//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)  (Read 2715 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 07:32:02 PM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 8 yang terdiri dari kotbah 87-96.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #1 on: 21 October 2020, 07:41:27 PM »
Bagian 8
Noda-Noda

87. Kotbah tentang Kekotoran-Kekotoran
<141>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Taman Rusa dalam Hutan Bhesakalā di Suṃsumāragiri di negeri Bhagga.

Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat [hal itu]? Di sini seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya; ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya. Di sini seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya; ia memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya. Di sini seseorang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya; ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya. Di sini seseorang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya; ia memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya.

Teman-teman yang mulia, sehubungan dengan orang yang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah rendah di antara orang-orang [dengan kekotoran]. Sehubungan dengan orang yang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya, yang memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah unggul di antara orang-orang [dengan kekotoran]. Sehubungan dengan orang yang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah rendah di antara orang-orang [tanpa kekotoran]. Sehubungan dengan orang yang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya, yang memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah unggul di antara orang-orang [tanpa kekotoran].

Kemudian seorang bhikkhu tertentu bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, merentangkan tangannya dengan telapak tangan yang disatukan terhadap Yang Mulia Sāriputta, dan berkata:<142>

Yang Mulia Sāriputta, apakah sebabnya, apakah kondisi untuk mengatakan bahwa, dari dua orang pertama dengan kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul? Selanjutnya, apakah sebabnya, apakah kondisi untuk mengatakan bahwa, dari dua orang berikutnya tanpa kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul?

Kemudian Yang Mulia Sāriputta menjawab bhikkhu itu:

Teman yang mulia, jika seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya, maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia tidak akan mengerahkan usaha atau dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori. Karena meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, orang itu mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk.<143> Mengapakah demikian? Karena ia meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang kotor dan bernoda. Setelah membawa pulang piring itu, ia tidak sering mencuci kotoran itu, tidak sering mengusapnya, tidak menjemurnya di bawah cahaya matahari, tetapi menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu bahkan menjadi lebih kotor dan bernoda.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya, maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia tidak akan mengerahkan usaha atau dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori; ia akan mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk. Mengapakah demikian? Adalah karena meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa orang ini akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia akan mengerahkan usaha dan dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Karena meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, orang itu mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena ia tanpa kekotoran-kekotoran, ia meninggal dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang kotor dan bernoda. Setelah membawa pulang piring itu, ia sering mencuci kotoran itu, sering mengusapnya, sering menjemurnya di bawah cahaya matahari, dan tidak menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu menjadi sangat bersih.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku memiliki kekotoran dalam diriku, aku seseungguhnya memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa orang ini akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia akan mengerahkan usaha dan dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Ia mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, jika seseorang tidak mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga. Sebagai akibat tidak menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga, pikirannya akan dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori. Karena meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, orang itu mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang bersih dan tanpa noda-noda. Setelah membawa pulang piring itu, ia tidak sering mencuci kotoran apa pun, tidak sering mengusapnya, dan tidak sering menjemurnya di bawah cahaya matahari, tetapi menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu pasti akan menjadi kotor dan bernoda.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang tidak mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata dan telinga. Sebagai akibat tidak menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata dan telinga, pikirannya akan dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori. Karena meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, orang itu mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga. Sebagai akibat menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga, pikirannya tidak dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, orang itu mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang bersih dan tanpa noda-noda. Setelah membawa pulang piring itu, ia sering mencuci kotoran apa pun, sering mengusapnya, sering menjemurnya di bawah cahaya matahari, dan tidak menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu menjadi sangat bersih.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga. Sebagai akibat menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga, pikirannya tidak dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, orang itu mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, ini adalah sebabnya, ini adalah kondisi untuk mengatakan bahwa dari dua orang sebelumnya dengan kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul. Ini adalah sebabnya, ini adalah kondisi untuk mengatakan dari dua orang berikutnya tanpa kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul.

Terhadap hal ini seorang bhikkhu lain bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Yang Mulia Sāriputta, dan berkata, “Yang Mulia Sāriputta, seseorang mengatakan tentang ‘kekotoran-kekotoran.’ Apakah ‘kekotoran-kekotoran’ itu?”

Yang Mulia Sāriputta menjawab bhikkhu itu:

Teman yang mulia, tak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dari nafsu-nafsu; inilah disebut “kekotoran-kekotoran.” Mengapakah demikian? Seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain mengetahui pelanggaran aturan latihannya; dan karena pelanggaran aturan latihannya diketahui oleh orang lain pikirannya memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain menegurku secara pribadi; biarlah mereka tidak menegurku di tengah-tengah sangha sehubungan dengan pelanggaran aturan latihanku!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain menegur orang itu di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi; dan bahwa karena ia ditegur oleh orang lain di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi pikirannya memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah seseorang yang lebih tinggi dariku menegurku; janganlah seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada diriku menegurku tentang pelanggaran aturan latihanku!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya menegurnya tentang pelanggaran aturan latihannya, alih-alih seseorang yang lebih tinggi darinya; dan karena ditegur oleh seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya alih-alih seseorang yang lebih tinggi darinya, pikirannya memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu! Jangalah bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu; dan karena bhikkhu lain itu duduk di hadapan Sang Budhda dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu memasuki [desa untuk mengumpulkan dana makanan], biarlah aku berada pada kepala [barisan para bhikkhu], dengan semua bhikkhu [sisanya] mengikutiku ketika kami masuk! Ketika para bhikkhu memasuki [desa itu], janganlah bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut], dengan semua bhikkhu sisanya mengikutinya seraya kami masuk!”

Teman yang mulia, mungkin bawah ketika para bhikkhu memasuki [desa itu], bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut], dengan semua bhikkhu sisanya mengikutinya ketika mereka masuk; dan karena ketika para bhikkhu memasuki [desa itu] bhikkhu lain itu berada pada kepala dengan semua bhikkhu sisanya mengikutnya ketika mereka masuk, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], biarlah aku mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan! Ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], janganlah bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan; dan karena ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], bhikkhu lain itu mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], biarlah aku menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka! Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, mencuci [tangan mereka], bhikkhu lain memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka; dan karena ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, mencuci [tangan mereka], bhikkhu lain itu memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para perumah tangga mendekati vihara, biarlah aku menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka! Ketika para perumah tangga mendekati vihara, janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka!”<144>

Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para perumah tangga mendekati vihara, bhikkhu lain bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka; dan bahwa karena bhikkhu lain itu bertemu dan menemani para perumah tangga ketika mereka mendekati vihara, dengan duduk bersama mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri ini! Janganlah bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, atau dihormati oleh orang-orang negeri ini!”<145>
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #2 on: 21 October 2020, 07:52:40 PM »
Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu; dan bahwa karena bhikkhu lain itu dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita! Janganlah bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita!”<146>

Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita; dan bahwa karena bhikkhu lain itu dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]! Janganlah bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]!”<147>

Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]; dan bahwa karena bhikkhu lain itu memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik], pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] bukan seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai memiliki pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

[Tetapi,] teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang bukan seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.<148>

Teman yang mulia, seumpamanya seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu dengan penutup. Ia mengisinya dengan kotoran dan meletakkan penutupnya.<149> Kemudian ia membawanya melewati pasar, dekat di mana keramaian orang sedang berjalan.

Semua orang itu yang melihat [piring itu] ingin makan [makanan yang mereka anggap terkandung di dalamnya]. Mereka merasakan selera yang besar. Mereka tidak memiliki kejijikan terhadapnya, karena persepsi kemurnian telah muncul dalam diri mereka. Setelah membawa [piring itu] ke tempat tertentu, ia mengangkat penutupnya dan memperlihatkan [isinya].
Ketika orang-orang melihat apa yang berada di dalamnya, tidak ada dari mereka yang memiliki keinginan untuk memakannya. Mereka tidak lagi merasakan selera, [dan sebaliknya merasakan] kejijikan besar, karena persepsi kejijikan telah muncul dalam diri mereka. Bahkan mereka yang lapar tidak lagi menginginkannya, apalagi mereka yang tidak lapar.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] bukan seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai memiliki pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang bukan seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.

Teman yang mulia, seharusnya diketahui bahwa seseorang yang demikian tidak untuk dipergauli, tidak untuk dihormati dan dimuliakan. Jika para bhikkhu bergaul dengan seseorang yang tidak seharusnya dipergauli, atau menghormati seseorang yang tidak seharusnya dihormati, maka mereka selama waktu yang lama tidak akan dapat mencapai keuntungan dan manfaat, dan tidak akan mengamankan kesejahteraan mereka sendiri. Mereka tidak akan menemukan keamanan dan kebahagiaan melainkan akan memunculkan penderitaan, kesedihan, dan dukacita.<150>

[Berlawanan dengan hal ini,] teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan!” Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain mengetahui tentang pelanggaran aturan latihan orang itu, tetapi bahwa walaupun pelanggaran aturan latihannya diketahui oleh orang lain pikirannya tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain menegurku secara pribadi; biarlah mereka tidak menegurku di tengah-tengah sangha sehubungan dengan pelanggaran aturan latihanku!” Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain menegur orang itu di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi, tetapi bahwa walaupun ditegur di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi, pikirannya tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah seseorang yang lebih tinggi dariku menegurku; jangalah seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada diriku menegurku tentang pelanggaran aturan latihanku!” Teman yang mulia, mungkin bahwa seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya menegurnya tentang pelanggaran aturan latihannya, alih-alih seseorang yang lebih tinggi darinya, tetapi walaupun ditegur oleh seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya alih-alih oleh seseorang yang lebih tinggi darinya, pikirannya tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu! Janganlah bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu memasuki [desa untuk mengumpulkan dana makanan], biarlah aku berada pada kepala [barisan para bhikkhu], dengan semua bhikkhu [sisanya] mengikutiku seraya kami masuk! Ketika para bhikkhu memasuki [desa itu], janganlah bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut], dengan semua bhikkhu sisanya mengikutinya seraya kami masuk!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu masuk, bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut] dan semua [bhikkhu sisanya] mengikutinya ketika mereka masuk, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang berada pada kepala [barisan itu] dengan yang lain mengikutinya ketika mereka masuk, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], biarlah aku mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan! Ketika para bhikkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], janganlah bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang mendapatkan tempat duduk terbaik ketika para bhkkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], biarlah aku menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka! Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], bhikkhu lain memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka, tetapi walaupun bhikkhu lain itu, ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para perumah tangga mendekati vihara, biarlah aku menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka! Ketika para perumah tangga mendekati vihara, janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para perumah tangga mendekati vihara, bhikkhu lain bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang bertemu dan menemani para perumah tangga ketika mereka mendekati vihara, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri ini! Janganlah bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri ini!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita! Janganlah bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita; tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]! Janganlah bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik], tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik], pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.

[Tetapi,] teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang adalah seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu dengan penutup. Ia mengisinya dengan berbagai makanan dan minuman yang menarik dan lezat serta meletakkan penutupnya. Kemudian ia membawanya melewati toko-toko, dekat di mana keramaian orang sedang berjalan.
Semua orang yang melihat [piring itu] tidak memiliki keinginan untuk makan [darinya]. Mereka tidak merasakan keinginan atau selera. Mereka memiliki kejijikan terhadapnya, karena persepsi kejijikan telah muncul dalam diri mereka. Mereka berkata, “Bawalah pergi kotoran itu! Bawalah pergi kotoran itu!”<151> Orang itu, setelah membawa mangkuk itu ke tempat tertentu, mengangkat penutupnya dan memperlihatkan [isinya]. Ketika orang-orang melihat apa yang berada di dalamnya, semuanya memiliki keinginan untuk memakannya. Mereka merasakan keinginan dan selera. Mereka tidak lagi mengalami kejijikan terhadapnya, karena persepsi kemurnian muncul dalam diri mereka. Bahkan mereka yang tidak lapar ingin memakannya, apalagi mereka yang lapar.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.

[Tetapi,] teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang adalah seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #3 on: 21 October 2020, 07:54:38 PM »
Teman yang mulia, seharusnya diketahui bahwa seseorang yang demikian adalah untuk dipergauli dan dihormati. Jika para bhikkhu bergaul dengan seseorang yang seharusnya dipergauli, atau menghormati seseorang yang seharusnya dihormati, maka mereka selama waktu yang lama akan dapat mencapai keuntungan dan manfaat, dan akan mengamankan kesejahteraan mereka sendiri. Mereka akan menemukan keamanan dan kebahagiaan, dan bebas dari penderitaan, kesedihan, dan dukacita.

Pada waktu itu, Yang Mulia Mahāmoggallāna berada di dalam perkumpulan itu. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata, “Yang Mulia Sāriputta, aku ingin mengatakan suatu perumpamaan sehubungan dengan topik ini. Apakah aku diizinkan untuk mengatakannya?”

Yang Mulia Sāriputta berkata, “Yang Mulia Mahāmoggallāna, silakan katakanlah perumpamaan yang ingin engkau katakan.”

Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata:

Yang Mulia Sāriputta, aku mengingat bahwa pada suatu ketika aku sedang berdiam di Gunung Puncak Burung Bangkai di Rājagaha. Pada waktu itu, ketika malam telah berlalu, menuju fajar, aku mengenakan jubahku, membawa mangkukku, memasuki Rājagaha, dan pergi untuk mengumpulkan dana makanan. Aku mendekati rumah pertapa telanjang Puṇṇaputta, seorang mantan pembuat kereta.<152>

Pada waktu itu, di sebuah rumah yang berdekatan, seorang pembuat kereta lain sedang mengetam pelek untuk sebuah kereta. Saat itu pertapa telanjang Puṇṇaputta, mantan pembuat kereta, tiba di rumah itu. Melihat bahwa [pembuat kereta lain] sedang mengetam pelek, pertapa telanjang Puṇṇaputta, mantan pembuat kereta, berpikir: “Jika pembuat kereta ini menggunakan kapak untuk mengetam pelek itu dengan memotong kecacatan ini dan itu, dengan cara ini pelek itu akan menjadi sangat bagus.”

Kemudian, seakan-akan ia mengetahui pemikiran dalam pikiran pertapa telanjang Puṇṇaputta, pembuat kereta itu mengambil kapaknya dan memotong kecacatan ini dan itu. Kemudian pertapa telanjang Puṇṇaputta sangat bergembira dan berkata, “Pembuat kereta, ini seakan-akan engkau mengetahui pikiranku dengan pikiranmu. Mengapakah demikian? Karena engkau menggunakan kapakmu untuk mengetam pelek itu dengan memotong kecacatan ini dan itu, seperti halnya yang kupikir engkau dapat [melakukannya].”

Dengan cara yang sama, Yang Mulia Sāriputta, seumpamanya terdapat mereka yang suka menyanjung, penuh tipu daya, iri hati, tidak memiliki keyakinan, lalai, tidak memiliki perhatian benar dan pemahaman benar, tidak memiliki konsentrasi, tidak memiliki kebijaksanaan, angkuh, terdelusi, tidak menjaga indria-indria, tidak berlatih dalam <keterasingan>,<153> dan tidak memiliki kearifan – karena mengetahui pikiran mereka dengan pikirannya, Yang Mulia Sāriputta telah memberikan pengajaran ini.

Yang Mulia Sāriputta, terdapat mereka yang tidak suka menyanjung, tidak penuh tipu daya, tidak iri hati, yang memiliki keyakinan, tekun dan tanpa kelambanan, memiliki perhatian benar dan pemahaman benar, yang mengembangkan konsentrasi dan mengembangkan kebijaksanaan, tidak angkuh atau terdelusi, menjaga indria-indria, berlatih secara menyeluruh dalam <keterasingan>, dan memahami secara terampil. Ketika mereka mendengar Dharma yang diajarkan oleh Yang Mulia Sāriputta, maka bagaikan makanan bagi yang lapar dan minuman bagi yang haus, [apa yang berasal dari] mulut[nya] masuk ke pikiran mereka.

Yang Mulia Sāriputta, seumpamanya seorang gadis dari kasta ksatria, kastra brahmana, kasta saudagar, atau kasta pekerja, yang cantik dan menarik, telah membersihkan diri dengan baik, meminyaki tubuhnya dengan wewangian, mengenakan pakaian cemerlang dan bersih, dan menghiasi dirinya dengan berbagai permata.<154>

Sekarang, seumpamanya seorang pria yang berpikir [dengan baik] tentang gadis itu, dengan mencari manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan, mengambil sebuah kalungan bunga yang terbuat dari seroja, kalungan bunga dari bunga champak, kalungan bunga dari melati berbunga besar (sumanā), kalungan bunga dari melati Arab (vassikā), atau kalungan bunga mawar dan memberikannya kepada gadis itu. Gadis itu akan dengan gembira menerima [kalungan bunga itu] dengan kedua tangannya dan menaruhnya pada kepalanya.

Hal yang sama, Yang Mulia Sāriputta, dengan mereka yang tidak suka menyanjung, tidak penuh tipu daya, tidak iri hati, yang memiliki keyakinan, tekun dan tanpa kelambanan, memiliki perhatian benar dan pemahaman benar, yang mengembangkan konsentrasi dan mengembangkan kebijaksanaan, tidak angkuh atau terdelusi, menjaga indria-indria, berlatih secara menyeluruh dalam <keterasingan>, dan memahami secara terampil.

Ketika mereka mendengar Dharma yang diajarkan Yang Mulia Sāriputta, maka bagaikan makanan bagi yang lapar dan minuman bagi yang haus, [apa yang berasal dari] mulut[nya] masuk ke pikiran mereka.

Yang Mulia Sāriputta, adalah luar biasa, adalah mengagumkan! Yang Mulia Sāriputta begitu sering membangkitkan semangat dan menyokong teman-temannya dalam kehidupan suci dengan membantu mereka meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan menegakkan mereka dalam apa yang bermanfaat.

Setelah memuji satu sama lain seperti ini, dua orang yang mulia bangkit dari tempat duduk mereka dan pergi.

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Sāriputta. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahāmoggallāna dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #4 on: 21 October 2020, 08:01:54 PM »
88. Kotbah tentang Pencarian terhadap Dharma<155>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kosala dengan sekumpulan besar bhikkhu. Beliau pergi ke sebuah hutan kayu keras di sebelah utara desa Pancasāla, bersama-sama dengan berbagai sesepuh yang terkemuka dan sangat dihormati, para siswa utama seperti Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahāmoggalāna, Yang Mulia Kassapa, Yang Maha Mahākaccāna, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, dan Yang Mulia Ānanda. Para sesepuh yang terkemuka dan sangat dihormati demikian, para siswa utama demikian sedang berdiam di samping gubuk jerami Sang Buddha [di sebelah utara] desa Pancasāla.<156>

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kalian seharusnya melakukan pencarian terhadap Dharma, bukan pencarian terhadap makanan dan minuman.<157> Mengapakah demikian? Demi cinta kasih dan belas kasih bagi para siswaku, aku berharap kalian melakukan pencarian terhadap Dharma, bukan pencarian terhadap makanan dan minuman.

Jika kalian tidak melakukan pencarian terhadap Dharma dan melakukan pencarian terhadap makanan dan minuman, maka kalian akan mencemari diri kalian sendiri dan [sebagai guru kalian] aku juga tidak akan memiliki nama yang baik. Jika kalian melakukan pencarian terhadap Dharma dan bukan melakukan pencarian terhadap makanan dan minuman, maka kalian akan memuliakan diri kalian sendiri dan [sebagai guru kalian] aku juga akan memiliki nama yang baik.

Bagaimanakah para siswa yang berlatih di bawah Sang Buddha melakukan pencarian terhadap makanan dan bukan pencarian terhadap Dharma? Seumpamanya bahwa aku sudah kenyang, setelah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Kemudian dua orang bhikkhu datang, yang lapar dan lemah, dan aku berkata kepada mereka, “Aku sudah kenyang, setelah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Ambillah makanan itu jika kalian ingin makan. Jika kalian tidak mengambilnya, maka aku akan membuangnya [ke tempat] di mana tidak ada tumbuhan hijau atau menjatuhkannya ke dalam air di mana tidak ada kehidupan.”

Kemudian yang pertama dari dua orang bhikkhu itu berpikir, “Sang Bhagavā sudah kenyang, setelah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Jika aku tidak mengambilnya, Sang Bhagavā pasti akan membuangnya [ke tempat] di mana tidak ada tumbuhan hijau atau menjatuhkannya ke dalam air di mana tidak ada kehidupan. Aku sekarang lebih baik mengambil dan memakannya.” Ia kemudian mengambil makanan tersebut.

Walaupun bhikkhu itu, setelah mengambil makanan tersebut, melewati siang dan malam dengan nyaman dan telah memperoleh kenyamanan dan kesejahteraan, tetapi dengan mengambil makanan itu bhikkhu tersebut tidak menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha.

Mengapakah demikian? Karena dengan mengambil makanan itu bhikkhu tersebut tidak mencapai dimilikinya sedikit keinginan, tidak mengetahui kepuasan, tidak mudah disokong, tidak mudah terpuaskan, tidak mengetahui waktu [yang tepat], tidak mengetahui pengendalian, tidak memperoleh semangat, tidak mencapai meditasi duduk, tidak mencapai kemurnian perilaku, tidak mencapai keterasingan, tidak mencapai keterpusatan pikiran, tidak mencapai ketekunan, dan tidak mencapai nirvana.

Demikianlah, dengan mengambil makanan itu, bhikkhu tersebut tidak menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha. Ini adalah bagaimana para siswa yang berlatih di bawah Sang Buddha melakukan pencarian terhadap makanan dan minuman dan bukan pencarian terhadap Dharma.

Bagaimanakah para siswa melakukan pencarian terhadap Dharma dan bukan pencarian terhadap makanan dan minuman? Dari dua orang bhikkhu itu, yang kedua berpikir, “Sang Bhagavā sudah kenyang, telah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Jika aku tidak mengambilnya, Sang Bhagavā pasti akan membuangnya [ke tempat] di mana tidak ada tumbuhan hijau atau menjatuhkannya ke dalam air di mana tidak ada kehidupan. Selanjutnya, Sang Bhagavā telah mengatakan bahwa di antara [jenis-jenis] makanan, ini adalah yang paling rendah, yaitu sisa-sisa makanan. Aku sekarang lebih baik tidak mengambil makanan ini.” Berpikir demikian, ia tidak mengambilnya.

Walaupun bhikkhu itu, karena tidak mengambil makanan tersebut, melewati siang dan malam dalam penderitaan, tidak memperoleh kenyamanan dan kesejahteraan, tetapi dengan tidak mengambil makanan tersebut, bhikkhu itu menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha. Mengapakah demikian?

