//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Manusia  (Read 20201 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Manusia
« Reply #30 on: 02 December 2008, 11:35:15 AM »
 [at] upasaka, Kainyn, hendriko : udah pada mantab2 nih.......

muditacitta utk semangat anda semua  _/\_

 [at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam buddhism

semoga rekan lain lebih bisa menjelaskan daripada saya  _/\_

Offline sukma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 294
  • Reputasi: 0
Re: Manusia
« Reply #31 on: 02 December 2008, 01:57:49 PM »
Kepada Kainyn_Kutho, hatRed,
hendrako markosprawira
upasaka, tolong saya siapkan makalah ini sesudh reply ini kita baru bahas.
Lanjutan hubungan jiwa – badan dan pengamatan indriawi. 

 [at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam Buddhism . Khusus pesan dari Karkos akan saya amati.



Sentuhan suatu titik kecil pada kulit di reply kemarin bukan tidak ketahuan oleh jiwa, atau tidak tersembunyi bagi jiwa, menjadi penting baginya untuk menerangkan seluruh pengamatan indriawi. Proses pengamatan indriawi ini berlangsung karena ada kerja sama antara pengaruh obyek dari luar pada indra yang bersangkutan dan perhatian yang hidup atau barangkali boleh dikatakan kesiapsiagaan jiwa dalam badan. Karena kesiapsiagaan itu suatu perubahan dalam salah satu organ indra yang diakibatkan oleh salah satu obyek bukan tidak ketahuan oleh jiwa ; dan harus ditambah bahwa perbuatan itu bukan tidak ketahuan langsung, dan tidak melalui pengaruh dari suatu yang lain.

Ambil contoh yang berikut ini ;

Kita melihat asap, maka kita berkesimpulan, bahwa ada apinya. Tentu saja adanya asap itu kita ketahui melalui indra penglihat, dan tentang adanya api itu juga dapat dikatakan bahwa kita mengetahuinya melalui indra penglihat. Tetapi, untuk mengetahui adanya asap sudah cukup organ penglihat itu dipengaruhi dan diubah, perubahan yang dari dirinya sendiri diketahui oleh jiwa, sedangkan tentang api itu pengenalan tidak sama langsung, karena selaian perubahan dalam organ indra diperlukan juga suatu Penalaran Raional, yang menimbulkan kesimpulan, bahwa jikalau ada asap, maka mesti ada api juga yang mengakibatkan asap tersebut.

Jadi, untuk kedua jenis pengenalan itu perubahan dalam organ –oleh pengarug asap- adalah suatu syarat yang perlu terpenuhi. Tetapi untuk pengenalan jenis yang pertama terpenuhinya syarat itu sudah cukup juga, agar kesiapsiagaan jiwa terhadapnya diaktifkan, sedangkan untuk jenis pengenalan yang kedua, syarat itu belum cukup untuk menghasilkan dalam jiwa pengenalan tentang adanya api, karena untuk itu selain
Perubahan dalam organ dan kesiapsiagaan jiwa masih diperlukan juga : Penalaran Rasional.

Dan perbedan antarakedua jenis pengenalan itu memperlihatkan bahwa dan mengapa jenis pengenalan yang pertama adalah “Pengamatan Indrawi”, dan jenis pengenalan yang kedua adalah “Pengenalan Rasional”. Seluruh perbedaan antara kedua jenis pengenalan itu ialah bahwa pengenalan indrawi adalah suatu perubahan dalam organ badani yang dari dirinya sendiri bukan tidak ketahuan oleh jiwa, sedangkan pengenalan rasional sebagai titik tolak dapat memakai pengenalan indrawi, tetapi atas tingkatnya sendiri antara perubahan dalam organ badani dan timbulnya pengenalan harus menyisipkan Keaktifan Rasio.

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Manusia
« Reply #32 on: 02 December 2008, 02:11:41 PM »
sebenarnya, menurut Buddhism, konsep Jiwa yang sekarang beredar di masyarakat, salah kaprah.

karena Buddhism menganggap AKU adalah fantasi, begitu pula Jiwa.

Konsep jiwa yang ada di masyarakat mungkin lebih kearah roh, setan, hantu, atau dalam istilah TInya adalah Software dan raganya adalah Hardware.

menurut Buddhism hal ini adalah salah, karena roh/hantu/setan bukan terlahir dari manusia yang mati, tetapi adalah salah satu bentuk kehidupan lain, seperti Kehidupan manusia mengganggap kehidupan binatang, atau kehidupan para dewa.

dan juga ada anggapan dewa dewi sekarang selalu bersejarah manusia, sehingga manusia menggambarkan dewa/dewi seperti manusia. padahal layaknya roh tersebut, alam dewa adalah bentuk kehidupan lain.

