Tokoh-Tokoh Buddhis

Started by Pitu Kecil, 01 October 2008, 11:00:54 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Pitu Kecil


18. YM Âcariya Maha Boowa Naññasampanno Thera

YM Âcariya Maha Boowa Naññasampanno dilahirkan dalam kel. Lohitdee pada tgl 12 Agustus 1913, di dusun Baan Taad , propinsi Udon Thani , Timur Laut Thailand. Beliau adalah 1 dari 17 anak dari keluarga petani. Pada umur 21 , atas saran orang tua beliau menjadi bhikkhu , demi menjalankan tradisi Thai. Pada tgl 12 Mei 1934 beliau di tahbiskan oleh YM Chaokun Dhammachedi, bertindak sebagai Uphajaya . Nama Pali beliau adalah "Naññasampanno " berarti " yang diberkahi dengan kebijaksanaan ". Beliau meraih gelar Maha setelah 7 th belajar Pali. Pada th 1942 Beliau tinggal dan belajar meditasi dari YM ACharn Man Buridatta , selama 8 tahun. Beliau mencapai tingkat Arahat pada th 1949 pada usia 37 tahun.

Kini beliau adalah figur bhikkhu dan guru meditasi yang paling terkenal dan paling dihormati di seantero Thailand , beliau dikenal karena pengetahuan Dhamma yang amat dalam, peraturan vinaya yang amat ketat. Juga dikenal karena metta , kemurahan hati nya. Beliau yang memulai dan memimpin seluruh negeri (Thailand) mengatasi krisis ekonomi (1997) dengan mengumpulkan dana bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat pada khususnya.
Sampai kini beliau telah mengumpulkan US$10 juta (I) , US$ 7,7 juta (II) dalam bentuk cash dan 2 metrik ton emas untuk negaranya. - (disadur dr BBC London /Strait Times )
Smile Forever :)

naviscope

bro, koq semua dari aliran theravada?

yg mahayana, mana?

;D
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Pitu Kecil


19. YM. Bhikkhu Sri Pannavar Dayaka Maha Thera [Sesepuh Sangha Theravada Indonesia]

Beliau merupakan tokoh yang terkemuka dalam linkungan Buddhis. Disamping memegang Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, beberapa jabatan masih berada dipundaknya. Antara lain: Ketua Vihara Mendut, Magelang dan anggota eksekutif World Buddhist Sangha Council. Bahkan masih punya waktu untuk aktif sebagai pembicara, baik di lingkungan Buddhis maupun non Buddhis.

Bhikkhu berperawakan tenang dan lembut ini lahir di Blora 22 Juni 1954. Pernah kuliah di Fakultas Psikologi UGM pada tahun 1972-1974. Kemudian di Fakultas Filsafat satu tahun, 1975. Pada tahun 1987, 1990 dan dua kali pada tahun 1991 mendapat upadhi (penganugerahan gelar kehormatan) dari Sangha di Sri Langka atas jasanya membina umat Buddha Indonesia dan menjalin hubungan erat dengan Sangha di Sri Lanka.

Gelar kehormatannya yakni: "Sanghanayaka Dhammakitti Sri Saddhammacariya, Sasanavamsalankara Sasanasobhana Pacavana Visarada, Saddhammakitti Siri Nanasamvara, Siri Sugatasasanalankara Kittidhara Gana Pamokkhacariya, Silarupa Sobhita Vissa Kittidhara".

Dalam kesibukannya dalam perayaan Kathina 2537/1993 penulis berkesempatan mewawancarainya. Berikut ini petikan wawancara denga Y.M Bhikkhu Sri Pannavaro Sanghanayaka, di ruang perpustakaan Narada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.

(T) Latar belakang pendidikan tinggi Bhante dari Psikologi, bagaimana ceritanya memilih Fakultas Psikologi?
(J) Saya pernah kuliah di Fakultas Psikologi tahun 1972-1974, kemudian pernah di fakultas filsafat satu tahun yaitu 1975. Waktu di Fakultas Psikologi dekannya Prof. Dr. Masrun di UGM, Yogyakarta. Saya mulai tertarik dan timbil keinginan untuk melepaskan keduniawian menjadi samanera pada umur 16 tahun. Waktu itu orang tua saya agak sulit mengizinkan karena pengetahuan agama Buddha mereka minim sekali. Mereka mengatakan mengapa harus menjadi Bhikkhu? Mungkin dianggap sekedar menjaga Vihara, melayani orang sembahyang, makan diberi orang lain. Tetapi alasan itu belum kuat. Maka orang tua mengatakan selesaikan dulu pendidikan SMAnya. Sayapun menurut nasehat dan setelah lulus SMA, saya ajukan kembali permohonan menjadi Bhikkhu, orang tua mengatakan masih belum cukup. Kemudian saya memikirkan apa pendidikan lanjut yang saya pilih. Ada yang mengusulkan kuliah di psikologi saja. Ini akan banyak membantu dalam menghadapi masyarakat. Kebetulan waktu itu psikologi di UGM belum favorit seperti sekarang. Kuliah satu tahun saya ajukan keingina saja, orang tua mengatakan belum cukup, kuliah satu tahun dapat apa. Dau tahun kuliah, orang tua mengatakan masih belum cukup. Nah, pada tahun ketiga saya ajukan lagi dengan mengatakan keinginan orang tua sudah saya ikuti. Lulus SMA harus kuliah sudah saya jalankan, sekarang gantian. Akhirnya orang tua mengizinkan tapi, ada tapinya.. kuliah harus dilanjutkan terus. Lalu saya mendaftar di Fakultas Filsafat, kuliah dengan memakai jubah samanera. Namun saya tidak bisa ikut aktif karena harus memberi ceramah Dharma. Dulu saya berpikir mengapa orang tua menghalangi, sebab tujuan saya kan baik. Pandangan tentang kebahagiaan tidak sama, kalau seorang anak bahagia dalam kehidupan masyarakat, orang tua ikut bahagia. Tapi kalau kebahagiaan spiritual, apakah orang tua tidak ikut bahagia! Mengapa orang tua menunda-nunda? Tetapi sekarang saya justru berterima kasih kepada orang tua terutama kepada ibu bahwa dengan dorongan beliau dapat memberikan manfaat besar. Bukan hanya manfaat pengetahuan bertambah tetapi manfaat di dalam kegiatan pengabdian saya. Pengetahuan itu sangat membantu sekali dalam menghadapi masyarakat. Bagaimana bergaul dengan mereka dan membawakan Dharma. Minimal kita harus memiliki modal yakni pengetahuan umum untuk mengerti kehidupan.

(T) Apa dan siapa yang menggerakkan Bhante untuk menjadi anggota Sangha?
(J) Sejak di SD, saya sudah menyukai hal-hal yang bersifat keagamaan, saya mengenal agama Buddha bukan dari Bhikkhu atau pandita tapi justru dari guru sejarah di SMP. Guru sejarah dunia menjelaskan tentang agama Buddha, dan tentang kehidupan Pangeran Siddharta. Saya pertama kali mendengar penjelasan tersebut, timbul kesan yang sangat mendalam. Sistematis sekali ajaran agama Buddha, jelas sekali persoalan ini, munculnya persoalan dan menunjukkan jalan berunsur delapan, sebagai jalan pemecahan persoalan. Jelas sekali.... Ini persoalannya, ini sebabnya dan ini jalan pemecahannya, mudah menangkap. Saya mula tertarik. Suatu Minggu sore saya diajak adik saya untuk ikut kebaktian. Saat itulah saya mengenal agama Buddha secara formal. Membaca paritta, mendengar ceramah. Pada waktu saya di SMA, untuk pertama kali saya mengenal Bhikkhu Narada Mahathera. Bhikkhu Narada Mahathera mempunyai metode ceramah yang baik terutama terhadap anak-anak. Beliau biasanya bercerita lalu mengajukan pertanyaan dan siapa yang dapat menjawab dapat hadiah. Suatu ketika beliau bertanya "Sang Buddha sudah tidak ada di dunia ini, bagaimana cara untuk melihat Buddha?" Saya bisa menjawabnya karena pernah mendengar sabda Sang Buddha sendiri bahwa siapa yang melihat Dharma, dia akan melihat Buddha. Lalu saya mendapatkan hadiah dan beliau mengatakan, ":Semoga kamu menjadi Bhikkhu yang baik untuk bangsamu". Kejadian tersebut ketika saya berumur 17 tahun. Saya berpikir mendengar ucapan: Jadi Bhikkhu?". Ah tidak ada keinginan sama sekali! Tapi satu tahun kemudian timbul keinginan menjadi Bhikkhu.

Pertama kali timbul dalam pikiran saya adalah menjadi Bhikkhu itu hidupnya sederhana, kehidupan Bhikkhu tidak sulit seperti apa yang dipikirkan orang. Makan diberikan, pakaian hanya beberapa potong, tetapi bermanfaat bagi orang banyak seperti Bhante Narada itu. Suatu ciri-ciri yangluhur, sejak itu saya banyak bertemu dengan Bhikkhu. Saya menyadari bahwa kebahagiaan dunia tidak ada yang kekal, contoh: lulus sarjana, diwisuda, senang. Tapi senang itu bisa bertahan hanya beberapa lama? Kita harus memikirkan kerja! Setelah dapat kerja eh...nggak puas dan sebagainya. Kejenuhan, kejengkelan, kemarahan, kesenangan, tidak ada yang kekal.

Kondisi tersebut memperkuat keinginan saya. Dengan menyadari ini bathin kita akan tenang. Mengenai siapa yang menggerakan saya menjadi anggota Sangha itu, sulit.... sebagai seorang Buddhis apalagi kita mengerti Dharma, suatu perisitwa terjadi karena banyak faktor. Tidak bisa kita mengatakan menjadi Bhikkhu itukan panggilan! Siapa yang memanggil? Kalau tak mau pikir panjang memang itulah jawabannya.

Ada cerita begini: Ada seorang Bhikkhu yang sebelumnya dikenalk dengan panggial OM, Liem, kerja di bank, tidak punya anak, ada angkat anak. Suka membantu vihara, mengantar para Bhikkhu, pengertian Dharma cukup.Kita selalu menggoda, ayo om jadi Bhikkhu saja, jawabnya, "ah... tunggu pensiun dulu". Setelah pensiun kita tanya lagi, "Sudah pensiun tunggu apa lagi". Jawabannya, "Tunggu anak angkat saya lulus". Anak angkat sudah lulus kita goda lagi. Eh... katanya mau urus istri dulu, Istri meninggal dunia, anak lulus sekolah, nah alasan apa lagi. Suatu hari om ikut rombongan ke Thailand. Eh kopernya ketinggalan dan hilang di airport. Sampai di vihara baru ketahuan kopernya tidak dibawa! Untung paspor dan uang sedikit ada, pakaian tinggal yang dikenakannya. Nah, kami mengatakan kepada dia: "Om sekarang waktunya jadi Bhikkhu" Dari peristiwa ini tidak bisa dikatakan im tersebut jadi Bhikkhu karena kopernya hilang. Koper hilang hanya salah satu faktor karena banyak orang yang kopernya hilang tapi tidak ingin jadi Bhikkhu. Kemudian isterinya meninggal; salah satu faktor juga; sudah pensiun; salah satu faktirl mempunyai pengertia Dharma; salah satu faktor; kita sering menggoda juga salah satu faktor. Dari cerita sederhana ini ada enam faktor, semuanya mempengaruhi dan saling mendukung. Jadi bukan satu faktor menghasilakn kejadian, namun banyak sekali faktor. Contoh lain pisang goreng, terbentuknya pisang goreng karena ada pisang, ada tepung, ada gula, ada mingyuaknya, ada penggorengan, dan ada orang dan kehendak orang lain untuk menggorengnya. Jadi menurut Dharma, yang memanggil itu adalah kondisi-kondisi. Logika ini sulit untuk menjelaskan kepada mereka yang tidak mempunyai dasar intelektual.

(T) Bhante, kita ingin mengetahui apa arti nama Bhante yakni Pannavaro? Siapa yang memberi nama tersebut?
(J) Ah... pemberian nama itu kan supaya tidak membinggungkan satu dengan yang lain. Kalau semua namanya sama tentu membingungkan (kami tertawa mendengar jawaban Bhante). Saya pernah omong-omong dengan Bhiksu Prajnavira (pimpinan Majalah Buddhis Indonesia). Panna adalah bahasa Pali kalau Sansekertanya adalah Prajna. Varo menjadi Vara, jadi dengan Bhiksu Prajnavira bedanya hanya huruf i. Panna atau Prajna adalah Bijaksana, Varo berarti mulia. Sedangkan yang memberi nama dalam tradisi kebhikkhuan adalah upajjhaya saya yaitu Y.M Somdet Nanasamvara di Bangkok.

(T) Lalu siapakah guru pembimbing Dharma Bhante?
(J) Bhante Vin, tetapi saya tidak selalu tinggal bersamanya. Saya juga belajar dari banyak Bhikkhu.

(T) Sabda Sang Buddha yang paling berkesan bagi Bhante?
(J) Tergantung konteksnya. Ajaran Sang Buddha pertama kali adalah tentang jangan berbuat jahat, kemudian tambahkah kebajikan dengan berbuat hal-hal yang membantu, meringankan penderitaan orang lain. Yang membuat saya kagum sekali adalah Sang Buddha tidak berhenti disitu saja. Lebih lanjut Sang Buddha mengatakan sesungguhnya "aku" yang berbuat baik itu tidak ada, yang ada hanya kebaikan. Contohnya: aku menulis, tidak logis karena tanpa adanya alat tulis atau tempat menulis, apa yang ditulis? Aku berbuat baik dengan berkhotbah, tidak logis, karena tanpa adanya orang yang mendengarkan, bagaimana saya bisa disebut berbuat baik? Jadi sesungguhnya semua yang ada merupakan perpaduan dari unsur-unsur, tidak ada yang inti yang berdiri sendiri. Untuk bahasa pergaulan dalam masyarakat boleh memakai kata "aku", namun untuk kepentingan spiritual kita harus sadar bahwa tiak ada "aku". Itulah yang membuat saya kagumakan Dharma. Apabila kita menyadari maka akan menurunkan kecongkakan, kesombongan, ketinggian hati dan meningkatkan pikiran suci.

(T) Bhante dikenal sebagai salah seorang openceramah Dharma yang bisa berceramah memukau perhatian pendengarnya. Dari mana ketrampilan berceramah itu?
(J) Ah, itukan kata umat Buddha agar saya tidak bosen memberikan ceramah Dharma, itukan tik umat saja. (kami kembali ketawa) Begini, saya tidak pernah belajar khusus tentang teknik ceramah. Saya senang memperhatikan [araBhikkhu berkhotbah. Dengan demikian saya berusaha untuk membuat nilai sendiri. Kemudian sebelum kotbah saya harus sudah membuat persiapan tentang sistematika. Itu penting sekali. Mulai dari pendahuluan misalnya memnyampaikan pujian, terima kasih atas perhatian pendengar, lalu masuk materi yang disampaikan, apa Dharma yang akan diberikan dan terakhir membuat kesimpulan. Sistematika itu sangat penting, tanpa sistematika apayang harus kita bicarakan kehilangan arah, ruwet. Hal penting lainnya: seorang pembicara harus yakin apa yang dia bicarakan. Mau tidak mau harus banyak membaca Saya selalu menngatakan hal tersebut kepada para Bhikkhu.

(T) Filisofi hidup Bhante?
(J) Semakin banyak kita melakukan sesuatu bagi orang banyak, kita akan semakin merasa hidup ini berarti. Kalau kehadiran saya bisa bermanfaat untuk bukan hanya puluhan tapi banyak orang, misalnya: saya diundang khotbah Dharma di TV maka saya merasa saya muncul didunia ini tidak sia-sia. Jadi berbuatlah semakin lebar lagi, berbuatlah yang bermanfaat untuk semua makhluk. Tiada yang lebih indah pada kesadaran bahwa hidup kita harus berguna bagi orang banyak.

(T) Bhante, kami ingin mengetahui pandangan Bhante mengenai perkembangan agama Buddha untuk masa datang di Indonesia?
(J) Agama Buddha akan berkembang pesat di Indonesia. Namun, hendaknya jangan melihat agama Buddha itu di dalam bentuk yang formal artinya diukur dari banyaknya umat yang datang ke vihara. Agama Buddha akan berkembang dalam nilai-nilai Dharma artinya Dharma dapat dijumpai dimana-mana. Yang membuat dia menjadi Buddhis bukan upacaranya, ritualnya. Jika ada orang yang bukan Buddhis tapi berpikiran Buddhis, itulah sikap orang Buddhis. (T) Mengenai sekte Mahayana?
(J) Saya melihat setiap sekte dalam agama Buddha itu mempunyai basic yang sama, tidak ada perbedaan yang mendasar. Adanya berbagai sekte ini justru membuat agama Buddha kaya. Kalau tidak berkesesuaian pandangan itu wajar, jangan ditanggapi dengan permusuhan, kita harus menghadapi dengan sabar. Siapa yang mengajari kita sabar? Tidak lain adalah mereka yang menentang, memusuhi dan tidak menyenangi kita. Dan kalau pikiran kita sempit (ego besar) maka akan beranggapan hanya agamaku yang benar. Kalau lebih sempit lagi (ego lebih besar) hanya sekteku yang benar, diluar sekteku semuanya salah. Kalau lebih sempitlagi (ego lebih besar lagi) maka viharaku yang benar, diluar viharaku adalah tidak benar. Lebih besar lagi ego, hanya diriku yang benar, diluar diriku tidak benar.

(T) Ide yang pernah dihasilakn Bhante dan diterapkan sampai sekarang?
(J) Ah, saya hanya membantu saja semua kegiatan. Keinginan saya adalah meneruskan, meningkatkan, dan mengembangan ajaran Buddha untuk banyak orang.

(T) Dalam kesibukan Bhante, apakah menyediakan waktu khusus konsultasi dengan umat? Dan hobby Bhante?
(J) Tidak, saya tidak pernah menyediakan waktu khusus untuk konsultasi. Kalau kebetulan saya ada di tempat ya silakan. Kalau hobby, sekarang ini hal-hal yang berhubungan dengan arkeologi (misalnya ukiran di candi-candi) yang menarik perhatian saya.

(T)Ada kalanya orang berpikir negatif terhadap sesuatu hal walaupun belum tentu kejadiannya sesuai dengan apa yang dipikirkan.Contoh: seorang ibu memikirkan yang bukan-bukan ketika anak atau suaminya sampai jam 11 malam belum pulang padahal biasanya jam 6 sore sudah ada dirumah. Mohon penjelasan Bhante mengenai proses kejadiannya bentuk pikiran negatif tersebut!

(J) Kalau seorang ibu mengkhawatirkan anaknya pulang malam itu wajar, karena tanggung jawab dan kasih sayang. Tapi itu tidak bijaksana bila ia tidak memberikan pengertian pada anak. Bukan zamannya lagi seorang anak itu tidak boleh ini, tidak boleh itu. Oleh karenanya anak harus diberi bekal kuat yakni agama itulah yang menjadi filter bagi anak tersebut. Orang tua jarang ada yang berpikir, apakah anak saya sudah diberi pendidikan agama? Inilah pokok masalahnya.

(T) Dan proses bentuk pikiran yang menyebabkan orang menjadi rendah diri? Misalnya karena merasatidak punya uang atau teman, lalu tidak berani ke vihara?
(J) Mengenai rendah diri harus dilihat unsur apa yang menyebabkannya.Mungkin ada yang minder ke vihara karena viharanya kurang bagus atau dari dirinya sendiri. Jadi kita mesti meneliti apa penyebabnya. Kita tidak dapat mengatakan kalau kejadian ini penyebabnya pasti ini. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

(T) Pertanyaa terakhir, kesan Bhante terhadap Majalah Buddhis Indonesia?
(J) Menarik, tidak kering akan ilustrasi gambarnya.Umat Buddha perlu memiliki majalah seperti ini.

(T) Pesan Bhante untuk mereka yang menamakan dirinya pengurus vihara?
(J) Harus ulet, punyailah ketekunan, jadikan kesempatan pengabdian ini untuk menambah kebajikan. Kebajikan dan kedewasaan.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

Quote from: naviscope on 03 October 2008, 12:40:42 PM
bro, koq semua dari aliran theravada?

yg mahayana, mana?

;D
;D ditunggu ya :))
Smile Forever :)

kullatiro

#34
wah banyak banget yah cuma tau bhikku ashin jinarakita, pada waktu dulu beliau ada mengeluarkan buku paritta ukuran saku (paritta pocket book gitu dah)jadi bisa dibawa bawa kemana mana dan sangat praktis di taruh di saku baju. sekarang ukuran buku paritta gede gede jadi agak ribet di bawa kemana mana. sayang nya tidak ada lagi yang keluarin nih buku paritta ukuran saku. soalnya punya ku dah robek robek (dah antiq dan tua) dulu beli nya gampang tinggal beli ke gramedia ada.

ehh satu lgi tokoh yang ku kenal keluar sri pannavaro

Pitu Kecil


20. YM. Maha Bhiksuni Chen Yen Sthavira [Pendiri Perkumpulan Tzu Chi, Penggerak Kegiatan Kemanusiaan]

Semangat utamanya ketika memutuskan menjadi Bhiksuni adalah bertekad membawa semangat Bodhisattva Avalokitesvara untuk menolong umat manusia dari penderitaan dengan prinsip "Satu tangan bekerja sebanyak seribu tangan, satu mata melihat sebanyak seribu mata?

Sungguh amat mulia langkah yang dia tempuh. Sikap mulia itu ternyata sangat dipengaruhi oleh gurunya, Maha Bhiksu Yin Shun (Maha Bhiksu Yin Shun merupakan seorang Bhiksu yang berwibawa, sangat terpelajar, rendah hati dan figur yagn sangat pantas dijadikan teladan). Saat itu dalam kesempatan yang amat langka, ia bertemu dan berhasil diterima sebagai murid. Oleh gurunya, ia dipesan untuk mau berbuat demi kebahagiaan umat manusia dan umat Buddha.

Selama tiga puluh satu tahun memimpin Tzu-Chi Foundation, sudah banyak karya kemanusiaan yang dilakukannya. Hasilnya pun terbukti sangat membanggakan. Pernah menerima berbagai penghargaan sosial dari negaranya serta penghargaan Ramon Magsaysay yang dianggap sebagai hadiah Nobel Perdamaian?ditahun 1991. Bahkan Presiden Taiwan, Lee Teng Hui pernah mengatakan; Master Chen Yen telah mengukir bagian yang paling menyentuh dalam sejarah taiwan? Siapakah sebenarnya Master Chen Yen yang memiliki kharisma luar biasa, yang hidupnya hanya mengabdi kepada umat manusia dan dijuluki sebagai ibu Teresanya umat Buddhis ini?

Nama aslinya adalah Wang Chin Yun. Lahir pada tanggal 14 Mei 1937, di pinggiran kota Fung-Yen, kabupaten Tai-Chung, Taiwan. Ia diadopsi oleh pamannya ketika masih kecil dan dalam usianya yang masih 15 tahun, ia sudah vegetarian. Dua tahun kemudian, ia harus menerima kenyataan pahit yaitu ayah angkat yang sangat disayanginya meninggal dunia secara tiba-tiba dan tanpa pesan sesuatu apapun. Kenyataan ini terasa berat baginya. Itulah pengalaman yang membuat hatinya sedih teramat dalam. Tiap hari ia selalu merenung sambil bertanya pada diri sendiri: Manusia itu datangya dari mana? Kalau meninggal pergi kemana? Apa tujuan manusia itu lahir? Pertanyaan-pertanyaan ini ternyata mengandung makna yang dalam. Dalam keadaan sedih tidak tahu harus berbuat apa dan bingung, ia teringat kata-kata di sebuah buku Dharma, pemberian Maha Bhiksu Miau Kuang yaitu: setiap manusia yang hidup pasti mati.

Setelah berhari-hari berada dalam keadaan tidak menyenangkan , ia memutuskan ke Vihara Chen-Yin di Taiwan untuk pelimpahan jasa bagi ayah angkatnya. Ketika itulah ia menyadari bahwa apapun yang dimiliki, tidak bisa dibawa serta, hanya perbuatanlah yang akan mengikuti kita.

Begitu pulang dari Vihara Chen-Yin, ia mulai serius memperdalami agama Buddha. Sempat terpikir untuk menjadi Bhiksuni. Namun timbul keragu-raguan dalam hatinya karena teringat keadaan ibu dan saudara-saudaranya.

Suatu hari ia kembali mendatangi Vihara Chen-Yin dan mengajurkan sebuah pertanyaan ke Bhiksu yang tinggal di Vihara tersebut. Wanita yang bagaimanakah yang paling bahagia? Demikian pertanyaan yang ia ajukan. Daan ia memperoleh jawaban yang berkesan yaitu dikemukakan bahwa wanita yang membawa keranjang itulah yang paling bahagia. Apabila seorang wanita tidak bisa mengurus rumah tangga maka tidak akan dapat ditemukan kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Puaskah ia mendengar jawaban itu? Ternyata tidak. Ia berpikir: Setiap hari ia membawa keranjang, mengapa tidak bahagia? Lalu arti keranjang itu apa? Ia terus mencari jawaban. Akhirnya ia menemukan maknanya yaitu apabila kita ingin memperoleh kebahagiaan maka harus membuat orang lain bahagia pula.

Hari itu tepat 100 hari ayah angkatnya meninggal. Ia mengunjungi ke suatu tempat di kota kecil bernama Cin Siu Yen. Disana ia menghabiskan waktu dengan merenungi semua kejadian yang menimpa ayah angkatnya. Karena berhari-hari tidak pulang, ibunya mencari dan berhasil membujuknya pulang.

Tetapi beberapa hari kemudian, tanpa pamit ia kembali ke Vihara Ching Chie disebelah barat Taiwan. Kali ini ia bertekad tidak akan menuruti keingina ibunya apabila dibujuk pulang. Ketika berhasil ditemui ibunya, ia berkata: Walaupun ibu dapat membawa badan saya pulang, tetapi pikiran dan semangat saya tidak bisa ikut ibu? katanya. Melihat kemauan kerasnya, akhirnya ibunya pun mengalah. Sejak itu ia sudah tidak diganggu lagi untuk mewujudkan keingannya. Ia pernah berjanji bahwa setiap kali ibunya ulang tahun ia pasti akan datang menjenguk.

Semangatnya untuk mencari Dharma Sang Buddha akhirnya membawa titik terang yang bersejarah. Saat itu, ia pergi ke Hua-Lien. Oleh seorang upasika, ia dibawa ke sebuah vihara bernama Phu Ming yang baru akan diresmikan. Bgitu melihat vihara itu, ia terkesima, Ini dia, bangunan vihara yang mirip dengan yang pernah dimimpinya pada waktu umur 15 tahun? pikirna. Merasa berjodoh dengan vihara ini, ia memohon izin upasika itu untuk membangun sebuah rumah tinggal. Tepat dibelakang vihara, diabngulah sebuah rumah yang sangat sederhana berukuran 3m2 x 3.6 m2. Di rumah itulah ia melatih dirinya.

Pada tahun 1963 bulan Februari, di kota Tia-Pei di Vihara Ling Ci, sedang dibuka pendaftaran latihan sila. Ia bermaksud ikut. Namun tidak mendapat izin karena ia tidak mempunyai guru pembimbing Dharma. Ia merasa sedih atas penolakan dirinya. Dalam keadaan itulah ia mengunjungi perpustakaan di Vihara Ling Ci bermaksud membeli sebuah buku Dharma karangan Maha Bhiksu Yin Shun. Dan siapa yang menyangka di perpustakaan itulah ia bertemu maha Bhiksu Yin Shun! Begitu melihat Maha Bhiksu Yin Shun yang juga sedang berjalan mendekatinya, ia langsung berkeinginan untuk diterima sebagai murid, Dan sepertinya segala sesuatu sudah diatur, dengan kemauan dan usaha kerasnya, ia berhasil diterima sebagai murid. Nasehat dari Maha Bhiksu Yin Shun yang diingat dan memberkas di hatinya sampai kini a dalah: "Kamu sudah meningglkan kehidupan duniawi, harus mau berbuat demi umat manusia dan agama Buddha? Oleh guirunya ia diberi nama Chen Yen. Saat itu ia berumur 26 tahun.

Karena sudah mendapat guru pembimbing Dharma, ia kembali ke tempat pendaftaran dan diizinkan mengikuti latihan sila, Selesai latihan ia kembali ke rumah untuk memperdalami sutra "Fa Hua Ching? Setiap bulan sekali, ia selalu melimpahkan jasa-jasa kepada semua makhluk. Tekatnya sudah bulat, ingin membawa semangat Bodhisatva Avalokitesvara untuk menolong manusia dari penderitaan. Di mana ada orang menderita, disitulah ia akan hadir untuk menolong.

Dua tahun kemudian, ia berjalan-jalan ke rumah sakit di kota kecil yang masih terbelakang untuk mengunjungi teman yang sakit. Di pintu masuk, ia terhenti karena terkejud melihat genangan darah di lantai. Apa yang terjadi disini??tanyanya kepada seorang disampinya. Seorang wanita desa yang keguguran dibawa keluarganya disini? jawab orang itu. Mereka tidak mempunyai uang muka sehingga wanita itu diminta pergi?

Apakah manusia sudah begitu kejam sehingga tega mengusir kaum sakit dari rumah sakit hanya karena tidak mempunyai uang??ia bertanya kepada dirinya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, tiga biarawati ka****k mengunjunginya dengna maksud untuk membaptiskanya. Mereka menghabiskan waktu beberapa jam, bertukar pikiran tentang kehidupan dan keyakinan masing-masing. Ada satu hal yang tidak saya pahami dari para penganut agama Buddha? tukas salah seorang biarawati. Mengapa kaliah lebih berkonsentrasi pada pengembangan diri sendiri dan bukan berusaha membantu mereka yang kurang beruntung??

Ia tidak dapat berkata apa-apa, kejadian mengerikan di rumah sakit masih mengganggu pikirannya. Dia sudah tahu apa yang harus dikerjakan.

Dengan bantuan beberapa gadis desa yang telah kenal baik dengannya, ia menebang beberapa batang bambu dan membuatnya menjadi mangkuk. Ia memberikan mangkuk-mangkuk itu kepada 30 ibu rumah tangga yang biasa mengunjunginya. "Sebelum kalian pergi ke pasar setiap hari, ambillah 50 sen dari uang belanja kalian dan simpanlah ke dalam mangkuk untuk disumbangkan bagi kaum miskin? jelasnya.

Bukankah lebih mudah jika kita menyumbang 15 dollar setiap akhir bukan? tanya mereka. Tidak, jika kalian berdana sebulan sekali, kalian mengalami perbuatan baik berdana hanya sekali sebulan?

Pada ibu tersebut mulai menabung dan menggunakan uang itu untuk membeli makanan dan pakaian yang kemudian disumbangkan kepada keluarga miskin. Kaum tua yang hidup sebatang kara mereka dampingi dan rawat. Tempat tinggal dan makana diberikan kepada kaum tuna wisma.

Setelah kabar tentang perbuatan mereka tersebar, semakin banyak sukarelawan yang mengajukan diri untuk ikut serta. Sadar bahwa kelompok yang terogranisir baru dapat menangani pekerjaan sosial yang lebih baik, ia memelopori yayasan dana Buddhis Tzu-Chi ditahun 1996. Anda bukanlah sekedar mengumpulkan dana? ucapnya kepada mereka. Waktu, tenaga, dan kasih sayang kepada sesama, itulah yang amat dibutuhkan.

Pada suatu malam di tahun 1979, ia terkena serangan jantung dan tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menyadari hampir saja meninggal dunia. "Jika saya meninggal, apa yang saya tinggalkan untuk menolong mereka yang menderita??pikirnya. Bergerut dengan kemiskinan di Hua-Lien selama 13 tahun membuatnya menyadari kebutuhan akan perawatan kesehatan. Saya akan mendirikan rumah sakit yang modern, yang tidak akan menolak siapapun? demikian keputusan yang diambilnya.

Selama lima tahun, ia dan pengikutnya bergerak di seluruh Taiwan mengumpulkan dana. Berita tentang seorang Bhikhuni yang merencanakan pendirian rumah sakit modern berperalatan lengkap menggugah perasaan rakyat Taiwan. Sebagai hasilnya, dana sebesar 700 juga dollar Taiwan terkumpul. Dan akhirnya pada tanggal 17 Agusuts 1986, seratus ranjang di rumah sakit Umum Buddhis Tzu-Chi siap melayani pasien.

Suatu hari, seorang gadis berusia 15 tahun mengalami kerusakan otak yang berat akibat kecelakaan mobil. Setibanya di rumah sakit, gadis itu berada dalam keadaan koma. Pasien dengan kecelakaan seperti itu tipis harapannya untuk diselamatkan jika rumah sakit Buddhis Tzu-Chi belum berdiri? ungkap Dr. Tsai Swei Chang. Selang sehari kemudian, kondisi gadis itu membaik. Berita pembedahan yang berhasil dan poulihnya kesehatan gadis itu menyebar di Hua-Lien. Mereka yang tidak tahu nama resmi rumah sakit tersebut memberitahu supir taksi, Tolong antarkan saya ke rumah sakit yang tahu cara membedah otak manusia.

Rumah sakit ini begitu dilimpahkan kasih sayang. Seolah-olah merupakan Vihara yang terbaik. Vihara yang menyembuhkan baik secara fisik maupun secara psikologis. Tertarik dengan filosofi rumah sakit itu, yang memperlakukan setiap orang sebagai keluarga, para dokter mulai berdatangan untuk bergabung di rumah sakit tersebut. Seorang dokter yang tidak berhasil menyembuhkan seorang pasien, dengan rendah hati meminta maaf dengan air mata berlianng di pipinya.

Dia membantu kaum miskin untuk memulihkan harga diri dan kaum kaya untuk memperbaiki hidup mereka dengan membantu kaum miskin? ujar Susan Wen, sukarelawan di Taipei. Kami menyumbangkan waktu, tenaga dan uang kami, dia memberi kami kesadaran? Baginya, senyum pasien yang sakit adalah hal yang teringah di dunia ini.

Meskipun prestasinya telah membawa dampak yang luar biasa pada kehidupan sesama, ia tidak mau terbenam dengan masa lalu. "Masa lalu adalah kenangan yang palsu? ungjkapnya. Kita harus hidup di masa kini. Masalah terbesar di dunia adalah kurangnya kasih sayang. Kami mencoba menciptakan masyarakat yang dipenuhi cinta kasih? katanya.

Pada kesempatan yang baik ini, saya akan menjelaskan lebih mendalam tentang arti Tsu-Chi . Seperti kita ketahui, empat misi utama Tzu-Chi adalah amal, pengobatan, pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan kat Tzu-Chi merupakan: Tzu - Phei - Si - Se.

Tzu artinya: memberikan cinta kasih dengan tulus ikhlas tanpa penyesalan. Tzu-Chi telah berlansung lebih dari 30 tahun. Sejak masih kecil sampai sekarang, segenap pengurus, sukarelawan, serta para simpatisan Tzu-Chi selalu ikut terus berkarya. Saat ini terhadap lebih kurang lima juta umat Tzu-Chi tersebar di berbagai negara di dunia.

Kila selalu menganggap, jika orang kaya itu pasti bahagia. Kenyataannya belum tentu demikian. Satu contoh: dirumah sakit Tzu-Chi, terhadap pasien dari kalangan kaya tetapi mengeluh tidak bahagia. Mengapa? Karena orang kaya itu merasa sangat kesepian, tidak punya keturunan sehingga sedih kalau sudah meninggal, kekayaannya akan diwarisi kepada siapa?

Ada empat jenis manusia didunia ini:

  1. Orang kaya yang kehidupannya kaya
     Misalnya: Orang kaya yang memiliki kebijaksanaan serta mau berbuat baik terhadap banyak orang.
  2. Orang kaya yang kehidupannya miskin
     Misalnya: Pasien kaya yang merasa sedih.
  3. Orang miskin yang kehidupannya kaya
     Misalnya: Para aktivis Tzu-Chi atau orang biasa yang memiliki kasih sayang dan senang menolong orang lain.
  4. Orang miskin yang kehidupannya miskin Misalnya: Orang susah yang menerima bantuan.

Phei artinya tabah dalam mengalami kesusahan. Dalam melakukan apapun pasti ada celaan. Misalnya ketika kita membantu korban bencana alam di negara lain, kita dikritik, kenapa kalau membantu mesti terhadap negara lain. Saya menjawab: bukankah mereka yang menderita adalah juga umat manusia? Bukankah cinta kasih itu tidak membeda-bedakan suku, bangsa dan agama? Kita harus menghargai jiwa manusia. Jadi, apabila kita bermaksud berbuat sesuatu kebaikan, bertanyalah pada kita apakah kita akan menyusahkan orang lain?

Si artinya sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling mengasih. Dengan sikap ini akan membuat kerjasama berjalan harmonis. Semua orang akan bekerja dengan gembira dan tidak ada rasa kekhawatiran.

Se artinya apabila kita memberi, jangan menuntut balasan. Misalnya: Kalau kita mendidik murid atau membantu orang susah harus dilakukan dengan sepenuh hati sehingga akan membuat hati kita senang.

Saya berharap kalian sewaktu kembali kenegara masing-masing akan dapat bersikpa bagaikan butiran-butiran beras berkumpul menjadi satu karung, bagaikan tetesan-tetesan air berkumpul menjadi sungai. Dalam mengerjakan sesuatu, kita harus memiliki keyakinan bahwa: Apabila kita merasa apa yang akan kita kerjakan itu benar, dan kita kerjakan itu dengan cara yang benar maka kerjakan dan pasti akan berhasil.

Berikut petikan tanya-jawab kami dengan beliau:

(T) Harapan sefu terhadap perkembangan Tzu-Chi pada tahun 2000?
(J) Saya berharap di tahun 2000 dapat memberikan yang baik mengenai hasil kerja Tzu-Chi. Kita harus membuat umat menjadi baik serta memiliki cinta kasih agar kehidupan masyarakat menjadi damai. Walaupun itu suatu harapan, namun kita berusaha mewujudkannya sesuai dengan kemampuan yang ada.

(T) Bagaimana kita dapat menjadi Dharma Duta yang baik?
(J) Kita harus memiliki keyakinan, kesungguhan, kejujruan dan kebenaran.
Keyakinan artinya kita harus percaya diri sendiri dan terhadap orang lain. Kita juga harus membuat diri kita dipercayai orang lain.
Kesungguhan artinya dalam melakukan tugas, harus sungguh-sungguh melakukannya.
Kejujuran artinya hati kita harus bersih.
Kebenaran artinya melakukan sesuatu sesuai dengan kebenaran.

(T) Selama ini tentu sefu banyak menemui kesulitan. Mohon sefu mengemukakan contoh kesulitan itu dan bagaimana cara menghadapi kesulitan itu?
(J) Kata kesulitan pasti akan kita hadapai dimana dan kapan saja. Namun asal ada keyakinan, kemauan adn kesabaran pasti kita bisa menghadapi dan mengatasi kesulitan itu. Satu contoh kesulitan yang paling besar adalah membangun rumah sakit. Saat itu saya hanya mempunyai keinginan membangun rumah sakit tetapi saya tidak punya uang dan orang. Saya bukan seorang pengusaha, bukan pula seorang dokter. Semua orang meramalkan pasti tidak jadi rumah sakit itu. Namun saya berkata pada diri saya: Di dunia ini asal ada kemauan, pasti saya bisa melakukan sesuatu dengan baik. Di dunia ini asal ada kesabaran, tidak mungkin saya tidak bisa menghadapinya?

(T) Saya merasa kagum melihat Tzu-Ci banyak membantu orang yang menderita. Misalkan sebagai orang cacat, bagaimana caranya bisa ikut bergabung dan membantu Tzu-Chi?
(J) Jangan merasa kecil hati. Yang penting ada keyakinan dan cinta kasih. Hal ini akan menghasilkan kekuatan besar.

(T) Saya melihat banyak sekali orang-orang Buddhis yang mencari keuntungan pribadi, dengan menggunakan nama Buddhis sebagai topeng? Mohon penjelasan sefu.
(J) Kamu harus percaya apa yang kamu percayai. Kerjakanlah apa yang mesti dikerjakan. Percaya apa yang kamu kerjakan. Dan kerjakan yang kamu percayai. Apabila orang itu mengaku Buddhis, tetapi perbuatannya tidak jujur dan tidak benar, maka sebenarnya dia itu bukan seorang Buddhis yang baik, hanya mengaku Buddhis saja. Karenanya kita jangan percaya dia.

(T) Mengapa setiap ceramah, sefu selalu menekankan perlunya bersungguh-sungguh dalam menggunakan hati untuk melakukan sesuatu?
(J) Jadi manusia itu bisa lupa diri dan selalu berbuat kesalahan. Saya selalu mengingatkan kalian untuk memperhatikan hati sendiri agar hati, badan, mulut dan pikiran tetap besih, tenang dan damai.

(T) Menurut sefu, mana yang lebih baik, membuat amal atau sembahyang di Vihara?
(J) Dua-duanya juga baik, tergantung pada kesenangan kita. Kalau kita menyenangi amal, ya berbuatlah amal. Apabila kita menyenangi sembahyang di Vihara, ya lakukanlah perbuatan itu.

(T)Sefu berbuat amal begitu banyak apakah ada rasa lelah?
(J) Saya tidak merasa lelah karena saya melakukan dengan senang hati serta penuh kesadaran. Misalnya: Kita mendaki gunung. Biarpun gunung itu tinggi, namun kalau kita melakukannya dengan senang hati maka kita pasti akan dapat melakukannya.

(T) Ketika membangun Tzu-Chi di Hua-Lien, ada dermawan besar yang ingin memberikan dana. Tetapi sefu menolak. Dengan pertimbangan apa sefu menolaknya?
(J) Saya bukan karena mau membangun rumah sakit membuat saya membangun rumah sakit. Saya ingin membangun hati nurani umat manusia, dari sumbangan dana yang merupakan sumbangan dari hati mereka. Jadi setiap orang mendapat kesempatan untuk melakukannya. Apabila saya hanya menerima sumbangan dari satu orang saja, walaupun rumah sakit itu bisa dibangun, namun tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat kebaikan.

(T)Kalau sefu sudah tidak ada, siapa yang akan melanjutkan kegiatan Tzu-chi?
(J) Sebelum Buddha Parinibbana, Buddha tidak menunjuk siapa penggantinya. Tetapi semangat Buddha terus berlanjut, malah semakin berkembang sehingga semakin banyak orang yang memiliki hati Buddha.
Jadi seluruh orang yang menyayangi Tzu-Chi tidak perlu mencemaskan Tzu-Chi, tetapi harus pakai semangat yang pada saat itu untuk memberikan kepastian/dorongan yang kuat, membersihkan diri sendiri untuk mendamaikan masyarakat ini.

(T)Saat ini di Hua-Lien sudah berdiri sebuah rumah sakit Tzu-Chi, tetapi sefu masih berencana untuk membangun rumah sakti di Ta Lin, dan bahkan nantinya diseluruh kota di Taiwan. Sebenarnya apa tujuan sefu berbuat demikian?
(J) Jumlah umat Tzu-Chi cukup banyak. Apalagi kegiatan hanya berpusat di Hua-Lien maka anggota-anggota Tzu-Chi diluar Hua-Lien tidak mendapat kesempatan berbuat kebajikan. Padahal banyak orang ingin berbuat kebajikan, tentu butuh penyuluran ke tempat yang benar-benar bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk semua orang. Kita mempunyai kewajiban untuk membantu mereka menjalankan semangat Bodhisattva.
Smile Forever :)

Pitu Kecil


21. Y.M. Sudhammo Mahathera

BuddhistOnline.com - Tanggal 28 Februari 2000, ia telah meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Tepatnya pada pukul 23.09 WIB. Di antara umat Buddha di Indonesia, mungkin cuma sedikit yang tahu banyak soal kehidupannya. Kebanyakan hanya mengenalnya sebagai seorang Bhikkhu yang mengepalai Vihãra Ratanavarana Arãmã, Sendang Coyo, Lasem. Apalagi memang ia jarang sekali 'turun gunung'. Sehingga semakin sulit para umat untuk mendekatinya.

Beruntunglah, tidak lama setelah ia meninggal dunia, sempat disusun sebuah buku sederhana yang menceritakan jejak-jejak kehidupannya selama ini dengan judul "Selamat Jalan...YM Padhana Sasanadhaja Sudhammo Mahathera". Meskipun dibuat agak terburu-buru, sehingga ada beberapa hal yang terlewatkan, buku yang disusun oleh Anagarini Santini itu cukup mampu menggambarkan bagaimana sosok Bhikkhu yang berusia 62 tahun itu. Sehingga kenangan mengenai almarhum tidak sirna seiring dengan kepergiannya.

Ia lahir pada 21 April 1938 di Desa Sumenep, Madura. Orang tuanya, Malik dan Saliha, memberinya nama Busaha Burhanudin. Ia merupakan anak tunggal. Tidak heran orang tuanya cukup memanjakannya. Meskipun demikian, mereka tetap memperhatikan pendidikan moral baginya. Berbagai nasehat senantiasa diberikan. Salah satu yang terus diingatnya adalah "Jangan sampai kamu meminta kepada orang lain, tetapi memberilah kepada orang lain".

Busaha tumbuh menjadi anak yang cerdas. Ketertarikannya dengan bidang filosofi telah dimulai sejak usia muda. Di usianya yang ke-7, misalnya, ia telah membuat sang ayah pusing dengan berbagai pertanyaannya tentang hal-hal pelik seputar kehidupan.

Sayangnya, didikan dan cinta kasih dari orang tuanya hanya bisa ia rasakan dalam waktu yang cukup singkat. Ayah dan ibunya satu persatu meninggal dunia saat ia masih bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM). Setelah lulus tahun 1959, Busaha muda memilih hidup mengembara dari hutan ke hutan yang ada di Pulau Jawa selama kurang lebih empat setengah tahun. Tujuannya adalah untuk mencari makna kehidupan. Selama pencariannya itu, berbagai pengalaman, baik manis maupun pahit, dialaminya. Semuanya dijalani tanpa keluhan. Mengeluh adalah satu hal yang selalu dihindari selama hidupnya.

Tahun 1964, setelah keluar dari hutan, ia mulai mengenal Agama Buddha. Di tahun 1972, ia bertemu dengan (alm.) Y.M. Girirakkhito Mahathera. Rupanya, pertemuan itu membawa kesan yang mendalam. Tidak lama kemudian, tepatnya 10 November 1972 pukul 10.00 WIB, ia ditahbiskan menjadi Samanera oleh almarhum Bhante Giri di Surabaya.

Dua tahun berikutnya, ia diupasampada menjadi Bhikkhu Sudhammo oleh Somdet Phra Nyanasamvara (Supreme Patriarch of Thailand) di Wat Bovonarives Vihara, Bangkok, Thailand. Selama di negeri gajah putih itu, ia sempat kuliah di salah satu universitas selama setahun. Setelah itu ia berguru kepada Ajahn Tate Dasaramsi. Di antara para Bhikkhu lainnya yang juga berguru di tempat yang sama, ia terkenal paling berani.

Di tahun 1976 terjadi sebuah peristiwa penting dan bersejarah yang melibatkan dirinya. Pada 23 Oktober 1976, ia bersama (alm.) Y.M. Khemasarano Mahathera, Y.M. Bhikkhu Aggabalo (sudah lepas jubah dan sekarang dikenal sebagai Cornelis Wowor, M.A.), Y.M. Bhikkhu Khemiyo (sudah lepas jubah), dan (alm.) Y.M. Bhikkhu Ñanavuttho mendirikan Sangha Theravãda Indonesia (STI). Pendirian persaudaraan para Bhikkhu aliran Theravãda itu bertempat di Vihãra Maha Dhammaloka (sekarang Vihãra Tanah Putih), Semarang.

Selanjutnya, ia mulai mencari tanah di daerah pegunungan untuk mendirikan sebuah vihara. Pilihan jatuh pada Desa Sendang Coyo, Lasem. Desa ini terletak di daerah pegunungan yang tandus dan cukup terjal. Akibatnya tenaga dan dana yang diperlukan menjadi ekstra besar. Meskipun demikian, ia tidak mengenal rasa putus asa dan tetap bersemangat. Bahkan beberapa pekerjaan dikerjakannya sendiri. Seperti mengangkut pasir, memikul kayu, sampai mengaspal jalan setapak. Setelah bertahun-tahun melewati masa-masa yang sulit, akhirnya ia dapat mewujudkan impiannya.

Tahun 1985, Vihãra Ratanavana Arãmã berhasil didirikan dengan ditandai selesainya bangunan Dhammasala. Seiring dengan keberhasilan itu, berbagai perubahan terjadi. Ia yang sebelumnya sangat pendiam berubah menjadi humoris. Badannya yang dulunya kurus menjadi semakin berisi. Tanah yang dulunya tandus perlahan-lahan menjadi subur. Kesulitan airpun bisa teratasi. Semua itu berkat kegigihannya. Ia kerap kali berjalan ke gunung-gunung sekitar vihara hanya untuk mencari sumber air.

Agar biaya perawatan dan pemeliharaan vihãra tidak tergantung pada dana yang diberikan oleh umat, ia berusaha menciptakan sejumlah pos penggalian dana. Antara lain dengan penjualan madu hutan dan tanaman-tanaman palawija yang diusahakan oleh pengurus vihãra. Selain untuk vihãra, hasil penjualan itu dimanfaatkan juga untuk biaya anak asuh yang berjumlah lebih dari 100 orang.

"Tidak selamanya bisa mengandalkan dana dari umat. Bila suatu perubahan terjadi, kemandirian bisa menopang," kata almarhum Bhante Sudhammo kepada pengurus vihãra mengenai pos penggalian dana itu.

Ketika STI memperingati ulang tahunnya yang ke-20 pada 23 Oktober 1996, ia dianugrahi gelar Padhana Sasanadhaja (orang pertama yang mengibarkan bendera sasana) atas jasa dan pengabdiannya selama menjadi Bhikkhu.

Dalam mengerjakan suatu pekerjaan, almarhum Bhante Sudhammo acap kali tidak memperhatikan kondisi kesehatannya. Walaupun dalam keadaan tidak sehat, sering ia memaksakan untuk tetap berkonsentrasi terhadap pekerjaannya. Dan hal yang dikuatirkan itu akhirnya terjadi. Pada 14 Desember 1998, ia mengalami serangan stroke pertama kalinya yang membuatnya harus menjalani perawatan di rumah sakit di Surabaya dan dilanjutkan ke salah satu rumah sakit di Tangerang (Baca juga: Bhante Sakit, Rumah Sakit Jadi 'Rebutan').

Setelah keluar dari rumah sakit, ia sempat beristirahat beberapa bulan di Vipassana Graha, Lembang. Rupanya ia tidak tahan untuk berlama-lama meninggalkan lingkungan vihãra yang begitu dicintainya, sehingga sekitar akhir tahun 1999 lalu dikabarkan almarhum sudah kembali ke Lasem. Ia kembali menyusun sejumlah rencana untuk pengembangan vihãra yang sudah 14 tahun ditempatinya.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya 12 Februari 2000, ia terserang stroke lagi sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit Adi Husada, Surabaya malam itu juga. Akibat pembekuan aliran darah di sekitar otak yang menghambat pasokan oksigen ke otaknya membuatnya harus menjalani perawatan medis secara intensif di ruang ICU. Beberapa kali operasi dilakukan terhadap dirinya, terutama pada bagian kepala. Beberapa kali pula ia sempat tidak sadarkan diri secara serius atau koma. Jelas sakitnya kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya (Baca juga: Bhante Sudhammo Masuk Rumah Sakit Lagi ).

Rupanya, serangan stroke kali ini adalah yang terakhir kalinya. Meskipun pada hari-hari terakhir, kondisinya sempat membaik, namun yang namanya ketidakkekalan bisa terjadi kapan saja. Dan akhirnya pada 28 Februari 2000 pukul 23.09 WIB, detak jantungnya berhenti untuk selamanya. Selamat jalan, Bhante Sudhammo!
Smile Forever :)

Pitu Kecil


21. YM. Bhikkhu K. Sri. Dhammananda Nakaya Maha Thera [Kontroversial Sang Pembabar Dharma Yang Pandai]

Yang Mulia Bhikkhu K. Sr Dhammananda merupakan Bhikkhu yang mempunyai reputasi international. Beliau adalah pendiri dan penasehat spiritual Buddhist Missionaries Society yang bertempat di Buddhist Vihara Brikfields – Kuala Lumpur, Pamaradhamma Buddhist Institut di Srilanka dan Singapore Buddhist Mission di Singapore. Beliau mendapat kehormatan dengan dianugerahinya gelar kehormatan "Dharmakirthi Sri Saddhamma Visarada" oleh Siam Maha Nikaya Srilanka, gelar kehormatan "Pariyati Visara" oleh Kotte Maha Sangha Sabha Srilanka, gelar kehormatan "Saddhamma Vibhusana" oleh Vidyalankara Pirivena Srilanka, gelar kehormatan "Sastriya" oleh Benares Hindu University India, gelar kehormatan ""ripitaka Vagiswara Charya, Mahopadhaya" oleh Rohana Sangha Sabha Srilanka dan gelar kehormatan "Visuadharma Visarada Sasadhaja" oleh Ramanna Maha Nikaya Srilanka. Beliau juga dikenal sebagai penulis buku-buku Dharma yang bermutu, seperti What Buddhists Believe, How to live without fear4 and worry, Do you believe in Rebirth, Great Personalities o Buddhism, Why Buddhism, Is it wrong to be ambitious, You are responsible, How to overcome your difficulties, Great virtue of Buddha, Budhism in the eyes of intellectuals, Whither mankind, A happy married life, handbook of Buddhists, Meditation the only way, Treasure of the Dhamma, Human Life and Problems dan buku baru berjudul Food of Thinking Mind. Total buku yang sudah ditulisnya adalah lebih dari 50 buku., Beberapa bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Taiwan, India, Spanyol, Srilanka, Kamboja, Korea, Afrika Selatan dan Amerika. Beliau juga menerbitkan maalah "Voice of Buddhism" dan sangat aktif dalam penyebaran agama Buddha di Malaysia dan beberapa negara bagian didunia. Dilahirkan dari keluarga yang memiliki tradisi agama Buddha pada tanggal 18 Maret 1919 di desa Kirinde, selatan Srilanka. Sebagai anak tertua dari enak bersaudara, beliau sejak berusia tujuh tahun sudah aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Beliau memiliki paman yang juga pemimpin bhikkhu dari sebuah vihara di Kirinde. Saat itu keinginan untuk menjadi bhikkhu mulai memasuki hati sanubarinya.

Ketika berumur 12 tahun, beliau sudah memasuki kehidupan keagamaan sebagai seorang samanera. Keinginan tersebut adalah berkatdorongan ibunya yang yakin bahwa apabila ada salah satu anggota keluarga yang menjadi anggota Sangha maka akan membawa manfaat yang besar bagi orang tua dan keluarga. Beliau ditabhiskan oleh Ven K. Dhammaratana Mahathera dari Vihara Kirinda dengan nama "Dhammananda" yang berarti "seorang yang memperoleh kebahagiaan melalui Dhamma:. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1940 ia ditabhiskan menjadi bhikkhu oleh Ven. K. Ratanapala Mahathera dari Vihara Kotawila.

Pada tahun 1935-1938, beliau mulai mempelajari Dhamma secara mendalam di Vidyalankara Pirivena, Institut agama Buddha yang terkenal di Srilanka. Gurunya adalah Ven. Kotawila Deepannanda nayaka Thera. Selanjutnya ia mempelajari sansekerta, pali, dan filosofi Buddhis selama tujuh tahun di perguruan bergengsi yaitu Vidyaankara Pirivena di Peloyagoda, Kelaniya. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Benares di India. Beliau mempelajari sansekerta, hindu dan filosofi di India. Pada tahun 1949, beliau berhasil meraih gelar Master dalam bidang filosofi India. Tercatat salah seorang profesornya adalah Dr. S. Radhakrishnam, presiden pertama negara India.

Setelah menamatkan pendidikannya, beliau kembali ke Srilanka untuk mendirikan insitut buddhis "Sudharma" guna memmenuhi kebutuhan akan pendidikan, sosial dan spiritual penduduk sekitarnya. Beliau lalu menerbitkan secara berkala jurnal Buddhis dalam bahasa Singhalese.

Pada tahun 1952, Ven K. Sri Pannasara Nayaka Thera, pemimpin Vidyalanakara Pirivena menerima sebuah surat dari perkumpulan Sasana Abhiwurdhi Wardhana, Malaysia. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa dibutuhkan seorang Bhikkhu yang bisa menetap di Vihara Brickfileds Malaysia. Dari 400 Bhikkhu yang ada di Vidyalankara Pirivena, yang terpilih adalah Beliau. Dan pada tanggal 02 Januari 1952, untuk pertama kalinya beliau mendarat di Penang. Beliau menetap di Vihara Mahindarama Buddhist. Pemimpin vihara tersebut adalah Ven. K. Gunaratana Maha nayaka Thera, seorang bhikkhu Singhalese yang sangat terkenal akan kepandaiannya dalam membabarkan Buddha Dharma. Setelah berdiam beberapa hari, beliau berangkat menuju Kuala Lumpur dan menetap di Vihara Brickfields Buddhist sampai sekarang. (sekarang bernama Buddhist Maha Vihara)

Sebagai hasil dari usaha pembabaran Dhamma beliau, banyak orang yang akhirnya sadar dan memahami ajaran yang benar dari agama Buddha. Untuk lebih mendukung usaha pembabaran Dhamma, pada tahun 1961beliau mengadakan diskusi dengan pemimpin-pemimin Buddhis awam tentang perlunya sebuah organisasi. Dan pada tahun 1962 beridirilah Buddhist Missionary Society (BMS) yang bertujuan untuk:

    * Mempelajari dan mempromosikan ajaran Agama Buddha
    * Mengembangkan kualitas kejujuran, cinta kasih dan mengembangkan keharmonisan agama dan pengertian dalam mempraktekkan agama Buddha
    * Menerbitkan bacaan Buddhis
    * Menyediakan petunjuk-petunjuk dalam mempraktekkan ajaran Buddha Dhamma
    * Memberikan perhatian, nasehat dan pelayanan di bidang spiritual, sakit dan kematian.

Beliau yakin bahwa salah satu cara yang paling efektif dalam mengembangkan ajaran Sang Buddha adalah menerbitkan buku-buku. Apalagi jumlah bhikkhu dan penceramah awam sangat terbatas, maka jalan keluar yang terbaik adalah melalui buku. Mulailab beliau menulis artikel -artikel dan bulku-buku.

Selain mengajar di berbagai Universitas di Malaysia, pada tahun 1970 – 1975, Beliau diundang mengajar di universitas di luar negeri seperti Universitas Lancaster, Unviersitas Hull, Universitas Manchester, Universitas Oxford, Universitas Buddhis Dharma Realm dan Universitas Oriental Studies Di USA.

Atas jasa-jasa dan pengabdiannya yang luar biasa di bidang pendidikan, beliau dianugerahkan DOCTOR HONORIS CAUSA oleh Universias Buddhis Dharma Realm, Universitas Oriental Studies (1975), Universitas Nalada (1976) dan Universitas Benares Hindu (1980) dan Almamaternya, Universitas Srilanka (1991)

Selain penghargaan dari kalangan akademik, Beliau juga mendapat penghargaan dari pemerintah Malaysia. Pada tanggal 07 Juni 1991 Beliau dianugerahkan oleh Yang Maha Mulia Sri Paduka Baginda, Yang Dipertuan Agong IX Sultan Aslan Muhibuddhin Shah Ibni Almarhum Yussuf Izzudin Ghafarullahulahu Saha sebagai "JOHAN SETIA MAHKOTA"

Hubungannya tidak hanya terbatas pada sekte Theravada saja. Beliau juga menjalin hubungan yang baik dengan sekte Mahayana dan Vajrayana. Pernah suatu ketika Ven. Grand Master Hsian Hua dari Amerika Serikat dan Ven Grand Master Hsing Yun dari Vihara Fo Kuang Sang Buddha. Taiwan mengundangnya untuk berdiskusi. Bahkan ketika utusan bhikkhu dan bhikkhuni dari Grand Master Hsian Hua berkunjung ke tempatnya, mereka diundang berceramah dharma. Yang Mulia Dalai Lama juga pernah berkunjung ke Viharanya ketika berkunjung ke Malaysia pada tahun 1979. Beliau selalu berpendapat bahwa Sang Buddha hanya mengajar Dharma. Sang Buddha tidak mengajarkan Theravada, Mahayana dan Vajrayana.

Beliau mengabdikan hidupnya dengan mengajar Dharma tanpa bersikap membeda-bedakan sekte maupun ras. Karenanya banyak dukungan simpatisan mengalir kepadanya. Beliau dipuji sebagai seorang manusia besar yang memiliki ciri-ciri antara lain: penuh kasih sayang, tanggung-jawab, berbudaya, seorang penasehat, pendengar yang sebar, ahli dalam berceramah dan tekun dalam berusaha.

Dengan usaha dan tekad yang keras untuk mengabdi pada Buddha Dharma, Beliau menghasilkan banyak kemajuan bagi perkembangan agama Buddha di setiap negara yang dikunjunginya. Beliau merasa bahagia melihat umat Buddha di seluruh dunia menyadari sebuah kenyataan bahwa dengan upacara dan ritual-ritual saja tidak cukup untuk mempraktekkan agama Buddha. Beliau berpendapat bahwa kita harus belajar, memahami dan menghayati ajaran Sang Buddha dan membabarkannya ke segala penjuru dunia agar dunia dapat diliputi ketenangan dan kedamaian.

Beliau dijunjung tinggi, disegani, dan diakui oleh banyak orang sebagai seorang Bhikkhu yang terpelajar dan sangat aktif dalam penyebaran Buddha Dharma melalui pendidikan. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh yang mampu menyampaikan Dharma di kalangan intelektual.

Dalam kunjungannya ke Indonesia bulan April 1994 yang lalu, kami mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Beliau, berikut ini hasil tanya jawab dengan beliau.

(T) Aktivis sehari-hari Bhante?
(J) Menulis buku Dharma, memberikan khotbah Dharma, mengontrol vihara, mengajar, memberikan pelayanan konsultasi, aktivitas sosial seperti: berkunjung ke panti sosial, donor darah. Juga setiap minggu mengadakan meeting antar agama Buddha, kr****n, Hindu dan Sikh. Meeting tersebut bertujuan untuk menjaga keharmonisan kehidupan umat angar agama serta memberikan masukan bagi pemerintah Malaysia mengenai masalah keagamaan.

(T) Bhante dikenal sebagai penulis beberapa buku yang terkenap seperti: "You are responsible", "Buddhism in the eyes of intelectual", dll. Bagaimana Bhante mendapatkan ide menulis buku tersebut?
(J) Ide menulis buku diperoleh dari umat-umat yang datang berkonsultasi. Misalnya: Problem rumah tangga. Dari problem-problem tersebut, saya memikirkan cara pemecahan dan menuangkannya ke dalam tulisan.

(T) Judul buku yang paling berkesan? Mengapa? Mohon Bhante dapat menjelaskan sedikit tentang isi buku tersebut.
(J) Yang paling berkesan adalah buku berjudul "What Buddhist Believe" dan "How to live without fear dan worry". Kedua buku tersebut telah diterjemahkan ke 15 bahasa. Buku itu menjelaskan bagaimana seharusnya umat Buddha menghadapi kehidupan ini.

(T) Kalau pengalaman berkesan selama menulis buku?
(J) Saat menulis buku "Happy Mariied Life". Banyak orang menanyakan bagimana bhikkhu dapat menulis buku tersebut. Sedangkan bhikkhu belum pernah menikah. Saya menjawab bahwa hanya orang yang tidak married lah yang bisa menulis buku tersebut karena kalau seseorang sudah menikah, akan berada pada situasi benci hidup perkawinan atau sebaliknya menikmati perkawinan. Jadi saya tidak termasuk kedua golongan itu.

(T)Apakah Bhante menyediakan waktu konsultasi?
(J) Tidak ada jadbwal husus. Pintu terbuka 24 jam

(T) Problem yang paling sering dikonsultasi?
(J) Problem rumah tangga. Misalnya Dua orang (suami-istri) yang terjadi konflik karena suatu problem. Memang tidak gampang untuk mengubah sifat orang. Yang penting masing-masing menyadari dan memahami perbedaan yang dimiliki. Kalau kita tidka bisa mengubah orang lain maka ubahlah pikiran kita.

(T) Menurut Bhante, bagaimana caranya supaya kita tidak mudah tersinggung
(J) Dengan menyadari bahayannya dari kemarahan, kenapa kita tidak menenangkan diri. Ketika pikiran menjadi tenang, kita dapat melihat segala sesuatu sangat jelas. Jangan menyimpan kemarahan di pikiran, itu akan menganggu kesehatan.

(T) Kalau pengertian keangkuhan menurut Bhante?
(J) Ada tiga jenis keangkuhan

   1. Merasa diri kita lebih tinggi, lebih hebat dari orang lain (Feeling we are higher than others)
   2. Merasa diri kita sama hebatnya dengan orang lain. Jadi kenapa kita harus mengikuti nasehat orang tersebut. (Why should we follow the other-equel)
   3. Merasa kita lebih rendah dari orang lain. Jadi kita tidak pantas bergaul dan berhubungan dengan orang tersebut. (Feel we are very low)

Pembaca yang budiman, pertemuan kedua kalinya dengan beliau terjadi ketika bersama Bapak Cau Ming, tanggal 01 April 1997 yang lalu kami mengunjungi beliau di Buddhist Maha Vihara, 123 Jalan Berhala di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam pertemuan tersebut, beliau bersedia untuk diwawancarai. Hasil wawancara kami tuangkan dibawah ini.

(T) Apa judul terbaru Bhante?
(J) Buku saya yang terbaru berjudul: Human Life and Problem, diterbitkan bulan Maret 1997 ini. Isi buku tersebut mengenai tugas-tugas, kewajiban serta problem-problem manusia dalam kehidupan di dunia ini.

(T) Kejadian yang paling membahagiakan Bhante?
(J) Apabila saya mendapat berita bahwa setelah membaca buku saya dapat mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik, dapt membebaskan mereka dari masalah dan kekhawatiran. Banyak orang menulis surat kepada saya. Menurut mereka, setelah membaca buku saya, mereka menyadari apa arti kehidupan ini sebenarnya. Bahkan ada beberapa orang yang sebelumnya bermaksud bunuh diri namun tidak jadi. Saya juga pernah menerima surat dari sepasang suami istri yang menceritakan bahwa mereka telah rujuk kembali dari perceraian mereka. Kejadian seperti itulah yang paling membuat saya bahagia.

(T) Bagaimana pandangan Bhante mengenai perkembangan minat masyarakat Barat dan Timur terhadap agama Buddha?
(J) Saya memperhatikan kalangan masyarakat yang berpendidikan di Barat lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat pengertian dan intelektual. Sedangkan masyarakat timur lebih tertarik pada ritual upacara. Masyarakat timur menggunakan ritual upacara ini untuk kepentingan emosi mereka, bukan untuk kepentingan intelektual.

(T) Pandangan Bhante mengenai sejauh mana peranan agama Buddha dalam kehidupan manusia.?
(J) Segala sesuatu akan mengalami perubahan. Sebagai contoh: Sang Buddha pernah bersabda bahwa manusia secara fisik maupun metal mengalami perubahan. Sewaktu zaman Sang Buddha, usia rata-rata manusia mencapai 120 tahun. Pada zaman sekarang, hasil penelitian organisasi kesehatan sedunia (WHO) mengemukakan usia hidup manusia hanya mencapai 60 tahun. Dari segi mental, kita dapat menyaksikan semakin banyaknya praktek korupsi, mementingkan diri sendiri, tindakan tidak bermoral dan kejam. Malapetaka atau bencana alam lebih sering terjadi. Siapakah yang bertanggung jawab? Semua ini karena ulah pikiran manusia. Lalu dimana peranan agama? Adakah tugas kita untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual dalam batin kita. Banyak tempat-tempat ibadah hanya memperhatikan penampilan di luar saja. Walaupun tempat-tempat ibadah keliahatan penuh sesak dengan umat, namun sebarapa banyak umat yang benar-benar melatih dirinya menjadi baik, menambah kebajikan, kejujuran, simpati, memiliki kesederhanaan, bijaksana serta kedamaian dalam batin. Itulah yang paling penting apabila kita mau menghayati agama kita sehingga kita memiliki "religious minded" bukanlagi menggunakan agam sekadar "show of" (pamer).

(T) Nasehat Bhante untuk umat Buddha di Indonesia?
(J) Kita harus melatih pikiran kita dalam menghadapi perubahan-perubahan serta siap mengatasi kesulitan dalam hidup ini. Milikilah nilai-nilai agama dalam batin kita serta menghayati nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Smile Forever :)

Pitu Kecil



22. Master Chin Kung

Venerable Master Chin Kung, whose formal name is Hsu Yae Hong, was born in Lujiang County, Anhui Province, China, in 1927. He spent thirteen years studying the classics, history, philosophy, and Buddhism under the guidance of Professor Fang Dongmei, a great philosopher of his time; Zhangjia Living Buddha, an eminent monk of the Tibetan Buddhist tradition; and Mr. Li Bing-nan, a lay practitioner and master of Buddhism. In addition to being well versed in the sutras and commentaries of the various Buddhist schools, Master Chin Kung has also read extensively the teachings of Confucianism, Taoism, Islam, and other religions. However, he has spent most of his time and effort in studying Pure Land Buddhism and it is here that he has attained his greatest achievements.

In 1959, Master Chin Kung became a monk at Linji Temple of Yuanshan, Taipei, and was given the Dharma name Jue Chin and an alternative name Chin Kung. Since receiving full ordination more than forty years ago, he has been propagating the Buddha's teachings in Taiwan and throughout the world. He has given lectures on the Avatamsaka Sutra, the Surangama Sutra, the Complete Enlight-enment Sutra, and the five sutras of the Pure Land school, just to name a few. He advocates that we return to the original, correct meaning of Buddhism: an education by the Buddha. Although almost eighty, he still continues [teaching]. He has been traveling around the world, especially in the past few years, to share his ideas on how to resolve unrest and conflicts, and restoring the teachings of the ancient sages [to their rightful place in education.] Upon returning from his travels, despite being fa-tigued, he promptly resumes teaching [in the recording studio]. The Master's spirit of compassionate teaching is truly admirable.

In 1998, Master Chin Kung started lecturing again on the Avatamsaka Sutra. To date, he still tirelessly maintains a schedule of lecturing four hours per day and has recorded more than 2,500 hours of lectures on this important sutra.

Master Chin Kung has held the following positions [in Taiwan]: instructor at the Tripitaka Institute at Shipu Temple in 1960; member of the Propagating Teachings Committee and the Records Committee of the Buddhist Association of the Republic of China in 1961; head instructor at the Bud-dhist Seminar for University Students at the Buddhist Association of the Republic of China in 1962; research fellow of Buddhism at the Chinese Academia Institute, and professor and editor of the As-sociation of Buddhist Sutras, Commentaries, and Translations of Taiwan in 1973; professor of the Philosophy Department at the Chinese Culture University, and professor of the Spiritual Living Course for East Asian Catholics [at Fu Jen Catholic University] in 1975; president of the Chinese Buddhist College in 1977; and president of the Chinese Pure Land Practice Research Institute in 1979.

He also founded the Hwa Dzan Dharma Giving Association, the Hwa Dzan Buddhist Audio-Visual Library, the Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, the Hwadzan Pure Land Learning Center, and many other Pure Land organizations all over the world.

Master Chin Kung's several decades of teachings can be summed up by the following principles for practice: "true sincerity, purity of mind, equality, proper understanding, compassion, seeing through, letting go, attaining freedom, according with proper conditions, and being mindful of Amitabha Buddha."

He pioneered the use of the Internet and satellite television in propagating Buddha's teachings and the sages' ideas twenty-four hours daily and over long distances. This broad and long-term view demonstrates his true wisdom. He works to resolve conflict and to bring about world peace. Fur-thermore, he has been promoting multicultural concepts of religious cooperation and racial harmony. These actions reveal the infinite compassion in his pure and nondiscriminatory mind.

Since 1977, Master Chin Kung has been accepting invitations to lecture abroad. On establishing organizations for propagating the Buddha's teachings, the Master advocates doing it in the form of learning centers or learning colleges to serve as practice centers for the public, where Dharma mate-rials can be circulated and where future Dharma lecturers can be trained. Today, there are more than one hundred such organizations around the world. Such organizations set up to propagate the proper Buddha's teachings are formed by Chinese [practitioners] and acknowledge Master Chin Kung as their teacher or advisor. In 1995, he instructed the Singapore Buddhist Lodge and the Amitabha Buddhist Society of Singapore to jointly sponsor a training program for Dharma lecturers. In 2001, he established the Pure Land Learning College Association in Toowoomba, Australia.

Besides lecturing and teaching, Master Chin Kung also sponsors the printing of sutras and books and the production of tapes and DVDs on moral education and on the teachings of sages for free worldwide distribution. He also authorizes the public to reproduce his works. In recent years, he sponsored the printing of several thousand sets of the Buddhist Canon and purchased Siku Huiyao. The recipients have been libraries, universities, and Buddhist organizations throughout the world.

Master Chin Kung has taken on the mission of "Learning to be a teacher; acting as a role model." Therefore, wherever he goes, he devotes himself to advancing his ideals of racial unity, so-cial harmony, and right moral conduct. After he immigrated to the United States in 1985, he was awarded Honorary Citizenship of both the city of Dallas and the state of Texas. In 2000, he immi-grated to Australia. Two years later, in 2002, he was awarded an honorary doctorate and appointed an honorary professor by Griffith University, Australia. That same year, the Mayor of Toowoomba made him an Honorary Citizen.

The following year, the University of Queensland also appointed him an honorary professor. In 2004, Master Chin Kung was conferred an honorary doctorate by both the University of Southern Queensland in Australia and the Syriaf Hidayatullah State Islamic University in Indonesia.

Master Chin Kung has sought neither fame nor fortune throughout his entire life. To him, all these worldly honors are impermanent, so he is not attached to them at all. That he has been conferred these honors indicates that many people share his view of the extremely urgent need for pro-moting multicultural education and restoring morality. Because of this affirmation and recognition, the Master has formed true friendships with many people in the political and religious circles in Australia, Indonesia, and other places.

In 1998, to put into practice the [multicultural] teachings of the Avatamsaka Sutra, Master Chin Kung proposed the concept that all religions are the compassionate and loving teachings of God and sages, and that all gods and sages are the manifestations of one true God. Taking the initiative, he visited the leaders of the nine major faiths in Singapore and also invited lecturers from all faiths to the Singapore Buddhist Lodge to introduce the teachings of their religions. These lectures proved to be very successful. The Master also spoke at the Multicultural Forum hosted by the Department of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs of Queensland in Australia.

In July 2003, the UPEACE Asia Pacific Program facilitated the Network of Universities and In-stitutions for Asia-Pacific Peace-Building and Conflict Prevention in Bangkok, Thailand. The topic was "Religion: Is it About Peace or Conflict?" Master Chin Kung represented Griffith University at the seminar and gave a speech. In August of the same year, he was invited by the Australia Council for the Promotion of Peaceful Reunification of China (ACPPRC) to participate in "Ten Thousand K to a Brighter Tibet," a charity event that raised funds for medical equipment and treatment for Tibetan cataract patients.

As disasters, terrorist [attacks], and many contagious diseases continue to ravage the world, the yearning for peace and stability increases every day. The concept of "a harmonious universe; a global family" has elicited a positive response from all directions.

In November 2003, Master Chin Kung, at the invitation of Vice President Hamzah Haz, visited Indonesia for the first time. He met the former president Mr. Abdurrahman Wahid, many ministers, and religious representatives. In a conversation with them, the Master emphasized repeatedly the im-portance of the propagation of religious education and made many constructive suggestions for racial harmony and for social stability and peace. Later, Mr. Wahid, the ministers, and the representatives all warmly invited the Master to make more frequent visits to Indonesia to give Dharma talks.

In April 2004, the Minister of Religious Affairs of Indonesia, Dr. Said Agil, invited the Master to visit Indonesia again. During his speech titled "Humanity, Love, and World Peace," the Master earnestly explained that social stability and world peace must be founded on the restoration of the moral teachings of the sages.

In January 2004, at the invitation of UNESCO and Asia NGO Summit for International Contribution, Master Chin Kung attended the conference "Education for Sustainable Development" in Okayama, Japan. The Master gave a speech at the conference. The several days of discussions allowed him to discuss and exchange ideas with religious leaders and scholars from all over the world on how to resolve conflict. The Master presented the ancient sages' concept of "Education is essential in building a country and in guiding its people." He explained that all religions are a teaching of compassion and loving-kindness, and also that to resolve conflicts and avoid disasters one must start by first resolving one's own internal conflicts and grievances. If everyone resolves his internal conflicts, his mind will be pure and benevolent. Then the world will have a bright future. The Master's gracious and gentle bearing, sincere words, and easy-to-understand explanation of his profound views left a deep impression on the religious leaders and scholars of different races and cultural backgrounds. They expressed a sincere admiration for the Master.

During the past ten years, the Hwa Dzan and the Xiao Lian (Filial Piety-Honesty) Scholarships that Master Chin Kung established in China have helped numerous students complete their studies. In recent years, not only has he offered financial assistance to the projects of multiculturalism and peace at Griffith University and at the University of Queensland, but he also established a scholarship at the University of Southern Queensland. At the beginning of 2004, the Master contacted the Ministry of Religion of Indonesia in regard to the establishment of scholarships in Indonesian universities for students who have a religion and major in humanities, theology, or philosophy. As many as 3,500 students will get this financial assistance every year.

In recent years, Master Chin Kung has been actively advocating the teaching of compassion and loving-kindness as taught by ancient sages, religious harmony, multiculturalism, and racial equality. He hopes to cooperate more with people of vision and foresight to help resolve chaos and conflicts in this world and to promote world harmony and stability.
Smile Forever :)

Pitu Kecil

BUDDHISME SEBAGAI PENDIDIKAN

Sejak tahun akhir 1996 hingga kini, dunia mengalami krisis, dan negara-negara Asia mengalami dampak yang terparah. Beberapa negara dengan pengaruh Konfusianisme yang kuat, dengan cepat meninggalkan krisis moneter, contohnya Korea Selatan. Sedangkan Cina sedikit sekali terpengaruh oleh krisis ini. Pemaparan berikut ini menunjukkan pentingnya pendidikan, baik Konfusianisme dan Buddhisme. Pendidikan Buddhisme sangat penting dalam mempersiapkan anak-anak menghadapi kehidupan mendatang sesuai dengan ajaran Buddha.

Saat ini manusia mengalami polusi pikiran dan jiwa. Dan kita harus membersihkan dan menurunkan kadar polusi tersebut dalam diri kita. Salah satunya dengan pendidikan. Peribahasa Tiongkok kuno menyebutkan "Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membangun sebuah bangsa, menciptakan pemimpin dan melatih rakyatnya trampil". Dan sekolah dasar merupakan pondasi dalam sistem pendidikan.

Pendidikan modern selalu berhubungan dengan iptek dan cara pikir rasional. Jika ditanya pendidikan mereka akan menyebutkan subjek Matematika, fisika, kimia, bahasa Indonesia, dan yang sejenis. Jarang yang menyebutkan "Buddhisme sebagai pendidikan". Dalam keadaan sulit, dimana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi juga memakan biaya yang amat mahal, tidak ada salahnya umat Buddha menghabiskan waktunya selama setahun mempelajari agama Buddha.

Master Chin Kung dalam bukunya Buddhism as an Education menceritakan dengan memikat bagaimana Buddhisme dimanfaatkan sebagai pendidikan. Apakah pendidikan itu? Pendidikan merupakan arti dan nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan antarmanusia, juga hubungan manusia dengan alam semesta.

Buddhisme adalah sistem pendidikan Buddha Shakyamuni, serupa dengan sistem pendidikan Konfusius yang tersebar luas di Cina. Tujuan pendidikan Buddhis adalah mencapai kebijaksanaan, yang sering disebut Anuttara-samyak-sambhodi. Sistem pendidikan Buddhis bertujuan memperkaya kodrat (alam intrinsik) manusia sehingga memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan inti ajaran Buddha adalah: disiplin, meditasi dan kebijaksanaan.

Organisasi pendidikan di Cina

Master Chin Kung menceritakan organisasi pendidikan di Cina sebagai berikut: Pendidikan buddhis berdasarkan bakti, serupa dengan budaya Cina. Ketika rahib buddhis datang dari India ke Cina untuk mendiskusikan agama Buddha dengan pemerintah, segera tampak bahwa Buddhisme serupa dengan tradisi Konfusianisme. Akibatnya, mereka diminta pemerintah Cina untuk menetap secara permanen.

Bhikkhu pertama yang datang ke Cina adalah Moton dan Chufarlan. Mereka diterima oleh "Hong-Lu-Si", setara dengan Kementerian Luar Negeri atau Kementerian Negara. "Si" digunakan untuk menteri dalam pemerintahan. Pimpinan Hong-Lu-Si setara dengan menteri luar negeri. Tetapi, Hong-Lu-Si hanya menerima tamu asing sementara. Untuk memperbolehkan mereka menetap secara permanen, Kaisar menambahkan kementerian lainnya, "Bai-Ma-Si", yang bertugas untuk pendidikan Buddhis. Pada awalnya, "Si" tidak berhubungan dengan vihara atau kuil, tapi sekarang merujuk pada kuil dalam sejarah Cina kontemporer.

Di Cina, terdapat dua menteri yang bertanggung-jawab atas pendidikan. "Li-Bu", ditangani oleh Perdana Menteri, mengatur sistem pendidikan dalam tradisi Konfusianisme. Organisasi ini bertahan hingga awal tahun 1900-an. Karena Kaisar memberikan dukungan yang besar kepada "Bai-Ma-Si", pendidikan Buddhis menyebar dengan cepat ke seluruh daratan Cina. Akibatnya, sekolah Konfusianis atau pun Manfusianis tidak dijumpai pada setiap desa, melainkan ditemukan "Si" (vihara, kuil) di mana-mana. "Si" (kuil) merupakan institusi pendidikan dan tidak menjalankan upacara religius. Hal ini berbeda dengan keadaan vihara atau kuil dewasa ini.

Salah satu misi utama dari keberadaan "Si" adalah pengalihbasaan sutra. Skala pekerjaan pengalihbasaan ini sangat besar. Pada abad ketujuh, bhikkhu terkenal Xuan-Tsuang memimpin 600 ahli dalam mengalihbahasakan sutra. Dengan demikian, "Si" merupakan organisasi pemerintah yang besar. Sayangnya, sejak dua ratus tahun yang lampau, fungsinya berubah menjadi tempat berhubungan dengan tahyul dan roh. Karakteristik pendidikan secara total lenyap dan hal ini sangat disesalkan sekarang ini.

Master Chin Kung melihat adanya empat tipe Buddhisme sekarang ini. Pertama, Buddhisme religius, yang dapat dilihat pada sebagian kuil di Taiwan. Kedua, Buddhisme akademis yang diajarkan di universitas, dimana Buddhisme diperlakukan sebagai filsafat, pencapaian akademis, khususnya dijumpai di Jepang. Ketiga, total degenerasi Buddhisme ke dalam klenik (cult). Tipe inilah yang paling merusak pandangan Buddhisme. Keempat, Buddhisme tradisional, memuat ajaran murni Buddha Shakyamuni, yang jarang ditemui dewasa ini.

Pengalaman Master Chin Kung dengan Buddhisme

Untuk menjelaskan lebih transparan mengapa menganggap Buddhisme sebagai pendidikan, Master Chin Kung menceritakan pengalamannya dengan Buddhisme:

"Sewaktu saya menjadi pelajar di Nanjing, saya tidak percaya satu agama pun. Saya pergi ke gereja untuk mempelajari agama kr****n. Walaupun saya mencoba untuk mengerti, saya tetap tidak dapat menerimanya. Agama favorit saya pada saat itu adalah Islam, yang menekankan prinsip moral dan etika, dan saya pikir agak susah ditemukan di antara agama-agama lainnya. Ketika saya mulai menapakkan diri ke dalam Buddhisme, bhikkhunya tidak meyakinkan. Karena itu, saya tidak menerima Buddhisme dan agak menentangnya. Saya terlalu muda pada saat itu dan belum menemukan pembimbing.

Setibanya di Taiwan, saya mendengar reputasi Profesor Dong-Mei Fang, yang dikenal sebagai filsuf juga sebagai profesor pada Universitas Nasional Taiwan. Karena tertarik, saya menulis surat menanyakan apakah saya boleh mengambil kelasnya di universitas. Saat itu, profesor berumur sekitar empat-puluhan. Profesor mengatakan bahwa di universitas, profesor tidak bersikap sebagai profesor, begitu pula mahasiswanya. Ia mengusulkan agar saya datang ke rumahnya setiap hari Minggu dan dia akan memberikan pengajaran pribadi selama dua jam.

Saya mulai belajar filsafat Barat, Cina, India dan akhirnya Buddhisme. Ia menunjukkan bahwa Buddhisme merupakah yang terindah dalam filsafat dunia. Akhirnya saya menyadari bahwa Buddhisme mengandung suatu ajaran yang hebat. Saya mulai mengunjungi kuil di Taipei, tapi bhikkhu setempat tidak dapat menerangkan Buddhisme secara memuaskan. Kemudian saya mengunjungi kuil Shan-Dao-Si di Taipei juga. Kuil ini menyimpan banyak koleksi sutra. Pada saat itu, penerbitan dan penyebaran buku Buddhis sangat jarang ditemui. Bhikkhu di Shan-Dao-Si mengijinkan saya untuk meminjam sutra-sutra yang sangat berharga itu.

Segera setelah saya mempelajari Buddhisme dengan serius, saya bertemu dengan Master Zhang-Jia. Dia adalah praktisi esoteris. Dia lah yang mengajar dan membimbing saya. Serupa dengan profesor Fang, ia mengajar saya dua jam setiap minggu selama tiga tahun sampai ia meninggal. Kemudian, saya pergi ke Taizhong mengikuti Mr. Bing Nan Lee dan mulai kuliah dan praktik agama dengannya.

Buddhisme adalah semacam bentuk khusus pengetahuan; bukanlah merupakan agama. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, kita harus mengerti kodrat sesungguhnya. Saya menaruh respek pada Buddhisme dan saya percaya Buddha Shakyamuni merupakan pendidik terbaik dalam sejarah dunia. Ia, serupa dengan Konfusius, mengajar setiap orang tanpa lelah dan tanpa diskriminasi."

Selanjutnya, Master Chin Kung menerangkan hubungan Buddha Shakyamuni dengan murid-muridnya dalam pendidikan. Dalam bidang agama, tidak dikenal adanya hubungan guru-murid, yang dikenal adalah ayah-anak atau atasan-bawahan.

Buddhisme berhasil masuk dan berasimilasi dengan budaya Cina. Buddhisme dan Konfusianisme mendukung berseminya bakti (filial piety), respek dan penghormatan individu atas orangtuanya dan gurunya. Bakti merupakan unsur penting dalam menciptakan perdamaian dunia.

Ajaran Konfusianisme memiliki tiga kerangka pikiran utama yang harus dimengerti. Pertama, hubungan antarmanusia. Sekali dimengerti, kita akan belajar mencintai orang lain. Kedua, hubungan manusia dengan surga (heaven). Sekali hubungan ini dimengerti, kita belajar menghormati makhluk-makhluk suci dan roh-roh suci. Ketiga, hubungan antara manusia dengan lingkungan. Sekali kita mengerti, kita akan mulai menjaga kelestarian lingkungan dan menghargai setiap benda di sekeliling kita.

Sistem pendidikan dasar Konfusianisme

Pada waktu lampau, siswa-siswa sekolah dasar terlatih baik dan mampu menahan nafsu-nafsu indrawi. Sekolah menekankan pentingnya konsentrasi dan kebijaksanaan. Anak-anak mulai mengenal sekolah pada usia 7 tahun. Mereka diharuskan tinggal di sekolah dan diperbolehkan pulang pada waktu liburan saja. Mereka diajarkan cara berinteraksi dengan benar dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sopan santun terhadap guru dan teman sekolahnya. Ketika mereka kembali ke rumah, mereka mempraktikkan respek dan bakti kepada orangtua dan saudara-saudaranya.

Pada usia 7-12 tahun, para siswa diminta untuk mengingat dan menguncarkan (to recite) teks-teks kuno secara lancar. Para guru menyeleksi teks-teks kuno yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan. Para siswa diminta membaca dan menguncarkan teks-teks tersebut 100-200 kali sehari. Tujuan pendidikan semacam ini adalah untuk mengarahkan pikiran siswa agar diperoleh pikiran yang murni, konsentrasi dan kebijaksanaan; meskipun mereka tidak mengerti sepenuhnya.

Sistem pendidikan modern yang dimulai sejak Revolusi 1911 membuang tradisi yang telah berumur 200 tahun ini. Perubahan ini merupakan salah satu penyebab akar permasalahan negara Cina modern.

Pada usia 13 tahun, mereka dikirim ke sekolah Tai (Tai school) yang menekankan pendidikan dengan analisis dan diskusi mengenai bahan-bahan yang telah dihafal selama sekolah dasar. Para guru umumnya ahli pada bidangnya dan dapat berkonsentrasi penuh pada bidangnya selama karirnya. Mereka mengajar kelas kecil dengan 10-20 siswa dan pelajaran tidak harus diberikan dalam ruang kelas dan buku teks.

Pada periode ini, semua buku teks dicetak dengan ukuran standard, yaitu 20-kata per kolom dan 10-kolom per halaman, tanpa ruang kosong di antaranya. Format ini standard dan berlaku seluruh daratan Cina. Guru dan para siswa menghafal buku teks itu sedemikian baiknya hingga mampu menemukan dengan tepat di mana suatu pelajaran terdapat dalam buku teks. Karena telah dihafal dengan baik, tidak diperlukan buku setelah sekolah dasar.

Para guru sering membawa siswa-siswanya melakukan perjalanan guna memperluas pengetahuan dan pengalaman. Selama perjalanan, para guru mentransfer pengetahuannya. Karena tidak terbebani oleh buku teks, perjalanan tersebut jadi sangat menyenangkan. Kadangkala mereka membawa makanan dan minuman yang enak dan disukainya. Pada akhir perjalanan, pelajaran pun berakhir, dan guru telah mewariskan pengetahuannya kepada siswa-siswanya secara alamiah.

Almarhum Mr. Lee, guru Master Chin Kung, pada usia sekitar 90-an, masih mampu menggunakan material yang didapatnya pada sekolah dasar. Pada waktu ia menulis artikel, ia tidak memerlukan banyak buku referensi lagi.

Metode pendidikan semacam ini menekankan perolehan kebijaksanaan sejati dengan pikiran murni. Dengan pikiran murni, kebijaksanaan sejati akan muncul. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak kecil, yang masih murni dan tidak tercemar pikirannya, merupakan saat yang tepat bagi orang tuanya untuk memperkenalkan ajaran Buddha. Dengan usaha sedikit, anak-anak akan memperoleh manfaat yang besar dalam kehidupan selanjutnya.

Buddhisme sebagai pendidikan alternatif di Indonesia

Umat Buddha di Indonesia dapat mulai memanfaatkan ajaran Buddha sebagai salah satu pendidikan alternatif. Dalam krisis moneter ini, para lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi, dapat melirik dan memanfaatkan vihara, cetiya, organisasi Buddhis sebagai pendidikan transisi selama setahun. Dengan mempelajari ajaran Buddha selama setahun penuh, kiranya akan timbul bibit-bibit unggul yang siap membabarkan dhamma di persada nusantara.

Serupa dengan umat Islam, yang membangun pesantren sebagai basis pendidikannya., umat Buddha nampaknya suda saatnya membangun padepokan-padepokan sebagai institusi pendidikan agama Buddha; dan lebih baik lagi di areal padepokan tersebut dibangun cetiya atau vihara dengan bhikkhu yang menetap dan membimbing kehidupan spiritual siswa-siswanya. Guru-gurunya dapat diperoleh dari pandita-pandita yang aktif memberikan ceramah, di samping pengurus padepokan.

Padepokan ini dapat berfungsi pula sebagai asrama bagi siswa-siswi yatim piatu. Aktivitas dalam padepokan tersebut tidak hanya pendidikan agama Buddha, tapi juga aktivitas lainnya seperti: kesenian, bahasa Inggris, kepemimpinan, teknik berceramah dan ketrampilan modern lainnya. Setelah setahun di padepokan ini, para siswa dapat meneruskan kuliah atau kerjanya dalam masyarakat. Ini merupakan bakti nyata umat Buddha dalam pendidikan nasional.

Rujukan:

Ven. Master Chin Kung, Buddhism as an Education, Buddha Dhamma Meditation Association.
Smile Forever :)

naviscope

Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Pitu Kecil


23. Master Hsing Yun

Hsing Yun (TC: 星雲大師; Hanyu Pinyin: Xīngyún Dàshī) (July 22, 1927-) is a renowned Chinese Buddhist monk, as well as an important figure in modern Mahayana Buddhism.

Known best as the founder of the Fo Guang Shan Buddhist Order, the largest religious and humanitarian organization in Taiwan, he is well known and recognized in the international Buddhist community for his humanitarian work, calligraphy, Dharma propagation, and writing. As an active philanthropist, Hsing Yun contributes in pushing forth the ideal of Humanistic Buddhism, a modern Buddhist philosophy preached by many modern teachers of the Buddhist faith. He is well-known among Chinese Buddhists around the world and has received praise from many teachers. So far, more than 5,000 monastic disciples have been tonsured under Hsing Yun, with over a million lay followers worldwide.

Hsing Yun is a forty-eighth generation lineage holder of the Linji Chan (Rinzai Zen) school through Master Zhi Kai, his teacher.

Early life

Hsing Yun was born on July 22, 1927 in Jiangsu province in China under the name Li Guoshen (李國深). He was the third of four children, with an older brother, an older sister, and a younger brother. His father left home to do business and was never heard from again. When his mother, who was a faithful Buddhist herself, was desperately searching for her husband, he went to Nanjing. By chance, he came across the host monastic as Qixia Monastery. The host monastic asked young Li if he wanted to become a monastic, to which Li immediately answered "yes". The host monastic requested that Li could be tonsured under Zhi Kai, the abbot of the monastery, therefore, Zhi Kai would be his master. At the age of twelve, young Li was tonsured. He was ordained under the dharma names name Jinjue (今覺, to be enlightened today), and Wuche (悟徹, through enlightenment).

In 1941, Jinjue was fully ordained and went on to formal monastic training at Qixia Vinaya School and transferred to Chiao-Shan Buddhist College in 1945. One day, when Jinjue was still a student at Jiao-Shan Buddhist College, he happened to stumble onto the word "Nebula" in the dictionary, read as Xīngyún in Chinese. Jinjue happened to admired the infiniteness and boundlessness of these nebulas and wished that he could shed light on darkness and be as free and unbound as clouds and stars. When Jin Chueh needed a new identification card after China's victory over Japan, he gave himself the dharma name of Hsing Yun (spelled in Wade Giles pinyin).

He left the college at the age of twenty to become a principal at an elementary school in Yixing, a small town not far from Nanjing, where he learned about administration and interpersonal coordination skills. As mainland China was enmeshed in civil war, he left his home in 1949 to head for Taiwan. He began to propagate Dharma around the age of 31 to 40 at Ilan, thus beginning his writing career. In 1949, Hsing Yun wrote his first book, "Singing in Silence", the first stepping stone in his writing career. In later years, he founded several Buddhist publications, and was promoted as editor-in-chief for many Buddhist periodicals and newsletters for various temples, wrote articles for major Taiwanese newsletters and composed scripts for radio broadcast stations. In 1955, he published one of the first hardback biographies of the Buddha.

Hsing Yun's pen names

When Hsing Yun was a writer for a local Taiwanese newsletters, magazines, and radio stations, he was known as Mo Jia (摩迦), the Chinese name for Mahakasyapa, a senior disciple of the Buddha. He called himself this because he made a strenuous effort in promoting the Dharma and writing. Some time later, he called himself Jiao Fu (腳夫), meaning porter. He called himself this because he served people, carried loads and labored.

Jiao Fu was also the pen name for a novel Hsing Yun wrote called "National Master Yulin" (玉琳國師), which was later turned into a television soap opera, Continued Fate of Love. He chose Jiao Fu because he wasn't sure if a romantic novel would be accepted by the public if it was written by a Buddhist monk.

Achievements

Starting in the 1950s, Hsing Yun started making many achievements at an early age. He taught numerous classes, built many schools for children, recorded the first Buddhist hymns, and was promoted as an executive in many Buddhist associations. In 1957, Hsing Yun established a Buddhist cultural center in which a variety of Buddhist books are published with training tools such as audio and visual aids. In 1959, Hsing Yun also supported the Tibetan movement against communist suppression, and organized the first float parade in celebration of Wesak in Taiwan.

Perhaps one of Hsing Yun's greatest achievements was his successful push for Wesak to become a national holiday in Taiwan, a wish that had been granted by former ROC President Lee Teng-hui in 2000.

Hsing Yun was one of eight venerables who proposed the World Buddhist Forum in China in 2004, a suggestion that won support from Buddhist circles in countries like Japan and the Republic of Korea.

Interreligious Exchange

Roman Catholic Church

In 1997, Hsing Yun was invited to a Cross-century Religious Dialogue with Pope John Paul II. Under the invitation of the Roman Catholic Church at the Vatican, Hsing Yun met with the Pope for an inter-religious dialogue to promote inter-religious exchange between the two parties and to pray for world peace. On June 21, 2006, Hsing Yun met John Paul II's successor, Pope Benedict XVI, in a general audience at St. Peter's Basilica. During the meeting, Benedict XVI expressed his best regards for the Taiwanese and said he will pray for them. The pope also expressed the hope of meeting the Taiwan people if the chance arises.

The founding and involvement with Fo Guang Shan
Hsing Yun gives a Dharma talk at a BLIA conference; circa 1994
Hsing Yun gives a Dharma talk at a BLIA conference; circa 1994

In 1967, Hsing Yun purchased more than 30 hectares in Ta Shu Township, Kaohsiung County as the site for the construction of a monastery. The groundbreaking ceremony was held on May 16th. He began by building the colleges and their dormitories, and working slowly towards building the shrines.

During that time that was spent clearing the mountains, the endless toiling away, wave upon wave of physical strain, the planning that carried on into all hours of the day, the barrage of floods and other natural disasters, and the belligerent mobs that surrounded the mountain were all quite beyond description. On windy and sunny days, the workers clothes would be soaked in sweat, dried up, and then soaked up again. They would be discussing throughout the day and go to bed late at night, and then as soon as the sun came out, they would work again. However, in the momentum of an incomparable courage, and by the blood and sweat of the laborers, the vast wilderness was transformed into the scenic Fo Guang Shan today.

Branch Temples

Soon after the building of Fo Guang Shan, many countries, including most parts of Taiwan, each had their own Fo Guang Shan branch temple. Hsi Lai Temple (USA), Nan Tien Temple (Australia), and Nan Hua Temple (South Africa) are among the biggest branch temples. Fo Guang Shan branch temples can be found in the United States, Canada, Brazil, Japan, Hong Kong, Thailand, Malaysia, Australia (Brisbane and Wollongong), France, the Netherlands, South Africa, New Zealand and the United Kingdom.

Abbotship: 1967-1985

Master Hsing Yun served as the abbot of Fo Guang Shan for the first three terms. From 1967, after Master Hsing Yun's founding of Fo Guang Shan, he worked relentlessly to promote Humanistic Buddhism. However, in an effort to systematize and modernize Buddhism, Master Hsing Yun announced his abdication on September 22nd, 1985 without any regret or hesitation. He handed not only the abbotship, but also gave dharma transmission to his most senior disciple, the most Venerable Hsin Ping.

At the time of the Venerable Master's announcement, mostly every devotee was shocked by the news and could not bring themselves to accept the decision. The abdication of Master Hsing Yun was done for the sake of setting a fine example for the democratization of Buddhism. From a social point of view, Master Hsing Yun's action served to educate and enlighten the minds of the people and for Fo Guang Shan, it was a day of historical importance.

Closing Fo Guang Shan

In May 1997, Master Hsing Yun announced that he would close the mountain gate of Fo Guang Shan to the general public, causing a media frenzy in Taiwan. His reason in closing the monastery was to give monastics the cloistered atmosphere they need for their Buddhist practice. At the end of 2000, ROC President Chen Shui-bian and government officials from Kaohsiung visited Fo Guang Shan bringing with them the wish from their constituents that Fo Guang Shan re-open its mountain gate. After due consideration, Fo Guang Shan decided to re-open the monastery to some extent, thereby providing the public with a Pure Land environment in which to practice Buddhism.

Criticism

Some critics of Hsing Yun nickname him the political monk, most likely because of his involvement with politics, especially his promotion of the reunification of mainland China and Taiwan, and the democratization of Buddhism. Hsing Yun set a paradigm of democracy in the Fo Guang Shan Buddhist Order by establishing a system of Buddhist regulations, involving passing down Abbotship, systematic management, and guiding through an organizational structure. Critics, however, have suggested that Hsing Yun's democratic ideals have led him to stray far afield from the traditional monastic concerns. Supporters reply that such criticisms fail to see the stagnating situation of Chinese Buddhism in the Ming and Republican/Communist periods, largely due to ossification of authoritarian roles.

In 1996, Master Hsing Yun's main Fo Guang Shan branch temple in the United States, Hsi Lai Temple, became embroiled in a high-profile controversy involving the 1996 presidential campaign, when nuns there held a fund-raiser for Vice President Al Gore.
Smile Forever :)

naviscope

Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Pitu Kecil

Mengenang Bhante Ananda

Bhante Ananda adalah pendamping setia Sang Buddha. Ia adalah sepupu Sang Buddha. Ia adalah bendahara Dhamma! Tetapi ada juga hal unik tentang Bhante Ananda yang membuatnya sangat disenangi semua orang, terutama bhikkhuni Sangha. Hal ini akan dijelaskan, akan tetapi marilah dulu kita mengenal Beliau lebih dekat.

Pendamping Sang Buddha

Sebelum Bhante Ananda menjadi pendamping Sang Buddha, terdapat beberapa bhikkhu yang mendampingi Sang Buddha. Akan tetapi karena usia Beliau yang semakin lanjut, Beliau menyadari bahwa Tathagata memerlukan seorang pendamping setia. Suatu hari ketika para bhikkhu sedang berkumpul, Sang Buddha bertanya, "Apakah diantara kalian ada yang bersudi menjadi pendampingku?" Semua bhikkhu mengajukan diri kecuali Bhante Ananda. Ketika ditanya mengapa Beliau tak mengajukan diri, Bhante Ananda menjawab, "Tathagata (Sang Buddha) telah mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping Beliau." Sebelum diajukan menjadi pendamping Sang Buddha, Bhante Ananda mengajukan 8 syarat kepada Sang Buddha. Syarat-syarat tersebut yakni:

1) Sang Buddha tidak boleh memberikan jubah-jubah kepadanya.

2) Sang Buddha tidak boleh memberikan dana makanan kepadanya.

3) Sang Buddha tidak boleh memberikan kamar kepadanya.

4) Sang Buddha tidak boleh mengikutsertakan dirinya dalam suatu undangan pribadi (seperti undangan untuk memberi ajaran Dhamma sewaktu akan menerima dana makanan).

5) Apabila ia menerima undangan makan, ia boleh meneruskan undangan tersebut kepada Sang Buddha.

6) Bila ada perantau yang datang, ia boleh memperkenalkan mereka kepada Sang Buddha.

7) Jika ia mempunyai keragu-raguan atau pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, ia boleh mengutarakan hal tersebut kepada Sang Buddha pada setiap waktu.

8) Apabila Sang Buddha memberikan kotbah sewaktu ia sedang tidak hadir, ia boleh meminta Sang Buddha untuk mengulangi kotbah tersebut kepadanya secara pribadi.

Syarat 1-4 diajukan Bhante Ananda untuk menghindari keuntungan materi yang dapat diraihnya sebagai pendamping Sang Buddha. Sedangkan syarat 5-8 diajukan Beliau dengan harapan Dhamma akan tetap awet (begitulah semangat seorang bendahara Dhamma!). Dari syarat-syarat Beliau, terlihat jelas kebijaksanaan Bhante Ananda. Dan tentunya Sang Buddha dengan senang hati menerima syarat-syarat Beliau.

Ingatan yang tajam

Seorang Sammasambuddha selalu memiliki seorang pendamping setia dan dua murid utama. Begitu pula dengan Buddha Gotama! Bhante Ananda adalah pendamping setia Sang Buddha. Sedangkan Bhante Sariputta dan Bhante Maha Moggalana adalah kedua murid utama Sang Buddha. Dari semua murid Sang Buddha, Bhante Sariputtalah yang terbijaksana dan Bhante Maha Moggalanalah yang termahir dalam hal kegaiban. Walaupun demikian, hanya Bhante Anandalah yang diberkahi kesempatan untuk mendengar semua kotbah Sang Buddha. Dan karena Bhante Ananda telah bertekad hendak menjadi seorang pendamping Sammasambuddha (baca jataka—kehidupan lampau Sang Buddha), maka Beliau dikaruniai ingatan yang sangat tajam. Sang Buddha, Bhante Ananda, Bhante Sariputta, dan Bhante Maha Monggalana telah berulang kali hidup bersama di kehidupan-kehidupan lampau mereka. Oleh karena itu, keempat makhluk mulia ini memiliki hubungan yang sangat erat.

Kebijaksanaan yang tinggi

Berkali-kali Sang Buddha memuji kebijaksanaan Bhante Ananda di depan Sangha. Sang Buddha berkata, "O, Bhikkhu, walaupun Ananda hanya seorang Sotapanna, tetapi kebijaksanaannya sangatlah tinggi." Dan berkali-kali Sang Buddha menyuruh Bhante Ananda untuk membabarkan Dhamma. Jelasnya Bhante Ananda diberikan kepercayaan untuk mewakili Sang Buddha dalam beberapa kotbah Dhamma.

Sifat penuh kasih sayang

Bhante Ananda sangat mengasihi Sang Buddha. Ia merawat Sang Buddha ketika Beliau sedang sakit, letih, dan lemah. Dan sifat kasih sayangnya tak hanya ditujukan kepada gurunya, akan tetapi kepada semua makhluk. Ia sering meminta izin kepada Sang Buddha untuk diperbolehkan pergi menolong umat awam yang memerlukan bantuannya. Jelasnya Bhante Ananda memiliki metta (cinta kasih) dan karuna (belas kasihan) yang sungguh dalam. Ketika Devadatta melepaskan gajah liar untuk membunuh Sang Buddha, Bhante Ananda menghadang gajah liar tersebut dengan harapan Sang Buddha tak dilukai. (Perlu diketahui bahwa Bhante Ananda memiliki kekuatan fisik yang luar biasa.) Dan sifat kasih sayangnya ini adalah bagaikan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Pembentukan bhikkhuni Sangha

Bhante Ananda adalah bhikkhu yang sangat memperhatikan kesejahteraan kaum wanita. Oleh permintaan Beliaulah, bhikkhuni Sangha terbentuk. Dan Bhante Ananda jugalah yang paling disenangi para bhikkhuni. Di dalam Jataka dijelaskan bahwa Bhante Ananda pernah dilahirkan menjadi seorang wanita, dan oleh karena itu ia sangat menghargai kaum wanita. Biasanya ketika bhikkhuni Sangha berkumpul, mereka mengundang Bhante Ananda untuk memberikan kotbah Dhamma kepada mereka.

Tanpa nafsu

Walaupun sewaktu Bhante Ananda masih seorang Sotapanna, pikirannya tak pernah dinodai nafsu. Bhante Ananda pernah diundang seorang bhikkhuni yang sedang jatuh cinta kepadanya. Bhikkhuni tersebut berbaring di kamar dan pura-pura sakit. Mengetahui hal ini, Bhante Ananda menjelaskan Dhamma kepadanya, "Seseorang yang memiliki sifat ke-aku-an masih bisa mencapai Nibbana bila ia berpikir, 'Oh, bhikkhu itu telah mencapai kesucian, mengapa diriku belum? Saya akan melatih diri lebih giat, dan saya juga akan mencapai kesucian kelak.' Begitu pula dengan seseorang yang memiliki keinginan (yakni, keinginan mencapai Nibbana), ia masih dapat mencapai kesucian dengan berlandaskan keinginan tersebut. Akan tetapi, O Bhikkhuni, Sang Buddha dengan jelas mengatakan bahwa hubungan intim memutuskan jembatan menuju ke kesucian." (Baca Bhikkhuni Sutta) Setelah mendengar nasehat ini, bhikkhuni tersebut menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada Bhante Ananda.

Segunung kamma baik

Sebelum Sang Buddha mencapai Parinibbana, Beliau menghanturkan rasa terima kasih Beliau kepada Bhante Ananda, "O, Bhikkhu, ketahuilah bahwa Ananda sangatlah bijaksana. Ia sangat ahli merawat kebutuhanku. Ia mengatur waktu yang tepat untukku membabarkan Dhamma. Ia sangat disenangi semua orang. Ia telah berbuat banyak kebajikan sehingga kalau saja ia berusaha lebih giat, ia akan mencapai kesucian Arahat dalam waktu yang sangat singkat." Dan benarlah seperti yang dikatakan Sang Buddha, malamnya sebelum sidang Sangha pertama Bhante Ananda mencapai kesucian Arahat sewaktu kepalanya menyentuh bantal (ketika Beliau hendak beristirahat).

Kesan dan pesan

Jasa Bhante Ananda dalam mengumpulkan semua kotbah Sang Buddha (mewariskannya kepada kita semua) sangatlah besar. Kebijaksanaan dan kasih sayang Beliau juga perlu kita hargai. Perantau China di abad kelima, Fa Hien, menulis di catatannya, "Stupa (relik) Bhante Ananda sangatlah dihormati oleh umat setempat terutama oleh para bhikkhuni."
Smile Forever :)

Pitu Kecil

Sumber: Theragatha 17.3

Inilah nasehat terakhir Bhante Ananda:

82.000 ajaran dari Sang Buddha
telah aku terima;
2.000 lagi dari murid beliau;
Sudah 84.000 yang aku ketahui.

Siapapun yang tak pernah mendengar dan memahaminya,
Ia hanya tumbuh layaknya seekor lembu:
Hanya badannya saja yang tumbuh bertambah besar,
Tetapi kebijaksanaannya tidak menambah.

Siapapun yang telah mendengar dan belajar banyak,
Tetapi menghina dan mencela ia yang tak belajar banyak,
Ia hanyalah bagaikan si buta yang memegang lampu.
Begitulah aku seharusnya menganggap orang seperti itu.

Kalian seharusnya mengikuti ia yang telah belajar banyak,
Dengan demikian apa yang telah diturunkan tersebut tak akan dilupakan,
Inilah akar sejati dari kehidupan suci;
Demikianlah kalian seharusnya menjadi pelindung Dhamma ini.

Mengetahui awal dan akhirnya,
Mengerti jelas juga maknanya;
Pandai dalam penggunaan bahasa dan lainnya;
Makna yang dipahaminya tersebut dijadikan sumber renungan.

Tekun dalam menerapkannya,
Ia berusaha mengambil maknanya secara seimbang,
Pada saat yang tepat ia akan berupaya,
Memusatkan pikirannya.


Commentary:

Ini adalah nasehat terakhir Bhante Ananda, pendamping setia Sang Buddha. Nasehat ini diberikan oleh Bhante Ananda setelah ia mencapai kesucian Arahat. Saat itu Sang Buddha telah mencapai parinibbana, dan telah muncul cukup banyak perselisihan di dalam Sangha.

Nasehat ini diberikan oleh Bhante Ananda sebagai upaya untuk meneruskan ajaran Sang Buddha kepada generasi berikutnya (peran seorang pengawal Dhamma). Tentunya saat itu kedua murid utama Sang Buddha telah tiada, Bhante Sariputta dan Maha Moggalana. Dari semua murid Sang Buddha, Bhante Ananda dianggap sebagai yang paling terpelajar (paling banyak mendengar dan mengetahui ajaran Sang Buddha). Di beberapa kesempatan, Bhante Sariputta sendiri bertanya kepada Bhante Ananda tentang perihal Dhamma, dan menyanjungnya sebagai bhikkhu yang paling terpelajar diantara semua pengikut Sang Buddha.

Dari syair terakhir Bhante Ananda ini, kita dapat mempelajari banyak hal. Pertama, Bhante Ananda menjelaskan dirinya sebagai pewaris Dhamma Sang Buddha. Tujuan dari pernyataannya ini adalah untuk menyadari bhikkhu-bhikkhu lainnya bahwa ia adalah bhikkhu yang tepat untuk mengajari ajaran Sang Buddha yang telah banyak ia pelajari. Seorang Arahat tentunya sudah tidak memiliki sedikitpun keangkuhan. Hanya atas rasa belas kasihan inilah Bhante Ananda menjelaskan kwalitas dirinya ini agar yang lain mampu mengambil manfaat sebesarnya dari dirinya.

Kedua, Bhante Ananda sangat menjunjung tinggi Dhamma. Ia sangat menghargai mereka yang belajar banyak Dhamma, tetapi ia tak menghargai mereka yang menghina dan mencela orang lain hanya karena mereka telah belajar banyak. Menarik sekali mendengar beliau memberikan perumpamaan "orang buta yang memegang lampu." Tentunya mereka yang menghina dan mencela tidak mampu mengambil manfaat dari Dhamma tersebut; mereka hanya sekedar memegangnya saja. Sesungguhnya Dhamma yang sangat mulia ini sekalipun hanya pantas dipergunakan untuk diambil manfaatnya saja, bukan untuk dekorasi dan bukan untuk pameran.

Ketiga, Bhante Ananda kembali menjelaskan pentingnya mempelajari Dhamma. Beliau menyebutkannya sebagai fondasi dari kehidupan suci. Akar atau fondasi adalah sesuatu yang mempertahankan keberlangsungan, yang seharusnya dianggap sangat penting. Lagi-lagi Beliau menyarankan bhikkhu-bhikkhu muda untuk tekun mempelajari Dhamma. Beliau mengatakan bahwa ia yang tekun mempelajari Dhamma bukan hanya hidup selayaknya seorang bhikkhu, akan tetapi ia juga mengawal keberlangsungan Dhamma ini. Tentunya inilah yang dikenal dalam ajaran Sang Buddha sebagai "demi manfaat untuk diri ini dan orang lain."

Keempat, Bhante Ananda mengajari kita cara mempelajari Dhamma ini. Banyak yang menganggap mempelajari Dhamma itu adalah satu hal, meditasi adalah hal lain, dan tak ada hubungan (penghubung) antar kedua hal ini. Anggapan ini tentunya salah. Mempelajari Dhamma seharusnya dianggap sebagai fondasi. Dan bagaimanakah pengetahuan Dhamma berfungsi sebagai fondasi? Hal ini dijelaskan oleh Bhante Ananda.

Dalam mempelajari kotbah Sang Buddha, kita seharusnya memahami situasi dan kondisi saat kotbah tersebut diberikan. Bila Sang Buddha memberikan kotbah kepada mereka yang pelatihan dirinya ekstrim, maka kita dapat mengharapkan kotbah Sang Buddha akan bersifat mengendorkan pelatihan ekstrim mereka. Bila saja kotbah itu ditujukan kepada mereka yang kendor pelatihannya, maka kita dapat mengharapkan kotbah Sang Buddha akan terkesan tegas. Jadi dalam mempelajari Dhamma kita seharusnya pandai dalam menilai hal-hal seperti ini. Dan ketika kita telah belajar banyak, kita mampu mengetahui mana bagian yang patut dibabarkan pada awalnya, mana bagian yang patut dibabarkan pada akhirnya. Maksud dari awal dan akhir ini adalah penguraian tersebut seharusnya ditujukan kepada tingkat pemula terdahulu, setelah itu baru secara bertahap-tahap dijelaskan sesuai tingkatnya. Bila tidak, orang lain akan kewalahan dan tak akan mampu mengerti ajaran tersebut. Misalnya, banyak yang mengikuti meditasi Buddhis tanpa mengetahui dasar ajaran Sang Buddha terdahulu. Banyak yang mempelari terdahulu ajaran yang seharusnya dipelajari akhir, dan setelah itu mempelajari ajaran awal. Ketika mereka tak jeli maka mereka tak akan mengerti Dhamma ini.

Tentunya dalam mempelajari Dhamma, mengerti maknanya adalah yang terpenting. Penggunaan bahasa dan lainnya bersifat mendukung terhadap pemahaman makna ini. Bila saja seseorang tak pandai menggunakan bahasa, maka para pendengar tak akan mampu mengambil maknanya. Bhante Ananda mengatakan bahwa kita seharusnya pandai dalam mengambil makna, setelah itu kita renungi makna itu. Banyak yang menganggap mantra dan paritta seharusnya dibaca saja tanpa perlu dimengerti artinya. Dari penjelasan Bhante Ananda ini, tentunya kita seharusnya membaca untuk memahami maknanya. Membaca tanpa mengerti maknanya bukanlah Dhamma. Membaca dengan mengerti maknanya itulah Dhamma. Membaca sambil merenungi maknanya adalah perenungan terhadap Dhamma. Tentunya membaca tidak harus selalu membaca dengan suara; membaca dalam hati adalah termasuk perenungan Dhamma yang dijelaskan oleh Bhante Ananda.

Pada akhirnya Bhante Ananda mengajari kita bagaimana seseorang yang tekun mempelajari Dhamma akan mencapai Nibbana. Dhamma yang dipelajari tersebut diambil maknanya dengan bijaksana. Di sinilah terdapat banyak keraguan dan kesalahpahaman. Ada yang salah dalam mengambil maknanya dan tak menyadarinya. Ada yang ragu dan tak mampu mengambil maknanya. Ia yang telah melewati tahap ini akan menuju ke tahap berikutnya, yakni berupaya lebih giat lagi untuk mengurangi nafsu kebencian dan keserakahan. Dan akan tiba saatnya ketika pikirannya yang telah bersih dari kebencian dan keserakahan ini akan terpusat dan meraih konsentrasi. Saat itulah pikiran yang terkonsentrasi tersebut akan langsung melihat empat kesunyataan mulia ini: dukkha, asal mulanya dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha. Dengan terlihatnya empat kesunyataan mulia ini dengan pikiran yang terkonsentrasi, maka semua keterikatan akan lenyap.

Syair Bhante Ananda ini mengandung makna yang luar biasa. Apa yang telah beliau ketahui telah beliau tunjukan kepada kita. Begitulah sifat mulia beliau yang patut kita kenang dan telusuri.
Smile Forever :)