SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!

Started by GandalfTheElder, 15 December 2009, 12:28:43 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

GandalfTheElder

#45
Quote
Saya sudah tahu pasti komentar ini yang akan diberikan kepada saya...

Saya hanya menyajikan fakta bahwa pernikahan pun ternyata bisa menjadi sarana prostitusi terselubung. Dan perlu diketahui bahwa seks di luar nikah pun sebenarnya bisa saja penuh dengan komitmen.

Secara garis besar saya setuju dengan pendapat Anda bahwa menikah adalah lebih baik. Tetapi saya tidak melihat bahwa seks di luar nikah pasti merupakan pelanggaran sila ketiga dalam Pancasila Buddhis. Karena saya tidak menyatakan pasti melanggar, maka artinya memang ada beberapa case yang sebenarnya melanggar.

Dalam tradisi India, asas hubungan sosial yang berlaku adalah asas kepemilikan. PSK (wanita penghibur) adalah seorang yang "tanpa pemilik". Istilah tanpa pemilik ini bermakna bahwa seorang PSK adalah seorang yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bahkan dalam metafora yang lebih halus, PSK adalah milik semua orang. Seperti yang mungkin kita semua tahu, gelar ini disematkan ke Ambapali; seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Karena sejak terlahir dia tidak memiliki orangtua, dan semua pangeran menginginkannya; maka Ambapali ditetapkan sebagai milik bersama (wanita penghibur).

Seseorang dikatakan sebagai mandiri (tanpa pemilik) apabila ia sudah dewasa dan mampu menjalani hidup secara mandiri. Batasan jelasnya adalah seorang yang sudah menginjak usia dewasa dan mampu mencari nafkah untuk menyambung hidup sendiri. Di titik ini, dia sudah orang dewasa tetapi bukan berarti dia sederajat dengan orangtua atau saudara yang mengasuhnya. Sebagai bahan tinjauan, dahulu Sang Buddha langsung menahbiskan banyak orang menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari keluarganya terlebih dahulu. Barulah ketika Pangeran Rahula sudah ditahbiskan, Raja Suddhodana meminta Sang Buddha agar kelak meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga dari orang itu sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan permintaan ini pun akhirnya diterima Sang Buddha. Melihat dari contoh samping ini, secara tersirat menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah cukup matang (seperti yang kita tahu, syarat untuk menjadi bhikkhu adalah usia sudah matang), maka orang itu sudah dikatakan mandiri. Dan Sang Buddha sendiri bahkan awalnya tidak merasa perlu meminta izin dari keluarganya. Namun karena permintaan Raja Suddhodana ini, maka Sang Buddha pun akhirnya meluluskannya.

Dalam tradisi India dahulu, PSK dikenal sebagai istri bayaran. Dalam Tipitaka (Pali), Sang Buddha menyebutkan 20 tipe orang yang tergolong sebagai objek seks yang tidak baik. PSK (wanita penghibur) tidak termasuk dalam 20 jenis ini. Dalam Aliran Theravada memang dinyatakan bahwa sebenarnya berhubungan seks dengan PSK tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Jika hal ini berbeda dari Aliran Mahayana, itu wajar saja. Karena karakter Sang Buddha di Tipitaka dan Tripitaka saja memang cukup berbeda.

Dalam perkembangan peradaban manusia, pernikahan adalah suatu lembaga formalitas yang sangat penting dan dijunjung tinggi oleh masyarakat luas. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilandasai dengan cinta-kasih. Dan saya setuju dengan hal ini. Tetapi saya tidak menutup mata bahwa tanpa menikah, tanpa di bawah naungan pernikahan pun sebenarnya cinta-kasih antar sepasang kekasih bisa ada. Oleh karena itu saya menolak pernyataan yang berbunyi: "di luar pernikahan, maka semua aktivitas seks adalah pelanggaran sila ketiga". Inilah bedanya pandangan saya (mungkin Theravada) dengan pandangan Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis).

Di zaman dahulu banyak sepasang kekasih yang melarikan diri dari kedua orangtuanya. Mereka kemudian menikah dengan "mengundang" langit dan bumi sebagai saksi pernikahannya. Saya melihat bahwa hubungan seks yang mereka lakukan setelah atau sebelum pernikahan ini tidaklah melanggar sila ketiga. Demikian pula pada kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran, jika memang mereka melakukannya dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika kelak mereka ternyata tidak bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, maka itu hanya tidak ada kesempatan bersama sebagai suami-istri.

Meski menurut saya hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila, namun saya tidak mendukung hal ini menjadi tren di seluruh penjuru dunia. Di sini bedanya lagi pemikiran saya (mungkin Theravada) dengan pemikiran Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis). Saya melihat bahwa hal ini adalah belum tentu melanggar sila, tidak bisa dipukul rata sebagai perbuatan buruk. Tetapi meskipun bukan keduanya, perbuatan ini tetap mengumbar lobha. Dan sebagai umat Buddha, kita sebaiknya mengendalikan nafsu; jika belum bisa melenyapkan nafsu. Pernikahan menjadi sarana yang baik di dalam norma masyarakat. Karena itu sekali lagi saya melihat bahwa berhubungan seks setelah menikah adalah lebih baik. Karena kita mencegah hal-hal tidak baik yang bisa datang akibat reaksi masyarakat yang mayoritas kusut di dalam konsep "pesta formalitas dan selembar sertifikat bertanda-tangan".

Ok. Sebenarnya pemahaman kita tidak jauh-jauh amat bro, sedari awal sebelum saya menulis dan setelah tulisan saya jadi pun, saya sempat terlintas seperti apa yang anda ucapkan dan menurut saya itu memang masuk akal. Tapi ada beberapa yang ingin saya jelaskan lagi mengenai hal ini.

Pertama, contoh wanita berumur 40 tahun terus penahbisan bhikkhu dan Rahula yang anda berikan, saya lihat batasan yang anda berikan adalah usia dewasa dan sudah bisa mencari nafkah. Nah sekarang bagaimana kalau misalnya penduduk desa di Indonesia ini, seperti para pembantu saya, umur 15 tahun sudah disuruh kawin dan sudah bisa mencari nafkah lagi, ya itu sebagai pembantu saya...  ^-^  ^-^, bagi ortu mereka usia segitu sudah cukup matang loh! Tapi yah tetep aja ortu merasa masih melindungi dan bertanggung jawab, maka akhirnya ya dicarikan jodoh si anak itu.... jadi sambil mengakui kematangan si anak, mereka juga masih melindunginya. Baru ketika nanti sudah menikah, maka itu sudah tanggung jawab si suami.

Sang Buddha sendiri tidak menetapkan peraturan macam-macam kalau tidak ada kasus macam2 atau tidak diminta. Jadi ini wajar saja. Tidak ada hubungannya dengan kematangan usia atau apa. Toh pada akhirnya anak yang sudah dewasa pun ya tetep harus meminta izin dari keluarganya [kalau masih ada] untuk menjadi bhikkhu. Kalau memang Sang Buddha mengakui faktor kematangan usia, seharusnya Beliau juga seterusnya memberikan kebebasan bagi mereka yang sudah cukup dewasa secara usia (mis: 20 tahun) untuk menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari ortu. Tapi tampaknya Sang Buddha tidak demikian.  :)

Saya juga memperjelas lagi apa yang disebut menikah di sini. Guru Padmasambhava mengatakan:
"Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka." (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)

Nah menikah di sini menggunakan kata "berumah tangga" sehingga apa yang dimaksudkan di sini adalah sebenarnya kesadaran, cinta kasih dan komitmen serta tanggung jawab untuk berumah tangga itulah yang dimaksud pernikahan. Padmasambhava tidak emnggunakan kata "pernikahan" karena setidaknya dapat mengacu pada upacara-upacara dan formalitas tertentu, namun yang dipakai adalah "perumah tangga" dan istilahnya dalah grhapati. Tidak ada istilah orang yang telah menikah di Buddhis dan India, yang ada istilah perumah tangga [grhapati].

Machig Labdron dan Thodpa Bhadra, yaitu pasangan yogi Buddhis yang telah tercerahkan yang kemudian menikah, setahu saya juga tanpa formalitas upacara tetek bengek segala. Tapi mereka berdua mempunyai komitmen membangun rumah tangga, sebuah komitmen jangka panjang, serta akhirnya memiliki anak-anak. Mereka akhirnya menjadi keluarga yang bahagia.

Jadi kalau kasus kawin lari seperti yang anda sebutkan itu, asal mereka berkomitmen untuk berumah tangga sehingga keduanya bisa saling menyolong dan bertumbuh satu sama lain, dll maka tidak apa2 dan sah-sah saja hubungan seksual itu.

Sama seperti kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika sepasang kekasih tersebut bertekad membangun rumah tangga, tapi apa daya kondisi eksternal tidak mengizinkan mereka menikah, ini dianggap tidak apa-apa, karena mereka sudah mengambil komitmen berumah tangga. Ketika mengambil komitmen ini, mereka dikatakan sudah menikah.

Namun pada kenyataanya, seperti para bule di Barat itu, sudah lama kumpul kebo, mereka merasa berkomitmen, tapi kalau salah satu dari mereka minta menikah, kadang masih merasa keberatan. Nah ini jelas saja mereka tidak punya komitmen membangun rumah tangga sekaligus jangka panjang, karena menikah pun mereka masih ragu, senengnya kumpul kebooooo teruss..... mereka merasa bahwa keintiman mereka itu komitmen, maka ketika diminta menikah, mereka merasa tersinggung, bingung, karena tidak adanya komitmen yang jelas. Maka karena belum bisa berkomitmen membangun rumah tangga itulah, seseorang dikatakan belum dewasa dalam hal seksual sehingga masih berada di bawah perlindungan ortu!

Kumpul kebo sekian lama pun yang katanya berkomitmen itu, belum tentu mau berkomitmen untuk membangun rumah tangga. Bahkan menyebut pacar sebagai suami / istri saja belum tentu mau dan berani. Ini adalah komitmen yang salah dan jelas-jelas hubungan seksual yang melanggar sila ketiga, karena tidak adanya komitmen yang tulus dalam membangun rumah tangga.

Namun kalau sudah bisa berkomitmen untuk hidup bersama, bersedia mengambil tanggung jawab sebagai suami istri serta sebagai ayah dan ibu dari anak-anak mereka, walaupun tanpa formalitas pernikahan pun seperti tanda tangan surat dan ritual-ritual tertentu, mereka dikatakan sudah masuk ke dalam suatu ikatan pernikahan rumah tangga.

Mengenai PSK, kebetulan saya juga menyusun karya tulis tentang hal itu. Maka saya jawab di lain kesempatan.

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

ryu

ada siswa Buddha yang asalnya PSK juga :

7. Yang Ariya Ambapali Theri

Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam, rumah tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran tidaklah salah.

Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli, menemukan seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan memberikannya nama Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis atau batang).

Kemudian Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang cantik dan anggun.

Banyak pangeran dari Licchavi ingin menikahinya. Mereka saling bertengkar ingin menjadikan Ambapali sebagai isteri. Untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut, mereka berdiskusi dan sepakat memutuskan,
"Biarlah Ambapali menjadi milik semua orang."

Dengan demikian, Ambapali menjadi wanita penghibur. Dengan sifatnya yang baik, dia melatih ketenangan dan kemuliaan. Ambapali sering memberikan dana dalam jumlah besar dalam setiap kegiatan amal. Walaupun Ambapali seorang wanita penghibur, namun dia terlihat seperti ratu yang tak bermahkota di Kerajaan Licchavi itu.

Ketenaran Ambapali menyebar dan terdengar oleh raja Bimbisara dari Magadha. Kemudian Raja Bimbisara menemuinya, Beliau sangat terpesona akan kecantikannya. Terjalinlah hubungan diantara Raja Bimbisara dengan Ambapali, dari hubungan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki.

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesali dan tinggal vihara di hutan mangga. Ambapali datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan khotbah kepada Ambapali. Keesokan harinya Ambapali mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumahnya.
"Yang mulia, saya mengundang Yang Mulia bersama para bhikkhu untuk menerima dana makanan, besok pagi di rumah saya," mohon Ambapali. Sang Buddha menerima undangan itu.

Setelah itu Ambapali dengan tergesa-gesa meninggalkan Pangeran Licchavi yang saat itu berada di dalam kereta, pangeran itu berusaha menemukan alasannya dan bertanya,
"Ambapali, ada apa gerangan sehingga kau berkeliling menemaniku dengan tergesa-gesa?"

"Pangeran, saya baru saja mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumah besok pagi, untuk menerima dana makanan dan saya ingin meyakinkan bahwa semua telah dipersiapkan dengan baik", jawab Ambapali.

Mengetahui hal tersebut para bangsawan Licchavi memohon kepada Ambapali untuk memberikan hak istimewa tersebut kepada mereka, dengan menawarkan kepadanya seratus ribu logam emas, tapi Ambapali menolak tawaran tersebut. Kemudian para bangsawan Licchavi itu datang menemui Sang Buddha, dan berkata,
"Izinkanlah kami besok mengundang Yang Mulia dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan besok pagi." Undangan makan dari para bangsawan Licchavi tersebut terjadi di hari yang sama dengan undangan makan Ambapali. Sang Buddha tidak menerima undangan tersebut, dan berkata, "Saya telah menerima undangan Ambapali lebih dahulu."

