Salah satu kerabat saya yang berasal dari keluarga misionaris fanatik pernah berkata, "Kitab ribuan tahun itu belum tentu relevan dijadikan patokan dalam bertindak di jaman sekarang. Semua harus kita analisa dan pilih (
seleksi) dengan baik."
Kata-kata itu sangat berkesan untuk saya, terutama ketika ia juga menunjukkan banyak ketidaksinkronan dari kitab suci dengan kehidupan jaman sekarang. Uniknya, yang ia kritisi adalah kitab sucinya sendiri.
Lalu saya tanya, "Untuk apa kamu ke gereja kalau begitu?"
Ia jawab, "Saya menyenangkan pasangan saya."
Pembicaraan itu menarik, banyak hal yang tidak disangka bisa diungkapkan oleh seorang keturunan misionaris (orang tuanya bahkan mengabdi dan tinggal di gereja seumur hidup).
Salah satu yang ia ungkapkan, ia menyesal karena orang tuanya banyak berdoa dan kurang berusaha, sehingga hidupnya sulit.
Kini ia sudah mapan, dan ia membuktikan sendiri banyak hal yang harus dianalisa dan disesuaikan dengan kondisi.
Poin saya:
Agama lain saja bisa begitu, masa agama Buddha yang berprinsip
ehipassiko malah cenderung doktrinis?
Maaf jika tidak berkenan atau keluar topik.
Saya saran, kepada moderator tolong judulnya diganti saja, menjadi: "Humor dan Logika Buddhis" (tanpa tanda kutip). Pembicaraan berkembang jadi cenderung serius, jadi saya kira judulnya sudah tidak mengakomodir (kurang relevan dan mewakili isi).
Terima kasih sebelum dan sesudahnya.