TATUNG : PENGHARAPAN AKAN KEHARMONISAN
TATUNG : PENGHARAPAN AKAN KEHARMONISAN
KEHARMONISAN HIDUP BERSAMA
melihat parade tatung atau tangki di Asia Tenggara yang melibatkan
dewa-dewa lokal atau juga para leluhur lokal.
Apa yang terbayang dalam pikiran kita ?
Apakah suatu parade atau show ? Atau suatu hal yang memiliki nilai
lebih tinggi daripada sekedar upacara pembersihan dan pengusiran
roh-roh jahat ?
Upacara yang menjijikkan ?
Orang Tionghoa adalah pendatang di suatu daerah, seperti misalnya
Singkawang. Dan mereka mayoritas harus berjuang melawan kerasnya hidup.
Belum lagi gesekan dengan penduduk sekitarnya yang pasti ada dan tidak
bisa dihindari, hanya ukuran besar atau kecil dan bagaimana meredamnya
sehingga bisa membuat suatu keharmonisan hidup bersama.
Para datuk, mbah, yang menjadi salah satu bagian utama parade para
tatung/tangsin di Capgome adalah ritual pengharapan dan keinginan dari
orang Tionghoa untuk hidup harmonis dengan penduduk sekitarnya.
Penghormatan kepada para datuk dan mbah menurut cara ala Tionghoa
adalah suatu cara untuk menggapai masyarakat yang harmonis.
Tentunya juga kita tidak bisa menghindari adanya masyarakat non
Tionghoa yang ikut parade para tatung seperti yang kita lihat di
Singkawang. Ada panglima suku Dayak ( Khanayath ? ) yang ikut
berpartisipasi dan terlihat muka non etnis Tionghoa yang juga turut
berparade.
Bahkan ada yang mengatakan etnis non Dayak dan Tionghoa juga ikut
berparade dalam ritual keharmonisan tersebut.
Walau secara umum, parade dalam keadaan trance bukan merupakan budaya
etnis Dayak, tapi dengan partisipasi dari sebagian suku Dayak sudah
menunjukkan sikap yang bersahabat.
Bukankah itu adalah hal yang indah dan menjadi suatu aspek dalam
budaya Tionghoa ?
Yang sayangnya terjadi hal2 menurut saya agak melecehkan aspek
keharmonisan itu.
Parade Capgome yang bertujuan menyelaraskan dan membangun suatu bentuk
keharmonisan menjadi tercela karena sudah menjadi show yang bersifat
komersial..
Contohnya adalah datuk Kxxxxx yang terlihat seperti dari etnis Dayak,
tapi dalam film Capgome terlihat apa yang digunakan itu bukan menjadi
ciri khas Dayak. Dalam film dokumenter datuk tersebut, terlihat jelas
cara yang digunakan memiliki kemiripan dengan cara Chinese mediumship
untuk trance, walau tidak mirip 100 %.
Parade yang penuh dengan tengkorak, peti mati yang jelas peti mati
teratai ciri khas etnis Tionghoa seolah2 terlihat menjadi milik Dayak.
Saya menjadi terheran2 melihat cara tersebut, apakah komersialisasi
festival Capgome yang menyebabkannya ?
KERINDUAN AKAN LELUHUR
Parade tatung yang penuh dengan aneka warna bendera2 dan joli yang
mewakili dewa, membuat saya sendiri bingung karena banyak dewa2 yang
tidak dikenal atau masuk kedalam list perdewaan Tiongkok.
Saya jadi berpikir apakah "dewa" itu adalah para leluhur orang
Tionghoa di Singkawang itu sendiri ?
Maklum karena kata "dewa" dalam khasanah bahasa Mandarin itu memiliki
banyak sebutan tapi di bahasa Indonesia secara umum disebut dewa.
Yang menjadi unik adalah saya tidak melihat adanya dewa bernama
Shanshan Guowang ikut parade tersebut. Amat mengherankan karena
Shanshan Guowang adalah dewa pelindung etnis Khe dan mayoritas di
Singkawang adalah etnis Khe.
Apakah terjadinya pergeseran sehingga mereka lebih mengarahkan kepada
leluhur Tionghoa Singkawang saja ?
Saya rasa ada yg bertanya, kenapa leluhur Tionghoa Singkawang bisa
menjadi dewa ? Dalam pengertian "perdewaan" Tiongkok, sering tokoh
lokal menjadi dewa. Baik tokoh lokal itu adalah tokoh yang berjasa
atau juga orang yang meninggal dalam keadaan tragis.
Karena itu saya melihat parade para Tatung adalah kerinduan akan
leluhur, jika kita gunakan kata lain, penghormatan kepada leluhur.
Kita yang ikut dalam team Tatung hunter dan temling, bisa melihat
banyak dewa2 yang menurut ukuran "Tiongkok" agak berbeda, sebagai
contoh adalah Dalie Xianshi atau juga dewa pemburu. Apakah dewa
tersebut adalah tokoh pemburu setempat atau dewa kreasi Tionghoa
Singkawang ? Ini perlu diteliti lebih lanjut. Tapi sayangnya, seperti
dalam banyak agama rakyat / minjian xinyang, text books, sacred books,
pencatatan itu tidak dibuat dengan rapih. Semua diwariskan melalui oral.
Ini yang menurut saya akan membuat banyak missing links ketika kita
mau melihat lebih mendalam tentang para tatung, terutama di Asia Tenggara.
PEWARISAN AJARAN KEHIDUPAN
Agama mainstream atau zhengtong zhonggjiao tidak merambah secara
mendalam kedalam sendi2 kehidupan masyarakat pedesaan di Tiongkok.
Para tangsin memiliki peran yaitu sebagai pengajar moral atau juga
mengajarkan nilai2 religiousitas yang tentunya menurut aliran
mainstream agak menyimpang.
Tapi dalam faktanya, para tangsin memiliki peran pemegang moralitas
dan pelindung bagi kehidupan masyarakat.
Jika ada tangsin yang memberi nomor buntut/judi, itu adalah ekses dari
lepasnya atau kekurangtahuan akan moralitas secara kuat. Tapi kita
jangan juga berpandangan buruk akan hal itu. Religiousitas Tionghoa
lebih kearah kehidupan realistis daripada berbicara afterlife. Dimana
hal itu juga kita bisa lihat dalam kertas shoujin/swi kim yang
dibakar. Fu adalah rejeki, Lu adalah terpandang/dihargai /kekuasaan dan
Shou adalah panjang umur.
Inilah religiusitas yang realistis dan dijaga oleh norma2
kemasyarakatan dan moralitas di ajaran Ru, Dao dan Shi.
PANDANGAN PRIBADI
melihat terjadinya komersialisasi dan juga miskinnya sebagian tatung
yang kita temui, membuat saya berkerut dan berpikir, hingga berapa
lama nilai2 luhurnya bertahan ?
Teringat akan perayaan Zhihai Zhenren di Indramayu, Xuantiang Shangdi
di Lasem, Guangzhi Zunwang di Bojonegoro. Keharmonisan penduduk
setempat terlihat amat indah, mereka yang pribumi banyak yang ikut
ritual atau perayaan dan tidak dibungkus oleh nilai2 komersil.
Akankah hal ini bertahan di Singkawang ?
Ardian