Seberapa jauh Nibbana?

Started by Sukma Kemenyan, 30 August 2008, 01:18:32 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ilalang

Kalo rujukannya kitab suci ini boleh enggak Bro?  [-o<
Kira-kira bisa tersesat enggak yah?

Quote from: ilalang on 26 September 2008, 06:37:59 PM
Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda."

"Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga."

Kakek itu tersenyum lebar. "Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat."

bond

Quote
Anda keliru memahami istilah "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) sebagai mengendapnya kilesa (dalam samatha).
PADA SAAT "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) TIDAK ADA kekotoran batin, bukannya MENGENDAP seperti dalam keadaan Jhana (dalam samatha bhavana).

Yang mendasar ini saja kelihatannya Anda confuse...
Mohon maaf kelihatannya kita susah nyambung nih Bro, kalo boleh sy mundur aja yah...

Dalam vipasanna, sebelum mencapai titik sotapana dst kotoran batin sepenuhnya masih ada, karena dalam vipasana tidak saja melihat nama dan rupa juga termasuk kilesa2 yg ada. Jadi bukan ia/kilesa tidak ada, tetapi ia tidak mampu menganggu batin yg mantap, seperti seorang ksatria berperang dengan tangguhnya hingga semua lawan nyaris tidak dapat menyentuhnya tetapi begitu lengah maka sang Ksatria akan terkena serangan. Sampai Ksatria itu menembus benteng pertama , itulah disebut sotapana demikian seterusnya.

Atau perumpamaan lain, ketika air keruh kita tidak dapat melihat lumpur sesungguhnya, hanya ketika air mulai tenang kita melihat lumpur itu lalu mengambilnya dengan hati2, apabila tidak, lumpur akan tergoncang dan mengaburkan pandangan kita. yg akhirnya kita harus mengulang kembali.

Mencicipi nibbana adalah ketika seseorang sudah mencapai sotapana, dimana ada kilesa2 yg telah tercabut sampai keakarnya misalnya vicikicha, dll selamanya. Demikian pada pencapaian berikutnya dst. Tapi itu pun belum bisa dikatakan telah mencapai nibbana, hanya ketika mencapai kearahatanlah baru bisa dikatakan telah mencapai nibbana.

Jadi khanika samadhi itu sendiri tidak mencerminkan mencicipi nibbana, karena seutuhnya masih ada kilesa.
Jadi entah dalam jhana ataupun khanika samadhi pemula atau yg belum matang maka nivarana itu juga mengendap di kedua stage tadi (jhana ataupun khanika) jadi bukanlah diartikan begitu mencapai khanika samadhi sebagai bebas/tidak ada dari kilesa atau kotoran batin.

Apakah yg dimaksud khanika yg belum matang, bila ia belum menyelesaikan 7 stage of visudhi--> jika telah menyelesaikannya pertama kali maka disebut sotapanna(inipun belum matang seutuhnya).

Yang lebih tepat kotoran batin tersebut tidak muncul, bukan tidak ada. Jadi berbeda pengertiannya. Tidak ada artinya memang hilang sama sekali.

_/\_

Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Sumedho

Bro ilalang, kalau tentang berhentinya pikiran itu *dalam mencicipi nibbana*, apakah itu jhana ke 2 *menurut sutta*
*kalau menurut visudhimagga, khanika samadhi itu dibawah jhana ke 1*

Setahu saya sih, perhatian dan konsentrasi itu bersama-sama saling mendukung.

pernyataan ini,
QuoteTIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI
sepertinya "membingungkan", bisa dijelaskan bro? *Tidak ada dualitas antara sati dan samadhi?, jadi apakah itu?*
There is no place like 127.0.0.1

ilalang

 [at]  Bond

Terima kasih atas sudut pandang anda. Saya tidak tahu apakah kondisi batin sotapana dan arahat berbeda. Tapi pemahaman saya, sebagai sampel, cita rasa yang dikecap pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibbana" adalah sama dengan cita rasa "nibbana" sotapana atau arahat.  Itulah kenapa YM Buddhadasa mengatakan "Nibbana di sini dan sekarang", bukan nanti kalau sudah mencapai sotapana atau arahat.

Baiklah saya akan memberikan pijakan pemahaman saya pada Mulapariyaya Sutta, bukan untuk memuaskan intelek, tetapi semata-mata untuk klarifikasi pemahaman saya dengan sutta sebagai frame of reference. Bukan untuk dipegang sebagai konsep, melainkan lebih mendorong diskusi ini ke arah praktis. 

Pemahaman saya, keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha tentang keadaan batin seorang sekha. Dalam Mulapariyaya Sutta Sang Buddha mengungkapkan 3 keadaan batin: manusia biasa (puthujjana), pejalan spiritual menuju pembebasan / pemeditasi vipassana (sekha), seorang yang telah tercerahkan/terbebaskan (arahat)

Sang Buddha berkata:
"Seorang puthujjana, ketika mencerap nibbana, dia membayangkan nibbana [tanah, air, dst sampai nibbana]; mencerap [dirinya] di dalam nibbana; mencerap [dualitas
diri yang terpisah] dari nibbana; mencerap nibbana sebagai milikku; bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia belum menyadarinya

"Seorang sekha, KETIKA MENCERAP NIBBANA, hendaklah dia tidak membayangkan nibbana, hendaklah dia tidak mencerap  di dalam nibbana, hendaklah dia tidak mencerap
dari nibbana, hendaklah dia tidak mencerap nibbana sebagai milikku, hendaklah dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Agar dia dapat menyadarinya"

"Seorang arahat, ketika mencerap nibbana, dia tidak membayangkan nibbana, dia tidak mencerap
di dalam nibbana, dia tidak mencerap  dari nibbana, dia tidak mencerap nibbana sebagai
milikku, dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia telah menyadarinya. Karena ia tidak lagi memiliki keinginan, ketidaksenangan, ketidakahuan (raaga, dosa,moha)."

Keadaan batin seorang sekha dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI, tidak ada lagi dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, yang mengalami dan yang di alami, "yang mencicipi" dan "yang dicicipi ("nibbana").

Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

#64
Yang disebut Sekha (yang masih harus berlatih) itu minimal sudah Sotapanna, bukan pemeditasi biasa.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

ilalang

 [at] sumedho

Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
Bro ilalang, kalau tentang berhentinya pikiran itu *dalam mencicipi nibbana*, apakah itu jhana ke 2 *menurut sutta*
Soal Jhana 2, mohon maaf Bro, saya belom pernah ke jhana 2.  Tapi  denger-denger sih di sono enggak ada pikiran samasekali [applied/sustained thought], jadi kalo seorang sekha tiba disitu, barangkali keadaannya mirip saat dia menuju ke jhana 1 via khanika samadhi.

Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
*kalau menurut visudhimagga, khanika samadhi itu dibawah jhana ke 1*
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??

Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
Setahu saya sih, perhatian dan konsentrasi itu bersama-sama saling mendukung.

pernyataan ini,
QuoteTIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI
sepertinya "membingungkan", bisa dijelaskan bro? *Tidak ada dualitas antara sati dan samadhi?, jadi apakah itu?*

Begini, sebelumnya kita harus paham dengan sangat jelas bahwa kata bukanlah apa yang dideskripsikan. Kata meditasi  bukanlah meditasi. Telunjuk bukan rembulan. Hakikat awareness/mindfulness pada dasarnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dengan pikiran, melainkan akan menjadi jelas dengan sendirinya dengan praktik.

Diskursus mengenai masalah ini dalam sejarah manusia merupakan "tumit Achilles" dari pemahaman manusia terhadap dirinya dan dunia. Kelemahan yang membuat para filsuf, ilmuwan, psikolog terhenti dalam upayanya menembus masalah kesadaran dan hanya berputar-putar diantara padang analisis dan rawa-rawa gelap metafisika.

Jadi kita harus luar biasa sadar kalau tidak mau tetap berada di tingkat verbal. Saya tidak menganggap meditasi sebagai sesuatu yang intelektual. Meditasi bukan sesuatu yang melambung tinggi, dan dengan demikian tidak punya arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalam hal ini komunikasi hanya bersifat menunjukkan "arah", tapi tidak bisa mendeskripsikan secara tuntas pengalaman itu sendiri.

***

KONSENTRASI menyiratkan mengarahkan pada sesuatu, mengamati [suatu 'OBYEK']. Ada suatu proses eksklusi [MENGESAMPINGKAN] dan resistensi terhadap semua yang di luar obyek. Jadi terdapat DUALITAS, si pengamat [SUBYEK] dan apa yang diamati [OBYEK]; si pemikir dan yang dipikirkannya; yang mengalami dan yang dialami.

Dalam MINDFULLNESS pada saat [1] Anda MENYADARI/PENUH PERHATIAN akan akan gerak-gerik pikiran Anda, maka saat itu juga [2] Anda akan melihat bahwa pemisahan [dualitas] itu adalah ilusi; [3] yang ada hanyalah OBSERVASI MURNI dimana subyek dan obyek menjadi satu. Si pengamat adalah yang diamati. Atau bisa juga dikatakan di dalam apa yang terlihat hanya ada yang terlihat... Tidak ada dualitas subyek-obyek. Dalam keheningan perhatian, batin mengamati, menyimak segala sesuatu; setiap bunyi, setiap gerak, setiap nuansa pikiran dan perasaan. Batin yang seperti itu tidak mempunyai batas [boundary] dan mampu BERKONSENTRASI tanpa MENGESAMPINGKAN. Tidak ada lagi dualitas antara mindfulnes dan konsentrasi.

Perhatikan bahwa keadaan [1], [2], dan [3], terjadi secara bersamaan dalam satu waktu, dan dari saat ke saat. Di sinilah biasanya pikiran/intelek kesulitan memahami karena seolah waktu menjadi tidak relevan. Sebaliknya buat pemeditasi vipassana keadaan ini bisa dirasakan dan akan menjadi jelas dalam praktik. Dhamma Sang Buddha adalah 'akaliko' [a-kala, timeless, tanpa waktu] artinya dapat diselami dan ditembus pada saat kini.

***

[at]  karuna

Dalam Mula Pariyaya Sutta (Akar Fenomena), Buddha menjelaskan urutan proses pikiran dalam merespon stimulus(obyek), yang terjadi secepat kilat:
[1] mencerap obyek sebagai obyek
[2] muncul persepsi akan obyek
[3] muncul subyek (si aku) yang masih menyatu dengan obyek
[4] subyek memisahkan diri dari obyek
[5] subyek berelasi dengan obyek
[6] subyek melekat pada obyek

OBSERVASI MURNI terjadi saat proses pikiran terhenti pada tahap [1]. Dalam batin arahat, proses pikiran berhenti secara permanen pada tahap [1]. Tidak ada dualitas subyek-obyek. Ini yang harus dilatih dalam vipassana, dan menurut saya bisa dialami pemeditasi vipassana walau belum secara permanen.

_/\_

bond

#66

Quote

Terima kasih atas sudut pandang anda. Saya tidak tahu apakah kondisi batin sotapana dan arahat berbeda. Tapi pemahaman saya, sebagai sampel, cita rasa yang dikecap pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibbana" adalah sama dengan cita rasa "nibbana" sotapana atau arahat.  Itulah kenapa YM Buddhadasa mengatakan "Nibbana di sini dan sekarang", bukan nanti kalau sudah mencapai sotapana atau arahat.

Kondisi batin sotapana dan arahat sudah pasti berbeda, yg mana sotapanna baru sebagian kecil kilesa yg telah hilang selamanya, sementara arahat telah seluruh kilesa hilang selamanya. Hal ini yg paling jelas. Nibbana memang dicapai saat ini. Saya ambil contoh ketika Anda besok mencapai nibbana, tepat saat Anda mencapai nibbana "yg besok" telah menjadi "saat ini". Ini pengertian sebenarnya "saat ini" yg sebenarnya hanyalah relativitas waktu. Inilah yg disebut sebenarnya saat ke saat adalah saat ini ke saat ini atau sekarang ke sekarang. apa yg ditulis YM Buddhadasa sudah benar tapi kita harus tau saat moment apa tercapainya "saat ini" mencicipi nibbana bukanlah seperti mendapatkan lotre. Sebenarnya "saat ini" dan "saat ini" hanya sebuah proses sebab akibat saja.

Quote
Baiklah saya akan memberikan pijakan pemahaman saya pada Mulapariyaya Sutta, bukan untuk memuaskan intelek, tetapi semata-mata untuk klarifikasi pemahaman saya dengan sutta sebagai frame of reference. Bukan untuk dipegang sebagai konsep, melainkan lebih mendorong diskusi ini ke arah praktis. 

Setuju  untuk ke arah yg praktis.

Quote
Pemahaman saya, keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha tentang keadaan batin seorang sekha. Dalam Mulapariyaya Sutta Sang Buddha mengungkapkan 3 keadaan batin: manusia biasa (puthujjana), pejalan spiritual menuju pembebasan / pemeditasi vipassana (sekha), seorang yang telah tercerahkan/terbebaskan (arahat)
Sudah jelas mencicipi nibbana=sotapanna= seorang sekha yg diuraikan singkat oleh bro Karuna

Quote
"Seorang sekha, KETIKA MENCERAP NIBBANA, hendaklah dia tidak membayangkan nibbana, hendaklah dia tidak mencerap  di dalam nibbana, hendaklah dia tidak mencerap
dari nibbana, hendaklah dia tidak mencerap nibbana sebagai milikku, hendaklah dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Agar dia dapat menyadarinya"

"Seorang arahat, ketika mencerap nibbana, dia tidak membayangkan nibbana, dia tidak mencerap
di dalam nibbana, dia tidak mencerap  dari nibbana, dia tidak mencerap nibbana sebagai
milikku, dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia telah menyadarinya. Karena ia tidak lagi memiliki keinginan, ketidaksenangan, ketidakahuan (raaga, dosa,moha)."

Keadaan batin seorang sekha dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI, tidak ada lagi dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, yang mengalami dan yang di alami, "yang mencicipi" dan "yang dicicipi ("nibbana").

Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.

Apakah Anda masih berasumsi atau suatu pernyataan yg benar2 benar---> realita yg sebenarnya-->paramatha dhamma?




[/quote]
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada


bond



Quote
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??

Siapa mempuat arah menjadi berbeda antara upacara samadhi dan khanika? :)
Benarkah khanika tidak bisa mencapai jhana? kalau terpleset bagaimana? Dalam meditasi samatha ataupun vipasana, masing2 memiliki rintangan dan bahaya yg harus dipahami. Disinilah letak panna membantu samadhi, samadhi membantu panna.



QuoteTIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI

Pernahkah Anda melihat mindfulness dan konsentrasi bekerja dalam proses batin bekerja dalam bervipasana, ini bukanlah mengenai dualitas, singlelitas tetapi ini mengenai REALITAS yg harus dilihat dalam vipasanna itu sendiri



Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Indra

Quote from: karuna_murti on 28 September 2008, 11:43:15 AM
Dari Sekha Sutta dan berbagai sumber lainnya, Sekha minimal adalah Sotapanna.

Betul sekali, Sekha adalah Sotapatti Magga dan Phala, Sakadagamai Magga dan Phala, Anakagami Magga dan Phala, dan Arahatta Magga. Ini sepertinya perlu diluruskan, mengingat selama ini di DC telah beredar bahwa Sekha=Puthujjana, mungkin utk hal ini diperlukan fatwa DC utk klarifikasi.

Sumedho

Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM
Soal Jhana 2, mohon maaf Bro, saya belom pernah ke jhana 2.  Tapi  denger-denger sih di sono enggak ada pikiran samasekali [applied/sustained thought], jadi kalo seorang sekha tiba disitu, barangkali keadaannya mirip saat dia menuju ke jhana 1 via khanika samadhi.
Saya justru tambah bingung bro. Terlihat ada inkonsistensi sekali disini.
Jhana 2 -> tidak ada pikiran
Jhana 1 -> ada pikiran

Dikatakan khanika samadhi adalah konsentrasi sebentar / mendekati jhana 1
Khanika samadhi -> tidak ada pikiran

Jadi dari tidak ada pikiran (khanika) -> ada pikiran (jhana 1) -> tidak ada pikiran (jhana 2)

jadi malahan konsentrasinya dari tajam, melemah, menajam. Setahu saya tidak demikian.
Definisi khanika samadhinya diambil dari mana bro?

Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??
Disini juga tidak ada yang mengetik, dan membaca hehehehe ;D


Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM

Begini, sebelumnya kita harus paham dengan sangat jelas bahwa kata bukanlah apa yang dideskripsikan. Kata meditasi  bukanlah meditasi. Telunjuk bukan rembulan. Hakikat awareness/mindfulness pada dasarnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dengan pikiran, melainkan akan menjadi jelas dengan sendirinya dengan praktik.

Diskursus mengenai masalah ini dalam sejarah manusia merupakan "tumit Achilles" dari pemahaman manusia terhadap dirinya dan dunia. Kelemahan yang membuat para filsuf, ilmuwan, psikolog terhenti dalam upayanya menembus masalah kesadaran dan hanya berputar-putar diantara padang analisis dan rawa-rawa gelap metafisika.

Jadi kita harus luar biasa sadar kalau tidak mau tetap berada di tingkat verbal. Saya tidak menganggap meditasi sebagai sesuatu yang intelektual. Meditasi bukan sesuatu yang melambung tinggi, dan dengan demikian tidak punya arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalam hal ini komunikasi hanya bersifat menunjukkan "arah", tapi tidak bisa mendeskripsikan secara tuntas pengalaman itu sendiri.

***

Memang benar antara telunjuk dan bulan. Akan tetapi jika telunjuk menunjukkan pada benda lain yg bukan bulan, itu yg perlu kita perhatikan.

Untuk memeriksa apakah mengarah pada bulan *tujuan yg sama*, maka kita perlu memeriksa pada dari penjelasan Sang Buddha dalam Tipitaka sebagai rujukan. Dengan satu rujukan yang sama, pen-"verbal"an pengalaman ini bisa menggunakan satu standard yg baku sehingga diskusi menggunakan kata dan makna yang sama sehingga bisa terjadi diskusi yg baik.

Teman-teman disini selain berdiskusi *kalau boleh dikatakan secara intelektual*, mereka juga praktisi2x yang sudah memiliki pengalaman2x meditatifnya. Semoga saja pen-verbal-an pengalaman2x ini bisa nyambung dengan menggunakan rujukan yang sama.

Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM

KONSENTRASI menyiratkan mengarahkan pada sesuatu, mengamati [suatu 'OBYEK']. Ada suatu proses eksklusi [MENGESAMPINGKAN] dan resistensi terhadap semua yang di luar obyek. Jadi terdapat DUALITAS, si pengamat [SUBYEK] dan apa yang diamati [OBYEK]; si pemikir dan yang dipikirkannya; yang mengalami dan yang dialami.

Dalam MINDFULLNESS pada saat [1] Anda MENYADARI/PENUH PERHATIAN akan akan gerak-gerik pikiran Anda, maka saat itu juga [2] Anda akan melihat bahwa pemisahan [dualitas] itu adalah ilusi; [3] yang ada hanyalah OBSERVASI MURNI dimana subyek dan obyek menjadi satu. Si pengamat adalah yang diamati. Atau bisa juga dikatakan di dalam apa yang terlihat hanya ada yang terlihat... Tidak ada dualitas subyek-obyek. Dalam keheningan perhatian, batin mengamati, menyimak segala sesuatu; setiap bunyi, setiap gerak, setiap nuansa pikiran dan perasaan. Batin yang seperti itu tidak mempunyai batas [boundary] dan mampu BERKONSENTRASI tanpa MENGESAMPINGKAN. Tidak ada lagi dualitas antara mindfulnes dan konsentrasi.

Perhatikan bahwa keadaan [1], [2], dan [3], terjadi secara bersamaan dalam satu waktu, dan dari saat ke saat. Di sinilah biasanya pikiran/intelek kesulitan memahami karena seolah waktu menjadi tidak relevan. Sebaliknya buat pemeditasi vipassana keadaan ini bisa dirasakan dan akan menjadi jelas dalam praktik. Dhamma Sang Buddha adalah 'akaliko' [a-kala, timeless, tanpa waktu] artinya dapat diselami dan ditembus pada saat kini.

Tentang Konsentrasi dan mindfulness, saya tidak tahu bro mengambil rujukan darimana, bisa disertakan bro?

Ketika Sati, diperlukan Samadhi. Ketika Samadhi diperlukan Sati. Kan ketika mengamati *dengan sati dan samadhi*, tidak ada ini yang samadhi, ini yg sati.

Dalam konteks Buddhisme, Sati dan Samadhi *yang benar* itu dijelaskan sebagai berikut

"Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? (i) Dimana ada seorang bhikkhu tetap fokus pada tubuh kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. (ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. (iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. (iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. Ini, para bhikkhu, yang disebut perhatian benar.

"Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar? (i) Dimana ada seorang bhikkhu — sepenuhnya melepaskan sensualitas, melepaskan kualitas (mental) tidak terampil — memasuki & berdiam dalam jhana pertama: kegirangan dan kenikmatan yang muncul dari pelepasan, disertai oleh pemikiran yang diarahkan & penilaian. (ii) Dengan menenangkan pemikiran yang diarahkan & evaluasi, dia memasuki & berdiam didalam jhana kedua: kegirangan dan kenikmatan muncul dari konsentrasi, penyatuan dari kesadaraan yang bebas dari pemikiran yang diarahkan & penilaian — kepastian dari dalam. (iii) Dengan hilangnya kegirangan, dia tetap dalam ketenangan, perhatian & awas, dan merasakan kenikmatan dengan tubuhnya. Dia memasuki & berdiam didalam jhana ketiga, yang dinyatakan oleh Yang Mulia, 'Ketenangan & perhatian, dia memiliki kenikmatan yang terus menerus.' (iv) Dengan meninggalkan kenikmatan & sakit — bersamaan hilangnya kebahagiaan & penderitaan yang sebelumnya — dia memasuki & berdiam didalam jhana keempat: kemurnian dari ketenangan & perhatian penuh, tidak nikmat ataupun sakit. Ini, para bhikkhu, yang disebut konsentrasi benar."


Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM

[at]  karuna

Dalam Mula Pariyaya Sutta (Akar Fenomena), Buddha menjelaskan urutan proses pikiran dalam merespon stimulus(obyek), yang terjadi secepat kilat:
[1] mencerap obyek sebagai obyek
[2] muncul persepsi akan obyek
[3] muncul subyek (si aku) yang masih menyatu dengan obyek
[4] subyek memisahkan diri dari obyek
[5] subyek berelasi dengan obyek
[6] subyek melekat pada obyek

OBSERVASI MURNI terjadi saat proses pikiran terhenti pada tahap [1]. Dalam batin arahat, proses pikiran berhenti secara permanen pada tahap [1]. Tidak ada dualitas subyek-obyek. Ini yang harus dilatih dalam vipassana, dan menurut saya bisa dialami pemeditasi vipassana walau belum secara permanen.

_/\_

tentang mulapariyaya sutta, saya tidak tahu terjemahan siapa itu, tapi sepertinya dikutip dari penjelasn Pak Hudoyo. Didalam mulapariyaya sutta dijelaskan dalam beberapa bagian. saya coba sertakan yg terjemahan Bhante Thanissaro.

Orang Biasa
Quotememahami tanah sebagai tanah
Dengan memahami tanah sebagai tanah, dia membayangkan (conceive) hal2x tentang tanah.
Dengan membayangkan hal2x tentang tanah, dia membayangkan hal2x muncul dari tanah, dia membayangkan tanah sebagai 'milikku', dia bersenang pada tanah.

Yang berlatih (Trainee)
Quotemengetahui langsung tanah sebagai tanah. 
Dengan mengetahui langsung tanah sebagai tanah, jangan biarkan dia membayangkan hal2x tentang tanah.
Dengan tidak membayangkan hal2x pada tanah, jangan biarkan dia untuk membayangkan hal2x muncul dari tanah. Jangan biarkan dia untuk membayangkan tanah sebagai 'milikku', jangan biarkan dia bersenang pada tanah.

Seorang Arahant
Quotemengetahuai langsung tanah sebagai tanah.
Dengan mengetahui langsung tanah sebagai tanah, dia tidak membayangkan hal2x tentang tanah,
Dengan tidak membayangkan hal2x pada tanah, tidak membayangkan hal2x muncul dari tanah, tidak membayangkan tanah sebagai 'milikku', tidak bersenang pada tanah.
Dari sini terlihat bahwa seorang arahant bukan tidak berpikir, tapi tidak membayangkan hal2x tentang objek sehingga yg menyebabkan kemelekatan.

Didalam AN II, 6, 36 dikatakan
Seorang arahant memiliki kemampuan yang sempurna daam mengendalikan pikirannya (cetovasippatta), bukan tidak berpikir lagi.
There is no place like 127.0.0.1

markosprawira

Quote from: ilalang on 28 September 2008, 10:48:59 AM
[at]  Bond

Terima kasih atas sudut pandang anda. Saya tidak tahu apakah kondisi batin sotapana dan arahat berbeda. Tapi pemahaman saya, sebagai sampel, cita rasa yang dikecap pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibbana" adalah sama dengan cita rasa "nibbana" sotapana atau arahat.  Itulah kenapa YM Buddhadasa mengatakan "Nibbana di sini dan sekarang", bukan nanti kalau sudah mencapai sotapana atau arahat.

Dear Ilalang,

saya hanya mencoba menjelaskan yang dikatakan Buddhadasa adalah Nibbana SAAT INI dan sekarang, bukan Nibbana DISINI dan sekarang

disini jelas bahwa Buddhadasa menyatakan bahwa Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang, bukan pada kehidupan yang akan datang, seperti janji pada paham lain.... hal serupa beliau nyatakan dalam beberapa buku lainnya  _/\_

jadi semoga bisa dimengerti maksud dari Buddhadasa karena banyak pernyataan dalam Buddhadasa yang bisa memlesetkan orang jika orang tersebut tidak memandang dari sudut pandang Abhidhamma

Jika anda berkenan untuk berdiskusi lebih lanjut, saya akan postingkan tulisan dari Lily de Silva dan Jerry Po mengenai Nibbana berbasis Tipitaka Pali, bukan dari pitaka lainnya

Pun jika saya boleh saran, tolong pastikan pembahasan akan dilakukan dengan menggunakan sudut pandang sekte mana?
karena anda berbasis Buddhadasa, namun masih mencampur adukkan dengan mahayana dan vajrayana dimana masing2 mempunyai sudut pandang yang berbeda

semoga diskusi ini bisa tetap fokus dan ga melantur kemana2 yah.......  _/\_

fabian c

Teman teman sekalian, ikut sharing ya...?

Topik mengenai Mulapariyaya sutta adalah topik yang tidak mudah dibahas, karena untuk mengerti Mulapariyaya secara benar kita perlu bukan hanya praktek, tetapi juga teori yang ada dalam Tipitaka, sehingga dapat menjelaskan dengan baik, maklumlah kita berusaha menjelaskan kata-kata Sang Buddha yang dalam.

Sang Buddha berusaha menjelaskan rangkaian akar pikiran yang menyebabkan seseorang memiliki pandangan (ditthi).

Terlebih dahulu kita sebaiknya mencari padanan kata yang tepat untuk perceiving...
Saya sendiri merasa kata pencerapan sebagai penerjemahan kata perceiving membuat kita tetap tidak mengerti akan maksud dari Mulapariyaya tersebut. Oleh karena itu saya lebih suka menerjemahkan perceiving dalam bahasa Indonesia sebagai menganggap atau anggapan.

Saya tak akan mengambil seluruh sutta karena pembahasannya terlalu panjang. Hanya mengutip mengenai Nibbana karena berhubungan langsung dengan topik thread  ini.

Pada batin putujjhana:

Quote"He perceives Unbinding as Unbinding.7 Perceiving Unbinding as Unbinding, he conceives things about Unbinding, he conceives things in Unbinding, he conceives things coming out of Unbinding, he conceives Unbinding as 'mine,' he delights in Unbinding. Why is that? Because he has not comprehended it, I tell you.[/i]

sudah jelas bahwa Putthujana tak pernah mengalami pencapaian Nibbana, mengapa disini dikatakan Nibbana? maksudnya disini adalah seorang putthujana menganggap Nibbana sebagai Nibbana, mengapa seorang putthujana menganggap Nibbana sebagai Nibbana? karena ia hanya mengenal Nibbana berdasarkan suatu konsep yang diketahuinya dari orang lain.

Sehingga kemudian yang timbul adalah persepsi sesuatu mengenai Nibbana, ia beranggapan ada sesuatu dalam Nibbana (he conceives things in Unbinding), ia menganggap ada sesuatu yang keluar dari Nibbana (he conceives things coming out of Unbinding), ia menganggap nibbana sebagai milikku dan ia menyenangi Nibbana (Unbinding as 'mine,' he delights in Unbinding), mengapa demikian? karena ia tidak menyelaminya. (Apari��àtaü tassà'ti vadàmi.)

Pada batin sekkha (Sotapanna hingga Anagami):

Quote"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, let him not conceive things about Unbinding, let him not conceive things in Unbinding, let him not conceive things coming out of Unbinding, let him not conceive Unbinding as 'mine,' let him not delight in Unbinding. Why is that? So that he may comprehend it, I tell you.[/i]

Disini jelas bahwa seorang Sekha bukan hanya menganggap bahwa Nibbana sebagai Nibbana, tetapi ia mengetahui bahwa Nibbana adalah Nibbna, karena ia pernah mengalami Nibbana (Directly knowing Unbinding as Unbinding). Tetapi Sang Buddha menganjurkan bagi seorang Sotapanna untuk jangan membuat anggapan-anggapan mengenai Nibbana (let him not conceive things about Unbinding), janganlah beranggapan ada sesuatu dalam Nibbana (let him not conceive things in Unbinding), janganlah beranggapan ada sesuatu yang keluar dari Nibbana (let him not conceive things coming out of Unbinding), dan janganlah menganggap Nibbana sebagai milikku dan janganlah melekat pada Nibbana (Nibbana yang berkenaan dengan pencapaiannya).

Disini kita harus mengerti bahwa perjuangan seorang Sekha puggala belum selesai. Oleh karena seorang Sekha puggala, bila melekat pada Nibbana yang telah dicapainya akan menghalangi dia untuk maju lebih jauh lagi, dan akan menghalangi pencapaian tingkat kesucian yang lebih tinggi. Bila seorang Sotapanna ingin mencapai tingkat Sakadagami, maka ia harus bertekad untuk mencapai Sakadagami, dan bila ia bertekad demikian maka kemampuannya untuk mengalami Nibbana tingkat Sotapanna akan lenyap.

Dan ia harus berjuang lagi dari Udayabaya nana lalu sedikit sedikit maju hingga kembali mencapai Sankharupekkha nana. lalu memasuki Nibbana sakadagami Magga-Phala, demikian seterusnya hingga mencapai tingkat kesucian Arahat. Keterangan ini konsisten dengan sutta-sutta lain yang mengatakan bahwa, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi melalui proses yang berulang, jadi tak ada pencerahan seketika.

Pada batin Arahat:

Quote"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, he does not conceive things about Unbinding, does not conceive things in Unbinding, does not conceive things coming out of Unbinding, does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding. Why is that? Because, with the ending of delusion, he is devoid of delusion, I tell you.[/i]

Perhatikan konsistensi bahasanya (ini juga sejalan dengan Abhidhamma), pada pencapaian Arahat maupun Sotapanna, dikatakan bahwa ia menyelami langsung (he directly knows) Nibbana sebagai Nibbana. Tetapi ada perbedaannya dengan Sekha, pada seorang Arahat, Ia tidak memiliki anggapan apapun terhadap Nibbana (he does not conceive things about Unbinding), tidak memiliki anggapan apapun dalam Nibbana (does not conceive things in Unbinding), Tidak memiliki anggapan sesuatu keluar dari Nibbana (does not conceive things coming out of Unbinding), dan tidak memiliki anggapan Nibbana sebagai milikku dan tidak melekat kepada Nibbana (does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding).

Ini adalah konsistensi pandangan bahwa seorang Arahat tidak melihat ada sesuatupun di dunia ini yang pantas untuk di"melekati" Mengapa demikian? karena dengan berakhirnya pandangan khayal (delusion), maka seorang Arahat sudah tidak memiliki pandangan khayal. Dengan demikian Nibbana pada Putthujjana adalah pandangan khayal. (Khayà mohassa vãtamohattà.)

Pada batin Tathagata


Quote"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, he does not conceive things about Unbinding, does not conceive things in Unbinding, does not conceive things coming out of Unbinding, does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding. Why is that? Because he has known that delight is the root of suffering & stress, that from coming-into-being there is birth, and that for what has come into being there is aging & death. Therefore, with the total ending, fading away, cessation, letting go, relinquishment of craving, the Tathagata has totally awakened to the unexcelled right self-awakening, I tell you."

Disini terlihat konsistensinya, seorang Tatahagata, Arahat dan Sekkha puggala, semuanya memang mengalami Nibbana, Perbedaannya disini Sang Tathagata mengetahui bahwa akar dari dukkha adalah kemelekatan terhadap kesenangan, selain itu dari penjelmaan terjadi kelahiran, dan dari kelahiran akan terjadi umur tua dan mati.
Oleh karena itu dengan berakhirnya (total ending), meredupnya (fading away), penghentian (cessation), pelepasan (letting go), membebaskan diri dari kemelekatan (relinquishment of craving), Sang Tathagata telah tercerahkan sepenuhnya, dan mencapai pencerahan sempurna. (disini perbedaan pencerahan Sang Buddha dan para Arahat adalah: pengetahuannya).

Semoga keterangan ini bermanfaat bagi teman-teman.

(((semoga kita semua semakin maju dalam Dhamma)))

sukhi hotu.


Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

ilalang

Quote from: bond on 28 September 2008, 11:29:31 AM
Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.

Apakah Anda masih berasumsi atau suatu pernyataan yg benar2 benar---> realita yg sebenarnya-->paramatha dhamma?

Menurut Mulapariyaya-sutta dalam batin seorang arahat (dan yg harus dilatih seorang sekha) hanya ada PERSEPSI MURNI. Dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI.  Tentu dalam melatihnya tidak serta merta kondisi ini sempurna dalam durasi yg panjang, berbagai bentuk pikiran masih menyelinap diantaranya dikarenakan kesadaran yang menurun.

Soal orang bodoh atau bayi (childlike) mohon maaf kalau dirasa enggak nyambung. Maklum ilalang tidak mudeng dengan istilah kitab suci yang canggih-canggih, jadi lebih suka baca cerita silat atau novel. Makanya istilahnya kadang rada-rada aneh. Rekan-rekan yg pernah baca cerita silat KPH: "Bu Kek Sian Su" atau novel Herman Hesse: "Siddharta" tentu familiar dengan istilah-istilah nyeleneh tadi... :hammer:
[kapan-kapan saya akan tulis ulasan film Siddharta-nya Herman Hesse, sangat menggugah -p> highly recommended]

Tapi yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri kita sendiri. Gagasan apapun tentang itu bukan fakta, tapi fiksi. Saya mungkin percaya arahat begini begitu, tapi itu tetap fiksi. Untuk menemukan kebebasan, justru saya harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya.

ilalang

 [at] karuna / bond /indra

Terima kasih atas infonya soal Sekha.  Terkait topik "mencicipi Nibbana", keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT  "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta. PADA SAAT ITU hanya ada PERSEPSI MURNI.  Bedanya pada Arahat bersifat permanen, pada Sekha belum permanen.

Saya katakan PERSEPSI MURNI ini adalah IDENTIK dengan "mencicipi nibbana"  dan bisa dilatih dalam vipassana. Tidak harus jadi Sottapana atau Arahat dulu. Citarasa dari persepsi murni yang dikecap adalah sama walau hanya dalam sekejap. Menurut Buddhadasa yang sekejap itu durasi nya akan semakin panjang, semakin luas, dan frekuensinya semakin meningkat, sampai terdapat 'nibbana' sempurna..

Dalam diskusi ini saya jelaskan posisi saya dalam memahami "mencicipi nibbana" dengan menggunakan frame of reference Mulapariyaya-sutta. Menurut saya bisa dilatih dalam vipassana tanpa harus jadi Sottapana. Silahkan saja kalau ada pendapat yang berbeda.

Oh ya jangan khawatir saya akan "tersesat".... SELAMA setiap perasaan dan pikiran, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terus disadari, orang tidak akan pernah tersesat. Dan tidak perlu tuntunan siapa pun untuk melakukan itu. Justru saya akan mulai khawatir dan merasa tersesat kalau hanya berada di tingkat kata-kata dan mendiskusikan kualitas batin, oleh karena lalu kita tidak pernah dapat merasakan kualitas dari hal menakjubkan itu.

[at]  Sumedho
Soal konsentrasi-mindfulness, itu sekadar pemahaman [verbalisasi] pengalaman meditasi, mohon dimaklumi kalau ternyata tidak nyambung dengan  metode analisa-nya "Magga-vibhanga Sutta".