Mengapa Berbuat Baik?
Analogi Garam dan air. Seseorang mungkin akan bertanya “Mengapa
saya harus berbuat baik? Apakah tidak cukup jika saya tidak berbuat jahat
atau menyakiti yang lain?” Pada kehidupan lalu kita yang tidak terhitung
jumlahnya, kita telah mengumpulkan banyak kamma buruk yang memiliki
kecenderungan mendatangkan banyak masalah dalam kehidupan
sekarang ini. Buddha mengajarkan bahwa jalan untuk mengurangi akibat
kamma buruk masa lampau adalah dengan melakukan banyak kamma
baik dalam kehidupan sekarang. Buddha mengibaratkan kamma buruk
dengan segumpal garam dan kamma baik dengan air. Jika segumpal garam
dituangkan ke secangkir air, maka air tersebut akan menjadi asin. Tetapi
jika garam tersebut dituangkan ke air yang ada di sungai, keasinannya
berkurang banyak. Sama halnya dengan melakukan kamma baik sekarang
ini meringankan akibat kamma buruk masa lampau, kecuali kamma buruk
yang sangat berat seperti membunuh orang tua kita.
Analogi pencurian. Lebih lanjut, Buddha berkata bahwa tindakan jahat
yang ringan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki timbunan
kebajikan dalam perbuatan, pikiran dan kebijaksanaan akan mengakibatkan
kelahiran di alam rendah. Jika seseorang memiliki timbunan kebajikan
dalam perbuatan, pikiran dan kebijaksanaan, melakukan tindakan yang
sama, akibat buruk akan berbuah di dalam kehidupan sekarang dan
tidak harus menunggu setelah meninggal. Sama halnya dengan kasus
seorang miskin yang dipenjarakan karena mencuri 1, 10, atau 100 dollar,
sedangkan seorang yang kaya dan berkuasa tidak dipenjarakan untuk
kasus pencurian yang sama.
Manfaat memberi. Terdapat banyak manfaat dari memberi yaitu: seseorang
disukai dan disenangi oleh orang banyak; disenangi oleh mereka yang luhur dan bijaksana; berita baik tentang orang tersebut menyebar luas;
lebih percaya diri menghadiri pertemuan; memperoleh kelahiran kembali
yang baik. Di samping berbuat baik sendiri, kita mendorong, menyetujui
atau memuji tindakan berbuat baik orang lain, maka lebih banyak jasa
kebajikan yang didapatkan.
Kriteria Untuk Tindakan
Dalam sebuah sutta (M.N. 61), Buddha menasehati kita untuk merenung
terhadap kamma. Beliau berkata bahwa sebelum kita melakukan kamma
apapun, kita harus merenung apakah itu akan merugikan seseorang.
Apabila itu merugikan makhluk lain, atau diri kita sendiri, kita seharusnya tidak melakukannya. Tetapi, apabila itu bermanfaat bagi makhluk hidup
lain, atau diri kita sendiri, maka kita seharusnya melakukannya, dan
melakukannya terus menerus.
Bahkan ketika sedang melakukan kamma, Buddha berkata bahwa kita juga
seharusnya merenung. Dalam proses melakukan Kamma, kita seharusnya
merenung seperti demikian, “Apakah yang saya lakukan sekarang benar
atau salah? Jika benar, saya akan melanjutinya. Jika salah, saya akan
berhenti segera mungkin.” Setelah tindakan dilakukan, kita harus kembali
merenung, dan berpikir dengan cermat apa yang telah kita lakukan –
kemarin, atau tiga hari yang lalu, atau seminggu yang lalu, atau sebulan
yang lalu. Kita merenung apakah tindakan tersebut benar atau tidak, dan
apakah kita seharusnya melakukannya atau tidak. Ketika kita merenung
terhadap tindakan kita dengan cara sedemikian, kita akan menjalankan
kehidupan mahir, dan kita akan menghindari diri dari penderitaan yang
dapat dielakkan.
Kriteria lainnya yang baik untuk menentukan apakah kamma itu baik,
dan seharusnya dilakukan atau apakah itu kamma buruk yang tidak
seharusnya dilakukan, adalah, menurut Buddha, apakah kamma tersebut
menuntun pada meningkatnya, atau berkurangnya keadaan mental
yang bajik; ataupun berkurangnya atau meningkatnya keadaan mental
yang tak bajik. Dalam diri anda maupun yang lainnya. Apabila kamma
membawakan peningkatan keadaan mental yang bajik, atau pengurangan
keadaan mental yang tak bajik, dalam diri orang lain atau diri kita, maka
itu adalah kamma baik yang seharusnya dilakukan terus menerus.
Apa itu keadaan bajik? Keadaan bajik adalah keadaan mental yang baik,
keadaan mental yang bahagia, misalnya, ketidak-terikatan, itikad baik,
ketenangan, dan keseimbangan batin. Keadaan mental yang bajik ini
memberikan kita kedamaian, kebahagiaan.
Keadaan mental yang tidak bajik adalah keadaan yang membuat kita
gelisah, tidak bahagia, misalnya ketamakan, kemarahan, kegelisahan, iri
hati, kesombongan. Kamma buruk atau kamma tak bajik menuntun pada berkurangnya keadaan bajik atau meningkatnya keadaan tak bajik. Kita
harus menghindar dari pelaksanaan kamma jenis ini.
Terdapat sebuah Sutta yang sangat penting (A.N.5.43) dimana Buddha
berkata bahwa ada beberapa hal di dunia yang diinginkan setiap
orang namun sulit untuk diperoleh, yakni, terlahir menawan, memiliki
kebahagiaan, berkedudukan, berumur panjang, dan memiliki kelahiran
kembali yang baik setelah meninggal dunia. Buddha berkata bahwa hal-hal ini tidak
dapat diperoleh lewat doa dan sumpah, atau bahkan dengan cara sering-sering
memikirkannya sehari-hari - jika saja semuanya dapat
diperoleh dengan cara demikian, mengapa makhluk hidup menderita di
hidup ini? Kita mengetahui adanya makhluk yang tak terukur jumlahnya
di alam yang penuh penderitaan, berteriak meminta pertolongan dengan
sia-sia
Ini adalah titik yang sangat penting : Jika doa dan sumpah sendiri dapat
memberikan kita hal-hal yang kita inginkan, lalu mengapa terdapat
penderitaan di dunia ini? Kita sebutkan sebelumnya tentang murid yang
berusaha mendapatkan sepuluh A tanpa belajar, dan sebaliknya berdoa
dan bersumpah, dan pergi dari satu dewa ke dewa lainnya. Murid ini tentu
saja tidak akan pernah mendapatkan sepuluh A.
Jadi Buddha berkata bahwa kita harus berjalan di jalur yang membawakan
kita hal-hal yang kita inginkan. Ini berarti apabila kita menginginkan
umur panjang, maka kita tidak seharusnya membunuh. Jika anda tidak
membunuh, maka anda bahkan tidak perlu berdoa karena umur panjang
akan datang secara alamiah. Jika anda ingin terlahir menawan, bersikaplah
ramah-tamah, jangan marah. Jika anda menginginkan kebahagiaan,
berilah kebahagiaan, dan anda pantas mendapatkan kebahagiaan.
Ada Sutta lainnya yang juga penting (S.N. 42.6) dimana kepala dari suatu
desa datang untuk berbicara pada Buddha. Kepala desa tersebut berkata
pada Buddha bahwa di sana di sebelah Barat terdapat kumpulan Brahmana
yang memiliki tradisi yang aneh. Di samping tradisi memikul air, mandi di
air untuk memurnikan diri mereka dan memuja api, ketika sanak keluarga
mereka meninggal dunia, mereka segera membawa jasad tubuh keluar
dari rumah, dan merentangkan jasad tersebut tinggi-tinggi di udara. Jasad
tersebut dihadapkan ke langit, dan mereka meneriaki nama dari orang
yang meninggal tersebut, dan menunjukkan dia jalan ke surga. Mereka
percaya karena jasad tersebut menghadap langit, yang meninggal dapat
melihat langit, dan ketika mereka meneriaki rohnya, secara otomatis,
rohnya akan naik ke surga. Lalu kepala desa berkata mungkin Buddha
(yang memiliki kekuatan supranormal) dapat membawa setiap orang yang
telah meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam surga. Ini adalah
pertanyaan yang menarik karena bahkan sampai pada era yang modern
ini, orang-orang tertentu masih mempercayai Buddha dapat membantu kita untuk terlahir kembali di alam surga.
Jadi Buddha membalas dengan memberikan satu pertanyaan terlebih
dahulu pada kepala desa tersebut. Beliau berkata andaikan seorang pria
datang menuju ke tepi danau yang sangat dalam, dan memegang sebuah
batu besar yang berat di kedua tangannya, dan kemudian melemparnya ke
tengah danau. Sekarang, dikarenakan batunya mulai tenggelam ke dalam
air, semua orang ramai berdatangan dan berteriak pada batu tersebut,
dan memuji batu itu, dan meminta batu tersebut untuk mengapung di
permukaan dan mengapung menuju tepian.
Selanjutnya Buddha bertanya pada kepala desa tersebut apakah batunya
dapat mengapung. Kepala desa tersebut menjawab bahwa itu tidak
mungkin karena batunya berat, secara alamiah akan tenggelam ke dalam
air. Jadi Buddha berkata, dengan cara yang sama, andaikan seseorang telah
melakukan banyak kejahatan, dia telah membunuh, mencuri, berasusila,
berbohong, dan sebagainya. Ketika dia meninggal dunia (dan kamma
buruknya menarik dia ke bawah), orang ramai berdatangan dan meneriaki
dia untuk pergi ke surga; mungkinkah ia dapat pergi ke sana? Kepala desa
tersebut menjawab itu tidak mungkin karena ia telah banyak melakukan
kejahatan; sama kasusnya dengan batu tersebut, dia akan tenggelam
menuju kelahiran kembali yang buruk.
Kemudian Buddha berkata andaikan seseorang lainnya datang ke tepian
danau yang dalam. Dia mengambil secangkir minyak dan melemparkan
secangkir minyak itu ke tengah danau. Cangkirnya akan tenggelam tetapi
minyaknya, karena ringan, akan mengapung di permukaan. Dikarenakan
minyaknya mengapung di permukaan, orang berdatangan dan meneriaki
minyaknya untuk tenggalam ke dalam air. Mungkinkah minyak tersebut
dapat tenggelam? Kepala desa menjawab itu tidak mungkin karena
minyaknya ringan, dan secara alami akan mengapung. Buddha kemudian
berkata, dengan cara yang sama, andaikan seseorang telah melakukan
banyak kebajikan, tidak pernah melukai makhluk hidup, dan ketika
saatnya tiba dia meninggal dunia. Jika banyak orang berdatangan dan
berteriak, dan mengutuknya pergi ke neraka, mungkinkah ia dapat pergi ke neraka? Kepala desa menjawab itu tidak mungkin karena dia adalah
orang yang baik. Secara alamiah dia akan pergi ke surga, diangkat oleh
kamma baiknya sendiri.
Dengan menjawab pertanyaan ini, kepala desa memahami apa yang
dimaksudkan Buddha, yakni Buddha tak dapat menolong kita. Apakah kita
mengapung atau tenggelam, adalah tergantung pada kamma kita. Itulah
sebabnya mengapa ajaran Buddhis berbeda dengan ajaran lainnya, dengan
kata lain Buddha tidak berkata bahwa dengan menjadi seorang Buddhis,
anda dijaminkan suatu tempat di surga. Tidak ada pilih kasih. Apakah
anda pergi ke surga atau tempat manapun, tergantung pada kamma anda
sendiri. Kita tidak dapat menyuap surga untuk membukakan pintu bagi
kita – ini adil.