science dan pseudo- science, apa bedanya?

Started by kullatiro, 10 October 2012, 05:25:46 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: Rico Tsiau on 13 October 2012, 10:25:30 AM
spiritual, asumsikan saja ke-agama-an (mungkin dipersempit, dalam hal ini buddhisme)
sains, asumsikan saja bukti/pengetahuan bahwa gravitasi bulan 1/6 bumi

mungkin terlalu gak berhubungan yach?
;D Iya, sepertinya kalau ini tidak berhubungan.


Quoteatau saya ganti sains dengan bukti2 (pada batas tertentu) terhadap evolusi.
yang dalam buddhisme, sang buddha menerangkan bagaimana dulunya makhluk hidup semakin hari semakin kompleks berbentuk setelah makan sari tanah.
apakah dengan begitu lantas sebagai umat buddha kita harus mencocokkan hal tersebut dan dengan lantang berkata bahwa buddhisme sesuai sains.
Jika perbandingannya dalam konteks itu, maka sudah jelas-jelas tidak sesuai sains. Misalnya Aggaññasutta membahas bagaimana makhluk-makhluk berevolusi dari 'halus' (bercahaya) menjadi 'padat'. Pada saat menjadi padat pun, dikatakan belum memiliki jenis kelamin. Barulah kemudian yang berkecenderungan pada karakter pria mengembangkan organ kelamin pria, dan yang cenderung wanita mengembangkan organ kelamin wanita.
Evolusi di lain pihak membahas pengembangan organisme dari yang sederhana menjadi kompleks (berbeda dengan makhluk kompleks bercahaya menjadi makhluk kompleks yang padat), juga dalam rantai evolusi manusia, organ kelamin sudah ada jauh sebelumnya pada 'nenek moyang' manusia.

Namun memang bukan 100% bertentangan juga. Kesamaannya adalah antara lain misalnya menyebutkan waktu yang sangat panjang dan semuanya adalah proses yang ada sebab-akibat, bukan terjadi secara mistis.

Tambahan: Saya tidak akan bosan juga mengingatkan bahwa Aggaññasutta (DN 27) BUKAN khotbah yang menjelaskan evolusi biologis, melainkan evolusi bathin manusia sehingga muncul kasta.


Quotenah hal tersebut apakah 'perlu' dalam menempuh jalan spiritual buddhisme?
Hal ini tampaknya sulit untuk dijawab, mungkin tergantung individu yang menjalani.
Kalau menurut saya, perlu, namun relativitas pentingnya ini tidak bisa diukur. Untuk 'knowledge', saya pikir tidak terlalu krusial, namun sikap dan cara pandang science terhadap fenomena adalah objektif dan pembentukan pola pikir dan perilaku yang objektif dan 'ilmiah' itu menjadi modal yang sangat berharga dalam menjalani sisi spiritual Buddhisme.

Contoh paling gampang misalnya Past Life Regression. Kita melihat bahwa orang bisa dibawa melihat kehidupan lampaunya dengan hipnotis, mungkin kita pun pernah mencoba dan melihatnya. Kemudian kita menyimpulkan bahwa benar adanya kehidupan lampau, dan timbullah keyakinan (saddha).

Namun ketika kita berpikir secara ilmiah, mempelajari psikologi manusia dan rentannya pembentukan ingatan-ingatan palsu serta efek sugesti dalam mengarahkan ilusi-ilusi tersebut, maka melihatnya secara berbeda. Alih-alih mendapatkan "saddha" yang berlandaskan spekulasi, kita malah lebih memahami sedikit lebih jauh mengenai pikiran. Pemahaman ini yang membuat kita menjadi lebih memahami bathin kita sendiri dan pada waktunya, mungkin lebih kondusif pada pemahaman kebenaran mulia dalam fenomena, ketimbang suatu 'saddha' yang tidak berdasar.

Rico Tsiau

penjelasan yang baik sekali

memberikan saddha, tapi itu dari satu sisi
sisi lainnya (menurut saya) terkadang keinginan membuktikan kesesuaian buddhisme dan sains cenderung (salah satunya) menimbulkan ketidakseimbangan bathin. contoh : merasa bangga bahkan terkadang berlebihan bahwa ajaran yang di anutnya ternyata sesuai sains dan meremehkan ajaran agama lain.
inilah maksud pertanyaan saya pada awal.

atau dualisme ini, satu sisi memberikan saddha dan sisi lainnya berpotensi menjadikan jatuhnya keseimbangan bathin adalah hal yang menjadi epik tersendiri dalam hal ini.

QuoteTambahan: Saya tidak akan bosan juga mengingatkan bahwa Aggaññasutta (DN 27) BUKAN khotbah yang menjelaskan evolusi biologis, melainkan evolusi bathin manusia sehingga muncul kasta.

oh begitu ya, mungkin selama ini saya salah mengartikan sutta ini, thank's atas masukannya

QuoteNamun ketika kita berpikir secara ilmiah, mempelajari psikologi manusia dan rentannya pembentukan ingatan-ingatan palsu serta efek sugesti dalam mengarahkan ilusi-ilusi tersebut, maka melihatnya secara berbeda. Alih-alih mendapatkan "saddha" yang berlandaskan spekulasi, kita malah lebih memahami sedikit lebih jauh mengenai pikiran. Pemahaman ini yang membuat kita menjadi lebih memahami bathin kita sendiri dan pada waktunya, mungkin lebih kondusif pada pemahaman kebenaran mulia dalam fenomena, ketimbang suatu 'saddha' yang tidak berdasar.

semoga saya tidak salah mengerti, bahwa ini bukan 'pembenaran'.

K.K.

Quote from: Rico Tsiau on 13 October 2012, 12:01:08 PM
sisi lainnya (menurut saya) terkadang keinginan membuktikan kesesuaian buddhisme dan sains cenderung (salah satunya) menimbulkan ketidakseimbangan bathin. contoh : merasa bangga bahkan terkadang berlebihan bahwa ajaran yang di anutnya ternyata sesuai sains dan meremehkan ajaran agama lain.
inilah maksud pertanyaan saya pada awal.

atau dualisme ini, satu sisi memberikan saddha dan sisi lainnya berpotensi menjadikan jatuhnya keseimbangan bathin adalah hal yang menjadi epik tersendiri dalam hal ini.
Betul, seharusnya kita hanya memahami kebenaran sebagai kebenaran, bukan menganggap 'kebenaran adalah milikku, milik agamaku'. Ini justru kondusif pada kemelekatan dan kesombongan, tidak ada gunanya.


Quoteoh begitu ya, mungkin selama ini saya salah mengartikan sutta ini, thank's atas masukannya
Sama2. :)


Quotesemoga saya tidak salah mengerti, bahwa ini bukan 'pembenaran'.
Soal pembenaran atau bukan, harus kita selidiki sendiri. Tapi saya punya keyword: sugesti. Dengan sugesti yang cukup, orang dalam keadaan hipnotis itu bisa mengembangkan 'krativitas' pikiran yang menurut saya bukan hanya 'kehidupan lampau', tapi juga 'sorga-neraka', 'diculik Alien', dan lain-lain.

Chinpoko

Quote from: kullatiro on 10 October 2012, 05:25:46 PM
seperti kita ketahui ada nya science ada juga pseudo-science,

kadang kadang kita umat buddha tidak dapat membedakan nya, apa lagi ada kaum tertentu yang menghendaki penggelapan total terhadap science.

kalo makhluk2 cryptology seperti bigfoot loch ness chupacabra termasuk science atau pseudo science ko sanjiva?

mohon pencerahannya  :D
kita dapat bersembunyi dan berteduh dari sinar matahari namun kita tidak dapat lari dan bersembunyi dr buah kamma kita


tanam padi tumbuh padi, tanam duren tumbuh duren, tanam yg baik tumbuh yg baik, tanam yg buruk tumbuh yg buruk

K.K.

Cryptozoology bukan pseudo-science, jika memang ada banyak laporan yang kredibel, para ahli akan menyelidiki keberadaan makhluk yang diduga ada tersebut, dan kadang memang laporan itu benar, walau tidak selalu akurat. Misalnya dulu di Inggris juga beredar cryptid rusa berkepala dua, berdiri seperti manusia dan loncat kaya' kodok, yang setelah diselidiki, ditemukan dan dipanggil 'kangaroo'.