Akar perpecahan

Started by truth lover, 17 February 2009, 06:50:37 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

The Ronald

kenapa pada manusia tidak? apa lagi saat terlahir saat jaman tak ada buddha, dimana perbuatan buruk adalah hal biasa, walau akhirnya di dalam kehidupan itu pula boddhisatta menyadari bahwa itu buruk, tp telah terjadi sesuatu yg buruk, dan berlatih sungguh2
cukup mayan kisah dalam jataka,  salah satunya sempat menjadi pertapa, yg sombong akan pencapaiannya, samapai suatu ketika dg seorang pancekka Buddha, Pancceka Buddha pun tidak di anggap, samapi setelah pancekka Buddha pergi baru boddhisata menyadari kesombongannya.
sempat juga terpikat karena kecantikan ratu, sehingga raja akhirnya memberikan ratu kepadanya, rumah, peralatan rumah tangga, kursi dll..tp akhirnya dia menyadari bahwa dia adalah pertapa, jika berumah tangga maka kesuciannya akan ternoda, akhirnya mengasingkan diri ke gunung

klo ttg pembunuhan...sejauh yg aku dapat ..

QuoteSelama periode antara Buddha Sobhita dan Buddha Anomadassi, dalam periode kegelapan selama 1 Asankkheyya-Kappa ketika tidak ada Dhamma, Boddhisatta kita pernah melakukan perbuatan salah [ Diantara banyak perbuatan yang tidak bermanfaat yang Boddhisatta lakukan selama Kaya-Panidhana-Kala ada 12 ( dua-belas ) dan akibat-akibat perbuatannya dialami bahkan ketika Beliau menjadi Buddha. Ti-Pitaka tidak menjelaskan kedua-belas perbuatan yang dilakukan selama periode ini. Diduga itu adalah pembunuhan terhadap saudaranya laki-laki, karena ini adalah salah satu perbuatan buruk yang lebih serius, dan juga karena Buddha mengatakan bahwa itu adalah periode kegelapan tanpa seorang Samma-Sambuddha. Tujuh dari perbuatan tidak terampil lainnya adalah meliputi penghinaan terhadap seorang Buddha atau murid seorang Buddha. Mungkin pula itu adalah perbuatan tidak-baik yang tidak diceritakan yang habis seluruhnya selama Kaya-Panidhana-Kala ].   Boddhisatta membunuh saudaranya laki-laki untuk mewarisi kekayaan keluarganya. Alasan dia melakukan kesalahan adalah bahwa dia masih seorang duniawi  – seorang Boddhisatta yang telah mempraktikkan "Dasa-Paramita"  ( Sepuluh-Kesempurnaan )  selama berkalpa-kalpa tetapi masih sebagai seorang duniawi, dengan 1.500 Kilesa ( kotoran-batin ) dan nafsu keinginan dan keserakahan seorang duniawi.
http://ratnakumara.wordpress.com/

hmm.. jika ada masukan lebih silakan

[at] Ryu
aku juga ga tau dari sutta mana.. tp yah.. pembunuhan bisa saja terjadi
...

Jerry

Wah telat.. Sampe mana kemaren? ;D

Oya di sini:
[spoiler=proses kemenjadian]
Quote from: chingik on 18 December 2009, 11:01:05 PM
QuoteBagaimanakah proses kemenjadian dalam tataran konvensional itu? Selain tataran konvensional, ada tataran apa lagi yah utk proses kemenjadian?
tataran konvensional maksudnya jenis siklus kematian makhluk awam. Prosesnya sama seperti dalam penjelasan proses kemenjadian manusia biasa yg mengikuti hukum sebab musabab yg saling bergantungan.

Siklus kemenjadian (kelahiran dan kematian= samsara)  terbagi atas 2:


1. 變易生死 [py] biànyì shēngsi  --> "Miraculous samsara" The samsara experienced by enlightened bodhisattvas  ---> tataran tidak konvensional
2. 分段生死 [py] Fenduan shengsi -->the "fragmentary saṃsāra"  by unenlightened people  ---> tataran konvensional

Dapat dilihat dalam Srimaladevi simhanada Sutra, Shurangama Sutra, Huguo Renwan Boruo Jing , dll.

Buddha berkata kepada Srimala, "...Ada dua jenis siklus kematian, apakah dua jenis itu? Siklus kematian frakmentaris dan Siklus kematian perubahan [gaib]. Siklus kematian frakmentaris merujuk pada makhluk yang hidup dalam kepalsuan [dunia]. Siklus kematian perubahan [gaib] merujuk pada para Arahat, Pratyeka-buddha dan Maha bala bodhisattva hingga Buddha-pencapaian bodhi tertinggi. Dalam dua jenis siklus ini, Arahat dan pratyeka-buddha telah memutuskan siklus kematian frakmentaris,yang mana kelahirannya telah diakhiri, karena telah memperoleh buah sopadhisesa (yg masih ada sisa), kehidupan sucinya telah ditegakkan,yang tidak dapat dilakukan oleh para makhluk awam dan dewa, dan yang belum dipraktikkan oleh 7 jenis praktisi. Karena telah diputuskannya noda batin kepalsuan. Apa yang dikerjakan telah dikerjakan. Noda batin telah dikikis oleh ARahat dan pratyeka-buddha sehingga tiada lagi kelahiran. Yang dikatakan tiada kelahiran bukan karena telah mengakhiri semua jenis noda batin juga bukan karena telah mengakhiri semua jenis kelahiran sehingga disebut tiada kelahiran. Mengapa masih ada noda batin, karena Arahat dan pratyeka-buddha belum mengikis dua jenis noda batin..."
[/spoiler]
Thanks.. Sayang ngga bisa klik lagi, masih harus nunggu :D
Boleh tau lebih lanjut soal 2 jenis noda batin lainnya yg belum dikikis Arhat dan Pratyeka-Buddha? :)

[spoiler=privilege, konsistensi dan kesamaan Jataka Thera-Maha]
Quote from: chingik on 18 December 2009, 11:34:05 PM
Quote from: Jerry on 18 December 2009, 10:26:13 PM
Bro Chingik, hak prerogatif Bodhisatta yg saya tahu sejauh ini bahwa beliau tdk terlahir di alam neraka (entah benar atau tidak, masih perlu dicross-check), tidak tahu bagaimana dg alam peta dan asura, yg jelas sih alam binatang sering. Jd saya tidak menulis total sbgm yg Bro tuliskan sebelumnya: "seperti yg anda kemukakan yakni terlahir di alam rendah, alam binatang dan alam peta."
Saya tidak mau ini sampai menimbulkan pitnah bagi Bodhisatta. :hammer:

Saya sendiri tidak berkapasitas dalam menjawab mewakili pandangan Theravada dalam hal ini. Karena jujur saja, sejak awal saya tidak terlalu menaruh perhatian pada Jataka dan teori Bodhisattva dalam praktek saya. Maka dr itu saya bertanya benar2 sbg pihak yg tidak tahu dan mencari tahu. Tentu baiknya pernyataan dr Bro Chingik mengenai ketidak-konsistenan RAPB itu dilempar ke board Theravada. Bagaimana? :D

Oya.. Jadi menurut Mahayana bodhisatta terlahir di alam rendah itu melalui kekuatan adhitthana nya? Adakah sumber dari Jataka yg mengatakan demikian? Dan 1 lagi, apakah Jataka Theravada dengan Jataka Mahayana adalah sama?

Kalo mengatakan hak prerogatif, apa yg menjadi hak prerogatif? Yang menentukan smua ini tidak lain adalah kekuatan karmanya. DAlam RAPB menyebutkan tentang alam peta juga. Ini memang saya tambahkan utk menegaskan saja.
Ketidak konsistenan antara Parami bodhisatta dengan kelahiran di alam rendah dalam RAPB saya sendiri belum tahu apa alasan dan penjelasan nya. Mungkin rekan yg pakar Theravada dapat membantu menjelaskannya.

Adalah wajar bila nanti penjelasannya tidak sepenuhnya sama dengan pandangan Mahayana. Intinya kita sama2 berbagi wawasan di sini.

