8) 8)
QuoteKoko A siapa ya? banyak amat orang2 misterius
Yg pasti kaga ada di forum ini.... ;D ;D
_/\_
The Siddha Wanderer
IMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
QuoteIMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava
juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 05:05:33 PM
QuoteKira-kira Bro Gandalf tahu gak kenapa Koko2 A itu berpendapat demikian?
Tentu saja saya tahu. Mereka jelas2 kurang membaca kitab-kitab Buddhis. Kebanyakan orang menginterpretasikan sendiri syarat2 pelanggaran sila ketiga. Menurut mereka, kalau sudah dewasa dan mandiri, [tp belum married] dianggap tidak apa2 kalau mau nge-seks sama PSK atau pacar, yang pasti nambah kemerosotan aja, nama baik tercemar kalau ketahuan, tapi tidak melanggar sila krn tidak termasuk objek yang tidak pantas... bla bla bla...
Apalagi mereka mengganggap pernikahan sebagai a piece of paper.....konyol sekali!!... bagi saya pernikahan papa dan mama saya bukan a piece of paper... pliss deh. ... ^-^ ^-^
Padahal kalau ingin melihat kitab2 Buddhis secara holistik, termasuk Mahayana, maka pergi ke PSK itu pelanggaran sila ketiga, seperti yang dibilang Arya Nagarjuna dan Sang Buddha dalam Upasaka Sutra. Bahkan di India dulu, yang dimaksud seseorang masih di bawah perlindungan keluarga itu maksudnya ya belum berumah tangga, seperti yang dikatakan oleh Guru Padmasambhava dan kisah Patacara.
Tapi orang2 menginterpretasikan seenaknya sendiri dengan mengatakan bahwa kalau kita sudah mandiri, meskipun orang tua kita masih hidup, ini dikategorikan 'sudah tidak di bawah perlindungan ortu'. Interpretasi semacam ini sangat picik sekali. Apakah perlindungan ortu itu menandakan kita belum mandiri? Bukankah ortu dalam pikiran dan hatinya selalu ingin melindungi kehormatan anak perempuannya, walaupun mungkin anaknya itu sudah bisa mandiri, punya pekerjaan sendiri, melalang buana ke mana-mana. Kalau saya sebagai ortu, walaupun anak saya sudah mandiri, dalam hati saya tetap berpikir bahwa dia masih dalam perlindungan saya dan istri saya, sepanjang ia belum married. Ini adalah etika bangsa Asia yang patut dijunjung tinggi, bukan etika kumpul kebo...
Bayangkan, misalnya kalau ayah kita dulu ternyata pernah pergi ke PSK atau berhubungan dengan pacar sebelum married (bukan ibu kita), jujur kalau saya sebagai anak mengetahui kenyataanya seperti, menurut saya itu sangat memalukan dan Horrible, apalagi dipandang dari norma bangsa Asia.
Ingat juga bahwa Sang Buddha lahir di Asia, maka sangat wajar kalau beliau juga berpikir secara bangsa Asia yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan sebelum pernikahan dan bakti kepada ortu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Begitu rupanya...
Kalau orang pedalaman gimana? Mereka khan belum tentu mengenal norma2 seperti ini, juga misalkan yang namanya pernikahan itu tidak ada?
Trus soal kamasutra bagaimana tuh ;D itu ada di kitab mana yak =))
QuoteQuoteKalau orang pedalaman gimana? Mereka khan belum tentu mengenal norma2 seperti ini, juga misalkan yang namanya pernikahan itu tidak ada?
Yang namanya pernikahan pasti ada, maka ada sebuah keluarga. Meskipun mungkin tanpa upacara2 tertentu!! Tapi yang jelas secara kultur mereka, mereka sudah menikah. Kalaupun memang tidak ada pernikahan, yang ada hanya gonta ganti pasangan seks, bikin anak di mana mana, maklum kebudayaannya tidak sesuai dengan Dharma.
Kalau misalnya mereka hidupnya seks bebas terus di pedalaman, ya tetep aja menghasilkan karma buruk, sama seperti suku pedalaman yang suka membunuh dan kanibal, tidak punya norma jangan membunuh, tetep aja mereka membuat karma buruk krn membunuh, tetep aja melanggar sila menurut Buddhis.
_/\_
The Siddha Wanderer
QuoteTrus soal kamasutra bagaimana tuh Grin itu ada di kitab mana yak LOL
Kitab karya Vatsyayana dari agama Nyaya bosss...
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 05:22:23 PM
QuoteIMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Saya tidak ingin membahas terlalu dalam, karena mungkin bisa berujung
clash pandangan antar Aliran Theravada dan Aliran Mahayana lagi...
Satu poin yang menarik bagi saya adalah "tidak melakukan hubungan seks dengan orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya atau saudaranya."
Secara norma masyarakat, kita mengenali bahwa seorang yang masih single adalah orang yang masih berada di bawah perlindungan orangtuanya ataupun saudaranya. Tapi apakah benar kriteria pada poin ini hanya sebatas ini?
Saya setuju bahwa seorang anak yang masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya adalah anak yang belum dewasa. Oleh karena itu, anak seperti itu belum pantas untuk melakukan hubungan seks. Makanya anak seperti ini adalah objek yang salah dalam aktivitas seks. Menurut saya, Sang Buddha menyatakan golongan seperti ini sebagai objek seks yang salah karena:
- Golongan seperti ini masih belum cukup matang untuk hidup mandiri
- Golongan seperti ini masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
- Tidak ada perlindungan hukum yang menjaga golongan ini dari perilaku seks
Oleh karena itu, berhubungan seks dengan golongan seperti ini adalah tidak layak. Karena bisa merugikan mereka. Tentu tidak benar apabila seorang pangeran di India dulu yang karena memiliki paras rupawan dan kekuasaan sehingga mampu meniduri banyak wanita (Kisah Khemaka). Perbuatan ini tentu melanggar sila, karena perbuatan seks itu dilakukan dengan objek yang memenuhi kriteria di atas; dan dilakukan tanpa komitmen.
Misalnya seseorang yang berusia lebih dari 40 tahun juga bisa saja masih memiliki orangtua atau saudaranya dan masih single. Tetapi dia bukanlah termasuk sebagai golongan "orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya". Kriteria seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya adalah kriteria golongan orang yang masih diasuh oleh orang yang sudah mandiri. Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang yang masih di bawah perlindungan saudaranya adalah objek seks yang salah. Tetapi saudaranya yang menjadi tempat bernaung bagi orang itu bukanlah objek yang salah. Kenapa? Karena saudara itu (dan juga orangtua) itu adalah orang yang sudah mandiri.
Kenapa orang yang belum mandiri disebut sebagai objek seks yang salah? Karena orang itu masih memiliki "tanggung jawab moril" kepada orang yang mengasuhnya. Contoh lainnya adalah seseorang yatim-piatu yang sudah hidup mandiri dan berkecukupan, bukanlah termasuk objek seks yang salah; karena dia tidak lagi berada dalam perlindungan orangtua maupun saudaranya.
Yang sering dilihat oleh banyak orang adalah secara permukaan, bahwa berhubungan seks tanpa menikah adalah perilaku yang kotor. Karena pernikahan itu sakral dan sangat penting di mata masyarakat. Padahal kalau boleh jujur, pernikahan itu tidak lebih dari sebuah kesepakatan untuk berhubungan seks secara legal; di samping juga komitemen untuk hidup bersama sebagai pasangan, saling membantu dan mendukung dalam melanjutkan hidup, dan memiliki keturunan untuk melanjutkan materi dan non-materi milik keluarga.
Banyak pernikahan yang berujung pada cerai, lalu menikah lagi, lalu cerai lagi... Apa bedanya dengan orang yang berhubungan seks bebas dengan pacarnya, lalu putus dan dapat pacar baru lalu berhubungan seks lagi, lalu putus dan dapat pacar baru lagi... dan seterusnya.
Bedanya antara seks pra-nikah dengan seks pasca-nikah hanyalah sebatas perlindungan hukum. Pasangan yang belum terlindung secara hukum, bila berhungan seks maka rawan akan pengkhianatan dan kerugian (terutama pada pihak wanita). Sedangkan seks di bawah naungan pernikahan adalah terlindung secara hukum, sehingga segalanya terlihat baik. Padahal kalau mau membuka mata pada dunia, banyak sekali orang yang menjadikan pernikahan sebagai "prostitusi terselubung". Tapi sayang tidak banyak orang yang mau mengakuinya...
Quote from: bond on 15 December 2009, 05:00:48 PM
Koko A siapa ya? banyak amat orang2 misterius ;D
Jadi ingat kisah didalam sutta(lupa) yg menceritakan seorang istri memberikan ijin suaminya bersama PSK agar sang istri mendapat ijin sang suami berdana makanan kepada Sang Buddha. Pada kisah akhirnya sang PSK juga menjadi sotapanna. Ada yang ingat?
Ingat.. Tambahan, Uttara pada saat menyewa PSK itu sudah sotapanna loh.. :D
QuoteSaya tidak ingin membahas terlalu dalam, karena mungkin bisa berujung clash pandangan antar Aliran Theravada dan Aliran Mahayana lagi...
Satu poin yang menarik bagi saya adalah "tidak melakukan hubungan seks dengan orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya atau saudaranya."
Secara norma masyarakat, kita mengenali bahwa seorang yang masih single adalah orang yang masih berada di bawah perlindungan orangtuanya ataupun saudaranya. Tapi apakah benar kriteria pada poin ini hanya sebatas ini?
Saya setuju bahwa seorang anak yang masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya adalah anak yang belum dewasa. Oleh karena itu, anak seperti itu belum pantas untuk melakukan hubungan seks. Makanya anak seperti ini adalah objek yang salah dalam aktivitas seks. Menurut saya, Sang Buddha menyatakan golongan seperti ini sebagai objek seks yang salah karena:
- Golongan seperti ini masih belum cukup matang untuk hidup mandiri
- Golongan seperti ini masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
- Tidak ada perlindungan hukum yang menjaga golongan ini dari perilaku seks
Oleh karena itu, berhubungan seks dengan golongan seperti ini adalah tidak layak. Karena bisa merugikan mereka. Tentu tidak benar apabila seorang pangeran di India dulu yang karena memiliki paras rupawan dan kekuasaan sehingga mampu meniduri banyak wanita (Kisah Khemaka). Perbuatan ini tentu melanggar sila, karena perbuatan seks itu dilakukan dengan objek yang memenuhi kriteria di atas; dan dilakukan tanpa komitmen.
Misalnya seseorang yang berusia lebih dari 40 tahun juga bisa saja masih memiliki orangtua atau saudaranya dan masih single. Tetapi dia bukanlah termasuk sebagai golongan "orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya". Kriteria seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya adalah kriteria golongan orang yang masih diasuh oleh orang yang sudah mandiri. Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang yang masih di bawah perlindungan saudaranya adalah objek seks yang salah. Tetapi saudaranya yang menjadi tempat bernaung bagi orang itu bukanlah objek yang salah. Kenapa? Karena saudara itu (dan juga orangtua) itu adalah orang yang sudah mandiri.
Kenapa orang yang belum mandiri disebut sebagai objek seks yang salah? Karena orang itu masih memiliki "tanggung jawab moril" kepada orang yang mengasuhnya. Contoh lainnya adalah seseorang yatim-piatu yang sudah hidup mandiri dan berkecukupan, bukanlah termasuk objek seks yang salah; karena dia tidak lagi berada dalam perlindungan orangtua maupun saudaranya.
Yang sering dilihat oleh banyak orang adalah secara permukaan, bahwa berhubungan seks tanpa menikah adalah perilaku yang kotor. Karena pernikahan itu sakral dan sangat penting di mata masyarakat. Padahal kalau boleh jujur, pernikahan itu tidak lebih dari sebuah kesepakatan untuk berhubungan seks secara legal; di samping juga komitemen untuk hidup bersama sebagai pasangan, saling membantu dan mendukung dalam melanjutkan hidup, dan memiliki keturunan untuk melanjutkan materi dan non-materi milik keluarga.
Banyak pernikahan yang berujung pada cerai, lalu menikah lagi, lalu cerai lagi... Apa bedanya dengan orang yang berhubungan seks bebas dengan pacarnya, lalu putus dan dapat pacar baru lalu berhubungan seks lagi, lalu putus dan dapat pacar baru lagi... dan seterusnya.
Bedanya antara seks pra-nikah dengan seks pasca-nikah hanyalah sebatas perlindungan hukum. Pasangan yang belum terlindung secara hukum, bila berhungan seks maka rawan akan pengkhianatan dan kerugian (terutama pada pihak wanita). Sedangkan seks di bawah naungan pernikahan adalah terlindung secara hukum, sehingga segalanya terlihat baik. Padahal kalau mau membuka mata pada dunia, banyak sekali orang yang menjadikan pernikahan sebagai "prostitusi terselubung". Tapi sayang tidak banyak orang yang mau mengakuinya...
Nah... ini sebuah pandangan yang saya tahu pasti akan muncul.
Kalau ujung2nya nanti ada pernikahan yang tidak bahagia, saling menyiksa, terus cerai, menikah, cerai lagi dan sebagainya itu apakah menurut anda itu adalah sebuah pernikahan yang merupakan "pernikahan"? Bagi saya tidak. Hal itu menurut saya, pernikahan hanya sebagai bungkus saja sekaligus ketidakmampuan pribadi menyelesaikan masalah dan menentukan pilihan. Luarnya saja yang menikah, tapi tidak hatinya. Kalau pernikahan semacam ini jelas-jelas bukan pernikahan dan hubungan seks yang dilakukan dalam pernikahan semacam ini tentu adalah pelanggaran sila ketiga karena ada unsur paksaan dalam seks, dengan kata lain "pemerkosaan terselubung".
Kriteria pelanggaran sila ketiga juga adalah tidak menyakiti yang diajak berhubungan seksual, maka kalau hati tidak menikah, tentu hubungan seksual itu menjadi sesuatu yang bisa menyakitkan bukan? Padahal landasan berhubungan seks juga harus karena cinta kasih dan komitmen. mau sama mau antar objek yang memang tidak dilarang.
Menikah yang saya bicarakan di sini adalah menikah yangs esungguhnya, bukan terselubung sana sini. Setidaknya kalau misalnya seseorang cerai, mau menikah cerai berapa kali memang? Nah kalau gonta ganti pasangan seks sebelum menikah itu bisa berapa? Sebanyak yang seseorang mau kan? Mau one-night stand berapa kali pun ya ok2 aja. Maka dari itu jelas2 sex before married itu selain melanggar sila, juga dapat lebih memancing lobha untuk muncul.
