News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Brahmavihara / Kediaman Luhur

Started by FZ, Yesterday at 12:46:15 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

FZ

Sebelumnya izin bikin catatan terjemahan dari Visudhi Magga mengenai Brahmavihara. Catatan ini berguna bagi saya yang masih berlatih, dan mudah-mudahan memberi manfaat serupa kepada yang membaca _/\_

BRAHMAVIHARA / KEDIAMAN LUHUR

4 sifat luhur yang disebutkan ini merupakan objek meditasi terdiri dari cinta kasih, welas asih, turut berbahagia, dan tenang seimbang.

Seorang meditator pertama kali berlatih mengembangkan cinta kasih, dan jika seorang pemula, perlu melakukan beberapa persiapan :

- meninggalkan halangan
- memastikan kondisi fisik nyaman, (makan, minum, dan mengatasi rasa kantuk setelah makan)
duduk nyaman di tempat yang hening
- mempelajari mengenai objek meditasi dan mengetahui bahaya dari kebencian dan manfaat dalam kesabaran

Mengapa perlu ada pemahaman bahaya kebencian dan manfaat dalam kesabaran ?
-agar bisa melepaskan bahaya yang tidak terlihat (jika tidak tahu bahaya, bisa jadi akan terus menerus menyimpan dendam / kebencian)
- agar bisa mendapatkan manfaat yang belum diperoleh (jika tidak tahu manfaatnya, bisa jadi malas berlatih dan menganggap kesabaran bukan hal yang penting)

Dengan ini, kita perlu memberikan kutipan kutipan sutta untuk memberikan pemahaman bahaya kebencian

Quote from: AN 3.71 Channa SuttaPengembara Channa mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah tersebut, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda:
"Teman Ānanda, apakah engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?"

"Benar, teman."

"Tetapi bahaya apakah yang engkau lihat yang karenanya engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?"

(1) "Seorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

"Seorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Nafsu menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; nafsu menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

(2) "Seorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian ...

(3) "Seorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

"Seorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Delusi menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; delusi menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

"Setelah melihat bahaya-bahaya ini dalam nafsu, kebencian, dan delusi, kami mengajarkan untuk meninggalkannya."

"Tetapi adakah jalan, teman, adakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?"

"Ada jalan, teman, ada cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi."

"Tetapi apakah jalan itu, apakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?'

"Adalah jalan mulia berunsur delapan ini, yaitu, pandangan benar ... konsentrasi benar. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi."

"Jalan yang baik, teman, cara yang baik untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Cukuplah, teman Ānanda, untuk ditekuni."

Dan manfaat dari kesabaran perlu dipahami dengan kutipan berikut berikut

Quote from: Dhammapada 183 - 185Pada suatu saat, Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, apakah pelajaran-pelajaran dasar yang diberikan kepada para bhikkhu oleh para Buddha terdahulu adalah sama seperti pelajaran Sang Buddha sendiri sekarang. Kepadanya Sang Buddha menjawab bahwa pelajaran-pelajaran yang dibabarkan oleh seluruh Buddha adalah seperti yang diberikan pada syair 183, 184 dan 185 berikut ini :
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.

Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi. "Nibbana adalah tertinggi", begitulah sabda Para Buddha. Dia yang masih menyakiti orang lain sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat mengendalikan diri sesuai dengan peraturan, memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.

Quote from: Dhammapada 399Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Bharadvaja, isterinya bernama Dhananjani. Dhananjani telah mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setiap kali ia bersin, batuk atau tersandung, ia akan berkata "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa". (Artinya: Hormat padaNya / terpujilah, Sang Bhagava, Yang Maha Suci Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna).
Suatu hari, brahmana itu mengundang brahaman teman-temannya untuk makan dan tiba-tiba istri brahmana mengucapkan Namo Tassa dst dengan suara keras. Kata-kata pemuliaan bagi Sang Buddha ini sangat tidak disukai oleh suaminya, yang seorang brahmana. Brahmana itu marah dan berkata, "Aku akan pergi mendebat dan mengalahkan gurumu". Istrinya menjawab, "Tentu saja, silakan kau pergi kesana, Brahmana; aku tak pernah melihat ada yang dapat mengalahkan Sang Buddha dalam berdebat. Walaupun demikian, pergilah dan tanyalah Sang Buddha."

Brahmana itu pergi kepada Sang Buddha, dan bahkan tanpa memberi salam atau hormat, berdiri di samping dan bertanya,

"Apa yang harus kita bunuh untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai?

Apa yang harus dihancurkan agar tak lagi bersedih?

Dan apa yang kau setujui untuk dibunuh, Gotama?"

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "O, brahmana untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai, seseorang harus dapat membunuh kebencian (dosa). Membunuh kebencian seseorang adalah yang disenangi dan dipuji oleh para Buddha dan para arahat."

Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha, brahmana tersebut menjadi sangat terkesan dan puas dengan jawaban tersebut, sehingga ia mohon untuk diijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Ia diterima masuk dalam pasamuan bhikkhu dan menjadi seorang arahat setelahnya.

Brahmana ini mempunyai seorang saudara laki-laki yang sangat terkenal karena kata-kata kasarnya dan dikenal sebagai Akkosaka Bharadvaja, Bharadvaja yang suka menghina/berkata kasar. Ketika Akkosaka Bharadvaja mendengar bahwa saudara laki-lakinya telah masuk dalam pasamuan bhikkhu, ia menjadi sangat marah. Ia langsung pergi ke vihara dan berkata kasar kepada Sang Buddha.

Sang Buddha pada gilirannya bertanya, "O,brahmana, kita misalkan, engkau menawarkan beberapa makanan kepada beberapa tamu dan mereka meninggalkan rumah tanpa mengambil makanan tersebut. Karena tamu tersebut tidak menerima makananmu itu, kemudian makanan itu menjadi milik siapa?"

Brahmana tersebut menjawab, bahwa makanan itu menjadi miliknya.

Setelah menerima jawaban tersebut Sang Buddha berkata, "Dengan cara yang sama, O brahmana, karena Aku tidak menerima hinaan/kata-kata kasarmu, maka hinaan tersebut akan kembali kepadamu."

Akkosaka Bharadvaja dengan segera menyadari kebijaksanaan dari kata-kata tersebut dan ia menaruh rasa hormat kepada Sang Buddha. Ia juga memasuki pasamuan bhikkhu, kemudian ia menjadi seorang Arahat.

Setelah Akkosaka Bharadvaja memasuki Sangha, dua saudara laki-laki ini juga datang menemui Sang Buddha dengan tujuan yang sama yaitu menghina/berkata kasar kepada Sang Buddha. Mereka juga dibuat melihat cahaya Kebenaran oleh Sang Buddha dan mereka juga, pada gilirannya memasuki pasamuan bhikkhu. Akhirnya, mereka berdua juga menjadi arahat.

Suatu sore pada saat berkumpulnya para bhikkhu, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "O betapa indahnya dan betapa agungnya kebajikan Sang Buddha ! Empat brahmana bersaudara datang kemari untuk menghina Sang Buddha; alih-alih berdebat dengan mereka; Beliau membuat mereka melihat cahaya, dan sebagai hasilnya, Sang Buddha telah menjadi pelindung bagi mereka."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! karena Aku sabar dan menahan diri dan tidak melakukan kesalahan kepada mereka yang melakukan kesalahan kepadaKu, Aku menjadi pelindung bagi banyak orang."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Akkosaṃ vadhabandhañ ca aduṭṭho yo titikkhati khantībalaṃ balānīkaṃ tam ahaṃ brūmi brāhmaṇaṃ."

Seseorang yang tidak marah, yang dapat menahan hinaan, penganiayaan, dan hukuman yang memiliki senjata kesabaran, maka ia Kusebut seorang brahmana.

Quote from: SN 11.5. Kemenangan melalui Nasihat yang Disampaikan dengan BaikDi Sāvatthī. "Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada Sakka, raja para deva: 'Raja para deva, biarlah kemenangan ditentukan oleh nasihat yang diucapkan dengan baik.' [Dan Sakka menjawab:] 'Vepacitti, biarlah kemenangan ditentukan oleh nasihat yang diucapkan dengan baik.'
"Kemudian, para bhikkhu, para deva dan para asura menunjuk suatu panel hakim, dan berkata: 'Orang-orang ini akan memastikan apa yang diucapkan dengan baik dan apa yang diucapkan dengan buruk oleh kita.'

"Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada Sakka, raja para deva: 'Ucapkan sebuah syair, raja para deva.' Ketika hal ini dikatakan, Sakka berkata kepada Vepacitti; 'Engkau, Vepacitti, sebagai deva senior di sini, ucapkanlah sebuah syair." ketika ini dikatakan, Vepacitti, raja para asura, mengucapkan syair ini:

"'Si dungu akan lebih banyak lagi melepaskan kemarahannya Jika tidak ada seorang pun yang melawannya. Karena itu dengan hukuman drastis Sang bijaksana seharusnya mengendalikan si dungu.'

"Ketika, para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, mengucapkan syair ini, para asura bersorak namun para deva diam. Kemudian Vepacitti berkata kepada Sakka: 'Ucapkan sebuah syair, raja para deva.' Ketika ini dikatakan, Sakka, raja para deva, mengucapkan syair ini:

"'Ini adalah gagasanku sendiri Cara untuk melawan si dungu adalah: Ketika seseorang mengetahui bahwa musuhnya marah Maka ia harus dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaian.'

"Ketika, para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mengucapkan syair ini, para deva bersorak namun para asura diam. Kemudian Sakka berkata kepada Vepacitti: 'Ucapkan sebuah syair, Vepacitti.' Ketika ini dikatakan, Vepacitti, raja para asura, mengucapkan syair ini:

"'Aku melihat cacat ini, O Vāsava, Dalam melatih menahan kesabaran: Jika si dungu berpikir bahwa engkau sebagai, "Ia menahan sabar karena takut," Si tolol akan lebih jauh lagi mengejarmu Seperti yang dilakukan sapi kepada seseorang yang melarikan diri.'

"Ketika, para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, mengucapkan syair ini, para asura bersorak namun para deva diam. Kemudian Vepacitti berkata kepada Sakka: 'Ucapkan sebuah syair, raja para deva.' Ketika ini dikatakan, Sakka, raja para deva, mengucapkan syair ini:

"Biarpun ia berpikir demikian jika ia mau, atau tidak— 'Ia menoleransiku karena takut.' Namun demi tujuan tertinggi, milik diri sendiri, tiada yang lebih baik daripada kesabaran.

Ketika yang kuat menanggung si lemah, itulah yang disebut kesabaran tertinggi, karena si lemah harus selalu bersabar.

Kekuatan kebodohan sesungguhnya hanyalah kelemahan, demikian dikatakan. Namun tiada seorang pun dapat menantang orang yang kuat, dilindungi oleh Dhamma.

Saat engkau marah pada orang yang marah, engkau hanya memperburuk dirimu sendiri. Namun bila engkau tidak marah pada orang yang marah, engkau memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan.

Bila engkau tahu yang lain sedang marah, engkau bertindak demi kebaikan dirimu sendiri dan dirinya bila engkau penuh perhatian dan tetap tenang.

Orang yang tak mengenal Dhamma menganggap ia yang menyembuhkan dirinya sendiri dan orang lain sebagai orang bodoh."'

