News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Pertanyaan Karma

Started by junxiong, 14 November 2010, 10:56:46 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: williamhalim on 15 November 2010, 03:23:04 PM
pernah kita bahas soal 'bisa karena biasa'... misalkan, seseorang melihat jam tangan cantik, ia tertarik, ingin memilikinya.... ia ingin mengambilnya, tapi krn belum pernah mencuri.. ia ragu2 untuk melakukannya.. ambil, tidak, ambil, tidak... butuh banyak pertimbangan dan dorongan yg sangat kuat agar ia mengambil jam tsb... akhirnya 'setttt' sikat jam itu.

Untuk kegiatan pencurian pertama ini, setelahnya orang tsb PASTI akan ketakutan, gelisah dan kuatir. Batinnya tidak tenang... Takut dituduh dan tertangkap. Setelah beberapa saat kondisi aman, ia akan mulai tenang dan pada akhirnya ia tidak was2 lagi...

Di kedua kalinya, ia melihat jam tangan bagus lagi, timbul niat untuk memiliki, ia melihat sekeliling, lalu.. settttt! Tidak butuh banyak pertimbangan lagi.. Demikian untuk ketiga kalinya nanti.. dstnya... ia akan menjadi biasa saja, setelah mencuri, perasaan yg timbul adalah 'puas' dan 'senang'.

Kondisi ini berlaku untuk setiap perbuatan2 buruk... bisa karena biasa (dan juga perbuatan baik, tentunya...) makanya Sang Buddha menganjurkan kita untuk 'membiasakan' diri berbuat baik, agar menjadi kebiasaan bagi kita.

----

Kembali ke topik kita... bila sudah melakukan suatu perbuatan merugikan dan kita menjadi was2 / kuatir, kita semua setuju bahwa hasil dari kamma kita terima saat itu juga...

Namun, bagaimana kalau kasusnya, setelah melakukan perbuatan merugikan tsb, kita justru "puas" dan "senang"? Apakah ini bisa disebut menerima hasil kamma saat ini juga? Jawabannya adalah Iya. Dan ini lebih buruk lagi. Bila dikasus pertama kita dengan jelas melihat hasil yg negatif (was-was, kuatir, takut), maka di kasus kedua hasil negatifnya sedikit menipu, sangat halus. Perasaan puas dan senang tsb justru lebih berbahaya dibanding was2 dan ketakutan, karena perasaan 'puas' dan 'senang' setelah melakukan perbuatan merugikan akan meminta 'pengulangan'. Perasaan puas dan senang yg dimotivasi ke'aku'an / kemelekatan membutuhkan eksistensi lagi.

Perasaan puas dan senang tsb dengan kokoh membentuk trend batin kita bahwa apa yg kita lakukan tsb (perbuatan negatif tsb) memang benar (dan enak), kita dapat melakukannya, dan tidak ada imbas negatifnya... itu pemikiran kita. Dan kita tidak ragu2 untuk mengulanginya dimasa yg akan datang, kapan perlu, kita yg akan mengkondisikan agar perbuatan tsb bisa terulang lagi.... Ini sangat berbahaya bagi pengembangan batin.

Jadi, hasil dari suatu kamma (perbuatan) akan langsung diterima saat itu juga, yakni dalam bentuk 'trend batin' kita yg baru...

Ini menurut sy sangat perlu kita pahami agar kita dapat  berhati2 untuk melangkah, bahkan untuk suatu perbuatan buruk yg kecil...


::
Contohnya sudah cocok. Yang saya sorot di sini adalah kalau menurut teori kamma, kamma membunuh, misalnya adalah menyebabkan pendek umur. Dalam kasus sehari-hari, ada orang yang membunuh lalu merasa bersalah, ada yang malah senang atau biasa-biasa saja. Perasaan itu (takut/senang) memang adalah buah kamma yang ikut matang bersama dengan menanam kamma membunuh. Tapi kita tidak bisa mengatakan itu adalah buah kamma dari membunuh itu sendiri. Karena jika demikian, maka ada kamma membunuh yang menyebabkan pendek umur dan perasaan senang/takut.

Trend bathin memang dibentuk pada saat melakukan sesuatu. Hal itu dipengaruhi oleh pandangan dan pola pikir seseorang. Tapi trend bathin yang terbentuk setelah melakukan sesuatu BUKAN buah dari kamma perbuatan itu sendiri. Itu bisa jadi hanya permainan pikiran saja.


junxiong

bagaimana kalau kasusnya karena ketidaktahuan sehingga dia melakukannya dengan merasa itu membantu..
misalnya..

Seorang dokter merasa membantu seorang pasien yang sudah menderita dengan melakukan euthanasia.
Tentu saja prosesnya sudah mendapat izin dari pasien atau juga keluarga pasien. Dan dokter merasa memang sudah menolongnya
Niatnya murni ingin menolong.
Tetapi dia sebetulnya melakukan pembunuhan. Apakah itu tergolong karma buruk?
"The most likely way for the world to be destroyed, most experts argue, is by accident. That's where we come in; we're computer professionals. We cause accidents." - Nathaniel Borenstein

seniya

Quote from: junxiong on 15 November 2010, 06:42:18 PM
bagaimana kalau kasusnya karena ketidaktahuan sehingga dia melakukannya dengan merasa itu membantu..
misalnya..

Seorang dokter merasa membantu seorang pasien yang sudah menderita dengan melakukan euthanasia.
Tentu saja prosesnya sudah mendapat izin dari pasien atau juga keluarga pasien. Dan dokter merasa memang sudah menolongnya
Niatnya murni ingin menolong.
Tetapi dia sebetulnya melakukan pembunuhan. Apakah itu tergolong karma buruk?

Pertama-tama, kita perjelas dulu apa definisi karma baik dan buruk. Karma baik (kusala kamma) adalah perbuatan yang ditimbulkan oleh kehendak yang didasari oleh akar kebajikan (kusala mula), yaitu tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha). Sebaliknya karma buruk (akusala kamma) adalah perbuatan yang didasari oleh akar kejahatan (akusala mula), yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).

Pada kasus ini niat dokter menolong meringankan penderitaan sang pasien dengan authanasia menunjukkan kebodohan batin (moha). Karena hal ini didasari oleh pandangan salah bahwa penderitaan sang pasien dapat diakhiri dengan kematian. Belum tentu setelah si pasien meninggal dunia, ia terlepas dari penderitaannya. Bisa saja ia menuai buah karma yang sama di kehidupan yang akan datang atau terlahir di alam menderita. Oleh sebab itu, kematian bukanlah jalan mengakhiri penderitaan.

Btw apa pun alasannya tindakan pembunuhan disebabkan oleh akar kejahatan; tidak ada pembunuhan yang didasari oleh kehendak baik (kusala cetana), walaupun motivasi pelaku sepertinya baik, tetap motivasi tersebut secara tidak langsung (tidak sadar) dilandasi oleh kehendak buruk (kusala cetana).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

junxiong

dalam realitasnya euthanasia terkadang dilakukan orang yang sudah menjadi koma, dalam artian otaknya sudah mati dan tidak mungkin
bangun/sadar lagi. Dalam artian tubuhnya tetap hidup tetapi sebetulnya itu karena organnya bekerja dan tidak ada bedanya dengan orang yang meninggal.
Ketika pikirannya sudah mati, apakah dia sudah bisa tergolong mati dalam agama Buddha?

Kalau dia tergolong mati, maka berarti euthanasia tidak melanggar sila kan?
"The most likely way for the world to be destroyed, most experts argue, is by accident. That's where we come in; we're computer professionals. We cause accidents." - Nathaniel Borenstein

seniya

Quote from: junxiong on 16 November 2010, 08:12:55 PM
dalam realitasnya euthanasia terkadang dilakukan orang yang sudah menjadi koma, dalam artian otaknya sudah mati dan tidak mungkin
bangun/sadar lagi. Dalam artian tubuhnya tetap hidup tetapi sebetulnya itu karena organnya bekerja dan tidak ada bedanya dengan orang yang meninggal.
Ketika pikirannya sudah mati, apakah dia sudah bisa tergolong mati dalam agama Buddha?

Kalau dia tergolong mati, maka berarti euthanasia tidak melanggar sila kan?

Belum tentu sang pasien yang sudah koma sudah meninggal dunia dalam pengertian Buddhis. Kehidupan makhluk hidup menurut Buddhis ditopang oleh unsur kehidupan yang disebut rupa-jivitindiriya (unsur kehidupan fisik) dan nama-jivitindiriya (unsur kehidupan mental). Kematian terjadi ketika kedua unsur kehidupan ini lenyap, yaitu berhenti berfungsinya kehidupan fisik dan mental/batin. Dalam kondisi koma, kemungkinan unsur kehidupan fisiknya masih ada dan unsur kehidupan mentalnya juga belum tentu lenyap. Walaupun jantung dan nadi telah ditetapkan berhenti berdetak dan dianggap oleh orang awam atau kedokteran sebagai "mati", namun selama unsur kehidupan masih ada, makhluk itu tidak dikatakan mati dalam konteks Buddhis.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa