Atas ijin penulisnya, saya forward satu pendapat dari milis MB, Pak Hudoyo, seorang yang pernah menjalani kebhikhuan. Sekarang praktisi MMD (meditasi vipasana).
wiryanto
======
HUDOYO:
Dulu, ketika saya baru masuk Agama Buddha (1966-1968) dan mempelajari ajaran Sang Guru secara intelektual, setiap hari saya mengucapkan "Buddham saranam gacchami ... dst". Bagi saya, di situ "berlindung" berarti "mengingat". Kalau saya mengingat Buddha, Dhamma & Sangha, saya bisa terhindar dari pikiran, perkataan & perbuatan akusala (tidak baik). Begitu pengertian saya pada waktu itu.
Pada tahun 1968, saya menjalani retret vipassana pertama kali dalam hidup saya di bawah bimbingan alm. Bhikkhu Girirakkhito (Mahathera) di Vihara Nagasena, Pacet. Retret itu berlangsung selama dua minggu penuh. Di situ saya belajar mengamati pikiran-pikiran saya secara pasif, tanpa memilih & menolak. Pikiran-pikiran baik (kusala) tidak dilekati, dan pikiran-pikiran buruk (akusala) tidak ditolak. Cukup diamati saja secara pasif, sehingga kedua-duanya (kusala & akusala) runtuh, tidak menjelma menjadi karma baru. Jadi bagi saya, vipassana berarti "berhenti membuat karma baru."
Sejak saat itu sampai sekarang, sebagai pemeditasi vipassana, Tisarana (berlindung kepada Buddha, Dhamma & Sangha) tidak lebih daripada sekadar ritual belaka, yang tidak berarti apa-apa bagi batin saya sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya menolak membaca Tisarana sama sekali; saya tetap membaca Tisarana apabila saya berada bersama umat Buddha yang lain, demi memberikan teladan bagi mereka yang masih berkutat dengan pikirannya.
Bahkan kemarin, ketika membimbing MMD Akhir Pekan di Vihara Siripada, Tangerang, seperti biasanya, saya memimpin para peserta MMD yang beragama Buddha untuk mengawali retret (pada 16 Nov 2007) dengan melakukan ritual kecil: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Atthasila; kemudian mengakhiri retret (pada 18 Nov 2007) dengan kembali melakukan ritual: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Pancasila.
Namun, saya menekankan pada para peserta bahwa selama retret berlangsung (3 hari 2 malam) itu tidak ada lagi ritual apa pun: keluar masuk Dhammasala (ruang kebaktian di vihara tersebut), tempat meditasi duduk dilakukan, peserta retret TIDAK PERLU bernamaskara kepada patung Buddha, apalagi membaca paritta, dsb. Di dalam kesadaran vipassana, melakukan ritual (apa pun) berarti sama dengan melekat kepada ritual (silabata-paramasa); ritual memang suatu perbuatan baik (kusala), tetapi tidak sesuai dengan maksud & tujuan vipassana itu sendiri, yakni "mengakhiri semua karma baru (termasuk membuat karma yang baik)." (Itulah sebabnya di ruang meditasi vipassana versi Goenka tidak ada simbol-simbol agama Buddha sama sekali, termasuk tidak ada patung Buddha.)
***
Nah, kepada teman-teman Buddhis, marilah kita merenungi batin kita masing-masing: Apakah saya mempelajari ajaran Sang Guru hanya secara intelektual belaka? Ataukah saya sudah mengembangkan kesadaran vipassana, yang sesungguhnya adalah intisari ajaran Sang Guru sendiri?
"Seperti rasa asin meresapi air di seluruh samudra, para bhikkhu, begitu pula 'pembebasan' meresapi seluruh ajaran-Ku." (Buddha Gotama)
Salam,
Hudoyo