Kelahiran di alam rendah seorang bodhisatva dalam Mahayana tidaklah karena kelahiran dalam tataran konvensional, karena tidak mungkin ketika sudah membangkitkan Abhinihara dan membangun Parami yg terus maju masih bisa terjadi   kemerosotan. Kemerosotan dalam jalan bodhisatva memang ada tapi jenis bodhisatva ini dapat terjadi sebelum mendapat ramalan (Vyakarana) dari seorang Buddha. Kalo sudah diramal , maka tidak ada kemerosotan lagi, tidak tergoyahkan lagi. Seperti yg tertulis juga dalam RAPB yg telah dikutipkan sebelumnya .

Avatamsaka Sutra mengatakan, "[Bodhisatva mampu] bermanifestasi tak terhingga aktifitas kemuliaan dan memasuki ke semua alam kehidupan para makhluk hidup, mengetahui tindakan2 semua makhluk hidup, ini disebut Kemurnian Upaya Kausalya Paramita" .
Tapi dalam Jataka Theravada tidak ada konsep demikian, makanya mengapa masih mengatakan bodhisatva masih terlahir di alam rendah karena karma yang dilakukannya.

Jataka Theravada tentu dianggap tak terpisahkan dalam Mahayana, karena semuanya adalah ajaran dari Guru Buddha yang harus dijunjungi.  Kemudian Jataka mahayana juga ada﹐ dan cukup banyak juga, seperti dalam Liudu Ji Jing (Kumpulan Enam Paramita), XianYuJing, BeiHuaJing, PusaBenYuanJing, PusaBenxingJing, dan lain sebagainya.

[/spoiler]
Soal privilege seorang Bodhisattva, oleh Bro Chingik dikatakan "Yang menentukan smua ini tidak lain adalah kekuatan karmanya." Kira2 apa ya mksdnya? Bisa diperjelas? Secara saya takut salah berasumsi. :)

Konsistensi: Mungkin ini dapat kita kesampingkan sementara krn konsitensi itu subjektif tergantung pandangan masing2. Dan yg jelas perbedaan tentu ada dalam penjelasannya, makanya bisa muncul aliran2 yg berbeda krn perbedaan persepsi. Setuju utk cukup berbagi wawasan saja. Tapi saya menyarankan Bro Chingik utk melempar pertanyaan tsb ke Board Theravada juga. ;)

Berarti Jataka Theravada berbeda dengan Jataka Mahayana ya? Di mana Jataka Mahayana mencakup Jataka Theravada dan ada Jataka di luar yg tdk diketemukan dalam Jataka Theravada? Jika Jataka Theravada = T. Maka Jataka Mahayana ibarat M = T+a ???
Dengan demikian, inkonsistensi dalam Jataka Theravada mungkin sekali dapat dikatakan sbg inkonsistensi dalam Jataka Mahayana juga? (secara Jataka Mahayana juga mencakup Jataka Theravada)

[spoiler=jataka pangeran mahasatva]
Quote from: chingik on 19 December 2009, 03:59:25 PM
Quote from: marcedes on 19 December 2009, 11:32:19 AM
pertanyaan saya dari thread dulu saya donkkk

jataka pangeran mahasatva yang "membunuh" seorang Pembunuh dalam kapal yang hendak membunuh 500 orang..
kemanakah Abhinna-nya apabila telah mencapai pencerahan sempurna?
macet atau gimana?

kan katanya...

QuoteAvatamsaka Sutra mengatakan, "[Bodhisatva mampu] bermanifestasi tak terhingga aktifitas kemuliaan dan memasuki ke semua alam kehidupan para makhluk hidup, mengetahui tindakan2 semua makhluk hidup, ini disebut Kemurnian Upaya Kausalya Paramita"

kalau di lihat dari sisi hidup seorang Buddha, sejak kapan Buddha mengambil jalan MEMBUNUH, demi menyelamatkan makhluk hidup...
apa mau di tutup dengan penjelasan singkat "upaya kausalya"

dan lagi yg belum ada jawaban sampai sekarang ini.
"buat apa buddha berakting lupa cara pencapaiannya?, menahan lapar hingga luar biasa sampai hampir mati"...jujur menurut gw itu kebodohan luar biasa.

apakah ini upaya kausalya lagi?

Mengenai bodhisatva membunuh perampok di atas kapal , tentu harus diteliti kronologinya.   
Apapun pertimbangan bodhisatva, semua dilandasi oleh rasa welas asih kepada semua makhluk termasuk kepada orang jahat sekali pun. Inilah inti yg ingin dikemukakan dalam Sutra ini. Lalu bagaimana bodhisatva mengembangkan welas asih nya saat berhadapan dengan situasi ini? Pada saat itu, 500 pedagang yg menjadi sasaran pembuhunan oleh perampok itu adalah orang2 yg telah mengembangkan Cita2 Menjadi Buddha yang batinnya telah teguh tidak mengalami kemerosotan lagi. Bodhisatva pada saat itu mengetahui potensi 500 orang ini. Kemudian beliau menyelidiki lagi, apa yang terjadi bila perampok ini membunuh ke500 orang itu, setelah diselidiki ternyata bila perampok itu membunuh 1 saja akan terjatuh ke alam neraka , apalagi membunuh 500 orang itu ternyata perampok itu akan mengalami kelahiran di alam neraka avici yg tak terhingga deritanya. Kemudian Bodhisatva menyelidiki lagi bahwa apabila perampok itu benar melakukan tindakan membunuh 500 orang itu, justru dia yang akan terbunuh dan akibatnya 500 orang itu akan terlahir di alam neraka karena telah membunuh perampok itu, dengan kata lain kedua belah pihak akan terjatuh ke neraka.
Bodhisatva mengetahui tidak ada jalan lain, maka atas dasar belas kasih pada kedua belah pihak tidak mungkin seorang bodhisatva berpangku tangan. Karena bodhisatva tahu sudah tidak ada cara lain, maka atas dasar welas asih kepada semuanya, satu2nya jalan adalah membunuh perampok itu. Dan setelah membuat pilihan ini, perampok dan 500 pedagang itu sama2 terbebas dari resiko terlahir di alam neraka. 
Di sini dapat dipetik kesimpulan:
1. Bodhisatva utk apa ingin melibatkan diri, jika bukan atas dasar welas asih? 
2. Kalo orang awam mungkin akan pura2 ga tahu, masa bodoh. Atau bila mau melibatkan diri, mungkin dia akan melapor dulu kepada 500 pedagang, bukankah akan membuat 500 pedagang itu balik membunuh yg akibatnya semuanya akan terlahir di neraka?
3. Hanya orang yg mengetahui buah karma yg terjadi di masa yg akan datang baru dapat mengambil keputusan jalan mana yg dipilih. Oleh karena itu, kasus ini tidak bisa digerenalisasi bahwa berarti setiap orang bisa melakukannya.   

Mengapa ini disebut Upaya Kausalya? Inilah salah satu dari Parami seorang bodhisatva. Mengapa tidak menggunakan Dana Parami? Kalo bisa, ya sudah pasti dilakukan. Ada hal2 tertentu yg tidak bisa langsung menggunakan dana parami, misalnya mengorbankan diri kepada perampok, hasilnya justru membuatnya terjatuh ke neraka, dan lain sebagainya. Karena Bodhisatva tidak pernah berhenti mencari cara2 yg sesuai, maka salah satu jalan itu adalah Upaya kausalya. Dan karena akibat dari tindakan itu justru membuat mereka terbebaskan dari derita, maka ini bukan tindakan yang melanggar sila. TEtapi harus diingat bahwa bila kita tidak memiliki abhinna utk mengetahui akibat2 yg terjadi di masa yg akan datang, maka kita tidak pantas menggeneralisi bhw tindakan ini bisa dilakukan oleh siapa saja. 

[/spoiler]
Setuju bahwa tdk dpt digeneralisir. Tapi, spt pendapat Acek Ganteng Ganjen Ryu, menurut saya membunuh bukan satu-satunya cara. Bisa saja perampok tsb ditangkap bukan? Trus diikat.. Mungkin awalnya jika perlu, Bodhisattva memberitahu pd 500 orang lalu bersama2 mereka gebuk rame-rame dulu hingga perampok kelenger baru diiket? :D

[spoiler=privilege Bodhisattva]
Quote from: chingik on 19 December 2009, 08:15:44 PM

Memang di Sutra ini ada menyebutkan bodhisatva sudah tidak memiliki opsi lain.
Memang kata membunuh adalah harga mati yg harus dihindari bagi seorang Theravadin. Tetapi Mahayana memandang segala sesuatu tidak bisa dipatok mati, ada kasus2 tertentu pd kondisi tertentu yg ketika digunakan, belum tentu buruk akibatnya.