Dengan tidak mengambil makanan itu bhikkhu tersebut mencapai dimilikinya sedikit keinginan, mengetahui kepuasan, mudah disokong, mudah terpuaskan, mengetahui waktu [yang tepat], mengetahui pengendalian, memperoleh semangat, mencapai meditasi duduk, mencapai kemurnian perilaku, mencapai keterasingan, mencapai keterpusatan pikiran, mencapai ketekunan, dan mencapai nirvana. Demikianlah, dengan tidak mengambil makanan itu, bhikkhu tersebut menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha. Ini adalah bagaimana para siswa yang berlatih di bawah Sang Buddha melakukan pencarian terhadap Dharma dan bukan pencarian terhadap makanan dan minuman.

Kemudian Sang Buddha berkata kepada para siswa:

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak kondusif bagi kesejahteraan banyak orang atau kebahagiaan banyak orang. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.<158>

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak akan kondusif bagi kesejahteraan orang banyak atau kebahagiaan orang banyak. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

[Sebaliknya,] jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta hadir di antara perkumpulan itu. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

Sāriputta, demi kepentingan para bhikkhu, sampaikanlah sebuah kotbah tentang Dharma yang sesuai dengan Dharma. Aku menderita sakit punggung dan ingin beristirahat sejenak.<159>

Yang Mulia Sāriputta menerima instruksi Sang Buddha: “Baik, Sang Bhagavā.”

Kemudian Sang Bhagavā melipat jubah luarnya menjadi empat untuk digunakan sebagai tempat tidur, menggulung jubah utamanya menjadi bantal, dan berbaring pada sisi kanan beliau dengan satu kaki di atas yang lain, dengan mempertahankan persepsi cahaya, penuh perhatian dan kewaspadaan, dan selalu mengingat kehendak untuk bangkit kembali.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, kalian seharusnya mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah memberikan ajaran ini secara singkat: “Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang atau kebahagiaan banyak orang. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang atau kebahagiaan banyak orang. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“[Sebaliknya,] jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disipin ini akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disipin ini akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

Sehubungan dengan ajaran yang diberikan demikian singkat oleh Sang Bhagavā ini, bagaimanakah kalian memahami maknanya? Bagaimanakah kalian menguraikannya dan menganalisisnya?<160>

Kemudian seorang bhikkhu dalam perkumpulan itu berkata:

Yang Mulia Sāriputta, di sini seorang sesepuh yang sangat dihormati menyatakan tentang dirinya sendiri, “Aku telah mencapai pengetahuan akhir: Kelahiran telah diakhiri bagiku, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain; aku mengetahui hal ini sebagaimana adanya.” Ketika mendengar penyataan diri bhikkhu itu atas pencapaian pengetahuan akhirnya, teman-temannya dalam kehidupan suci dipenuhi dengan kegembiraan.

Bhikkhu lain berkata:

Yang Mulia Sāriputta, ketika para siswa menengah dan baru melakukan pencarian terhadap nirvana yang tiada bandingnya dan bertekad padanya, teman-teman mereka dalam kehidupan suci bergembira ketika melihat hal itu.

Dengan cara-cara ini para bhikkhu tersebut menjelaskan maknanya, tetapi ini tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Yang Mulia Sāriputta.

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, dengarkanlah apa yang akan kukatakan kepada kalian. Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dicela karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak berlatih dalam <keterasingan>,<161> maka para siswa seniornya dicela karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan [batin] tertentu tetapi para siswa seniornya tidak berlatih dalam meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa seniornya dicela karena hal ini. [Jika] para siswa seniornya meninggalkan pengerahan usaha untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa seniornya dicela karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dicela karena tiga alasan ini.

Teman-teman yang mulia, jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak berlatih dalam <keterasingan>, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan [batin] tertentu tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak berlatih dalam meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena hal ini. [Jika] para siswa menengahnya ... barunya meninggalkan pengerahan usaha untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena tiga alasan ini.
[Sebaliknya,] teman-teman yang mulia, jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dipuji karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan dan para siswa seniornya juga berlatih dalam <keterasingan>, maka para siswa seniornya dipuji karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan [batin] tertentu dan para siswa seniornya juga berlatih dalam meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa seniornya dipuji karena hal ini. [Jika] para siswa seniornya tidak meninggalkan pengerahan usaha tetapi berlatih dengan tekun untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa seniornya dipuji karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dipuji karena tiga alasan ini.

Teman-teman yang mulia, jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan dan para siswa menengahnya ... barunya juga berlatih dalam <keterasingan>, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan tertentu dan para siswa menengahnya ... barunya juga berlatih meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena hal ini. [Jika] para siswa menengahnya ... barunya tidak meninggalkan pengerahan usaha tetapi berlatih dengan tekun untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena tiga alasan ini.

Yang Mulia Sāriputta berkata lebih lanjut kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, terdapat suatu jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma, dan menurut Dharma, serta yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Teman-teman yang mulia, apakah jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma dan menurut Dharma, serta yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana?

Teman-teman yang mulia, pikiran dengan keinginan indria adalah jahat, dan perilaku buruk dari pikiran dengan keinginan indria juga adalah jahat. Seseorang [seharusnya] meninggalkan pikiran dengan keinginan indria dan perilaku buruk dari pikiran dengan keinginan indria. Demikian juga dengan permusuhan, ... kebencian, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... ketiadaan rasa malu, ... ketiadaan rasa takut, ... keangkuhan, ... kebanggaan yang berlebihan, ... kesombongan, ... kelalaian, ... kemewahan, ... kemarahan, ... sifat suka berselisih....

Teman-teman yang mulia, ketagihan adalah jahat, kemelekatan juga adalah jahat. Seseorang [seharusnya] meninggalkan ketagihan dan kemelekatan. Teman-teman yang mulia, ini adalah jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma dan menurut Dharma, serta membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, terdapat jalan tengah ini untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma, menurut Dharma, dan membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana. Dan apakah, teman-teman yang mulia, jalan tengah ini untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma, menurut Dharma, dan membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana?

Ini adalah jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar ... sampai dengan ... konsentrasi benar; ini adalah delapan hal itu. Teman-teman yang mulia, ini adalah jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma dan menurut Dharma, serta membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Pada saat itu rasa sakit yang diderita Sang Bhagavā telah lenyap dan beliau dalam kenyamanan dan merasa lebih baik.<162> Bangkit dari posisi berbaringnya, beliau duduk bersila dan memuji Yang Mulia Sāriputta:

Bagus, bagus, Sāriputta, engkau telah menyampaikan kepada para bhikkhu sebuah kotbah tentang Dharma yang sesuai dengan Dharma. Sāriputta, engkau seharusnya berlanjut menjelaskan kepada para bhikkhu Dharma yang sesuai dengan Dharma. Sāriputta, engkau seharusnya sering menjelaskan kepada para bhikkhu Dharma yang sesuai dengan Dharma.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kalian semua seharusnya mengingat [kotbah tentang] Dharma yang sesuai dengan Dharma [ini], mengulanginya dan menyimpannya dalam ingatan. Mengapakah demikian?

[Kotbah tentang] Dharma [ini] sesuai dengan Dharma; ia mengandung Dharma dan penuh makna; ia adalah landasan kehidupan suci, yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana. Sebagai anggota keluarga yang telah mencukur rambut dan janggut kalian, mengenakan jubah kuning, dan demi keyakinan meninggalkan kehidupan berumah tangga, setelah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan, kalian seharusnya mengingat dengan baik Dharma yang sesuai dengan Dharma ini.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #5 on: 21 October 2020, 08:11:48 PM »
89. Kotbah tentang Permohonan Seorang Bhikkhu<163>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, di Tempat Perlindungan Tupai, di mana beliau sedang menjalankan pengasingan musim hujan dengan sekumpulan besar bhikkhu.<164>

Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, mungkin bahwa seorang bhikkhu memohon para bhikkhu lain, “Teman-teman yang mulia, mohon nasihatilah diriku, ajarkanlah diriku, dan tegurlah diriku. Janganlah [menganggap]ku sebagai seseorang yang menyulitkan.”

Mengapakah demikian? Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu sulit untuk ditegur, dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk ditegur. Karena orang itu memiliki kualitas-kualitas yang membuatya sulit untuk ditegur, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menasihati, mengajarkan, atau menegurnya, tetapi [mereka menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan.

Teman-teman yang mulia, apakah kualitas-kualitas yang membuat seseorang sulit untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk ditegur ini, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menasihati, mengajarkan, atau menegurnya tetapi [mereka menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Teman-teman yang mulia, memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian] adalah suatu kualitas yang membuat orang ini sulit ditegur. Dengan cara yang sama, memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak berbicara dan tidak komunikatif, ... penuh tipu daya dan suka menyanjung, ... kikir dan iri hati, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... menyimpan permusuhan dan kedengkian, ... menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... menegur bhikkhu yang menegurnya, ... memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara, ... menjadi marah dan terbakar dengan kebencian, ... [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih.<165>

Teman-teman yang mulia, tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih adalah suatu kualitas yang membuat orang ini sulit untuk ditegur. Teman-teman yang mulia, ini adalah kualitas-kualitas yang membuat seseorang sulit untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk ditegur, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menasihati, mengajarkan, atau menegurnya tetapi [mereka menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan. Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu seharusnya merenungkan kualitas-kualitas demikian dalam dirinya sendiri.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], aku tidak akan seperti orang itu. Jika aku memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], orang lain juga tidak akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu tidak memelihara keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.<166>

Dengan cara yang sama, memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak berbicara dan tidak komunikatif, ... penuh tipu daya dan suka menyanjung, ... kikir dan iri hati, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... menyimpan permusuhan dan kedengkian, ... menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... menegur bhikkhu yang menegurnya, ... memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara, ... menjadi marah dan terbakar dengan kebencian, ... [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, aku tidak akan seperti orang itu. Jika aku tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, orang lain juga tidak akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu tidak memelihara ketiadaan rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.

Teman-teman yang mulia, mungkin bahwa seorang bhikkhu tidak memohon bhikkhu lain, “Teman-teman yang mulia, mohon nasihatilah diriku, ajarkanlah diriku, dan tegurlah diriku, serta janganlah [menganggap]ku sebagai seseorang yang menyulitkan.” Mengapakah demikian?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu mudah untuk ditegur, dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur. Karena orang itu memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihatinya dengan baik, mengajarkannya dengan baik, dan menegurnya dengan baik, serta tidak [menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan.

Teman-teman yang mulia, apakah kualitas-kualitas yang membuat seseorang mudah untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihatinya dengan baik, mengajarkannya dengan baik, dan menegurnya dengan baik, serta tidak [menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Teman-teman yang mulia, tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian] adalah suatu kualitas yang membuat orang ini mudah untuk ditegur.

Dengan cara yang sama, tidak memiliki kekotoran batin atau perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak menolak berbicara atau tidak komunikatif, ... tidak penuh tipu daya atau suka menyanjung, ... tidak tamak atau iri hati, ... memiliki rasa malu atau takut, ... tidak menyimpan kebencian atau kedengkian, ... tidak menjadi marah atau mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... tidak menegur bhikkhu yang menegurnya, ... tidak memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengelak dengan mengalihkan pembicaraan atau menolak berbicara, ... tidak menjadi marah atau terbakar dengan kebencian, ... tidak [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... memiliki rasa terima kasih atau tahu berterima kasih.

Teman-teman yang mulia, memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih adalah suatu kualitas yang membuat seseorang demikian mudah untuk ditegur. Teman-teman yang mulia, ini adalah kualitas-kualitas yang membuat seseorang mudah untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihatinya dengan baik, mengajarkannya dengan baik, dan menegurnya dengan baik, serta tidak [menganggap]nya sebaga seseorang yang menyulitkan. Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu seharusnya merenungkan [kualitas-kualitas demikian] dalam dirinya sendiri.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], aku akan seperti orang itu. Jika aku tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka orang lain akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu tidak memelihara keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.<167>

Dengan cara yang sama, tidak memiliki kekotoran batin atau perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak menolak berbicara atau tidak komunikatif, ... tidak penuh tipu daya atau suka menyanjung, ... tidak tamak atau iri hati, ... memiliki rasa malu atau takut, ... tidak menyimpan kebencian atau kedengkian, ... tidak menjadi marah atau mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... tidak menegur bhikkhu yang menegurnya, ... tidak memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengelak dengan mengalihkan pembicaraan atau menolak berbicara, ... tidak menjadi marah atau terbakar dengan kebencian, ... tidak [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... memiliki rasa terima kasih atau tahu berterima kasih.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang memiliki rasa terima kasih tetapi tahu berterima kasih, aku akan seperti orang itu. Jika aku memiliki rasa terima kasih tetapi tahu berterima kasih, orang lain juga akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu memiliki rasa terima kasih tetapi tahu berterima kasih. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu akan memastikan banyak manfaat bagi dirinya sendiri jika ia merenungkan seperti ini: “Apakah aku memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], atau apakah aku tidak memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]?” Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkannya.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihannya dalam Dharma yang mengagumkan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang dengan penglihatan [yang baik] dapat melihat dirinya sendiri pada sebuah cermin untuk melihat apakah wajahnya bersih atau tidak. Teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa terdapat kotoran pada wajahnya, maka ia tidak bergembira dan berusaha membersihkannya. Teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa tidak ada kotoran pada wajahnya, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Wajahku bersih,” dan bergembira karena hal ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkannya. Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihan dalam Dharma yang mengagumkan.

Dengan cara yang sama [bhikkhu itu merenungkan seperti ini]: “Apakah aku memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], atau apakah aku tidak memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian]? Apakah aku menolak berbicara dan tetap tidak komunikatif, atau apakah aku berbicara dan tetap komunikatif? Apakah aku penuh tipu daya dan suka menyanjung, atau apakah aku tidak penuh tipu daya dan suka menyanjung? Apakah aku kikir dan iri hati, atau apakah aku tidak kikir dan iri hati? Apakah aku tidak memiliki rasa malu dan takut, atau apakah aku memiliki rasa malu dan takut? Apakah aku menyimpan permusuhan dan kedengkian, atau apakah aku tidak menyimpan permusuhan dan kedengkian? Apakah aku menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, atau apakah aku tidak menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan? Apakah aku menegur bhikkhu yang menegurku, atau apakah aku tidak menegur bhikkhu yang menegurku? Apakah aku memandang rendah bhikkhu yang menegurku, atau apakah aku tidak memandang rendah bhikkhu yang menegurku? Apakah aku mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurku, atau apakah aku tidak mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurku? Apakah aku mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara, atau apakah aku tidak mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara? Apakah aku menjadi marah dan terbakar dengan kebencian, atau apakah aku tidak menjadi marah dan terbakar dengan kebencian? Apakah aku tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, atau apakah aku memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih?”

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki rasa terima dan tidak tahu berterima kasih, maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkan [keadaan] ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihannya dalam Dharma yang mengagumkan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang dengan penglihatan [yang baik] dapat melihat dirinya sendiri pada sebuah cermin untuk melihat apakah wajahnya bersih atau tidak. Teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa terdapat kotoran pada wajahnya, maka ia tidak bergembira dan berusaha membersihkannya. [Tetapi] teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa tidak ada kotoran pada wajahnya, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Wajahku bersih,” dan bergembira karena hal ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkan [keadaan] ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihannya dalam Dharma yang mengagumkan.<168>
Karena bergembira, ia mencapai sukacita. Karena mencapai sukacita, jasmaninya menjadi tenang. Karena jasmaninya tenang, ia mengalami kebahagiaan. Karena mengalami kebahagiaan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

Teman-teman yang mulia, karena pikirannya menjadi terkonsentrasi, seorang siswa mulia yang terpelajar melihat dan mengetahui sebagaimana adanya. Karena melihat dan mengetahui sebagaimana adanya, ia mengalami kekecewaan. Karena kekecewaan, ia mengalami kebosanan.

Karena kebosanan, ia mencapai pembebasan. Karena terbebaskan, ia mencapai pengetahuan karena terbebaskan, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Mahāmoggallāna. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Mahāmoggallāna, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #6 on: 21 October 2020, 08:17:31 PM »
90. Kotbah tentang Pengetahuan Dharma<169>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.

Pada waktu itu Yang Mulia Cunda berkata kepada para bhikkhu:

Seumpamanya bahwa seorang bhikkhu membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan”;<170> tetapi dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan muncul dan menetap. Dengan cara yang sama untuk sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... keinginan <jahat> dan pandangan jahat;<171> tetapi dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat muncul dan menetap.<172>

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu sebagai seorang yang tidak mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang tidak bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu ketamakan muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat muncul dan menetap.

Teman-teman yang mulia, ia bagaikan seseorang yang tidak kaya tetapi menyatakan sebagai kaya, tidak memiliki tanah feodal tetapi menyatakan memiliki tanah feodal, tidak memiliki hewan ternak tetapi menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba ia tidak memiliki emas, perak, mutiara, beril, kristal, atau ambar, tidak memiliki hewan ternak, padi-padian, atau para pelayan [yang dapat ia gunakan].

Sanak keluarga dan teman-temannya mendekatinya dan berkata, “Engkau sebenarnya tidak kaya tetapi menyatakan sebagai kaya. Engkau tidak memiliki tanah feodal tetapi menyatakan memiliki tanah feodal. Engkau tidak memiliki hewan ternak tetapi menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba engkau tidak memiliki emas, perak, mutiara, beril, kristal, atau ambar, engkau tidak memiliki hewan ternak, padi-padian, atau para pelayan [yang dapat engkau gunakan].”<173>

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan”, tetapi dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat; tetapi dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat muncul dan menetap.

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu adalah seorang yang tidak mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang tidak bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu tidak cenderung pada lenyapnya ketamakan dan pada nirvana tanpa sisa.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu tidak cenderung pada lenyapnya pandangan jahat dan pada nirvana tanpa sisa.

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu tidak membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan”; tetapi dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan tidak muncul dan menetap.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat; tetapi dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat tidak muncul dan menetap.

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu sebagai seorang yang benar-benar mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu ketamakan tidak muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat tidak muncul dan menetap.

Teman-teman yang mulia, seumpamanya seseorang yang sangat kaya tetapi tidak menyatakan sebagai kaya, memiliki tanah feodal tetapi tidak menyatakan memiliki tanah feodal, memiliki hewan ternak tetapi tidak menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba ia memiliki emas, perak, mutiara, beril, kristal, ambar, hewan ternak, padi-padian, dan para pelayan [yang dapat ia gunakan].

Sanak keluarga dan teman-temannya mendekatinya dan berkata, “Engkau sebenarnya sangat kaya tetapi tidak menyatakan sebagai kaya. Engkau memiliki tanah feodal tetapi tidak menyatakan memiliki tanah feodal. Engkau memiliki hewan ternak tetapi tidak menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba engkau memiliki emas, perak, beril, kristal, dan ambar, engkau memiliki hewan ternak, padi-padian, dan para pelayan [yang dapat engkau gunakan].”

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seumpamanya seorang bhikkhu tidak membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan,” dan dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan tidak muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... keinginan <jahat> dan pandangan jahat; dan dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan salah tidak muncul dan menetap.

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu sebagai seorang yang [benar-benar] mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu cenderung pada lenyapnya ketamakan dan pada nirvana tanpa sisa. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu cenderung pada lenyapnya ketamakan dan pada nirvana tanpa sisa. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu cenderung pada lenyapnya pandangan jahat dan pada nirvana tanpa sisa.

Demikian yang diucapkan Yang Mulia Cunda. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Cunda, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #7 on: 21 October 2020, 08:24:58 PM »
91. Kotbah tentang Pertanyaan Cunda tentang Pandangan-Pandangan<174>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.

Pada waktu itu, pada sore hari, Yang Mulia Mahācunda bangkit dari duduk bermeditasi dan mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, ia mengundurkan diri, duduk pada satu sisi, dan berkata:

Sang Bhagavā, sehubungan dengan berbagai pandangan yang terus-menerus muncul di dunia – spekulasi-spekulasi tentang keberadaan diri, makhluk hidup, manusia, jiwa, landasan kehidupan, dan dunia – Sang Bhagavā, dengan cara apakah seseorang seharusnya mengetahui dan dengan cara apakah seseorang seharusnya melihat sehingga pandangan-pandangan ini dilenyapkan dan ditinggalkan, dan pandangan-pandangan lain tidak berlanjut dan dilekati?

Sang Bhagavā berkata:

Cunda, sehubungan dengan berbagai pandangan yang terus-terus muncul di dunia – spekulasi-spekulasi tentang keberadaan diri, makhluk hidup, manusia, jiwa, landasan kehidupan, dan dunia – jika, Cunda, [seseorang merealisasi] lenyapnya tanpa sisa semua fenomena, [maka] dengan mengetahui seperti ini dan melihat seperti ini, pandangan-pandangan ini dilenyapkan dan ditinggalkan, dan pandangan-pandangan lainnya tidak berlanjut dan dilekati. [Untuk tujuan ini] seseorang seharusnya melatih penghapusan.

Cunda, apakah yang merupakan “penghapusan” dalam Dharma dan disiplin mulia? Di sini seorang bhikkhu, terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat, dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan] ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Ia mungkin berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.”

Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin mulia empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini masih bukan merupakan “penghapusan”. Mereka adalah “kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.” Ketika seorang praktisi keluar dari [jhāna-jhāna ini] dan memasukinya lagi, ia [mungkin] berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.” Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin mulia hal-hal ini masih bukan merupakan “penghapusan”.

Seorang bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk ... sampai dengan ... memasuki dan berdiam dalam landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Ia mungkin berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.” Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin mulia empat pembebasan yang damai ini, yang melampaui bentuk, setelah mencapai yang tanpa bentuk, masih bukan merupakan “penghapusan”. Ketika keluar darinya, seorang praktisi mungkin menyatakan kepada orang lain atau berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.” Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin hal-hal ini masih bukan merupakan “penghapusan”.

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keingina jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]; aku tidak akan memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian].”<175> Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan; aku tidak akan memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan; aku tidak akan memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan.”

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... tidak [hidup] selibat; aku akan [hidup] selibat.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] dikuasai oleh ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan; aku tidak akan dikuasai oleh keragu-raguan.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terbelenggu oleh permusuhan, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki rasa malu dan takut; aku akan memiliki rasa malu dan takut.”

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keangkuhan; aku tidak akan memiliki keangkuhan.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki kebanggaan yang berlebihan; aku tidak akan memiliki kebanggaan yang berlebihan.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] sedikit belajar; aku akan banyak belajar.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat; aku akan merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat.”

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlihat dalam perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma; aku akan terlibat dalam perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlibat dalam ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat; aku tidak akan terlibat dalam perbuatan jahat.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat; aku tidak akan memiliki kebijaksanaan yang cacat.”

Cunda, bahkan hanya mencondongkan pikiran pada keadaan-keadaan bermanfaat dan berkeinginan untuk berlatih di dalamnya akan memiliki banyak manfaat; apalagi jika seseorang melatih keadaan-keadaan bermanfaat dalam perbuatan jasmani dan ucapannya!

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]; aku tidak akan memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian].” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan; aku tidak akan memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan.”

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... dan tidak [hidup] selibat; aku akan [hidup] selibat.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] dikuasai oleh ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... dan keragu-raguan; aku tidak akan [dikuasai oleh] keragu-raguan.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] dibelenggu oleh permusuhan, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki rasa malu dan takut; aku akan memiliki rasa malu dan takut.”

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keangkuhan; aku tidak akan memiliki keangkuhan.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki kebanggaan yang berlebihan; aku tidak akan memiliki kebanggaan yang berlebihan.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] sedikit belajar; aku akan banyak belajar.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat; aku akan merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat.”

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlibat dalam perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma; aku akan terlibat dalam perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlibat dalam ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat; aku tidak akan terlibat dalam perbuatan jahat.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... dan memiliki kebijaksanaan yang cacat; aku tidak akan memiliki kebijaksanaan yang cacat.”

Cunda, seperti halnya jalan yang salah memiliki jalan yang benar sebagai lawannya, dan seperti halnya penyeberangan sungai yang tidak rata memiliki penyeberangan sungai yang rata sebagai lawannya, dengan cara yang sama, Cunda, keinginan jahat memiliki ketiadaan keinginan jahat sebagai lawannya. Kehendak menyakiti dan kemarahan memiliki ketiadaan kehendak menyakiti dan kemarahan sebagai lawannya.

Membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberika, ... tidak [hidup] selibat memiliki [hidup] selibat sebagai lawannya. Ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan memiliki ketiadaan keragu-raguan sebagai lawannya. Belenggu permusuhan, ... sanjungan, ... tipu daya, ... ketiadaan rasa malu dan takut memiliki adanya rasa malu dan takut sebagai lawannya.

Keangkuhan memiliki ketiadaan keangkuhan sebagai lawannya. Kebanggaan yang berlebihan memiliki ketiadaan kebanggaan yang berlebihan sebagai lawannya. Sedikit pembelajaran memiliki banyak pembelajaran sebagai lawannya. Tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat memiliki merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat sebagai lawannya.
Perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma memiliki perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma sebagai lawannya. Ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... dan perbuatan jahat memiliki menghindari perbuatan jahat sebagai lawannya. Tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat memiliki kebijaksanaan yang bermanfaat sebagai lawannya.

Cunda, terdapat keadaan-keadaan gelap yang menghasilkan akibat-akibat gelap dan mengarah [ke bawah menuju] alam-alam kehidupan yang buruk; dan terdapat keadaan-keadaan cerah yang menghasilkan akibat-akibat cerah dan mengarah ke atas. Demikianlah, Cunda, seseorang yang berkecenderungan pada keinginan jahat diarahkan ke atas oleh ketiadaan keinginan jahat. Seseorang yang berkecenderungan pada kehendak menyakiti dan kemarahan diarahkan ke atas oleh ketiadaan kehendak menyakiti dan kemarahan.

Seseorang yang berkecenderungan untuk membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... tidak [hidup] selibat diarahkan ke atas oleh [hidup] selibat. Seseorang yang berkecenderungan pada ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan diarahkan ke atas oleh ketiadaan keragu-raguan. Seseorang yang berkecenderungan pada belenggu permusuhan, ... pada sanjungan, ... pada tipu daya, ... pada ketiadaan rasa malu dan takut diarahkan ke atas oleh adanya rasa malu dan takut.

Seseorang yang berkecenderungan pada keangkuhan diarahkan ke atas oleh ketiadaan keangkuhan. Seseorang yang berkecenderungan pada kebanggaan yang berlebihan diarahkan ke atas oleh ketiadaan kebanggaan yang berlebihan. Seseorang dengan sedikit pembelajaran diarahkan ke atas oleh banyak pembelajaran. Seseorang yang berkecenderungan tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat diarahkan ke atas oleh perenungan keadaan-keadaan bermanfaat.
Seseorang yang berkecenderungan pada perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma diarahkan ke atas oleh perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma. Seseorang yang berkecenderungan pada ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat diarahkan ke atas oleh penghindaran diri dari perbuatan jahat. Seseorang yang tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat diarahkan ke atas oleh kebijaksanaan yang bermanfaat.

Cunda, jika seseorang tidak menjinakkan dirinya sendiri, adalah tidak mungkin untuk menjinakkan orang lain yang tidak jinak. Jika seseorang yang ia sendiri tenggelam, adalah tidak mungkin untuk menyelamatkan orang lain yang tenggelam. Jika seseorang belum memadamkan [kekotoran-kekotoran]nya sendiri, adalah tidak mungkin untuk menyebabkan orang lain yang belum memadamkan [kekotoran-kekotoran] untuk memadamkannya.<176>

Cunda, jika seseorang menjinakkan dirinya sendiri, adalah mungkin untuk menjinakkan orang lain yang tidak jinak. Jika seseorang yang ia sendiri tidak tenggelam, adalah mungkin untuk menyelamatkan orang lain yang tenggelam. Jika seseorang telah memadamkan [kekotoran-kekotoran]nya sendiri, adalah mungkin untuk menyebabkan orang lain yang belum memadamkan [kekotoran-kekotoran] untuk memadamkannya.

Dengan cara ini, Cunda, seseorang yang berkecenderungan pada keinginan jahat dapat memadamkannya melalui ketiadaan keinginan jahat. Seseorang yang berkecenderungan pada kehendak menyakiti dan kemarahan dapat memadamkannya melalui ketiadaan kehendak menyakiti dan kemarahan.

Seseorang yang berkecenderungan untuk membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... tidak [hidup] selibat dapat memadamkannya melalui [hidup] selibat. Seseorang yang berkecenderungan pada ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan dapat memadamkannya melalui ketiadaan keragu-raguan. Seseorang yang berkecenderungan pada belenggu permusuhan, ... pada sanjungan, ... pada tipu daya, ... pada ketiadaan rasa malu dan takut dapat memadamkannya melalui memiliki rasa malu dan takut.

Seseorang yang berkecenderungan pada keangkuhan dapat memadamkannya melalui tanpa keangkuhan. Seseorang yang berkecenderungan pada kebanggaan yang berlebihan dapat memadamkannya melalui tanpa kebanggaan yang berlebihan. Seseorang dengan sedikit pembelajaran dapat memadamkannya melalui banyak pembelajaran. Seseorang yang berkecenderungan tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat dapat memadamkannya melalui merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat.

Seseorang yang berkecenderungan pada perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma dapat memadamkannya melalui perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma. Seseorang yang berkecenderungan pada ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat dapat memadamkannya melalui menghindari diri dari perbuatan jahat. Seseorang yang tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat dapat memadamkannya melalui memiliki kebijaksanaan yang bermanfaat.

Dengan cara ini, Cunda, aku telah mengajarkan kepadamu jalan penghapusan. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan mencondongkan pikiran. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan yang berlawanan. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan yang mengarah ke atas. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan menuju pemadaman.

Apa yang seharusnya dilakukan seorang guru untuk para siswanya demi belas kasih agung, kebaikan, simpati, dan perhatian, , dengan mencari manfaat dan kesejahteraan mereka, mencari keamanan dan kebahagian mereka – itu telah kulakukan sekarang. Kalian juga seharusnya melakukan tugas kalian. Pergilah dan duduk bermeditasi dan merenung di suatu tempat yang terpencil, di gunung, di dalam hutan, di bawah sebatang pohon, di tempat yang kosong dan tenang.

Janganlah lalai. Lakukanlah usaha yang tekun, agar kalian tidak menyesal kelak. Inilah instruksiku, inilah pengajaranku.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Mahācunda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #8 on: 21 October 2020, 08:26:53 PM »
92. Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Terdapat keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh jasmani dan tidak dipadamkan oleh ucapan. Terdapat keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh ucapan dan tidak dipadamkan oleh jasmani. Dan terdapat keadaan-keadaan yang tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan.

Apakah keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh jasmani dan tidak dipadamkan oleh ucapan? Di sini seorang bhikkhu dipenuhi oleh perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya, mengikutinya secara jasmani. Setelah melihat hal ini, para bhikkhu lain menegur bhikkhu itu, “Teman yang mulia, engkau dipenuhi dengan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya. Mengapakah engkau mengikutinya secara jasmani? Teman yang mulia, engkau seharusnya meninggalkan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat dan mengembangkan perbuatan jasmani yang bermanfaat.” Pada waktu belakangan orang itu meninggalkan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat dan mengembangkan perbuatan jasmani yang bermanfaat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan yag dipadamkan oleh jasmani dan tidak dipadamkan oleh ucapan.

Apakah keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh ucapan dan tidak dipadamkan oleh jasmani? Di sini seorang bhikkhu dipenuhi dengan perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya, mengikutinya secara ucapan. Melihat hal ini, para bhikkhu lain menegur bhikkhu itu demikian, “Teman yang mulia, engkau dipenuhi dengan perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya. Mengapakah engkau mengikutinya secara ucapan? Teman yang mulia, engkau seharusnya meninggalkan perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat dan mengembangkan perbuatan ucapan yang bermanfaat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh ucapan dan tidak dipadamkan oleh jasmani.

Apakah keadaan-keadaan yang tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan? Ketamakan tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... keinginan jahat dan pandangan jahat tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan. Ini adalah apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan yang tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan.

Sang Tathāgata kadang kala melakukan penyelidikan, untuk menyelidiki pikiran orang lain. Beliau mengetahui bahwa orang ini tidak sedang mengembangkan jasmani, mengembangkan moralitas, mengembangkan pikirannya, dan mengembangkan kebijaksanaan dengan cara sedemikian sehingga melalui pengembangan jasmani, pengembangan moralitas, pengembangan pikiran, dan pengembangan kebijaksanaan ia dapat memadamkan ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang itu [keadaan-keadaan] jahat dari ketamakan sedang muncul dan menetap.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... ia dapat memadamkan keinginan jahat dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang itu keinginan jahat dan pandangan jahat sedang muncul dan menetap.

[Sang Tathāgata kadang kala] mengetahui bahwa orang [lain] ini sedang mengembangkan jasmani, mengembangkan moralitas, mengembangkan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan dengan cara sedemikian sehingga melalui pengembangan jasmani, pengembangan moralitas, pengembangan pikiran, dan pengembangan kebijaksanaan, ia dapat memadamkan ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang ini [keadaan-keadaan] jahat [dari] ketamakan tidak sedang muncul dan menetap.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... ia dapat memadamkan keinginan jahat dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang itu keinginan jahat dan pandangan jahat tidak sedang muncul dan menetap.

Seperti halnya ketika sekuntum seroja biru, atau merah, merah tua, atau seroja putih lahir dalam air dan tumbuh dalam air, tetapi muncul di atas air dan tidak melekat pada air. Dengan cara yang sama, seorang Tathāgata lahir di dunia dan tumbuh dewasa di dunia, tetapi muncul di atas perilaku duniawi dan tidak melekat pada keadaan-keadaan duniawi. Mengapakah demikian? [Karena] seorang Tathāgata bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, setelah muncul di atas semua yang bersifat duniawi.

Pada waktu itu, Yang Mulia Ānanda sedang memegang kipas dan melayani Sang Buddha. Kemudian, merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, apakah nama kotbah ini? Bagaimanakah kami seharusnya mengingatnya?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, kotbah ini disebut ‘Perumpamaan Seroja Biru dan Putih.’ Ini adalah bagaimana kalian seharusnya mengingat dan mengulanginya.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada semua bhikkhu:

Kalian seharusnya bersama-sama mengingat “Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih” ini, mengulanginya, dan menyimpannya dalam ingatan. Mengapakah demikian? “Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih” ini sesuai dengan Dharma dan kondusif bagi manfaat. Ini adalah landasan bagi kehidupan suci, yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Para anggota keluarga yang mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan demi keyakinan meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk memasuki keadaan tanpa rumah dan berlatih dalam sang jalan seharusnya mengingat “Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih” ini, mengulanginya dan mempertahankannya dengan baik.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #9 on: 21 October 2020, 08:30:19 PM »
93. Kotbah tentang Seorang Brahmana [Praktisi] Pemurnian dengan Mandi<177>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha baru saja mencapai pencerahan,<178> beliau sedang berdiam di bawah sebatang pohon ajapāla-nigrodha di Uruvelā, di dekat tepi Sungai Neranjarā.

Pada waktu itu terdapat seorang brahmana [praktisi] pemurnian dengan mandi yang, ketika sedang berjalan-jalan di sore hari, mendekati Sang Buddha. Melihat brahmana [praktisi] pemurnian dengan mandi itu datang dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sehubungan dengan brahmana itu:<179>

Jika pikiran seseorang dikotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi menuju alam yang buruk, terlahir di alam neraka.<180> Apakah dua puluh satu kekotoran itu?

Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], maka ia pasti akan pergi menuju alam yang buruk, dengan terlahir di alam neraka.

Seumpamanya bahwa sehelai kain kotor dan bernoda diberikan kepada seorang tukang celup [untuk diwarnai]. Setelah menerimanya, tukang celup itu mencuci kain tersebut sepenuhnya dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk melenyapkan kotoran dan noda-noda darinya. Tetapi walaupun tukang celup itu mencuci kain tersebut sepenuhnya dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk membuatnya bersih, kain kotor itu masih tetap kotor dan bernoda.<181>

Dengan cara yang sama, jika pikiran seseorang terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi ke alam yang buruk, terlahir di alam neraka. Apakah dua puluh satu kekotoran itu? Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], maka ia pasti akan pergi menuju alam yang buruk, terlahir di alam neraka.

Jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga. Apakah dua puluh satu kekotoran itu? Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], maka ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga.

Seumpamanya bahwa sehelai kain putih Benares yang bersih diberikan kepada seorang tukang celup [untuk diwarnai]. Setelah menerimanya, tukang celup itu mencuci kain tersebut sepenuhnya dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk membersihkannya. Ketika tukang cuci itu sepenuhnya mencuci kain putih Benares yang bersih ini dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk membersihkannya, kain putih Benares yang bersih ini yang sudah bersih menjadi lebih bersih lagi.<182>

Dengan cara yang sama, jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga. Apakah dua puluh satu kekotoran itu? Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga.

Jika seseorang mengetahui pandangan salah adalah suatu kekotoran batin, maka, setelah mengetahui hal ini, ia seharusnya meninggalkannya. Dengan cara yang sama, jika seseorang mengetahui keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin, ... ketamakan adalah suatu kekotoran batin, ... [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin, ... keserakahan adalah suatu kekotoran batin, ... kemarahan adalah suatu kekotoran batin, ... kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin, ... kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin, ... keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin, ... permusuhan adalah suatu kekotoran batin, ... sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin, ... kekikiran adalah suatu kekotoran batin, ... keirihatian adalah suatu kekotoran batin, ... tipu daya adalah suatu kekotoran batin, ... sanjungan adalah suatu kekotoran batin, ... tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin, ... tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin, ... keangkuhan adalah suatu kekotoran batin, ... kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin, ... kesombongan adalah suatu kekotoran batin, ... kelalaian adalah suatu kekotoran batin, maka, setelah mengetahui hal ini, ia seharusnya meninggalkannya.

Ia memenuhi pikiran dengan cinta kasih, secara batin meliputi satu arah [dengan cinta kasih], seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, empat arah di antaranya, dan juga atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, ia berdiam setelah meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Dengan cara yang sama, ia memenuhi pikiran dengan belas kasih, ... dengan kegembiraan empatik, ... dengan keseimbangan, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan; ia berdiam setelah meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang telah menjadi tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik.<183>

Brahmana, ini adalah apa yang disebut mandi pikiran secara internal alih-alih mandi jasmani secara eksternal.

Kemudian brahmana itu berkata kepada Sang Bhagavā, “Gotama, engkau seharusnya pergi ke Sungai Bāhukā untuk mandi.”

Sang Bhagavā bertanya, “Brahmana, apakah yang orang-orang peroleh dari mandi di Sungai Bāhukā?”

Brahmana itu menjawab:

Gotama, mandi di Sungai Bāhukā adalah tanda pemurnian religius di dunia, tanda pembebasan, tanda jasa kebajikan. Gotama, seseorang yang mandi di Sunga Bāhukā dengan demikian dimurnikan dan melenyapkan semua kejahatan.

Sang Bhagavā kemudian mengucapkan syair kepada brahmana itu:

Brahmana Sundarika,
Memasuki Sungai Bāhukā
Adalah suatu rekreasi umum orang-orang bodoh,
Yang tidak dapat memurnikan perbuatan-perbuatan gelap.

Sundarika, apakah gunanya pergi ke mata air?
Apakah manfaatnya Sungai Bāhukā?
Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat,
Kebaikan apakah yang dilakukan air bersih kepadanya?

Seseorang yang murni tidak memiliki noda-noda dan kekotoran;
Seseorang yang murni selalu mengatakan tentang moralitas.
Perbuatan cemerlang dan bersih seseorang yang murni
Selalu membawa pada perilaku yang murni.

Jika engkau tidak membunuh makhluk-makhluk hidup,
Selalu menghindari diri dari mengambil apa yang tidak diberikan,
Mengatakan kebenaran, tidak berkata bohong,
Selalu memiliki perhatian benar dan pemahaman benar,
Maka, brahmana, berlatih dengan cara ini,
Semua makhluk hidup dalam kedamaian.

Brahmana, mengapa pulang ke rumah [untuk mandi]?
Mata air di rumah tidak memurnikan siapa pun.
Brahmana, engkau seharusnya berlatih
Dalam pemurnian melalui ajaran-ajaran bermanfaat.
Apa perlunya engkau dari air yang rendah,
Yang hanya melenyapkan kotoran jasmani?

Brahmana itu berkata kepada Sang Buddha, “Aku juga berpikir dengan cara ini. Aku akan memurnika diriku melalui ajaran-ajaran bermanfaat. Apa perlunya diriku dari air yang rendah?”

Mendengar apa yang diajarkan Sang Buddha, brahmana itu sangat bergembira dalam pikiran. Ia memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Brahmana itu berkata:

Sang Bhagavā, aku telah memahami. Sang Sugata, aku telah mengerti. Aku sekarang secara pribadi mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagavā menerimaku sebagai umat awam pria sejak hari ini sampai akhir kehidupan. Aku secara pribadi mengambil perlindungan sepanjang hidupku.<184>

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, brahmana Sundarika [yang menjalankan] pemurnian melalui mandi dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #10 on: 21 October 2020, 08:36:15 PM »
94. Kotbah tentang Bhikkhu Kālaka<185>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Taman Timur, di Aula Ibu Migāra.

Pada saat ini bhikkhu Kālaka, putra ibu Migāra, yang selalu menyukai perselisihan, mendekati Sang Buddha. Melihat bhikkhu Kālaka mendekat dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sehubungan dengan bhikkhu Kālaka:<186>

Seumpamanya seseorang selalu menyukai perselisihan dan tidak memuji akhir perselisihan. Jika seseorang selalu menyukai perselisihan dan tidak memuji akhir perselisihan, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.<187>

Seumpamanya seseorang memiliki keinginan jahat dan tidak memuji akhir keinginan jahat. Jika seseorang memiliki keinginan jahat dan tidak memuji akhir keinginan jahat, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang melanggar aturan-aturan latihan, menyalahi aturan-aturan latihan; aturan-aturan latihannya tidak sempurna, aturan-aturan latihannya terkoyak-koyak, aturan-aturan latihannya rusak, dan ia tidak memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan. Jika seseorang melanggar aturan-aturan latihan, menyalahi aturan-aturan latihan; jika aturan-aturan latihannya tidak sempurna, jika aturan-aturan latihannya terkoyak-koyak, jika aturan-aturan latihannya rusak, dan ia tidak memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang berkecenderungan pada permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki ras malu dan takut serta tidak memuji rasa malu dan takut. Jika seseorang berkecenderungan pada permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki ras malu dan takut serta tidak memuji rasa malu dan takut, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan tidak memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Jika seseorang tidak menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan tidak memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak merenungkan ajaran-ajaran dan tidak memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran. Jika seseorang tidak merenungkan ajaran-ajaran dan tidak memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak duduk bermeditasi dan tidak memuji duduk bermeditasi. Jika seseorang tidak duduk bermeditasi dan tidak memuji duduk bermeditasi, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Walaupun orang itu mungkin berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!”, teman-temannya dalam kehidupan suci tetap tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya. Mengapakah demikian? Orang tersebut memiliki tak terhitung kualitas jahat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas jahat ini, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya.

Seumpamanya bahwa seekor kuda yang bertabiat buruk ditambatkan di sebuah kandang kuda untuk diberi makan. Walaupun ia mungkin berpikir, “Semoga orang-orang menambatkanku di suatu tempat yang nyaman, memberikanku air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharaku dengan baik!” orang-orang tetap tidak menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberikannya air dan makanan ternak yang baik, atau memeliharanya dengan baik. Mengapakah demikian? Karena kuda itu memiliki tabiat yang buruk, ia sangat kasar dan tidak patuh, tidak mudah dilatih dan [tidak] berperilaku baik serta ini menyebabkan orang-orang tidak menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberikannya air dan makanan ternak yang baik, atau memeliharanya dengan baik.

Dengan cara yang sama, walaupun seseorang berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!” teman-temannya dalam kehidupan suci tetap tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya. Mengapakah demikian? Orang itu memiliki tak terhitung kualitas jahat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas jahat ini, ini menyebabkan teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya.

[Berlawanan dengan hal ini,] seumpamanya seseorang tidak menyukai perselisihan dan memuji akhir perselisihan. Jika seseorang tidak menyukai perselisihan dan memuji akhir perselisihan, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak memiliki keinginan jahat dan memuji akhir keinginan jahat. Jika seseorang tidak memiliki keinginan jahat dan memuji akhir keinginan jahat, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak melanggar aturan-aturan latihan, tidak menyalahi aturan-aturan latihan; aturan-aturan latihannya sempurna, aturan-aturan latihannya tidak terkoyak-koyak, aturan-aturan latihannya tidak rusak, dan ia memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan. Jika seseorang tidak melanggar aturan-aturan latihan, tidak menyalahi aturan-aturan latihan; jika aturan-aturan latihannya sempurna, jika aturan-aturan latihannya tidak terkoyak-koyak, jika aturan-aturan latihannya tidak rusak, dan jika ia memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak berkecenderungan pada permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, serta memuji dimilikinya rasa malu dan takut, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Jika seseorang menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang merenungkan ajaran-ajaran dan memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran. Jika seseorang merenungkan ajaran-ajaran dan memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang duduk bermeditasi dan memuji duduk bermeditasi. Jika seseorang duduk bermeditasi dan memuji duduk bermeditasi, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Walaupun orang ini mungkin tidak berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!” tetapi teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghormatinya. Mengapakah demikian? Orang itu memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghargainya.

Seumpamanya seekor kuda yang sangat bagus ditambatkan di sebuah kandang kuda untuk diberi makan. Walaupun ia mungkin tidak berpikir, “Semoga orang-orang menambatkanku di suatu tempat yang nyaman, memberiku air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharaku dengan baik!” tetapi orang-orang menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberinya air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharanya dengan baik. Mengapakah demikian? Karena kuda itu memiliki tabiat yang baik, mudah dilatih dan patuh, sangat lembut, dan berperilaku baik; ini menyebabkan orang-orang menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberinya air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharanya dengan baik.

Dengan cara yang sama, walaupun orang ini mungkin tidak berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!” tetapi teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghargainya. [Mengapakah demikian? Orang itu memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghargainya.]

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang Sang Buddha katakan, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #11 on: 21 October 2020, 08:38:54 PM »
95. Kotbah tentang Mempertahankan [Keadaan-Keadaan] Bermanfaat<188>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Aku akan menjelaskan apakah mundur di dalam keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mempertahankan maupun meningkatkannya; aku akan menjelaskan apakah mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun meningkatkannya; dan aku akan menjelaskan apakah meningkatkan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun [hanya] mempertahankannya.<189>

Apakah mundur di dalam keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mempertahankannya maupun meningkatkannya? Para bhikkhu, jika, sehubungan dengan memiliki keyakinan yang kokoh, pengendalian diri melalui aturan-aturan latihan, pembelajaran yang luas, kedermawanan, kebijaksanaan, kelancaran berbicara, serta [mengetahui] Āgama-Āgama dan manfaat-manfaatnya, seseorang mundur sehubungan dengan keadaan-keadaan ini, tidak mempertahankan maupun meningkatkannya, maka ini adalah apa yang disebut mundur di dalam keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mempertahankannya maupun meningkatkannya.<190>

Apakah mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun meningkatkannya? Para bhikkhu, sehubungan dengan memiliki keyakinan yang kokoh, pengendalian diri melalui aturan-aturan latihan, pembelajaran yang luas, kedermawanan, kebijaksanaan, kelancaran berbicara, serta [mengetahui] Āgama-Āgama dan manfaat-manfaatnya, seseorang mempertahankan keadaan-keadaan ini, tidak mundur di dalamnya dan tidak meningkatkannya. Ini adalah apa yang disebut mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun meningkatkannya.

Apakah meningkatkan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun [hanya] mempertahankannya? Para bhikkhu, sehubungan dengan memiliki keyakinan yang kokoh, pengendalian diri melalui aturan-aturan latihan, pembelajaran yang luas, kedermawanan, kebijaksanaan, kelancaran berbicara, serta [mengetahui] Āgama-Āgama dan manfaat-manfaatnya, di sini seseorang meningkat sehubungan dengan keadaan-keadaan ini, tidak mundur di dalamnya maupun [hanya] mempertahankannya.

Seorang bhikkhu akan memastikan banyak manfaat bagi dirinya jika ia merenungkan seperti ini:<191> “Apakah aku sering berkecenderungan pada ketamakan, atau apakah aku sering bebas dari ketamakan? Apakah aku sering berkecenderungan pada kebencian, atau apakah aku sering bebas dari kebencian? Apakah aku sering berkecenderungan pada kelambanan dan ketumpulan, atau apakah aku sering bebas dari kelambanan dan ketumpulan? Apakah aku sering berkecenderungan pada kegelisahan dan kesombongan, atau apakah aku sering bebas dari kegelisahan dan kesombongan? Apakah aku sering berkecenderungan pada keragu-raguan, atau apakah aku sering bebas dari keragu-raguan? Apakah aku sering menyebabkan perselisihan, atau apakah aku sering tidak menyebabkan perselisihan? Apakah aku sering memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, atau apakah aku sering tidak memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda?

“Apakah aku sering memiliki keyakinan, atau apakah aku sering tidak memiliki keyakinan? Apakah aku sering memiliki semangat, atau apakah aku sering berkecenderungan pada kemalasan? Apakah aku sering memiliki perhatian penuh, atau apakah aku sering tidak memiliki perhatian penuh? Apakah aku sering memiliki konsentrasi, atau apakah aku sering tidak memiliki konsentrasi? Apakah aku sering memiliki kebijaksanaan yang cacat, atau apakah aku sering bebas dari kebijaksanaan yang cacat?”

Seumpamanya seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku sering berkecenderungan pada ketamakan, ... kebencian, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan dan kesombongan, ... keragu-raguan, ... sifat suka berselisih, ... pikiran yang terkotori dan ternoda, ... tidak memiliki keyakinan, ... kemalasan, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... kebijaksanaan yang cacat.”

Bhikkhu itu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, akan mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Seperti halnya seseorang yang kepalanya terbakar atau pakaiannya terbakar akan dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan kepala dan menyelamatkan pakaiannya. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Seumpamanya seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku sering bebas dari ketamakan, ... bebas dari kebencian, ... bebas dari kelambanan dan ketumpulan, ... bebas dari kegelisahan dan kesombongan, ... bebas dari keragu-raguan, ... bebas dari sifat suka berselisih, ... dan bebas dari pikiran yang terkotori dan ternoda; ... Aku memiliki keyakinan, ... memiliki semangat, ... memiliki perhatian penuh, ... dan memiliki konsentrasi; ... dan aku sering berdiam bebas dari kebijaksanaan yang cacat.”

Kemudian bhikkhu itu, yang berharap untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat ini, berharap untuk tidak kehilangannya, untuk tidak mundur, tetapi untuk mengembangkannya lebih jauh, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.<192>

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #12 on: 21 October 2020, 08:40:45 PM »
96. Kotbah tentang Tidak Adanya<193>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:<194>

Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni tidak mendengarkan suatu ajaran yang belum ia dengar; jika ia melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar; jika ia tidak dapat mengingat suatu ajaran yang telah ia latih, kembangkan, ulangi, dan pahami melalui kebijaksanaan, jika ia tidak lagi mengetahui apa yang ia ketahui, maka, teman-teman yang mulia, ini disebut penurunan keadaan-keadaan murni dalam bhikkhu atau bhikkhuni itu.

Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni mendengarkan suatu ajaran yang belum ia dengar; jika ia tidak melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar; jika ia sering mengingat ajaran-ajaran yang telah ia latih, kembangkan, ulangi, dan pahami melalui kebijaksanaan, jika ia masih tidak mengetahui apa yang ia ketahui, maka ini disebut peningkatan keadaan-keadaan murni dalam bhikkhu atau bhikkhuni itu.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu seharusnya merenungkan seperti ini:<195> “Apakah aku memiliki ketamakan, atau apakah aku tidak memiliki ketamakan? Apakah aku memiliki kebencian, atau apakah aku tidak memiliki kebencian? Apakah aku memiliki kelambanan dan ketumpulan, atau apakah aku tidak memiliki kelambanan dan ketumpulan? Apakah aku memiliki kegelisahan dan kesombongan, atau apakah aku tidak memiliki kegelisahan dan kesombongan? Apakah aku memiliki keragu-raguan, atau apakah aku tidak memiliki keragu-raguan? Apakah aku menyebabkan perselisihan, atau apakah aku tidak menyebabkan perselisihan? Apakah aku memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, atau apakah aku tidak memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda?

“Apakah aku memiliki keyakinan, atau apakah aku tidak memiliki keyakinan? Apakah aku memiliki semangat, atau apakah aku tidak memiliki semangat? Apakah aku memiliki perhatian penuh, atau apakah aku tidak memiliki perhatian penuh? Apakah aku memiliki konsentrasi, atau apakah aku tidak memiliki konsentrasi? Apakah aku memiliki kebijaksanaan yang cacat, atau apakah aku tidak memiliki kebijaksanaan yang cacat?”

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku memiliki ketamakan, ... aku memiliki kebencian, ... aku memiliki kelambanan dan ketumpulan, ... aku memiliki kegelisahan dan kesombongan, ... aku memiliki keragu-raguan, ... aku menyebabkan perselisihan, ... aku memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, ... aku tidak memiliki keyakinan, ... aku tidak memiliki semangat, ... aku tidak memiliki perhatian penuh, ... aku tidak memiliki konsentrasi, ... aku memiliki kebijaksanaan yang cacat.”

Teman-teman yang mulia, bhikkhu itu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, seharusnya dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang yang kepalanya terbakar atau pakaiannya terbakar akan dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan kepalanya dan menyelamatkan pakaiannya. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku bebas dari ketamakan, ... bebas dari kebencian, ... bebas dari kelambanan dan ketumpulan, ... bebas dari kegelisahan dan kesombongan, ... bebas dari keragu-raguan; ... aku tidak menyebabkan perselisihan, ... aku tidak memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, ... aku memiliki keyakinan, ... aku memiliki semangat, ... aku memiliki perhatian penuh, ... aku memiliki konsentrasi; ... dan aku bebas dari kebijaksanaan yang cacat.”

Bhikkhu itu, berharap untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat ini, berharap untuk tidak kehilangannya, untuk tidak mundur tetapi mengembangkannya lebih jauh, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Seperti halnya seseorang yang kepalanya terbakar atau pakaiannya terbakar akan dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan kepalanya dan menyelamatkan pakaiannya. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu, yang berharap untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat ini, berharap untuk tidak kehilangannya, untuk tidak mundur tetapi mengembangkannya lebih jauh, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian penuh dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.<196>

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Sāriputta. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Sāriputta, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« Reply #13 on: 21 October 2020, 08:45:56 PM »
Catatan Kaki:

<141> Mengambil varian yang menambahkan 穢 sebelum 經. Padanan Pāli adalah Anaṅgaṇa-sutta, MN 5 dalam MN I 24, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 42–45.

<142> Dalam Anaṅgaṇa-sutta orang yang menanyakan pertanyaan ini adalah Mahāmoggallāna.

<143> Di sini dan di bawah, Anaṅgaṇa-sutta tidak memiliki pernyataan tentang alam kelahiran kembali seseorang.

<144> Anaṅgaṇa-sutta memiliki hal ini sebagai empat topik yang berbeda, yaitu keinginan menjadi seseorang yang memberikan ajaran kepada masing-masing dari empat perkumpulan.

<145> Keinginan ini tidak memiliki padanan dalam Anaṅgaṇa-sutta.

<146> Anaṅgaṇa-sutta memiliki agar dihormati oleh masing-masing dari empat perkumpulan sebagai empat keinginan yang berbeda.

<147> Dalam Anaṅgaṇa-sutta empat keinginan yang berhubungan adalah atas jubah yang sangat baik, makanan yang sangat baik, tempat peristirahatan yang sangat baik, dan obat-obatan yang sangat baik. Keinginan agar orang lain tidak mendapatkan hal yang sama oleh sebab itu hanya untuk kebutuhan yang sangat baik demikian, bukan agar orang lain tidak mendapatkan kebutuhan sama sekali. Karena tampaknya tidak masuk akal bahwa seorang monastik akan berharap agar teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menerima kebutuhan apa pun, kualifikasi “[yang sangat baik]” telah ditambahkan pada terjemahan MĀ 87.

<148> Anaṅgaṇa-sutta mencatat bahwa orang lain tidak akan menghormati seorang bhikkhu yang demikian bahkan jika ia melakukan berbagai latihan keras; sebaliknya, seorang bhikkhu tanpa kekotoran akan dihormati bahkan jika ia tidak mengambil gaya hidup keras.

<149> Alih-alih kotoran, dalam Anaṅgaṇa-sutta bangkai hewan mati atau mayat manusia diletakkan ke dalam piring itu.

<150> Peringatan demikian tidak ditemukan dalam Anaṅgaṇa-sutta.

<151> Dalam Anaṅgaṇa-sutta orang-orang yang menyaksikan hanya ingin tahu apakah di dalamnya, tanpa mengharapkannya mengandung sesuatu yang menjijikkan.

<152> Anaṅgaṇa-sutta mengatakan tentang ājīvika Paṇḍuputta yang mengamati Samīti, putra seorang pembuat kereta, sedang bekerja; ia tidak menunjuk pada suatu rumah milik Paṇḍuputta

<153> Aslinya di sini menunjuk pada seorang “pertapa”, agaknya suatu kesalahan yang disebabkan penunjukan berulang pada istilah yang sama dalam bacaan sebelumnya.

<154> Perumpamaan menerima kalungan bunga dalam Anaṅgaṇa-sutta berhubungan dengan seorang wanita atau pria.

<155> Padanan Pāli adalah Dhammadāyāda-sutta, MN 3 dalam MN I 12, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 34–37.

<156> Dhammadāyāda-sutta tidak mendaftarkan nama para bhikkhu yang hadir dalam kesempatan ini.

<157> Dalam Dhammadāyāda-sutta menjadi pewaris dalam Dharma dilawankan dengan menjadi pewaris dalam hal-hal materi secara umum, bukan hanya dalam makanan dan minuman.

<158> Pemaparan yang sebanding dalam Dhammadāyāda-sutta memiliki Sāriputta sebagai pembicaranya.

<159> Dalam Dhammadāyāda-sutta Sang Buddha telah mengundurkan diri sebelumnya, tanpa penunjukan pada mengalami sakit punggung dan tanpa meminta Sāriputta untuk melanjutkan pengajaran.

<160> Dalam Dhammadāyāda-sutta Sāriputta menguraikan hal tersebut sendiri, tanpa bertanya kepada para bhikkhu untuk menyatakan pemahaman mereka terhadapnya.

<161> Di sini dan di bawah, terjemahan didasarkan pada perbaikan 捨離 untuk membaca 遠離, sesuai dengan ungkapan yang digunakan di tempat lain dalam kotbah ini.

<162> Dhammadāyāda-sutta ditutup dengan para bhikkhu bergembira atas apa yang dikatakan Sāriputta, tanpa penunjukan lebih jauh apa pun pada Sang Buddha.

<163> Padanan Pāli adalah Anumāna-sutta, MN 15 dalam MN I 95, yang memiliki Hutan Bhesakalā di negeri Bhagga sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 124–127.

<164> Anumāna-sutta tidak menunjuka pada pengasingan musim hujan.

<165> Daftar kualitas-kualitas dalam Anumāna-sutta menunjukkan beberapa perbedaan, lihat peninjauan dalam Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 126, tabel 2.8.

<166> Anumāna-sutta mengambil kasus seseorang yang mudah untuk ditegur sebelum berbalik pada perenungan yang sebanding sehubungan dengan kualitas-kualitas diri sendiri yang membuat seseorang sulit untuk ditegur.

<167> Anumāna-sutta tidak memiliki perenungan sehubungan dengan kualitas-kualitas diri sendiri yang membuat seseorang mudah untuk ditegur.

<168> Anumāna-sutta tidak memiliki padanan pada penjelasan berikutnya tentang bagaimana kegembiraan membawa menuju faktor-faktor pencerahan lainnya, menuju kebosanan, dan menuju pembebasan.

<169> Padanan Pāli adalah Mahācunda-sutta, AN 10.24 dalam AN V 41, yang memiliki Sahajāti di antara orang-orang Ceti sebagai lokasinya.

<170> Mahācunda-sutta mengutip tiga pernyataan yang berhubungan. Pertama adalah pernyataan tentang pengetahuan seseorang, nāṇavāda, yaitu suatu pernyataan mengetahui dan melihat Dharma. Kedua adalah pernyataan tentang pengembangan seseorang, bhāvanāvāda, yaitu suatu pernyataan memiliki pengembangan jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketiga menggabungkan dua sebelumnya menjadi satu pernyataan.

<171> Di sini dan di bawah, terjemahan didasarkan pada perbaikan 無惡欲 menjadi 惡欲. Yang belakangan adalah versi yang ditemukan segera setelah ini pada kalimat yang sama.

<172> Mahācunda-sutta tidak menyebutkan sifat tidak komunikatif, tipu daya, sanjungan, dan ketiadaan rasa malu dan takut. Kualitas-kualitas yang disebutkan hanya dalam Mahācunda-sutta adalah delusi, sikap merendahkan, dan sikap kurang ajar.

<173> Pernyataan oleh sanak keluarga dan teman-teman tidak dikisahkan dalam Mahācunda-sutta, yang menutup penggambarannya atas orang miskin itu dengan mengatakan bahwa ia akan diketahui miskin walaupun pernyataannya.

<174> Padanan Pāli adalah Sallekha-sutta, MN 8 dalam MN I 40, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 59–66.

<175> Kualitas ini dan beberapa lainnya yang disebutkan dalam MĀ 91 tidak ada pada daftar dalam Sallekha-sutta; untuk perbandingan atas kedua daftar lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 62, tabel 1.9.

<176> Seperti dalam versi Pāli, penunjukan saat ini pada “pemadaman” melibatkan istilah pari-nirvāṇa, 般涅槃; lihat pembahasan dalam Bhikkhu Nāṇamoli, The Middle Length Discourses of the Buddha, A Translation of the Majjhima Nikāya (Boston: Wisdom Publications, 1995, cetakan ulang 2005), hal. 1184, catatan no. 111.

<177> Padanan Pāli adalah Vatthūpama-sutta, MN 7 dalam MN I 36, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 49–59.

<178> Vatthūpama-sutta tidak menghubungkan kotbah ini dengan waktu segera setelah pencerahan Sang Buddha.

<179> Vatthūpama-sutta tidak memperkenalkan sang brahmana pada titik ini dan tidak menyebutkan pemaparan Sang Buddha tentang kekotoran-kekotoran berhubungan dengan brahmana itu.

<180> Vatthūpama-sutta memberikan daftar enam belas kekotoran; untuk studi perbandingan daftar kekotoran lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 51, tabel 1.7.

<181> Perumpamaan dalam Vatthūpama-sutta menggambarkan sehelain kain kotor yang tidak mendapatkan pencelupan dengan benar. Dalam Vatthūpama-sutta perumpamaan ini dan yang berikutnya bersama-sama mendahului pemaparan tentang kekotoran-kekotoran.

<182> Perumpamaan dalam Vatthūpama-sutta menggambarkan sehelai kain bersih yang mendapatkan pencelupan dengan benar.

<183> Sebelum beralih pada brahmavihāra, Vatthūpama-sutta menyebutkan keyakinan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, dan ketidakmelekatan sehubungan dengan makanan. Ia berlanjut dari brahmavihāra ke topik pembebasan, yang dalam penyajiannya berhubungan dengan mandi secara internal.

<184> Dalam Vatthūpama-sutta sang brahmana pergi meninggalkan keduniawian dan akhirnya menjadi seorang arahant.

<185> Padanan Pāli adalah Adhikaraṇa-sutta, AN 10.87 dalam AN V 164.

<186> Adhikaraṇa-sutta tidak mengisahkan bahwa bhikkhu tersebut, yang karenanya Sang Buddha menyampaikan kotbah ini, telah mendekati Sang Buddha.

<187> Adhikaraṇa-sutta memberikan daftar sepuluh kualitas buruk yang demikian: menjadi pembuat masalah yang berhubungan dengan disiplin, tidak menginginkan latihan, memiliki keinginan jahat, marah, merendahkan orang lain, licik, penuh tipu daya, tidak memperhatikan ajaran-ajaran, tidak menjalankan keterasingan, dan tidak menunjukkan kebaikan terhadap para monastik lainnya. Dalam kotbah Pāli daftar akibat yang tidak bermanfaat tidak menunjuk pada pencapaian nirvana.

<188> Padanan Pāli adalah Ṭhiti-sutta, AN 10.53 dalam AN V 96.

<189> Dalam Ṭhiti-sutta Sang Buddha sebaliknya menyatakan bahwa beliau memuji hanya pertumbuhan dalam keadaan-keadaan bermanfaat, bukan hanya pemeliharaannya, apalagi kemundurannya.

<190> Kualitas-kualitas yang didaftarkan dalam Ṭhiti-sutta adalah keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, kebijaksanaan, dan kelancaran berbicara.

<191> Ṭhiti-sutta memperkenalkan daftar keadaan-keadaan batinnya dengan perumpamaan seorang wanita atau pria muda yang melihat ke sebuah cermin; daftar yang sebenarnya kemudian terdiri atas sepuluh keadaan batin, yang adalah lima rintangan (yang keempat hanya kegelisahan), serta kejengkelan, keadaan-keadaan batin yang terkotori, gejolak jasmani, kemalasan, dan tidak memiliki konsentrasi.

<192> Menurut Ṭhiti-sutta, seseorang yang bebas dari keadaan-keadaan ini seharusnya mengerahkan usaha untuk maju menuju nirvana. Ṭhiti-sutta tidak menggunakan perumpamaan kepala atau pakaian yang terbakar untuk menggambarkan kasus ini, yang hanya ia miliki untuk menggambarkan kasus seseorang di bawah pengaruh keadaan-keadaan batin yang terkotori.

<193> Padanan Pāli adalah Parihāna-sutta, AN 10.55 dalam AN V 102.

<194> Dalam Parihāna-sutta, Sāriputta pertama-tama menyatakan topik tentang “seseorang yang tunduk pada kemunduran” dan kemudian, atas permintaan para bhikkhu lainnya, menjelaskannya.

<195> Parihāna-sutta memperkenalkan daftar keadaan-keadaan batinnya dengan perumpamaan seorang wanita atau pria muda yang melihat ke sebuah cermin; daftar yang sebenarnya kemudian terdiri dari sepuluh keadaan batin, yang adalah bebas dari lima rintangan (yang keempat hanya tanpa kegelisahan), serta tidak jengkel, tidak memiliki keadaan-keadaan batin yang terkotori, bergembira dalam Dharma, memperoleh ketenangan pikiran internal, dan memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dan pandangan terang ke dalam fenomena.

<196> Menurut Parihāna-sutta, seseorang yang bebas dari keadaan-keadaan batin ini seharusnya mengerahkan usaha untuk maju menuju nirvana. Parihāna-sutta tidak menggunakan perumpamaan kepala atau pakaian yang terbakar untuk menggambarkan kasus ini, yang hanya ia miliki untuk menggambarkan kasus seseorang di bawah pengaruh keadaan-keadaan batin yang terkotori.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa