Mungkinkah seorang ariya bunuh diri?

Started by Peacemind, 09 August 2010, 12:03:45 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Indra

Quote from: pannadevi on 11 August 2010, 10:58:10 PM
Quote from: seniya on 11 August 2010, 10:50:54 PM
Quote from: pannadevi on 11 August 2010, 10:35:45 PM
bro Seniya, nice post, mo kirim GRP ga bisa (waiting 720 hr)
wah ini bisa dipake data buat ujian....thanks.

mettacittena,

Ya, sama2, sam. Pannadevi. Btw ini belum menjawab diskusi ini apakah seorang ariya bisa melakukan bunuh diri.....

Menurut saya, seorang ariya yang masih diliputi kekotoran batin/asava (sotapanna, sakadagami, anagami) bisa melakukan bunuh diri karena kekotoran batinnya, tetapi tidak dengan seorang Arahat. Dalam Milinda Panha dijelaskan demikian:

QuoteRaja Milinda (M): "Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali merasakan kesakitan?"

Bhikkhu Nagasena (N): "Mungkin ia merasakan kesakitan secara fisik, O Baginda, tetapi bukan kesakitan mental."

M: "Jika ia merasakan kesakitan fisik, mengapa ia tidak mati saja dan mencapai keadaan lenyapnya kemelekatan, dari menghentikan penderitaan?"

N: "Para arahat tidak memiliki kesukaan atau kebencian terhadap kehidupan. Ia tidak menebang pohon agar buahnya yang masih belum matang  jatuh, melainkan menanti sehingga buahnya masak.[/u] Karena ini dikatakan oleh Bhante Sariputta, murid utama Sang Buddha:

     'Bukanlah kematian, atau kelahiran yang saya nantikan;
     Seperti orang sewaan menanti gaji, saya menantikan waktuku.
     Bukan kematian dan kelahiran yang saya rindukan,
     Waspada dan dengan jelas mengerti,
     Beginilah saya menantikan waktuku' ."

Sumber: Milinda Panha : II, 4

berarti bisa melakukan bunuh diri, dan tidak terjatuh ke alam menderita (4 alam menyedihkan).....

seorang ariya tidak mungkin terlahir kembali di alam sengsara, pasti mencapai kebebasan dalam max 7 kali kelahiran

pannadevi

Quote from: Indra on 11 August 2010, 11:10:46 PM
Quote from: pannadevi on 11 August 2010, 10:58:10 PM
Quote from: seniya on 11 August 2010, 10:50:54 PM
Quote from: pannadevi on 11 August 2010, 10:35:45 PM
bro Seniya, nice post, mo kirim GRP ga bisa (waiting 720 hr)
wah ini bisa dipake data buat ujian....thanks.

mettacittena,

Ya, sama2, sam. Pannadevi. Btw ini belum menjawab diskusi ini apakah seorang ariya bisa melakukan bunuh diri.....

Menurut saya, seorang ariya yang masih diliputi kekotoran batin/asava (sotapanna, sakadagami, anagami) bisa melakukan bunuh diri karena kekotoran batinnya, tetapi tidak dengan seorang Arahat. Dalam Milinda Panha dijelaskan demikian:

QuoteRaja Milinda (M): "Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali merasakan kesakitan?"

Bhikkhu Nagasena (N): "Mungkin ia merasakan kesakitan secara fisik, O Baginda, tetapi bukan kesakitan mental."

M: "Jika ia merasakan kesakitan fisik, mengapa ia tidak mati saja dan mencapai keadaan lenyapnya kemelekatan, dari menghentikan penderitaan?"

N: "Para arahat tidak memiliki kesukaan atau kebencian terhadap kehidupan. Ia tidak menebang pohon agar buahnya yang masih belum matang  jatuh, melainkan menanti sehingga buahnya masak.[/u] Karena ini dikatakan oleh Bhante Sariputta, murid utama Sang Buddha:

     'Bukanlah kematian, atau kelahiran yang saya nantikan;
     Seperti orang sewaan menanti gaji, saya menantikan waktuku.
     Bukan kematian dan kelahiran yang saya rindukan,
     Waspada dan dengan jelas mengerti,
     Beginilah saya menantikan waktuku' ."

Sumber: Milinda Panha : II, 4

berarti bisa melakukan bunuh diri, dan tidak terjatuh ke alam menderita (4 alam menyedihkan).....

seorang ariya tidak mungkin terlahir kembali di alam sengsara, pasti mencapai kebebasan dalam max 7 kali kelahiran

iya sama bro.... ;D

Peacemind

Quote from: seniya on 11 August 2010, 10:30:30 PM
Bagaimana dengan ini???

QuoteThe commentary on Vin. III. 82 (Vin. A. 467) says:

(1) And here, not only is (oneself) not to be cast off, also by whatever other means, even by stopping eating, one is not to be killed: whoever is ill and, when there is medicine and attendants, desires to die and interrupts his food, this is wrongdoing, surely.

(2) But of whom there is a great illness, long-lasting, (and) the attending monks are wearied, are disgusted, and worry 'what now if we were to set (him) free from sickness?': if he, (thinking): 'this body being nursed does not endure, and the monks are wearied', stops eating, does not take medicine, it is acceptable (vattati).

(3) Who (thinking) 'this illness is intense, the life-activities do not persist, and this special (meditative) attainment (visesadhigamo) of mine is seen as if I can put my hand on it' stops (eating): it is acceptable, surely.

(4) Moreover, for one who is not ill, for whom a sense of religious urgency (samvega) has arisen, (thinking) 'the search of food is, indeed, an obstacle: I will just attend to the meditation object', stopping (eating) under the heading of the meditation object is acceptable.

(5) Having declared a special (meditative) attainment, he stops eating: it is not acceptable. (numbers added)

This extends the prohibition on throwing oneself off a cliff to any method of suicide, even a 'passive' method such as self-starvation (1), as used by Jain saints. It does, however, allow that some instances of selfstarvation are acceptable. It is acceptable when one has no time to collect food because one is inspired to practise a meditation intently (4), but not if one has already attained a specific meditative state and thinks one need do nothing more (cf. A. IV.22) (5). It is not acceptable if one is ill, but help is to hand (1). It is acceptable in two other cases of illness: when there is a severe, long-lasting illness, and a monk allows himself to die so as not to trouble those who attend on him (2), and where there is an intense illness, the person is clearly dying, and he knows he has attained a meditative state he had been aiming at (3). Here, self-starvation is seen as acceptable when it is because it is an unintended side-effect of a more important task (4), when it is part of a compassionate act (2), or when death is already imminent and further eating would be futile, not even allowing the completion of a meditative task(3).

Sumber: An Introduction to Buddhist Ethics oleh Peter Harvey

Jadi menurut komentar Vinaya di atas, bunuh diri diperbolehkan dalam kasus sakit yang berkepanjangan tetapi sang bhikkhu tidak mau merepotkan para perawatnya (poin 2), seorang bhikkhu yang sakit tetapi merasa pencapaian meditasinya akan berkembang jika berhenti makan (poin 3), atau dengan berpikir bahwa mengumpulkan makanan adalah halangan untuk pencapaian meditasinya dan memutuskan untuk berhenti makan (poin 4). Bunuh diri tidak dapat diterima (melanggar) jika kondisi sakit tetapi terdapat obat dan perawatan (poin 1) dan mengakui telah mencapai tingkat meditasi tertentu lalu bunuh diri (poin 5).

Sepertinya kasus Bhikkhu Nanavira itu termasuk poin 2 atau 3, jadi masih diperbolehkan menurut Vinaya.

Btw, pernyataan di atas merujuk kepada para bhikkhu saja atau juga temasuk mereka yang telah mencapai kesucian? Untuk kasus nomor 4 saya ingat cerita para bhikkhu pada zaman Buddha Kassapa yang pergi ke gunung dan hanya meditasi tanpa makan. Tapi mereka waktu itu belum mencapai kesucian, meskipun pada akhirnya ada beberapa yang mencapai kesucian. Di Sri Lanka ada kasus kelaparan yang melanda Sri Lanka selama 12 tahun. Karena sulitnya mendapatkan makanan, 24.000 arahat berhenti berpindapata, hanya duduk bermeditasi sampai mereka semua meninggal. Apakah ini juga bunuh diri? :)


[at] Sdr Jerry:

Kalau mengutip kejadian Mahanama, memang ada kemungkinan kasus bunuh diri untuk seorang yang telah mencapai kesucian ada. Tapi hanya asumsi semata stelah mengutip kejadian Mahanama di Kitab komentar. Untuk yang sebenarnya, ah..lebih baik bertanya kepada seorang ariya.

Sumedho

ini menjadi topik kontroversi lagi, apakah bunuh diri itu pasti "jatuh" ke alam rendah. Harus kita lihat lagi apa yg membuat seseorang "jatuh", yah ketika mau meninggal itu misalnya.
There is no place like 127.0.0.1

DragonHung

Kalo orang biasa bunuh diri pasti permasalahan yg meliputi pikirannya ialah strees, jalan buntu, kecewa serta segudang perasaan negatif lainnya.  Makanya tidak heran orang biasa bunuh diri trus jatuh ke alam sengsara.
Pasti tidak ada orang biasa yg bunuh diri karena terlalu bahagia atau karena menang lotre trus mau bunuh diri.

Kalo untuk orang suci, gak bisa kasih komen deh
Banyak berharap, banyak kecewa
Sedikit berharap, sedikit kecewa
Tidak berharap, tidak kecewa
Hanya memperhatikan saat ini, maka tiada ratapan dan khayalan

Jerry

 [at] Sam
Cerita menarik mengenai yang Sri Lanka itu. Kalau begitu biar nambah pelik lagi, kasus Sang Buddha pun bisa dimasukkan dalam kategori bunuh diri menurut pikiran puthujjana. Karena udah tau makanan beracun tapi masih dimakan juga.
Kalau dijawab para ariya tidak melakukan bunuh diri karena memang tidak ada diri yang dibunuh, nanti dibilang jawaban klise lagi. :|

appamadena sampadetha

seniya

#66
Quote from: Indra on 11 August 2010, 11:10:46 PM
Quote from: pannadevi on 11 August 2010, 10:58:10 PM

berarti bisa melakukan bunuh diri, dan tidak terjatuh ke alam menderita (4 alam menyedihkan).....

seorang ariya tidak mungkin terlahir kembali di alam sengsara, pasti mencapai kebebasan dalam max 7 kali kelahiran

Jadi bingung juga, tetapi kenyataannya terdapat beberapa contoh di mana seorang ariya memilih untuk mengakhiri hidupnya (istilah "bunuh diri" kayaknya lebih berkonotasi negatif), seperti disebutkan pada awal thread ini.....

Jika mengatakan seorang ariya yang mengakhiri hidupnya karena kekotoran batin akan terlahir di alam menderita, maka sama dengan mengatakan kejatuhan/kemunduran seorang ariya, padahal para ariya tidak akan mundur dari Magga dan Phala, bahkan seorang Sotapanna yang dikatakan telah memasuki arus kesucian dan tidak akan mundur/jatuh lagi.....

Mungkin seorang ariya tidak akan terlahir kembali di alam menderita walaupun mengakhiri hidupnya karena kekotoran batin (asava). Hal ini karena setitik kekotoran batin yang timbul saat mengakhir hidupnya tidak menodai kesucian batinnya, seperti sesendok garam yang dimasukkan ke dalam sebuah kolam tidak akan mengubah/mempengaruhi rasa air kolam tersebut.

[at] peacemind:

Itu kan peraturan Vinaya yang berlaku untuk semua anggota Sangha apakah masih putthujana ataupun sudah ariya......

Untuk kasus para Arahat di Sri Lanka yang berhenti berpindapatta dan bermeditasi sampai mati memang bunuh diri, tetapi menurut saya itu mungkin tidak dipicu oleh kekotoran batin (keinginan untuk mengakhiri hidup/vibhava tanha), melainkan pertimbangan kondisi sulit saat itu. Jika mereka tetap berpindapatta, kemungkinan besar tetap tidak akan mendapatkan makanan dan bisa merepotkan para umat yang berbakti (tentunya umat yang berbakti akan berusaha memberikan makanan kepada mereka bagaimana pun caranya, dan bisa saja melakukan hal yang ekstrem seperti memberikan daging sendiri untuk dimasak).

Btw dengan duduk bermeditasi menanti datangnya kematian merupakan upaya mengakhiri hidup yang pasif, sehingga masih bisa ditolerir daripada tindakan yang aktif (langsung melakukan upaya nyata untuk segera mengakhiri hidup, misalnya menjatuhkan diri dari tebing yang curam). Juga hal ini bisa dipandang sebagai tindakan "menghitung hari" seperti syair YA Sariputta dari Milinda Panha di atas:

"Bukanlah kematian, atau kelahiran yang saya nantikan;
Seperti orang sewaan menanti gaji, saya menantikan waktuku.
Bukan kematian dan kelahiran yang saya rindukan,
Waspada dan dengan jelas mengerti,
Beginilah saya menantikan waktuku."
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Adhitthana

Dengar dari Ceramah dan seminar  ;D

Pada suatu saat ada sekelompok Bhikkhu di hutan berlatih meditasi dengan objek meditasi Asubha ....
selang bebrapa lama .... ada bebrapa Bhikkhu melakukan bunuh diri di karnakan merasa jijik dengan tubuh sendiri
kemudian Sang Buddha mengetahui kejadian ini ..... lalu mulai saat itu di terapkan peraturan (vinaya)
para Bhikkhu tidak bole melakukan bunuh diri .....

Tidak dijelaskan ada sutta dimana ato sudah dijelaskan tapi gw lupa  :hammer:
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Indra

Quote from: Virya on 12 August 2010, 10:47:18 PM
Dengar dari Ceramah dan seminar  ;D

Pada suatu saat ada sekelompok Bhikkhu di hutan berlatih meditasi dengan objek meditasi Asubha ....
selang bebrapa lama .... ada bebrapa Bhikkhu melakukan bunuh diri di karnakan merasa jijik dengan tubuh sendiri
kemudian Sang Buddha mengetahui kejadian ini ..... lalu mulai saat itu di terapkan peraturan (vinaya)
para Bhikkhu tidak bole melakukan bunuh diri .....

Tidak dijelaskan ada sutta dimana ato sudah dijelaskan tapi gw lupa  :hammer:


ada di Samyutta Nikaya, tapi lupa sebelah kanan, kiri, depan atau belakang. dan gak diceritakan apakah mereka Ariya atau bukan

Peacemind

Quote from: Jerry on 12 August 2010, 06:44:52 PM
[at] Sam
Cerita menarik mengenai yang Sri Lanka itu. Kalau begitu biar nambah pelik lagi, kasus Sang Buddha pun bisa dimasukkan dalam kategori bunuh diri menurut pikiran puthujjana. Karena udah tau makanan beracun tapi masih dimakan juga.
Kalau dijawab para ariya tidak melakukan bunuh diri karena memang tidak ada diri yang dibunuh, nanti dibilang jawaban klise lagi. :|



Emang makanan itu beracunkah? Justru menurut kitab Komentar, makanan yang dipersembahkan Cunda sangat lezat. Ditambahkan jika Sang Buddha tidak makan sukkaramaddava, rasa sakit yang akan diderita akan terasa lebih dahsyat. Makanan itu sesungguhnya membantu beliau untuk memperingan perasaan sakitnya.

[at] Seniya: Dalam konteks yang dibicarakan memang demikianlah adanya, dan demikian yang tertulis dalam kitabnya. Sesuai dengan konteks yang ada tentunya berdasarkan pada kitab komentar yang tercatat, saya setuju dengan anda.

[at] Viriya: Cerita yang anda berikan ada dalam kisah yang melatar belakangi munculnya peraturan Parajika ketiga yakni membunuh manusia. Sebenarnya setelah kejadian para bhikkhu yang bunuh diri dan juga dibunuh bhikkhu lain setelah mereka jijik dengan tubuh mereka, Sang BUddha tidak memberikan peraturan bahwa seorang bhikkhu tidak seharusnya bunuh diri, tetapi beliau memberikan peraturan bahwa seorang bhikku tidak boleh membunuh manusia. Jika membunuh manusia, ia melanggar peraturan parajikan dan harus dikeluarkan dari sangha. Peraturan ini dikeluarkan karena bhikkhu Migalaṇḍika membantu membunuh para bhikkhu yang jijik dengan tubuh mereka.

Peacemind

Quote from: Indra on 12 August 2010, 11:14:51 PM
Quote from: Virya on 12 August 2010, 10:47:18 PM
Dengar dari Ceramah dan seminar  ;D

Pada suatu saat ada sekelompok Bhikkhu di hutan berlatih meditasi dengan objek meditasi Asubha ....
selang bebrapa lama .... ada bebrapa Bhikkhu melakukan bunuh diri di karnakan merasa jijik dengan tubuh sendiri
kemudian Sang Buddha mengetahui kejadian ini ..... lalu mulai saat itu di terapkan peraturan (vinaya)
para Bhikkhu tidak bole melakukan bunuh diri .....

Tidak dijelaskan ada sutta dimana ato sudah dijelaskan tapi gw lupa  :hammer:


ada di Samyutta Nikaya, tapi lupa sebelah kanan, kiri, depan atau belakang. dan gak diceritakan apakah mereka Ariya atau bukan

Yap, cerita ini juga ada di Samyuttanikaya, tepatnya di bagian Mahāvagga, Vesālīsutta.

Jerry

Quote from: Peacemind on 12 August 2010, 11:35:03 PM
Quote from: Jerry on 12 August 2010, 06:44:52 PM
[at] Sam
Cerita menarik mengenai yang Sri Lanka itu. Kalau begitu biar nambah pelik lagi, kasus Sang Buddha pun bisa dimasukkan dalam kategori bunuh diri menurut pikiran puthujjana. Karena udah tau makanan beracun tapi masih dimakan juga.
Kalau dijawab para ariya tidak melakukan bunuh diri karena memang tidak ada diri yang dibunuh, nanti dibilang jawaban klise lagi. :|

Emang makanan itu beracunkah? Justru menurut kitab Komentar, makanan yang dipersembahkan Cunda sangat lezat. Ditambahkan jika Sang Buddha tidak makan sukkaramaddava, rasa sakit yang akan diderita akan terasa lebih dahsyat. Makanan itu sesungguhnya membantu beliau untuk memperingan perasaan sakitnya.
Kalau begitu bukan makanan melainkan usia tua? Tapi di mana-mana, entah sumber internal buddhisme atau eksternal luar buddhisme pasti menceritakan bahwa makanan tersebut lah yang menyebabkan Sang Buddha mangkat. Bagaimana Sam bisa meluruskan hal yang sudah diterima secara luas? Mungkin dengan menerbitkan karya Sam dan meluruskan yang sebenarnya? :D

be happy
appamadena sampadetha

Jerry

Quote from: Virya on 12 August 2010, 10:47:18 PM
Dengar dari Ceramah dan seminar  ;D

Pada suatu saat ada sekelompok Bhikkhu di hutan berlatih meditasi dengan objek meditasi Asubha ....
selang bebrapa lama .... ada bebrapa Bhikkhu melakukan bunuh diri di karnakan merasa jijik dengan tubuh sendiri
kemudian Sang Buddha mengetahui kejadian ini ..... lalu mulai saat itu di terapkan peraturan (vinaya)
para Bhikkhu tidak bole melakukan bunuh diri .....

Tidak dijelaskan ada sutta dimana ato sudah dijelaskan tapi gw lupa  :hammer:

Gak diceritakan tentang pencapaian mereka, ini terjadi ketika Sang Buddha mengajarkan meditasi dengan tema asubha dan kemudian Sang Buddha pergi menyepi. Ketika kembali Sang Buddha menyadari peserta retreat :hammer: para bhikkhu menjadi sangat berkurang. Ananda menceritakan hal tersebut dan Sang Buddha lalu membabarkan Anapanasati karena nafas adalah objek yang netral. Oleh karenanya, berhati2lah dalam mengembangkan asubha.
Tapi menurut saya sebenarnya tema asubha sangat penting untuk menumbuh-kembangkan kualitas nibbida. Tentu saja khususnya bagi mereka yang telah meninggalkan keduniawian dan bertekad merealisasi Nibbana.
appamadena sampadetha

seniya

Quote from: Jerry on 13 August 2010, 01:35:59 AM

Kalau begitu bukan makanan melainkan usia tua? Tapi di mana-mana, entah sumber internal buddhisme atau eksternal luar buddhisme pasti menceritakan bahwa makanan tersebut lah yang menyebabkan Sang Buddha mangkat. Bagaimana Sam bisa meluruskan hal yang sudah diterima secara luas? Mungkin dengan menerbitkan karya Sam dan meluruskan yang sebenarnya? :D

be happy

Bukannya itu udah ada di RAPB.......
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

gajeboh angek

Loh, bukannya Sammasambuddha cuma bisa parinibanna jika memang dikehendaki sendiri?
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days