Contoh nya tidak semua racun berarti mematikan. Bahkan ada racun yg menyembuhkan, jika digunakan pd takaran yg tepat.
TEtapi sekali lagi ingat baik-baik!! tidak ada manusia awam yg mampu melakukan tindakan seperti sang bodhisatva, mengapa? karena makhluk awam tidak mampu menyelidiki sampai sedetilnya hubungan sebab akibat yg sangat halus, maka tidak ada alasan bagi makhluk awam melakukan tindakan membunuh dengan alasan apapun, karena ketidak tahuannya.
Tapi bukan berarti Bodhisatva bebas membunuh atau boleh membunuh. Jika pola pikir anda seperti wartawan, maka anda akan memberitakannya seperti itu. haha..



[/spoiler]
Di sini yg saya tanyakan cuma bagian paragraf pertama, selebihnya setuju. :)
"Memang di Sutra ini ada menyebutkan bodhisatva sudah tidak memiliki opsi lain."
Di Sutra? Atau mksd Bro Chingik adl Jataka? Di bagian mana ya dikatakan demikian? Kalo bisa tolong kutipkan cerita selengkapnya, saya tidak memiliki sourcenya.

"Memang kata membunuh adalah harga mati yg harus dihindari bagi seorang Theravadin."
Di sini yg jadi pertanyaan, bukankah dalam Theravada malah bodhisatta masih dapat membunuh sehingga jelas membunuh bukan harga mati, dan pembunuhan yg dilakukan bodhisatta dalam Jataka Theravada oleh Bro Chingik dikatakan salah 1 bentuk inkonsistensi dalam Jataka Theravada?

Dengan demikian, kesimpulan menurut yg saya lihat, perbedaan dari tindakan membunuh yg dilakukan Bodhisatta dalam Jataka Theravada dng Bodhisattva dalam Jataka Mahayana adalah:
Bodhisatta yg melakukan pembunuhan melakukan perbuatan buruk (akusala kamma) dan akibatnya akan menuai akusala kamma vipaka. Ini sebabnya Bodhisatta masih dapat terlahir di alam rendah sbg hewan. Sementara Bodhisattva yg melakukan pembunuhan bukanlah perbuatan buruk sehingga tidak ada akusala karma vipaka. Dan kelahiran di alam rendah hanya salah 1 upaya kausalya Bodhisattva. Cmiiw. :)

Mettacittena
appamadena sampadetha

adi lim

Quote from: ryu on 19 December 2009, 08:55:20 PM
btw lagi ngomongin sutra yang mana ya, aye kaga tau ;D

cari tahu aja, ntar urusan panjang lagi
_/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

GandalfTheElder

Quote from: Jerry on 20 December 2009, 01:05:44 AM
Wah telat.. Sampe mana kemaren? ;D

Soal privilege seorang Bodhisattva, oleh Bro Chingik dikatakan "Yang menentukan smua ini tidak lain adalah kekuatan karmanya." Kira2 apa ya mksdnya? Bisa diperjelas? Secara saya takut salah berasumsi. :)

Konsistensi: Mungkin ini dapat kita kesampingkan sementara krn konsitensi itu subjektif tergantung pandangan masing2. Dan yg jelas perbedaan tentu ada dalam penjelasannya, makanya bisa muncul aliran2 yg berbeda krn perbedaan persepsi. Setuju utk cukup berbagi wawasan saja. Tapi saya menyarankan Bro Chingik utk melempar pertanyaan tsb ke Board Theravada juga. ;)

Berarti Jataka Theravada berbeda dengan Jataka Mahayana ya? Di mana Jataka Mahayana mencakup Jataka Theravada dan ada Jataka di luar yg tdk diketemukan dalam Jataka Theravada? Jika Jataka Theravada = T. Maka Jataka Mahayana ibarat M = T+a ???
Dengan demikian, inkonsistensi dalam Jataka Theravada mungkin sekali dapat dikatakan sbg inkonsistensi dalam Jataka Mahayana juga? (secara Jataka Mahayana juga mencakup Jataka Theravada)

Yap, seperti kata anda, bahwa konsistensi itu subjektif, demikian juga menurut pandangan Mahayana. Bila ada inkonsistensi dalam Jataka Theravada belum tentu dipandang inkonsistensi oleh Mahayana. Seperti yang lalu dikatakan, Mahayana berusaha merekonsiliasi 18 sekte yang terpecah belah, maka dari itu segala inkonsistensi dari aliran-aliran tersebut, baik antar aliran atau dalam tubuh aliran itu sendiri, menjadi konsisten dalam Mahayana.

Yap. Jataka yang murni Mahayana sebenarnya adalah Jatakamala dan ada beberapa yang lain. Selebihnya adalah Jataka Sarvastivada yaitu Divyavadana, Jataka Mahasanghika yaitu Mahavastu, Avadanakalpalata dari Mulasarvastivada. Semuanya dianggap valid oleh Mahayana dan diterima.

QuoteSetuju bahwa tdk dpt digeneralisir. Tapi, spt pendapat Acek Ganteng Ganjen Ryu, menurut saya membunuh bukan satu-satunya cara. Bisa saja perampok tsb ditangkap bukan? Trus diikat.. Mungkin awalnya jika perlu, Bodhisattva memberitahu pd 500 orang lalu bersama2 mereka gebuk rame-rame dulu hingga perampok kelenger baru diiket? :D

Kalau perampoknya pinter kungfu dan kuat, terus gila kaya pembunuh di 'Texas Chainsaw', 'Black Christmas' atau 'Wrong Turn' gt gimana? kayanya meskipun digebukin sampai klenger pun, kegilaan membunuhnya tidak akan berakhir, bahkan mungkin malah menjadi-jadi. Bahkan mungkin sangking pinternya, pas digebukin ia berhasil melarikan diri, berenang sampai di pantai dan akhirnya mencelakai kapal tetangga. Who knows?..hehe...

QuoteSaya selalu salut pd Bro Gandalf yg meski masih muda tetapi cukup dewasa dan berlapang hati dalam berdiskusi. Semoga mendapat respon yg sama dr teman diskusinya. Namaste

Semoga demikianlah selalu adanya.. Sadhu3x...  _/\_  _/\_

Quote[at] Bro Gandalf:
Bodhisattva bhumi ke-7 seharusnya identik dengan arhat kan sbgmn ada dlm pernyataan ini bahwa seorang arhat telah terbebas dr dualisme lahir, berbeda dg anagamin?
"...Kelahiran Anagamin masih terikat dengan dualisme lahir, sedangkan kelahiran seorang Bodhisattva Bhumi ketujuh itu, sudah lepas dari apa yang namanya dualisme kemenjadian saja..."

Tetapi dicompare dg bagian ini koq terasa kontra-produktif ya? Atau saya kurang mengerti?
Sebgmn tertuang dlm pernyataan pencapaian arhat "Kelahiranku telah diakhiri. Kehidupan suci telah ditegakkan. Apa yang dikerjakan telah dikerjakan. Tiada lagi kelahiran." Demikian menurut Bro Gandalf adl deskripsi pencapaian Bodhisattva bhumi ke-6 dalam kalimat ini:
"...Bahkan dalam Dasabhumika Sutra, kutipan Agama Sanskrit di atas mendeksripsikan pencapaian Bodhisattva bhumi keenam.."

Jadi, manakah yg benar? Seorang arhat itu adl Bodhisattva Bhumi ke-7 atau ke-6?
Anumodana jawabannya. Namaste

Dua-duanya benar, tapi dalam Mahayana ada dikenal dua atau tiga tipe pembagian bhumi Bodhisattva. Semuanya tidak bertentangan satu sama lain, hanya saja pembagian tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria yang berbeda.

Dalam pembagian Bhumi Bodhisattva menurut Dasabhumika Sutra, Arhat dikatakan sederajat dengan Bodhisattva tingkat 6. Dalam tipe pembagian yang lain, Arhat adalah Bodhisattva tingkat 7. Perbedaan tingkat ini bukan pertentangan, tetapi dikarenakan kriteria memasukkan pencapaian Bodhisattva ke dalam tingkat tertentu berbeda antara kedua tipe. Jadi pencapaian bhumi keenam dimasukkan ke dalam bhumi ketujuh pada tipe tingkatan yang lain. Jadi seseorang harus tahu terlebih dahulu konteksnya.

Ok. Saya masih utang 'Dasabhumika Sutra" yah...  ;) ;)

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

truth lover

Quote from: chingik on 19 December 2009, 01:23:25 PM
Quote from: bond on 19 December 2009, 09:53:38 AM
Menarik sekali....

Saya juga ada pertanyaan karena minimnya pengetahuan saya tentang jataka dari Theravada dan Mahayana.

Apa yang saya mengerti bodhisatta terlahir menjadi hewan adalah karena hasil kamma lalu. Kalau menurut mahayana Bodhisatva terlahir menjadi hewan karena adhitana dan bukan kelahiran konvensional, itu yg saya tangkap maksudnya CMIIW.

Nah pertanyaannya.

1. Jika seorang bodhisatta terlahir menjadi hewan bisakah menjadi Harimau atau binatang carnivora?

2. apakah hewan carnivora memakan binatang lain menimbulkan kamma buruk juga.?

3. Jika boddhisatta ketika menjadi binatang, dan kelihatannya binatang yg istimewa memiliki welas asih terhadap makhluk lainnya dan dalam jataka pun terlihat memiliki kesadaran khusus. Maka pertanyaanya adalah ketika menjadi Harimau atau binatang carnivora lainnya( jika memang pernah terlahirkan sebagai carnivora) maka dimana ke-welas asihan sebagai bodhistava yg memiliki keistimewaan kesadaran welas asih ketika menjadi binatang?

Pertanyaan ini saya ajukan kepada kedua belah pihak yaitu pihak Theravada dan Mahayana juga, sehingga ada perbandingan yang comprehensif dalam satu thread ini.

Mettacitena. _/\_
1。 Sebagai makhluk agung , bodhisatva bukan terlahir dalam arti terjatuh ke alam rendah. TEtapi karena memiliki kesadaran istimewa dari hasil praktik parami nya , Beliau mampu beremanasi ke berbagai alam kehidupan, termasuk alam hewan sebagai harimau, dan tidak akan menyakiti makhluk lainnya.

2. Hewan saling memakan itu termasuk karma buruk. Makanya sulit dan langka baginya utk terlahir di alam baik.

3. Karena bodhisatva telah mengembangkan paraminya maka tentu dalam wujud hewan pun memiliki sifat welas asih, karena pada hakikatnya bodhisatva sudah tidak melekat pd wujud apalagi fisik. Terlihat dalam wujud hewan, tapi batinnya selalu "terjaga". Jadi dia mempertunjukkan dapat hidup berdampingan dengan hewan lainnya. Kadang tujuannya bukan hanya ingin memberi manfaat pada sesama hewan, bahkan dapat menyadarkan manusia. Pada kondisi tertentu, manusia yg melihat binatang buas memiliki sifat baik, manusia akan tersadarkan bahwa yg buas saja bisa memiliki sifat baik, sebagai manusia jg sharusnya mengembangkannya. Inilah Parami yg dikembangkan bodhisatva dalam wujud hewan.



Mas chingik, hewan saling memangsa itu karma buruk, bagaimana dengan vegetarian? bukankah seharusnya Bodhisatwa selalu vegetarian? Sebagai harimau atau singa apakah Bodhisatwa vegetarian atau tidak?
The truth, and nothing but the truth...

truth lover

Quote
Quote from: Jerry on 20 December 2009, 01:05:44 AM
Wah telat.. Sampe mana kemaren? ;D

Soal privilege seorang Bodhisattva, oleh Bro Chingik dikatakan "Yang menentukan smua ini tidak lain adalah kekuatan karmanya." Kira2 apa ya mksdnya? Bisa diperjelas? Secara saya takut salah berasumsi. :)

Konsistensi: Mungkin ini dapat kita kesampingkan sementara krn konsitensi itu subjektif tergantung pandangan masing2. Dan yg jelas perbedaan tentu ada dalam penjelasannya, makanya bisa muncul aliran2 yg berbeda krn perbedaan persepsi. Setuju utk cukup berbagi wawasan saja. Tapi saya menyarankan Bro Chingik utk melempar pertanyaan tsb ke Board Theravada juga. ;)

Berarti Jataka Theravada berbeda dengan Jataka Mahayana ya? Di mana Jataka Mahayana mencakup Jataka Theravada dan ada Jataka di luar yg tdk diketemukan dalam Jataka Theravada? Jika Jataka Theravada = T. Maka Jataka Mahayana ibarat M = T+a ???
Dengan demikian, inkonsistensi dalam Jataka Theravada mungkin sekali dapat dikatakan sbg inkonsistensi dalam Jataka Mahayana juga? (secara Jataka Mahayana juga mencakup Jataka Theravada)

Yap, seperti kata anda, bahwa konsistensi itu subjektif, demikian juga menurut pandangan Mahayana. Bila ada inkonsistensi dalam Jataka Theravada belum tentu dipandang inkonsistensi oleh Mahayana. Seperti yang lalu dikatakan, Mahayana berusaha merekonsiliasi 18 sekte yang terpecah belah, maka dari itu segala inkonsistensi dari aliran-aliran tersebut, baik antar aliran atau dalam tubuh aliran itu sendiri, menjadi konsisten dalam Mahayana.

Yap. Jataka yang murni Mahayana sebenarnya adalah Jatakamala dan ada beberapa yang lain. Selebihnya adalah Jataka Sarvastivada yaitu Divyavadana, Jataka Mahasanghika yaitu Mahavastu, Avadanakalpalata dari Mulasarvastivada. Semuanya dianggap valid oleh Mahayana dan diterima.

QuoteSetuju bahwa tdk dpt digeneralisir. Tapi, spt pendapat Acek Ganteng Ganjen Ryu, menurut saya membunuh bukan satu-satunya cara. Bisa saja perampok tsb ditangkap bukan? Trus diikat.. Mungkin awalnya jika perlu, Bodhisattva memberitahu pd 500 orang lalu bersama2 mereka gebuk rame-rame dulu hingga perampok kelenger baru diiket? :D

Kalau perampoknya pinter kungfu dan kuat, terus gila kaya pembunuh di 'Texas Chainsaw', 'Black Christmas' atau 'Wrong Turn' gt gimana? kayanya meskipun digebukin sampai klenger pun, kegilaan membunuhnya tidak akan berakhir, bahkan mungkin malah menjadi-jadi. Bahkan mungkin sangking pinternya, pas digebukin ia berhasil melarikan diri, berenang sampai di pantai dan akhirnya mencelakai kapal tetangga. Who knows?..hehe...

QuoteSaya selalu salut pd Bro Gandalf yg meski masih muda tetapi cukup dewasa dan berlapang hati dalam berdiskusi. Semoga mendapat respon yg sama dr teman diskusinya. Namaste

Semoga demikianlah selalu adanya.. Sadhu3x...  _/\_  _/\_

Quote[at] Bro Gandalf:
Bodhisattva bhumi ke-7 seharusnya identik dengan arhat kan sbgmn ada dlm pernyataan ini bahwa seorang arhat telah terbebas dr dualisme lahir, berbeda dg anagamin?
"...Kelahiran Anagamin masih terikat dengan dualisme lahir, sedangkan kelahiran seorang Bodhisattva Bhumi ketujuh itu, sudah lepas dari apa yang namanya dualisme kemenjadian saja..."

Tetapi dicompare dg bagian ini koq terasa kontra-produktif ya? Atau saya kurang mengerti?
Sebgmn tertuang dlm pernyataan pencapaian arhat "Kelahiranku telah diakhiri. Kehidupan suci telah ditegakkan. Apa yang dikerjakan telah dikerjakan. Tiada lagi kelahiran." Demikian menurut Bro Gandalf adl deskripsi pencapaian Bodhisattva bhumi ke-6 dalam kalimat ini:
"...Bahkan dalam Dasabhumika Sutra, kutipan Agama Sanskrit di atas mendeksripsikan pencapaian Bodhisattva bhumi keenam.."

