Namo Buddhaya,
Hari minggu kemaren, hari terakhir UAS semester 6.Pukul 12.00 ujian sudah selesai dan aku bergegas pulang ke Sidoarjo. Setelah makan siang dan mandi, aku meluncur menuju ke arah Lumajang, Jawa Timur.Sebelumnya saya sempat bingung, harus meluncur ke Lumajang atau meluncur ke Madiun, karena ada 2 kasus yang harus saya survey.
Yang pertama ada di Madiun, sedang yang kedua ada di Lumajang. Namun, karena saya sudah beberapa kali bantuan digalangkan untuk Madiun, kali ini saya coba melongok ke arah yang berbeda. Dan lagi dari informasi yang saya terima, kasus di Lumajang ini lebih menarik perhatian saya.
Saya meluncur bersama teman saya yang bernama Frans. Sepanjang perjalanan menuju Lumajang tidak ada yang cukup menarik untuk diceritakan, selain beberapa kali kami berhenti untuk ngopi, ada sedikit diskusi tentang orang yang sedang kami tuju di Lumajang, yakni seorang janda satu anak, sebut saja ibu Nissa (bukan nama sebenarnya). Anak ibu Nissa bernama, Sidarta, berusia 10 tahun. Suami ibu Nissa bernama pak Warsito, meninggal dalam sebuah kejadian di perkebunan tempatnya bekerja sekitar 2 tahun lalu.
Saya lebih tertarik pada kasus Lumajang ini, karena dari nama orangnya saja, terkesan kalau ibu Nissa pasti bukan beragama Buddha, tetapi nama anaknya sangat terkesan beragama Buddha. Ibu Nissa pindah dari agama sebelumnya menjadi beragama Buddha sejak menikah dengan Pak Warsito. Hal ini membuat ibu Nissa dibuang dari keluarganya dan tidak lagi diakui sebagai anak oleh orang tuannya.
Sejak pak Warsito meninggal, ibu Nissa berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya. Ibu Nissa bekerja sebagai buruh pabrik kerupuk, dan kadang membantu di perkebunan tembakau. Selama beberapa lama semua berlangsung cukup dengan tidak terlalu banyak masalah, namun kemudian muncul masalah-masalah yang kemudian membuat ibu Nissa dipecat dari pabrik kerupuk, lalu kemudian tidak diperkenankan membantu-bantu di perkebunan tembakau.
Hari menjelang sore ketika kami sampai di tempat bu Nissa, tempat yang cukup jauh dari keramaian kota. Kami menemui ibu Nissa dan berbincang-bincang dengannya, dan akhirnya mendapatkan beberapa informasi.
Ibu Nissa dipecat tanpa ada kesalahan, pihak pabrik sempat menyatakan bahwa tidak berdaya dan harus memecat ibu Nissa demi kepentingan pabrik. Ibu Nissa tidak diperkenankan membantu di perkebunan tembakau hanya dengan alasan bahwa tenaganya sudah tidak dibutuhkan. Walau tidak ada bukti, namun dapat saya simpulkan bahwa ibu Nissa kehilangan pekerjaannya karena campur tangan pihak ketiga.
Menurut ibu Nissa, seminggu setelah dia kehilangan pekerjaannya, pihak keluarganya mendatanginya dan menawarkan bantuan, tapi dengan syarat bahwa dia harus kembali ke agamanya yang dulu, juga anaknya. Namun ibu Nissa bertahan pada agama yang dipeluknya sekarang, terutama karena dia merasa sejak menganut ajaran Buddha, dia tidak punya banyak beban batin. Merasa lebih damai.
Informasi lain yang saya dapat adalah bahwa Sidarta memiliki seorang adik perempuan bernama, Mita. Ibu Nissa sempat terdiam beberapa saat ketika berkisah tentang Mita. Perlahan namun pasti matanya memerah dan basah. Mita meninggal setahun lalu karena DBD. Ibu Nissa berjuang sendiri menyelamatkan Mita, namun Mita akhirnya meninggal.Kisah Ibu Nissa ini membuat saya merinding waktu mendengarkan. Tengah malam gelap hingga subuh, ibu Nissa berjalan kaki menggendong Mita mencari pertolongan ke puskesmas, namun Mita tidak tertolong. Sebuah pelepasan yang sangat berat. Ketika bercerita tentang Mita, ibu Nissa berusaha menahan air matanya jatuh, namun tetap saja banjir di matanya tidak dapat dibendungnya.
Sejak tidak bekerja di pabrik krupuk dan perkebunan tembakau, ibu Nissa hanya menggantungkan hidupnya dari berjualan apa saja yang bisa dihasilkan dari halaman rumahnya. Dagangan tidak seberapa dijajakan ke rumah rumah penduduk atau ke pasar yang cukup jauh.
Namun, kini ibu Nissa nampaknya membutuhkan uluran tangan, karena anaknya Sidarta telah divonis menderita leukemia type LLA. Gejala yang sudah tampak adalah cepat lelah dan nyeri perut.
Saya berusaha berpikir logis, tidak mau emosional. Karena urusan ini akan membutuhkan biaya dalam jumlah besar. Saya sarankan pada ibu Nissa untuk memenuhi apa yang disyaratkan oleh keluarganya yakni kembali pada agamanya yang lama asalkan keluarganya itu mau membiayai pengobatan Sidarta. Namun, ibu Nissa bersikukuh bahwa dia tidak akan kembali pada agama lamanya. Apalagi syarat dari keluarganya, Sidarta harus juga pindah agama. Kalaupun ia mau, belum tentu Sidarta mau. Dan benar, Sidarta tidak mau.Karena alasan norma, kami tidak dapat menginap di rumah ibu Nissa. Langit sudah gelap ketika saya dan Frans meluncur memasuki pusat kota Lumajang. Kami mencari penginapan seadanya untuk beristirahat. Keesokan siangnya kami kembali ke Surabaya.
Walau kita sangat sadar bahwa kemampuan kita sangat terbatas. Mereka yang kita bantu juga endingnya tragis dan tidak selamat. 2 hari saya memikirkan hal ini, berusaha memecahkan dengan cara lain, namun akhirnya hari ini saya kembalikan ke forum.
Karena saya sedang memasuki masa liburan kuliah hingga awal September 2009, memungkinkan saya untuk pergi sewaktu-waktu. Akan tetapi saya pasti kembali ke ibu Nissa pada 16-17 Agustus 2009.