//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kapan Terakhir Kamu Berbicara Dengan Orang Tua-mu?  (Read 3307 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline DharmaGavesin

  • Teman
  • **
  • Posts: 51
  • Reputasi: 5
  • Renungi Karmamu...
Kapan Terakhir Kamu Berbicara Dengan Orang Tua-mu?
« on: 24 November 2008, 11:31:12 AM »
Kutipan dari email :

Silahkan baca 2 email dibawah ini....

------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

Judul: Kapan Terakhir Kamu Berbicara Dengan Orang Tua-mu?

Suatu hari seorang teman saya pergi ke rumah orang-jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti-werdha bersama dengan teman-temannya.
Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-2 yang kesepian dalam hidupnya.
Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa ibu-2 tua, tiba-2 mata teman saya tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.
Lalu sang teman mencoba mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara.
Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan kisah hidupnya.

Si opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang.
Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai.
Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang bagus.
Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi.
Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah, juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.

Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami.
Tiba-2 istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak.
Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-2 kami semua tidak ada yg mau menemani saya, karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar.
Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya.

Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon.
Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan, kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya.
Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi yang tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya.

Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.
Tapi apa yang saya dapatkan?
Setiap hari mereka sibuk sendiri-2 dan kalaupun mereka ada dirumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya.
Semua keperluan saya pembantu yang memberi.
Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.

Lalu saya tinggal dirumah anak saya yang lain.
Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita dalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti,
mereka menyediakan semua peralatan dari plastik dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu.
Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka.
Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?

Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua.
Tapi apa yang saya dapatkan?
Setelah beberapa lama saya tinggal disana, akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya, lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti-jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul, dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.

Sekarang sudah 2 tahun saya disini, tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya, apalagi membawakan makanan kesukaan saya.
Hilanglah semua harapan saya tentang anak-2 yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat.
Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan, padahal saya bukan orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil.
Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.

Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-2 yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat-2 yang mengasihi saya, tapi tetap saya merindukan anak-2 saya.

Sejak itu teman saya selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang opa.

Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang opa berganti dengan keceriaan, apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.
Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan hidup kita?

Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian?

------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

Judul: Untuk Para Orang Tua, mudah-mudahan bermanfaat:

Suatu hari suami saya rapat dengan beberapa rekan bisnisnya yang kebetulan mereka sudah mendekati usia 60 tahun dan dikaruniai beberapa orang cucu. Di sela-sela pembicaraan serius tentang bisnis, para kakek yang masih aktif itu sempat juga berbagi pengalaman tentang kehidupan keluarga di masa senja usia.

Suami saya yang kebetulan paling muda dan masih mempunyai anak balita, mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, dan untuk itu saya merasa berterima kasih kepada rekan-rekan bisnisnya tersebut. Mengapa? Inilah kira-kira kisah mereka.

Salah satu dari mereka kebetulan akan ke Bali untuk urusan bisnis, dan minta tolong diatur tiket kepulangannya melalui Surabaya karena akan singgah kerumah anaknya yang bekerja di sana .

Di situlah awal pembicaraan "menyimpang" dimulai. Ia mengeluh,

"Susah anak saya ini, masak sih untuk bertemu bapaknya saja sulitnya bukan main."

"Kalau saya telepon dulu, pasti nanti dia akan berkata jangan datang sekarang karena masih banyak urusan. Lebih baik datang saja tiba-tiba, yang penting saya bisa lihat cucu."

Kemudian itu ditimpali oleh rekan yang lain.

"Kalau Anda jarang bertemu dengan anak karena beda kota, itu masih dapat dimengerti," katanya.

"Anak saya yang tinggal satu kota saja, harus pakai perjanjian segala kalau ingin bertemu."

"Saya dan istri kadang-kadang merasa begitu kesepian, karena kedua anak saya jarang berkunjung, paling-paling hanya telepon."

Ada lagi yang berbagi kesedihannya, ketika ia dan istrinya mengengok anak laki-lakinya, yang istrinya baru melahirkan di salah satu kota di Amerika.

Ketika sampai dan baru saja memasuki rumah anaknya, sang anak sudah bertanya,"Kapan Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?"

"Bayangkan! Kami menempuh perjalanan hampir dua hari, belum sempat istirahat sudah ditanya kapan pulang."

Apa yang digambarkan suami saya tentang mereka, adalah rasa kegetiran dan kesepian yang tengah melanda mereka di hari tua. Padahal mereka adalah para profesional yang begitu berhasil dalam kariernya.

Suami saya bertanya,

"Apakah suatu saat kita juga akan mengalami hidup seperti mereka?"
Untuk menjawab itu, saya sodorkan kepada suami saya sebuah syair lagu berjudul Cat's In the Cradle karya Harry Chapin. Beberapa cuplikan syair tersebut saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia agar relevan untuk konteks Indonesia .

Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh berkah. Aku harus siap untuknya, sehingga sibuk aku mencari nafkah sampai 'tak ingat kapan pertama kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar bicara dan mulai lucu bertingkah.

Namun aku tahu betul ia pernah berkata,

"Aku akan menjadi seperti Ayah kelak"

"Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh; Ia berkata,

"Terima kasih atas hadiah bolanya Ayah, wah ... kita bisa main bola bersama. Ajari aku bagaimana cara melempar bola"

"Tentu saja 'Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah banyak pekerjaan sekarang"

Ia hanya berkata, "Oh ...."

Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang, seraya berkata, "Aku akan seperti ayahku. Ya, betul aku akan sepertinya"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu aja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Suatu saat anakku pulang ke rumah dari kuliah; Begitu gagahnya ia, dan aku memanggilnya, "Nak, aku bangga sekali denganmu, duduklah sebentar dengan Ayah"

Dia menengok sebentar sambil tersenyum,"Ayah, yang aku perlu sekarang adalah meminjam mobil, mana kuncinya?"

"Sampai bertemu nanti Ayah, aku ada janji dengan kawan"

"Nak, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Yah, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Aku sudah lama pensiun, dan anakku sudah lama pergi dari rumah;

Suatu saat aku meneleponnya.

"Aku ingin bertemu denganmu, Nak"

Ia bilang,"Tentu saja aku senang bertemu Ayah, tetapi sekarang aku tidak ada waktu. Ayah tahu, pekerjaanku begitu menyita waktu, dan anak-anak sekarang sedang flu. Tetapi senang bisa berbicara dengan Ayah, betul aku senang mendengar suara Ayah"

Ketika ia menutup teleponnya, aku sekarang menyadari; Dia tumbuh besar persis seperti aku;

Ya betul, ternyata anakku "aku banget".

Rupanya prinsip investasi berlaku pula pada keluarga dan anak. Seorang investor yang berhasil mendapatkan return yang tinggi, adalah yang selalu peduli dan menjaga apa yang diinvestasikannya.

Saya sering melantunkan cuplikan syair tersebut dalam bahasa aslinya,
"I'm gonna be like you, Dad, you know I'm gonna be like you",

kapan saja ketika suami saya sudah mulai melampaui batas kesibukannya.

Sumber: Anonymous

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Kapan Terakhir Kamu Berbicara Dengan Orang Tua-mu?
« Reply #1 on: 24 November 2008, 12:04:09 PM »
Menanam Bunga Perhatian
*oleh Gede Prama
*

Dalam sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu
Teresa pernah memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan di
panti jompo ini tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang tinggal di
sini, ketika duduk di ruangan untuk menonton tv, bukannya memandang tv,
hampir semua mata menatap pintu masuk.

Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan
dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka
perhatian.

Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di
kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah
mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di
pintu masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan
satu persatu.

Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap
sore orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya
sambil memandangi jalan.

Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca
pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak
saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah.

Rupanya, mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif
ini, setangkai bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat
dibutuhkan.

Yang jelas, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, tua muda, di kota
maupun di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak
orang yang amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain.
Tidak sedikit orang, hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal,
bunga terakhir berharga tidak mahal. Bahkan, kita tidak membelinya.

Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai
tameng ketidakmampuan dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial
antara atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang di puncak
dengan orang di bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, atau koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk
rakyat miskin, adalah rangkaian bukti yang bisa membawa saya pada
kesimpulan, betapa langkanya orang dan pemimpin yang kemana-mana membawa
setangkai bunga perhatian.

Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari
masyarakat dan keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk
menjadi manusia yang miskin perhatian juga.

Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah,
atau organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka kapan bisa
terbentuk barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?

Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis : "We must remember that love begins
at home, and we must also remember that the future of humanity passes
through The Family".

Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di
rumah. Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari
rumah, sebab masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.

Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab,
semenjak merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan
penulis, sering kali meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang
Jumat malam. Kendati setiap hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri
beberapa menit, bercanda dengan anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh apa,
dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu yang kurang.

Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala
saya juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali
saya sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir
agar diajak ikut menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan
berdosa dalam diri ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam
keluarga yang amat saya cintai ini? Kadang, saya berharap memiliki waktu
empat puluh delapan jam sehari. Sempat teringat petuah teman untuk
meningkatkan kualitas bukan kuantitas hubungan dengan anak. Atau
mengkompensasinya dengan materi.

Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya,
setiap anak mendambakan Papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan
layang-layang yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka
jaga. Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan.

Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan
Papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang,
serta bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan
menjawab semua keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan
memenuhi keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya
penuhi. Serangkaian kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga
perhatian tumbuh di mana-mana di rumah.

Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya
naik sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing
kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka
naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang
suami yang menggandeng isterinya dengan penuh kemesraan.

Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiakan
sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh
manusia-manusia yang saling memperhatikan? *****
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Gunawan

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 374
  • Reputasi: 28
  • Gender: Male
  • Siswa Berbaju Putih
Re: Kapan Terakhir Kamu Berbicara Dengan Orang Tua-mu?
« Reply #2 on: 24 November 2008, 04:07:17 PM »
Nice Post n Nice Sharing

Hal yang tidak bisa ditunda dalam hidup ini adalah Berbakti kpd Orang Tua dan Berbuat Kebajikan.

Thanks & Best regards
Gunawan S S
Yo kho Vakkali dhamma? passati so ma? passati; yo ma? passati so dhamma? passati.
Dhammañhi, vakkali, passanto ma? passati; ma? passanto dhamma? passati"

Offline DharmaGavesin

  • Teman
  • **
  • Posts: 51
  • Reputasi: 5
  • Renungi Karmamu...
Re: Kapan Terakhir Kamu Berbicara Dengan Orang Tua-mu?
« Reply #3 on: 25 November 2008, 03:29:10 PM »
Iya benar Bro Gunawan...

Karena penyesalan selalu datangnya terlambat... setelah kehilangan orang yang disayangi baru menyesal kenapa dahulu tidak berbakti.... It is too late.