http://groups.yahoo.com/group/Dharmajala/message/12749Dear All,
Sekuntum teratai tuk Anda semua, para calon Buddha.
Saya menyarankan agar kita tidak reaktif thd apa yang sedang terjadi pada Buddhis di Korea Selatan namun berusaha menggali lebih dalam dan memahami konteks munculnya keadaan tersebut di sana dan mengambil hikmahnya untuk kita di sini.
Kenapa saya berpendapat demikian? Berikut adalah landasan yang mendasari pemikiran ini:
1. Kefanatikan sebagian orang yang merasa dirinya umat Kristiani yang kemudian mengganggu hak asasi umat beragama lain dan ketentraman serta keharmonisan antar umat beragama merupakan sesuatu yang perlu kita sikapi, suarakan, dan hadapi bersama secara arif dan berwelas asih, meskipun sangat tidak mudah untuk melakukannya. Menurut Dharma, manusia bukanlah musuh kita, ketidakpahaman yang membelenggu manusialah yang merupakan musuh kita yang sebenarnya.
Menyikapi, menyuarakan, dan menghadapi upaya evangelisasi yang kerap kita jumpai juga di Indonesia adalah manifestasi dari perbuatan pikiran kita. Lalu apa yang mendasari perbuatan pikiran kita tersebut? Apakah pandangan yang Buddhistik?
Apakah dalam proses menyikapi, menyuarakan, dan menghadapi upaya evangelisasi tersebut, kita malah melakukan kekerasan terhadap diri kita dan orang lain?
kita perlu menyikapi, menyuarakan, dan menghadapi upaya evangelisasi yang ditujukan kepada diri kita dan komunitas Buddhis, namun apa saja yang harus kita lakukan agar dalam proses tersebut, kita tidak melakukan tindak kekerasan secara verbal, fisik, dan mental terhadap diri sendiri dan orang lain? Oleh karena itu, ini akan berpulang kembali pada pertanyaan sudah Buddhistikkah pandangan dan perbuatan kita masing-masing yang merasa dan mengaku dirinya sebagai Buddhis dan apa upaya yang telah, sedang, dan akan kita lakukan dalam belajar, berlatih, dan berbagi ajaran dan praktek Dharma?
2. Oleh karena itu, dalam tanggapan ini, saya memilih untuk lebih menyoroti internal kita sendiri.
Setelah sekian tahun bergerak dalam pergerakan Buddhis dan berinteraksi dengan para aktivis Buddhis nasional dan internasional dan juga para praktisi Buddhis dari berbagai tradisi, membuat saya berpikir lebih kritis thd agama Buddha itu sendiri.
Ketika kita berbicara soal agama Buddha, kita harus jelas dengan agama Buddha seperti apa yang ada di benak kita masing2.
Hal ini pernah saya tuliskan di milis ini dengan judul "Agama Buddha versi apakah yang kita masing-masing anut dan jalankan?"
Kalau kita baca berita tersebut secara mendalam, sekilas dijelaskan beberapa sebab dalam tubuh komunitas Buddhis Korea Selatan sendiri yang menyumbang pada keadaannya yang sekarang.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah terjemahan kutipan berita tersebut.
"Secara internal, bukan saja hirarki Buddhis terbelah oleh perpecahan dan perselisihan atas kendali asset keuangan dalam jumlah besar yang melibatkan properti wihara seperti tanah dan berbagai bangunan, tapi kegagalannya dalam menarik umat baru melalui pembaharuan juga berakibat pada semakin terpinggirkannya mereka.
Keasyikan mereka dengan asset material, yang kadang dilindungi dengan menyewa para preman ala mafia berkamuflase jubah biksu yang terlibat dalam perang antargang yang ganas, telah mengalienasi generasi muda pengelola Korea Inc. yang kuat secara sosial dan politis dan yang secara jumlah terus bertambah.
Mencermati kericuhan itu, beberapa analis menganggap hingar bingar yang barusan terjadi atas tindakan pemerintah yang dipersepsikan telah melecehkan dan sengaja menghina umat Buddha sebagai pertanda bahwa itu adalah upaya untuk mencari pekik penggalangan untuk menyatukan massa tersebut. Peristiwa itu bisa menjadi awal aktivisme politis baru untuk merevitalisasi momentum terbenamnya Buddhisme Korea, kata beberapa analis...
Tidak ada penyangkalan bahwa umat kr****n telah menjadi kekuatan yang dahsyat di masyarakat Korea. Pertama adalah jumlah mereka: orang yang mengaku Protestan atau ka****k Roma berkisar 14 juta lebi atau lebih dari 30% populasi. Jumlah Buddhis yang pernah dominan, menyusut hingga 10 jutaan, menurut hasil survei terakhir pemerintah pada tahun 2005.
Tapi sebenarnya berhubungan dengan naiknya umat kr****n di masyarakat Korea bukan jumlahnya yang terlalu merisaukan Buddhis. kr****n Korea memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibanding rekan Buddhis mereka. Sebuah survei yang belum lama ini dilakukan oleh seorang sarjana Buddhis menunjukkan bahwa 23.1% umat Prebiterian memiliki tingkat pendidikan akademi atau yang lebih tinggi (9.8% untuk umat ka****k) sementara Buddhis hanya 10.8%. Persepsi yang mengemuka adalah bahwa kr****n mewakili agama yang superior, agama orang Barat yang disertai pemikiran maju sementara agama Buddha adalah agama kuno yang dibelenggu tradisi, berada di tataran kepercayaan rakyat jelata, yang utamanya menghidupi dirinya dari janji yang tidak jelas tentang keberuntungan dan nasib baik, kata Kim Yong Pyo, seorang profesor di Universitas Buddhis Dongkook di Seoul.
Generasi yang lebih mudah lebih negatif lagi. "Anda tidak akan ke wihara di mana semua yang Anda lakukan hanyalah merapalkan sutra dan membungkuk hormat pada patung Buddha dan sepanjang waktu berkumpul dengan orang-orang tua," kata seorang mahasiswa yang tidak ingin diidentifikasikan namanya dengan nada yang merendahkan. Bagi dia, agama Buddha tidak lebih dari tahayul, sesuatu yang jauh dari teologi modern yang menjawab permasalahan-permasalahan masa kini..
Kwon Ki Jong, seorang profesor di kampus yang sama mengatakan bahwa semua ini adalah lagu lama. Organisasi Buddhis harus menemukan cara yang lebih baik untuk menyebar di kalangan umat, melalui cara-cara yang menarik pemikiran intelek yang rasional, bukan dengan cara yang mistik. Dia menyarankan agar diadakan berbagai seminar dan konferensi yang menggunakan bahasa dan istilah keagamaan yang modern untuk membahas masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan dan masyarakat modern. kalau tidak, agama Buddha akan tidak lagi relevan bagi pendengar muda Korea masa kini yang terdidik.
Meningkatkan kualitas ceramah adalah esensial untuk merevitalisasi agama Buddha dan membuatnya relevan untuk kaum muda Korea, kata Kwon. Dia menggarisbawahi kasus ini dengan jumlah yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah Buddhis terdidik yang meninggalkan agama Buddha.
Sementara Buddhis bergumul dengan pemerintah dan berdebat bagaimana menjaga agar agama mereka tetap segar, berbagai denominasi kr****n, meskipun melakukan ekspansi dengan begitu bersemangat, mengalami kritik yang serupa atas berbagai macam penyakit yang menderanya termasuk pelacuran profesi/jabatan dan penumpukan kekayaan. Sangat kaya dan kelewat bersemangat, mereka bergerak secara agresif sekali ke negara-negara Muslim, kemudian terlibat masalah dengan otoritas setempat karena kerja evangelikal mereka serta mengabaikan adat istiadat dan agama setempat. Pada tahun 2007, diberitakan bahwa pemerintah membayar uang tebusan puluhan jutaan dolar untuk membebaskan 23 dari mereka dari tawanan Taliban di Afghanistan. Salah satunya dipancung di Bagdad.
Sedangkan yang lain-lainnya telah dideportasi dari China karena berusaha menginfiltrasikan orang-orang yang telah beralih agama ke kr****n ke dalam Komunis Korea utara melalui wilayah-wilayah perbatasan.
Kemakmuran ekonomi Korea beberapa dekade terakhir ini mengartikan bahwa donasi gereja dalam jumlah raksasa telah mengalir ke usaha misionaris di luar negeri. Buddhis Korea juga tidak terkecuali: mereka juga mengirim para biksu dan umat awam ke Burma, Thailand, dan Sri Lanka di mana agama Buddha masih kuat. Jadi pelacuran profesi/jabatan dan kesombongan yang berlebihan berakar dalam sekali di dalam aktivitas kr****n maupun Buddhis.
Seperti pembangunan ekonomi Korea, kuantitas telah menenggelamkan kualitas dalam kehidupan spiritual bangsa ini. Pergolakan belum lama ini dalam komunitas Buddhis mungkin merupakan bagian dari gambaran yang lebih besar bahwa kampanye reformasi sedang berjalan di wihara-wihara bangsa ini, sebagaimana gereja-gereja kr****n sedang memperdebatkan arah pertumbuhan mereka sekarang."
3. Menelaah secara mendalam kasus tersebut, saya berpendapat bahwa kalau hanya menggalang demo ke depan kedutaan besar Korea Selatan atau menuliskan petisi dan sejenisnya, tidak akan berdampak apa2 thd kondisi di sana. Saya lebih memilih waktu tersebut digunakan untuk melakukan hal yang bersifat fundamental, esensial, dan krusial seperti yang sedang dikerjakan di Dharmajala sekarang.
Selain itu, pada tahun 2005 ketika menghadiri INEB Conference India di Nagpur, saya berkenalan dengan para aktivis organisasi Buddhis awam Korea Selatan dan tahu bahwa mereka sedang melakukan hal2 yang fundamental tuk perkembangan Buddha Dharma di sana. Dengan kata lain, teman2 Buddhis di Korea Selatan tidak akan tinggal diam begitu saja. Banyak hal yang sedang mereka lakukan sekarang di sana. Dan kalaupun situasi kemudian akan berkembang menjadi sedemikian genting (saya meragukan hal ini), pasti akan menggalang dukungan dan bantuan internasional.
Sewaktu dalam perjalanan dari Oslo ke Copenhagen (antara tgl 6-8 Sep 08) di kapal laut, beberapa dari kami yang tergabung dalam jaringan INEB (International Network of Engaged Buddhists), termasuk dari Sekretariat INEB sendiri, ada berdiskusi sebentar mengenai hal ini. Intinya adalah belum ada permohonan bantuan tekanan internasional dari rekan kami yang di Korea Selatan. Jaringan yang tergabung di INEB cukup luas saat ini dan tersebar di berbagai benua dan dapat dikoordinir tuk melakukan sesuatu, minimal mengangkat persoalan ini secara lebih luas dan menggalang tekanan internasional.
4. Jika kita cermati secara saksama berita tersebut di atas maka kita akan sampai pada persoalan intinya yaitu bagaimana menghasilkan pengamalan esensi ajaran Buddha yang berkualitas dan bagaimana menyampaikannya ke publik khususnya generasi muda yang terdidik dengan cara yang rasional, cerdas, dan kontekstual, yang relevan dengan realitas kehidupan sehari-hari individu dan masyarakat kontemporer.
5. Apakah di Indonesia sudah ada yang melakukan hal ini? Jawabannya adalah pasti ada. Banyak atau tidak yang melakukan? Sepengetahuan saya tidak banyak. Tapi di sana sini sudah ada upaya ke situ dan kita perlu mendukung sepenuhnya upaya-upaya tersebut.
Sudah waktunya umat Buddha Indonesia menjadi lebih kritis, lebih arif, dan lebih berwelas asih.
Berhenti untuk memperlakukan Dharma seperti motor atau mobil. Kalau rusak, baru dibawa ke bengkel dan ada montir atau ahli yang dapat diandalkan untuk membereskannya.
Tidak serta merta menganggap bahwa praktek Dharma ditentukan oleh model potongan rambut tertentu dan model busana tertentu yang dikemukan oleh seseorang dan oleh karena faktor-faktor tersebut, maka dana dan dukungan kemudian diarahkan ke sana.
Juga tidak mudah terkesima dan dibuat takjub dan tunduk oleh kepiawaian mengutip petikan kitab suci dan menyampaikannya di atas kertas maupun di atas panggung.
Penguasaan ajaran Dharma dan kemampuan untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan pribadi, kolektif, dan institusi tidak serta merta tersirat dari model potongan rambut, model busana yang dikenakan, dan model bangunan kediamannya, juga tidak identik dengan kepiawaian mengolah dan menyampaikan kutipan ayat serta memaparkannya secara menarik di atas kertas maupun di atas panggung, melainkan tercermin dari kualitas perbuatan ucapan, tubuh, dan pikiran yang bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain, keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa dan negera, lingkungan hidup, dunia, dan bahkan alam semesta. Kepada individu-individu, pergerakan-pergerakan, dan organisasi-organisasi yang mencerminkan kualitas perbuatan tersebutlah seharusnya dukungan dan dana dialirkan. Tapi naasnya, justru individu-individu, pergerakan-pergerakan, dan organisasi-organisasi semacam itu yang hampir selalu luput dari perhatian dan dukungan karena silaunya kilatan kulit kepala, makna historis dalam busana yang dikenakan serta model bangunan yang dihuni, hingar-bingar acara yang dipromosikan secara besar-besaran melalui EO, kepiawaian dalam mengolah dan melontarkan kata-kata di atas kertas maupun panggung, dsbnya.
Selama umat Buddha Indonesia masih terjebak pada kemilau bentuk-bentuk luar dan gagal untuk mendukung perwujudan amalan esensi Dharma melalui kegiatan belajar, berlatih, dan berbagi yang sistematis, berkesinambungan, dan kontekstual, selama itu pula mayoritas umat Buddha Indonesia akan menjadi umat Buddha-Buddhaan, menyokong dan mendukung agama Buddha-Buddhaan, dan pada akhirnya, ketika berpisah dengan yang dikasih atau berkumpul dengan yang tidak disukai, atau menerima yang tidak diinginkannya, atau tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, akan menjadi bulan-bulanan duka, pribadi, kolektif, maupun institusi.
Semoga tanggapan ini dapat memberikan manfaat.
Thx
Salam Perjuangan
JL
-----------------------
ini adalah contoh Tidak hanya aliran Teravada memiliki masalah tapi juga Mahayana . Maka buku Broken buddha adalah buku refensi untuk cermin dalam diri kita