Jadi kalau boleh menyimpulkan, Dalam Buddhism kehidupan hanya dikenal satu kali saja dalam satu masa di alam kehidupan. jadi tidak kontinue.

hal ini saya utarakan menanggapi pernyataan bahwa tumimbal lahir bukan suatu proses kelanjutan dari kehidupan sebelumnya.

tetapi yang membuat bingung adalah seseorang dapat mengenal kehidupan beliau yang lampau. atas dasar apa ia mengetahui itu adalah kehidupan dia yang lampau, bukan orang lain?
i'm just a mammal with troubled soul



Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Manusia
« Reply #33 on: 02 December 2008, 02:29:21 PM »
Kepada Kainyn_Kutho, hatRed,
hendrako markosprawira
upasaka, tolong saya siapkan makalah ini sesudh reply ini kita baru bahas.
Lanjutan hubungan jiwa – badan dan pengamatan indriawi. 

 [at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam Buddhism . Khusus pesan dari Karkos akan saya amati.



Sentuhan suatu titik kecil pada kulit di reply kemarin bukan tidak ketahuan oleh jiwa, atau tidak tersembunyi bagi jiwa, menjadi penting baginya untuk menerangkan seluruh pengamatan indriawi. Proses pengamatan indriawi ini berlangsung karena ada kerja sama antara pengaruh obyek dari luar pada indra yang bersangkutan dan perhatian yang hidup atau barangkali boleh dikatakan kesiapsiagaan jiwa dalam badan. Karena kesiapsiagaan itu suatu perubahan dalam salah satu organ indra yang diakibatkan oleh salah satu obyek bukan tidak ketahuan oleh jiwa ; dan harus ditambah bahwa perbuatan itu bukan tidak ketahuan langsung, dan tidak melalui pengaruh dari suatu yang lain.

Ambil contoh yang berikut ini ;

Kita melihat asap, maka kita berkesimpulan, bahwa ada apinya. Tentu saja adanya asap itu kita ketahui melalui indra penglihat, dan tentang adanya api itu juga dapat dikatakan bahwa kita mengetahuinya melalui indra penglihat. Tetapi, untuk mengetahui adanya asap sudah cukup organ penglihat itu dipengaruhi dan diubah, perubahan yang dari dirinya sendiri diketahui oleh jiwa, sedangkan tentang api itu pengenalan tidak sama langsung, karena selaian perubahan dalam organ indra diperlukan juga suatu Penalaran Raional, yang menimbulkan kesimpulan, bahwa jikalau ada asap, maka mesti ada api juga yang mengakibatkan asap tersebut.

Jadi, untuk kedua jenis pengenalan itu perubahan dalam organ –oleh pengarug asap- adalah suatu syarat yang perlu terpenuhi. Tetapi untuk pengenalan jenis yang pertama terpenuhinya syarat itu sudah cukup juga, agar kesiapsiagaan jiwa terhadapnya diaktifkan, sedangkan untuk jenis pengenalan yang kedua, syarat itu belum cukup untuk menghasilkan dalam jiwa pengenalan tentang adanya api, karena untuk itu selain
Perubahan dalam organ dan kesiapsiagaan jiwa masih diperlukan juga : Penalaran Rasional.

Dan perbedan antarakedua jenis pengenalan itu memperlihatkan bahwa dan mengapa jenis pengenalan yang pertama adalah “Pengamatan Indrawi”, dan jenis pengenalan yang kedua adalah “Pengenalan Rasional”. Seluruh perbedaan antara kedua jenis pengenalan itu ialah bahwa pengenalan indrawi adalah suatu perubahan dalam organ badani yang dari dirinya sendiri bukan tidak ketahuan oleh jiwa, sedangkan pengenalan rasional sebagai titik tolak dapat memakai pengenalan indrawi, tetapi atas tingkatnya sendiri antara perubahan dalam organ badani dan timbulnya pengenalan harus menyisipkan Keaktifan Rasio.

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.


Ketika orang melihat asap, kesadaran mata menangkap bentuk. Kemudian pikiran mengenali asap tersebut, yang berdasarkan ingatan (bentuk pikiran lampau).
Bagi seorang yang memiliki kecenderungan pada asap kebanyakan berasal dari api kebakaran, maka ia menduganya demikian.
Bagi seorang yang memiliki kecenderungan pada asap kebanyakan berasal dari bakar sate, maka ia menduganya demikian.
Bagi seorang yang memiliki kecenderungan pada pengenalan jenis asap (apakah warnanya, baunya, besarnya, intensitasnya), maka ia menganalisa lebih jauh berdasarkan input lebih lanjut.

lalu.... di mana jiwanya? perannya yang mana?

Kembali lagi, jika asap itu ada di depan orang buta (yang tidak merasakan asapnya, ataupun mencium baunya), apakah jiwanya mengetahui asap?

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Manusia
« Reply #34 on: 02 December 2008, 07:07:16 PM »
Mari kita ikuti keyakinan "jika jiwa pengendara , dan tubuh adalah kendaraannya" apa saja konsekuensinya...

1. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, maka kita seharusnya menguasai seluruh tubuh kita tanpa perkecualian. Misalnya, kita seharusnya bisa mengendalikan kapan organ tubuh kita sesuka kita. Kita bisa memperlambat dan mempercepat jantung ataupun ginjal, usus dan sebagainya sesuai dengan kemauan kita. Kita juga yang harusnya menentukan kapan kita mati kapan tidak. Tapi bukankah dalam kenyataan hal ini tidak terjadi?

2. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, seharusnya jiwa bisa melihat cara kerja tubuh secara transparan apa adanya. Misalnya saat kita melihat, maka harusnya kita bisa melihat gerak organ mata kita dan proses yang berlangsung di dalam organ mata itu sendiri. Atau saat berpikir, seharusnya jiwa dapat melihat otak yang sedang bekerja. Tapi bukankah dalam kenyataan hal ini tidak terjadi?


3. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, seharusnya jiwa dapat meninggalkan tubuh sesukanya ia mau dan kemudian kembali lagi saat ia inginkan tanpa adanya suatu usaha khusus apa pun. Tapi bukankah dalam kenyataan hal ini tidak terjadi?


4. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, kemana perginya jiwa saat seseorang tidur atau pingsan?

5. Jika jiwa itu pengendara  dan tubuh adalah kendaraannya, mengapa manusia dapat bermimpi?  Saat itu apakah jiwa sedang meninggalkan tubuhnya? Jika ia mengapa ia berada dalam dunia antah berantah yang misterius.

6. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, mengapa kerusakan tubuh menyebabkan kerusakan pada aspek tertentu pada psikologis. Misalnya orang yang mengalami kerusakan bagian otak tertentu, kemudian kehilangan ingatan masa lalunya, apakah jiwa orang tersebut juga rusak? Pada orang tua yang pikun, kemana perginya jiwa yang abadi itu?

7. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, mengapa saat tubuh kita sakit, perasaan dan pikiran kita menjadi terganggu juga. Hal ini membuktikan bahwa tubuh kadangkala justru menjadi faktor yang mempengaruhi tubuh dan pikiran kita.

8. Jika jiwa itu pengendara dan tubuh adalah kendaraannya, maka seharusnya kita dapat mengendalikan perasaan dan pikiran kita semau kita dengan mudah tanpa adanya suatu usaha tertentu. Jiwa itu bisa mengatakan pada dirinya ia ingin marah atau bahagia sesukanya tanpa rintangan apapun. Ia bisa menentukan apa yang mau ia pikirkan atau ia yakini secara semena-mena tanpa adanya usaha apapun. Asumsinya jika jiwa itu adalah tuan bagi dirinya sendiri, maka ia berkuasa sepnuhnya atas apa yang dilakukan olehnya. Tapi pada kenyataannya "jiwa" seringkali hanya menjadi korban atau efek dari kondisi-kondisi di sekitarnya ataupun tubuhnya sendiri. Dalam hidup kita, seberapa seringkah "jiwa" kita menguasai diri kita sendiri?

Memperhatikan kedelapan alasan di atas, saya melihat bahwa jiwa dan tubuh tidaklah sama dengan pengendara dengan kendaraannya. Jika jiwa yang anda maksudkan sama dengan "aku yang mengendalikan segala sesuatu di dalam tubuh", maka saya katakan hal tersebut hanya ilusi belaka.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Manusia
« Reply #35 on: 03 December 2008, 05:23:40 PM »
Karena keterbatasan pikiran manusia, muncullah JIWA

karena keterbatasan pikiran manusia, muncullah ALAM BAWAH SADAR

karena keterbatasan pikiran manusia, muncullah TUHAN

Offline hendrako

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.244
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
Re: Manusia
« Reply #36 on: 04 December 2008, 12:46:13 AM »

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.


Yang dimaksud dengan jiwa diatas adalah yang disebut nama di dalam Buddhism,

Seperti yang telah diungkapkan oleh Bro Kainyn_Kutho ;
Di dalam Buddhism, yang disebut dengan mahluk adalah terdiri dari nama dan rupa (pancakhanda),

LIMA KHANDHA
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :

   1. Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
   2. Sañña = Pencerapan.
   3. Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
   4. Vedanä = Perasaan.
   5. Viññana = Kesadaran.

Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan nama. Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. :

   1. Rupa
      Kita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita.
   2. Viññana (citta)
      Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
   3. Sañña
      Rangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
   4. Sankhära
      Rangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
   5. Vedanä
      Dengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita.

Proses mental ini berlangsung sbb. :

Kesadaran   >   Pencerapan   >   Pikiran   >   Perasaan.


Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa.

Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=691&hal=2&cont=intisari2-2.html&path=&hmid=

Jadi Nama atau batin diuraikan oleh Sang Buddha menjadi beberapa bagian, namun sebenarnya hanya kelihatannya saja berbeda karena ke-empat bagian tersebut adalah satu yaitu batin. Nama atau batin inilah yang sering disalah-persepsikan sebagai jiwa, roh, atau diri yang kekal.

Di dalam contoh melihat asap, yang bekerja tidak hanya jasmani/tubuh/rupa atau hanya batin, namun keduanya bekerja bersama-sama.
Tanpa organ mata yang aktif maka kesadaran mata tidak ada, tanpa ingatan dan persepsi maka tidak ada pengenalan bentuk tersebut sebagai asap. Tanpa bentuk2 pikiran yang sekaligus bekerja sama dengan ingatan maka tidak ada perkiraan bahwa ada api yang menyebabkan asap.

Jadi, yang dimaksud sebagai "pengenalan rasional" dan "keaktifan jiwa" adalah Nama atau batin.





yaa... gitu deh

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Manusia
« Reply #37 on: 04 December 2008, 01:14:08 PM »
Ehm sori, saya mo sedikit ralat....

saya pribadi ga berani mengasumsikan bhw JIWA = NAMA yg ada dalam nama-rupa

karena JIWA dipersepsikan sebagai motor penggerak dari fisik. Jadi jiwa sebagai "something, ada di "somewhere" di dalam tubuh kita ini (cmiiw)
Inilah yg kenapa disebut dinamakan dengan ATTA

sementara NAMA dan RUPA bergerak dalam keselarasan, tidak ada yg menjadi unsur utama dari keduanya, tidak ada yg mendominasi diantara keduanya, pun tidak bisa dipisahkan

Itu kenapa dalam abhidhamma, buddha menyatakan manusia sebagai perpaduan dari nama dan rupa, bukan rupa yg dipimpin oleh nama, atau sebaliknya

semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah

Offline sukma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 294
  • Reputasi: 0
Re: Manusia
« Reply #38 on: 04 December 2008, 06:36:22 PM »
Ehm sori, saya mo sedikit ralat....

saya pribadi ga berani mengasumsikan bhw JIWA = NAMA yg ada dalam nama-rupa

karena JIWA dipersepsikan sebagai motor penggerak dari fisik. Jadi jiwa sebagai "something, ada di "somewhere" di dalam tubuh kita ini (cmiiw)
Inilah yg kenapa disebut dinamakan dengan ATTA

sementara NAMA dan RUPA bergerak dalam keselarasan, tidak ada yg menjadi unsur utama dari keduanya, tidak ada yg mendominasi diantara keduanya, pun tidak bisa dipisahkan

Itu kenapa dalam abhidhamma, buddha menyatakan manusia sebagai perpaduan dari nama dan rupa, bukan rupa yg dipimpin oleh nama, atau sebaliknya

semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah

  At ; hatRed, Kainyn_Kutho, sobat-dharma, hendrako, markosprawira, many thanks saya ucapkan terhadap reply kalian sebagai bahan pelajaran buat saya, sayang karena ada kesibukkan dalam beberapa hari ini trmasuk besok harus ke Bandung, telah membuat diskusi ini menjadi sedikit terhalang dan mohon dimengerti.

Mengambil pelajaran Buddhis yang di tulis sdr Hendarko tentang  LIMA KHANDHA , serta reply terakhir dari sdr Markos bahwa JIWA dinamakan ATTA, pada point ini sudah membantu ku untuk memahami diskusi dengan thread "manusia" ini sesuai Ajaran Buddhis

waktu yang singkat selama saya joint dengan Web DC yang tercinta ini khususnya dengan ke 2 threads yang saya tulis, serta mengamati kronologis diskusi di 1 - 2 threads dengan topic yang khususnya tidak dalam Ajaran Buddhis, terasa sekali buat saya adanya hambatan untuk mencapai diskusi demi terwujudnya Dhamma yang baik bagi Netter-Netter dan Moderator-Moderator penganut Ajaran Buddhis pada Web DC ini. Mengapa.?

Penemuan saya yang masih sangat dini ini ada pada faktor yang sangat sederhana yaitu istilah & Makna KATA yang dipakai dalam bahasa Sangsekerta atau Pali ini dalam berdiskusi menghadapi sdr-sdri kita yang kebetulan tidak sealiran dengan kita selalu mengalami hambatan diskusi dan akhirnya tujuan Dhamma Baik yang dirindukan kita Tidak Tercapai...., apakah HAMBATAN bisa diatasi paling tidak mengguranginya demi terwujudnya Buddhis Universal.?  Maaf karena  :outoftopic:

Kembali ke topic, beri saya waktu untuk menyelesaikan ke 2 Topic saya "Kehendak Bebas' dan "Manusia" yang sebenarnya masih banyak point-point yang perlu saya pertanyakan, sayang keterbatasan waktu karena pekerjaan membuat saya harus bersabar..... :(

« Last Edit: 04 December 2008, 06:40:18 PM by sukma »

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Manusia
« Reply #39 on: 05 December 2008, 09:40:26 AM »
Kalau yang anda maksud dengan jiwa, roh, hati nurani, diri, atta, atman, dengan bahasa apapun, menurut saya bukanlah ajaran Sang Buddha.

Kalau anda memaksakan ada suatu inti diri di dalam ajaran Sang Buddha, hal ini bukanlah diskusi.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline sukma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 294
  • Reputasi: 0
Re: Manusia
« Reply #40 on: 08 December 2008, 04:45:33 PM »
Posted by: Wolverine ;
Kalau yang anda maksud dengan jiwa, roh, hati nurani, diri, atta, atman, dengan bahasa apapun, menurut saya bukanlah ajaran Sang Buddha.

Kalau anda memaksakan ada suatu inti diri di dalam ajaran Sang Buddha, hal ini bukanlah diskusi.




Saya tidak bisa memaksa ada sesuatu dalam inti diri Ajaran Sang Buddha, saya hanya melihat ada satu titik cerah untuk diskusi tanpa merusak Ajaran Sang Buddha toh.?

Dalam buku Pancasila Dan Pancadhamma dari Sangha Theravada Indonesia,

1 .halaman 34 pada topic HILANGNYA PENGENDALIAN DIRI ;

Pikiran manusia biasanya dipengaruhi oleh HATI NURANI. Hati nurani ini memberi tahu tentang apa yang benar dan salah, apa yang senantiasa dihindai dan apa yang sehausnya dilaksanakan.

2 .Halaman 59-60 pada topic Kewaspadaan mengenai Hakekat hidup ;

"..........Bagaimana mereka bekerja dan berkembang dapat dipelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan....."

3 .Serta pada halaman 63 Topic bagan ; Garis Besar Pancasila & Pancadhamma oleh Bhikkhu Pannavaro

Ketiga point diatas adalah tulisan dari Sangha Threvarada Indonesia, lihat pada point 1 ; ada kata "HATI NURANI", sementara para Netter dan Moderator Web DC sepertinya sangat alergi dengan kata Hati Nurani ini tersurat dari topic "Kehendak Bebas" & "Manusia" ini.

Pada point ke 2 , lihat anjuran pelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan tentang diri manusia, betapa Sangha Theravada Indonesia tidak berkeras harus melakukan diskusi Dhamma semua berpatokan dari Kitab Suci Ajaran Buddha toh,? Sekali lagi, saya tidak bisa memaksa mau diskusi menang sepihak.

Salam ; Sati - Sampajanna  ^:)^
« Last Edit: 08 December 2008, 04:47:59 PM by sukma »

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Manusia
« Reply #41 on: 10 December 2008, 03:16:52 PM »
Posted by: Wolverine ;
Kalau yang anda maksud dengan jiwa, roh, hati nurani, diri, atta, atman, dengan bahasa apapun, menurut saya bukanlah ajaran Sang Buddha.

Kalau anda memaksakan ada suatu inti diri di dalam ajaran Sang Buddha, hal ini bukanlah diskusi.




Saya tidak bisa memaksa ada sesuatu dalam inti diri Ajaran Sang Buddha, saya hanya melihat ada satu titik cerah untuk diskusi tanpa merusak Ajaran Sang Buddha toh.?

Dalam buku Pancasila Dan Pancadhamma dari Sangha Theravada Indonesia,

1 .halaman 34 pada topic HILANGNYA PENGENDALIAN DIRI ;

Pikiran manusia biasanya dipengaruhi oleh HATI NURANI. Hati nurani ini memberi tahu tentang apa yang benar dan salah, apa yang senantiasa dihindai dan apa yang sehausnya dilaksanakan.

2 .Halaman 59-60 pada topic Kewaspadaan mengenai Hakekat hidup ;

"..........Bagaimana mereka bekerja dan berkembang dapat dipelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan....."

3 .Serta pada halaman 63 Topic bagan ; Garis Besar Pancasila & Pancadhamma oleh Bhikkhu Pannavaro

Ketiga point diatas adalah tulisan dari Sangha Threvarada Indonesia, lihat pada point 1 ; ada kata "HATI NURANI", sementara para Netter dan Moderator Web DC sepertinya sangat alergi dengan kata Hati Nurani ini tersurat dari topic "Kehendak Bebas" & "Manusia" ini.

Pada point ke 2 , lihat anjuran pelajari secara terinci dari buku-buku kedokteran dan ilmu kesehatan tentang diri manusia, betapa Sangha Theravada Indonesia tidak berkeras harus melakukan diskusi Dhamma semua berpatokan dari Kitab Suci Ajaran Buddha toh,? Sekali lagi, saya tidak bisa memaksa mau diskusi menang sepihak.

Salam ; Sati - Sampajanna  ^:)^

dear sukma,

Buku itu pun masih merupakan karangan dari putthujhana (manusia awam).

Jika memang anda berkeras mengenai hati nurani, tolong diberikan padanannya secara bahasa Pali, agar semua menjadi jelas, apakah HATI NURANI yg ada di buku itu, benar sama dengan HATI NURANI yg anda maksudkan, ok?

Karena 1 bahasa indonesia, banyak yg mempunyai bahasa pali yg berbeda2 misal Pikiran, bahasa palinya bisa :
- Mano
- Citta

ini saja sudah membuat konteks diskusi yg berbeda2......


Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Manusia
« Reply #42 on: 10 December 2008, 11:57:17 PM »
Kepada Kainyn_Kutho, hatRed,
hendrako markosprawira
upasaka, tolong saya siapkan makalah ini sesudh reply ini kita baru bahas.
Lanjutan hubungan jiwa – badan dan pengamatan indriawi. 

 [at] sukma : saya hanya ingin menambahkan bhw selama anda masih berpegang pada adanya JIWA yg kekal dan asumsi adanya "mahluk" yg itu2 juga tapi pindah antar kehidupan, selama itu pula anda ga akan mengerti mengenai proses kelahiran - kematian dalam Buddhism . Khusus pesan dari Karkos akan saya amati.



Sentuhan suatu titik kecil pada kulit di reply kemarin bukan tidak ketahuan oleh jiwa, atau tidak tersembunyi bagi jiwa, menjadi penting baginya untuk menerangkan seluruh pengamatan indriawi. Proses pengamatan indriawi ini berlangsung karena ada kerja sama antara pengaruh obyek dari luar pada indra yang bersangkutan dan perhatian yang hidup atau barangkali boleh dikatakan kesiapsiagaan jiwa dalam badan. Karena kesiapsiagaan itu suatu perubahan dalam salah satu organ indra yang diakibatkan oleh salah satu obyek bukan tidak ketahuan oleh jiwa ; dan harus ditambah bahwa perbuatan itu bukan tidak ketahuan langsung, dan tidak melalui pengaruh dari suatu yang lain.

Ambil contoh yang berikut ini ;

Kita melihat asap, maka kita berkesimpulan, bahwa ada apinya. Tentu saja adanya asap itu kita ketahui melalui indra penglihat, dan tentang adanya api itu juga dapat dikatakan bahwa kita mengetahuinya melalui indra penglihat. Tetapi, untuk mengetahui adanya asap sudah cukup organ penglihat itu dipengaruhi dan diubah, perubahan yang dari dirinya sendiri diketahui oleh jiwa, sedangkan tentang api itu pengenalan tidak sama langsung, karena selaian perubahan dalam organ indra diperlukan juga suatu Penalaran Raional, yang menimbulkan kesimpulan, bahwa jikalau ada asap, maka mesti ada api juga yang mengakibatkan asap tersebut.

Jadi, untuk kedua jenis pengenalan itu perubahan dalam organ –oleh pengarug asap- adalah suatu syarat yang perlu terpenuhi. Tetapi untuk pengenalan jenis yang pertama terpenuhinya syarat itu sudah cukup juga, agar kesiapsiagaan jiwa terhadapnya diaktifkan, sedangkan untuk jenis pengenalan yang kedua, syarat itu belum cukup untuk menghasilkan dalam jiwa pengenalan tentang adanya api, karena untuk itu selain
Perubahan dalam organ dan kesiapsiagaan jiwa masih diperlukan juga : Penalaran Rasional.

Dan perbedan antarakedua jenis pengenalan itu memperlihatkan bahwa dan mengapa jenis pengenalan yang pertama adalah “Pengamatan Indrawi”, dan jenis pengenalan yang kedua adalah “Pengenalan Rasional”. Seluruh perbedaan antara kedua jenis pengenalan itu ialah bahwa pengenalan indrawi adalah suatu perubahan dalam organ badani yang dari dirinya sendiri bukan tidak ketahuan oleh jiwa, sedangkan pengenalan rasional sebagai titik tolak dapat memakai pengenalan indrawi, tetapi atas tingkatnya sendiri antara perubahan dalam organ badani dan timbulnya pengenalan harus menyisipkan Keaktifan Rasio.

Singkatnya ; pengamatan indrawi bukan suatu keaktifan badan melainkan suatu keaktifan jiwa yang memakai badan.


Sdr. Sukma yang berjiwa besar...

Tidak usah terburu2, pekerjaan Anda juga penting. Kita bisa mendiskusikan thread2 Anda dengan santai. OK, saya akan menanggapi postingan Anda yg diquote itu...

Saya sepertinya sudah cukup mengerti mengenai konsep Pengamatan Indrawi dan Pengenalan Rasional yang Anda jelaskan. Sebagai bahan perbandingan, Konsep Pengamatan Indrawi itu mungkin dikenal dalam Buddhisme sebagai Kesadaran Indera. Sedangkan Konsep Pengenalan Rasional itu mungkin sejalan dengan Konsep Pencerapan, Gagasan dan Konsepsi di Buddhisme...


Bagaimana cara kerja indera mengenal objek luar?

Kesadaran adalah reaksi yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indera* kita dengan objeknya masing-masing. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indera kita yang mengadakan kontak dengan objeknya masing-masing. Perlu ditekankan kali ini, yang disebut indera itu adalah alat di tubuh kita yang berfungsi untuk mengenali dunia luar, untuk mengenali objeknya masing-masing. Jadi salah besar kalau ada orang yang mampu 'menebak' sesuatu dengan tepat, maka kemampuan itu diberi nama sebagai “indera”. Kemampuan seperti itu lebih layak disebut sebagai insting, berpikir instan, sederhana dan sedikit keberuntungan.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, Anda harus mengerti bahwa kesadaran tidak dapat mengenali objeknya. Kesadaran hanya merupakan kesadaran, yaitu kesadaran akan adanya objek. Misalnya kalau mata mendapatkan kontak (phassa)dengan warna merah, kesadaran mata kita akan bangkit dan kita akan sadar akan adanya objek yang berwarna tersebut. Pada tingkat ini kesadaran belum mengenal apa-apa. Pada tingkat pencerapanlah maka kita dapat mengenal objek itu sebagai warna merah. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau objek telah terlihat. Begitu pula yang terjadi pada indera kita yang lain.

Kesadaran (vinnana) bukanlah “jiwa”, “Roh” atau “Aku”. Banyak yang menganggap bahwa kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk berkeliling, sesuatu yang melakukan, yang merasakan, yang hadir dan yang mengalami akibat dari semua perbuatan. Dengan kata lain teori ini menduplikatkan makna Roh dalam satu bentuk “kesadaran”. Teori ini sepenuhnya salah! Kenapa? Karena kesadaran itu timbul karena satu kondisi yang sesuai, dan tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya. Oleh karena ada mata dan objek yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama “kesadaran mata”. Demikian pula kesadaran-kesadaran lain yang dikondisikan indera-indera lainnya.

Sebagai contoh, kesadaran mata dikondisikan oleh :
- adanya indera penglihatan
- adanya objek wujud (objek indera penglihatan)
- adanya media cahaya yang mendukung
- adanya perhatian (kesiagaan indera)

Tanpa salah satu kondisi itu terpenuhi, maka tidak akan ada kesadaran mata (penglihatan), sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan ke tingkat pencerapan.

NB : * enam indera (salayatana -> mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran)


Bagaimana menurut Anda Sdr. Sukma...?
« Last Edit: 11 December 2008, 12:01:42 AM by upasaka »

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Manusia
« Reply #43 on: 11 December 2008, 10:08:59 AM »
Kembali ke pembahasan sebelumnya, Anda harus mengerti bahwa kesadaran tidak dapat mengenali objeknya. Kesadaran hanya merupakan kesadaran, yaitu kesadaran akan adanya objek. Misalnya kalau mata mendapatkan kontak (phassa)dengan warna merah, kesadaran mata kita akan bangkit dan kita akan sadar akan adanya objek yang berwarna tersebut. Pada tingkat ini kesadaran belum mengenal apa-apa. Pada tingkat pencerapanlah maka kita dapat mengenal objek itu sebagai warna merah. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau objek telah terlihat. Begitu pula yang terjadi pada indera kita yang lain.

kalau saya boleh lebih perjelas.

Pada saat terjadi kesadaran pada pintu indera fisik (panca dvara) misal mata, pada saat itu objek masih dikenali sebagaimana apa adanya.

Setelah itu dilanjutkan di pintu indera pikiran (mano dvara), yg pertama pun masih apa adanya.
Setelah itu, di kesadaran2 berikutnya di mano dvara, masuklah pengaruh dari persepsi misal bentuk, warna, dan sebagainya....

mgkn jika bro sukma pernah tau scanner di komputer.... kira2 seperti itulah kerjanya batin manusia

semoga bisa bermanfaat yah

Offline sukma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 294
  • Reputasi: 0
Re: Manusia
« Reply #44 on: 11 December 2008, 02:08:36 PM »
Quote from: upasaka 

[/quote

Sdr. Sukma yang berjiwa besar...

Tidak usah terburu2, pekerjaan Anda juga penting. Kita bisa mendiskusikan thread2 Anda dengan santai. OK, saya akan menanggapi postingan Anda yg diquote itu...

Saya sepertinya sudah cukup mengerti mengenai konsep Pengamatan Indrawi dan Pengenalan Rasional yang Anda jelaskan. Sebagai bahan perbandingan, Konsep Pengamatan Indrawi itu mungkin dikenal dalam Buddhisme sebagai Kesadaran Indera. Sedangkan Konsep Pengenalan Rasional itu mungkin sejalan dengan Konsep Pencerapan, Gagasan dan Konsepsi di Buddhisme...


Bagaimana cara kerja indera mengenal objek luar?

Kesadaran adalah reaksi yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indera* kita dengan objeknya masing-masing. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indera kita yang mengadakan kontak dengan objeknya masing-masing. Perlu ditekankan kali ini, yang disebut indera itu adalah alat di tubuh kita yang berfungsi untuk mengenali dunia luar, untuk mengenali objeknya masing-masing. Jadi salah besar kalau ada orang yang mampu 'menebak' sesuatu dengan tepat, maka kemampuan itu diberi nama sebagai “indera”. Kemampuan seperti itu lebih layak disebut sebagai insting, berpikir instan, sederhana dan sedikit keberuntungan.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, Anda harus mengerti bahwa kesadaran tidak dapat mengenali objeknya. Kesadaran hanya merupakan kesadaran, yaitu kesadaran akan adanya objek. Misalnya kalau mata mendapatkan kontak (phassa)dengan warna merah, kesadaran mata kita akan bangkit dan kita akan sadar akan adanya objek yang berwarna tersebut. Pada tingkat ini kesadaran belum mengenal apa-apa. Pada tingkat pencerapanlah maka kita dapat mengenal objek itu sebagai warna merah. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau objek telah terlihat. Begitu pula yang terjadi pada indera kita yang lain.

Kesadaran (vinnana) bukanlah “jiwa”, “Roh” atau “Aku”. Banyak yang menganggap bahwa kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk berkeliling, sesuatu yang melakukan, yang merasakan, yang hadir dan yang mengalami akibat dari semua perbuatan. Dengan kata lain teori ini menduplikatkan makna Roh dalam satu bentuk “kesadaran”. Teori ini sepenuhnya salah! Kenapa? Karena kesadaran itu timbul karena satu kondisi yang sesuai, dan tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya. Oleh karena ada mata dan objek yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama “kesadaran mata”. Demikian pula kesadaran-kesadaran lain yang dikondisikan indera-indera lainnya.

Sebagai contoh, kesadaran mata dikondisikan oleh :
- adanya indera penglihatan
- adanya objek wujud (objek indera penglihatan)
- adanya media cahaya yang mendukung
- adanya perhatian (kesiagaan indera)

Tanpa salah satu kondisi itu terpenuhi, maka tidak akan ada kesadaran mata (penglihatan), sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan ke tingkat pencerapan.

NB : * enam indera (salayatana -> mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran)


Bagaimana menurut Anda Sdr. Sukma...?

Hi...! Salam untuk Markos dan Upasaka serta semua sobat yang tak tertulis namanya ....sdh 4 hari Off Line krn kesibukkan kerja persiapan proposal & Contract, sdh rindu dengan sobat-sobat di Web DC ini.

Untuk reply dari sobat Markos hal padanan bahasa Pali tentang kata "Hati Nurani" entar ya di jwb, saya tertarik dengan pemahaman tentang "Kesadaran" dengan panca indera Mata dari sobat Upasaka dan reply ke 44 sobat Markos, dibawah ini akan saya buat satu Analogi yang kiranya sesuai yang ditulis kalian berdua atau tidak.? Please Comment ya ....

Apabila sebatang tongkat atau bambu atau dayung yang lurus kita masukkan kedalam air yang jernih, maka tepat pada permukaan air itu tongkat/bambu atau dayung tampak "seolah-olah" tak lagi lurus tetapi patah. Jikalau melihat serta mempertimbangkan Gejala itu rasio kita memutuskan dan menyatakan bahwa tongkat/bambu atau dayung itu betul-betul tidak lurus dan patah, maka Hati Nurani (atau apa sebutan dalam Ajaran Buddhis) kita membiarkan dirinya dikuasai, atau mungkin boleh dikatakan ditolak/dikesampingkan, oleh kesan-kesan inderawi yang bersangkutan, dengan akibatnya bahwa putusan dan pernyataannya keliru.

Kita tidak perlu mengatakan bahwa pengamatan inderawi Menipu kita dan tidak dapat diandalkan. Rasio kita sendiri keliru dan kekeliruannya itu dapat diatasi dengan mudah. Rasio kita tidak terpaksa menuruti kesan-kesan inderawi itu, tetapi sudah cukup rasio menginsafi bahwa karena keadaan alamiahnya demikian, kesan-kesan inderawi itu mesti timbul sebagaimana terjadi.

Dengan perkataan lain, rasio kita dapat menolak kesan inderawi itu, dan dengan demikian berpegang pada putusan bahwa tongkat atau dayung kita itu tetap berbentuk lurus. Dengan demikian , rasio menyatakan dan menampakkan keunggulannya terhadap pengamatan inderawi.



 


 

anything