"Ketika, para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mengucapkan syair-syair ini, para deva bersorak namun para asura diam. Kemudian panel hakim yang ditunjuk oleh para deva dan para asura berkata: 'Syair-syair yang diucapkan oleh Vepacitti, raja para asura, adalah dalam lingkup hukuman dan kekerasan; karenanya [menyebabkan] konflik, perdebatan, dan perselisihan. Tetapi syair-syair yang diucapkan oleh Sakka, raja para deva, adalah dalam lingkup bukan-hukuman dan bukan-kekerasan; karenanya [menyebabkan] kebebasan dari konflik, kebebasan dari perdebatan, dan kebebasan dari perselisihan. Sakka, raja para deva, telah menang melalui nasihat yang diucapkan dengan baik.'

"Demikianlah, para bhikkhu, Sakka, raja para deva, menang melalui nasihat yang diucapkan dengan baik."

Quote from: DN 14 Mahapadana Sutta.... 'Pada waktu itu terdapat delapan puluh empat ribu tempat kediaman religius di Jambudipa. Dan di akhir dari tahun pertama, para dewa berseru: "Tuan-tuan, satu tahun telah berlalu, lima tahun lagi. Di akhir dari lima tahun lagi kalian harus kembali ke Bandhumatī untuk membacakan peraturan disiplin", dan hal yang serupa terjadi di akhir tahun ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima. Dan ketika enam tahun telah berlalu, para dewa mengumumkan: "Tuan-tuan, enam tahun telah berlalu, sekarang waktunya untuk pergi ke ibu kota Bandhumatī untuk membacakan peraturan disiplin!" Dan para bhikkhu tersebut, beberapa dengan kekuatan batinnya sendiri dan beberapa dengan bantuan para dewa, semuanya dalam satu hari datang ke Bandhumatī untuk membacakan peraturan disiplin.
'Dan kemudian Buddha Vipassī memberikan peraturan berikut kepada kelompok para bhikkhu:

"Kesabaran adalah pengorbanan tertinggi, Nibbāna adalah yang tertinggi, demikianlah yang disabdakan oleh para Buddha. Ia yang masih menyakiti makhluk lain bukanlah 'seorang yang telah meninggalkan keduniawian', Ia yang melukai makhluk lain bukanlah seorang petapa.

Tidak melakukan kejahatan, namun melakukan kebaikan, Mensucikan pikiran, inilah yang diajarkan para Buddha.

Tidak menghina, tidak mencelakai, mengendalikan diri sesuai peraturan, Makan secukupnya, menetap dalam pengasingan, Menekuni pikiran tinggi, inilah yang diajarkan para Buddha."

'Suatu ketika, para bhikkhu, Aku sedang menetap di Ukkaṭṭhā di hutan Subhaga di bawah pohon-sāl besar. Dan ketika Aku berdiam di sana, Aku berpikir: "Tidak ada alam makhluk-makhluk yang dengan mudah dapat Kucapai yang belum Kukunjungi sedemikian lama seperti para dewa di Alam Murni. Bagaimana jika Aku mengunjunginya sekarang?" Dan kemudian, secepat seorang kuat merentangkan tangannya, atau melipatnya lagi, Aku lenyap dari Ukkaṭṭhā dan muncul di antara para dewa Aviha. Dan beberapa ribu dari mereka mendekatiKu, memberi hormat dan berdiri di satu sisi. Kemudian mereka berkata: "Tuan , sudah sembilan puluh satu kappa berlalu sejak Buddha Vipassī muncul di dunia ini. ....

FZ

MENGEMBANGKAN CINTA KASIH UNTUK PEMULA

Dan dalam latihan meditasi cinta kasih pemula, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti kepada siapa sajakah cinta kasih boleh dikembangkan dan tidak boleh dikembangkan kepada 4 jenis orang :

- orang yang tidak disukai
Alasannya : memposisikan orang yang tidak disukai sebagai orang yang dicintai/dihormati itu melelahkan
- orang yang disukai
Alasannya : memposisikan orang yang disukai sebagai orang netral juga melelahkan, karena ketika ada musibah / penderitaan menimpa orang tersebut akan membuat kita merasa sedih
- orang netral
Alasannya : memposisikan orang netral sebagai orang yang dicintai/dihormati juga melelahkan
- orang yang dimusuhi / dibenci
Alasannya : kemarahan dan kebencian akan timbul ketika mengingat orang yang dimusuhi / dibenci

Selain itu juga cinta kasih seharusnya tidak dikembangkan ke lawan jenis dan orang yang meninggal Alasannya : ketika dikembangkan ke lawan jenis termasuk di dalamnya kepada pasangan hidup, maka nafsu indria akan tumbuh. Dan bila dikembangkan ke orang yang sudah meninggal, walaupun meditator tingkat lanjut sekalipun, tidak akan bisa mencapai jhana.

Lalu bagaimanakah seharusnya meditasi cinta kasih ini dikembangkan ?

Pertama-tama, cinta kasih perlu dikembangkan terlebih dahulu ke diri sendiri : Semoga saya bahagia, terbebas dari penderitaan, atau semoga saya terbebas dari permusuhan, penderitaan dan kecemasan. Namun apakah hal ini tidak bertentangan kah dengan sutta dan vibhanga ? (Note: Vibhanga adalah kitab kedua dari Abhidhamma yang berisi mengenai analisa dan penjelasan)

Quote from: Vibh 272"Empat hal yang tidak terbatas - Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan pikiran yang disertai dengan cinta kasih, meliputi satu arah. Juga arah ke dua. Juga arah ke tiga. Juga arah ke empat. Demikianlah, di atas, di bawah, di sekeliling, di mana-mana, dengan mengidentifikasikan dirinya dengan semua, ia berdiam dengan pikiran yang disertai dengan cinta kasih, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan"

Quote from: Sn 1.8 Metta SuttaTak berbuat kesalahan walaupun kecil Yang dicela oleh para bijaksana, Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram, Semoga semua makhluk berbahagia.

Hal ini tidak bertentangan, karena yang ditulis di dalam sutta dan vibhanga merujuk ke pencapaian jhana. Sedangkan pada tahapan awal pengembangan cinta kasih, kita perlu menjadikan diri kita sebagai contoh.

Bahkan ketika seseorang mengembangkan cinta kasih selama ratusan bahkan ribuan tahun dengan cara : "Semoga saya bahagia", Hal ini tidak akan pernah membawa ke pencapaian jhana

Namun jika seseorang mengembangkan cinta kasih dengan cara : "Semoga saya bahagia, terbebas dari kesakitan, sebagaimana saya ingin hidup dan tidak mau mati, begitu juga dengan makhluk lain" Dengan menjadikan dirinya sebagai contoh dan maka keinginan akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain akan muncul. Dan metoda ini senada dengan syair dalam Sutta

Quote from: SN 3.8. Mallikā dan Ud 5.1Di Sāvatthī. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala pergi bersama dengan Ratu Mallikā ke teras atas istana. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallikā: "Adakah, Mallikā, seseorang yang lebih engkau sayangi daripada dirimu sendiri?"
"Tidak ada, Baginda, orang yang lebih kusayangi daripada diriku sendiri. Tetapi adakah, Baginda, orang yang lebih engkau sayangi daripada dirimu sendiri?"

"Bagiku juga, Mallikā, tidak ada orang yang lebih kucintai daripada diriku sendiri."

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala turun dari istana dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan menceritakan kepada Sang Bhagavā tentang percakapannya dengan Ratu Mallikā. Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami maknanya, pada kesempatan itu mengucapkan syair berikut ini:

"Setelah melintasi segala penjuru dengan pikiran, Seseorang tidak menemukan di mana pun yang lebih ia sayangi daripada dirinya sendiri. Demikian pula, bagi setiap orang, dirinya sendiri adalah yang paling disayangi; Oleh karena itu, ia yang menyayangi dirinya sendiri seharusnya tidak mencelakai orang lain."

Maka dia seharusnya dengan menjadikan dirinya sebagai contoh, melingkupi dirinya dengan cinta kasih. Berikutnya, untuk memudahkan mengembangkan cinta kasih, meditator bisa mengingat kembali pemberian / kata-kata baik, kebajikan, pengetahuan yang bisa menumbuhkan rasa hormat dan penghargaan yang ditemukan pada seorang guru. Dan dia mulai mengembangkan cinta kasih dengan cara : "Semoga orang baik ini berbahagia dan terlepas dari penderitaan." Dengan menjadikan orang ini sebagai objek, maka meditator dapat mencapai jhana

Dan tahapan berikutnya, untuk bisa menghancurkan hambatan, meditator mengembangkan cinta kasih dengan objek meditasi terhadap orang yang disayang, terhadap orang netral sebagai orang yang disayang dan terhadap orang yang dibenci sebagai orang netral. Dan dalam melakukan hal ini, meditator perlu melembutkan batin di setiap objek meditasi sebelum berpindah ke objek meditasi berikutnya.

Namun jika dia tidak memiliki musuh, atau dia tipikal orang yang berjiwa besar yang tidak menganggap orang lain sebagai musuh walaupun orang tersebut telah mencelakainya, maka pengembangan cinta kasih terhadap musuh tidak perlu dilakukan.

FZ

#2
MELEPASKAN KEBENCIAN - 1

Jika kebencian muncul terhadap musuh akibat mengingat perbuatan buruk yang pernah dilakukan, maka meditator perlu melepaskan kebencian dengan cara kembali masuk ke cinta kasih (jhana) terhadap objek meditasi sebelumnya, lalu setelah stabil dan penuh dengan cinta kasih, kembali lagi objek meditasi musuh. Cara pengembangan ini bisa dilakukan berulang kali.

Namun jika cara ini gagal, bisa dilakukan perenungan yang lebih dalam mengenai sutta Buddha, dengan demikian, maka kebencian bisa ditinggalkan.

Quote from: MN 21. Kakacūpama Sutta Perumpamaan GergajiDemikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada saat itu Yang Mulia Moliya Phagguna bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Ia begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapannya, maka ia akan menjadi marah dan tidak senang dan akan mempermasalahkannya; dan jika ada bhikkhu yang mencela Yang Mulia Moliya Phagguna di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan mempermasalahkannya. Demikianlah pergaulan akrab Yang Mulia Moliya Phagguna dengan para bhikkhunī.

Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang sedang terjadi.

Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: "Ke sinilah, Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Moliya Phagguna atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya."—"Baik, Yang Mulia," ia menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Moliya Phagguna dan memberitahunya: "Sang Guru memanggilmu, Teman Phagguna."—"Baik, Teman," ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya:

"Phagguna, benarkah bahwa engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī, bahwa engkau begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau akan menjadi marah dan tidak senang dan akan mempermasalahkannya; dan jika ada bhikkhu yang mencela engkau di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan mempermasalahkannya? Apakah engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī seperti yang terlihat?"—"Benar, Yang Mulia."—"Phagguna, bukankah engkau adalah seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?"—"Benar, Yang Mulia."

"Phagguna, tidaklah selayaknya bagimu, seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Oleh karena itu, jika seseorang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran.' Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

"Jika seseorang menyerang para bhikkhunī itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiranku tidak akan terpengaruh ...' Jika seseorang mencela di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiranku tidak akan terpengaruh ...' Jika seseorang menyerangmu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau , maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran.' Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna."

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: "Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: 'Para bhikkhu, Aku makan sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, makanlah sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.' Dan Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka. Misalkan ada sebuah kereta di tanah yang datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda-kuda berdarah murni, menunggu dengan tongkat kendali siap untuk digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir dari kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang dengan tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, dapat menjalankannya maju dan mundur melalui jalan manapun yang ia sukai. Demikian pula, Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka.