Nah masalahnya kriteria / batasan2 mandiri dan masih dilindungi itu apa? Kalau cuma secara subjektif ya konyol.... bisa saja anak umur 12 tahun merasa dirinya mandiri....
Bagi bangsa India pada masa Sang Buddha, sangat jelas batasan antara mandiri dan tidak. Bagi mereka yang belum menikah dan berumah tangga, maka dikatakan masih belum mandiri dan di bawah perlindungan ortu, bagi yang telah menikah, ia mandiri dari ortu, tapi menjadi milik suaminya. Ini yang diambil oleh Sang Buddha. Ini dibenarkan pula oleh Guru Padmasambhava yang telah mencapai Anuttara Samyasambodhi dan emanasi dari Guru Sakyamuni sendiri.
Apalagi cinta kasih ortu pada anak itu begitu besar, maka kalau anak belum menikah, pasti ada rasa tanggung jawab untuk melindungi. Setua apapun anaknya, perasaan ortu pada anak takkan berubah. Kalau sudah benar-benar menikah, baru dianggap dewasa. Maka dari itu Ven. Shengyen mengatakan bahwa pernikahan / menikah adalah wujud kedewasaan seseorang dalam membina hubungan.
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: upasaka on 15 December 2009, 06:01:50 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 05:22:23 PM
QuoteIMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Saya tidak ingin membahas terlalu dalam, karena mungkin bisa berujung clash pandangan antar Aliran Theravada dan Aliran Mahayana lagi...
Satu poin yang menarik bagi saya adalah "tidak melakukan hubungan seks dengan orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya atau saudaranya."
Secara norma masyarakat, kita mengenali bahwa seorang yang masih single adalah orang yang masih berada di bawah perlindungan orangtuanya ataupun saudaranya. Tapi apakah benar kriteria pada poin ini hanya sebatas ini?
Saya setuju bahwa seorang anak yang masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya adalah anak yang belum dewasa. Oleh karena itu, anak seperti itu belum pantas untuk melakukan hubungan seks. Makanya anak seperti ini adalah objek yang salah dalam aktivitas seks. Menurut saya, Sang Buddha menyatakan golongan seperti ini sebagai objek seks yang salah karena:
- Golongan seperti ini masih belum cukup matang untuk hidup mandiri
- Golongan seperti ini masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
- Tidak ada perlindungan hukum yang menjaga golongan ini dari perilaku seks
Oleh karena itu, berhubungan seks dengan golongan seperti ini adalah tidak layak. Karena bisa merugikan mereka. Tentu tidak benar apabila seorang pangeran di India dulu yang karena memiliki paras rupawan dan kekuasaan sehingga mampu meniduri banyak wanita (Kisah Khemaka). Perbuatan ini tentu melanggar sila, karena perbuatan seks itu dilakukan dengan objek yang memenuhi kriteria di atas; dan dilakukan tanpa komitmen.
Misalnya seseorang yang berusia lebih dari 40 tahun juga bisa saja masih memiliki orangtua atau saudaranya dan masih single. Tetapi dia bukanlah termasuk sebagai golongan "orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya". Kriteria seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya adalah kriteria golongan orang yang masih diasuh oleh orang yang sudah mandiri. Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang yang masih di bawah perlindungan saudaranya adalah objek seks yang salah. Tetapi saudaranya yang menjadi tempat bernaung bagi orang itu bukanlah objek yang salah. Kenapa? Karena saudara itu (dan juga orangtua) itu adalah orang yang sudah mandiri.
Kenapa orang yang belum mandiri disebut sebagai objek seks yang salah? Karena orang itu masih memiliki "tanggung jawab moril" kepada orang yang mengasuhnya. Contoh lainnya adalah seseorang yatim-piatu yang sudah hidup mandiri dan berkecukupan, bukanlah termasuk objek seks yang salah; karena dia tidak lagi berada dalam perlindungan orangtua maupun saudaranya.
Yang sering dilihat oleh banyak orang adalah secara permukaan, bahwa berhubungan seks tanpa menikah adalah perilaku yang kotor. Karena pernikahan itu sakral dan sangat penting di mata masyarakat. Padahal kalau boleh jujur, pernikahan itu tidak lebih dari sebuah kesepakatan untuk berhubungan seks secara legal; di samping juga komitemen untuk hidup bersama sebagai pasangan, saling membantu dan mendukung dalam melanjutkan hidup, dan memiliki keturunan untuk melanjutkan materi dan non-materi milik keluarga.
Banyak pernikahan yang berujung pada cerai, lalu menikah lagi, lalu cerai lagi... Apa bedanya dengan orang yang berhubungan seks bebas dengan pacarnya, lalu putus dan dapat pacar baru lalu berhubungan seks lagi, lalu putus dan dapat pacar baru lagi... dan seterusnya.
Bedanya antara seks pra-nikah dengan seks pasca-nikah hanyalah sebatas perlindungan hukum. Pasangan yang belum terlindung secara hukum, bila berhungan seks maka rawan akan pengkhianatan dan kerugian (terutama pada pihak wanita). Sedangkan seks di bawah naungan pernikahan adalah terlindung secara hukum, sehingga segalanya terlihat baik. Padahal kalau mau membuka mata pada dunia, banyak sekali orang yang menjadikan pernikahan sebagai "prostitusi terselubung". Tapi sayang tidak banyak orang yang mau mengakuinya...
Saya melihat ini ada percampuran antara kebenaran umum (menurut kesepakatan mayoritasi suatu komunitas/masyarakat/negara) dengan kebenaran mutlak.
Perlu diingat bahwa Sang Buddha tidak mengabaikan kebenaran umum, oleh karena itu Beliau pada konteks tertentu menilai seks sebagai hal yang legal/wajar bisa diterima sejauh itu diperuntukkan utk orang yg masih melekat pd kehidupan duniawi , oleh sebab itu Beliau menetapkan disiplin Panca Sila di mana perumah tangga tidak dilarang utk melakukan sex menurut kaidah duniawi. Kalo seandainya Buddha tidak melihat aspek kebenaran umum ini , maka dia bisa saja langsung menyatakan SEKS itu nonsense bagi siapapun juga. Tapi tidak demikian , mengapa? Buddha tidak melekat pada hukum duniawai tapi menentang hukum duniawi. Hanya ketika berbicara tentang aspek absolut, tentu semua keburukan2 dari aktifitas seks dapat dijelaskan secara gamblang oleh Kearifan Buddha.
QuoteIngat.. Tambahan, Uttara pada saat menyewa PSK itu sudah sotapanna loh.. Cheesy
Sotapanna kan masih memiliki klesha, ya wajar dong kalau masih bisa salah.
Apalagi menurut Mahayana, Arhat aja masih bisa keliru, apalagi Srotapanna? 8) 8)
chingik wrote QuoteKalo seandainya Buddha tidak melihat aspek kebenaran umum ini , maka dia bisa saja langsung menyatakan SEKS itu nonsense bagi siapapun juga.
:jempol: :jempol:
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 05:22:23 PM
QuoteIMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Kriteria tambahan utk objek yg patut disetubuhi, mulut ular. Ini ada di mana Sang Buddha memarahi bhikkhu kira2, "dari pada memasukkan anu mu dalam lubang pagina adl lebih baik memasukkannya dalam mulut ular." =))
Becanda boss.. 8) Ulah serius teuing ateuh.. seuri-eus wae :D
Quote from: Jerry on 15 December 2009, 06:28:54 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 05:22:23 PM
QuoteIMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Kriteria tambahan utk objek yg patut disetubuhi, mulut ular. Ini ada di mana Sang Buddha memarahi bhikkhu kira2, "dari pada memasukkan anu mu dalam lubang pagina adl lebih baik memasukkannya dalam mulut ular." =))
Becanda boss.. 8) Ulah serius teuing ateuh.. seuri-eus wae :D
kalo gitu sekalian aja setubuhi arang membara
QuoteKriteria tambahan utk objek yg patut disetubuhi, mulut ular. Ini ada di mana Sang Buddha memarahi bhikkhu kira2, "dari pada memasukkan anu mu dalam lubang pagina adl lebih baik memasukkannya dalam mulut ular." LOL
Becanda boss.. Cool Ulah serius teuing ateuh.. seuri-eus wae Cheesy
Patut dicoba tuh, bagi yang nafsu seksnya kagak ketulung.... =))
_/\_
The Siddha Wanderer
intinya sex bebas dengan sex tidak bebas itu khan sama saja, melakukan hubungan sex dan bagi Buddha sudah jelas hubungan sex tidak bisa membebaskan khan. mau di bebaskan mau tidak bebas sama saja =))
Quoteintinya sex bebas dengan sex tidak bebas itu khan sama saja, melakukan hubungan sex dan bagi Buddha sudah jelas hubungan sex tidak bisa membebaskan khan. mau di bebaskan mau tidak bebas sama saja LOL
Yeps..... tapi kalau seks bebas dan sembarangan yang merugikan banyak makhluk, tentu menimbulkan karma buruk.... itulah bedanya dengan seks yang dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang benar-benar menikah.
_/\_
The Siddha Wanderer
alah, mo sex ajah ampe ribet geneh
pertanyaannya, bagaimana tata cara pernikahan yang diajarkan Sang Buddha?
apakah orang-orang jaman dulu di desa-desa yang pai langit bumi melanggar sila karena gak ada penghulu?
Quote from: chingik on 15 December 2009, 06:21:10 PM
Saya melihat ini ada percampuran antara kebenaran umum (menurut kesepakatan mayoritasi suatu komunitas/masyarakat/negara) dengan kebenaran mutlak.
Perlu diingat bahwa Sang Buddha tidak mengabaikan kebenaran umum, oleh karena itu Beliau pada konteks tertentu menilai seks sebagai hal yang legal/wajar bisa diterima sejauh itu diperuntukkan utk orang yg masih melekat pd kehidupan duniawi , oleh sebab itu Beliau menetapkan disiplin Panca Sila di mana perumah tangga tidak dilarang utk melakukan sex menurut kaidah duniawi. Kalo seandainya Buddha tidak melihat aspek kebenaran umum ini , maka dia bisa saja langsung menyatakan SEKS itu nonsense bagi siapapun juga. Tapi tidak demikian , mengapa? Buddha tidak melekat pada hukum duniawai tapi menentang hukum duniawi. Hanya ketika berbicara tentang aspek absolut, tentu semua keburukan2 dari aktifitas seks dapat dijelaskan secara gamblang oleh Kearifan Buddha.
Menurut kebenaran adat setempat, mungkin seks di luar nikah adalah perbuatan kotor. Namun menurut kebenaran universal, perbuatan seks di luar nikah bernilai dari niat yang mendorongnya.
Pernikahan hanyalah pengesahan sepasang kekasih untuk menjadi pasangan hidup. Dalam tradisi India berarti si wanita menjadi milik si pria, dan si pria menjadi milik si wanita. Ada hak dan tanggung jawab di antara hubungan sepasang suami-istri ini. Oleh karena itu, pernikahan merupakan sarana kondusif yang melindungi masing-masing pihak untuk memiliki kehidupan yang bermoral. Karena jika tanpa ada pernikahan, maka peradaban manusia bisa kacau. Meski ada pernikahan, perselingkuhan saja masih ada. Apalagi bila tidak ada pernikahan. Maka peradaban manusia bisa saja dipenuhi dengan hubungan seks yang seenaknya.
Tetapi bila kita melihat kriteria yang lebih jernih (setidaknya menurut saya adalah versi Theravada), berhubungan seks dengan kasih-sayang dan komitmen tidak ekslusif hanya di dalam lembaga pernikahan.
Menurut Anda Sang Buddha berpikir bahwa seks adalah nonsense? Saya pikir Sang Buddha tidak sepicik itu.
Ingatlah bahwa dari hubungan seks yang baik, besar kemungkinan akan adanya terbentuk suatu kehidupan yang kelak akan menjadi seorang besar yang bijaksana. Seorang Siddhattha Gotama pun lahir karena adanya aktivitas seks. Setidaknya menurut pemahaman saya begitu, entahlah dengan pemahaman Anda.
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 06:19:33 PM
Nah... ini sebuah pandangan yang saya tahu pasti akan muncul.
Kalau ujung2nya nanti ada pernikahan yang tidak bahagia, saling menyiksa, terus cerai, menikah, cerai lagi dan sebagainya itu apakah menurut anda itu adalah sebuah pernikahan yang merupakan "pernikahan"? Bagi saya tidak. Hal itu menurut saya, pernikahan hanya sebagai bungkus saja sekaligus ketidakmampuan pribadi menyelesaikan masalah dan menentukan pilihan. Luarnya saja yang menikah, tapi tidak hatinya. Kalau pernikahan semacam ini jelas-jelas bukan pernikahan dan hubungan seks yang dilakukan dalam pernikahan semacam ini tentu adalah pelanggaran sila ketiga karena ada unsur paksaan dalam seks, dengan kata lain "pemerkosaan terselubung".
Kriteria pelanggaran sila ketiga juga adalah tidak menyakiti yang diajak berhubungan seksual, maka kalau hati tidak menikah, tentu hubungan seksual itu menjadi sesuatu yang bisa menyakitkan bukan? Padahal landasan berhubungan seks juga harus karena cinta kasih dan komitmen. mau sama mau antar objek yang memang tidak dilarang.
Menikah yang saya bicarakan di sini adalah menikah yangs esungguhnya, bukan terselubung sana sini. Setidaknya kalau misalnya seseorang cerai, mau menikah cerai berapa kali memang? Nah kalau gonta ganti pasangan seks sebelum menikah itu bisa berapa? Sebanyak yang seseorang mau kan? Mau one-night stand berapa kali pun ya ok2 aja. Maka dari itu jelas2 sex before married itu selain melanggar sila, juga dapat lebih memancing lobha untuk muncul.
Nah masalahnya kriteria / batasan2 mandiri dan masih dilindungi itu apa? Kalau cuma secara subjektif ya konyol.... bisa saja anak umur 12 tahun merasa dirinya mandiri....
Bagi bangsa India pada masa Sang Buddha, sangat jelas batasan antara mandiri dan tidak. Bagi mereka yang belum menikah dan berumah tangga, maka dikatakan masih belum mandiri dan di bawah perlindungan ortu, bagi yang telah menikah, ia mandiri dari ortu, tapi menjadi milik suaminya. Ini yang diambil oleh Sang Buddha. Ini dibenarkan pula oleh Guru Padmasambhava yang telah mencapai Anuttara Samyasambodhi dan emanasi dari Guru Sakyamuni sendiri.
Apalagi cinta kasih ortu pada anak itu begitu besar, maka kalau anak belum menikah, pasti ada rasa tanggung jawab untuk melindungi. Setua apapun anaknya, perasaan ortu pada anak takkan berubah. Kalau sudah benar-benar menikah, baru dianggap dewasa. Maka dari itu Ven. Shengyen mengatakan bahwa pernikahan / menikah adalah wujud kedewasaan seseorang dalam membina hubungan.
_/\_
The Siddha Wanderer
Saya sudah tahu pasti komentar ini yang akan diberikan kepada saya...
Saya hanya menyajikan fakta bahwa pernikahan pun ternyata bisa menjadi sarana prostitusi terselubung. Dan perlu diketahui bahwa seks di luar nikah pun sebenarnya bisa saja penuh dengan komitmen.
Secara garis besar saya setuju dengan pendapat Anda bahwa menikah adalah lebih baik. Tetapi saya tidak melihat bahwa seks di luar nikah pasti merupakan pelanggaran sila ketiga dalam Pancasila Buddhis. Karena saya tidak menyatakan pasti melanggar, maka artinya memang ada beberapa case yang sebenarnya melanggar.
Dalam tradisi India, asas hubungan sosial yang berlaku adalah asas kepemilikan. PSK (wanita penghibur) adalah seorang yang "tanpa pemilik". Istilah tanpa pemilik ini bermakna bahwa seorang PSK adalah seorang yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bahkan dalam metafora yang lebih halus, PSK adalah milik semua orang. Seperti yang mungkin kita semua tahu, gelar ini disematkan ke Ambapali; seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Karena sejak terlahir dia tidak memiliki orangtua, dan semua pangeran menginginkannya; maka Ambapali ditetapkan sebagai milik bersama (wanita penghibur).
Seseorang dikatakan sebagai mandiri (tanpa pemilik) apabila ia sudah dewasa dan mampu menjalani hidup secara mandiri. Batasan jelasnya adalah seorang yang sudah menginjak usia dewasa dan mampu mencari nafkah untuk menyambung hidup sendiri. Di titik ini, dia sudah orang dewasa tetapi bukan berarti dia sederajat dengan orangtua atau saudara yang mengasuhnya. Sebagai bahan tinjauan, dahulu Sang Buddha langsung menahbiskan banyak orang menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari keluarganya terlebih dahulu. Barulah ketika Pangeran Rahula sudah ditahbiskan, Raja Suddhodana meminta Sang Buddha agar kelak meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga dari orang itu sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan permintaan ini pun akhirnya diterima Sang Buddha. Melihat dari contoh samping ini, secara tersirat menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah cukup matang (seperti yang kita tahu, syarat untuk menjadi bhikkhu adalah usia sudah matang), maka orang itu sudah dikatakan mandiri. Dan Sang Buddha sendiri bahkan awalnya tidak merasa perlu meminta izin dari keluarganya. Namun karena permintaan Raja Suddhodana ini, maka Sang Buddha pun akhirnya meluluskannya.
Dalam tradisi India dahulu, PSK dikenal sebagai istri bayaran. Dalam Tipitaka (Pali), Sang Buddha menyebutkan 20 tipe orang yang tergolong sebagai objek seks yang tidak baik. PSK (wanita penghibur) tidak termasuk dalam 20 jenis ini. Dalam Aliran Theravada memang dinyatakan bahwa sebenarnya berhubungan seks dengan PSK tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Jika hal ini berbeda dari Aliran Mahayana, itu wajar saja. Karena karakter Sang Buddha di Tipitaka dan Tripitaka saja memang cukup berbeda.
Dalam perkembangan peradaban manusia, pernikahan adalah suatu lembaga formalitas yang sangat penting dan dijunjung tinggi oleh masyarakat luas. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilandasai dengan cinta-kasih. Dan saya setuju dengan hal ini. Tetapi saya tidak menutup mata bahwa tanpa menikah, tanpa di bawah naungan pernikahan pun sebenarnya cinta-kasih antar sepasang kekasih bisa ada. Oleh karena itu saya menolak pernyataan yang berbunyi: "di luar pernikahan, maka semua aktivitas seks adalah pelanggaran sila ketiga". Inilah bedanya pandangan saya (mungkin Theravada) dengan pandangan Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis).
Di zaman dahulu banyak sepasang kekasih yang melarikan diri dari kedua orangtuanya. Mereka kemudian menikah dengan "mengundang" langit dan bumi sebagai saksi pernikahannya. Saya melihat bahwa hubungan seks yang mereka lakukan setelah atau sebelum pernikahan ini tidaklah melanggar sila ketiga. Demikian pula pada kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran, jika memang mereka melakukannya dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika kelak mereka ternyata tidak bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, maka itu hanya tidak ada kesempatan bersama sebagai suami-istri.
Meski menurut saya hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila, namun saya tidak mendukung hal ini menjadi tren di seluruh penjuru dunia. Di sini bedanya lagi pemikiran saya (mungkin Theravada) dengan pemikiran Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis). Saya melihat bahwa hal ini adalah belum tentu melanggar sila, tidak bisa dipukul rata sebagai perbuatan buruk. Tetapi meskipun bukan keduanya, perbuatan ini tetap mengumbar lobha. Dan sebagai umat Buddha, kita sebaiknya mengendalikan nafsu; jika belum bisa melenyapkan nafsu. Pernikahan menjadi sarana yang baik di dalam norma masyarakat. Karena itu sekali lagi saya melihat bahwa berhubungan seks setelah menikah adalah lebih baik. Karena kita mencegah hal-hal tidak baik yang bisa datang akibat reaksi masyarakat yang mayoritas kusut di dalam konsep "pesta formalitas dan selembar sertifikat bertanda-tangan".
Quote from: Jerry on 15 December 2009, 06:28:54 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 December 2009, 05:22:23 PM
QuoteIMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
_/\_
The Siddha Wanderer
Kriteria tambahan utk objek yg patut disetubuhi, mulut ular. Ini ada di mana Sang Buddha memarahi bhikkhu kira2, "dari pada memasukkan anu mu dalam lubang pagina adl lebih baik memasukkannya dalam mulut ular." =))
Becanda boss.. 8) Ulah serius teuing ateuh.. seuri-eus wae :D
:hammer: :-t
Gelooooo loe,...... bisa nulis kayak gini :ngomel:
ngaco semua. =))
Bro Jerry praktekkan dulu donk . kita kita mao liat reaksinya. :)) :)) :))
Quote
Saya sudah tahu pasti komentar ini yang akan diberikan kepada saya...
Saya hanya menyajikan fakta bahwa pernikahan pun ternyata bisa menjadi sarana prostitusi terselubung. Dan perlu diketahui bahwa seks di luar nikah pun sebenarnya bisa saja penuh dengan komitmen.
Secara garis besar saya setuju dengan pendapat Anda bahwa menikah adalah lebih baik. Tetapi saya tidak melihat bahwa seks di luar nikah pasti merupakan pelanggaran sila ketiga dalam Pancasila Buddhis. Karena saya tidak menyatakan pasti melanggar, maka artinya memang ada beberapa case yang sebenarnya melanggar.
Dalam tradisi India, asas hubungan sosial yang berlaku adalah asas kepemilikan. PSK (wanita penghibur) adalah seorang yang "tanpa pemilik". Istilah tanpa pemilik ini bermakna bahwa seorang PSK adalah seorang yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bahkan dalam metafora yang lebih halus, PSK adalah milik semua orang. Seperti yang mungkin kita semua tahu, gelar ini disematkan ke Ambapali; seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Karena sejak terlahir dia tidak memiliki orangtua, dan semua pangeran menginginkannya; maka Ambapali ditetapkan sebagai milik bersama (wanita penghibur).
Seseorang dikatakan sebagai mandiri (tanpa pemilik) apabila ia sudah dewasa dan mampu menjalani hidup secara mandiri. Batasan jelasnya adalah seorang yang sudah menginjak usia dewasa dan mampu mencari nafkah untuk menyambung hidup sendiri. Di titik ini, dia sudah orang dewasa tetapi bukan berarti dia sederajat dengan orangtua atau saudara yang mengasuhnya. Sebagai bahan tinjauan, dahulu Sang Buddha langsung menahbiskan banyak orang menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari keluarganya terlebih dahulu. Barulah ketika Pangeran Rahula sudah ditahbiskan, Raja Suddhodana meminta Sang Buddha agar kelak meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga dari orang itu sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan permintaan ini pun akhirnya diterima Sang Buddha. Melihat dari contoh samping ini, secara tersirat menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah cukup matang (seperti yang kita tahu, syarat untuk menjadi bhikkhu adalah usia sudah matang), maka orang itu sudah dikatakan mandiri. Dan Sang Buddha sendiri bahkan awalnya tidak merasa perlu meminta izin dari keluarganya. Namun karena permintaan Raja Suddhodana ini, maka Sang Buddha pun akhirnya meluluskannya.
Dalam tradisi India dahulu, PSK dikenal sebagai istri bayaran. Dalam Tipitaka (Pali), Sang Buddha menyebutkan 20 tipe orang yang tergolong sebagai objek seks yang tidak baik. PSK (wanita penghibur) tidak termasuk dalam 20 jenis ini. Dalam Aliran Theravada memang dinyatakan bahwa sebenarnya berhubungan seks dengan PSK tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Jika hal ini berbeda dari Aliran Mahayana, itu wajar saja. Karena karakter Sang Buddha di Tipitaka dan Tripitaka saja memang cukup berbeda.
Dalam perkembangan peradaban manusia, pernikahan adalah suatu lembaga formalitas yang sangat penting dan dijunjung tinggi oleh masyarakat luas. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilandasai dengan cinta-kasih. Dan saya setuju dengan hal ini. Tetapi saya tidak menutup mata bahwa tanpa menikah, tanpa di bawah naungan pernikahan pun sebenarnya cinta-kasih antar sepasang kekasih bisa ada. Oleh karena itu saya menolak pernyataan yang berbunyi: "di luar pernikahan, maka semua aktivitas seks adalah pelanggaran sila ketiga". Inilah bedanya pandangan saya (mungkin Theravada) dengan pandangan Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis).
Di zaman dahulu banyak sepasang kekasih yang melarikan diri dari kedua orangtuanya. Mereka kemudian menikah dengan "mengundang" langit dan bumi sebagai saksi pernikahannya. Saya melihat bahwa hubungan seks yang mereka lakukan setelah atau sebelum pernikahan ini tidaklah melanggar sila ketiga. Demikian pula pada kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran, jika memang mereka melakukannya dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika kelak mereka ternyata tidak bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, maka itu hanya tidak ada kesempatan bersama sebagai suami-istri.
Meski menurut saya hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila, namun saya tidak mendukung hal ini menjadi tren di seluruh penjuru dunia. Di sini bedanya lagi pemikiran saya (mungkin Theravada) dengan pemikiran Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis). Saya melihat bahwa hal ini adalah belum tentu melanggar sila, tidak bisa dipukul rata sebagai perbuatan buruk. Tetapi meskipun bukan keduanya, perbuatan ini tetap mengumbar lobha. Dan sebagai umat Buddha, kita sebaiknya mengendalikan nafsu; jika belum bisa melenyapkan nafsu. Pernikahan menjadi sarana yang baik di dalam norma masyarakat. Karena itu sekali lagi saya melihat bahwa berhubungan seks setelah menikah adalah lebih baik. Karena kita mencegah hal-hal tidak baik yang bisa datang akibat reaksi masyarakat yang mayoritas kusut di dalam konsep "pesta formalitas dan selembar sertifikat bertanda-tangan".
Ok. Sebenarnya pemahaman kita tidak jauh-jauh amat bro, sedari awal sebelum saya menulis dan setelah tulisan saya jadi pun, saya sempat terlintas seperti apa yang anda ucapkan dan menurut saya itu memang masuk akal. Tapi ada beberapa yang ingin saya jelaskan lagi mengenai hal ini.
Pertama, contoh wanita berumur 40 tahun terus penahbisan bhikkhu dan Rahula yang anda berikan, saya lihat batasan yang anda berikan adalah usia dewasa dan sudah bisa mencari nafkah. Nah sekarang bagaimana kalau misalnya penduduk desa di Indonesia ini, seperti para pembantu saya, umur 15 tahun sudah disuruh kawin dan sudah bisa mencari nafkah lagi, ya itu sebagai pembantu saya... ^-^ ^-^, bagi ortu mereka usia segitu sudah cukup matang loh! Tapi yah tetep aja ortu merasa masih melindungi dan bertanggung jawab, maka akhirnya ya dicarikan jodoh si anak itu.... jadi sambil mengakui kematangan si anak, mereka juga masih melindunginya. Baru ketika nanti sudah menikah, maka itu sudah tanggung jawab si suami.
Sang Buddha sendiri tidak menetapkan peraturan macam-macam kalau tidak ada kasus macam2 atau tidak diminta. Jadi ini wajar saja. Tidak ada hubungannya dengan kematangan usia atau apa. Toh pada akhirnya anak yang sudah dewasa pun ya tetep harus meminta izin dari keluarganya [kalau masih ada] untuk menjadi bhikkhu. Kalau memang Sang Buddha mengakui faktor kematangan usia, seharusnya Beliau juga seterusnya memberikan kebebasan bagi mereka yang sudah cukup dewasa secara usia (mis: 20 tahun) untuk menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari ortu. Tapi tampaknya Sang Buddha tidak demikian. :)
Saya juga memperjelas lagi apa yang disebut menikah di sini. Guru Padmasambhava mengatakan:
"Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka." (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)Nah menikah di sini menggunakan kata "berumah tangga" sehingga apa yang dimaksudkan di sini adalah sebenarnya kesadaran, cinta kasih dan komitmen serta tanggung jawab untuk berumah tangga itulah yang dimaksud pernikahan. Padmasambhava tidak emnggunakan kata "pernikahan" karena setidaknya dapat mengacu pada upacara-upacara dan formalitas tertentu, namun yang dipakai adalah "perumah tangga" dan istilahnya dalah grhapati. Tidak ada istilah orang yang telah menikah di Buddhis dan India, yang ada istilah perumah tangga [grhapati].
Machig Labdron dan Thodpa Bhadra, yaitu pasangan yogi Buddhis yang telah tercerahkan yang kemudian menikah, setahu saya juga tanpa formalitas upacara tetek bengek segala. Tapi mereka berdua mempunyai komitmen membangun rumah tangga, sebuah komitmen jangka panjang, serta akhirnya memiliki anak-anak. Mereka akhirnya menjadi keluarga yang bahagia.
Jadi kalau kasus kawin lari seperti yang anda sebutkan itu, asal mereka berkomitmen untuk berumah tangga sehingga keduanya bisa saling menyolong dan bertumbuh satu sama lain, dll maka tidak apa2 dan sah-sah saja hubungan seksual itu.
Sama seperti kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika sepasang kekasih tersebut bertekad membangun rumah tangga, tapi apa daya kondisi eksternal tidak mengizinkan mereka menikah, ini dianggap tidak apa-apa, karena mereka sudah mengambil komitmen berumah tangga. Ketika mengambil komitmen ini, mereka dikatakan sudah menikah.
Namun pada kenyataanya, seperti para bule di Barat itu, sudah lama kumpul kebo, mereka merasa berkomitmen, tapi kalau salah satu dari mereka minta menikah, kadang masih merasa keberatan. Nah ini jelas saja mereka tidak punya komitmen membangun rumah tangga sekaligus jangka panjang, karena menikah pun mereka masih ragu, senengnya kumpul kebooooo teruss..... mereka merasa bahwa keintiman mereka itu komitmen, maka ketika diminta menikah, mereka merasa tersinggung, bingung, karena tidak adanya komitmen yang jelas. Maka karena belum bisa berkomitmen membangun rumah tangga itulah, seseorang dikatakan belum dewasa dalam hal seksual sehingga masih berada di bawah perlindungan ortu!
Kumpul kebo sekian lama pun yang katanya berkomitmen itu, belum tentu mau berkomitmen untuk membangun rumah tangga. Bahkan menyebut pacar sebagai suami / istri saja belum tentu mau dan berani. Ini adalah komitmen yang salah dan jelas-jelas hubungan seksual yang melanggar sila ketiga, karena tidak adanya komitmen yang tulus dalam membangun rumah tangga.
Namun kalau sudah bisa berkomitmen untuk hidup bersama, bersedia mengambil tanggung jawab sebagai suami istri serta sebagai ayah dan ibu dari anak-anak mereka, walaupun tanpa formalitas pernikahan pun seperti tanda tangan surat dan ritual-ritual tertentu, mereka dikatakan sudah masuk ke dalam suatu ikatan pernikahan rumah tangga.
Mengenai PSK, kebetulan saya juga menyusun karya tulis tentang hal itu. Maka saya jawab di lain kesempatan.
_/\_
The Siddha Wanderer
ada siswa Buddha yang asalnya PSK juga :
7. Yang Ariya Ambapali Theri
Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam, rumah tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran tidaklah salah.
Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli, menemukan seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan memberikannya nama Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis atau batang).
Kemudian Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang cantik dan anggun.
Banyak pangeran dari Licchavi ingin menikahinya. Mereka saling bertengkar ingin menjadikan Ambapali sebagai isteri. Untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut, mereka berdiskusi dan sepakat memutuskan,
"Biarlah Ambapali menjadi milik semua orang."
Dengan demikian, Ambapali menjadi wanita penghibur. Dengan sifatnya yang baik, dia melatih ketenangan dan kemuliaan. Ambapali sering memberikan dana dalam jumlah besar dalam setiap kegiatan amal. Walaupun Ambapali seorang wanita penghibur, namun dia terlihat seperti ratu yang tak bermahkota di Kerajaan Licchavi itu.
Ketenaran Ambapali menyebar dan terdengar oleh raja Bimbisara dari Magadha. Kemudian Raja Bimbisara menemuinya, Beliau sangat terpesona akan kecantikannya. Terjalinlah hubungan diantara Raja Bimbisara dengan Ambapali, dari hubungan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki.
Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesali dan tinggal vihara di hutan mangga. Ambapali datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan khotbah kepada Ambapali. Keesokan harinya Ambapali mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumahnya.
"Yang mulia, saya mengundang Yang Mulia bersama para bhikkhu untuk menerima dana makanan, besok pagi di rumah saya," mohon Ambapali. Sang Buddha menerima undangan itu.
Setelah itu Ambapali dengan tergesa-gesa meninggalkan Pangeran Licchavi yang saat itu berada di dalam kereta, pangeran itu berusaha menemukan alasannya dan bertanya,
"Ambapali, ada apa gerangan sehingga kau berkeliling menemaniku dengan tergesa-gesa?"
"Pangeran, saya baru saja mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumah besok pagi, untuk menerima dana makanan dan saya ingin meyakinkan bahwa semua telah dipersiapkan dengan baik", jawab Ambapali.
Mengetahui hal tersebut para bangsawan Licchavi memohon kepada Ambapali untuk memberikan hak istimewa tersebut kepada mereka, dengan menawarkan kepadanya seratus ribu logam emas, tapi Ambapali menolak tawaran tersebut. Kemudian para bangsawan Licchavi itu datang menemui Sang Buddha, dan berkata,
"Izinkanlah kami besok mengundang Yang Mulia dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan besok pagi." Undangan makan dari para bangsawan Licchavi tersebut terjadi di hari yang sama dengan undangan makan Ambapali. Sang Buddha tidak menerima undangan tersebut, dan berkata, "Saya telah menerima undangan Ambapali lebih dahulu."
Keesokan paginya Sang Buddha dan para bhikkhu datang ke rumah Ambapali untuk menerima dana makanan. Setelah selesai menerima dana makanan tersebut, Ambapali mempersembahkan hutan mangga tersebut kepada Sang Buddha.
Pada suatu hari, anak Ambapali dari Raja Bimbisara, bernama Vimala-Kondañña, yang telah menjadi seorang bhikkhu dan telah mencapai Tingkat Kesucian Arahat, memberikan khotbah Dhamma. Setelah mendengar khotbah dari anaknya tersebut, Ambapali meninggalkan kehidupan duniawi, menjadi anggota Sangha Bhikkhuni. Beliau menggunakan tubuhnya sebagai obyek meditasi, merefleksikan sifat-sifat ketidakkekalan, dengan melatih meditasi dengan giat, Beliau akhirnya mencapai Tingkat Kesucian Arahat.
Dalam versi Therighata, dikatakannya pada saat Beliau tua, Beliau membandingkan kecantikannya yang ia miliki dahulu dengan keadaan sekarang :
Rambutku hitam,
bagai warna kumbang,
diujungnya berikal
Karena usia tua,
sekarang bagai serat kulit kayu rami
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Ditutupi bunga,
rambutku wangi bagai kotak parfum
Sekarang karena usia tua,
baunya bagai bulu anjing
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya alisku nampak
demikian indah,
bagai lukisan bulan sabit
yang dilukis sangat indah,
karena usia tua,
tergantung ke bawah oleh kerutan.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Mataku berbinar,
sangat bercahaya bagai permata,
Berwarna biru gelap dan
berbentuk panjang,
Dipengaruhi oleh usia tua,
tidak lagi kelihatan cantik
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya gigiku nampak indah,
bagai warna kuncup
tanaman yang masih muda.
Karena usia tua,
hancur dan menghitam.
Ucapan Pembabar Kebenaran
t idaklah salah.
Sebelumnya, kedua dadaku
nampak indah, menggembung
bundar, berdekatan, menjulang,
Sekarang keduanya turun
bagai kantung air kosong
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya tubuhku nampak indah,
bagai lembaran emas yang digosok.
Sekarang penuh oleh
kerutan-kerutan halus
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya kedua kakiku
nampak indah,
bagai (sepatu) yang penuh kapas.
Karena usia tua,
menjadi retak-retak dan berkeriput.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Demikianlah tubuh ini.
Sekarang berkeriput,
tempat berbagai rasa sakit
bersemayam,
rumah tua dengan plesteran dinding
yang mengelupas.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Quote from: GandalfTheElder on 16 December 2009, 06:49:38 AM
Ok. Sebenarnya pemahaman kita tidak jauh-jauh amat bro, sedari awal sebelum saya menulis dan setelah tulisan saya jadi pun, saya sempat terlintas seperti apa yang anda ucapkan dan menurut saya itu memang masuk akal. Tapi ada beberapa yang ingin saya jelaskan lagi mengenai hal ini.
Pertama, contoh wanita berumur 40 tahun terus penahbisan bhikkhu dan Rahula yang anda berikan, saya lihat batasan yang anda berikan adalah usia dewasa dan sudah bisa mencari nafkah. Nah sekarang bagaimana kalau misalnya penduduk desa di Indonesia ini, seperti para pembantu saya, umur 15 tahun sudah disuruh kawin dan sudah bisa mencari nafkah lagi, ya itu sebagai pembantu saya... ^-^ ^-^, bagi ortu mereka usia segitu sudah cukup matang loh! Tapi yah tetep aja ortu merasa masih melindungi dan bertanggung jawab, maka akhirnya ya dicarikan jodoh si anak itu.... jadi sambil mengakui kematangan si anak, mereka juga masih melindunginya. Baru ketika nanti sudah menikah, maka itu sudah tanggung jawab si suami.
Sang Buddha sendiri tidak menetapkan peraturan macam-macam kalau tidak ada kasus macam2 atau tidak diminta. Jadi ini wajar saja. Tidak ada hubungannya dengan kematangan usia atau apa. Toh pada akhirnya anak yang sudah dewasa pun ya tetep harus meminta izin dari keluarganya [kalau masih ada] untuk menjadi bhikkhu. Kalau memang Sang Buddha mengakui faktor kematangan usia, seharusnya Beliau juga seterusnya memberikan kebebasan bagi mereka yang sudah cukup dewasa secara usia (mis: 20 tahun) untuk menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari ortu. Tapi tampaknya Sang Buddha tidak demikian. :)
Saya juga memperjelas lagi apa yang disebut menikah di sini. Guru Padmasambhava mengatakan:
"Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka." (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)
Nah menikah di sini menggunakan kata "berumah tangga" sehingga apa yang dimaksudkan di sini adalah sebenarnya kesadaran, cinta kasih dan komitmen serta tanggung jawab untuk berumah tangga itulah yang dimaksud pernikahan. Padmasambhava tidak emnggunakan kata "pernikahan" karena setidaknya dapat mengacu pada upacara-upacara dan formalitas tertentu, namun yang dipakai adalah "perumah tangga" dan istilahnya dalah grhapati. Tidak ada istilah orang yang telah menikah di Buddhis dan India, yang ada istilah perumah tangga [grhapati].
Machig Labdron dan Thodpa Bhadra, yaitu pasangan yogi Buddhis yang telah tercerahkan yang kemudian menikah, setahu saya juga tanpa formalitas upacara tetek bengek segala. Tapi mereka berdua mempunyai komitmen membangun rumah tangga, sebuah komitmen jangka panjang, serta akhirnya memiliki anak-anak. Mereka akhirnya menjadi keluarga yang bahagia.
Jadi kalau kasus kawin lari seperti yang anda sebutkan itu, asal mereka berkomitmen untuk berumah tangga sehingga keduanya bisa saling menyolong dan bertumbuh satu sama lain, dll maka tidak apa2 dan sah-sah saja hubungan seksual itu.
Sama seperti kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika sepasang kekasih tersebut bertekad membangun rumah tangga, tapi apa daya kondisi eksternal tidak mengizinkan mereka menikah, ini dianggap tidak apa-apa, karena mereka sudah mengambil komitmen berumah tangga. Ketika mengambil komitmen ini, mereka dikatakan sudah menikah.
Namun pada kenyataanya, seperti para bule di Barat itu, sudah lama kumpul kebo, mereka merasa berkomitmen, tapi kalau salah satu dari mereka minta menikah, kadang masih merasa keberatan. Nah ini jelas saja mereka tidak punya komitmen membangun rumah tangga sekaligus jangka panjang, karena menikah pun mereka masih ragu, senengnya kumpul kebooooo teruss..... mereka merasa bahwa keintiman mereka itu komitmen, maka ketika diminta menikah, mereka merasa tersinggung, bingung, karena tidak adanya komitmen yang jelas. Maka karena belum bisa berkomitmen membangun rumah tangga itulah, seseorang dikatakan belum dewasa dalam hal seksual sehingga masih berada di bawah perlindungan ortu!
Kumpul kebo sekian lama pun yang katanya berkomitmen itu, belum tentu mau berkomitmen untuk membangun rumah tangga. Bahkan menyebut pacar sebagai suami / istri saja belum tentu mau dan berani. Ini adalah komitmen yang salah dan jelas-jelas hubungan seksual yang melanggar sila ketiga, karena tidak adanya komitmen yang tulus dalam membangun rumah tangga.
Namun kalau sudah bisa berkomitmen untuk hidup bersama, bersedia mengambil tanggung jawab sebagai suami istri serta sebagai ayah dan ibu dari anak-anak mereka, walaupun tanpa formalitas pernikahan pun seperti tanda tangan surat dan ritual-ritual tertentu, mereka dikatakan sudah masuk ke dalam suatu ikatan pernikahan rumah tangga.
Mengenai PSK, kebetulan saya juga menyusun karya tulis tentang hal itu. Maka saya jawab di lain kesempatan.
_/\_
The Siddha Wanderer
Pertama, saya tidak pernah secara komprehensif meletakkan wanita selalu menjadi objek seks dalam pembahasan kita. Contoh mengenai seorang anak yang berusia 40 tahun lebih di postingan lalu, tidak merujuk pada jenis kelamin. Maksudnya, bisa saja laki-laki atau perempuan. Coba lihat kembali postingan saya yang dahulu.
Kedua, seorang pria pun bisa menjadi objek seks yang salah bagi wanita. Jadi pelanggaran sila ketiga bukan hanya dimotori oleh wanita sebagai objek seks yang salah.
Ketiga, seseorang yang sudah sedewasa itu (40 tahun lebih), meskipun masih "di bawah ketiak" orangtuanya, tetapi dia bukanlah orang yang berlindung di bawah orangtuanya. Anda mengatakan bahwa "kawin lari" dengan komitmen itu bisa disebut "menikah" dan bukan pelanggaran sila ketiga. Tetapi sadarkah jika Anda menyetujui "kawin lari" seperti itu, maka Anda menyangkal sendiri bahwa "mengambil anak" dari orangtuanya itu tidak melanggar sila? Ada kontradiksi dalam pandangan Anda... Selain itu, menurut saya orang seusia 40 tahun sudah sangat dikatakan dewasa. Sepertinya agak lucu kalau kita menyatakan orang seperti itu masih berlindung di bawah orangtuanya.
Keempat, yang saya sebutkan sejak awal adalah "dewasa dan mandiri". Dewasa bagi saya mungkin relatif, pria adalah 25 tahun sedangkan wanita adalah 23 tahun. Tetapi karena saya mengikuti Sutta, maka setidaknya usia dewasa adalah 20 tahun (usia termuda untuk boleh menjadi bhikkhu). Setelah berusia matang, seseorang harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak bergantung kepada orang lain; alias bisa bertahan hidup sendiri, seumpamanya dirinya tidak lagi diasuh oleh orang lain. Melihat dari kriteria di atas, pembantu Anda belum termasuk sebagai orang yang "dewasa dan mandiri". Jadi orang seperti dia adalah orang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya.
Kelima, Sang Buddha memang tidak merasa perlu meminta izin pada orangtua dari calon bhikkhu. Jadi pada awalnya Sang Buddha langsung menahbiskan seseorang menjadi bhikkhu, meski orang itu belum meminta izin dari orangtuanya. Hal ini dilakukan Sang Buddha karena Beliau melihat bahwa setiap orang yang boleh menjadi bhikkhu adalah orang yang sudah dewasa. Tetapi karena Raja Suddhodana meminta Sang Buddha kelak untuk meminta izin dari orangtuanya, maka Sang Buddha menyetujuinya agar kelak para orangtua tidak merasa anaknya dirampas oleh Sangha. Kalau berhubungan seks? Jelas tidak ada yang dirampas. Seorang anak itu masih bisa berkumpul dan tidur di rumah orangtuanya. Jadi dari contoh samping ini, usia dewasa memang setidaknya 20 tahun dan bisa menghidupi dirinya sendiri.
Keenam, Sang Buddha menyatakan bahwa objek seks yang salah adalah seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtua dan atau saudaranya. Orangtua yang memberi perlindungan jelas sudah menikah. Saudaranya (walinya) ini belum tentu sudah menikah. Misalkan sepasang kakak-adik yang yatim-piatu, di mana si adik masih remaja dan si kakak sudah mapan sebagai seorang profesional muda. Si kakak ini belum menikah, tetapi ia yang memberi perlindungan (sandang, pangan dan papan) kepada si adik. Nah kakak ini sudah dewasa dan mandiri, sehingga dia tidak termasuk dalam objek seks yang tidak baik. Tetapi karena si adik masih belum dewasa dan mandiri, maka dia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik. Cermati lagi, bahwa kemandirian seseorang yang menunjang apakah ia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik atau bukan. Mengapa? Karena jika seseorang masih belum dewasa dan belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, maka perilaku seks yang dilakukan bisa sangat beresiko. Karena manusia itu hidup bermasyarakat, sehingga orang yang belum dewasa belum layak untuk melakukan hubungan seks.
Ketujuh, benar. Anda setuju bahwa pernikahan yang sebenarnya itu berasal dari komitmen / tekad dalam hati. Bukan dari pesta di gedung ataupun surat nikah. Karena itu, sepasang anak muda yang pacaran bisa saja sudah "menikah" di dalam hatinya. Saya kenal banyak pasangan seperti ini dalam lingkungan saya. Sebelumnya, semua orang tentu saja berharap bahwa pernikahan berujung kebahagiaan. Namun tidak jarang banyak pasangan berbahagia yang akhirnya bercerai karena sudah tidak sejalan. Kemudian mereka mencari pasangan lain dan menikah lagi untuk berbahagia. Tetapi sayang lagi mereka kembali bercerai. Tidak ada niat mereka untuk bergonta-ganti pasangan, namun keadaan memang sudah tidak cocok. Kalau kita melihat hal ini, hubungan seks yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pasangan dalam masa pacaran yang serius kemudian berhubungan seks; lalu sayang sekali mereka putus di tengah jalan; kemudian mereka mendapatkan pacar baru dan berhubungan seks lagi, lalu kembali putus di tengah jalan. Kalau menurut Anda berbeda, maka Anda masih melekat pada pesta dan gaun pernikahan serta selembar surat sakral itu.
Kedelapan, tidak semua pasangan di barat seperti itu. Kalau ada kasus seperti yang Anda contohkan, itu hanya kasus pasangan yang tidak sehat. Sama seperti kasus suami-istri dalam pernikahan yang tidak sehat. Sebagai contoh: pesepakbola asal Inggris, Steven Gerrard, berpacaran dengan kekasihnya selama bertahun-tahun dan mereka sudah memiliki seorang anak laki-laki. Pada usianya yang menginjak kanak-kanak, barulah Steven Gerrard dan kekasihnya menikah; dan tentu saja pestanya dihadiri oleh anak mereka. Meskipun dahulu Steven Gerrard dan kekasihnya belum menikah, namun mereka tetap menjadi pasangan yang setia. Menikah di negara maju seperti Inggris hanyalah formalitas. Tanpa menikah, asalkan semua kerabat tahu bahwa si A sedang menjalani hubungan dengan si B, maka itu sudah cukup. Di luar negeri juga tidak ada akal bulus seperti kebanyakan orang di Asia. Orang yang hidup di negara maju seperti Inggris sangat jarang terbesit dalam pikirannya untuk menjadi seorang yang tidak bertanggung-jawab setelah berhubungan seks. Karena itu, lembaga pernikahan mungkin amat penting dijunjung di negara asia. Tetapi mungkin tidak demikian di negara maju, misalnya negara barat. Karena itu saya tetap bersikeras bahwa hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Kalau Anda berbeda pendapat, tidak apa-apa. Saya sangat menghargai kebebasan berpendapat di tiap orang.
Kesembilan, kumpul kebo juga tidak bisa dipukul rata sebagai pelanggaran sila ketiga. Ada beberapa kasus di mana pasangan tidak memiliki cukup uang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan dan pembuatan surat nikah. Jadi mereka kumpul kebo saja. Ada juga pasangan yang terasing dari masyarakat dan mereka memilih hidup bersama sebagai pasangan di bawah atap rumah yang sama, meski tidak ada orang lain yang tahu kalau mereka tidak pernah menikah secara formil. Saya juga mengenal pasangan dengan kondisi seperti ini.
Kesepuluh, mengenai PSK saya pikir lebih kontroversial lagi. Karena itu jika memang karya tulis Anda bisa bermanfaat bagi para pembaca, saya turut berbahagia. Semoga semua orang bisa mengendalikan diri dorongan nafsu seks yang berlebihan.
:)
QuotePertama, saya tidak pernah secara komprehensif meletakkan waniat selalu menjadi objek seks dalam pembahasan kita. Contoh mengenai seorang anak yang berusia 40 tahun lebih di postingan lalu, tidak merujuk pada jenis kelamin. Maksudnya, bisa saja laki-laki atau perempuan. Coba lihat kembali postingan saya yang dahulu.
Kedua, seorang pria pun bisa menjadi objek seks yang salah bagi wanita. Jadi pelanggaran sila ketiga bukan hanya dimotori oleh wanita sebagai objek seks yang salah.
Benar. Sila ketiga tersbeut berlaku baik bagi pria maupun wanita.
QuoteKetiga, seseorang yang sudah sedewasa itu (40 tahun lebih), meskipun masih "di bawah ketiak" orangtuanya, tetapi dia bukanlah orang yang berlindung di bawah orangtuanya. Anda mengatakan bahwa "kawin lari" dengan komitmen itu bisa disebut "menikah" dan bukan pelanggaran sila ketiga. Tetapi sadarkah jika Anda menyetujui "kawin lari" seperti itu, maka Anda menyangkal sendiri bahwa "mengambil anak" daro orangtuanya itu tidak melanggar sila? Ada kontradiksi dalam pandangan Anda... Selain itu, menurut saya orang seusia 40 tahun sudah sangat dikatakan dewasa. Sepertinya agak lucu kalau kita menyatakan orang seperti itu masih berlindung di bawah orangtuanya.
Tentu tidak, kalau seseorang kawin lari, mungkin pelanggarannya adalah sila ke-4 alias mencuri dari ortu yang bersangkutan.... ^-^ ^-^ Yang menjadi tolak ukur adalah apalah sepasang pria dan wanita bertekad dan berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga, rumah tangga, ini berarti sudah menikah. Ortu tidak memiliki hak untuk menentukan apakah anaknya harus menikah dengan si A dan tidak boleh dengan si B, mereka hanya membantu mencari pasangan yang tepat. Dalam konteks sila ketiga, mereka hanya melindungi sang anak dari bahaya perlakuan seks yang tidak sehat. Mau menikah dengan siapa, kapan dan di mana itu adalah hak sepenuhnya dari si anak, yang penting dia harus bisa menjaga kelakuan seksnya ketika belum menikah atau belum bisa berkomitmen membangun rumah tangga.
QuoteKeempat, yang saya sebutkan sejak awal adalah "dewasa dan mandiri". Dewasa bagi saya mungkin relatif, pria adalah 25 tahun sedangkan wanita adalah 23 tahun. Tetapi karena saya mengikuti Sutta, maka setidaknya usia dewasa adalah 20 tahun (usia termuda untuk boleh menjadi bhikkhu). Setelah berusia matang, seseorang harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak bergantung kepada orang lain; alias bisa bertahan hidup sendiri, seumpamanya dirinya tidak lagi diasuh oleh orang lain. Melihat dari kriteria di atas, pembantu Anda belum termasuk sebagai orang yang "dewasa dan mandiri". Jadi orang seperti dia adalah orang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya.
Itu usia dewasa jadi bhikkhu, apa anda juga yakin itu usia dewasa untuk sebuah kedewasaan seksual? Atau ini interpretasi pribadi terhadap Sutta2?
Pembantu, menurut saya juga mandiri di mata ortu mereka. Anak mereka bekerja secara mandiri sebagai pembantu di rumah saya, tapi karena ortunya mengikuti adat maka ia dicarikan jodoh. Namun bukan berarti si anak gak boleh mendekati cowok2. Seperti pembantu di rumah saya dulu ada yang pedekate sama tukang bangunan tetangga sebelah bahkan sama sopir. Kalau ada yang cocok kawin silahkan. Ortu membebaskan si anak, kalau gak punya jodo ya dicarikan, dan kalau bisa cepet2 juga, tapi kalau si anak gak mau ya apa daya ortu.
Ini sama seperti banyak orang Tionghoa misalnya temen2 cece saya, sudah gede bisa cari uang sendiri, mandiri, melalang buana ke mana-mana, tidak diasuh lagi, tidak dimomong lagi, tapi toh ya sama papa mamanya dicarikan jodoh, disuruh cepet kawin.... tapi banyak juga yang nolak, apa daya ortu. :)
QuoteKelima, Sang Buddha memang tidak merasa perlu meminta izin pada orangtua dari calon bhikkhu. Jadi pada awalnya Sang Buddha langsung menahbiskan seseorang menjadi bhikkhu, meski orang itu belum meminta izin dari orangtuanya. Hal ini dilakukan Sang Buddha karena Beliau melihat bahwa setiap orang yang boleh menjadi bhikkhu adalah orang yang sudah dewasa. Tetapi karena Raja Suddhodana meminta Sang Buddha kelak untuk meminta izin dari orangtuanya, maka Sang Buddha menyetujuinya agar kelak para orangtua tidak merasa anaknya dirampas oleh Sangha. Kalau berhubungan seks? Jelas tidak ada yang dirampas. Seorang anak itu masih bisa berkumpul dan tidur di rumah orangtuanya. Jadi dari contoh samping ini, usia dewasa memang setidaknya 20 tahun dan bisa menghidupi dirinya sendiri.
"Merasa anaknya dirampas oleh Sangha"? Sekali lagi menurut saya ini juga kontradiksi. Sebelumnya anda bilang bahwa kalau begitu menurut saya kawin lari itu juga melanggar sila karena merampas dari ortu, maka saya berkontradiksi.
Nah sekarang saya tanya Rahula yang ketika itu masih kecil dan di bawah perlindungan kakek dan ibunya itu berarti juga "dirampas" sama Buddha dong? Apakah menurut anda Buddha melanggar sila ke-4 bahkan menyakiti hati Raja Suddhodana dan Yasodhara? Saat itu juga Buddha juga bukan berstatus sebagai ayahnya Rahula lagi, karena beliau sudah menjadi Buddha, anggota Sangha, tidak memiliki apa-apa lagi.
Bagi saya ya tidak. Kenapa? Karena saat itu Rahula berkomitmen sungguh2 untuk menjadi Shramanera. Ibu dan kakeknya hanya melindunginya sebagai seorang anak dan bertanggung jawab atas pertumbuhannya, baik dari segi etika, pendidikan dsb. Tapi ketika Rahula memutuskan menjadi Sharmanera, itu adalah keputusannya sendiri, ortu sebenarnya tidak berhak apa-apa walaupun masih dalam perlindungan. Namun terus terang banyak ortu yang pasti sakit hati karena ini, oleh karena itu Sang Buddha menetapkan aturan Vinaya tersebut.
Demikain juga dengan hubungan seks, ortu melindungi anaknya yang belum menikah dan berkomitmen, dari bahaya seks pranikah. Ini tanggung jawab ortu. Tapi nanti pada akhirnya sang anak mau menikah dan berkomitmen dengan siapa, di mana dan kapan itu ya sepenuhnya hak pribadi si anak, ortu hanya membantu mengarahkan saja.
QuoteKeenam, Sang Buddha menyatakan bahwa objek seks yang salah adalah seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtua datau saudaranya. Orangtua yang memberi perlindungan jelas sudah menikah. Saudaranya (walinya) ini belum tentu sudah menikah. Misalkan sepasang kakak-adik yang yatim-piatu, di mana si adik masih remaja dan si kakak sudah mapan sebagai seorang profesional muda. Si kakak ini belum menikah, tetapi ia yang memberi perlindungan (sandang, pangan dan papan) kepada si adik. Nah kakak ini sudah dewasa dan mandiri, sehingga dia tidak termasuk dalam objek seks yang tidak baik. Tetapi karena si adik masih belum dewasa dan mandiri, maka dia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik. Cermati lagi, bahwa kemandirian seseorang yang menunjang apakah ia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik atau bukan. Mengapa? Karena jika seseorang masih belum dewasa dan belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, maka perilaku seks yang dilakukan bisa sangat beresiko. Karena manusia itu hidup bermasyarakat, sehingga orang yang belum dewasa belum layak untuk melakukan hubungan seks.
Perlindungan apa cuma sandang, pangan dan papan? Itu mah cuma perlindungan dasar saja. Belum perlindungan rasa kasih, rasa aman dan lain-lain.
Sudah jelas menurut Buddhis:
- Mandiri / dewasa dalam hubungan seks adalah yang mana seseorang berkomitmen untuk berumah tangga dan membentuk sebuah keluarga dan hubungan seks dilakukan dalam ikatan semacam ini, terlepas apakah memakai formalitas wedding [pernikahan] ataupun tidak. Yang pasti dari segi batin dan tubuh mereka married.
- Belum mandiri / dewasa dalam hubungan seks adalah yang mana seseorang masih belum bisa berkomitmen untuk setia dan berumah tangga, yang ada dalam hubungan hanyalah keintiman dan cinta yang intens namun disalahpahami sebagai komitmen. Bahkan ketika disuruh menikah dan punya anak, bisa saja masih ragu-ragu. Hubungan seks dalam ikatan seperti ini jelas melanggar sila.
QuoteKetujuh, benar. Anda setuju bahwa pernikahan yang sebenarnya itu berasal dari komitmen / tekad dalam hati. Bukan dari pesta di gedung ataupun surat nikah. Karena itu, sepasang anak muda yang pacaran bisa saja sudah "menikah" di dalam hatinya. Saya kenal banyak pasangan seperti ini dalam lingkungan saya. Sebelumnya, semua orang tentu saja berharap bahwa pernikahan berujung kebahagiaan. Namun tidak jarang banyak pasangan berbahagia yang akhirnya bercerai karena sudah tidak sejalan. Kemudian mereka mencari pasangan lain dan menikah lagi untuk berbahagia. Tetapi sayang lagi mereka kembali bercerai. Tidak ada niat mereka untuk bergonta-ganti pasangan, namun keadaan memang sudah tidak cocok. Kalau kita melihat hal ini, hubungan seks yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pasangan dalam masa pacaran yang serius kemudian berhubungan seks; lalu sayang sekali mereka putus di tengah jalan; kemudian mereka mendapatkan pacara baru dan berhubungan seks lagi, lalu kembali putus di tengah jalan. Kalau menurut Anda berbeda, maka Anda masih melekat pada pesta dan gaun pernikahan serta selembar surat sakral itu.
Semuanya adalah serba anitya, tidak ada yang kekal, tapi kita berusaha untuk menjaga komitmen dan ketetapan hati kita bahwa pasangan yang kita pilih adalah yang terbaik, seperti Pangeran Siddharta dan Yasodhara yang tak terpisahkan selama beberapa ratus kehidupan.
Masa pacaran adalah masa paling mengenal, seserius apapun, itu adalah masa saling mengenal, apabila mereka saling tulus mencintai dan berkomitmen dan berani bertanggung jawab atas terbentuknya sebuah keluarga itu berarti mereka telah menikah dan siap berkeluarga. Apakah pacaran yang serius itu selalu demikain? tentu tidak.
Banyak juga yang serius, dan berusaha membuktikannya salah satunya lewat seks, tapi ketika diminta berkomitmen membangun sebuah keluarga / rumah tangga ternyata belum siap. Maka dari itu keseriusan ini harus ada tolak ukurnya yaitu:
1. Ada komitmen untuk berumah tangga dan berkeluarga
2. Saling setia satu sama lain dan yakin akan perasaan masing-masing
Jangan punya pikiran "menikah untuk berbahagia", kalau ini ya berpotensi cerai, tetapi oleh karena saya berbahagia bersama engkau dan engkau berbahagia bersama saya, dan kita sama2 berkomitmen dan mampu menerima ketidakcocokan satu sama lain, maka kita menikah.
QuoteKedelapan, tidak semua pasangan di barat seperti itu. Kalau ada kasus seperti yang Anda contohkan, itu hanya kasus pasangan yang tidak sehat. Sama seperti kasus suami-istri dalam pernikahan yang tidak sehat. Sebagai contoh: pesepakbola asal Inggris, Steven Gerrar, berpacaran dengan kekasihnya selama bertahun-tahun dan mereka sudah memiliki seorang anak laki-laki. Pada usianya yang menginjak kanak-kanak, barulah Steven Gerrard dan kekasihnya menikah; dan tentu saja pestanya dihadiri oleh anak mereka. Meskipun dahulu Steven Gerrard dan kekasihnya belum menikah, namun mereka tetap menjadi pasangan yang setia. Menikah di negara maju seperti Inggris hanyalah formalitas. Tanpa menikah, asalkan semua kerabat tahu bahwa si A sedang menjalani hubungan dengan si B, maka itu sudah cukup. Di luar negeri juga tidak ada akal bulus seperti kebanyakan orang di Asia. Orang yang hidup di negara maju seperti Inggris sangat jarang terbesit dalam pikirannya untuk menjadi seorang yang tidak bertanggung-jawab setelah berhubungan seks. Karena itu, lembaga pernikahan mungkin amat penting dijunjung di negara asia. Tetapi mungkin tidak demikian di negara maju, misalnya negara barat. Karena itu saya tetap bersikeras bahwa hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Kalau Anda berbeda pendapat, tidak apa-apa. Saya sangat menghargai kebebasan berpendapat di tiap orang.
Seperti sudah saya bilang, bahwa tanpa formalitas apapun, asal mereka sungguh-sungguh dan tulus berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga dan rumah tangga, ini menurut saya sudah menikah dan berhubungan seks dalam hubungan seperti ini tidak dikategorikan sebagai hubungan seks di luar nikah. Ini patokan saya. Memang alangkah jauh lebih apabila juga diiringi dengan berbagai formalitas yang ada dan disaksikan oleh ronag-orang yang kita sayangi. Contoh kasus Steven Gerrard, bagi saya walaupun formalitasnya belakangan, tapi menurt saya kalau memang dia bisa sungguh2 berkomitmen, maka di situlah ia sebenarnya telah menikah. Namun bagi saya dengan adanya formalitas hukum, ritual, pesta, dkk itu tetap jauh lebih baik. Bukan maslaah saya terpatok pada hal-hal itu atau tidak, tapi karena formalitas seperti itu dapat justru jauh memperkuat pondasi sebuah keluarga. Jalur teraman dan terbaik adalah lewat formalitas pernikahan.
Wedding yang benar adalah salah satu wujud ketulusan dan cinta dari Marriage yang sejati.
QuoteKesembilan, kumpul kebo juga tidak bisa dipukul rata sebagai pelanggaran sila ketiga. Ada beberapa kasus di mana pasangan tidak memiliki cukup uang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan dan pembuatan surat nikah. Jadi mereka kumpul kebo saja. Ada juga pasangan yang terasing dari masyarakat dan mereka memilih hidup bersama sebagai pasangan di bawah atap rumah yang sama, meski tidak ada orang lain yang tahu kalau mereka tidak pernah menikah secara formil. Saya juga mengenal pasangan dengan kondisi seperti ini.
Memang tidak bisa dipukul rata. Tapi bagi saya kumpul kebo yang memang telah menikah dalam hati dan memiliki komitmen berumah tangga itu namanya sudah bukan kumpul kebo lagi. Kumpul kebo yang saya maskud adalah tinggal bersama tanpa ada komitmen yang jelas, yang ada hanya keintiman dan rasa cinta, tapi tidak ada komitmen dalam membangun rumah tangga. Inilah mengapa banyak juga pasnagan kumpul kebo yang akhirnya nggak jadi menikah.
QuoteKesepuluh, mengenai PSK saya pikir lebih kontroversial lagi. Karena itu jika memang karya tulis Anda bisa bermanfaat bagi para pembaca, saya turut berbahagia. Semoga semua orang bisa mengendalikan diri dorongan nafsu seks yang berlebihan.
Saya kira, tidak ada orang yang beretika yang menyetujui hubungan seks dengan PSK adalah hal yang baik, terlepas dari pelanggaran sila atau tidak, maka saya pikir tidak begitu kontreoversial. :)
_/\_
The Siddha Wanderer
harus di kaji dulu kebenaran umum dengan kebenaran universal, apakah Buddha mengajar kebenaran umum yang hanya berlaku di "asia" saja atau kebenaran universal untuk semua orang, atau jangan2 kebenaran versi orang yang menulis tapi di tulisnya itu perkataan Buddha padahal Buddha tidak pernah berkata begitu. ;D
Quoteharus di kaji dulu kebenaran umum dengan kebenaran universal, apakah Buddha mengajar kebenaran umum yang hanya berlaku di "asia" saja atau kebenaran universal untuk semua orang, atau jangan2 kebenaran versi orang yang menulis tapi di tulisnya itu perkataan Buddha padahal Buddha tidak pernah berkata begitu. Grin
Karena Buddha lahir di Asia, tentu kalau pola pandangnya Asia ya wajar sewajar-wajarnya. Dan masalah dibawah perlindungan ortu dsb itu pun masih di dalam kaidah-kaidah budaya Asia khsusunya India, ini ditegaskan lewat ucapan Guru Padmasambhava yang telah tercerahkan, yaitu bagi yang belum berumah tangga, maka ya masih dilindungi ortu. Ini adalah yang terjadi di keluarga Buddhis di India dan tentu ini adalah yang dimaksud Sang Buddha.
Kalau nanti kita mau menginterpretasikan lain dan disesuaikan dengan pola pikir Barat - maka akan terjadi banyak ketidaksesuaian karena Sang Buddha saat itu memberikan ajaran menurut kriteria bangsa Asia. Apakah Sang Buddha menyetujui kriteria bangsa Barat kita tidak akan pernah tahu. Tapi yang pasti ketika Sang Buddha membuat kriteria Pancasila, memang demikianlah menurut Dharma (kebenaran universal) dan kebetulan cocok dengan budaya India pada masa itu.
_/\_
The Siddha Wanderer
_/\_
The Siddha Wanderer
[at] GandalfTheElder
Sementara ini saya tidak ingin melanjutkan pembahasan mengenai hal ini. Silakan semua teman-teman yang menyimpulkan. Saya pikir banyak yang lebih setuju dengan pandangan Anda, terutama wanita. Saya tidak menyalahkan mereka. Kalau ada yang mau menganggap bahwa upasaka (http://dhammacitta.org/forum/index.php?action=profile;u=1232) adalah pria yang "tidak bermoral", ya tidak apa-apa... :)
Tetapi saya ingin memberi sedikit komentar...
Bahwa berhubungan seks itu yang penting adalah komitmen dan kasih-sayang. Apakah komitmen dan kasih-sayang ini hanya ada di lembaga pernikahan? Silakan cari tahu sendiri...
Dalam Tipitaka Pali Kanon, berjudi dan dugem juga tidak diharamkan. Berjudi bukanlah kamma buruk, bukan termasuk mata pencaharian yang sebaiknya dihindari, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman benar di Sigalovada Sutta, bahwa sebaiknya kita tidak berjudi; karena cenderung bisa menghamburkan kekayaan dengan sia-sia. Begitu pula dugem (pergi bernyanyi-menari dan keluar tengah malam) bukanlah kamma buruk, bukan termasuk penghidupan tidak benar, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman benar di Sigalovada Sutta, bahwa sebaiknya kita tidak dugem; karena cenderung mudah terpengaruh oleh pergaulan tidak baik dan merugikan kesehatan.
Hal yang senada juga disampaikan secara implisit mengenai berhubungan seks. Berhubungan seks di luar nikah, asalkan dengan komitmen dan kasih-sayang; bukanlah merupakan kamma buruk, bukan termasuk penghidupan tidak benar, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman kepada kita bahwa norma masyarakat juga perlu dijunjung. Karena kita hidup di lingkungan masyarakat yang mensakralkan ritual pernikahan, maka sebaiknya kita menikah terlebih dahulu sebelum berhubungan seks. Hanya itu saja. Jadi Sang Buddha tidak sepicik itu dengan mendiskriminasi pasangan-pasangan yang tidak melangsungkan pernikahan.
Sekian.
QuoteHal yang senada juga disampaikan secara implisit mengenai berhubungan seks. Berhubungan seks di luar nikah, asalkan dengan komitmen dan kasih-sayang; bukanlah merupakan kamma buruk, bukan termasuk penghidupan tidak benar, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman kepada kita bahwa norma masyarakat juga perlu dijunjung. Karena kita hidup di lingkungan masyarakat yang mensakralkan ritual pernikahan, maka sebaiknya kita menikah terlebih dahulu sebelum berhubungan seks. Hanya itu saja. Jadi Sang Buddha tidak sepicik itu dengan mendiskriminasi pasangan-pasangan yang tidak melangsungkan pernikahan.
Sekali lagi, sebenarnya pandangan kita memang tidak jauh berbeda bro, hanya saja mungkin saya sedikit lebih strict dalam hal ini, karena saya berpatokan pada ucapan Guru Padmasambhava dan kitab-kitab suci Tripitaka dari berbagai aliran.
Bagi saya, apabila ada komitmen yang sungguh-sungguh untuk berumah tangga dan adanya kasih sayang, ini memang berarti sudah menikah dan tidak melanggar sila ketiga kalau melakukan hubungan seks. Tapi kebanyakan orang masih bingung antara keintiman dan komitmen, maka seringlah terjadi kekecewaan dalam hal seks, karena ternyata seseorang menyerahkan keperawanan pada orang yang tidak berkomitmen, hanya intim2an saja.
Pernikahan secara formal juga tidak menjamin segala2nya, bisa saja terjadi pemerkosaan terselubung yang jelas-jelas melanggar sila.
Jadi kita setuju bahwa formalitas bukanlah hal yang benar-benar mutlak, tetapi menurut saya formalitas pernikahan cukup penting untuk menyokong sebuah pernikahan yang sejati.
Apabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.
_/\_
The Siddha Wanderer
ini khan di alam manusia, kalo di alam lain bagaimana ya ;D
Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.
artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer: *joke* :))
bagaimana kalau sex a week before married?
so far so good for better test drive :P
Quote from: Sumedho on 16 December 2009, 02:19:52 PM
Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.
artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer: *joke* :))
gimana menurut yang udah coba nih =)) =)) =))
maling teriak maling, sendiri udah coba jg :hammer:
Quote from: ryu on 16 December 2009, 03:19:45 PM
Quote from: Sumedho on 16 December 2009, 02:19:52 PM
Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.
artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer: *joke* :))
gimana menurut yang udah coba nih =)) =)) =))
reiko udah pasti indah deh, walaupun gue blm pernah coba
Quote from: Indra on 16 December 2009, 03:27:17 PM
Quote from: ryu on 16 December 2009, 03:19:45 PM
Quote from: Sumedho on 16 December 2009, 02:19:52 PM
Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.
artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer: *joke* :))
gimana menurut yang udah coba nih =)) =)) =))
reiko udah pasti indah deh, walaupun gue blm pernah coba
:hammer: :hammer: :hammer: :hammer:
kalo melihat cerita Sidharta, keknya kaga ada indahnya yak ;D
bukan gak indah tapi disensor
nih makin lama keknya Elin salah masuk thread yakz.. :(
pria2 semua yg pada comment... :|
admin & glomod nya apalagi.. pada ngelantur.. ^-^
Quote from: Elin on 16 December 2009, 04:02:08 PM
nih makin lama keknya Elin salah masuk thread yakz.. :(
pria2 semua yg pada comment... :|
admin & glomod nya apalagi.. pada ngelantur.. ^-^
jadi berharap sapa yang comment ? ;D
si itu itu kah ? =))
bukannya buddha dharma tidak melarang juga tidak mengharuskan?
hanya membabarkan akibat yang akan di terima jika melakukan ini...
pendapat si"bodoh" ini sih bahwa... jika ingin terbebas dari penderitaan... seharusnya menghindari hal-hal yang menjadi akar dari penderitaan dalam kasus ini tentunya "keserakahan" akan pemuasan "napzu syetan" (kata2 dari agama tetangga he he he...)
dan sekali lagi.. ini hanya anjuran jika toh masih mau dan bersedia tanggung akibatnya yah "go ahead"...
Kissing dgn pcr jg melanggar sila 3 lohhhh.....
Sudahkah dihindari...???
QuoteSuatu hari, bersama-sama dengan para pengikutnya, ia pergi menemui (Arahat) Upagupta untuk meminta instruksi meditasi, namun Upagupta, melihat kejahatannya di masa lampau, menolak bahkan untuk berbicara dengannya. "Seseorang yang bersalah karena tindakan-tindakan membunuh ibunya serta berhubungan seks di luar ikatan pernikahan", jawabnya, "tidak dapat mencapai buah Srotapanna." (Asokarajavadana, Taisho Tripitaka 2042)
Dhammapada Atthakatha mengisahkan seorang pemuda (setthiputta) bernama Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita yang belum menikah ataupun yang telah menikah tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan seks pranikah dan perzinaan dengan para wanita itu tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap kepada Sang Buddha. Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila. Setelah mendengar syair pembabaran Dhamma, Khemaka kemudian menjadi seorang Sotapanna.
apa kaga bentrok pernyataan ini....
dan lagi, devadatta yg telah melukai buddha dikatakan akan menjadi sammasambuddha dalam mahayana...gimana itu?
bagaimana dengan latihan agar ketika married tidak cepat out.....apa itu pelanggaran sila?
baca dari milis orang.^^
Quote from: marcedes on 16 December 2009, 11:07:05 PM
bagaimana dengan latihan agar ketika married tidak cepat out.....apa itu pelanggaran sila?
baca dari milis orang.^^
Anggap walau tidak melanggar sila, bukan berarti tidak melanggar dhamma :whistle:
Quote from: marcedes on 16 December 2009, 10:39:39 PM
QuoteSuatu hari, bersama-sama dengan para pengikutnya, ia pergi menemui (Arahat) Upagupta untuk meminta instruksi meditasi, namun Upagupta, melihat kejahatannya di masa lampau, menolak bahkan untuk berbicara dengannya. "Seseorang yang bersalah karena tindakan-tindakan membunuh ibunya serta berhubungan seks di luar ikatan pernikahan", jawabnya, "tidak dapat mencapai buah Srotapanna." (Asokarajavadana, Taisho Tripitaka 2042)
Dhammapada Atthakatha mengisahkan seorang pemuda (setthiputta) bernama Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita yang belum menikah ataupun yang telah menikah tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan seks pranikah dan perzinaan dengan para wanita itu tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap kepada Sang Buddha. Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila. Setelah mendengar syair pembabaran Dhamma, Khemaka kemudian menjadi seorang Sotapanna.
apa kaga bentrok pernyataan ini....
dan lagi, devadatta yg telah melukai buddha dikatakan akan menjadi sammasambuddha dalam mahayana...gimana itu?
Y.A Upagupta berpikir begitu karena merasa tidak mampu mengajar pria tersebut dan merasa tidak memiliki jodoh karma dengan nya. Menurut Upagupta, yang mampu mengajar pria itu adalah Y.A Shanavasa, Guru dari Upagupta sendiri.
Pria yang membunuh ibu tersebut tidak mampu mencapai buah magga dan phala bisa saja yang dimaksud adalah hanya pada kehidupan sekarang.
Devadatta mampu mencapai kesucian tapi harus melewati banyak kehidupan lagi,ini tentu sangat berbeda.
Quoteapa kaga bentrok pernyataan ini....
dan lagi, devadatta yg telah melukai buddha dikatakan akan menjadi sammasambuddha dalam mahayana...gimana itu?
Maksudnya, membunuh ibu dan seks pranikah itu dihitung bersama-sama, makanya diucapkan berbarengan, Jadi faktor yang menyebabkan tidak dapat menajdi Srotapanna itu ya membunuh ibu itu, karma buruk dari seks pranikah itu sebagai pendukung saja.
Mengenai Devadatta ini sudah OOT sama sekali, jangan melenceng, karena ini tidak sedang bahas Mahayana.
_/\_
The Siddha Wanderer
walau sudah melanggar, bukan berarti gak ada kata tobat donk :D
lagipula kurang tepat dikatakan melanggar, karena tidak ada peraturan
kan di bahasa indonya dikatakan sebagai "tekad" :))
Quotewalau sudah melanggar, bukan berarti gak ada kata tobat donk Cheesy
lagipula kurang tepat dikatakan melanggar, karena tidak ada peraturan
kan di bahasa indonya dikatakan sebagai "tekad" laugh
Yep. :)
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: bond on 16 December 2009, 02:37:30 PM
so far so good for better test drive :P
walah kalo test drivenya gak memuaskan cemana? batal kah pernikahannya? :P
oh aku ingat, entah di sutta mana pernah di seorang pangeran membunuh ayahnya demi menjadi raja...ketika bertemu Buddha....di akhir kotbah....setelah pangeran tersebut pergi meninggalkan sangBuddha
Sangbuddha berkata kepada para bikkhu
"jika bukan karena membunuh ayahnya, maka pangeran ini akan mencapai buah sotapanna."
sutta apa ya? gw lupa
samanaphala sutta (DN 2), khotbah Sang Buddha kepada Raja Ajatasattu
Quote from: ryu on 15 December 2009, 04:03:46 PM
QuoteBahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
"Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara...., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara" Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil." (Mulasarvastivada Vinaya)
loh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?
Nah lho ingat aja itu Bro Ryu !
tajam benar ingatannya =))
_/\_
QuoteNah lho ingat aja itu Bro Ryu !
tajam benar ingatannya LOL
Ternyata yang diingat ya yang itu2 aja..... kacian de lu.... ^-^ ^-^
Peace bro. :))
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: GandalfTheElder on 16 December 2009, 11:17:51 AM
Quoteharus di kaji dulu kebenaran umum dengan kebenaran universal, apakah Buddha mengajar kebenaran umum yang hanya berlaku di "asia" saja atau kebenaran universal untuk semua orang, atau jangan2 kebenaran versi orang yang menulis tapi di tulisnya itu perkataan Buddha padahal Buddha tidak pernah berkata begitu. Grin
Karena Buddha lahir di Asia, tentu kalau pola pandangnya Asia ya wajar sewajar-wajarnya. Dan masalah dibawah perlindungan ortu dsb itu pun masih di dalam kaidah-kaidah budaya Asia khsusunya India, ini ditegaskan lewat ucapan Guru Padmasambhava yang telah tercerahkan, yaitu bagi yang belum berumah tangga, maka ya masih dilindungi ortu. Ini adalah yang terjadi di keluarga Buddhis di India dan tentu ini adalah yang dimaksud Sang Buddha.
Kalau nanti kita mau menginterpretasikan lain dan disesuaikan dengan pola pikir Barat - maka akan terjadi banyak ketidaksesuaian karena Sang Buddha saat itu memberikan ajaran menurut kriteria bangsa Asia. Apakah Sang Buddha menyetujui kriteria bangsa Barat kita tidak akan pernah tahu. Tapi yang pasti ketika Sang Buddha membuat kriteria Pancasila, memang demikianlah menurut Dharma (kebenaran universal) dan kebetulan cocok dengan budaya India pada masa itu.
_/\_
The Siddha Wanderer
_/\_
The Siddha Wanderer
NGAWUR !
Quote from: GandalfTheElder on 18 December 2009, 05:58:52 AM
QuoteNah lho ingat aja itu Bro Ryu !
tajam benar ingatannya LOL
Ternyata yang diingat ya yang itu2 aja..... kacian de lu.... ^-^ ^-^
Peace bro. :))
_/\_
The Siddha Wanderer
karena filosofi yang diagungkan itu menghasilkan teori 'campur aduk', hasilnya ya begini orangnya, ndak mau kalah dalam teori maupun praktek, udah dari sono nya. :))
Kacian......., ckckckc.................. =))
_/\_
Quote from: Indra on 17 December 2009, 03:28:39 PM
samanaphala sutta (DN 2), khotbah Sang Buddha kepada Raja Ajatasattu
Anumodana
_/\_
Ok. Terserah anda..... ;D ;D
_/\_
sekalian nanya...KALAU menurut Mahayana sudah di babarkan luas sama bro gandalf..
bagaimana menurut SUTTA, apabila ada orang yg senang main dengan psk atau melanggar SILA 3....kamma apakah yg akan diterimanya?
Quote from: marcedes on 18 December 2009, 03:41:08 PM
sekalian nanya...KALAU menurut Mahayana sudah di babarkan luas sama bro gandalf..
bagaimana menurut SUTTA, apabila ada orang yg senang main dengan psk atau melanggar SILA 3....kamma apakah yg akan diterimanya?
Seandainya..bermain psk tidak melanggar Sila, apakah ini suatu kabar gembira ? :))
Melanggar sila atau tidak, tetap merupakan kabar gembira bagi pengejar nafsu :))
Quote from: chingik on 18 December 2009, 05:16:19 PM
Quote from: marcedes on 18 December 2009, 03:41:08 PM
sekalian nanya...KALAU menurut Mahayana sudah di babarkan luas sama bro gandalf..
bagaimana menurut SUTTA, apabila ada orang yg senang main dengan psk atau melanggar SILA 3....kamma apakah yg akan diterimanya?
Seandainya..bermain psk tidak melanggar Sila, apakah ini suatu kabar gembira ? :))
Kunci pelaksanaan perbuatan benar sbg bagian dr kelompok sila dlm JMB8 adalah diawali pandangan benar. Lalu diusahakan melalui usaha benar dan diperhatikan dengan perhatian benar. Selebihnya apakah bermain psk dikategorikan melanggar atau tidak melanggar sila, tidak perlu lagi dipertanyakan selama seseorang berpegang pd 3 hal ini. :)
Sex is only for reproduction, but you have turned that into a pleasure movement. What else is sex for than reproduction? - Krishnamurti
abort that fetus - Krishnamurti
Quote from: gachapin on 18 December 2009, 10:03:40 PM
abort that fetus - Krishnamurti
ad hominem! =)) =)) =))
Quote from: wen78 on 18 December 2009, 09:46:46 PM
Sex is only for reproduction, but you have turned that into a pleasure movement. What else is sex for than reproduction? - Krishnamurti
Bro.. Hormati orang yg antara pikiran, ucapan dan perbuatannya selaras. :)
ngomongnya begitu, tapi nyatanya selingkuh dan aborsi.
Quote from: Jerry on 18 December 2009, 10:07:18 PM
Quote from: wen78 on 18 December 2009, 09:46:46 PM
Sex is only for reproduction, but you have turned that into a pleasure movement. What else is sex for than reproduction? - Krishnamurti
Bro.. Hormati orang yg antara pikiran, ucapan dan perbuatannya selaras. :)
yaaa... yg "bagus" diambil.... yg "jelek" jangan diambil ;D
tapi kl mo dikembangkan.... selaras menurut siapa? ;D
selaras menurut AKU? ;D
selaras menurut KAMU? ;D
selaras menurut KITA? ;D
selaras menurut KAMI? ;D
atau selaras menurut "Buddha"? ;D
tp di topik lain aja .. jgn disini :D
Quote from: gachapin on 18 December 2009, 10:07:55 PM
ngomongnya begitu, tapi nyatanya selingkuh dan aborsi.
Lebih parah lagi, .... orang yg diagung2kan dibilang sudah "tercerahkan" oleh master Uhuuy :whistle: ^-^
Selingkuh dan aborsi ...... manusia ter"cerahkan' ::) ??? APA KATA DUNIA!!! :o
tolong terjemahkan yg detil .....
Sex is only for reproduction, but you have turned that into a pleasure movement. What else is sex for than reproduction? - Krishnamurti
maklum bhs inggris gw jebot ::) ..... thanks!
Sex itu adalah hiburan..sejenis permainan.
Jika lagi beruntung, asal bidik dan tembak aja bisa berhadiah. Kl lagi sial, walau tlh belajar teori bertahun2 jg tidak pernah menghasilkan. (Kerisbengkok)
Quote from: wen78 on 18 December 2009, 10:38:32 PM
Quote from: Jerry on 18 December 2009, 10:07:18 PM
Quote from: wen78 on 18 December 2009, 09:46:46 PM
Sex is only for reproduction, but you have turned that into a pleasure movement. What else is sex for than reproduction? - Krishnamurti
Bro.. Hormati orang yg antara pikiran, ucapan dan perbuatannya selaras. :)
yaaa... yg "bagus" diambil.... yg "jelek" jangan diambil ;D
tapi kl mo dikembangkan.... selaras menurut siapa? ;D
selaras menurut AKU? ;D
selaras menurut KAMU? ;D
selaras menurut KITA? ;D
selaras menurut KAMI? ;D
atau selaras menurut "Buddha"? ;D
tp di topik lain aja .. jgn disini :D
Memang, terlepas dr yg dia perbuat, JK termasuk tokoh yg memberi kontribusi koq buat saya. Dan saya mengambil bagusnya, dan jeleknya dibuang. Tapi tetap saja dibandingkan Buddha, JK bukan apa2nya. Gitu aja. Kalo cm ngomong "ambil bagus buang jeleknya", lha Nabi M juga ada bagusnya.. Gitu juga Tuhan Y. Tapi tetap saja mereka bukan apa2, kenapa? Karena apa yg diajarkan Sang Buddha, itu juga beliau praktekkan. Selaras antara pikiran, ucapan dan perbuatannya. Nda neko-neko. Utk mengetahui selaras atau tidak silakan aja pelajari dan bandingkan. Saya sudah, bukannya tidak. Been there, done that. N now I'm back to where I started. ;)
Bagus menurut siapa? Lha di Kalama Sutta udah dibahas, bila memang baik, bermanfaat, tidak tercela, dipuji orang bijak, jika dilakukan membawa kebahagiaan dan keuntungan serta menuntun pd padamnya LDM. Standartnya ya diri kita sendiri bukan orang lain.
^
^
Ajaran JK di puji orang bijak??
JK sudah padam LDM? .....
diakhir retreat Cibodas telah dibagi2an buku secara gratis ....salah satunya ada buku tentang ajaran JK
kalo saja gw gak tau JK pernah selingkuh dan aborsi .... gw akan mengambil buku tersebut dan membacanya ......
Gw gak tertarik sama sekali dgn prilaku manusia yg telah melakukan aborsi dan selingkuh apalagi dikatakan bisa men"cerahkan" ...... daripada capek2 baca bukunya, mending baca donald bebek ;D
Quote from: JW. Jinaraga on 18 December 2009, 11:01:24 PM
Sex itu adalah hiburan..sejenis permainan.
Jika lagi beruntung, asal bidik dan tembak aja bisa berhadiah. Kl lagi sial, walau tlh belajar teori bertahun2 jg tidak pernah menghasilkan. (Kerisbengkok)
Thanks _/\_
[at] Vir
Saya ga nulis kalo ajaran JK menuntun pd lenyapnya LDM, dan dipuji orang bijak. Cmon.. :D
Yuk ah jangan OOT terlalu jauh.. Gmnpun menurut saya spt yg dikatakan Sang Buddha dalam Dhammapada, seorang yg mengajarkan hendaknya berbuat demikian pula..
c'mon, yang saya tanyakan adalah bagaimana akibat jika sering melanggar sila ke-3 yang ada dalam sutta..
saya rasa masalah kalimat oleh Krishnamurti tidak perlu dibahas lagi karena saya rasa tidak ada gunanya bagi perkembangan batin kita yg sudah dilatih hingga saat ini.
lain kali akan saya telusuri dahulu latar belakang orangnya terlebih dahulu, dan abaikan saja kalimat dari Krishnamurti.
[at] Jerry
selaras atau tidak dengan tindakannya, saya gak tau. menurut saya yg tau hanya Krishnamurti sendiri. sebab saya juga tidak tau kalimat ini keluar setelah tindakannya tsb atau sebelum tindakannya tsb. sesudah atau sebelum saya pun tidak mengetahui alasannya dibalik tindakannya tsb. tau pun tidak ada gunanya, karena aku bukan dia yg tidak mengalami seperti apa yg ia alami.
tapi masing2 punya penilaian sendiri. ini hanyalah sebuah pendapat dr saya. _/\_
[at] Virya
sorry, saya tidak bisa menyanggupi untuk menjelaskan secara detail. bisa, tapi saya gak mo ;D
sekali lagi sorry _/\_
:backtotopic:
Quote from: marcedes on 19 December 2009, 12:11:12 AM
c'mon, yang saya tanyakan adalah bagaimana akibat jika sering melanggar sila ke-3 yang ada dalam sutta..
Buah kehidupan skrg:
-kena penyakit kelamin
-hubungan pasutri tidak harmonis
-merusak nama baik
Buah kehidupan mendatang:
-berat: alam neraka
-sedang :alam binatang
-sedang: alam peta
-ringan : alam manusia--> hidup sering kawin cerai, istri tidak setia, selingkuh. dll.
Quote from: Virya on 18 December 2009, 11:16:18 PM
^
^
Ajaran JK di puji orang bijak??
JK sudah padam LDM? .....
diakhir retreat Cibodas telah dibagi2an buku secara gratis ....salah satunya ada buku tentang ajaran JK
kalo saja gw gak tau JK pernah selingkuh dan aborsi .... gw akan mengambil buku tersebut dan membacanya ......
Gw gak tertarik sama sekali dgn prilaku manusia yg telah melakukan aborsi dan selingkuh apalagi dikatakan bisa men"cerahkan" ...... daripada capek2 baca bukunya, mending baca donald bebek ;D
JK selingkuh ? ada buktinya ? kalau ada bisa buka topik baru ....utk menambah wawasan ?
thanks sebelumnya...
Quote from: marcedes on 19 December 2009, 12:11:12 AM
c'mon, yang saya tanyakan adalah bagaimana akibat jika sering melanggar sila ke-3 yang ada dalam sutta..
Kisah Khemaka, Anak Laki-laki Seorang KayaKhemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan perzinahan tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap kepada Sang Buddha.
Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila dan akibat serius yang dapat ditimbulkan. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 309 dan 310 berikut :
"Cattari thanani naro pamatto
apajjati paradarupasevi
apunnalabham na nikamaseyyam
nindam tatiyam nirayam catuttham.
Apunnalahho ca gati ca papika
bhitassa bhitaya rati ca thokika
raja ca dandam garukam paneti
tasma naro paradaram na seve."Artinya:
"Orang yang lengah dan berzinah
akan menerima empat ganjaran, yaitu :
pertama, ia akan menerima akibat buruk;
kedua, ia tidak dapat tidur dengan tenang;
ketiga, namanya tercela;
dan keempat, ia akan masuk ke alam neraka.
Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah
pada kehidupannya yang akan datang.
Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh
lelaki dan wanita yang ketakutan,
dan raja pun akan menjatuhkan hukuman berat.
Karena itu, janganlah seseorang berzinah
dengan istri orang lain." Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, Khemaka mencapai tingkat kesucian sotapatti.
thx bro upasaka...
btw, apakah ada kisah yg lain?
Anumodana !
Bro Upasaka, Kisah Khemaka, Anak Laki-laki Seorang Kaya, SANGAT MENARIK
Tidak banyak teori yang buat pembaca bingung !,
Selesai baca, langsung memahami apa makna yang tertera didalam cerita itu, walaupun dalam praktek tidak segampang yang diceritakan diatas, karena semuanya pasti ada keterkaitan dengan Kamma masa lampau.
Demikian adanya.
_/\_
Kisah Pangeran-pangeran Licchavi
DHAMMAPADA XVI, 6
Pada suatu hari festival Sang Buddha memasuki kota Vesali ditemani oleh serombongan bhikkhu. Di perjalanan, mereka bertemu beberapa pangeran Licchavi yang mengenakan pakaian bagus.
Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-tanda kebesaran, berkata kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu, siapa saja yang tidak pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya melihat pangeran-pangeran Licchavi ini".
Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di sana mereka bertengkar perihal seorang pelacur dan pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha bersama para bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang luka-luka dibawa pulang ke rumahnya.
Berkaitan dengan kejadian tersebut para bhikkhu berkata, "Demi seorang wanita, pangeran-pangeran Licchavi ini bertengkar".
Kepada mereka, Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan duniawi dan kemelekatan terhadapnya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 214 berikut:
Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.
=================================================
Kisah Tiga Puluh Bhikkhu Dari Paveyyaka
DHAMMAPADA V, 6
Suatu ketika, tiga puluh orang pemuda dari Paveyyaka bersenang-senang dengan seorang pelacur di hutan. Ketika mereka lengah, pelacur itu mencuri beberapa perhiasan dan melarikan diri.
Pemuda-pemuda tersebut mencari pelacur yang lari di hutan, mereka bertemu dengan Sang Buddha dalam perjalanan. Sang Buddha menyampaikan suatu khotbah kepada para pemuda tersebut dan mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka semuanya bergabung dengan Sang Buddha dan ikut ke Vihara Jetavana.
Ketika tinggal di vihara, mereka berlatih dengan sunggug-sungguh hidup sederhana atau melaksanakan latihan keras (dhutanga). Akhirnya ketika Sang Buddha menyampaikan "Anamattagga Sutta" (Khotbah tentang Keberadaan Hidup yang Tak terhitung), seluruh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.
Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain memberikan komentar bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Paveyyaka sangat cepat mencapai tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha menjawab dalam syair 65 berikut:
Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.
***
=============================================
Quote from: marcedes on 19 December 2009, 10:50:28 AM
thx bro upasaka...
btw, apakah ada kisah yg lain?
Beberapa kisah lain sehubungan dengan "perzinahan" ada di Kitab Petavatthu. Secara garis besar, bagi orang yang melekat dengan kenikmatan seks, mengumbar pemuasan dalam hubungan seks, melakukan hubungan seks yang melanggar sila ketiga; maka akan mendapatkan masalah sosial, pikirannya resah, dan bisa menyebabkan terlahir kembali menjadi hantu (makhluk peta).
Quote from: adi lim on 19 December 2009, 01:21:40 PM
Anumodana !
Bro Upasaka, Kisah Khemaka, Anak Laki-laki Seorang Kaya, SANGAT MENARIK
Tidak banyak teori yang buat pembaca bingung !,
Selesai baca, langsung memahami apa makna yang tertera didalam cerita itu, walaupun dalam praktek tidak segampang yang diceritakan diatas, karena semuanya pasti ada keterkaitan dengan Kamma masa lampau.
Demikian adanya.
_/\_
Khemaka memang sering melakukan pelanggaran sila ketiga. Namun karena dia sudah mencapai tingkat Sotapanna, maka dia tidak akan terlahir di alam rendah. Tapi bukan berarti semua kamma buruk sehubungan dengan hal ini menjadi ahosi.
:)
Agganna Sutta adalah salah satu sutta dalam Digha Nikaya yang membahas tentang asal mula kasta. Dalam uraian-Nya, Sang Buddha menjelaskan panjang-lebar mengenai perkembangan awal kehidupan makhluk-makhluk yang kelak akan dikenali sebagai "manusia" di dunia ini, termasuk pula sedikit menyinggung soal hubungan seks. Berikut petikan Agganna Sutta...
Quote from: Agganna Sutta
...
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indria tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (methuna).
Vasettha, ketika makhluk-makhluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin, maka sebagian melempari dengan pasir, sebagian melempari dengan abu, sebagian melempari dengan kotoran sapi, dengan berteriak: "Kurang ajar! Kurang ajar! Bagaimana seseorang dapat berbuat demikian kepada orang lain?" Demikian pula sekarang ini, apabila seorang laki-laki dari tempat lain menjemput mempelai wanita dan membawanya pergi, orang-orang akan melempari mereka dengan pasir, abu atau kotoran sapi; yang sesungguhnya apa yang mereka lakukan itu hanyalah mengikuti bentuk-bentuk kebiasaan masa lampau, tanpa mengetahui makna daripada perbuatan itu.
Vasettha, apa yang pada waktu itu dipandang tidak sopan (adhamma sammata), sekarang dipandang sopan (dhamma-sammata). Pada waktu itu, makhluk-makhluk yang melakukan hubungan kelamin tidak diijinkan memasuki desa atau kota selama satu bulan penuh atau dua bulan. Dan pada waktu itu, oleh karena makhluk-makhluk itu cepat sekali mencela perbuatan yang tidak sopan tersebut; maka mereka mulai membuat rumah-rumah hanya untuk menyembunyikan perbuatan tidak sopan itu.
...
Hubungan seks timbul dari nafsu seks. Nafsu seks timbul dari ketertarikan antar individu. Ketertarikan antar individu ini cenderung didorongi oleh perbedaan karakteristik antar individu. Seperti yang kita ketahui, perbedaan menciptakan daya tarik; sedangkan kesamaan menciptakan kondisi nyaman (suka).
Pada awalnya hubungan seks dianggap tercela, karena persepsi saat itu menilai bahwa "permainan kelamin" adalah perbuatan biadab. Namun perlahan persepsi itu mulai berubah. Dan makhluk-makhluk itu mulai membangun rumah, untuk tempat tinggal dan sekaligus tempat untuk menyembunyikan perbuatan tersebut. Artinya mereka melakukan hubungan hubungan seks di dalam rumah, agar tidak diketahui makhluk lain. Makhluk itu sudah sadar bahwa berhubungan kelamin sebaiknya tidak dilakukan dalam keadaan terbuka. Dari pemahaman inilah mulai terbentuk kebiasaan untuk menikah dan berumah-tangga...
Quote from: johan3000 on 19 December 2009, 03:22:16 AM
Quote from: Virya on 18 December 2009, 11:16:18 PM
^
^
Ajaran JK di puji orang bijak??
JK sudah padam LDM? .....
diakhir retreat Cibodas telah dibagi2an buku secara gratis ....salah satunya ada buku tentang ajaran JK
kalo saja gw gak tau JK pernah selingkuh dan aborsi .... gw akan mengambil buku tersebut dan membacanya ......
Gw gak tertarik sama sekali dgn prilaku manusia yg telah melakukan aborsi dan selingkuh apalagi dikatakan bisa men"cerahkan" ...... daripada capek2 baca bukunya, mending baca donald bebek ;D
JK selingkuh ? ada buktinya ? kalau ada bisa buka topik baru ....utk menambah wawasan ?
thanks sebelumnya...
Bukti??
apa gw harus liat langsung JK lagi selingkuh :hammer: :P ;D
penjelasan ini sudah lama banget ..... jadi tolong cari sendiri yaaah ;)
ada di thread Hudoyo ...... tapi dimananya gw lupa :D
:outoftopic:
mm, sex pranikah
klo berdasarkan concept ajaran Timur, memang sex pranikah tidak boleh..
tp banyak generasi muda yg tlah melakukannya, walaupun generasi tua telah mengingatkan
smuanya kembali ke masing2 yang melakukan, katakan semisal sudah terlanjur apa hanya berdiam diri, atau bertengkar, melukai diri sendiri, kalo sudah begitu ..yang penting adalah solusinya. . 1 karma jelek udah terlanjur terbentuk jadi wlaupun jalan kehidupan berubah memang harus dijalankan sampai tuntas dengan berani.. walaupun jeleknya adalah cacat psikologis (tekanan), yang penting tetap bisa berbuat baik pada orang lain, karna itu ada suatu nilai tertentu yg bisa membahagiakan diri sendiri (menolong tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan yg muluk2)
soal tekanan itu sudah pasti, asalnya bisa dari orang2 terdekat
rasa takut dicemooh, rasa takut melukai keluarga, hilang nama kalo ketahuan, di gosip in karna gosip adalah suatu budaya org Timur.
ya klo bisa, jangan sex pranikah, klo budaya dan concept of life dari pribadi sudah west punya.. brarti itu terserah pribadinya
Quote from: Miss on 07 January 2011, 11:00:45 PM
mm, sex pranikah
klo berdasarkan concept ajaran Timur, memang sex pranikah tidak boleh..
tp banyak generasi muda yg tlah melakukannya, walaupun generasi tua telah mengingatkan
smuanya kembali ke masing2 yang melakukan, katakan semisal sudah terlanjur apa hanya berdiam diri, atau bertengkar, melukai diri sendiri, kalo sudah begitu ..yang penting adalah solusinya. . 1 karma jelek udah terlanjur terbentuk jadi wlaupun jalan kehidupan berubah memang harus dijalankan sampai tuntas dengan berani.. walaupun jeleknya adalah cacat psikologis (tekanan), yang penting tetap bisa berbuat baik pada orang lain, karna itu ada suatu nilai tertentu yg bisa membahagiakan diri sendiri (menolong tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan yg muluk2)
soal tekanan itu sudah pasti, asalnya bisa dari orang2 terdekat
rasa takut dicemooh, rasa takut melukai keluarga, hilang nama kalo ketahuan, di gosip in karna gosip adalah suatu budaya org Timur.
ya klo bisa, jangan sex pranikah, klo budaya dan concept of life dari pribadi sudah west punya.. brarti itu terserah pribadinya
ada konsekuensi, karena melakukan sex pra nikah ke2 pasangan siap dengan segala konsekuensi yang akan timbul.
;D
_/\_