Keesokan paginya Sang Buddha dan para bhikkhu datang ke rumah Ambapali untuk menerima dana makanan. Setelah selesai menerima dana makanan tersebut, Ambapali mempersembahkan hutan mangga tersebut kepada Sang Buddha.

Pada suatu hari, anak Ambapali dari Raja Bimbisara, bernama Vimala-Kondañña, yang telah menjadi seorang bhikkhu dan telah mencapai Tingkat Kesucian Arahat, memberikan khotbah Dhamma. Setelah mendengar khotbah dari anaknya tersebut, Ambapali meninggalkan kehidupan duniawi, menjadi anggota Sangha Bhikkhuni. Beliau menggunakan tubuhnya sebagai obyek meditasi, merefleksikan sifat-sifat ketidakkekalan, dengan melatih meditasi dengan giat, Beliau akhirnya mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Dalam versi Therighata, dikatakannya pada saat Beliau tua, Beliau membandingkan kecantikannya yang ia miliki dahulu dengan keadaan sekarang :

    Rambutku hitam,
    bagai warna kumbang,
    diujungnya berikal
    Karena usia tua,
    sekarang bagai serat kulit kayu rami
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Ditutupi bunga,
    rambutku wangi bagai kotak parfum
    Sekarang karena usia tua,
    baunya bagai bulu anjing
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Sebelumnya alisku nampak
    demikian indah,
    bagai lukisan bulan sabit
    yang dilukis sangat indah,
    karena usia tua,
    tergantung ke bawah oleh kerutan.
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Mataku berbinar,
    sangat bercahaya bagai permata,
    Berwarna biru gelap dan
    berbentuk panjang,
    Dipengaruhi oleh usia tua,
    tidak lagi kelihatan cantik
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Sebelumnya gigiku nampak indah,
    bagai warna kuncup
    tanaman yang masih muda.
    Karena usia tua,
    hancur dan menghitam.
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    t idaklah salah.
    Sebelumnya, kedua dadaku
    nampak indah, menggembung
    bundar, berdekatan, menjulang,
    Sekarang keduanya turun
    bagai kantung air kosong
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Sebelumnya tubuhku nampak indah,
    bagai lembaran emas yang digosok.
    Sekarang penuh oleh
    kerutan-kerutan halus
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Sebelumnya kedua kakiku
    nampak indah,
    bagai (sepatu) yang penuh kapas.
    Karena usia tua,
    menjadi retak-retak dan berkeriput.
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.

    Demikianlah tubuh ini.
    Sekarang berkeriput,
    tempat berbagai rasa sakit
    bersemayam,
    rumah tua dengan plesteran dinding
    yang mengelupas.
    Ucapan Pembabar Kebenaran
    tidaklah salah.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Nevada

#47
Quote from: GandalfTheElder on 16 December 2009, 06:49:38 AM
Ok. Sebenarnya pemahaman kita tidak jauh-jauh amat bro, sedari awal sebelum saya menulis dan setelah tulisan saya jadi pun, saya sempat terlintas seperti apa yang anda ucapkan dan menurut saya itu memang masuk akal. Tapi ada beberapa yang ingin saya jelaskan lagi mengenai hal ini.

Pertama, contoh wanita berumur 40 tahun terus penahbisan bhikkhu dan Rahula yang anda berikan, saya lihat batasan yang anda berikan adalah usia dewasa dan sudah bisa mencari nafkah. Nah sekarang bagaimana kalau misalnya penduduk desa di Indonesia ini, seperti para pembantu saya, umur 15 tahun sudah disuruh kawin dan sudah bisa mencari nafkah lagi, ya itu sebagai pembantu saya...  ^-^  ^-^, bagi ortu mereka usia segitu sudah cukup matang loh! Tapi yah tetep aja ortu merasa masih melindungi dan bertanggung jawab, maka akhirnya ya dicarikan jodoh si anak itu.... jadi sambil mengakui kematangan si anak, mereka juga masih melindunginya. Baru ketika nanti sudah menikah, maka itu sudah tanggung jawab si suami.

Sang Buddha sendiri tidak menetapkan peraturan macam-macam kalau tidak ada kasus macam2 atau tidak diminta. Jadi ini wajar saja. Tidak ada hubungannya dengan kematangan usia atau apa. Toh pada akhirnya anak yang sudah dewasa pun ya tetep harus meminta izin dari keluarganya [kalau masih ada] untuk menjadi bhikkhu. Kalau memang Sang Buddha mengakui faktor kematangan usia, seharusnya Beliau juga seterusnya memberikan kebebasan bagi mereka yang sudah cukup dewasa secara usia (mis: 20 tahun) untuk menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari ortu. Tapi tampaknya Sang Buddha tidak demikian.  :)

Saya juga memperjelas lagi apa yang disebut menikah di sini. Guru Padmasambhava mengatakan:
"Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka." (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)

Nah menikah di sini menggunakan kata "berumah tangga" sehingga apa yang dimaksudkan di sini adalah sebenarnya kesadaran, cinta kasih dan komitmen serta tanggung jawab untuk berumah tangga itulah yang dimaksud pernikahan. Padmasambhava tidak emnggunakan kata "pernikahan" karena setidaknya dapat mengacu pada upacara-upacara dan formalitas tertentu, namun yang dipakai adalah "perumah tangga" dan istilahnya dalah grhapati. Tidak ada istilah orang yang telah menikah di Buddhis dan India, yang ada istilah perumah tangga [grhapati].

Machig Labdron dan Thodpa Bhadra, yaitu pasangan yogi Buddhis yang telah tercerahkan yang kemudian menikah, setahu saya juga tanpa formalitas upacara tetek bengek segala. Tapi mereka berdua mempunyai komitmen membangun rumah tangga, sebuah komitmen jangka panjang, serta akhirnya memiliki anak-anak. Mereka akhirnya menjadi keluarga yang bahagia.

Jadi kalau kasus kawin lari seperti yang anda sebutkan itu, asal mereka berkomitmen untuk berumah tangga sehingga keduanya bisa saling menyolong dan bertumbuh satu sama lain, dll maka tidak apa2 dan sah-sah saja hubungan seksual itu.

Sama seperti kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika sepasang kekasih tersebut bertekad membangun rumah tangga, tapi apa daya kondisi eksternal tidak mengizinkan mereka menikah, ini dianggap tidak apa-apa, karena mereka sudah mengambil komitmen berumah tangga. Ketika mengambil komitmen ini, mereka dikatakan sudah menikah.

Namun pada kenyataanya, seperti para bule di Barat itu, sudah lama kumpul kebo, mereka merasa berkomitmen, tapi kalau salah satu dari mereka minta menikah, kadang masih merasa keberatan. Nah ini jelas saja mereka tidak punya komitmen membangun rumah tangga sekaligus jangka panjang, karena menikah pun mereka masih ragu, senengnya kumpul kebooooo teruss..... mereka merasa bahwa keintiman mereka itu komitmen, maka ketika diminta menikah, mereka merasa tersinggung, bingung, karena tidak adanya komitmen yang jelas. Maka karena belum bisa berkomitmen membangun rumah tangga itulah, seseorang dikatakan belum dewasa dalam hal seksual sehingga masih berada di bawah perlindungan ortu!

Kumpul kebo sekian lama pun yang katanya berkomitmen itu, belum tentu mau berkomitmen untuk membangun rumah tangga. Bahkan menyebut pacar sebagai suami / istri saja belum tentu mau dan berani. Ini adalah komitmen yang salah dan jelas-jelas hubungan seksual yang melanggar sila ketiga, karena tidak adanya komitmen yang tulus dalam membangun rumah tangga.

Namun kalau sudah bisa berkomitmen untuk hidup bersama, bersedia mengambil tanggung jawab sebagai suami istri serta sebagai ayah dan ibu dari anak-anak mereka, walaupun tanpa formalitas pernikahan pun seperti tanda tangan surat dan ritual-ritual tertentu, mereka dikatakan sudah masuk ke dalam suatu ikatan pernikahan rumah tangga.

Mengenai PSK, kebetulan saya juga menyusun karya tulis tentang hal itu. Maka saya jawab di lain kesempatan.

_/\_
The Siddha Wanderer

Pertama, saya tidak pernah secara komprehensif meletakkan wanita selalu menjadi objek seks dalam pembahasan kita. Contoh mengenai seorang anak yang berusia 40 tahun lebih di postingan lalu, tidak merujuk pada jenis kelamin. Maksudnya, bisa saja laki-laki atau perempuan. Coba lihat kembali postingan saya yang dahulu.

Kedua, seorang pria pun bisa menjadi objek seks yang salah bagi wanita. Jadi pelanggaran sila ketiga bukan hanya dimotori oleh wanita sebagai objek seks yang salah.

Ketiga, seseorang yang sudah sedewasa itu (40 tahun lebih), meskipun masih "di bawah ketiak" orangtuanya, tetapi dia bukanlah orang yang berlindung di bawah orangtuanya. Anda mengatakan bahwa "kawin lari" dengan komitmen itu bisa disebut "menikah" dan bukan pelanggaran sila ketiga. Tetapi sadarkah jika Anda menyetujui "kawin lari" seperti itu, maka Anda menyangkal sendiri bahwa "mengambil anak" dari orangtuanya itu tidak melanggar sila? Ada kontradiksi dalam pandangan Anda... Selain itu, menurut saya orang seusia 40 tahun sudah sangat dikatakan dewasa. Sepertinya agak lucu kalau kita menyatakan orang seperti itu masih berlindung di bawah orangtuanya.

Keempat, yang saya sebutkan sejak awal adalah "dewasa dan mandiri". Dewasa bagi saya mungkin relatif, pria adalah 25 tahun sedangkan wanita adalah 23 tahun. Tetapi karena saya mengikuti Sutta, maka setidaknya usia dewasa adalah 20 tahun (usia termuda untuk boleh menjadi bhikkhu). Setelah berusia matang, seseorang harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak bergantung kepada orang lain; alias bisa bertahan hidup sendiri, seumpamanya dirinya tidak lagi diasuh oleh orang lain. Melihat dari kriteria di atas, pembantu Anda belum termasuk sebagai orang yang "dewasa dan mandiri". Jadi orang seperti dia adalah orang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya.

Kelima, Sang Buddha memang tidak merasa perlu meminta izin pada orangtua dari calon bhikkhu. Jadi pada awalnya Sang Buddha langsung menahbiskan seseorang menjadi bhikkhu, meski orang itu belum meminta izin dari orangtuanya. Hal ini dilakukan Sang Buddha karena Beliau melihat bahwa setiap orang yang boleh menjadi bhikkhu adalah orang yang sudah dewasa. Tetapi karena Raja Suddhodana meminta Sang Buddha kelak untuk meminta izin dari orangtuanya, maka Sang Buddha menyetujuinya agar kelak para orangtua tidak merasa anaknya dirampas oleh Sangha. Kalau berhubungan seks? Jelas tidak ada yang dirampas. Seorang anak itu masih bisa berkumpul dan tidur di rumah orangtuanya. Jadi dari contoh samping ini, usia dewasa memang setidaknya 20 tahun dan bisa menghidupi dirinya sendiri.

Keenam, Sang Buddha menyatakan bahwa objek seks yang salah adalah seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtua dan atau saudaranya. Orangtua yang memberi perlindungan jelas sudah menikah. Saudaranya (walinya) ini belum tentu sudah menikah. Misalkan sepasang kakak-adik yang yatim-piatu, di mana si adik masih remaja dan si kakak sudah mapan sebagai seorang profesional muda. Si kakak ini belum menikah, tetapi ia yang memberi perlindungan (sandang, pangan dan papan) kepada si adik. Nah kakak ini sudah dewasa dan mandiri, sehingga dia tidak termasuk dalam objek seks yang tidak baik. Tetapi karena si adik masih belum dewasa dan mandiri, maka dia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik. Cermati lagi, bahwa kemandirian seseorang yang menunjang apakah ia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik atau bukan. Mengapa? Karena jika seseorang masih belum dewasa dan belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, maka perilaku seks yang dilakukan bisa sangat beresiko. Karena manusia itu hidup bermasyarakat, sehingga orang yang belum dewasa belum layak untuk melakukan hubungan seks.

Ketujuh, benar. Anda setuju bahwa pernikahan yang sebenarnya itu berasal dari komitmen / tekad dalam hati. Bukan dari pesta di gedung ataupun surat nikah. Karena itu, sepasang anak muda yang pacaran bisa saja sudah "menikah" di dalam hatinya. Saya kenal banyak pasangan seperti ini dalam lingkungan saya. Sebelumnya, semua orang tentu saja berharap bahwa pernikahan berujung kebahagiaan. Namun tidak jarang banyak pasangan berbahagia yang akhirnya bercerai karena sudah tidak sejalan. Kemudian mereka mencari pasangan lain dan menikah lagi untuk berbahagia. Tetapi sayang lagi mereka kembali bercerai. Tidak ada niat mereka untuk bergonta-ganti pasangan, namun keadaan memang sudah tidak cocok. Kalau kita melihat hal ini, hubungan seks yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pasangan dalam masa pacaran yang serius kemudian berhubungan seks; lalu sayang sekali mereka putus di tengah jalan; kemudian mereka mendapatkan pacar baru dan berhubungan seks lagi, lalu kembali putus di tengah jalan. Kalau menurut Anda berbeda, maka Anda masih melekat pada pesta dan gaun pernikahan serta selembar surat sakral itu.

Kedelapan, tidak semua pasangan di barat seperti itu. Kalau ada kasus seperti yang Anda contohkan, itu hanya kasus pasangan yang tidak sehat. Sama seperti kasus suami-istri dalam pernikahan yang tidak sehat. Sebagai contoh: pesepakbola asal Inggris, Steven Gerrard, berpacaran dengan kekasihnya selama bertahun-tahun dan mereka sudah memiliki seorang anak laki-laki. Pada usianya yang menginjak kanak-kanak, barulah Steven Gerrard dan kekasihnya menikah; dan tentu saja pestanya dihadiri oleh anak mereka. Meskipun dahulu Steven Gerrard dan kekasihnya belum menikah, namun mereka tetap menjadi pasangan yang setia. Menikah di negara maju seperti Inggris hanyalah formalitas. Tanpa menikah, asalkan semua kerabat tahu bahwa si A sedang menjalani hubungan dengan si B, maka itu sudah cukup. Di luar negeri juga tidak ada akal bulus seperti kebanyakan orang di Asia. Orang yang hidup di negara maju seperti Inggris sangat jarang terbesit dalam pikirannya untuk menjadi seorang yang tidak bertanggung-jawab setelah berhubungan seks. Karena itu, lembaga pernikahan mungkin amat penting dijunjung di negara asia. Tetapi mungkin tidak demikian di negara maju, misalnya negara barat. Karena itu saya tetap bersikeras bahwa hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Kalau Anda berbeda pendapat, tidak apa-apa. Saya sangat menghargai kebebasan berpendapat di tiap orang.

Kesembilan, kumpul kebo juga tidak bisa dipukul rata sebagai pelanggaran sila ketiga. Ada beberapa kasus di mana pasangan tidak memiliki cukup uang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan dan pembuatan surat nikah. Jadi mereka kumpul kebo saja. Ada juga pasangan yang terasing dari masyarakat dan mereka memilih hidup bersama sebagai pasangan di bawah atap rumah yang sama, meski tidak ada orang lain yang tahu kalau mereka tidak pernah menikah secara formil. Saya juga mengenal pasangan dengan kondisi seperti ini.

Kesepuluh, mengenai PSK saya pikir lebih kontroversial lagi. Karena itu jika memang karya tulis Anda bisa bermanfaat bagi para pembaca, saya turut berbahagia. Semoga semua orang bisa mengendalikan diri dorongan nafsu seks yang berlebihan.

:)

GandalfTheElder

#48
QuotePertama, saya tidak pernah secara komprehensif meletakkan waniat selalu menjadi objek seks dalam pembahasan kita. Contoh mengenai seorang anak yang berusia 40 tahun lebih di postingan lalu, tidak merujuk pada jenis kelamin. Maksudnya, bisa saja laki-laki atau perempuan. Coba lihat kembali postingan saya yang dahulu.

Kedua, seorang pria pun bisa menjadi objek seks yang salah bagi wanita. Jadi pelanggaran sila ketiga bukan hanya dimotori oleh wanita sebagai objek seks yang salah.

Benar. Sila ketiga tersbeut berlaku baik bagi pria maupun wanita.

QuoteKetiga, seseorang yang sudah sedewasa itu (40 tahun lebih), meskipun masih "di bawah ketiak" orangtuanya, tetapi dia bukanlah orang yang berlindung di bawah orangtuanya. Anda mengatakan bahwa "kawin lari" dengan komitmen itu bisa disebut "menikah" dan bukan pelanggaran sila ketiga. Tetapi sadarkah jika Anda menyetujui "kawin lari" seperti itu, maka Anda menyangkal sendiri bahwa "mengambil anak" daro orangtuanya itu tidak melanggar sila? Ada kontradiksi dalam pandangan Anda... Selain itu, menurut saya orang seusia 40 tahun sudah sangat dikatakan dewasa. Sepertinya agak lucu kalau kita menyatakan orang seperti itu masih berlindung di bawah orangtuanya.

Tentu tidak, kalau seseorang kawin lari, mungkin pelanggarannya adalah sila ke-4 alias mencuri dari ortu yang bersangkutan....  ^-^  ^-^ Yang menjadi tolak ukur adalah apalah sepasang pria dan wanita bertekad dan berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga, rumah tangga, ini berarti sudah menikah. Ortu tidak memiliki hak untuk menentukan apakah anaknya harus menikah dengan si A dan tidak boleh dengan si B, mereka hanya membantu mencari pasangan yang tepat. Dalam konteks sila ketiga, mereka hanya melindungi sang anak dari bahaya perlakuan seks yang tidak sehat. Mau menikah dengan siapa, kapan dan di mana itu adalah hak sepenuhnya dari si anak, yang penting dia harus bisa menjaga kelakuan seksnya ketika belum menikah atau belum bisa berkomitmen membangun rumah tangga.

QuoteKeempat, yang saya sebutkan sejak awal adalah "dewasa dan mandiri". Dewasa bagi saya mungkin relatif, pria adalah 25 tahun sedangkan wanita adalah 23 tahun. Tetapi karena saya mengikuti Sutta, maka setidaknya usia dewasa adalah 20 tahun (usia termuda untuk boleh menjadi bhikkhu). Setelah berusia matang, seseorang harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak bergantung kepada orang lain; alias bisa bertahan hidup sendiri, seumpamanya dirinya tidak lagi diasuh oleh orang lain. Melihat dari kriteria di atas, pembantu Anda belum termasuk sebagai orang yang "dewasa dan mandiri". Jadi orang seperti dia adalah orang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya.

Itu usia dewasa jadi bhikkhu, apa anda juga yakin itu usia dewasa untuk sebuah kedewasaan seksual? Atau ini interpretasi pribadi terhadap Sutta2?

Pembantu, menurut saya juga mandiri di mata ortu mereka. Anak mereka bekerja secara mandiri sebagai pembantu di rumah saya, tapi karena ortunya mengikuti adat maka ia dicarikan jodoh. Namun bukan berarti si anak gak boleh mendekati cowok2. Seperti pembantu di rumah saya dulu ada yang pedekate sama tukang bangunan tetangga sebelah bahkan sama sopir. Kalau ada yang cocok kawin silahkan. Ortu membebaskan si anak, kalau gak punya jodo ya dicarikan, dan kalau bisa cepet2 juga, tapi kalau si anak gak mau ya apa daya ortu.

Ini sama seperti banyak orang Tionghoa misalnya temen2 cece saya, sudah gede bisa cari uang sendiri, mandiri, melalang buana ke mana-mana, tidak diasuh lagi, tidak dimomong lagi, tapi toh ya sama papa mamanya dicarikan jodoh, disuruh cepet kawin.... tapi banyak juga yang nolak, apa daya ortu.  :)

QuoteKelima, Sang Buddha memang tidak merasa perlu meminta izin pada orangtua dari calon bhikkhu. Jadi pada awalnya Sang Buddha langsung menahbiskan seseorang menjadi bhikkhu, meski orang itu belum meminta izin dari orangtuanya. Hal ini dilakukan Sang Buddha karena Beliau melihat bahwa setiap orang yang boleh menjadi bhikkhu adalah orang yang sudah dewasa. Tetapi karena Raja Suddhodana meminta Sang Buddha kelak untuk meminta izin dari orangtuanya, maka Sang Buddha menyetujuinya agar kelak para orangtua tidak merasa anaknya dirampas oleh Sangha. Kalau berhubungan seks? Jelas tidak ada yang dirampas. Seorang anak itu masih bisa berkumpul dan tidur di rumah orangtuanya. Jadi dari contoh samping ini, usia dewasa memang setidaknya 20 tahun dan bisa menghidupi dirinya sendiri.

"Merasa anaknya dirampas oleh Sangha"? Sekali lagi menurut saya ini juga kontradiksi. Sebelumnya anda bilang bahwa kalau begitu menurut saya kawin lari itu juga melanggar sila karena merampas dari ortu, maka saya berkontradiksi.

Nah sekarang saya tanya Rahula yang ketika itu masih kecil dan di bawah perlindungan kakek dan ibunya itu berarti juga "dirampas" sama Buddha dong? Apakah menurut anda Buddha melanggar sila ke-4 bahkan menyakiti hati Raja Suddhodana dan Yasodhara? Saat itu juga Buddha juga bukan berstatus sebagai ayahnya Rahula lagi, karena beliau sudah menjadi Buddha, anggota Sangha, tidak memiliki apa-apa lagi.

Bagi saya ya tidak. Kenapa? Karena saat itu Rahula berkomitmen sungguh2 untuk menjadi Shramanera. Ibu dan kakeknya hanya melindunginya sebagai seorang anak dan bertanggung jawab atas pertumbuhannya, baik dari segi etika, pendidikan dsb. Tapi ketika Rahula memutuskan menjadi Sharmanera, itu adalah keputusannya sendiri, ortu sebenarnya tidak berhak apa-apa walaupun masih dalam perlindungan. Namun terus terang banyak ortu yang pasti sakit hati karena ini, oleh karena itu Sang Buddha menetapkan aturan Vinaya tersebut.

Demikain juga dengan hubungan seks, ortu melindungi anaknya yang belum menikah dan berkomitmen, dari bahaya seks pranikah. Ini tanggung jawab ortu. Tapi nanti pada akhirnya sang anak mau menikah dan berkomitmen dengan siapa, di mana dan kapan itu ya sepenuhnya hak pribadi si anak, ortu hanya membantu mengarahkan saja.

QuoteKeenam, Sang Buddha menyatakan bahwa objek seks yang salah adalah seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtua datau saudaranya. Orangtua yang memberi perlindungan jelas sudah menikah. Saudaranya (walinya) ini belum tentu sudah menikah. Misalkan sepasang kakak-adik yang yatim-piatu, di mana si adik masih remaja dan si kakak sudah mapan sebagai seorang profesional muda. Si kakak ini belum menikah, tetapi ia yang memberi perlindungan (sandang, pangan dan papan) kepada si adik. Nah kakak ini sudah dewasa dan mandiri, sehingga dia tidak termasuk dalam objek seks yang tidak baik. Tetapi karena si adik masih belum dewasa dan mandiri, maka dia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik. Cermati lagi, bahwa kemandirian seseorang yang menunjang apakah ia termasuk sebagai objek seks yang tidak baik atau bukan. Mengapa? Karena jika seseorang masih belum dewasa dan belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, maka perilaku seks yang dilakukan bisa sangat beresiko. Karena manusia itu hidup bermasyarakat, sehingga orang yang belum dewasa belum layak untuk melakukan hubungan seks.

Perlindungan apa cuma sandang, pangan dan papan? Itu mah cuma perlindungan dasar saja. Belum perlindungan rasa kasih, rasa aman dan lain-lain.

Sudah jelas menurut Buddhis:
- Mandiri / dewasa dalam hubungan seks adalah yang mana seseorang berkomitmen untuk berumah tangga dan membentuk sebuah keluarga dan hubungan seks dilakukan dalam ikatan semacam ini, terlepas apakah memakai formalitas wedding [pernikahan] ataupun tidak. Yang pasti dari segi batin dan tubuh mereka married.
- Belum mandiri / dewasa dalam hubungan seks adalah yang mana seseorang masih belum bisa berkomitmen untuk setia dan berumah tangga, yang ada dalam hubungan hanyalah keintiman dan cinta yang intens namun disalahpahami sebagai komitmen. Bahkan ketika disuruh menikah dan punya anak, bisa saja masih ragu-ragu. Hubungan seks dalam ikatan seperti ini jelas melanggar sila.

QuoteKetujuh, benar. Anda setuju bahwa pernikahan yang sebenarnya itu berasal dari komitmen / tekad dalam hati. Bukan dari pesta di gedung ataupun surat nikah. Karena itu, sepasang anak muda yang pacaran bisa saja sudah "menikah" di dalam hatinya. Saya kenal banyak pasangan seperti ini dalam lingkungan saya. Sebelumnya, semua orang tentu saja berharap bahwa pernikahan berujung kebahagiaan. Namun tidak jarang banyak pasangan berbahagia yang akhirnya bercerai karena sudah tidak sejalan. Kemudian mereka mencari pasangan lain dan menikah lagi untuk berbahagia. Tetapi sayang lagi mereka kembali bercerai. Tidak ada niat mereka untuk bergonta-ganti pasangan, namun keadaan memang sudah tidak cocok. Kalau kita melihat hal ini, hubungan seks yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pasangan dalam masa pacaran yang serius kemudian berhubungan seks; lalu sayang sekali mereka putus di tengah jalan; kemudian mereka mendapatkan pacara baru dan berhubungan seks lagi, lalu kembali putus di tengah jalan. Kalau menurut Anda berbeda, maka Anda masih melekat pada pesta dan gaun pernikahan serta selembar surat sakral itu.

Semuanya adalah serba anitya, tidak ada yang kekal, tapi kita berusaha untuk menjaga komitmen dan ketetapan hati kita bahwa pasangan yang kita pilih adalah yang terbaik, seperti Pangeran Siddharta dan Yasodhara yang tak terpisahkan selama beberapa ratus kehidupan.

Masa pacaran adalah masa paling mengenal, seserius apapun, itu adalah masa saling mengenal, apabila mereka saling tulus mencintai dan berkomitmen dan berani bertanggung jawab atas terbentuknya sebuah keluarga itu berarti mereka telah menikah dan siap berkeluarga. Apakah pacaran yang serius itu selalu demikain? tentu tidak.

Banyak juga yang serius, dan berusaha membuktikannya salah satunya lewat seks, tapi ketika diminta berkomitmen membangun sebuah keluarga / rumah tangga ternyata belum siap. Maka dari itu keseriusan ini harus ada tolak ukurnya yaitu:

1. Ada komitmen untuk berumah tangga dan berkeluarga
2. Saling setia satu sama lain dan yakin akan perasaan masing-masing

Jangan punya pikiran "menikah untuk berbahagia", kalau ini ya berpotensi cerai, tetapi oleh karena saya berbahagia bersama engkau dan engkau berbahagia bersama saya, dan kita sama2 berkomitmen dan mampu menerima ketidakcocokan satu sama lain, maka kita menikah.

QuoteKedelapan, tidak semua pasangan di barat seperti itu. Kalau ada kasus seperti yang Anda contohkan, itu hanya kasus pasangan yang tidak sehat. Sama seperti kasus suami-istri dalam pernikahan yang tidak sehat. Sebagai contoh: pesepakbola asal Inggris, Steven Gerrar, berpacaran dengan kekasihnya selama bertahun-tahun dan mereka sudah memiliki seorang anak laki-laki. Pada usianya yang menginjak kanak-kanak, barulah Steven Gerrard dan kekasihnya menikah; dan tentu saja pestanya dihadiri oleh anak mereka. Meskipun dahulu Steven Gerrard dan kekasihnya belum menikah, namun mereka tetap menjadi pasangan yang setia. Menikah di negara maju seperti Inggris hanyalah formalitas. Tanpa menikah, asalkan semua kerabat tahu bahwa si A sedang menjalani hubungan dengan si B, maka itu sudah cukup. Di luar negeri juga tidak ada akal bulus seperti kebanyakan orang di Asia. Orang yang hidup di negara maju seperti Inggris sangat jarang terbesit dalam pikirannya untuk menjadi seorang yang tidak bertanggung-jawab setelah berhubungan seks. Karena itu, lembaga pernikahan mungkin amat penting dijunjung di negara asia. Tetapi mungkin tidak demikian di negara maju, misalnya negara barat. Karena itu saya tetap bersikeras bahwa hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Kalau Anda berbeda pendapat, tidak apa-apa. Saya sangat menghargai kebebasan berpendapat di tiap orang.

Seperti sudah saya bilang, bahwa tanpa formalitas apapun, asal mereka sungguh-sungguh dan tulus berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga dan rumah tangga, ini menurut saya sudah menikah dan berhubungan seks dalam hubungan seperti ini tidak dikategorikan sebagai hubungan seks di luar nikah. Ini patokan saya. Memang alangkah jauh lebih apabila juga diiringi dengan berbagai formalitas yang ada dan disaksikan oleh ronag-orang yang kita sayangi. Contoh kasus Steven Gerrard, bagi saya walaupun formalitasnya belakangan, tapi menurt saya kalau memang dia bisa sungguh2 berkomitmen, maka di situlah ia sebenarnya telah menikah. Namun bagi saya dengan adanya formalitas hukum, ritual, pesta, dkk itu tetap jauh lebih baik. Bukan maslaah saya terpatok pada hal-hal itu atau tidak, tapi karena formalitas seperti itu dapat justru jauh memperkuat pondasi sebuah keluarga. Jalur teraman dan terbaik adalah lewat formalitas pernikahan.

Wedding yang benar adalah salah satu wujud ketulusan dan cinta dari Marriage yang sejati.

QuoteKesembilan, kumpul kebo juga tidak bisa dipukul rata sebagai pelanggaran sila ketiga. Ada beberapa kasus di mana pasangan tidak memiliki cukup uang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan dan pembuatan surat nikah. Jadi mereka kumpul kebo saja. Ada juga pasangan yang terasing dari masyarakat dan mereka memilih hidup bersama sebagai pasangan di bawah atap rumah yang sama, meski tidak ada orang lain yang tahu kalau mereka tidak pernah menikah secara formil. Saya juga mengenal pasangan dengan kondisi seperti ini.

Memang tidak bisa dipukul rata. Tapi bagi saya kumpul kebo yang memang telah menikah dalam hati dan memiliki komitmen berumah tangga itu namanya sudah bukan kumpul kebo lagi. Kumpul kebo yang saya maskud adalah tinggal bersama tanpa ada komitmen yang jelas, yang ada hanya keintiman dan rasa cinta, tapi tidak ada komitmen dalam membangun rumah tangga. Inilah mengapa banyak juga pasnagan kumpul kebo yang akhirnya nggak jadi menikah.

QuoteKesepuluh, mengenai PSK saya pikir lebih kontroversial lagi. Karena itu jika memang karya tulis Anda bisa bermanfaat bagi para pembaca, saya turut berbahagia. Semoga semua orang bisa mengendalikan diri dorongan nafsu seks yang berlebihan.

Saya kira, tidak ada orang yang beretika yang menyetujui hubungan seks dengan PSK adalah hal yang baik, terlepas dari pelanggaran sila atau tidak, maka saya pikir tidak begitu kontreoversial.  :)

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

ryu

harus di kaji dulu kebenaran umum dengan kebenaran universal, apakah Buddha mengajar kebenaran umum yang hanya berlaku di "asia" saja atau kebenaran universal untuk semua orang, atau jangan2 kebenaran versi orang yang menulis tapi di tulisnya itu perkataan Buddha padahal Buddha tidak pernah berkata begitu. ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

GandalfTheElder

Quoteharus di kaji dulu kebenaran umum dengan kebenaran universal, apakah Buddha mengajar kebenaran umum yang hanya berlaku di "asia" saja atau kebenaran universal untuk semua orang, atau jangan2 kebenaran versi orang yang menulis tapi di tulisnya itu perkataan Buddha padahal Buddha tidak pernah berkata begitu. Grin

Karena Buddha lahir di Asia, tentu kalau pola pandangnya Asia ya wajar sewajar-wajarnya. Dan masalah dibawah perlindungan ortu dsb itu pun masih di dalam kaidah-kaidah budaya Asia khsusunya India, ini ditegaskan lewat ucapan Guru Padmasambhava yang telah tercerahkan, yaitu bagi yang belum berumah tangga, maka ya masih dilindungi ortu. Ini adalah yang terjadi di keluarga Buddhis di India dan tentu ini adalah yang dimaksud Sang Buddha.

Kalau nanti kita mau menginterpretasikan lain dan disesuaikan dengan pola pikir Barat - maka akan terjadi banyak ketidaksesuaian karena Sang Buddha saat itu memberikan ajaran menurut kriteria bangsa Asia. Apakah Sang Buddha menyetujui kriteria bangsa Barat kita tidak akan pernah tahu. Tapi yang pasti ketika Sang Buddha membuat kriteria Pancasila, memang demikianlah menurut Dharma (kebenaran universal) dan kebetulan cocok dengan budaya India pada masa itu.

_/\_
The Siddha Wanderer

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Nevada

#51
[at] GandalfTheElder

Sementara ini saya tidak ingin melanjutkan pembahasan mengenai hal ini. Silakan semua teman-teman yang menyimpulkan. Saya pikir banyak yang lebih setuju dengan pandangan Anda, terutama wanita. Saya tidak menyalahkan mereka. Kalau ada yang mau menganggap bahwa upasaka adalah pria yang "tidak bermoral", ya tidak apa-apa... :)

Tetapi saya ingin memberi sedikit komentar...

Bahwa berhubungan seks itu yang penting adalah komitmen dan kasih-sayang. Apakah komitmen dan kasih-sayang ini hanya ada di lembaga pernikahan? Silakan cari tahu sendiri...

Dalam Tipitaka Pali Kanon, berjudi dan dugem juga tidak diharamkan. Berjudi bukanlah kamma buruk, bukan termasuk mata pencaharian yang sebaiknya dihindari, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman benar di Sigalovada Sutta, bahwa sebaiknya kita tidak berjudi; karena cenderung bisa menghamburkan kekayaan dengan sia-sia. Begitu pula dugem (pergi bernyanyi-menari dan keluar tengah malam) bukanlah kamma buruk, bukan termasuk penghidupan tidak benar, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman benar di Sigalovada Sutta, bahwa sebaiknya kita tidak dugem; karena cenderung mudah terpengaruh oleh pergaulan tidak baik dan merugikan kesehatan.

Hal yang senada juga disampaikan secara implisit mengenai berhubungan seks. Berhubungan seks di luar nikah, asalkan dengan komitmen dan kasih-sayang; bukanlah merupakan kamma buruk, bukan termasuk penghidupan tidak benar, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman kepada kita bahwa norma masyarakat juga perlu dijunjung. Karena kita hidup di lingkungan masyarakat yang mensakralkan ritual pernikahan, maka sebaiknya kita menikah terlebih dahulu sebelum berhubungan seks. Hanya itu saja. Jadi Sang Buddha tidak sepicik itu dengan mendiskriminasi pasangan-pasangan yang tidak melangsungkan pernikahan.

Sekian.

GandalfTheElder

QuoteHal yang senada juga disampaikan secara implisit mengenai berhubungan seks. Berhubungan seks di luar nikah, asalkan dengan komitmen dan kasih-sayang; bukanlah merupakan kamma buruk, bukan termasuk penghidupan tidak benar, juga bukan merupakan pelanggaran sila. Tetapi Sang Buddha memberikan pemahaman kepada kita bahwa norma masyarakat juga perlu dijunjung. Karena kita hidup di lingkungan masyarakat yang mensakralkan ritual pernikahan, maka sebaiknya kita menikah terlebih dahulu sebelum berhubungan seks. Hanya itu saja. Jadi Sang Buddha tidak sepicik itu dengan mendiskriminasi pasangan-pasangan yang tidak melangsungkan pernikahan.

Sekali lagi, sebenarnya pandangan kita memang tidak jauh berbeda bro, hanya saja mungkin saya sedikit lebih strict dalam hal ini, karena saya berpatokan pada ucapan Guru Padmasambhava dan kitab-kitab suci Tripitaka dari berbagai aliran.

Bagi saya, apabila ada komitmen yang sungguh-sungguh untuk berumah tangga dan adanya kasih sayang, ini memang berarti sudah menikah dan tidak melanggar sila ketiga kalau melakukan hubungan seks. Tapi kebanyakan orang masih bingung antara keintiman dan komitmen, maka seringlah terjadi kekecewaan dalam hal seks, karena ternyata seseorang menyerahkan keperawanan pada orang yang tidak berkomitmen, hanya intim2an saja.

Pernikahan secara formal juga tidak menjamin segala2nya, bisa saja terjadi pemerkosaan terselubung yang jelas-jelas melanggar sila.

Jadi kita setuju bahwa formalitas bukanlah hal yang benar-benar mutlak, tetapi menurut saya formalitas pernikahan cukup penting untuk menyokong sebuah pernikahan yang sejati.

Apabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

ryu

ini khan di alam manusia, kalo di alam lain bagaimana ya ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Sumedho

Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.

artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer:   *joke*  :))
There is no place like 127.0.0.1

Indra

bagaimana kalau sex a week before married?

bond

so far so good for better test drive  :P
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

ryu

Quote from: Sumedho on 16 December 2009, 02:19:52 PM
Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.

artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer:   *joke*  :))
gimana menurut yang udah coba nih =)) =)) =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Sumedho

maling teriak maling, sendiri udah coba jg :hammer:
There is no place like 127.0.0.1

Indra

Quote from: ryu on 16 December 2009, 03:19:45 PM
Quote from: Sumedho on 16 December 2009, 02:19:52 PM
Quote from: gandalfApabila seseorang married dalam hati dan pikrian, terus dilangsungkan dengan formalitas pula.... alangkah indahnya berhubungan intim dalam kondisi seperti itu [menurut kebenaran duniawi yang universal]... sungguh aman, sungguh bahagia, bebas dari pertentangan terhadap budaya dan agama manapun. Hidup tanpa pertentangan adalah sesungguhnya yang paling bahagia.

artinya sudah pernah nih yg tidak indah seperti itu :hammer:   *joke*  :))
gimana menurut yang udah coba nih =)) =)) =))

reiko udah pasti indah deh, walaupun gue blm pernah coba