Konsep Kekosongan
Untuk memahami pengertian filosofis dari istilah kekosongan (śūnyatā ), marilah kita mengambil objek padat yang sederhana, seperti sebuah mangkuk. Kita biasanya mengatakan bahwa sebuah mangkuk kosong jika ia tidak mengandung cairan atau benda padat apa pun. Ini adalah pengertian awam dari kekosongan. Namun sebuah mangkuk yang kosong dari cairan atau benda padat tidak masih berisi udara. Tepatnya, kita harus menyatakan bahwa mangkuk itu kosong dari apa. Sebuah mangkuk yang berada di ruang hampa tidak mengandung udara, tetapi masing mengandung ruang kosong, cahaya, radiasi, dan substansi mangkuk itu sendiri. Oleh sebab itu, dari cara pandang fisik, mangkuk selalu penuh dengan sesuatu [tidak pernah kosong]. Tetapi dari cara pandang Buddhis, mangkuk selalu kosong. Pengertian Buddhis atas kekosongan berbeda dengan pengertian fisik. Mangkuk kosong karena ia sama sekali tanpa keberadaan yang inheren/melekat (devoid of inherent existence).
Konsep Tanpa Keberadaan yang Inheren (Non-inherent Existence)
Walaupun dari cara pandang Buddhis semua hal adalah tidak kekal, tetapi tidak berarti bahwa mangkuk itu tidak ada. Mangkuk sesungguhnya ada, namun seperti segala sesuatu di dunia ini, keberadaannya bergantung pada fenomena lainnya. Tidak ada sesuatu dalam mangkuk yang melekat pada mangkuk tertentu secara umum. Sifat seperti berlubang, bulat, silinder, atau tahan bocor tidak hakiki pada mangkuk. Benda-benda lain yang bukan mangkuk juga memiliki sifat yang sama, seperti vas bunga dan gelas. Sifat dan unsur dari mangkuk bukan mangkuk itu sendiri ataupun tidak menyatakan persepsi kita atas mangkuk atas sifat mangkuk itu sendiri. Materi bukan mangkuk itu sendir. Bentuk bukan mangkuk itu sendiri. Fungsinya bukan mangkuk itu sendiri. Hanya semua aspek ini bersama-sama yang membentuk mangkuk. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa untuk sebuah objek yang menjadi mangkuk, kita membutuhkan sekumpulan kondisi tertentu agar menjadi ada. Hanya jika semua kondisi ini ada bersamaan maka pikiran menghubungkan label mangkuk pada objek itu. Jika salah satu kondisi lenyap, sebagai contoh, jika bentuk mangkuk berubah karena dihancurkan, mangkuk tersebut kehilangan beberapa atau semua atributnya dan pikiran kita tidak dapat mengenalinya sebagai mangkuk lagi. Dengan demikian, keberadaan mangkuk bergantung pada keadaan luar. Esensi fisiknya tetap sulit dipahami. [3,4,5,6]
Adalah pikiran kita yang mengenali sifat dari sebuah objek dan menghubungkan atribut-atribut seperti mangkuk menjadi satu objek dan meja menjadi objek lain. Adalah pikiran yang menyadari mangkuk dan meja. Kiranya, pikiran tidak dapat mengenali mangkuk dan meja jika tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan. Namun, tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan jika tidak ada objek fisik. Dengan demikian persepsi bergantung pada kehadiran sensasi, yang kemudian bergantung pada kehadiran objek fisik. Kita harus memahami bahwa esensi mangkuk bukan berada dalam pikiran, juga ia tidak pernah ditemukan pada objek fisik. Jelasnya, esensi atau inti objek tersebut bukan fisik maupun mental. Karena inti suatu objek tidak dapat ditemukan baik pada dunia eksternal kita maupun pada pikiran kita. [3,4,5,6]
Jika ini adalah kasus untuk objek sederhana, seperti mangkuk, maka ia juga pasti berlaku pada benda-benda yang lebih rumit/majemuk, seperti mobil, rumah, dan mesin. Sebagai contoh, sebuah mobil membutuhkan motor (penggerak), roda, poros roda, roda gigi dan banyak hal lain untuk berfungsi. Kita juga memandang perbedaan antara objek-objek buatan manusia, seperti mangkuk, dengan fenomena alamiah, seperti bumi, tumbuhan, hewan, dan manusia. Seseorang mungkin berpendapat bahwa ketiadaan keberadaan yang inheren tidak berlaku sama untuk fenomena alam dan makhluk hidup. Dalam hal seorang manusia, terdapat tubuh, pikiran, kepribadian, sejarah perbuatan, kebiasaan, perilaku, dan hal-hal lain untuk menggambarkan seseorang. Kita bahkan dapat menguraikan karakteristik ini lebih jauj menjadi sifat yang lebih mendasar. Sebagai contoh, kita dapat menganalisa pikiran dan melihat bahwa terdapat persepsi, kesadaran, perasaan, dan bentuk pikiran [yang membentuk pikiran itu]. [3,4,5,6]
Kita dapat menganalisa otak dan menemukan bahwa terdapat sel neuron, sel akson, sinapsis, dan zat neurotransmiter. Tetapi tidak ada dari unsur-unsur ini yang menjelaskan esensi dari seorang pribadi, pikiran, atau otak. Di sini juga, inti tersebut tidak dapat ditangkap. [3,4,5,6]
Kekosongan dari Kekosongan
Sifat tertinggi (ultimate nature) dari realitas diperdalam dan ditingkatkan dalam pikiran kita. Kita akan mengembangkan sebuah persepsi atas realitas di mana kita dapat mengenali fenomena dan kejadian sebagai semacam ilusi atau seperti ilusi. Cara melihat realitas seperti ini akan menyerap semua interaksi kita dengan realitas tersebut. Bahkan kekosongan itu sendiri, yang dilihat sebagai sifat tertinggi dari realitas, tidak mutlak, ataupun bukan ada secara bebas (tidak bergantung). Kita tidak dapat memahami kekosongan sebagai tidak bergantung pada suatu basis fenomena. Karena ketika kita memeriksa sifat realitas, kita menemukan bahwa ia kosong dari keberadaan yang inheren. Jika kita akan mengambil kekosongan itu sendiri sebagai suatu objek dan mencari esensinya, kita juga akan menemukan bahwa ia kosong dari keberadaan yang inheren. Oleh sebab itu, Buddha sesungguhnya mengajarkan kita “kekosongan dari kekosongan”. [3,4,5,6]