Jadi, manakah yg benar? Seorang arhat itu adl Bodhisattva Bhumi ke-7 atau ke-6?
Anumodana jawabannya. Namaste

Dua-duanya benar, tapi dalam Mahayana ada dikenal dua atau tiga tipe pembagian bhumi Bodhisattva. Semuanya tidak bertentangan satu sama lain, hanya saja pembagian tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria yang berbeda.

Dalam pembagian Bhumi Bodhisattva menurut Dasabhumika Sutra, Arhat dikatakan sederajat dengan Bodhisattva tingkat 6. Dalam tipe pembagian yang lain, Arhat adalah Bodhisattva tingkat 7. Perbedaan tingkat ini bukan pertentangan, tetapi dikarenakan kriteria memasukkan pencapaian Bodhisattva ke dalam tingkat tertentu berbeda antara kedua tipe. Jadi pencapaian bhumi keenam dimasukkan ke dalam bhumi ketujuh pada tipe tingkatan yang lain. Jadi seseorang harus tahu terlebih dahulu konteksnya.
Ok. Saya masih utang 'Dasabhumika Sutra" yah...  ;) ;)

_/\_
The Siddha Wanderer

Untuk menghindari kekisruhan, harus ditulis bahwa Arhat yang dimaksud disini adalah Arhat versi Mahayana, bukan Arahat versi Theravada.

Pada versi Theravada, Arahat tingkat kesuciannya sama dengan Sammasambuddha maupun Paccekabuddha, tetapi pada Mahayana Arhat sama dengan Bodhisatwa tingkat ke 6-7.

Pada versi Mahayana Bodhisatwa (tingkat 8-10) adalah mahluk suci yang lebih tinggi daripada Arahat, tetapi pada versi Theravada Bodhisatva masih putthujana, belum suci.

jadi sebaiknya jangan dicampur adukkan.
The truth, and nothing but the truth...

bond

Quote
Mas chingik, hewan saling memangsa itu karma buruk, bagaimana dengan vegetarian? bukankah seharusnya Bodhisatwa selalu vegetarian? Sebagai harimau atau singa apakah Bodhisatwa vegetarian atau tidak?

Katanya pernah jadi singa, dan makan hanya makanan sisa dari hewan carnivora pemburu lain. Tapi setelah disearch belum ada referensi yang menunjukan bodhisatta sebagai singa makan bangkai. Yg ada adalah ikut memburu.  Sehingga kesimpulan bodhisatta sebagai singa tidak membunuh sepertinya hanya pembenaran berdasarkan asumsi belaka, karena tidak ada referensi mendukung.

Bagi saya wajar2 sajalah kalau bodhisatta jadi singa masih memburu(namanya juga sifat naluri alami binatang). Atau disatu kesempatan ada perampok lalu kepepet membunuh, sekalipun cara itu tidak benar tetapi itu bisa menjadi tindakan yg bijaksana.

[at] all

Contoh dalam sutta, dimana ada seorang pelacur menolong seorang pria dan menikahinya. Tetapi pria ini berniat jahat untuk menguasai harta benda si wanita pelacur ini. Dan kemudian Pria ini mengajak sang wanita ke tepi jurang dengan suatu alasan(lupa) . Dan kemudian si pria itu meminta perhiasan wanita itu dan ingin membunuhnya. Lalu wanita itu ingin memberikan semuanya asal tidak ingin dibunuh tetapi si pria tetap bersikeras utk membunuhnya juga. Sehingga si wanita memberikan syarat sebelum perhiasannya diambil dan dibunuh, ia meminta agar mengelilingi pria itu sebagai penghormatan kepada pria itu yg sebagai suaminya. Tepat ketika dibelakang pria itu si wanita langsung mendorong si pria itu ke jurang.

Dari kisah ini sang Buddha memuji kebijaksanaan wanita itu, walaupun ada kamma yg harus diterima. Tetapi itu ada kemendesakan.

Kembali cerita boddhisatta membunuh perampok, kita tak tahu persis kejadiannya. Saya rasa wajar2 saja. Contoh saja, apakah seorang Hitler harus dibiarkan begitu saja ketika menginvasi negara2 tetangganya? saya rasa kalo ada bodhisatta yg ilmu gaibnya masih cetek juga pasti ikut perang  ^-^


Kalau saya menjalankan tekad menjadi boddhisatta sebisa mungkin perundingan tapi kalau kepepet harus membunuh Hitler, saya akan bunuh dia, kecuai gue sakti bisa nyantet dia  menghindari korban lebih banyak :)). Tapi kalau tujuan sekarang saya jadi arahat, jawabanya emang gua pikirin si Hitler, mending masuk hutan dan bertapa. Tapi jangan dibilang arahat egois, itu sudah pilihan, kalau bukan saya yg bunuh masih ada yg lain. beda dengan bodhisatta ada pertimbangan pendapatan parami. Jadi melihat permasalahan ini harus sesuai pilihan yg dipilih, nilai kewajaran yg alami dari sifat hukum semesta, dan proposionalitas. Bukan asumsi2 mati dan tidak jelas.

Kita beragama wajar2 sajalah. Bodhisatta pasti ada pertimbangan, kalau membunuh satu dan menyelamatkan 500 orang. Anggap saja 1 karma buruk sebagai hutang dengan keselamatan 500 orang sebagai piutang 1 :500 masih untungkan dalam pengumpulan parami  ^-^. Kecuali memang niatnya ngak mau ikut campur.
Masalahnya tidak dalam semua kelahiran bodhisatta memiliki ilmu gaib/kesaktian.


Kalau membunuh tidak boleh dan menjadi harga mati, maka bagaimana saat bodhisatta minum, kan ada juga tuh bakteri2nya termasuk arahat yg masih hidup kan juga masih makan. Bukankah itu juga termasuk membunuh?

IMO be wise sajalah menyikapi definisi membunuh...
_/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

marcedes

#142
Quote from: chingik on 19 December 2009, 03:59:25 PM
Quote from: marcedes on 19 December 2009, 11:32:19 AM
pertanyaan saya dari thread dulu saya donkkk

jataka pangeran mahasatva yang "membunuh" seorang Pembunuh dalam kapal yang hendak membunuh 500 orang..
kemanakah Abhinna-nya apabila telah mencapai pencerahan sempurna?
macet atau gimana?

kan katanya...

QuoteAvatamsaka Sutra mengatakan, "[Bodhisatva mampu] bermanifestasi tak terhingga aktifitas kemuliaan dan memasuki ke semua alam kehidupan para makhluk hidup, mengetahui tindakan2 semua makhluk hidup, ini disebut Kemurnian Upaya Kausalya Paramita"

kalau di lihat dari sisi hidup seorang Buddha, sejak kapan Buddha mengambil jalan MEMBUNUH, demi menyelamatkan makhluk hidup...
apa mau di tutup dengan penjelasan singkat "upaya kausalya"

dan lagi yg belum ada jawaban sampai sekarang ini.
"buat apa buddha berakting lupa cara pencapaiannya?, menahan lapar hingga luar biasa sampai hampir mati"...jujur menurut gw itu kebodohan luar biasa.

apakah ini upaya kausalya lagi?

Mengenai bodhisatva membunuh perampok di atas kapal , tentu harus diteliti kronologinya.    
Apapun pertimbangan bodhisatva, semua dilandasi oleh rasa welas asih kepada semua makhluk termasuk kepada orang jahat sekali pun. Inilah inti yg ingin dikemukakan dalam Sutra ini. Lalu bagaimana bodhisatva mengembangkan welas asih nya saat berhadapan dengan situasi ini? Pada saat itu, 500 pedagang yg menjadi sasaran pembuhunan oleh perampok itu adalah orang2 yg telah mengembangkan Cita2 Menjadi Buddha yang batinnya telah teguh tidak mengalami kemerosotan lagi. Bodhisatva pada saat itu mengetahui potensi 500 orang ini. Kemudian beliau menyelidiki lagi, apa yang terjadi bila perampok ini membunuh ke500 orang itu, setelah diselidiki ternyata bila perampok itu membunuh 1 saja akan terjatuh ke alam neraka , apalagi membunuh 500 orang itu ternyata perampok itu akan mengalami kelahiran di alam neraka avici yg tak terhingga deritanya. Kemudian Bodhisatva menyelidiki lagi bahwa apabila perampok itu benar melakukan tindakan membunuh 500 orang itu, justru dia yang akan terbunuh dan akibatnya 500 orang itu akan terlahir di alam neraka karena telah membunuh perampok itu, dengan kata lain kedua belah pihak akan terjatuh ke neraka.
Bodhisatva mengetahui tidak ada jalan lain, maka atas dasar belas kasih pada kedua belah pihak tidak mungkin seorang bodhisatva berpangku tangan. Karena bodhisatva tahu sudah tidak ada cara lain, maka atas dasar welas asih kepada semuanya, satu2nya jalan adalah membunuh perampok itu. Dan setelah membuat pilihan ini, perampok dan 500 pedagang itu sama2 terbebas dari resiko terlahir di alam neraka.  
Di sini dapat dipetik kesimpulan:
1. Bodhisatva utk apa ingin melibatkan diri, jika bukan atas dasar welas asih?  
2. Kalo orang awam mungkin akan pura2 ga tahu, masa bodoh. Atau bila mau melibatkan diri, mungkin dia akan melapor dulu kepada 500 pedagang, bukankah akan membuat 500 pedagang itu balik membunuh yg akibatnya semuanya akan terlahir di neraka?
3. Hanya orang yg mengetahui buah karma yg terjadi di masa yg akan datang baru dapat mengambil keputusan jalan mana yg dipilih. Oleh karena itu, kasus ini tidak bisa digerenalisasi bahwa berarti setiap orang bisa melakukannya.    

Mengapa ini disebut Upaya Kausalya? Inilah salah satu dari Parami seorang bodhisatva. Mengapa tidak menggunakan Dana Parami? Kalo bisa, ya sudah pasti dilakukan. Ada hal2 tertentu yg tidak bisa langsung menggunakan dana parami, misalnya mengorbankan diri kepada perampok, hasilnya justru membuatnya terjatuh ke neraka, dan lain sebagainya. Karena Bodhisatva tidak pernah berhenti mencari cara2 yg sesuai, maka salah satu jalan itu adalah Upaya kausalya. Dan karena akibat dari tindakan itu justru membuat mereka terbebaskan dari derita, maka ini bukan tindakan yang melanggar sila. TEtapi harus diingat bahwa bila kita tidak memiliki abhinna utk mengetahui akibat2 yg terjadi di masa yg akan datang, maka kita tidak pantas menggeneralisi bhw tindakan ini bisa dilakukan oleh siapa saja.  

yang saya tanyakan adalah mana ABHINNA-nya....org yg sudah menguasai abhinna tertinggi mencapai pencerahan sempurna, dalam RAPB Dewa mara di Vasavatti saja di taklukkan,, bayangkan jumlah nya yang mencapai 10 ribu alam semesta bersama pengikutnya di taklukkan oleh BUDDHA...(telah mencapai pencerahan sempurna)
jumlah dewa hingga 10 ribu alam semesta vs 1...

ini cuma seorang perampok?
mana kesaktian-nya? 1 doank saja...pakai opsi membunuh,bahkan melibatkan diri hingga menimbulkan akusala-vipaka..
sungguh kelihatan aneh.

ini ibarat 1 pendekar ternama Wong Fei Hung, mampu mengatasi 1000 orang prajurit dengan sekali tendangan tanpa bayangan..^^
tapi...lawan 1 orang rakyat jelita pencuri mangga saja....mesti pakai 1000 jurus untuk menang...blom lagi apabila ditambahkan lagi WFH bertarung dengan sengit melawan pencuri mangga...
jelas saja aneh 100%

atas dasar welas asih?...mengapa tidak menggunakan ikat tali saja dengan kesaktian..

tolong sekalian di jawabn yang ini

Quotedan lagi yg belum ada jawaban sampai sekarang ini.
"buat apa buddha berakting lupa cara pencapaiannya?, menahan lapar hingga luar biasa sampai hampir mati"...jujur menurut gw itu kebodohan luar biasa.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

marcedes

#143
saya tambahkan juga....

dalam beberapa bukti bahwa Boddhisatta itu tidak memiliki kemampuan ( pencerahan sempurna )
sedangkan dalam Boddhisattva itu memiliki kemampuan ( pencerahan sempurna )

selebih nya seperti yg dikatakan bro jerry.

QuoteDengan demikian, kesimpulan menurut yg saya lihat, perbedaan dari tindakan membunuh yg dilakukan Bodhisatta dalam Jataka Theravada dng Bodhisattva dalam Jataka Mahayana adalah:
Bodhisatta yg melakukan pembunuhan melakukan perbuatan buruk (akusala kamma) dan akibatnya akan menuai akusala kamma vipaka. Ini sebabnya Bodhisatta masih dapat terlahir di alam rendah sbg hewan. Sementara Bodhisattva yg melakukan pembunuhan bukanlah perbuatan buruk sehingga tidak ada akusala karma vipaka. Dan kelahiran di alam rendah hanya salah 1 upaya kausalya Bodhisattva. Cmiiw.
dan tambahan lagi,menurut mahayana
apapun yg dilakukan boddhisatva...baik / buruk, hina / terpandang... semua itu upaya kausalya...

_/\_


Quote from: bond on 20 December 2009, 11:07:33 AM
Quote
Mas chingik, hewan saling memangsa itu karma buruk, bagaimana dengan vegetarian? bukankah seharusnya Bodhisatwa selalu vegetarian? Sebagai harimau atau singa apakah Bodhisatwa vegetarian atau tidak?

Katanya pernah jadi singa, dan makan hanya makanan sisa dari hewan carnivora pemburu lain. Tapi setelah disearch belum ada referensi yang menunjukan bodhisatta sebagai singa makan bangkai. Yg ada adalah ikut memburu.  Sehingga kesimpulan bodhisatta sebagai singa tidak membunuh sepertinya hanya pembenaran berdasarkan asumsi belaka, karena tidak ada referensi mendukung.

Bagi saya wajar2 sajalah kalau bodhisatta jadi singa masih memburu(namanya juga sifat naluri alami binatang). Atau disatu kesempatan ada perampok lalu kepepet membunuh, sekalipun cara itu tidak benar tetapi itu bisa menjadi tindakan yg bijaksana.

[at] all

Contoh dalam sutta, dimana ada seorang pelacur menolong seorang pria dan menikahinya. Tetapi pria ini berniat jahat untuk menguasai harta benda si wanita pelacur ini. Dan kemudian Pria ini mengajak sang wanita ke tepi jurang dengan suatu alasan(lupa) . Dan kemudian si pria itu meminta perhiasan wanita itu dan ingin membunuhnya. Lalu wanita itu ingin memberikan semuanya asal tidak ingin dibunuh tetapi si pria tetap bersikeras utk membunuhnya juga. Sehingga si wanita memberikan syarat sebelum perhiasannya diambil dan dibunuh, ia meminta agar mengelilingi pria itu sebagai penghormatan kepada pria itu yg sebagai suaminya. Tepat ketika dibelakang pria itu si wanita langsung mendorong si pria itu ke jurang.

Dari kisah ini sang Buddha memuji kebijaksanaan wanita itu, walaupun ada kamma yg harus diterima. Tetapi itu ada kemendesakan.

Kembali cerita boddhisatta membunuh perampok, kita tak tahu persis kejadiannya. Saya rasa wajar2 saja. Contoh saja, apakah seorang Hitler harus dibiarkan begitu saja ketika menginvasi negara2 tetangganya? saya rasa kalo ada bodhisatta yg ilmu gaibnya masih cetek juga pasti ikut perang  ^-^


Kalau saya menjalankan tekad menjadi boddhisatta sebisa mungkin perundingan tapi kalau kepepet harus membunuh Hitler, saya akan bunuh dia, kecuai gue sakti bisa nyantet dia  menghindari korban lebih banyak :)). Tapi kalau tujuan sekarang saya jadi arahat, jawabanya emang gua pikirin si Hitler, mending masuk hutan dan bertapa. Tapi jangan dibilang arahat egois, itu sudah pilihan, kalau bukan saya yg bunuh masih ada yg lain. beda dengan bodhisatta ada pertimbangan pendapatan parami. Jadi melihat permasalahan ini harus sesuai pilihan yg dipilih, nilai kewajaran yg alami dari sifat hukum semesta, dan proposionalitas. Bukan asumsi2 mati dan tidak jelas.

Kita beragama wajar2 sajalah. Bodhisatta pasti ada pertimbangan, kalau membunuh satu dan menyelamatkan 500 orang. Anggap saja 1 karma buruk sebagai hutang dengan keselamatan 500 orang sebagai piutang 1 :500 masih untungkan dalam pengumpulan parami  ^-^. Kecuali memang niatnya ngak mau ikut campur.
Masalahnya tidak dalam semua kelahiran bodhisatta memiliki ilmu gaib/kesaktian.


Kalau membunuh tidak boleh dan menjadi harga mati, maka bagaimana saat bodhisatta minum, kan ada juga tuh bakteri2nya termasuk arahat yg masih hidup kan juga masih makan. Bukankah itu juga termasuk membunuh?

IMO be wise sajalah menyikapi definisi membunuh...
_/\_

masalahnya di sutra dikatakan Boddhisatva itu sudah mencapai pencerahan sempurna dalam kurung tak terhitung lama-nya....memiliki pencerahan dan statusnya adalah guru dari savaka buddha dan paccekabuddha.

Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Indra

Quote from: bond on 20 December 2009, 11:07:33 AM
Quote
Mas chingik, hewan saling memangsa itu karma buruk, bagaimana dengan vegetarian? bukankah seharusnya Bodhisatwa selalu vegetarian? Sebagai harimau atau singa apakah Bodhisatwa vegetarian atau tidak?

Katanya pernah jadi singa, dan makan hanya makanan sisa dari hewan carnivora pemburu lain. Tapi setelah disearch belum ada referensi yang menunjukan bodhisatta sebagai singa makan bangkai. Yg ada adalah ikut memburu.  Sehingga kesimpulan bodhisatta sebagai singa tidak membunuh sepertinya hanya pembenaran berdasarkan asumsi belaka, karena tidak ada referensi mendukung.

Bagi saya wajar2 sajalah kalau bodhisatta jadi singa masih memburu(namanya juga sifat naluri alami binatang). Atau disatu kesempatan ada perampok lalu kepepet membunuh, sekalipun cara itu tidak benar tetapi itu bisa menjadi tindakan yg bijaksana.


Mr. Bond, anda nakal sekali membuat saya terpaksa membaca 5 kitab Jataka tebal2 terbitan ITC. Komentar saya sebelumnya adalah karena saya teringat pada Jataka 397 (MANOJA-JATAKA), dimana Bodhisatta yg terlahir sebagai seekor singa memilik anak bernama Manoja yg setiap hari melakukan perburuan dan membawakan dagingnya untuk orang tua dan adiknya.

namun, setelah melakukan speed reading lebih lanjut, saya menemukan:

Jataka 157 (GUNA-JATAKA), Sang Bodhisatta yg saat itu terlahir sebagai seekor singa terperosok dan tenggelam dalam lumpur ketika sedang berburu rusa. seekor serigala datang dan menyelamatkannya, dan untuk membalas budi kepada serigala, Bodhisatta singa membunuh seekor kerbau dan memberikannya kepada serigala ...

Jataka 143 (VIROCANA-JATAKA), Bodhisatta adalah seekor singa jantan yang menetap di Gua Emas di Himalaya. Suatu hari ia meloncat turun dari sarangnya, melihat ke utara, selatan, barat dan timur, dan mengaum dengan keras. kemudian ia membunuh seekor kerbau besar, melahap bagian yg terbaik dari bangkai itu ....

------------------
ini sekaligus mengoreksi postingan saya sebelumnya.

_/\_

GandalfTheElder

QuoteUntuk menghindari kekisruhan, harus ditulis bahwa Arhat yang dimaksud disini adalah Arhat versi Mahayana, bukan Arahat versi Theravada.

Pada versi Theravada, Arahat tingkat kesuciannya sama dengan Sammasambuddha maupun Paccekabuddha, tetapi pada Mahayana Arhat sama dengan Bodhisatwa tingkat ke 6-7.

Pada versi Mahayana Bodhisatwa (tingkat 8-10) adalah mahluk suci yang lebih tinggi daripada Arahat, tetapi pada versi Theravada Bodhisatva masih putthujana, belum suci.

jadi sebaiknya jangan dicampur adukkan.

La wong ini bahasnya di forum Mahayana, ya jelas secara / menurut Mahayana dong..hehe....

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

GandalfTheElder

QuoteMr. Bond, anda nakal sekali membuat saya terpaksa membaca 5 kitab Jataka tebal2 terbitan ITC.

Ah masa sih?? Di daftar isinya kan ada ringkasan ceritanya  :))  :))

QuoteKomentar saya sebelumnya adalah karena saya teringat pada Jataka 397 (MANOJA-JATAKA), dimana Bodhisatta yg terlahir sebagai seekor singa memilik anak bernama Manoja yg setiap hari melakukan perburuan dan membawakan dagingnya untuk orang tua dan adiknya.

namun, setelah melakukan speed reading lebih lanjut, saya menemukan:

Jataka 157 (GUNA-JATAKA), Sang Bodhisatta yg saat itu terlahir sebagai seekor singa terperosok dan tenggelam dalam lumpur ketika sedang berburu rusa. seekor serigala datang dan menyelamatkannya, dan untuk membalas budi kepada serigala, Bodhisatta singa membunuh seekor kerbau dan memberikannya kepada serigala ...

Jataka 143 (VIROCANA-JATAKA), Bodhisatta adalah seekor singa jantan yang menetap di Gua Emas di Himalaya. Suatu hari ia meloncat turun dari sarangnya, melihat ke utara, selatan, barat dan timur, dan mengaum dengan keras. kemudian ia membunuh seekor kerbau besar, melahap bagian yg terbaik dari bangkai itu ....

Dalam kitab Mahavastu dikatakan Sang Bodhisattva pernah terlahir menjadi singa dan Yasodhara sebagai macan betina yang saling berpasangan satu sama lain.

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Indra

#147
Quote from: GandalfTheElder on 20 December 2009, 01:55:53 PM

Ah masa sih?? Di daftar isinya kan ada ringkasan ceritanya  :))  :))


daftar isi hanya untuk search keyword "singa", detailnya tetap harus baca full.

makanya kalo bikin buku sebaiknya sertakan halaman index untuk memudahkan mencari. seperti buku2 terbitan DC press gitu loh

GandalfTheElder

Quotedan tambahan lagi,menurut mahayana
apapun yg dilakukan boddhisatva...baik / buruk, hina / terpandang... semua itu upaya kausalya...

Belum tentu.

Yang bisa melakukan upaya kauslaya adalah Bodhisattva yang pencerahannya lebih tinggi daripada seorang Arhat.

Kalau masih Bhumi 1 -6, amit-amit deh mau upaya kausalya. Kalau masih Bhumi 1 - 6 alias masih rendah dari Arhat, maka segala tindakan akusala Sang Bodhisattva ya tetep akusala.

Quotemasalahnya di sutra dikatakan Boddhisatva itu sudah mencapai pencerahan sempurna dalam kurung tak terhitung lama-nya....memiliki pencerahan dan statusnya adalah guru dari savaka buddha dan paccekabuddha.

Sudah dijelaskan bahwa sudah tercerahkan sejak masa lalu, itu hanya perumpamaan bagi Dharmakaya saja, jadi ya tidak secara harafiah diartikan sudah tercerahkan sejak masa lampau.

Seperti kita2 ini makhluk samsara, ada perumpamaan mengatakan bahwa "kita dulu sebenarnya adalah Buddha", nah ini apa diharafiahkan bahwa dulu kita sudah jadi Samyaksambuddha? Ya tentu bukan kan? Maksud dari perumpamaan itu adalah kita seharusnya kembali ke "asal" yaitu Dharmakaya. Dikatakan karena pikiran menciptakan semua fenomena, maka pikiran yang tersubtil dan tercerahkan itu, dianggap / diumpamakan sebagai sebuah "asal". Nah pikiran yang tercerahkan sempurna itu identik dengan "mencapai Dharmakaya".

Masa jalurnya Samyaksambuddha - Bodhisattva - Samyaksambuddha. Ini lucu bin aneh.

Yang bener adalah Sravakabuddha - Bodhisattva - Samyaksambuddha. Ini baru bener.

Maka kalau dikatakan "Bodhisattva kembali dari Nirvana" itu ya bukan dari Nirvana Samyasambuddha (Apratishtita Nirvana), tetapi "kembali" dari Nirvana Sravaka Arhat (Anupadisesa Nirvana).

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

chingik

#149
 
Quote from: marcedes on 20 December 2009, 11:10:11 AM
Quote from: chingik on 19 December 2009, 03:59:25 PM
Quote from: marcedes on 19 December 2009, 11:32:19 AM
pertanyaan saya dari thread dulu saya donkkk

jataka pangeran mahasatva yang "membunuh" seorang Pembunuh dalam kapal yang hendak membunuh 500 orang..
kemanakah Abhinna-nya apabila telah mencapai pencerahan sempurna?
macet atau gimana?

kan katanya...

QuoteAvatamsaka Sutra mengatakan, "[Bodhisatva mampu] bermanifestasi tak terhingga aktifitas kemuliaan dan memasuki ke semua alam kehidupan para makhluk hidup, mengetahui tindakan2 semua makhluk hidup, ini disebut Kemurnian Upaya Kausalya Paramita"

kalau di lihat dari sisi hidup seorang Buddha, sejak kapan Buddha mengambil jalan MEMBUNUH, demi menyelamatkan makhluk hidup...
apa mau di tutup dengan penjelasan singkat "upaya kausalya"

dan lagi yg belum ada jawaban sampai sekarang ini.
"buat apa buddha berakting lupa cara pencapaiannya?, menahan lapar hingga luar biasa sampai hampir mati"...jujur menurut gw itu kebodohan luar biasa.

apakah ini upaya kausalya lagi?

Mengenai bodhisatva membunuh perampok di atas kapal , tentu harus diteliti kronologinya.    
Apapun pertimbangan bodhisatva, semua dilandasi oleh rasa welas asih kepada semua makhluk termasuk kepada orang jahat sekali pun. Inilah inti yg ingin dikemukakan dalam Sutra ini. Lalu bagaimana bodhisatva mengembangkan welas asih nya saat berhadapan dengan situasi ini? Pada saat itu, 500 pedagang yg menjadi sasaran pembuhunan oleh perampok itu adalah orang2 yg telah mengembangkan Cita2 Menjadi Buddha yang batinnya telah teguh tidak mengalami kemerosotan lagi. Bodhisatva pada saat itu mengetahui potensi 500 orang ini. Kemudian beliau menyelidiki lagi, apa yang terjadi bila perampok ini membunuh ke500 orang itu, setelah diselidiki ternyata bila perampok itu membunuh 1 saja akan terjatuh ke alam neraka , apalagi membunuh 500 orang itu ternyata perampok itu akan mengalami kelahiran di alam neraka avici yg tak terhingga deritanya. Kemudian Bodhisatva menyelidiki lagi bahwa apabila perampok itu benar melakukan tindakan membunuh 500 orang itu, justru dia yang akan terbunuh dan akibatnya 500 orang itu akan terlahir di alam neraka karena telah membunuh perampok itu, dengan kata lain kedua belah pihak akan terjatuh ke neraka.
Bodhisatva mengetahui tidak ada jalan lain, maka atas dasar belas kasih pada kedua belah pihak tidak mungkin seorang bodhisatva berpangku tangan. Karena bodhisatva tahu sudah tidak ada cara lain, maka atas dasar welas asih kepada semuanya, satu2nya jalan adalah membunuh perampok itu. Dan setelah membuat pilihan ini, perampok dan 500 pedagang itu sama2 terbebas dari resiko terlahir di alam neraka.  
Di sini dapat dipetik kesimpulan:
1. Bodhisatva utk apa ingin melibatkan diri, jika bukan atas dasar welas asih?  
2. Kalo orang awam mungkin akan pura2 ga tahu, masa bodoh. Atau bila mau melibatkan diri, mungkin dia akan melapor dulu kepada 500 pedagang, bukankah akan membuat 500 pedagang itu balik membunuh yg akibatnya semuanya akan terlahir di neraka?
3. Hanya orang yg mengetahui buah karma yg terjadi di masa yg akan datang baru dapat mengambil keputusan jalan mana yg dipilih. Oleh karena itu, kasus ini tidak bisa digerenalisasi bahwa berarti setiap orang bisa melakukannya.    

Mengapa ini disebut Upaya Kausalya? Inilah salah satu dari Parami seorang bodhisatva. Mengapa tidak menggunakan Dana Parami? Kalo bisa, ya sudah pasti dilakukan. Ada hal2 tertentu yg tidak bisa langsung menggunakan dana parami, misalnya mengorbankan diri kepada perampok, hasilnya justru membuatnya terjatuh ke neraka, dan lain sebagainya. Karena Bodhisatva tidak pernah berhenti mencari cara2 yg sesuai, maka salah satu jalan itu adalah Upaya kausalya. Dan karena akibat dari tindakan itu justru membuat mereka terbebaskan dari derita, maka ini bukan tindakan yang melanggar sila. TEtapi harus diingat bahwa bila kita tidak memiliki abhinna utk mengetahui akibat2 yg terjadi di masa yg akan datang, maka kita tidak pantas menggeneralisi bhw tindakan ini bisa dilakukan oleh siapa saja.  

yang saya tanyakan adalah mana ABHINNA-nya....org yg sudah menguasai abhinna tertinggi mencapai pencerahan sempurna, dalam RAPB Dewa mara di Vasavatti saja di taklukkan,, bayangkan jumlah nya yang mencapai 10 ribu alam semesta bersama pengikutnya di taklukkan oleh BUDDHA...(telah mencapai pencerahan sempurna)
jumlah dewa hingga 10 ribu alam semesta vs 1...

ini cuma seorang perampok?
mana kesaktian-nya? 1 doank saja...pakai opsi membunuh,bahkan melibatkan diri hingga menimbulkan akusala-vipaka..
sungguh kelihatan aneh.

ini ibarat 1 pendekar ternama Wong Fei Hung, mampu mengatasi 1000 orang prajurit dengan sekali tendangan tanpa bayangan..^^
tapi...lawan 1 orang rakyat jelita pencuri mangga saja....mesti pakai 1000 jurus untuk menang...blom lagi apabila ditambahkan lagi WFH bertarung dengan sengit melawan pencuri mangga...
jelas saja aneh 100%

atas dasar welas asih?...mengapa tidak menggunakan ikat tali saja dengan kesaktian..

tolong sekalian di jawabn yang ini

Quotedan lagi yg belum ada jawaban sampai sekarang ini.
"buat apa buddha berakting lupa cara pencapaiannya?, menahan lapar hingga luar biasa sampai hampir mati"...jujur menurut gw itu kebodohan luar biasa.

Abhinna tidak selalu efektif. Lihat saja sendiri Sang Buddha kadang kala menggunakan abhinna kadang2 tidak. Mengapa? ya begitu juga bodhisatva. Semua harus dilihat secara substansial, efektifitas dan  hubungan sebab akibat.  

Menahan lapar luar biasa sampai hampir mati, itu bukan bodoh. Justru ini ingin ditunjukkan bahwa bodhisatta memiliki usaha kuat dan gigih. Ini ingin ditunjukkan bahwa tidak ada yg bisa berhasil tanpa usaha keras. SEmua tindak tanduk bodhisatta ada maksudnya dan utk mengajar orang. Dengan usaha itu lalu tidak berhasil, bodhisatta mempertunjukkan bahwa lihatlah dgn cara ini adalah gagal. SEmua ditunjukkan melalui tindakan, bukan ngajar secara teori saja . Inilah cara bijak bodhisatta. Dan tindakan ini jg mencerminkan bodhisatta tidak memiliki kemelekatan lagi, hingga menahan lapar tidak benar2 menggoyahkan batinnya. Inilah tindakan yg secara substansial bertujuan utk mengajar para makhluk. Menurut mahayana, tindakan ini kemudian dapat lebih meyakini kpd para pertapa ekstrim bahwa Sang Buddha pun bukan orang yg mencapai pencerahan tanpa usaha, bahkan melebihi para pertapa itu.