Logika aneh umat Buddha

Started by fabian c, 12 September 2008, 02:44:15 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

johan3000

Quote from: markosprawira on 15 October 2008, 11:26:25 AM
Dear Johan,

Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi).

Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau......................

Jadi yang saya sebut diatas adalah mengenai Jubah Utama

semoga bisa dimengerti.....

Apakah org yg ingin menjadi Bhiku sebaiknya melatih
hidup dgn 2 pakaian dulu??? apakah sanggup???
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Pitu Kecil

Quote from: johan3000 on 15 October 2008, 12:46:03 PM
Quote from: cham3leon on 15 October 2008, 11:55:11 AM
Logika itu pikiran-kan?? pikiran itu harus dilatih bukan???...berlatih lagi sama-sama..huf9..

Mungkin kekaguman beberapa rekan2, akan kalimat ehipassiko, begitu menyerap sehingga muncul berbagai macam interpretasi. Tripitaka itukan acuan yahh...kitab suci agama Buddha. Point dalam tripitaka itu benar atau salah....siapa yang menilai??

Mungkin tidak bisa juga dipaksakan, rekan-rekan yang rajin membaca tripitaka memiliki penilaian sendiri, setidaknya itu jadi kelebihan mereka dibandingkan dengan saya, yang membaca ettavata saja masih keliru. huahaha9...tapi, setidaknya kembali lagi ke ajaran semua Buddha..."Jangan melakukan kejahatan, Perbanyak perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran." Inilah inti ajaran Buddha. Inilah logika yang seharusnya turut berkembang. :o}

Begitukan maksudnya ko Fabian?? :o}

_/\_

Berbicara Logika.....

Kalau punya duit 10jt rph....

A. Semua langsung disumbangkan ke wihara
B. Titip pada pengusahaan lain (2%/bln)... Bunganya terus menerus mengalir ke wihara s/d seterusnya...

Apakah perbuatan baik akan menjadi lebih baik lagi kalau
"perbuatan" tsb dipikiran dgn baik (dianalisa, dilogikakan... dll)..... ???

Spt Waren Buffet org terkaya didunia (Fortune500) mengatakan uang tsb (US$31 billion) dia titipkan pada Gates n Melinda foundation... karna menurut dia Gates adalah org yg paling tepat utk mengelola uang tsb utk kebaikan orang banyak....

bagaimana menurut yg lain ?


Saya memilih pilihan "B" karena pilihan itu sangat ideal buat saya _/\_
Smile Forever :)

fabian c

#272
Saudara Chameleon yang baik,

Kadang banyak hal yang kurang jelas dalam kehidupan ini bagi kita, Sang Buddha banyak membantu kita memberi penyuluhan mengenai hal baik dan buruk dengan cara yang tidak dilakukan oleh para guru agama lain yang kita kenal, yaitu Beliau tidak memaksa kita untuk percaya. dan untuk menggunakan pembuktian dengan mempraktekkan dan menyelami ajaran Beliau....

QuoteLogika itu pikiran-kan?? pikiran itu harus dilatih bukan???...berlatih lagi sama-sama..huf9..

ya benar.. logika itu pikiran, dan logika belum tentu benar... Pikiran atau logika harus dilatih sesuai dengan tuntutan kita dalam kehidupan, umpamanya kita belajar di sekolah....

Dalam kehidupan diatas duniawi (meditasi) kita malah jangan berpikir... jangan berlogika, kita hanya berpikir sekedarnya.. seperti kalau dengar bel harus mengantri untuk makan, karena takut nanti terlambat makan...... jadi berpikir atau tidak berpikir tergantung situasi dan kondisi...

QuoteMungkin kekaguman beberapa rekan2, akan kalimat ehipassiko, begitu menyerap sehingga muncul berbagai macam interpretasi. Tripitaka itukan acuan yahh...kitab suci agama Buddha. Point dalam tripitaka itu benar atau salah....siapa yang menilai??

Yah itulah... kalau seseorang mulai menilai Tipitaka salah atau Tipitaka benar seolah-olah ia memiliki otoritas lebih tinggi dari Tipitaka... Saya rasa sebaiknya kita terima apa adanya.

Bila kita tak setuju (wajar-wajar saja, tetapi bukan berarti tak benar) jangan jalankan.... dan tak perlu mengatakan kepada orang lain bahwa itu salah.... jadi tidak dicela dan diserang orang lain yang telah membuktikan bahwa itu benar dan bermanfaat..

Jika kita setuju jalankan... bila ternyata setelah kita praktekkan sesuai dengan teori ternyata terbukti dan bermanfaat, pantas atau tidak pantas sebagai umat Buddha bila kita katakan itu kepada orang lain...? (dengan harapan orang lain mendapatkan manfaat yang sama..?)

QuoteMungkin tidak bisa juga dipaksakan, rekan-rekan yang rajin membaca tripitaka memiliki penilaian sendiri, setidaknya itu jadi kelebihan mereka dibandingkan dengan saya, yang membaca ettavata saja masih keliru. huahaha9...tapi, setidaknya kembali lagi ke ajaran semua Buddha..."Jangan melakukan kejahatan, Perbanyak perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran." Inilah inti ajaran Buddha. Inilah logika yang seharusnya turut berkembang. Shocked}

Saya setuju... cuma masalahnya definisi dan kriteria mengenai kebaikan dan kebenaran tidak sama di setiap agama...

Bagi agama I**** membunuh orang lain di jalan Allah adalah benar...
Menjarah, memakan harta hasil jarahan terhadap orang kafir halal, tetapi makan daging babi haram... tidak dibenarkan...

Bagi agama K*****n menerima Mr J sebagai perlindungan adalah satu-satunya kebenaran, membunuh manusia sebanyak apapun, berbuat kejahatan sebesar apapun tidak apa-apa dan akan masuk sorga abadi bila tobat dan menerima Mr J sebagai juru selamat... sedangkan kebaikan sebesar apapun sia-sia bila tidak menerima Mr J karena akan masuk neraka abadi...

Pandangan Buddhis terhadap pandangan diatas pasti anda semua sudah tahu...

Belum lagi mengenai sucikan hati dan pikiran... pandangan mengenai hal ini juga berbeda,

Bagi K*****n menolong orang miskin, merawat orang sakit membantu mereka yang susah dan rajin sembahyang akan membuat seseorang dianggap orang suci dan menjadi Santa, seperti Mother Theresa....dan masuk Surga abadi...

sedangkan bagi Buddhist berbeda cara mencapai kesuciannya... yaitu melaksanakan Jalan Ariya berunsur delapan hingga mengalami dan menyelami dukkha, asal mula dukkha dan berhentinya dukkha (Nibbana) yang berbeda dengan surga...

Jadi sebagai pertimbangan kita.... dimanakah kita berdiri...? sebagai Buddhis sepantasnya kita melakasanakan sesuai dengan ajaran Sang Buddha..., sedangkan sebagai Umat agama lain ya jalankan sesuai dengan ajaran agamanya sendiri... terserah kita.... sesuka anda...

sukhi hotu...

fabian   _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

markosprawira

Quote from: johan3000 on 15 October 2008, 12:48:43 PM
Quote from: markosprawira on 15 October 2008, 11:26:25 AM
Dear Johan,

Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi).

Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau......................

Jadi yang saya sebut diatas adalah mengenai Jubah Utama

semoga bisa dimengerti.....

Apakah org yg ingin menjadi Bhiku sebaiknya melatih
hidup dgn 2 pakaian dulu??? apakah sanggup???

tergantung adhitthana/tekada dari orang tersebut bro....

itu kenapa di kesempatan lain pada topik mengenai org yg meninggalkan keduniawian yang diposting oleh bro Andry, saya menganjurkan agar orang tersebut untuk melaksanakan terlebih dahulu pabbaja2 samanera sehingga benar2 bisa paham kehidupan seorang bhikkhu.

kalau kita melihat kehidupan seorang bhikkhu, dari kacamata orang awam, tentunya ga akan nyambung bro..... kok bisa begini, bagaimana bisa begitu, dsbnya.......

kalau memang bro johan ingin tahu, silahkan mulai dengan pabbaja samanera, ok?  :D

markosprawira

Quote from: johan3000 on 15 October 2008, 12:46:03 PM
Berbicara Logika.....

Kalau punya duit 10jt rph....

A. Semua langsung disumbangkan ke wihara
B. Titip pada pengusahaan lain (2%/bln)... Bunganya terus menerus mengalir ke wihara s/d seterusnya...

Apakah perbuatan baik akan menjadi lebih baik lagi kalau
"perbuatan" tsb dipikiran dgn baik (dianalisa, dilogikakan... dll)..... ???

Spt Waren Buffet org terkaya didunia (Fortune500) mengatakan uang tsb (US$31 billion) dia titipkan pada Gates n Melinda foundation... karna menurut dia Gates adalah org yg paling tepat utk mengelola uang tsb utk kebaikan orang banyak....

bagaimana menurut yg lain ?

kalau saya akan taruh duit di perusahaan investasi dan bunganya ditransfer ke  saya, dan saya yang mendistribusikan.

kenapa demikian?
1. jika ditaruh di perusahaan investasi dan tiap bulan bunga mengalir ke vihara, perbuatan berdana anda tetap hanyalah 1 saja, yaitu sewaktu menanamkan uang.
betul dana mengalir ke objek, namun tidak ada niat/cetana sehingga perbuatan ini tidak menjadi "berdana" karena syaratnya tidak lengkap terpenuhi
2. bisa didistribusikan ke tempat yang lebih membutuhkan misal ada rekan yang mendadak harus operasi kanker atau masuk ICU, dll.....
3. lebih melatih dana paramita diri kita.

semoga bisa dimengerti  _/\_

Pitu Kecil

Quote from: markosprawira on 16 October 2008, 09:37:21 AM
Quote from: johan3000 on 15 October 2008, 12:46:03 PM
Berbicara Logika.....

Kalau punya duit 10jt rph....

A. Semua langsung disumbangkan ke wihara
B. Titip pada pengusahaan lain (2%/bln)... Bunganya terus menerus mengalir ke wihara s/d seterusnya...

Apakah perbuatan baik akan menjadi lebih baik lagi kalau
"perbuatan" tsb dipikiran dgn baik (dianalisa, dilogikakan... dll)..... ???

Spt Waren Buffet org terkaya didunia (Fortune500) mengatakan uang tsb (US$31 billion) dia titipkan pada Gates n Melinda foundation... karna menurut dia Gates adalah org yg paling tepat utk mengelola uang tsb utk kebaikan orang banyak....

bagaimana menurut yg lain ?

kalau saya akan taruh duit di perusahaan investasi dan bunganya ditransfer ke  saya, dan saya yang mendistribusikan.

kenapa demikian?
1. jika ditaruh di perusahaan investasi dan tiap bulan bunga mengalir ke vihara, perbuatan berdana anda tetap hanyalah 1 saja, yaitu sewaktu menanamkan uang.
betul dana mengalir ke objek, namun tidak ada niat/cetana sehingga perbuatan ini tidak menjadi "berdana" karena syaratnya tidak lengkap terpenuhi
2. bisa didistribusikan ke tempat yang lebih membutuhkan misal ada rekan yang mendadak harus operasi kanker atau masuk ICU, dll.....
3. lebih melatih dana paramita diri kita.

semoga bisa dimengerti  _/\_
Thx atas penjelasannya, se7 _/\_
Smile Forever :)

johan3000

Quote from: markosprawira on 16 October 2008, 09:23:29 AM
Quote from: johan3000 on 15 October 2008, 12:48:43 PM
Quote from: markosprawira on 15 October 2008, 11:26:25 AM
Dear Johan,

Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi).

Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau......................

Jadi yang saya sebut diatas adalah mengenai Jubah Utama

semoga bisa dimengerti.....

Apakah org yg ingin menjadi Bhiku sebaiknya melatih
hidup dgn 2 pakaian dulu??? apakah sanggup???

tergantung adhitthana/tekada dari orang tersebut bro....

itu kenapa di kesempatan lain pada topik mengenai org yg meninggalkan keduniawian yang diposting oleh bro Andry, saya menganjurkan agar orang tersebut untuk melaksanakan terlebih dahulu pabbaja2 samanera sehingga benar2 bisa paham kehidupan seorang bhikkhu.

kalau kita melihat kehidupan seorang bhikkhu, dari kacamata orang awam, tentunya ga akan nyambung bro..... kok bisa begini, bagaimana bisa begitu, dsbnya.......

kalau memang bro johan ingin tahu, silahkan mulai dengan pabbaja samanera, ok?  :D

Apakah bro markosprawira udah pernah pabaja...
atau berminat "berlibur" di program pabaja
dan apakah kira2 isteri memberikan lampu hijau.???

Apa keuntungan dari orang yg telah pernah mengikutin pabaja?
Apakah program pabaja selain melatih pikiran/tingkah laku...
apakah juga sangat baik utk menurunkan berat badan?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

markosprawira

Quote from: johan3000 on 16 October 2008, 09:40:21 AM
Apakah bro markosprawira udah pernah pabaja...
atau berminat "berlibur" di program pabaja
dan apakah kira2 isteri memberikan lampu hijau.???

Belum pernah karena pekerjaan saya tidak memungkinkan untuk pergi lebih lama dari 1 minggu.

Istri justru mendorong untuk memperbanyak kegiatan seperti vipassana dan sukur2 kalau pabbaja  _/\_

Quote from: johan3000 on 16 October 2008, 09:40:21 AM
Apa keuntungan dari orang yg telah pernah mengikutin pabaja?
Apakah program pabaja selain melatih pikiran/tingkah laku...
apakah juga sangat baik utk menurunkan berat badan?

Pabbaja samanera adalah pelatihan sementara agar dapat memahami bagaimana cara hidup seorang samanera

Keuntungannya adalah orang itu akan dilatih untuk mengurangi gejolak batin. Karena kebutuhan dan gejolak hidup seorang yang mengasingkan seperti itu, akan jauh lebih sedikit dibanding kita yang masih berkecimpung di dunia awam

Bisa menurunkan berat badan juga kok. Jika anda di kantor sering ngemil ini dan itu, makan tidak terkontrol.... begitu ikut pabbaja, jamin pasti akan lebih langsing  ;D

Tapi kalau mo nurunin berat badan sih gampang kok..... coba fokus/konsentrasi pada waktu kerja, jamin anda ga akan kepikiran utk ngemil.
Ngemil terjadi karena pikiran kita "liar", berkelana kesana kesini, terus daripada nganggur, akhirnya buka laci ambil kacang, atau mampir ke meja teman yang ada kue  ;D

Saya sampe sept 08, masih terbiasa ngemil..... ngemil snack antara makan pagi dan siang, terus makan yg "berat" ky sate, baso, bubur ayam di jam 16-17..... bahkan setelah makan malam aja, sktr jam 21, saya masih ngemil kerupuk atau apa aja yg ada di meja  :-[

namun setelah diingatkan istri untuk mengontrol pikiran, saat ini sukur2 udah mulai bs ngontrol..... dah ga pernah ngemil/jajan.... porsi makan juga dikurangin..... 1.5 bulan turun 2-3 kg.... lumayan lah...... ga usah ke fitness, ga usah ke dokter diet, cuma tinggal mengatur pola makan aja

semoga bermanfaat yah  _/\_

ika_polim

Quote from: fabian c on 12 September 2008, 02:44:15 PM

Logika Aneh Umat Buddha

Ehipassiko... betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini... gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di "ehipassiko"kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara "salah" oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya "pintar, cerdas, intelektual" untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.

Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,

   "So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]

Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap "LOGICAL CONJECTURE"
Yang berarti" logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap", "INFERENCE" yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, "ANALOGIES" yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, "AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW" yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.

Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan,  maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.

Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:

"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."

4.8. 'Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: "Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru", maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: "Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini", dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: "Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini."
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta


Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,

"Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini", dan kata-katanya itu harus ditolak."

Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu

"para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin."

Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?

Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya

Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).

BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA...!!!

Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.

Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: "presume innocence until proven guilty" yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: "presume guilty until proven innocence" atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).


Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.

Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.

Semoga kita semua berbahagia

sukhi hotu,

Fabian





semua "agama" memang demikian!

sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!

didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!

utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.

setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!

ika.

doris

Quote from: ika_polim on 31 March 2009, 01:26:06 PM


semua "agama" memang demikian!

sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!

didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!

utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.

setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!

ika.

apakah bro sudah tuntas mempelajari semua agama sehingga bro tahu semua agama memang demikian?

Yang harus dikasihani adalah orang yang telah menjebak umat awam demi keuntungan pribadi semata

Doris

Kemana aku mencari guru sejati

dilbert

Quote from: ika_polim on 31 March 2009, 01:26:06 PM
Quote from: fabian c on 12 September 2008, 02:44:15 PM

Logika Aneh Umat Buddha

Ehipassiko... betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini... gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di "ehipassiko"kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara "salah" oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya "pintar, cerdas, intelektual" untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.

Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,

   "So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]

Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap "LOGICAL CONJECTURE"
Yang berarti" logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap", "INFERENCE" yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, "ANALOGIES" yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, "AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW" yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.

Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan,  maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.

Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:

"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."

4.8. 'Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: "Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru", maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: "Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini", dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: "Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini."
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta


Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,

"Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini", dan kata-katanya itu harus ditolak."

Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu

"para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin."

Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?

Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya

Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).

BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA...!!!

Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.

Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: "presume innocence until proven guilty" yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: "presume guilty until proven innocence" atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).


Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.

Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.

Semoga kita semua berbahagia

sukhi hotu,

Fabian





semua "agama" memang demikian!

sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!

didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!

utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.

setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!

ika.

mencari "kebenaran", tentunya akan terpikat oleh daya tarik "kebenaran" yang ditawarkan... dan itu LOGIS...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

ika_polim

Quote from: dilbert on 01 April 2009, 11:29:20 AM
Quote from: ika_polim on 31 March 2009, 01:26:06 PM
Quote from: fabian c on 12 September 2008, 02:44:15 PM

Logika Aneh Umat Buddha

Ehipassiko... betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini... gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di "ehipassiko"kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara "salah" oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya "pintar, cerdas, intelektual" untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.

Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,

   "So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]

Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap "LOGICAL CONJECTURE"
Yang berarti" logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap", "INFERENCE" yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, "ANALOGIES" yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, "AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW" yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.

Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan,  maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.

Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:

"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."

4.8. 'Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: "Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru", maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: "Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini", dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: "Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini."
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta


Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,

"Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini", dan kata-katanya itu harus ditolak."

Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu

"para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin."

Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?

Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya

Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).

BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA...!!!

Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.

Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: "presume innocence until proven guilty" yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: "presume guilty until proven innocence" atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).


Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.

Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.

Semoga kita semua berbahagia

sukhi hotu,

Fabian





semua "agama" memang demikian!

sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!

didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!

utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.

setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!

ika.

mencari "kebenaran", tentunya akan terpikat oleh daya tarik "kebenaran" yang ditawarkan... dan itu LOGIS...

IMHO, yang seharusnya juga diberikan tanda kutip adalah kata Mencari itu!!!

IMHO, bukankah yang seharusnya dilakukan adalah "Menjemput" Kebenaran???

ika.

hatRed

kebenaran itu objek netrallllll..........

dia gak nungguin kita jemput =))
i'm just a mammal with troubled soul



williamhalim

Quote from: hatRed on 17 April 2009, 12:04:10 PM
kebenaran itu objek netrallllll..........

dia gak nungguin kita jemput =))

Tergantung 'defenisi kebenaran' loh bro Hatred...

Bagi yg mendefenisikan 'kebenaran' adalah 'energi yg terkumpul di tulang belakang bokong', untuk membangkitkannya ya memang harus 'dijemput'....

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

hatRed

kebenaran ini kan yg dimaksud adalah kebenaran sejati... :|

yg mana ya samuti sacca apa paramati sacca ??? lupa :hammer:
i'm just a mammal with troubled soul