"Oleh karena itu, para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Misalkan terdapat hutan besar pepohonan sāla di dekat sebuah desa atau kota, dan hutan itu terganggu oleh rerumputan jarak, dan seseorang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan. Ia akan menebang dan menyingkirkan anak-anak pohon yang bengkok yang merampas getah, dan ia akan membersihkan bagian dalam hutan dan memelihara anak-anak pohon yang lurus dan berbentuk baik, sehingga, hutan pohon-sāla itu akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan. Demikian pula, para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

"Sebelumnya, para bhikkhu, di Sāvatthī yang sama ini terdapat seorang ibu rumah tangga bernama Vedehikā. Dan berita baik sehubungan dengan Nyonya Vedehikā telah menyebar sebagai berikut: 'Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai.' Nyonya Vedehikā memiliki seorang pembantu bernama Kālī, yang cerdas, gesit, dan rapi dalam pekerjaannya. Kālī si pembantu berpikir: 'berita baik sehubungan dengan majikanku telah menyebar sebagai berikut: "Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai." Bagaimanakah sekarang, walaupun ia tidak memperlihatkan kemarahan, tetapi apakah saat ini ada kemarahan dalam dirinya atau tidak ada? Atau kalau tidak demikian, apakah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun ada kemarahan dalam dirinya? Bagaimana jika aku menguji majikanku.'

"Maka Kālī si pembantu bangun terlambat. Nyonya Vedehikā berkata: 'Hei, Kālī!'—'Ada apa, Nyonya?'—'Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat?'—'Tidak ada apa-apa, Nyonya.'—'Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat!' Dan ia marah dan tidak senang, dan ia merengut. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: 'Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada; dan adalah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi.'

"Maka Kālī si pembantu bangun terlambat di siang hari. Nyonya Vedehikā berkata: 'Hei, Kālī!'—'Ada apa, Nyonya?'—'Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat di siang hari?'—'Tidak ada apa-apa, Nyonya.'—'Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat di siang hari!' Dan ia marah dan tidak senang dan ia mengucapkan kata-kata ketidak-senangan. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: 'Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi.'

"Maka Kālī si pembantu bangun lebih terlambat lagi di siang hari. Nyonya Vedehikā berkata: 'Hei, Kālī!'—'Ada apa, Nyonya?'—'Ada apa denganmu sehingga bangun lebih terlambat lagi di siang hari?'—'Tidak ada apa-apa, Nyonya.'—'Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun lebih terlambat lagi di siang hari!' Dan ia marah dan tidak senang, dan ia mengambil penggilingan dan memukulnya di kepalanya, dan melukai kepalanya.

"Kemudian Kālī si pembantu, dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, mengadukan majikannya kepada para tetangga: 'Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang baik! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang lembut! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang cinta damai! Bagaimana mungkin ia menjadi marah dan tidak senang pada pembantu satu-satunya karena bangun terlambat? Bagaimana mungkin ia mengambil penggilingan, memukulnya di kepala, dan melukai kepalanya?' Kemudian berita buruk sehubungan dengan Nyonya Vedehikā menyebar sebagai berikut: 'Nyonya Vedehikā adalah orang yang kasar, Nyonya Vedehikā adalah orang yang kejam, Nyonya Vedehikā adalah orang yang tanpa belas kasih.'

"Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu sangat baik, sangat lembut, sangat cinta damai, selama ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan tidak menyentuhnya. Tetapi ketika ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan menyentuhnya maka dapat diketahui apakah bhikkhu itu sungguh-sungguh baik, lembut, dan cinta damai. Aku tidak mengatakan seorang bhikkhu mudah dinasihati pada ia yang mudah dinasihati dan membuatnya mudah dinasihati hanya demi mendapatkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mengapakah? Karena bhikkhu itu tidak mudah dinasihati dan tidak membuat dirinya mudah dinasihati ketika ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi ketika seorang bhikkhu mudah dinasihati dan membuat dirinya mudah dinasihati karena ia menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma, ia Kukatakan mudah dinasihati. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Kami akan mudah dinasihati dan membuat diri kami mudah dinasihati karena kami menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma.' Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

"Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan.' Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

"Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa cangkul dan keranjang dan berkata: 'Aku akan mengosongkan bumi ini dari tanah.' Ia akan menggali di sana-sini, menebarkan tanah di sana-sini, meludah di sana-sini, buang air di sana-sini, sambil berkata: 'jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah!' Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu mengosongkan bumi ini dari tanah?"—"Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena bumi ini sungguh dalam dan besar; tidak mungkin dapat dikosongkan dari tanah. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan."

"Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini ... (seperti pada §11) ... Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh ... dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan.' Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

"Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa pewarna merah, jingga, nila, atau merah tua dan berkata: 'Aku akan melukis gambar yang muncul dari ruang kosong.' Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah orang itu melukis gambar yang muncul dari ruang kosong?"—"Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena ruang kosong adalah tanpa bentuk dan tidak terlihat; tidaklah mudah untuk melukis gambar di sana atau memunculkan gambar di sana. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan."

"Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini ... Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh ... dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan.' Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

"Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa obor dari rumput yang menyala dan berkata: 'Aku akan memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala ini.' Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah orang itu memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala itu?"—"Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena sungai Gangga dalam dan sangat besar; tidaklah mudah untuk memanaskannya atau membakarnya dengan obor rumput menyala. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan."

"Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini ... Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh ... dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan.' Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

"Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah tas kulit kucing yang telah digosok, digosok dengan baik, digosok dengan sangat baik, lembut, halus, bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, dan seseorang datang dengan membawa tongkat atau pecahan tembikar dan berkata: 'Terdapat tas kulit kucing ini yang telah digosok ... bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik. Aku akan membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik.' Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar?"—"Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena tas kulit kucing ini yang telah digosok ... bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, tidaklah mudah membuatnya berbunyi gesekan atau berbunyi gemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan."

"Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan.' Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

"Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: 'Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi mereka dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan diri mereka, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan.' Demikianlah kalian harus berlatih.

"Para bhikkhu, jika kalian terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini, apakah kalian melihat ada ucapan, halus atau kasar, yang tidak dapat kalian terima?"—"Tidak, Yang Mulia."—"Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini. Hal ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama."

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

FZ

#3
MELEPASKAN KEBENCIAN - 2

Quote from: SN 7.2. AkkoSutta - Caci MakiPada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: "Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama." Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: "Bagaimana menurutmu, brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?"

"Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama."

"Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?"

"Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama."

"Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?"

"Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku."

"Demikian pula, brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan makian yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!

"Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, memasuki pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!"

"Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahant, namun Guru Gotama masih bisa marah."

Sang Bhagavā:

"Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri seorang yang tidak memiliki kemarahan, Dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar. Dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna, Dalam diri seorang yang stabil yang berdiam dalam kedamaian?

"Seseorang yang membalas seorang pemarah dengan kemarahan Dengan cara demikian, membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya sendiri. Tanpa membalas seorang pemarah dengan kemarahan, Seseorang memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan.

"Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak– Dirinya dan orang lain– Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

"Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak– Dirinya dan orang lain– Orang-orang yang menganggapnya dungu Adalah tidak terampil dalam Dhamma."

Ketika hal ini dikatakan, brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: "Menakjubkan, Guru Gotama! ... Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Bolehkah aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, bolehkah aku menerima penahbisan yang lebih tinggi?"

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian. Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Quote from: AN 7.64 Kodhanasutta"Para bhikkhu, ada tujuh hal ini yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah. Apakah tujuh ini?

(1) "Di sini, para bhikkhu, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Semoga ia menjadi berpenampilan buruk!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada penampilan baik musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin mandi dengan baik, diminyaki dengan baik, dengan rambut dan janggutnya dicukur rapi, berpakaian putih, tetap saja ia berpenampilan buruk. Ini adalah hal pertama yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(2) "Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Semoga ia tidak tidur lelap!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang ketika musuhnya tidur lelap. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin tidur di atas dipan beralaskan permadani, selimut, dan alas, dengan penutup dari kulit rusa, dengan kanopi dan guling di kedua sisinya, tetap saja ia tidak tidur lelap. Ini adalah hal ke dua yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(3) "Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Semoga ia tidak berhasil!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada keberhasilan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, jika ia memperoleh apa yang berbahaya, ia berpikir: 'Aku telah memperoleh apa yang bermanfaat,' dan jika ia memperoleh apa yang bermanfaat, ia berpikir: 'Aku telah memperoleh apa yang berbahaya.' Ketika, dengan dikuasai kemarahan, ia memperoleh hal-hal yang bertentangan ini, hal-hal itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Ini adalah hal ke tiga yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(4) "Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Semoga ia tidak menjadi kaya!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kekayaan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, raja-raja akan menyerahkan kepada bendahara kerajaan segala kekayaan yang telah ia peroleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan dengan kekuatan tangannya, yang didapatkan dengan keringat di keningnya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik. Ini adalah hal ke empat yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(5) "Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Semoga ia tidak menjadi termasyhur!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kemasyhuran musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia kehilangan segala kemasyhuran yang telah ia peroleh melalui kewaspadaan. Ini adalah hal ke lima yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(6) "Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Semoga ia tidak memiliki teman!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya memiliki teman. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan anggota keluarganya, menghindarinya dari jauh. Ini adalah hal ke enam yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(7) "Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: 'Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka!' Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya pergi ke alam tujuan yang baik. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan masih dikuasai oleh kemarahan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah hal ke tujuh yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

"Ini adalah ketujuh hal itu yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah."

Orang yang marah berpenampilan buruk; ia juga tidak tidur lelap; setelah memperoleh sesuatu yang bermanfaat, ia menganggapnya berbahaya.

Orang yang marah dikuasai oleh kemarahan, setelah membunuh melalui jasmani dan ucapan, menimbulkan kehilangan kekayaan.

Menjadi gila karena kemarahan ia memperoleh reputasi buruk. Sanak saudaranya, teman-temannya, dan mereka yang ia sayangi menghindari orang yang marah.

Kemarahan adalah penyebab bahaya; kemarahan memicu kerusuhan. Orang-orang tidak mengenali bahaya yang telah muncul dari dalam.

Orang yang marah tidak mengetahui apa yang baik; orang yang marah tidak melihat Dhamma. Hanya ada kebutaan dan kegelapan pekat, ketika kemarahan menguasai seseorang.

Ketika seorang yang marah menimbulkan kerusakan, apakah dengan mudah atau dengan susah-payah, kelak, ketika kemarahannya sirna, ia menjadi tersiksa seolah-olah terbakar api.

Ia menunjukkan sikap melawan seperti api di puncak yang berasap. Ketika kemarahannya menyebar ke luar, orang-orang menjadi marah karenanya.

Ia tidak memiliki rasa malu terhadap kesalahan, ucapannya tidak penuh hormat; seorang yang dikuasai kemarahan tidak memiliki pulau [keselamatan] sama sekali.

Aku akan memberitahukan kepada kalian tentang perbuatan-perbuatan yang menghasilkan siksaan. Dengarkanlah sebagaimana adanya, jauh dari mereka yang baik:

Seorang yang marah membunuh ayahnya; seorang yang marah membunuh ibunya sendiri; seorang yang marah membunuh seorang brahmana; seorang yang marah membunuh seorang duniawi.

Seorang duniawi yang marah membunuh ibunya, perempuan baik yang memberikannya kehidupan, seorang yang darinya ia diberi makan dan yang menunjukkan dunia ini kepadanya.

Orang-orang itu, seperti diri sendiri, masing-masing paling menyayangi diri mereka sendiri; namun mereka yang marah membunuh diri mereka sendiri dalam berbagai cara ketika mereka kebingungan sehubungan dengan berbagai persoalan.

Beberapa orang membunuh diri mereka sendiri dengan pedang; beberapa orang yang kebingungan menelan racun; beberapa orang menggantung diri mereka dengan tali; beberapa orang [terjun] ke dalam jurang di gunung.

Perbuatan-perbuatan yang melibatkan penghancuran kemajuan dan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kematian mereka sendiri: ketika melakukan perbuatan-perbuatan demikian mereka tidak tahu bahwa kekalahan muncul dari kemarahan.

Demikianlah jerat kematian yang tersembunyi dalam pikiran telah mengambil wujud kemarahan. Seseorang harus memotongnya melalui pengendalian-diri, kebijaksanaan, kegigihan, dan pandangan [benar].

Orang yang bijaksana harus melenyapkan [kualitas] tidak bermanfaat ini. Dengan cara demikianlah seseorang harus berlatih dalam Dhamma: tidak memberi jalan pada sikap melawan.

Bebas dari kemarahan, kesengsaraan mereka sirna, bebas dari delusi, tidak lagi ketagihan, jinak, setelah meninggalkan kemarahan, mereka yang tanpa noda mencapai nibbāna.

Jika dengan merenungkan sutta di atas, bisa membuat kebencian mereda, itu sangat baik.

FZ

MELEPASKAN KEBENCIAN - 3

Namun jika belum bisa meredakan kebencian, maka dia bisa mengingat kualitas baik dari orang yang dibenci / tidak disukai

Quote from: AN 5.162. Pelenyapan Kekesalan (2)Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: "Teman-teman, para bhikkhu!"

"Teman," para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

"Teman, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Di sini, perilaku jasmani seseorang tidak murni, tetapi perilaku ucapannya murni; seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (2) Perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (3) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (4) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan ia tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran dari waktu ke waktu; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (5) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni, dan dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

(1) "Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmaninya tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni? Misalkan seorang bhikkhu pemakai jubah kain potongan melihat sepotong kain di tepi jalan. Ia akan menginjaknya dengan kaki kirinya, menghamparkannya dengan kaki kanannya, merobek bagian yang utuh, dan mengambilnya; demikian pula, ketika perilaku jasmani orang lain tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku jasmaninya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(2) "Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni? Misalkan terdapat sebuah kolam yang tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan terjun ke dalam kolam, menyingkirkan ganggang dan tanaman air dengan tangannya, meminum air dengan menangkupkan tangannya, dan kemudian pergi; demikian pula, ketika perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi perilaku jasmaninya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku ucapannya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(3) "Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran? Misalkan ada sedikit air dalam sebuah genangan. Kemudian seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan berpikir: 'Ada sedikit air dalam genangan ini. Jika aku mencoba untuk meminumnya dengan menangkupkan tanganku atau menggunakan wadah, maka aku akan mengacaukannya, mengganggunya, dan membuatnya tidak dapat diminum. Biarlah aku merangkak dengan keempat tangan dan kaki, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi.' Kemudian ia merangkak pada keempat tangan dan kakinya, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku jasmani dan ucapannya, melainkan harus memperhatikan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(4) "Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan yang tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran dari waktu ke waktu? Misalkan seorang yang sakit, menderita, sakit keras sedang melakukan perjalan di sepanjang jalan raya, dan desa terakhir di belakangnya dan desa berikutnya di depannya keduanya berjauhan. Ia tidak akan memperoleh makanan dan obat-obatan yang sesuai atau perawat yang kompeten; ia tidak akan dapat [bertemu] kepala desa. Seorang lainnya yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya itu mungkin bertemu dengannya dan membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir: 'Oh, semoga orang ini memperoleh makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan seorang perawat yang kompeten! Semoga ia dapat [bertemu] dengan kepala desa! Karena alasan apakah? Agar orang ini tidak menemui kemalangan dan bencana di sini.' Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni, dan ia dari waktu ke waktu tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran, pada saat itu seseorang harus membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir, 'Oh, semoga Yang Mulia ini meninggalkan perilaku buruk melalui jasmani dan mengembangkan perilaku baik melalui jasmani; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui ucapan dan mengembangkan perilaku baik melalui ucapan; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui pikiran dan mengembangkan perilaku baik melalui pikiran! Karena alasan apakah? Agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.' Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(5) "Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran? Misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih, manis, dan sejuk, bersih, dengan tepian yang landai, sebuah tempat yang menyenangkan di bawah keteduhan berbagai pepohonan. Kemudian seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Setelah terjun ke dalam kolam itu, ia akan mandi dan minum, dan kemudian, setelah keluar dari sana, ia akan duduk atau berbaring di bawah keteduhan sebatang pohon di sana. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran, pada saat itu seseorang harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya, memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya, dan memperhatikan bukaan pikiran, ketenteraman pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan. Teman-teman, melalui seseorang yang menginspirasi keyakinan dalam berbagai cara, maka pikiran memperoleh keyakinan.

"Ini, teman-teman, adalah kelima cara itu untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun."

Namun jika kebencian masih terus muncul, maka bisa menggunakan syair berikut sebagai renungan

Quote"Misalkan seorang musuh telah menyakitimu Sekarang di dalam wilayah kekuasaannya, Mengapa engkau sendiri juga berusaha menyakiti Pikiranmu? — Itu bukan wilayah kekuasaannya.

Dengan air mata engkau meninggalkan keluargamu. Mereka dahulu telah baik dan menolongmu. Lalu mengapa tidak meninggalkan musuhmu, Yaitu kemarahan yang justru mencelakaimu?

Kemarahan yang engkau pelihara ini Menggerogoti akar-akar Dari semua kebajikan yang kau jaga— Siapakah yang begitu bodoh melakukan itu?

Orang lain berbuat tercela, Lalu engkau marah—Bagaimana bisa begitu? Apakah engkau juga hendak meniru Jenis perbuatan yang ia lakukan?

Misalkan orang lain, untuk mengganggu, Mengejekmu dengan perbuatan hina, Mengapa engkau biarkan amarah muncul, Dan melakukan seperti yang ia inginkan darimu?

Jika engkau marah, mungkin saja Ia akan menderita, mungkin juga tidak; Namun dengan luka yang dibawa amarah Engkau pasti tersiksa sekarang juga.

Bila musuh, dibutakan oleh amarah, Berjalan di jalan menuju celaka, Apakah dengan marah engkau juga hendak Mengikuti mereka langkah demi langkah?

Jika engkau disakiti musuh Karena amarah yang timbul darimu, Maka padamkanlah amarah itu, sebab mengapa Engkau harus tersiksa tanpa alasan?

Karena segala keadaan hanya sekejap adanya, Kumpulan-kumpulan (unsur jasmani & batin) Yang telah melakukan perbuatan hina itu Sudah lenyap—lalu kepada apa engkau marah?

Siapakah yang bisa disakiti oleh dia Yang hendak menyakiti orang lain, Namun orang itu sudah tiada di hadapannya? Kehadiranmu yang menjadi sebab sakit; Lalu mengapa engkau marah kepadanya?"

Jika kebencian juga tidak mereda, maka perlu direnungkan bahwa kenyataannya, diri dan orang lain adalah pemilik karmanya sendiri

seniya

#5
Quote from: FZ on Yesterday at 12:54:18 PMPertama-tama, cinta kasih perlu dikembangkan terlebih dahulu ke diri sendiri : Semoga saya bahagia, terbebas dari penderitaan, atau semoga saya terbebas dari permusuhan, penderitaan dan kecemasan. Namun apakah hal ini tidak bertentangan kah dengan sutta dan vibhanga ?

Formulasi 4 brahmavihara dalam sutta adalah sbb (misalnya dalam AN 4.125):

QuoteIdha, bhikkhave, ekacco puggalo mettāsahagatena cetasā ekaṁ disaṁ pharitvā viharati, tathā dutiyaṁ tathā tatiyaṁ tathā catutthaṁ. Iti uddhamadho tiriyaṁ sabbadhi sabbattatāya sabbāvantaṁ lokaṁ mettāsahagatena cetasā vipulena mahaggatena appamāṇena averena abyāpajjena pharitvā viharati.

Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

Praktik mengarahkan cinta kasih kepada diri sendiri berasal dari kata "sabbattatāya" yang diterjemahkan sebagai "kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri". Tetapi dalam beberapa pembacaan teks Pali kata ini dibaca sebagai "sabbatthatāya" yang berarti "dengan segala cara", sehingga ada yang menganggap praktik mengembangkan cinta kasih kepada diri sendiri tidak sesuai dengan sutta.

Menurut Bhikkhu Analayo dalam tulisannya berjudul "Immeasurable Meditations and Mindfulness", kemungkinan pembacaan yang lebih tepat adalah "sabbatthatāya" (dengan segala cara), namun bukan berarti praktik mengarahkan cinta kasih kepada diri sendiri tidak bermanfaat dan salah, melainkan ini bukan satu-satunya cara pengembangan metta:

QuoteThe idea of directing mettā to oneself might be related to a particular term used in the standard Pāli description of the meditative radiation. Different editions of the Pāli discourses vary in the spelling of this term, which can occur either as sabbatthatāya or as sabbattatāya. The difference involves a single letter, which is either an aspirated th or else an unaspirated t (after sabbat- and before -atāya). An aspirated and an unaspirated consonant can easily be confused with each other. The meaning of the two terms, however, is quite different. The first mentioned reading sabbatthatāya conveys the sense "in every way." The other reading sabbattatāya, which is the version accepted by the Visuddhimagga (Vism 308), can convey the sense "to all as to oneself ."

    In the standard description of the radiation, the term in question occurs between sabbadhi, "everywhere," and sabbāvantaṃ lokaṃ, "the entire world." The repetition of near synonyms occurs with high frequency in oral Pāli texts, making it fairly probable that the term under discussion expresses a meaning closely similar to what precedes and what follows it. This supports the sense "in every way" as the more likely reading. In fact, the alternative idea "to all as to oneself" does not seem to be attested anywhere else in the Pāli discourses (Maithrimurthi 1999). A comparative study of parallels to Pāli descriptions of the boundless radiation confirms the impression that the original idea would have been "in every way" (Anālayo 2015). Given that the Visuddhimagga opts for the other reading, the variant "to all as to oneself" might have triggered, or else at least supported, the arising of the idea that the practice should be directed toward oneself.

    From the viewpoint of the meditative radiation, the idea of directing mettā and compassion to oneself does not seem to be required, as a practitioner cultivating the radiation will anyway be fully immersed in the respective immeasurable or boundless state. It would not be possible to pervade all directions with a mind imbued with mettā or compassion without being affected by such pervasion oneself. This makes it fairly probable that the perceived need to include oneself would have arisen only once the meditation practice came to rely on the employment of other individuals as the object. In such a situation, it would be more natural for the idea to arise that oneself must be explicitly included among the recipients.

    Whatever may be the final word on the exact stages in the development under discussion here, there can be little doubt that the meditative approach to mettā and compassion by way of taking four individuals as one's objects, proceeding from oneself to a friend, a neutral person, and then a hostile person, is a later element. This does not mean that there is anything wrong with it. The wide-spread appeal of this form of practice testifies to its practical value. However, it does mean that this mode of practice need not be considered the only possible way to go about the meditative cultivation of mettā and compassion.

Baca juga diskusi dengan topik yang sama di forum Suttacentral:

https://discourse.suttacentral.net/t/why-does-almost-everyone-teach-the-brahmaviharas-wrong/23883
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa